1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Gambaran Konsumsi Zat Besi, Seng dan Status Gizi Pada Anak Sekolah Dasar di SDN NO.060813 Kelurahan Pasar Merah Barat Kecamatan Medan Kota Tahun 2014

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

  Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat dan kesehatan yang prima di samping penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi (Nursari, 2010).

  Upaya untuk meningkatkan SDM adalah melalui program gizi yaitu meningkatkan status gizi masyarakat. Salah satu indikator pengukur tinggi rendahnya kualitas SDM adalah Indeks Kualitas Hidup Manusia (Human Development Indeks-HDI) (Manampiring, 2008).

  Human Development Indeks Indonesia pada tahun 2013 masuk pada peringkat ke-121 dari 186 negara dan 8 negara teritorial. Hal ini menunjukkan masih rendahnya kesehatan di Indonesia terutama kesehatan ibu dan anak. Ibu dan anak terutama ibu hamil, menyusui, bayi, balita dan anak usia sekolah merupakan kelompok yang harus diperhatikan dengan serius.

  Pertumbuhan anak usia sekolah yang optimal tergantung pemberian zat gizi dengan kualitas dan kuantitas yang memadai. Selama masa pertumbuhan tersebut pemberian nutrisi pada anak tidak selalu dapat dilaksanakan dengan sempurna (Judarwanto, 2006). Pada fase ini, tubuh dengan optimal menyimpan cadangan nutrisi yang diperlukan anak pada fase pubertas nantinya. Selain itu, anak usia sekolah merupakan fase dimana aktivitas anak berlangsung sangat dinamis dan aktif sehingga membutuhkan asupan nutrisi yang memadai. Dengan demikian kecukupan zat gizi menjadi hal utama yang harus dipenuhi oleh keluarga (Akhmadi, 2009).

  Anak usia sekolah dasar yaitu antara umur 6-12 tahun merupakan masa saat mereka mengalami growth spurt (percepatan pertumbuhan) yang kedua setelah masa balita. Kelompok ini rentan terhadap anemia zat besi karena kebutuhan zat besi selama masa ini meningkat dengan adanya pertumbuhan jaringan yang cepat dan kenaikan massa sel darah merah (Zulaekah & Widyaningsih, 2008).

  Gizi dibutuhkan anak sekolah untuk pertumbuhan dan perkembangan, energi, berpikir, beraktivitas fisik, dan daya tahan tubuh. Zat gizi yang dibutuhkan anak adalah seluruh zat gizi yang terdiri dari zat gizi makro seperti karbohidrat, protein, lemak serta zat gizi mikro seperti vitamin dan mineral. Kebutuhan energi golongan umur 10-12 tahun relatif lebih besar dari pada golongan umur 7-9 tahun, karena pertumbuhan relatif cepat, terutama penambahan tinggi badan (Devi, 2012).

  Gizi merupakan salah satu faktor penentu untuk mencapai kesehatan yang prima dan optimal. Namun, masyarakat di Indonesia masih menghadapi beberapa masalah gizi, salah satunya adalah anemia. Zat gizi mikro (miconutrienf) adalah terminologi yang digunakan untuk menjelaskan elemen kelumit (trace element) yang terdiri dari pelbagai vitamin dan mineral. Mineral yang termasuk zat gizi mikro antara lain adalah besi, seng, tembaga, selenium, chromium, iodium,

  

fluorine, mangan, molybdenium, nikel, silikon, vanadium, arsenik dan cobalt.

  Kesemua zat gizi mikro diperlukan oleh tubuh dalam jumlah kecil dan harus

  Anak sekolah dasar merupakan kelompok yang rentan terhadap defisiensi zat gizi mikro diantaranya adalah zat besi dan seng, hal ini disebabkan oleh kurangnya zat besi dan seng dalam makanan. Pada kondisi ini, anak harus mendapatkan asupan gizi dalam kuantitas dan kualitas yang cukup. Cerminan kecukupan gizi dapat dinilai dari status gizi anak dan merupakan salah satu tolak ukur yang penting untuk menilai keadaan pertumbuhan dan status kesehatannya.

  Besi dan seng merupakan mikronutrein esensial untuk pertumbuhan dan perkembangan tubuh serta sistem imun manusia. Defisiensi mikronutrien tersebut menyebabkan penurunan sistem imun, gangguan perkembangan psikomotor dan menurunkan kemampuan kerja. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap tingkat kesegaran jasmani, yang sangat penting dalam tercapainya perkembangan dan pertumbuhan optimal pada masa anak-anak (Lestari, 2009).

  Defisiensi besi dan seng sering terjadi pada populasi gizi kurang (Donald, 2000) terutama pada negara-negara berkembang dengan tingkat ekonomi masih lemah. Defisiensi besi berpengaruh pada pertumbuhan anak. Salah satu akibatnya adalah lemahnya peningkatan berat badan yang pada akhirnya akan memperburuk status gizinya (Lonnerdal, 1998). Selain itu juga menyebabkan gangguan perkembangan mental dan motorik anak, serta menyebabkan anemia yang merupakan penyakit penyerta gizi buruk ataupun sebaliknya yaitu anemia berlanjut yang menyebabkan gizi buruk (Nasution, 2004).

  Kekurangan zat besi pada anak-anak dan orang dewasa dengan atau tanpa anemia sangat erat berhubungan dengan kemampuan belajar, selain itu berhubungan erat dengan pertumbuhan dan nafsu makan (Chwang, 1989; prasekolah dan sekolah, anemia defisiensi besi dapat mengganggu proses tumbuh kembang, menurunkan daya konsentrasi belajar, dan memudahkan anak terserang penyakit. Hal ini terjadi oleh karena masukan zat besi melalui makanan sehari- hari tidak mencukupi kebutuhan fisiologis atau menderita infeksi kronis yang menyebabkan pertumbuhan otak tidak optimal, pertumbuhan fisik yang lemah, daya tahan terhadap infeksi menurun dan penurunan kemampuan kognitif (Oski, 1993).

  Kekurangan seng yang terjadi pada usia sekolah dapat berakibat gangguan pertumbuhan fisik dan perkembangan sel otak. Menurut Groff (1998) defisiensi seng dapat menurunkan kemampuan ekspresi gen dalam proses replikasi sel dan pertumbuhan tulang (SKRT, 2001). Anak dengan gizi buruk juga mengalami penurunan konsentrasi serum seng dan seng yang rendah pada hati dan otot. Berdasarkan laporan Golden, meskipun anak gizi buruk mendapat rehabilitasi berupa formula susu, mereka tetap memiliki konsentrasi seng rendah dan kenaikan berat badan pada tingkat rendah pula. Setelah menerima suplementasi seng, mengalami peningkatan berat badan pada tingkat baik (Lonnerdal, 1998).

  Defisiensi seng dapat mengganggu pertumbuhan yang menyebabkan anak menjadi gizi buruk dan meningkatkan risiko diare dan infeksi saluran nafas (Nasution, 2004). Defisiensi seng terjadi karena kurangnya asupan makanan, terutama yang mengandung protein tinggi, ketersediaan hayati seng rendah, malabsorpsi dan meningkatnya ekskresi oleh tubuh melalui tinja dan air seni (Linder, 1994). Defisiensi seng ringan kemungkinan lebih banyak prevalensinya dibanding prevalensi defisiensi besi, baik di negara berkembang dan di negara

  Seng merupakan zat yang sangat penting bagi tubuh, lebih dari 300 metaloenzim tubuh bergantung pada seng. Seng terlibat dalam berbagai keseimbangan asam-basa, metabolisme asam amino, pembentukan protein sistem kekebalan, reproduksi dan perkernbangan sistem syaraf (O'Dell, B, 1992).

  Defisiensi seng menyebabkan beberapa gangguan pada sistem kekebalan tubuh, berkurangnya fungsi indra perasa, anorexia, diare, memperlambat penyembuhan luka, dermatitis, memperlambat pertumbuhan dan perkembangan selama kehamilan, masa kanak-kanak dan masa remaja (Cousins, 1990).

  Status gizi pada anak usia sekolah dapat dinilai dengan indeks antropometri IMT/U yaitu proporsi tubuh antara berat badan menurut umur yang seharusnya. Hasil RISKESDAS 2008 menunjukkan prevalensi status gizi anak sekolah (6-I4 tahun) secara nasional dengan kategori kurus dan sangat kurus menurut indeks IMT menurut umur pada laki-laki sebesar 13,3% dan perempuan 10,9%. Status gizi berdasarkan indeks IMT rnenurut umur menggambarkan kekurangan gizi pada saat ini. Gangguan gizi selain makro (energi dan protein), dapat juga disebabkan kurang zat gizi mikro (zat besi,vitamin A dan seng) atau kombinasi dari ketiganya. Saat ini status gizi secara antropometri lebih dikaitkan dengan asupan zat gizi makro (karbohidrat, kalori, protein dan lemak), padahal peranan zat gizi makro tidak akan optimal tanpa kehadiran zat gizi mikro. Rata- rata konsumsi orang dewasa yang dianjurkan sebesar 2100 kalori per hari merupakan patokan global dengan asumsi di dalamnya tersedia zat gizi mikro yang memadai (RISKESDAS, 2008).

  Status gizi anak usia sekolah dasar yaitu pada usia 5-12 tahun menurut menunjukkan bahwa secara nasional prevalensi kurus (menurut IMT/U) pada anak umur 5-12 tahun adalah 11,2 persen, terdiri dari 4,0 persen sangat kurus dan 7,2 persen kurus. Prevalensi sangat kurus paling rendah di Bali (2,3%) dan paling tinggi di Nusa Tenggara Timur (7,8%). Sebanyak 16 provinsi dengan prevalensi sangat kurus diatas nasional, yaitu Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Papua, Papua Barat, Sulawesi Tengah, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Maluku, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Riau, Gorontalo, dan Nusa Tenggara Timur. Provinsi sumatera utara merupakan salah satu provinsi dari 16 provinsi yang mempunyai prevalensi sangat kurus diatas-rata-rata nasional yaitu sebesar 18% (RISKESDAS, 2013).

  Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Wisesa (2013) untuk menilai status gizi anak sekolah dasar di SDN 064977 melalui pengukuran antropometri dan menggunakan grafik CDC-NCHS 2000 berdasarkan IMT/U. Hasil dari penelitian ini memperlihatkan sebanyak 81,5% anak di SDN tersebut memiliki gizi baik.

  Survei awal yang dilakukan oleh peneliti di SD Negeri 060813 bahwa jumlah murid keseluruhan di sekolah tersebut berjumlah 158 anak, dimana ada 15 orang dari 20 siswa SD yang diukur memiliki badan yang kurus. Penilaian dilakukan dengan menggunakan IMT/U dan juga dengan bantuan software WHO Antro dengan klasifikasi menurut Kemenkes RI 2010 untuk anak usia 5-18 tahun. Disamping itu, dilakukan pula wawancara untuk melihat gambaran konsumsi makanan dalam waktu 24 jam. Hasil nya dalam sehari mereka lebih banyak mengkonsumsi makanan jajanan seperti disaat pagi sebelum sekolah hanya minum teh manis serta roti kering, disertai bakso cilok, mi instan yang tidak dimasak, minuman buah seperti nutri jeruk, frutang, dan minuman lain yang memiliki pewarna yang menarik. Dan saat siang juga hanya mengonsumsi nasi putih dan lauk apa adanya seperti mie instan, telur, dan beberapa potong ikan tanpa mengonsumsi sayuran. Pada saat malamnya hanya mengonsumsi makanan kecil seperti roti dan snack. Dari hasil wawancara tersebut menunjukkan anak-anak kurang mengonsumsi makanan seperti daging dan sayur-sayuran yang memiliki kandungan zat besi dan seng.

  Berdasarkan uraian yang diatas penulis sangat ingin meneliti lebih dalam mengenai “Gambaran Konsumsi Zat Besi, Seng dan Status Gizi Pada Anak Sekolah di SD Negeri 060813 Kecamatan Kota Kelurahan Pasar Merah Barat Tahun 2014 ”.

  1.2. Perumusan masalah

  Sesuai dengan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah penelitian adalah bagaimana Gambaran Konsumsi Zat Besi, Seng dan Status Gizi Pada Anak Sekolah di SD Negeri 060813 Kecamatan Kota Kelurahan Pasar Merah Barat Tahun 2014.

  1.3. Tujuan Penelitian

  Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui gambaran konsumsi zat besi, seng dan status gizi pada anak sekolah di SD Negeri 060813 Kecamatan Kota Kelurahan Pasar Merah Barat tahun 2014.

  1.4. Manfaat Penelitian

  Manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Bagi pengelola pendidikan SD Negeri 060813 Kecamatan Kota Kelurahan untuk dasar pelaksanaan pengembangan kegiatan di sekolah dalam rangka program peningkatan gizi dan kesehatan berbasis sekolah. Terutama berkaitan dengan masalah asupan zat besi, seng dan status gizi pada anak sekolah.

  2. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan acuan untuk penelitian lanjutan yang berkaitan dengan zat besi, seng dan status gizi pada anak sekolah dasar.