BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Kejahatan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (Studi Putusan Pengadilan Negeri)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa yang

  senantiasa harus dijaga karena di dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat di dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindakan kekerasan dan diskriminasi

   serta hak sipil dan kebebasan.

  Munculnya permasalahan hak asasi manusia menurut Burns H. Weston disebabkan dua hal, pertama bahwa manusia dimana-mana menuntut realisasi dari bermacam-macam nilai guna memastikan kesejahteraan individual dan kolektif mereka. Kedua, tuntutan-tuntutan terhadap kesejahteraan individual dan kolektif tersebut sering diabaikan sehingga mengakibatkan eksploitasi, penindasan,

   penganiayaan dan bentuk-bentuk perampasan lain. 1 Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, (Bandung: Fokus Media, 2010), hal. 35 2 Todung Mulya Lubis, ed., Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Masyarakat Dunia, trans. A.

  Setiawan Abadi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), hal. 1

  Hak-hak anak secara universal telah ditetapkan melalui Sidang Umum PBB pada tanggal 20 November 1959, dengan memproklamasikan deklarasi hak-hak anak.

  Dengan deklarasi tersebut, diharapkan semua pihak mengakui hak-hak anak dan mendorong semua upaya untuk memenuhinya. Ada sepuluh prinsip tentang hak anak menurut deklarasi tersebut, yaitu:

   1.

  Prinsip 1 : Setiap anak harus menikmati semua hak yang tercantum dalam deklarasi ini tanpa terkecuali, tanpa perbedaan dan diskriminasi;

  2. Prinsip 2 : Setiap anak harus menikmati perlindungan khusus, harus diberikan kesempatan dan fasilitas oleh hukum atau oleh peralatan lain, sehingga mereka mampu berkembang secara fisik, mental, moral dan spiritual, dan sosial dalam cara yang sehat dan normal;

  3. Prinsip 3 : Setiap anak sejak dilahirkan harus memiliki nama dan indentitas kebangsaan;

4. Prinsip 4 : Setiap anak harus menikmati manfaat dari jaminan sosial; 5.

  Prinsip 5 : Setiap anak baik secara fisik, mental, dan sosial mengalami kecacatan harus diberi perlakuan khusus, pendidikan dan pemeliharaan sesuai dengan kondisinya; 6. Prinsip 6 : Setiap anak bagi perkembangan pribadinya secara penuh dan seimbang memerlukan kasih sayang dan pengertian;

  7. Prinsip 7 : Setiap anak harus menerima pendidikan secara cuma-cuma dan atas dasar wajib belajar; 3 Abu Huraerah, Child Abuse (Kekerasan Terhadap Anak), (Bandung: Nuansa, 2007), hal. 32

  8. Prinsip 8 : Setiap anak dalam situasi apapun harus menerima perlindungan dan bantuan yang pertama;

  9. Prinsip 9 : Setiap anak harus dilindungi dari setiap bentuk keterlantaran, tindakan kekerasan dan eksploitasi;

10. Prinsip 10 : Setiap anak harus dilindungi dari setiap praktek diskriminasi berdasarkan rasial, agama dan bentuk-bentuk lainnya.

  Bangsa Indonesia sudah selayaknya memberikan perhatian terhadap perlindungan anak karena amanat Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 28 B (2) menyatakan bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh kembang,

  

  serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 33 (1) menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan

  

  kejam yang tidak manusiawi , sedangkan Pasal 29 (1) menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan hak

   miliknya”.

  Anak sebagai bagian dari generasi muda seharusnya perlu dibina secara terus menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan fisik, mental dan sosial serta perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membahayakan mereka dan bangsa

  4 5 Pasal 28 B (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 6 Pasal 33 (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Pasal 29 (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

  

  di masa depan. Sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, anak memiliki hak-hak sesuai dengan kemuliaan harkat dan martabatnya yang dilindungi oleh peraturan perundang-undangan. Anak perlu mendapatkan kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, bangsa Indonesia dihadapkan dengan kejahatan eksploitasi seksual komersial anak yang menjadi fenomena global dan merupakan suatu kejahatan yang memberikan dampak buruk hampir diseluruh belahan dunia terutama terhadap anak.

  Pemerintah Indonesia ikut meratifikasi Konvensi Hak Anak pada tahun 1990 melalui suatu keputusan Presiden yaitu KEPRES No. 36/1990. Setelah 12 tahun Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak, tepatnya pada tanggal 25 Agustus 1990, Indonesia belum mempunyai peraturan perundang-undangan tentang perlindungan anak yang berorientasi pada Konvensi Hak Anak. Kemudian, pada tanggal 22 Oktober 2002, Indonesia menetapkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berorientasi pada hak-hak anak seperti yang tertuang dalam Konvensi Hak Anak. Sejak saat itu pula Indonesia mengakui bahwa anak memiliki beberapa hak yang terdapat di dalamnya, khususnya masalah eksploitasi seksual komersial anak.

  Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah salah satu bagian dari mengoperasionalkan Konvensi Hak Anak. Hal tersebut dikarenakan

7 C.S.T. Kansil, Engelien R. Palandeng, dan Altje Agustin Musa, Tindak Pidana Dalam

  Undang-Undang Nasional, (Jakarta: Jala Permata Aksara, 2009), hal. 141 undang-undang tersebut didasari oleh 4 (empat) prinsip umum Konvensi Hak Anak antara lain:

   1.

  Prinsip non-diskriminasi;

   2.

  Prinsip kepentingan terbaik anak; 3. Prinsip hak anak yang merupakan kodrat hidup dan kewajiban negara-negara peserta untuk menjamin semaksimal mungkin kelangsungan hidup dan tumbuh

  

  kembang anak;

   4.

  Prinsip partisipasi anak. 8 Pasal 2 Konvensi Hak Anak menyatakan: 1. “Negara-negara peserta akan menghormati dan

  

menjamin hak-hak yang ditetapkan dalam konvensi ini terhadap anak dalam setiap wilayah hukum

mereka tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan lain, asal usul bangsa, suku bangsa atau sosial, harta kekayaan, cacat, kelahiran atau status lain dari anak atau dari orang tua anak atau walinya yang sah

menurut hukum”. 2. ”Negara-negara peserta akan mengambil langkah-langkah yang layak untuk

menjamin bahwa anak dilindungi dari semua bentuk diskriminasi atau hukuman yang didasarkan pada status, kegiatan, pendapat yang dikukuhkan atau kepercayaan orang tua anak, walinya yang sah, atau anggota keluarganya. 9 Pasal 3 (1) Konvensi Hak Anak menyatakan “ Dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta, lembaga peradilan, lembaga pemerintah atau badan legislatif, kepentingan terbaik anak akan merupakan pertimbangan utama”. 2. “Negara- negara peserta akan berupaya untuk menjamin adanya perlindungan dan perawatan sedemikian rupa yang diperlukan untuk kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua dan anak, walinya yang sah, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab atas anak yang bersangkutan, dan untuk maksud ini, akan mengambil semua tindakan legislatif dan administrasi yang layak”. 3. “Negara- negara peserta akan menjamin bahwa lembaga-lembaga, instansi-instansi, dan fasilitas-fasilitas yang bertanggung jawab atas pemeliharaan dan perlindungan anak, akan menyesuaikan diri dengan norma- norma yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang, terutama dalam bidang keselamatan, kesehatan, baik dalam jumlah maupun petugas yang sesuai, jumlah dan keserasian petugas mereka, begitu pula pengawasan yang berwenang. 10 Pasal 6 (1) Konvensi Hak Anak menyatakan: “Negara-negara peserta mengakui bahwa

setiap anak memiliki hak yang merupakan kodrat hidup.” (2). “Negara-negara peserta semaksimal

mungkin akan menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan anak. 11 Pasal 12 Konvensi Hak Anak menyatakan: “Negara-negara peserta akan menjamin anak-

anak yang mampu membentuk pandangannya sendiri bahwa mereka mempunyai hak untuk

menyatakan pandangan-pandangannya serta bebas dalam semua hal yang mempengaruhi anak, dan

pandangan anak dipertimbangkan sesuai dengan usia dan kematangan anak”. 2. “Untuk tujuan ini,

anak secara khusus akan diberi kesempatan untuk didengar dalam setiap proses peradilan dan

administratif yang mempengaruhi anak, baik secara langsung atau melalui suatu perwakilan atau badan yang tepat, dengan cara yang sesuai dengan hukum acara nasional.

  Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam

  Pasal 13 (1) menyebutkan bahwa “Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain maupun yang bertanggungjawab atas pengasuhan berhak mendapatkan perlidungan dari perlakuan: a.

  Diskriminasi; b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; c. Penelantaran; d. Kekejaman, kekerasan dan penganiayaan; e. Ketidakadilan; dan f. Perlakuan salah lainnya”.

   Pasal 59 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga

  menyebutkan bahwa:

  

  “Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran”. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memberikan pemahaman bahwa begitu banyak kejahatan dan permasalah yang mengancam anak dan hak-hak anak. Namun, dari sekian banyak permasalahan anak yang ada, hal yang 12 Pasal 13 (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 13 Pasal 59 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi fokus dalam tulisan ini adalah mengenai masalah kejahatan eksploitasi seksual komersial anak. Hal tersebut dikarenakan, pertama, eksploitasi seksual komersial anak merupakan sebuah pelanggaran terhadap hak anak dan mencakup praktek-praktek kriminal yang merendahkan dan mengancam integritas fisik dan psikososial anak.

  Berbagai definisi telah mengarahkan bahwa pengertian eksploitasi seksual komersial anak merupakan sebuah pelanggaran terhadap hak-hak anak. Agenda Aksi Stokholm yang merupakan instrumen internasional pertama yang bertujuan untuk menghapuskan eksploitasi seksual komersial anak yang diselenggarakan di Stokholm

  

  pada tahun 1996 mendefinisikan eksploitasi seksual komersial anak sebagai: “Sebuah pelanggaran mendasar terhadap hak-hak anak. Pelanggaran tersebut terdiri dari kekerasan seksual oleh orang dewasa dan pemberian imbalan dalam bentuk uang tunai atau barang terhadap anak, atau orang ketiga, atau orang-orang lainnya. Anak tersebut diperlakukan sebagai sebuah objek seksual dan sebagai objek komersial. Eksploitasi Seksual Komersial Anak merupakan sebuah bentuk pemaksaan dan kekerasan terhadap anak, dan mengarah pada bentuk-bentuk kerja paksa serta perbudakan modern” Kejahatan eksploitasi seksual komersial anak merupakan suatu kejahatan dimana anak sebagai korban diperlakukan sebagai sebuah komoditas yang dapat diperjualbelikan. Dalam hal ini anak sebagai korban dirampas hak-haknya bahkan beresiko tinggi terhadap gangguan jasmani, rohani dan sosialnya serta memberikan pengaruh yang buruk terhadap masa depan anak yang menjadi korban. 14 Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak, Memperkuat Hukum

  

Penanganan Eksploitasi Seksual Anak: Panduan Praktis , (Medan: Restu Printing Indonesia, 2010),

hal. 40

  Terdapat tiga bentuk eksploitasi seksual komersial anak yaitu prostitusi anak,

   pornografi anak, dan perdagangan anak (trafficking) anak untuk tujuan seksual.

  Trevor Buck juga menyebutkan bahwa ada tiga bentuk eksploitasi seksual komersial anak. Hal tersebut sesuai dengan Optional Protocol to the Convention on

  

The Rights of Child on the Sale of Children, Child Prostitution, and Child

Pornography. Trevor Buck menyebutkan:

  “There are a number of provisions of the Convention on the Rights of the

  Child that relate to the issues of the sale of children, child prostitution and child pornography: Art 11 (illicit transfer of children aboard), 21 (regulation of adoption), 32 (economic exploitation), 33 (illicit of drugs), 34 (sexual exploitation), 35 (sale and traffick in children) and 36 (other exploitation of children). There has been increasing international concern about the phenomenon of “sex tourism” that contributes to the sale of children, child

   prostitution, and child pornography.”

  Bentuk-bentuk eksploitasi seksual komersial anak ini merupakan bentuk transaksional seksual dimana seorang anak terlibat dalam kegiatan seksual dapat memiliki kebutuhan utama yang terpenuhi seperti makan, tempat tinggal, dan akses ke pendidikan. Ini merupakan suatu bentuk transaksional dimana kekerasan seksual terhadap anak tidak dihentikan atau dilaporkan oleh anggota keluarga karena manfaat yang diperoleh oleh pihak keluarga dari pelaku.

  Berdasarkan pemetaan yang dilakukan terhadap ketiga bentuk eksploitasi seksual komersial anak yang dilakukan di Indonesia pada tahun 1997 sampai dengan 15 Lampiran I Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2002 tentang

  Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak tanggal 30 Desember 2002 16 Trevor Buck, International Child Law, (London, Cavendish Publishing, 2005), hal. 76

  1998, ketiga bentuk eksploitasi seksual komersial anak tersebut ditemukan dengan skala dan intensitas yang berbeda. Pada masalah prostitusi anak, diperkirakan sekitar 30 % dari total prostitusi adalah anak-anak. Gejala prostitusi anak diperkirakan akan terus meningkat karena tidak ada prasyarat yang menunjukkan adanya penurunan

   permintaan.

  Pornografi anak terjadi dalam skala yang paling rendah, namun dengan terbukanya arus informasi global, bukanlah hal yang tidak biasa menampilkan figure anak berusia belasan tahun dalam situs internet yang dapat diakses oleh siapapun. Selain itu, kasus-kasus perdagangan (trafficking) anak untuk tujuan seksual komersial diidentifikasi terjadi di Indonesia. Dalam hal perdagangan anak untuk tujuan seksual secara lintas batas negara, Indonesia merupakan negara asal dengan tujuan ke negara-

   negara tetangga sekitar Indonesia.

  Uraian definisi dan bentuk dari eksploitasi seksual komersial anak jelas memberikan gambaran tentang begitu banyak pelanggaran hak-hak anak yang disebabkan oleh kejahatan ini dan menjadi nyata bahwa kejahatan eksploitasi seksual komersial anak merupakan kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran berat hak asasi manusia. Terutama terhadap hak-hak anak yang terkandung pada Pasal 4 Undang- Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

  Hal kedua yang menjadi latar belakang permasalahan eksploitasi seksual komersial anak ini adalah meningkatnya kasus eksploitasi seksual komersial anak di 17 Lampiran I Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2002 tentang

  Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak tanggal 30 Desember 2002 18 Ibid.

  Indonesia setiap tahunnya. Perkembangan industri seks di beberapa negara termasuk Indonesia, mendongkrak permintaan pasar terhadap anak-anak untuk dieskploitasi secara seksual komersial.

  Kasus yang pernah terjadi mengenai masalah eksploitasi seksual komersial anak adalah kasus yang terjadi pada bulan juni tahun 2008. Santi, seorang gadis berusia 15 tahun asal Lampung, diculik dan diperdagangkan ke Malaysia dan dipaksa untuk menjadi seorang pekerja seks. Keperawanannya dijual seharga 5.000 ringgit (15 juta rupiah) oleh seorang mucikari. Dari dua pelaku trafficking untuk tujuan seksual tersebut yaitu Nurdin dan Chong Kum telah ditangkap dan dijatuhi hukuman

   penjara selama 15 tahun.

  Menurut laporan UNICEF pada tahun 2000 tentang situasi anak dan perempuan di Indonesia, anak di bawah usia 18 tahun yang dieksploitasi secara seksual dilaporkan mencapai 40-70 ribu anak. Sementara itu, menurut Pusat Data dan Informasi CNSP (Children in Need Special Protection) Center, pada tahun 2000, terdapat sekitar 75.106 tempat pekerja seks komersial yang terselubung maupun yang “terdaftar”. Sementara itu, diperkirakan 30 % dari penghuni tempat pekerja seks komersial itu adalah anak perempuan berusia 18 tahun ke bawah atau setara dengan

   200-300 ribu anak-anak. 19 Ahmad Sofian, ESKA: Buruknya Potret HAM Anak di Indonesia, http://hukum.kompasiana.com/2011/01/06/eska-buruknya-potret-ham-anak-di-indonesia-ahmad- sofian-332627.html, (diakses 7 Februari, 2014) 20 Arist Merdeka Sirait, Eksploitasi Seksual Komersial Mengintai Anak Kita,, http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/hukum-pidana/648-eksploitasi-seksual-komersial-mengintai-anak- kita.html, (diakses 7 Februari, 2014) Catatan akhir tahun 2011 Komisi Nasional Perlindungan Anak menyebutkan bahwa anak yang membutuhkan perlindungan khusus dari ancaman eksploitasi

  

  seksual komersial juga turut meningkat. Berdasarkan data Komisi Nasional Perlindungan Anak, pada tahun 2010 terdapat 412 pengaduan anak korban eksploitasi seksual komersial. Pada tahun 2011, jumlah pengaduan terhadap kasus eksploitasi seksual komersial anak yang dilaporkan ke Komisi Nasional Perlindungan Anak

  

  meningkat menjadi 480 kasus. Pada tahun 2012 ketua KPAI Badriyah Fayumi mengatakan bahwa terdapat 746 kasus eksploitasi seksual komersial anak. Data kasus eksploitasi seksual komersial anak pada tahun 2013 sejak januari sampai dengan

   oktober berjumlah 525 kasus atau sebanyak 15,85% dari kasus yang ada.

  Peningkatan angka ini cukup memprihatinkan. Dalam kasus eksploitasi seksual komersial anak, modus kejahatan yang berkembang selain tipu muslihat dan janji-janji untuk dipekerjakan, penculikan dengan pembiusan yang diperuntukan bagi anak-anak remaja pada saat pergi dan pulang sekolah maupun melalui kecanggihan

   teknologi seperti internet juga mulai berkembang. 21 Komisi Nasional Perlindungan Anak, Catatan Akhir Tahun 2011 Komisi Nasional Perlindungan Anak, http://komnaspa.wordpress.com/2011/12/21/catatan-akhir-tahun-1011-komisi- nasional-perlindungan-anak/, (diakses 7 Februari, 2014) 22 Harian Pelita, Anak Indonesia Rentan “Trafficking”, http://harian-

pelita.pelitaonline.com/cetak/2013/07/22/anak-indonesia-rentan-“trafficking”, (diakses 7 Februari,

  2014) 23 Ayu Rachmaningtyas, Tiap Tahun Kekerasan Terhadap Anak Meningkat, http://m.sindonews.com/read/2013/12/12/13/816455/tiap-tahun-kekerasan-terhadap-anak-meningkat, (diakses 7 Februari, 2014) 24 Data yang diterima Komisi Nasional Perlindungan Anak dari hasil investigasi Lembaga Perlindungan Anak (LPA) di Kota Pontianak pada tahun 2010, diperbatasan antara Brunei Darusalam

dan Malaysia, ditemukan ratusan anak-anak remaja Indonesia yang terjebak menjadi korban

eksploitasi seksual terselubung. Anak-anak remaja Indonesia yang direkrut oleh sindikat terorganisir

  Keberadaan anak-anak yang dilacurkan untuk tujuan eksploitasi seksual bukan hanya dikota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, atau Yogyakarta

  

  saja, melainkan sudah menyebar keseluruh wilayah nusantara. Diperkirakan sekitar 30% dari seluruh pekerja seks yang ada di Indonesia masih berusia dibawah 18

  

  tahun. Di Indonesia sendiri, berbagai estimasi menyebutkan jumlah anak yang terlibat dalam eksploitasi seksual komersial anak dibandingkan dengan orang dewasa

   adalah 2:8 atau 3:7.

  Hal ketiga yang menjadi latar belakang permasalahan eksploitasi seksual komersial anak ini adalah lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku eksploitasi seksual komersial anak di Indonesia. Setiap kejahatan pasti tidak bisa dipisahkan dengan pelaku kejahatan itu sendiri, termasuk kejahatan eksploitasi seksual komersial anak. Menurut data Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak situasi eksploitasi seksual komersial anak di Indonesia sangat memprihatinkan.

  Data tersebut diambil dari beberapa kota di Indonesia antara lain Manado, Medan, Lampung, Bali, Solo, Surabaya, Indramayu, Semarang dan Lombok.

  Menurut data Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial, di kota Manado jenis eksploitasi seksual komersial anak adalah parawisata seks, prostitusi anak, dan perdagangan anak untuk tujuan eksploitasi seksual. Pelaku kejahatan ini antara lain teman-teman bergaul, pacar, pemilik tempat hiburan dan

  perdagangan anak untuk dipekerjakan untuk melayani para penikmat seksual sampai saat ini belum bisa diselamatkan, walaupun masalah ini juga sudah dilaporkan kepada Pemerintah Daerah. 25 Bagong Suyanto, Anak Perempuan yang Dilacurkan: Korban Eksploitasi di Industri Seksual Komersial, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), hal. 3 26 27 Ibid.

  Ibid, hal. 5 pengelola tempat hiburan serta mucikari. Di Kota Medan, jenis eksploitasi seksual komersial anak adalah prostitusi anak dengan pelaku yaitu pemilik salon, pemilik cafe, pengusaha diskotik/karaoke, pengusaha hotel dan penggiat seks. Di Lampung jenis eksploitasi seksual komersial anak yang mendominasi adalah prostitusi anak,

   pelakunya antara lain mucikari, orang tua, kerabat dan pacar.

  Bali yang merupakan daerah wisata yang sangat terkenal di Indonesia sampai ke mancanegara menghadapi permasalahan eksploitasi seksual komersial anak dengan jenis prostitusi anak, korban praktek pedofil, dan pornografi anak. Pelakunya antara lain mucikari, orang-orang asing, aktor perekrut, broker dan penerima. Di kota Solo, kejahatan eksploitasi seksual komersial anak didominasi oleh bentuk prostitusi anak. Pelakunya antara lain pacar, teman, preman serta mucikari. Di kota Surabaya, bentuk kejahatan eksploitasi seksual komersial anak antara lain perdagangan anak untuk tujuan eksploitasi seksual dan prostitusi anak dengan pelaku saudara kandung,

   kerabat, orang tua, orang tua angkat/tetangga, pemilik kafe dan teman.

  Kota Indramayu menghadapi kasus eksploitasi seksual komersial anak dengan bentuk yang paling mendominasi yaitu prostitusi anak dengan pelaku yaitu orang tua ataupun keluarga anak tersebut. Di kota Semarang bentuk eksploitasi seksual komersial anak yang sering dijumpai yaitu prostitusi anak, pornografi anak dan penjualan anak dengan tujuan eksploitasi seksual. Pelakunya antara lain merupakan 28 Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Data,

  http://gugustugastrafficking.org/index.php?option=com_content&view=article&id=659&itemid=82, (diakses 7 Februari, 2014) 29 Ibid.

  orang-orang yang sebelumnya telah dikenal oleh anak yaitu pacar, tetangga, teman dan anggota keluarga sendiri. Terakhir yaitu kota Lombok, Lombok yang juga terkenal karena keindahannya juga menyimpan permasalahan eksploitasi seksual komersial anak dengan bentuk seperti pariwisata seks, prostitusi anak dan korban praktek pedofil dengan pelaku kejahatan antara lain keluarga anak sendiri, mucikari

   serta pengelola tempat hiburan.

  Data di atas menunjukkan bahwa pelaku kejahatan eksploitasi seksual komersial anak didominasi oleh orang-orang terdekat yang telah dikenal oleh anak sebelumnya. Dari berbagai kasus eksploitasi seksual komersial anak yang pernah terjadi, para pelaku yang telah diadili di persidangan senantiasa mendapat hukuman minimal. Tidak jarang pula ada pelaku eksploitasi seksual komersial anak yang diputus bebas oleh hakim. Padahal, anak merupakan generasi penerus cita-cita dan perjuangan bangsa yang berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

  Berdasarkan hal tersebut maka perlu dibahas mengenai kejahatan eksploitasi seksual komersial anak dari sudut pandang hukum pidana. Hal tersebut dikarenakan eksploitasi seksual komersial anak merupakan perbuatan yang mengandung sifat melawan hukum yang sangat merugikan anak sebagai korban baik dari segi fisik maupun psikis. 30 Ibid.

  Tanggung jawab hukum (liability) merupakan proses tanggung jawab atas sikap tindak hukum. Di dalam kejahatan eksploitasi seksual komersial anak, pelaku dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila telah terjadi tindak pidana yaitu peristiwa tersebut telah mengandung tiga unsur yaitu adanya kemampuan bertanggungjawab dari pelaku, perilaku tersebut didasarkan pada kesalahan, dan tidak ada alasan penghapusan pidana dalam diri pelaku.

  Belum adanya suatu ukuran yang tegas terhadap pengaturan kejahatan eksploitasi seksual komersial anak menunjukkan adanya kebutuhan akan adanya hukum yang dapat diterapkan dalam masalah kejahatan eksploitasi seksual komersial anak. Banyak kasus eksploitasi seksual komersial anak dimana pelaku dihukum dengan hukuman maksimal sesuai dengan undang-undang yang mengaturnya. Akan tetapi, banyak pula kasus eksploitasi seksual komersial anak yang pelakunya dinyatakan bebas. Kasus eksploitasi seksual komersial anak yang diputus bebas salah satunya adalah kasus yang terjadi di Surabaya dengan tersangka Juki Chandra yang melakukan pencabulan terhadap anak dan merekam seluruh adegan ke dalam film. Pihak kepolisian mencatat ada sekitar 100 rekaman film di dalam HP tersangka yang

   dibuat sejak Maret 2006.

  Penegakan aturan yang terkait terhadap pelaku kejahatan eksploitasi seksual komersial anak dapat dilihat salah satunya melalui vonis hakim. Vonis hakim yang

31 Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak, Eksploitasi Seksual

  Komersial Anak di Indonesia , (Medan: Restu Printing Indonesia, 2008), hal. 7 akan menjadi bahan perbandingan untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pelaku eksplotasi seksual komersial anak antara lain:

   1.

  Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 1554/Pid.B/2012/PN.Mdn atas nama terdakwa Andreas Ginting Alias Ucok yang memutuskan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana perdagangan orang.

   2.

  Putusan Pengadilan Negeri Jayapura Nomor: 87/Pid.B/2012/PN.Jpr atas nama terdakwa Hermin Mangiwa alias Mama Mangiwa yang memutuskan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak.

   3.

  Putusan Pengadilan Negeri Kandangan Nomor: 114/Pid.B/2012/PN.Kgn atas nama terdakwa Angga Ryan Saputra Bin Akhmad Gazali yang memutuskan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana menyebarluaskan pornografi anak.

35 Berangkat dari deskripsi permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka

  dipandang penting untuk dilakukan penelitian terhadap “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Kejahatan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (Studi Putusan Pengadilan Negeri)” sebagai judul dalam penelitian ini. 32 Vonis hakim tersebut akan dijadikan bahan perbandingan untuk melihat bagaimana pertanggungjawaban pidana pelaku eksploitasi seksual komersial anak. 33 http://putusan.mahkamahagung.go.id/direktori/pidana-khusus/anak/index-25.html, (diakses

  7 Februari, 2014) 34 Ibid. 35 Ibid.

B. Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka yang akan menjadi pokok permasalahan dalam pengkajian tesis ini adalah:

1. Bagaimana pengaturan kejahatan eksploitasi seksual komersial anak di

  Indonesia? 2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana pelaku kejahatan eksploitasi seksual komersial anak di Indonesia?

  3. Bagaimana penegakan aturan-aturan terkait kejahatan eksploitasi seksual komersial anak dalam vonis hakim?

C. Tujuan Penelitian

  Adapun yang menjadi tujuan dalam melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut:

  1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan kejahatan eksploitasi seksual komersial anak di Indonesia.

  2. Untuk mengetahui dan menganalisis pertanggungjawaban pidana pelaku eksploitasi seksual komersial anak di Indonesia.

  3. Untuk mengetahui dan mengalisis penegakan aturan-aturan terkait kejahatan eksploitasi seksual komersial anak dalam vonis hakim.

D. Manfaat Penelitian

  Manfaat dalam penelitian ini, dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) bagian yaitu secara teoritis dan secara praktis sebagai berikut:

  1. Manfaat secara teoritis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan kajian, sumbangan pemikiran yang bermanfaat dalam memperkaya khasanah kepustakaan dalam perkembangan ilmu hukum khususnya hukum yang mengatur tentang pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku kejahatan eksploitasi seksual komersial anak.

  2. Manfaat secara praktis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berguna bagi aparat penegak hukum terutama para penyidik, jaksa penuntut umum, advokat maupun hakim dalam menangani perkara yang menyangkut tentang eksploitasi seksual komersial anak. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi peneliti lanjutan yang fokus terhadap pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku kejahatan eksploitasi seksual komersial anak.

E. Keaslian Penelitian

  Berdasarkan informasi yang ada dan penelusuran kepustakaan yang khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara, terdapat penelitian yang berkaitan dengan masalah kejahatan eksploitasi seksual komersial anak. Penelitian dengan judul “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Kejahatan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (Studi Putusan Pengadilan Negeri)”, belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Adapun judul peneliti terdahulu yang membahas tentang masalah kejahatan eksploitasi seksual komersial anak adalah “Penanggulangan Kejahatan Eksploitasi Seksual Secara Komersial Terhadap Anak di Kabupaten Asahan”, diteliti oleh saudara Hanan, NPM: 107005047, Magister Ilmu Hukum.

  Pada penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya adalah mengenai penanggulangan kejahatan eksploitasi seksual secara komersial terhadap anak, sedangkan pada penelitian kali ini peneliti mencoba menganalisis pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku kejahatan eksploitasi seksual komersial anak, yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Sehingga, dapat dikatakan penelitian ini asli dan keasliannya baik secara akademis maupun keilmuan dapat dipertanggungjawabkan.

F. Kerangka Teori dan Konsep 1.

  Kerangka Teori Kerangka teori adalah salah satu konsep terpenting dalam sebuah penelitian.

  Kerangka teori dalam sebuah penelitian merupakan pisau analisis pembahasan tentang peristiwa atau fakta yang diajukan dalam masalah penelitian terutama dalam

  

  penelitian hukum. Kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada

   metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.

  M. Solly lubis menyatakan bahwa landasan teori adalah suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu permasalahan (problem) yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin 36 Mukti Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan

  Empiris , (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 146 37 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:Universitas Indonesia, 2005), hal.6

  disetujui ataupun tidak disetujui yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka

   berpikir dalam penulisan.

  Teori yang dipergunakan sebagai alat untuk melakukan analisis di dalam penelitian ini adalah teori pertanggungjawaban pidana. Sebegitu jauh permulaan hukum pasti memiliki teori, maka teori pertama mengenai pertanggungjawaban adalah mengenai suatu kewajiban untuk menebus pembalasan dendam dari seseorang yang terhadapnya telah dilakukan suatu tindakan perugian (injuri), baik oleh orang yang disebut pertama itu sendiri maupun oleh sesuatu yang ada di bawah

   kekuasaannya.

  Langkah sesudah itu adalah mengukur tebusan itu bukan dengan pembalasan dendam yang harus ditebus, melainkan menurut ukuran perugian yang sudah ditimpakan. Satu tindakan penghabisan ialah menghabiskan kesumat itu dengan menentukan pampasan yang harus dibayar. Tindakan ini diambil dengan kebimbangan dan telah saling bercampur satu dengan yang lainnya, sehingga kita mungkin mendengar orang menyebutkan satu hukuman pampasan. Tetapi akibatnya mengubah tebusan untuk pembalasan dendam menjadi pampasan untuk kerugian. Demikianlah penerimaan ganti kerugian berupa sejumlah uang sebagai hukuman bagi

   satu delik telah menjadi titik tolak dari sejarah pertanggungjawaban.

  38 39 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 80 Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, trans. Muhammad Radjab (Jakarta: Bharata, 1965), hal. 80 40 Ibid, hal. 81

  Demikianlah pertanggungjawaban itu rupanya sebagai akibat dari perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, baik dalam bentuk penyerangan maupun dalam bentuk persetujuan. Sumber pertanggungjawaban menurut hukum alam (natural) adalah delik dan kontrak. Yang lainnya adalah digabungkan kepada yang satu atau kepada yang lain di antara yang dua ini. Pertanggungjawaban tanpa kesalahan adalah bersifat quasi-deling. Pertanggungjawaban yang dipikulkan oleh itikat baik untuk mencegah menjadikan kaya secara tidak adil adalah bersifat quasi-kontrak. Jadi, gagasan pusat telah menjadi satu dari tuntutan itikat baik, mengingat tindakan yang

   disengaja.

  Dalam abad ke-19, konsepsi tentang pertanggungjawaban berdasarkan sebagai niat ditempatkan dalam bentuk metafisik lebih dulu dari pada dalam bentuk etik.

  Hukum dianggap sebagai satu perwujudan dari gagasan kebebasan dan diadakan untuk memberikan kebebasan seluas mungkin kepada setiap perseorangan. Apa yang dulunya merupakan suatu teori positif dan kreatif tentang pertanggungjawaban yang berkembang berdasarkan niat, kemudian menjadi suatu teori yang negatif yang membatasi, atau boleh yang dikatakan suatu teori yang memangkas tentang tidak adanya pertanggungjawaban kecuali atas dasar niat. Pertanggungjawaban hanya diakibatkan oleh kelalaian atau oleh apa yang dianggap kewajiban. Kehendak perseorangan yang abstrak adalah titik tengah di dalam teori pertanggungjawaban.

  Dasar pertanggungjawaban itu adalah kelalaian dan transaksi hukum dan yang dua ini meluas terus sampai kepada satu dasar terakhir dalam kehendak. Konsepsi 41 Ibid, hal. 86 dasar dalam pertanggungjawaban hukum adalah konsepsi mengenai satu perbuatan, mengenai satu manifestasi kehendak di dalam dunia luar. Adanya kesalahan karena adanya pertanggungjawaban, sebab semua pertanggungjawaban tumbuh dari

   kesalahan.

  Pertanggungjawaban pidana atau yang dikenal dengan konsep liability dalam segi falsafah hukum, seorang filosof besar abad ke 20, Roscoe Pound menyatakan bahwa “ I use simple word “liability” for the situation whereby one may exact legally

  

and other is legally subjeced to the exaction”. Pertanggungjawaban pidana

  diartikan Pound adalah sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima oleh pelaku dari seseorang yang telah dirugikan. Menurutnya juga bahwa pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut tidak hanya menyangkut masalah hukum semata akan tetapi menyangkut pula masalah nilai-nilai moral

   ataupun kesusilaan yang ada dalam suatu masyarakat.

  Pertanggungjawaban pidana dipandang ada, kecuali ada alasan-alasan penghapus pidana tersebut. Dengan kata lain, criminal liability dapat dilakukan sepanjang pembuat tidak memiliki defence, ketika melakukan suatu tindak pidana. Dalam lapangan acara pidana, hal ini berarti seorang terdakwa dipandang bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukannya, jika tidak dapat membuktikan bahwa dirinya mempunyai defence ketika melakukan tindak pidana itu. 42 43 Ibid, hal. 88 Roscoe Pound, Introduction to the Philosophy of Law, dalam Romli Atmasasmita,

  Perbandingan Hukum Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hal. 65 44 Ibid.

  Konsep demikian itu membentuk keseimbangan antara hak mendakwa dan menuntut dari penuntut umum, dan hak menyangkal dan mengajukan pembelaan dari terdakwa.

  Penuntut umum berhak untuk mendakwa dan menuntut seseorang karena melakukan tindak pidana. Untuk itu, penuntut umum berkewajiban membuktikan apa yang di dakwa dan dituntut itu, yaitu membuktikan hal-hal yang termuat dalam rumusan tindak pidana. Sementara itu, terdakwa dapat mengajukan pembelaan atas dasar adanya alasan-alasan penghapus pidana. Untuk menghindar dari pengenaan pidana, terdakwa harus dapat membuktikan bahwa dirinya mempunyai alasan penghapus

   pidana ketika melakukan tindak pidana.

  Perumusan pertanggungjawaban pidana secara negatif dapat terlihat dari ketentuan Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal 44 Kitab Undang- undang Hukum Pidana merumuskan hal yang dapat mengecualikan pembuat dari pengenaan pidana. Pengecualian pengenaan pidana di sini dapat dibaca sebagai pengecualian adanya pertanggungjawaban pidana. Dalam hal tertentu dapat berarti pengecualian adanya kesalahan. Merumuskan pertanggungjawaban pidana secara negatif, terutama berhubungan dengan fungsi represif hukum pidana. Dalam hal ini, dipertanggungjawabkannya seseorang dalam hukum pidana berarti dipidana. Dengan demikian, konsep pertanggungjawaban pidana merupakan syarat-syarat yang

   diperlukan untuk mengenakan pidana terhadap seorang pembuat tindak pidana. 45 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan : Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 64 46 Ibid.

  Pertanggungjawaban pidana di sini dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak terhadap

   tindakan yang dilakukannya itu.

  Terdapat banyak kasus kejahatan terhadap anak, namun kejahatan eksploitasi seksual komersial anak merupakan bentuk kejahatan terhadap anak yang sangat berkembang saat ini. Populasi anak yang menjadi korban semakin meningkat. Anak- anak yang dijadikan komoditas perdagangan dan objek seks orang dewasa sehingga banyak anak yang kehilangan masa depannya. Kejahatan eksploitasi seksual komersial anak dapat dilakukan oleh siapa saja. Bahkan menurut data yang ada, pelaku eksploitasi seksual komersial anak di Indonesia adalah orang-orang terdekat korban baik keluarga, kerabat, teman, maupun orang yang telah dikenal baik oleh korban.

  Dalam hal ini, penggunaan teori pertanggungjawaban pidana adalah untuk menentukan apakah pelaku ekploitasi seksual komersial anak tersebut dapat dipertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak terhadap tindakan yang dilakukannya tersebut. Penggunaan teori pertanggungjawaban pidana maka diharapkan dapat memenuhi tujuan dari teori pertanggungjawaban yaitu kepercayaan yang di dapat dari masyarakat. Selain itu, untuk menentukan bahwa pelaku eksploitasi seksual komersial anak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila telah terjadi tindak pidana yaitu eksploitasi seksual komersial anak. 47 S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni

  Ahaem-Patahaem,1996), hal. 245

2. Kerangka Konsep

  Konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk menghindari pemahaman dan penafsiran yang berbeda antara satu sama lain sekaligus sebagai pedoman memberikan arahan dalam pemaknaan yang sama terhadap konsep- konsep yang digunakan, antara lain:

  1. Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Dengan demikian, terjadinya tindak pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang.

  Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas “kesepakatan menolak” suatu perbuatan tertentu.

   2.

  Pelaku adalah orang yang memenuhi suatu rumusan delik, atau orang yang memenuhi semua unsur dari rumusan suatu delik.

   3.

  Kejahatan adalah delik (menurut) hukum (rechtsdelicten). Dalam konteks kejahatan, suatu perbuatan dipandang mutlak atau secara esensial bertentangan pengertian tertib hukum.

   4.

  Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

   48 Chairul Huda, Op. Cit, hal. 70-71

  Penentuan batas usia anak tersebut 49

  van HATTUM, Hand-en Leerboek I, hal. 379 dalam P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 597 50 Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum

  Pidana Indonesia , (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 67 mengacu pada ketentuan dalam Konvensi Hak Anak (KHA) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990.

  Menurut Konvensi Hak Anak, anak didefinisikan sebagai setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal.

   5.

  Eksploitasi seksual komersial anak adalah penggunaan anak untuk tujuan seksual dengan imbalan tunai atau dalam bentuk lain antara anak, pembeli jasa seks, perantara atau agen, dan pihak lain yang memperoleh keuntungan dari perdagangan seksualitas anak tersebut.

  

6.

  Prostitusi anak adalah penggunaan anak dalam kegiatan seksual dengan pembayaran atau dengan imbalan dalam bentuk lain.

   7.

  Pornografi anak adalah setiap representasi, dengan sarana apapun, pelibatan secara eksplisit seorang anak dalam kegiatan seksual baik secara nyata maupun

  51 Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 52 United Nations Children Fund, Convention on The Rights Of The Child, Resolusi PBB No.

  

44/25, 20 November 1989 dalam Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan

Instrumen Internasional Perlindungan Anak Serta Penerapannya, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013) hal.

  5 53 Background Paper Prepared for the World Congress Againts Commercial Sexual Exploitation of Children, Stockholm, 27-31 Agustus 1996, hal. 3 dalam Lampiran Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi

Seksual Komersial Anak. Definisi ekploitasi seksual komersial anak tersebut digunakan dalam

Lampiran Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak pada Bab I Lampiran Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2002. 54 Ibid. disimulasikan, atau setiap representasi dari organ-organ seksual anak untuk

   tujuan seksual.

  8. Perdagangan anak untuk tujuan seksual adalah rekruitmen, transportasi, transfer, penampungan atau penerimaan atas seseorang yang umurnya belum mencapai delapan belas tahun untuk tujuan eksploitasi dengan menjerumuskannya kedalam

   prostitusi atau dalam bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya.

G. Metode Penelitian 1.

  Jenis dan Sifat Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris dalam melakukan pengkajian pertanggungjawaban pidana terhadap kejahatan eksploitasi seksual komersial anak. Penelitian hukum normatif dilakukan

  

  dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Kemudian sebagai penelitian hukum normatif, penelitian ini disesuaikan dengan pendekatan yang digunakan. Untuk membahas permasalahan dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah melalui pendekatan perundang-undangan (statuate approach) dan

  55 Ibid, Pasal 2 (c) Background Paper Prepared for the World Congress Againts Commercial

Sexual Exploitation of Children menyatakan Child Pornography means any representation, by

whatevermeans, of a child engaged in real or simulated explicit sexual activities or any representation of the sexual parts of a child for primarily sesual purposes. 56 57 Ibid.

  Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hal. 13

58 Sedangkan untuk penelitian hukum empiris dengan cara meneliti data primer yang dilakukan langsung di lapangan.

  pendekatan kasus (case approach).

   Sifat penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis yang ditujukan untuk

Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Kejahatan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (Studi Putusan Pengadilan Negeri)

0 114 211

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Terorisme (Studi Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 167/Pid.B/2003/Pn.Dps)

0 0 11

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Hukum Mengenai Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan Yang Dilakukan Oleh Anak Sebagai Pelaku Kejahatan Dalam Perspektif Kriminologi (Studi Kasus Putusan No.21/Pid.Sus-Anak/2014/PN.MDN)

0 0 29

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Orang yang Dengan Sengaja Tidak Melaporkan Adanya Tindak Pidana Menguasai Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 409/Pid.B/2014/PN.Mdn.)

0 0 28

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/Pn-Bi)

0 1 20

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Pemilik Panti Asuhan Terhadap Kekerasan Yang Dilakukan Pada Anak (Studi Putusan Pengadilan Negeri Klas I.A Khusus Tangerang No. 1617/Pid.Sus/2014/Pn.Tng)

0 0 23

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 0 16

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum Di Dalam Kuhp (Studi Putusan Ma No. 1914/K/Pid/2012)

0 1 33

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Sistem Peradilan Pidana yang Edukatif Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana (Studi di Kabupaten Simalungun).

0 0 30

BAB II PENGATURAN KEJAHATAN EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL ANAK DI INDONESIA A. Ekslpoitasi Seksual Komersial Anak - Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Kejahatan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (Studi Putusan Pengadilan Negeri)

0 0 39