Penyusunan Peta Zona Agroekologi (ZAE) Daerah Tangkapan Air Danau Toba

  

TINJAUAN PUSTAKA

Pendekatan Agroekologi

  Agroekologi adalah pengelompokan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat diharapkan tidak akan berbeda dengan nyata (Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 1999) . Lebih lanjut, Las, et all (1991) mengatakan pewilayahan agroekologi disusun berdasarkan faktor-faktor yang dianggap dominan mempengaruhi produksi pertanian pada tiap daerah serta tipe lahan. Faktor-faktor tersebut adalah faktor fisik lingkungan (iklim dan tanah), man-made

  infrastructure yang erat kaitannya dengan produktivitas lahan.

  Amien (1995) menyatakan bahwa teknologi zonasi agroekologi dilaksanakan dalam tiga tingkat hirarki dengan harapan keluaran dan data masukan minimum yang berbeda. Untuk tingkat hirarki yang paling tinggi, setara dengan tingkat pemetaan tinjau sampai eksplorasi diharapkan memberikan petunjuk untuk sistem pertanian tangguh berkelanjutan baik secara fisik maupun ekonomi dan pilihan-pilihan komoditas untuk masing-masing sistem pertanian.

  Untuk itu diperlukan data masukan minimum berupa kisaran lereng, tekstur dan tingkat kemasaman tanah. Informasi yang iklim dapat diganti dengan informasi mengenai rejim suhu dan rejim kelembaban diperlukan untuk menentukan pilihan-pilihan tanaman. Pada hirarki yang kedua teknologi zona agroekologi diharapkan sudah dapat memberikan keluaran berupa teknologi pengelolaan tanah dan tanaman. Hirarki ini setingkat dengan tingkat semi detail sampai tinjau mendalam dengan minimum data masukan yang lebih rinci dan kerap seperti keadaan fisik dan kimia tanah ditunjang dengan informasi iklim yang memadai. Pada tingkat hirarki ketiga yang setara denag tingkat pemetaan detail, dari masing zona diharapkan sudah dapat diperoleh dugaan hasil dari komoditas pilihan serta perhitungan keuntungannya secara ekonomi dengan mempertimbangkan nilai- nilai masukan dan hasil.

  Peta ZAE merupakan salah satu perangkat yang dapat mengarahkan perencanaan pertanian yang bersifat operasional, karena peta ZAE mengandung informasi yang menyeluruh mengenai potensi biofisik wilayah. Oleh karenanya peta ZAE dapat memberikan arahan bagi pilihan komoditas, alternatif penggunaan lahan dan bentuk rakitan teknologi, yang dapat disusun berdasarkan kombinasi pendekatan fisik dan pendekatan ekonomi setempat (Busyra dan Salwati, 2008).

  Saraswati (1998) menambahkan bahwa peta zona agroekologi merupakan sarana strategis dalam pembangunan pertanian yang sangat bermanfaat sebagai pengarah dan evaluator dalam penerapan suatu hasil penelitian dan /atau paket teknologi pertanian dan pemanfaatan sumberdaya alam. Dalam kaitan ini peta agroekologi dapat pula digunakan sebagai peta dasar dalam menyusun pewilayah komoditas dan usahatani dalam pengembangan berbagai konsep pertanian tangguh.

  Metode penyusunan Zona Agroekologi (ZAE) dilakukan melalui penggabungan antara karakteristik fisiografi lahan (kelerengan, drainase, tinggi tempat) dan iklim (curah hujan dan suhu). Data karakteristik fisiografi lahan dan iklim diperoleh melalui pengolahan peta kontur, peta ketinggian tempat, dan data curah hujan menjadi peta digital kemiringan, kelembaban, rejim suhu, dan drainase. Peta-peta digital yang telah dihasilkan tersebut ditumpang-susunkan sehingga diperoleh Zona Agroekologi (ZAE) sebagai satuan pemetaan (Susetyo, 2011).

  Metodologi penyusunan Zona Agroekologi ini mengacu pada konsep Sistem Pakar (Expert System) yang dikembangkan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Amien, 1992 dalam Sosiawan, 1997). Relief yang tercermin di dalam kisaran kelas lerengnya merupakan pembeda zonasi utama dalam sistem pakar. Berdasarkan pembeda zonasi utama tersebut suatu wilayah dapat dikelompokkan menjadi 7 zona , seperti yang tertera pada Tabel 1.

  Tabel 1. Klasifikasi Zona Agroekokogi

  Zonasi Lereng (%) I > 40

  II 16 - 40

  III 8 – < 16

  IV < 8 V < 8 (Gambut)

  VI < 8 (Sulfat masam)

  VII < 8 (Pasir Kuarsa/spodosol) Berdasarkan kriteria zona utama tersebut suatu wilayah dapat dibagi menjadi 7 zona agroekologi dengan spesifikasi sistem pertanian atau kehutanan

  (Agriculture Type) sebagai berikut:

  1. Zona I adalah suatu wilayah dengan lereng > 40 % dengan tipe pemanfaatan lahan adalah Kehutanan.

  2. Zona II adalah suatu wilayah dengan lereng 16-40 % dengan tipe pemanfaatan lahan adalah Perkebunan (Budidaya Tanaman Tahunan).

  3. Zona III adalah suatu wilayah dengan lereng 8 – < 16 % dengan tipe pemanfaatan lahan adalah Wana Tani (Agroforestry).

  4. Zona IV adalah suatu wilayah dengan lereng 0 – < 8 % dengan tipe pemanfaatan lahan adalah tanaman pangan.

  5. Zona V adalah suatu wilayah dengan lereng < 8 % dengan jenis tanah gambut dengan tipe pemanfataan lahan adalah tanaman hortikultur (gambut dangkal dengan ketebalan < = 2 m) atau kehutanan (gambut dalam dengan ketebalan > 2 m).

  6. Zona VI adalah suatu wilayah dengan lereng < 8 % dengan jenis tanah yang mempunyai kandungan sulfat sangat tinggi (sulfat masam) atau kandungan garam yang tinggi dengan tipe pemanfaatan lahan adalah kehutanan.

  7. Zona VII adalah suatu wilayah dengan lereng < 8 % dengan jenis tanah yang berkembang dari pasir kuarsa (Spodosol atau Quartzipsamments) dengan tipe pemanfaatan lahan adalah kehutanan.

  Rejim iklim yang digunakan ialah rejim kelembaban dan rejim suhu. Rejim kelembaban Lembab (x) apabila mempunyai jumlah bulan kering sama dengan atau kurang dari 3 bulan dalam satu tahun, rejim kelembaban agak kering (y) apabila mempunyai jumlah bulan kering antara 4 sampai dengan 7 bulan dalam satu tahun dan rejim kelembaban Kering (z) apabila mempunyai jumlah bulan kering lebih dari 7 bulam dalam satu tahun. Sedangkan rejim suhu dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu rejim suhu panas (isohipertermik) dan rejim suhu sejuk (isotermik). Pada pelaksanaannya pembagian rejim suhu suatu wilayah diduga dari ketinggian tempat dari permukaan laut dengan pendekatan sebagai berikut: Rejim suhu panas terdapat pada wilayah dengan ketinggian < = 700 m dpl. (dataran rendah=a); Rejim suhu sejuk terdapat pada wilayah dengan ketinggian > 700 - 2.000 m dpl. (dataran tinggi=b).

  Berdasarkan pembeda rejim iklim (rejim kelembaban dan rejim suhu) tersebut suatu wilayah dapat dibagi menjadi 6 zonasi iklim yaitu:

  1. Wilayah beriklim lembab dataran rendah atau zona iklim dengan simbol ax.

  2. Wilayah beriklim lembab dataran tinggi atau zona iklim dengan simbol bx.

  3. Wilayah beriklim agak kering dataran rendah atau zona iklim dengan simbol ay.

  4. Wilayah beriklim agak kering dataran tinggi atau zona iklim dengan simbol by.

  5. Wilayah beriklim kering dataran rendah atau zona iklim dengan simbol az.

  6. Wilayah beriklim kering dataran rendah atau zona iklim dengan simbol bz.

  Pembagian selanjutnya ke dalam sub zona dan pilihan kelompok tanaman yang relevan dikembangkan pada setiap sub zona tersebut didasarkan pada rejim kelembaban dan suhu (tinggi tempat). Dengan demikian terdapat beberapa kemungkinan kombinasi subzona.

  Komponen Utama Zona Agroekologi Iklim

  Dua komponen iklim yang paling mempengaruhi kemampuan lahan, yaitu temperatur dan curah hujan. Temperatur yang rendah mempengaruhi jenis dan pertumbuhan tanaman. Di daerah tropika yang paling penting mempengaruhi temperatur udara adalah ketinggian letak suatu tempat dari permukaan laut. Udara yang bebas bergerak akan turun temperaturnya pada umumnya dengan 1 C untuk setiap 100 m naik di atas permukaan laut. Penyediaan air secara alami berupa curah hujan yang terbatas atau rendah di daerah agak basah (sub humid), agak kering (semi arid), dan kering (arid) mempengaruhi kemampuan tanah (Amien, 1995).

  Fisiografi dan Bentuk Wilayah

  Fisiografi dan bentuk wilayah mempengaruhi pertumbuhan tanaman secara tidak langsung melalui iklim atau iklim mikro tanah. Bentuk wilayah menentukan bentuk utama penggunaan lahan seperti tanaman semusim, wana tani atau tanaman keras. Dari bentuk lahan dapat diketahui apakah suatu lahan mempunyai kemungkinan untuk mekanisasi, keadaan air tanah, pengaruh infiltrasi ataupun keadaan tergenang air seperti pada lahan rawa. Bentuk wilayah dibagi menurut kecuraman lerengnya seperti datar, berombak, bergelombang, berbukit, dan bergunung. Semakin curam lereng suatu wilayah semakin berkurang alternatif-alternatif komoditas maupun sistem pertaniannya (Amien, 1995).

  Sumberdaya Tanah

  Salah satu yang paling inovatif dalam sistem klasifikasi taksonomi tanah adalah dengan penggunaan rejim kelembaban dan rejim suhu sebagai bagian dari sifat-sifat tanah. Rejim kelembaban umumnya digunakan pada tingkat sub-ordo dan dalam beberapa kasus pada great group dan subgroup. Rejim suhu merupakan salah satu kriteria dalam penentuan family tanah dan dalam beberapa hal dimana dianggap penting pada tingkat yang lebih tinggi. Kombinasi rejim kelembaban dan rejim suhu membagi-bagi lingkungan menjadi kelas-kelas dimana tanaman tertentu dapat tumbuh dengan baik (Amien, 1995).

  Gambaran Kondisi Daerah Tangkapan Air Danau Toba Letak dan Luas

  Secara geografis Kawasan Danau Toba terletak di pegunungan Bukit Barisan Propinsi Sumatera Utara pada titik koordinat 2 21‘ 32‘‘– 2 56‘ 28‘‘ Lintang Utara dan 98 26‘ 35‘‘ – 99 15‘ 40‘‘ Bujur Timur. Danau Toba terletak di Pulau Sumatera 176 km arah Selatan Kota Medan, Danau Toba terletak pada ketinggian sekitar 903 m dpl. Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Toba memiliki luas sekitar 369.854 ha, yang terdiri dari 190.314 ha daratan di pulau Sumatera (keliling luar danau), 69.280 ha daratan pulau Samosir (di tengah danau) dan 110.260 ha berupa perairan Danau Toba-nya sendiri (luas permukaannya) (LTEMP, 2004).

  Ekosistem Kawasan Danau Toba (EKDT) terletak di pegunungan Bukit Barisan Propinsi Sumatera Utara. Menurut wilayah administrasi pemerintahan, EKDT meliputi 7 (tujuh) Kabupaten yaitu: Kabupaten Samosir, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Simalungun, Kabupaten Karo, dan Kabupaten Dairi (ITB, 2001).

  Iklim DTA Danau Toba termasuk ke dalam tipe iklim B1, C1, C2, D2, dan E2.

  Dengan demikian bulan basah (Curah Hujan ≥ 200 mm/bulan) berturut-turut pada kawasan ini bervariasi antara dari 3 bulan sampai dengan 7-9 bulan, sedangkan bulan kering (Curah Hujan ≤ 100 mm/bulan) berturut -turut antara 2-3 bulan.

  Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Scmidt dan Ferguson maka DTA Danau Toba ini termasuk ke dalam tipe iklim A, B dan C .

  Curah Hujan

  Curah hujan tahunan yang terdapat di kawasan Daerah Tangkapan Air Danau Toba berkisar antara 1.700 sampai dengan 2.400 mm/tahun. Sedangkan puncak musim hujan terjadi pada bulan Nopember – Desember dengan curah hujan antara 190 – 320 mm/bulan dan puncak musim kemarau terjadi selama bulan Juni – Juli dengan curah hujan berkisar 54 – 151 mm/bulan .

  Suhu dan Kelembaban Udara

  Suhu udara bulanan di EKDT ini berkisar antara 18,0 – 19,7 C di Balige dan antara 21,0 – 20,0 C di Sidamanik. Suhu udara selama musim kemarau cenderung agak lebih tinggi dibandingkan dengan selama musim hujan. Sedangkan angka kelembaban tahunannya berkisar antara 79 – 95 %. Pada bulan- bulan musim kemarau kelembaban udara cenderung agak rendah dibandingkan pada bulan-bulan musim hujan. Evaporasi bulanan di EKDT ini berkisar antara 74

  • – 88 mm/bulan. Angka evaporasi selama musim-musim kemarau cenderung lebih tinggi dibandingkan selama musim huja).

  Topografi dan Tata Guna Lahan

  Kondisi topografi DTA Danau Toba didominasi oleh perbukitan dan pegunungan, dengan kelerengan lapangan terdiri dari datar dengan kemiringan

  2

  2

  ( 0 – 8 % ) seluas 703,39 km , landai (8 – 15 %) seluas 791,32 km , agak curam

  2

  2

  (15 – 25 %) seluas 620,64 km , curam (25 – 45 %) seluas 426,69 km sangat

  2

  curam sampai dengan terjal (> 45 %) seluas 43,962 km . Eksisting penggunaan dan penutupan lahan di DTA Danau Toba terdiri dari hutan alam, hutan rapat, hutan tanaman, hutan jarang dan kebun campuran, semak belukar, resam, tanaman semusim, persawahan dan lahan terbuka (permukiman, bangunan lain, lahan terbuka, padang rumput dan alang-alang).