BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Sistem Peradilan Pidana yang Edukatif Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana (Studi di Kabupaten Simalungun).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak sebagai unsur penting kehidupan masa depan memerlukan pembinaan dan

  bimbingan khusus agar dapat berkembang baik fisik, mental dan spiritualnya secara maksimal, perkembangan tersebut terjadi di lingkungan anak.

  Lingkungan adalah hal yang penting untuk diperhatikan dalam perkembangan anak karena pada dasarnya tempat anak mempelajari hal-hal baru dalam pertumbuhannya adalah di lingkungan, termasuk hal-hal yang dapat mempengaruhi terjadinya kejahatan yang dilakukan oleh anak.

  Anne Astasi mantan presiden American Psychological Associaton mengemukakan bahwa pengaruh keturunan kepada tingkah laku tidak terjadi secara langsung, pengaruh keturunan selalu membutuhkan perantara atau pernagsang yang terdapat dalam lingkungan, dan faktor lingkungan menjadi

   sumber dari berkembangnya setiap tingkah laku.

  Anak yang masih dalam pencarian jati diri mempunyai mental yang sangat mudahterpengaruh dengan situasi dan kondisi lingkungan disekitarnya, sehingga jika lingkungan tempat anak berada tersebut buruk dapat berpengaruh pada tindakan yang buruk juga.

  Kesalahan anak yang ringan dapat berkembang menjadi kenakalan anak yangapabila dibiarkan tanpa adanya pengawasan dan pembinaan yang tepat, serta terpadu oleh semua pihak maka gejala kenakalan anak ini akan menjadi tindakan-tindakan yang mengarah kepada tindakan kriminalitas, menjadikan

   54 anak sebagai pelaku tindak pidana.

  Singgih, yulia, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja,PT. BPK. Gunung Mulia, Jakarta, 2008, hlm. 19 55 Wagiati, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 16

  Perbuatan atau tingkah laku anak yang menyalahi hukum disebut Kenakalan Remaja (Juvenile Delinquency), Peter Salim mengartikan juvenile delinquency adalah kenakalan anak remaja yang melanggar hukum, berprilaku anti sosial, melawan orang

   tua, berbuat jahat, sehingga sampai diambil tindakan hukum.

  Anak yang terlanjur masuk ke dalam sistem peradilan pidana tetap harus diperlakukan sebagai anak yang butuh perlindungan dan bimbingan tentu saja harus berbeda dengan orang dewasa, termasuk dalam sistem peradilan pidana bagi seorang anak pelaku tindak pidana tersebut tetaplah mementingkan hal-hal yang bersifat mendidik dan mementingkan hak anak.

  Indonesia telah membuat peraturan-peraturan yang pada dasarnya sangat menjunjung tinggi dan memperhatikan hak-hak dari anak yaitu dapat dilihat dari diratifikasinya Konvensi Hak Anak (KHA) dengan keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Peraturan perundangan lain yang telah ada antara lain, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan yang terakhir Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

  Anak pelaku tindak pidana tidaklah sama dengan orang dewasa sebagai pelaku tindak pidana, ketentuan hukum mengenai anak-anak khususnya bagi anak yang melakukan tindak pidana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor. 39 Tahun 1997 56 Peter Salim, Salim Ninth Collegiate English Indonesia Dictionary, cet 3, (Yogyakarta, Modern English Press, 1987), hlm. 321. tentang Pengadilan anak, baik pembedaan perlakuan di dalam hukum acara maupun ancaman pidananya.

  Penerapan Undang-Undang ini dimaksudkan untuk lebih memberikan perlindungan dan pengayoman terhadap anak demi masa depannya yang masih panjang, dan pembedaan perlakuan antara pelaku tindak pidana anak dengan dewasa juga dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada anak agar setelah melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia

   yang lebih baik yang berguna bagi diri, keluarga , masyarakat, dan Negara.

  Data dari Direktorat jenderal Pemasyarakatan tentang Kondisi Anak Pelaku

   Tindak Pidana saat ini antara lain sebagai berikut: 1.

  Lebih dari 7.000 anak sebagai pelaku tindak pidana masuk proses peradilan setiap tahun

  2. Bulan Juli 2010 terdapat 6.273 anak yang berada di Tahanan dan lapas di seluruh Indonesia, terdiri dari 3.076 anak dengan status tahanan, 3.197 Narapidana dan 56 Anak negara .

  3. Dari 6.273 anak tersebut diatas , 2.357anak ditempatkan di Lapas Anak, sedangkan sisanya sebanyak 3.916 anak ditempatkan di Lapas Dewasa .

  4.

  5 (lima) Jenis tindak pidana yang paling dominan dilakukan anak yaitu : Pencurian , Narkotika Susila ,dan penganiayaan dan pengeroyokan

  Peradilan anak ada hakikatnya diselenggarakan dengan tujuan untuk mendidik kembali dan memperbaiki sikap juga perilaku anak sehingga ia dapat meninggalkan

   perilaku buruk yang selama ini telah dilakukannya.

  Sistem pemidanaan yang berlaku saat ini di Indonesia tampaknya hanya fokus kepada pemidanaannya saja tanpa memperhatikan bagaimana merubah si anak tersebut menjadi lebih baik. 57 58 Wagiati, Op.cit,hlm. 29 Apong, Penanganan Anak yang bermasalah dengan hukum,

  2012 di akses pada tanggal 12/02/2014 59 Maidin Perlindungan Hukum terhadap anak dalam sistem peradilan pidana anak diindonesia , Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm.77

  Data yang ditemukan KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) pada tahun 2011:

   1.

  Lapas Klas II Anak Medan Sumut, tanggal 30 Maret 2011,ada 71 Anak yang telah di vonis hakim PN Medan tetapi belum menerima petikan putusan (Extract Vonnis) dan masa tahanan telah habis.

  2. Rutan Pondok Bambu Tanggal 14 Maret 2011, Pada tanggal 11 Maret 2011, tercatat ada 20 Anak yang belum menerima petikan putusan maupun salinan putusan pengadilan, padahal hakim sudah memutus perkara tersebut antara 6 Desember 2010 -28 Februari 2011 3. Rutan Pondok Bambu Tanggal 1 Desember 2011, Ada 126 orang (anak laki-laki, anak perempuan dan perempuan dewasa) belum menerima extract vonis 4. Ada 162 orang ada putusan tapi belum dilengkapi surat perintah pelaksanaan putusan (P-48) dan Berita Acara Pelaksanaan eksekusi oleh

  Jaksa (BA-8) . Keadaan dimana anak adalah generasi penerus yang diharapkan kelak dan kemungkinan masih dapat dibimbing lagi karena masih dalam tahap perkembangan, maka patutlah untuk seterusnya negara mengubah paradigma dalam penangan anak berhadapan dengan hukum atau anak pelaku tindak pidana.

  Komisi Perlindungan anak Indonesia merekomendasi perubahan paradigma dalam penangan anak berhadapan dengan hukum antara lain:

   1.

  Penyelesaian kasus ABH/Peradilan pidanaAnak harus merupakan bagian dari perlindungan anak dan merupakan bagian integral proses pembangunan nasional.

  2. Perlindungan ABH harus merupakan keseluruhan proses, dimulai dari pencegahan, penyelesaian kasus, program rehabilitasi dan reintegrasi ABH ke Masyarakat.

  3. Anak, karena karakteristiknya (belum matang baik secara fisik maupun psikis), memerlukan perlindungan dan penanganan hukum yang khusus dibandingkan dengan orang dewasa 4. Kewajiban negara, masyarakat dan keluarga untuk melindungi anak.

  Komite Pemerintah dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) sejalan dengan itu telah membahas revisi UU Pengadilan anak dengan substansi penting :

   60 Apong,Op.Cit 61 Ibid 62 Ibid

  1. Penyelesaian perkara anak dilakukan dengan pendekatan keadilan restoratif

  2. Dalam penyelesaian perkara anak dimungkinkan adanya proses pengalihan dari proses formal (diversi)

3. Perampasan kemerdekaan sebagai upaya terakhir.

  Substansi dan hal penting tersebut dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor

  11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang diharapkan akan mewujudkan sistem peradilan yang lebih spesifik dan sebagai penyempurnaan dan penanggulangan hambatan- hambatan yang dirasakan pada peraturan sebelumnya dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Hal-hal baru yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak, diantaranya definisi anak, lembaga-lembaga anak, asas-asas, sanksi pidana, ketentuan pidana.

  Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 dalam Pasal 1 menyebutkan sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai dari tahap penyidikan sampai tahap pembimbingan setelah menjalani pidana, keseluruhan proses tersebutlah yang menyatu menjadi sistem peradilan pidana anak.

  Pelaksanaan proses hukum terhadap pelaku tindak pidana berada dalam satu sistem yang terdiri dari subsistem yang saling berhubungan yang disebut dengan

   peradilan pidana atau dalam bahasa inggris criminal justice system.

63 Marlina. Peradilan Pidana Anak di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan restorative

  justice , Refika Aditama, Medan, 2009, hlm 5

  Mardjono Reksodiputro mengartikan sistem peradilan pidana merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah keajahatan, bertujuan mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi dan menyelesaikan sebagian besar laporan ataupun keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dengan mengajukan pelaku kejahatan ke sidang pengadilan untuk diputus bersalah serta mendapat pidana kemudian mencegah

   terjadinya korban kejahatan dan mencegah pelaku mengulangi perbuatannya.

  Sistem Peradilan Pidana Anak meliputi segala aktivitas pemeriksaan dan pemutusan perkara pidana yang menyangkut anak, menekankan atau memusatkan perhatian pada “kepentingan anak”, Sistem peradilan Pidana Anak adalah sistem pengendalian kenakalan anak yang terdiri dari lembaga-lembaga yang menangani Penyidikan anak, penuntutan anak, pengadilan anak,

   pemasyarakatan anak.

  Istilah sistem peradilan pidana atau criminal justice system (CJS) menurut davies menggambarkan the world system converts an impression of a complect

  to end , artinya kata sistem menunjukkan adanya suatu kesan dari objek yang

  kompleks terdiri dari bagian-bagian dan sub-sub bagian dengan bagian lainnya saling berhubungan satu sama lain dan berjalan sampai akhir. Berdasarkan pengertian tersebut jelas bahwa tujuan CJS terwujud apabila keempat instansi yang terkait yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan bekerjasama secara terpadu (integrated Criminal

66 Justice Administrasion).

  Sistem peradilan pidana terdiri dari 4 (empat) komponen yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Keempat komponen tersebut bekerjasama dalam menegakkan keadilan. Tahapan dalam proses peradilan pidana yaitu tahap prajudikasi (sebelum sidang peradilan), meliputi penyidikan dan penyelidikan, judikasi (selama sidang peradilan) meliputi pemeriksaan dan pembuktian tuntutan pihak jaksa dan pascajudikasi (setelah sidang peradilan) meliputi

  64 65 Ibid 66 Ibid , hlm. 70 Ibid , hlm.7

  pelaksanaan keputusan yang telah ditetapkan dalam persidangan seperti penempatan terpidana kedalam lembaga pemasyarakatan.

  Peraturan-peraturan minimum Standar Perserikatan Bangsa- Bangsa mengatur mengenai Administrasi Peradilan bagi Anak ( United NationsStandard Minimum

  Rules for the Administration of Juvenile Justice (TheBejing Rules))

  Bagian satu : Prinsip-prinsip Umum Butir 5. Tujuan-tujuan Peradilan Anak

  5.1. Sistem peradilan bagi anak akan mengutamakan kesejahteraan anak dan akan memastikan bahwa reaksi apapun terhadap pelanggar-pelanggar hukum berusia anak akan selalu sepadan dengan keadaan-keadaan baik pada pelanggar- pelanggar hukumnya maupun pelanggaran hukumnya.

  Butir 6. Ruang lingkup kebebasan membuat keputusan

  6.1. Mengingat kebutuhan-kebutuhan khusus yang beragam dari anak anak maupun keragaman langkah-langkah yang tersedia, ruang lingkup yang memadai bagi kebebasan untuk membuat keputusan akan diizinkan pada seluruh tahap proses peradilan dan pada tahap tahap berbeda dari administrasi peradilan bagi anak, termasuk pengusutan, penuntutan, pengambilan keputusan dan pengaturan- pengaturan lanjutannya.

  Butir 7. Hak-hak anak

  7.1. Langkah-langkah pelindung prosedural yang mendasar seperti praduga tak bersalah, hak diberitahu akan tuntutan-tuntutan terhadapnya, hak untuk tetap diam, hak akan pengacara, hak akan kehadiran orang tua wali, hak untuk menghadapi dan memeriksa silang saksi-saksi dan hak untuk naik banding ke pihak berwenang yang lebih tinggi akan dijamin pada seluruh tahap proses peradilan. Perlindungan hukum terhadap anak menyangkut semua aturan hukum yang berlaku, hal ini perlu mengingat bahwa anak adalah bagian dari masyarakat yang mempunyai keterbatasan secara fisik dan mentalnya oleh karenanya anak

   memerlukan perlindungan dan perawatan khusus.

  Perlindungan hukum tersebut tidak terkecuali bagi anak yang melakukan tindak pidana, dalam sistem hukum khususnya peradilan pidana anak juga telah menjadi perhatian penting dengan adanya sistem yang edukatif atau mendidik khusus untuk anak, perkembangan sistem yang edukatif ini tak terlepas dari konsep diversi dan restorative justice.

  Konsep diversi dan restorative tersebut merupakan hal baru di Indonesia, awalnya konsep diversi muncul dalam wacana-wacana seminar yang sering diadakan. Berawal dari pengertian dan pemahaman tentang konsep itu menumbuhkan semangat dan keinginan untuk mengkaji konsep tersebut, selanjutnya secara intern kelembagaan yang terlibat dalam sistem peradilan pidana anak tersebut masing-masing membicarakan kembali tentang konsep

   tersebut dalam memberikan perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana.

  Sistem pemidanaan yang bersifat mendidik (edukatif), tidak hanya menekankan dari segi pemidanaannya saja namun lebih kepada bagaimana caranya agar seorang anak itu bisa dirubah perilakunya menjadi lebih baik dan tidak akan mengulangi tindakannya tersebut tanpa harus diberikan sanksi badan atau penjara, memungkinkan dapat tercapainya tujuan dari pembuatan peraturan

  

67 yang mengatur tentang anak tersebut. 68 Ibid, hlm.42 69 Marlina, Op.cit Novie amalia, Op.cit

  Salah satu contoh sanksi pidana yang bersifat edukatif adalah pemberian sanksi pidana yang tidak hanya dikembalikan kepada orang tua / wali atau lingkungannya saja namun sanksi pidana tersebut sifatnya juga mendidik misalnya dimasukkan ke pondok pesantren bagi pelaku tindak pidana yang beragama Islam, atau diberikan kepada gereja bagi yang beragama nasrani, dan lembaga keagamaan lainnya yang sesuai dengan agama yang dipeluk atau

   dianutnya.

70 Ibid

  B. Perumusan Masalah

  Berdasarkan uraian Latar Belakang diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

  1. Bagaimana proses penanganan yang edukatif terhadap anak pelaku tindak pidana pada tahap prajudikasi, judikasi, dan pasca judikasi?

  2. Bagaimana konsep diversi dan restorative justice pada sistem peradilan pidana anak?

  3. Apa hambatan yang ada dalam mewujudkan sistem peradilan anak yang edukatif, dan bagaimana upaya mengatasi hambatan tersebut?

  C. Keaslian Penulisan

  Berdasarkan penelitian dan penulusuran yang telah dilakukan, baik terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan khususnya di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara belum ada penelitian menyangkut masalah “Sistem Peradilan Pidana Yang Edukatif terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana (Studi di Kabupaten Simalungun)”. Beberapa skripsi ada membahas tentang “sistem pemidanaan yang edukatif” namun di dalam penelitian penulis yang dibicarakan adalah sistem peradilan yang edukatif dengan tempat penelitian kabupaten simalungun sehingga permasalahan yang dibahas tidaklah sama.

  Penelitian ini betul asli dari segi substansi maupun dari segi permasalahan sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

  D. Tujuan Penelitian

  Adapun tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

  1. Untuk mengetahui bagaimana proses penanganan yang edukatif terhadap anak pelaku tindak pidana pada tahap prajudikasi, judikasi dan pasca judikasi.

  2. Untuk mengetahui penerapan konsep diversi dan restorative justice pada sistem peradilan pidana anak.

  3. Untuk mengetahui apa saja hambatan yang ada dalam mewujudkan sisitem peradilan yang edukatif, dan upaya mengatasi hambatan tersebut.

  E. Manfaat Penelitian

  Adapun manfaat yang didapat dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

  1. Manfaat dari segi teoritis sebagai suatu bentuk penambahan literatur di bidang hukum acara pidana khususnya dalam hal pelaksanaan sistem peradilan yang edukatif terhadap anak pelaku tindak pidana

  2. Manfaat dari segi praktis sebagai suatu bentuk sumbangan pemikiran dan masukan para pihak yang berkepentingan sehingga dapat dicapainya suatu kepastian hukum dalam bidang implementasi peraturan tentang anak.

F. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Sistem Peradilan Pidana Anak

  Peradilan secara Yuridis merupakan kekuasaan kehakiman yang berbentuk badan peradilan, dalam peradilan terkait beberapa lembaga yaitu : kejaksaan, kepolisian, kehakiman, lembaga pemasyarakatan, bantuan hukum, dalam mewujudkan perlindungan dan keadilan bagi setiap warga Negara.

   Sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan dari lembaga-

  lembaga tersebut, yang diharapkan bekerjasama membentuk suatu “integrated

  

criminal justice administrasion ” dan merupakan implementasi atau aplikasi dari

kekuasaan kehakiman dibidang peradilan pidana.

   Sistem Peradilan Pidana Anak meliputi segala aktivitas pemeriksaan dan

  pemutusan perkara pidana yang menyangkut anak, menekankan atau memusatkan perhatian pada “kepentingan anak”.Sistem peradilan Pidana Anak adalah sistem pengendalian kenakalan anak yang terdiri dari lembaga-lembaga yang menangani Penyidikan anak, penuntutan anak, pengadilan anak, pemasyarakatan anak.

73 Penyelidikan berarti serangkaian tindakan mencari dan menemukan suatu

  keadaan atau peristiwa yang berhubungan dengan kejahatandan pelanggaran tindak pidana atau yang diduga sebagai perbuatan tindak pidana.

  

  71 Maidin,Loc.Cit., hlm.66 72 Ibid , hlm.67 yang dikutip dari Marjono Reksodiputro, “Sistem peradilan Pidana Indonesia (melihat kepada kejahatan dan penegakan hukum dalam batas-batas toleransi)” . Pidato pengukuhan Penerimaan jabatan guru besar tetap dalam ilmu hukum pada fakultas hukum Universitas Indonesia, 1993 hlm.1 73 Ibid , hlm. 70 74 M. Yahya, (2003), Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta : Sinar Grafika, hlm.101

  Pencarian dan usaha menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, bermaksud untuk menentukan sikap pejabat penyelidik, apakah peristiwa yang ditemukan dapat dilakukan “penyidikan” atau tidak sesuai dengan cara yang

  

  diatur oleh KUHAP (Pasal 1 butir 5) Penyidikan merupakan tindakan tahap pertama permulaan dari penyidikan, penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi guna

   menemukan tersangkanya.

  Pasal 1 butir 1 dan 2, merumuskan pengertian penyidikan yang di lakukan oleh penyidik yaitu pejabat Polri atau pejabat pegawai negeri tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.

  Dua penjelasan tersebut hampir tidak ada perbedaan makna keduanya, hanya bersifat gradual saja, antara penyidikan dan penyelidikan adalah dua fase tindakanyang berwujud satu, keduanya saling mengisi guna dapat menyelesaikan

   pemeriksaan suatu peristiwa pidana.

  Pengertian penyelidikan dan penyidikan walaupun hampir tidak ada

  

  perbedaannya, namun ditinjau dari beberapa segi terdapat beberapa perbedaan: a.

  Dari segi pejabat pelaksana, penyelidik terdiri dari semua anggota Polri, pada dasarnya pangkat dan wewenangnya berada dibawah pengawasan penyidik, b. Wewenang terbatas, hanya dalam hal-hal mendapat perintah dari pejabat penyidik barulah penyelidik melakukan tindakan yang disebut pasal 5 ayat

  1 (satu) huruf b (penangkapan, larangan meninggalkan tempat, 75 penggeledahan, penyitaan, dan sebagainya. 76 Ibid. 77 Pasal 1 Ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 78 M. Yahya,Op.cit, Hlm. 109

  Ibid Pengertian Penangkapan dalam pasal 1 butir 20 dijelaskan penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

   Penangkapan diperlukan agar pelaku tindak pidana tidak melarikan diri atau

  menghilangkan barang bukti yang dapat memberatkan dirinya, walaupun penangkapan adalah wewenang dari penyidik bukan berarti penyidik dapat menagkap sesorang dengan sesuka hati.

80 Penahanan merupakan salah satu bentuk perampasan kemerdekaan bergerak

  seseorang, jadi penahanan adalah suatu kewenangan penyidik yang sangat

  Pasal 17 KUHAP menetukan syarat penangkapan adalah Tindakan penangkapan baru dapat dilakukan oleh seorang penyidik apabila sesorang itu : ‘diduga keras melakukan tindak pidana dan dugaan itu di sertai permulaan bukti yang cukup’. Adanya bukti permulaan yang cukup dan atas dasar bukti permulaan yang cukup itulah sesorang yang diduga keras melakukan tindak pidana dapat ditangkap, agar tidak terjadi kekeliruan dalam penangkapan.

  Penjelasan pasal 1 butir 21 KUHAP : “Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta cara yang diatur oleh undang-undang”.

  79 M. Yahya, Ibid, hlm.157 80 Mahmud Mulyadi, Kepolisian dalam sistem peradilan pidana, USU Press,Medan, 2009, hlm.

  19 bertentangan dengan hak asai manusia, sehingga penyidik haruslah berhati – hati

   untuk menahan sesorang.

  Penahanan seharusnya dilakukan jika perlu sekali, karena kekeliruan dalam penahan dapat menimbulkan hal-hal fatal bagi penahanan. Dalam KUHAP diatur

   tentang ganti rugi dalam pasal 95 disamping dapat dilakukannya praperadilan.

2. Pengertian Sistem Peradilan yang edukatif menurut Undang- undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

  Anak bukanlah mimiatur orang dewasa, anak sebagai pelaku bukanlah sebagai

   pelaku murni akan tetapi juga sebagai korban.

  Numerous studies show that one of the most effective ways to help young people in juvenile justice get back on track is by advancing their educational skills, according to the National Center on Education, Juvenile Justice, and Disability. Reconnecting these kids to school has been shown to reduce recidivism. But the quality and even the availability of basic educational services in juvenile justice settings is spotty at best.

  "Tragically, some of the kids who need the best options are the ones who get the worst alternatives," says David Domenici, co-founder of Maya Angelou and executive director of the See Forever Foundation. "Kids who are already behind, have quit or been pushed out of school, or are in a confined facility need the most support to move out of poverty and low education [performance] and into college. They end up in schools that don't

  

work well and it tracks them right back into an unhealthy situation," he says.

  (Sejumlah penelitian menunjukkan bahwasalah satu carayang paling efektifuntuk membantu kaum mudadalamperadilan anakkembali ke jaluradalahdenganmemajukanketerampilanpendidikan mereka, menurut 81 82 Ibid, hlm. 20 83 M. Yahya, Opcit, hlm. 164 84 Dewi , Proses diversi dalam SPPA diIndonesia, Expert Consultation meeting, Bali, 2013

Caitlin Johnson, SparkAction (at press time, Connect for Kids) , Education : the key to the

  future for kids in juvenile justice , January 9, 2006 diakses pada tanggal 5 april 2014

  National Center on Education, Juvenile Justice, and Disability , menghubungkan

  kembalianak-anak inike sekolahtelahterbukti mengurangiresidivisme, tapikualitasdan bahkanketersediaanpelayanan dasar pendidikandalampengaturanperadilan anak adalah di titik terabaik. "Tragisnya, beberapaanak-anak yangmemerlukan opsi-opsiterbaikadalah orang- orangyang mendapatkanalternatifterburuk," kata DavidDomenici, co-pendiri MayaAngeloudandirektur eksekutif dariSeeForever Foundation. "Anak-anakyangsudah tertinggal, telahberhenti atautelah keluar darisekolah, ataudi fasilitasterbataspalingmembutuhkandukunganuntukkeluar dari kemiskinandanpendidikan yang rendah[kinerja] danke perguruan tinggi. Mereka akhirnyadi sekolah-sekolahyang tidakbekerja dengan baikdanitu menjadi jalanmerekasegera kembali kesituasi yang tidak sehat, "katanya.) Sistem peradilan pidana menuru Romli Asasmitaapabila dipandang sebagai bagian dari pelaksanaan social defence yang terkait dalam tujuan mewujudkan kesejahteraan masyarakat maka dalam sistem peradilan terkandung aspek sosial yang

  

  menitik beratkan kepada kegunaan (ekspediensy) Sistem pemidanaan edukatif merupakan suatu sistem dimana anak sebagai pelaku tindak pidana tidak hanya diberikan suatu sanksi berupa pemidanaan semata, namun diberikan suatu tindakan (treatment) yang memposisikan anak bukan sebagai pelaku kejahatan layaknya orang dewasa tetapi merupakan individu yang belum dewasa, yang membutuhkan bimbingan moral, mental dan

   spiritualnya agar menjadi calon individu dewasa yang lebih baik.

  Sejalan dengan itu sistem pemidanaan yang bersifat mendidik (edukatif), tidak hanya menekankan dari segi pemidanaannya saja namun lebih kepada bagaimana caranya agar seorang anak itu bisa dirubah perilakunya menjadi lebih baik dan tidak akan mengulangi tindakannya tersebut tanpa harus diberikan sanksi badan atau penjara, memungkinkan dapat tercapainya tujuan

   85 dari pembuatan peraturan yang mengatur tentang anak tersebut.

  Tolib Efenndi, Sistem Peradilan pidana : perbandingan komponen dan proses peradilan pidana di beberapa negara ,Pustaka Yustisia, Jakarta, 2013. Hlm. 12 86 Novie Amalia Nugraheni, “Sistem pemidanaan yang edukatif terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana”,( Thesis, Magister ilmu hukum UNDIP,2009). Hlm 20 87 Novie,Ibid Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan pidana anak yang telah mengatur Konsep diversi dan keadilan restoratif. menurut UU Sistem peradilan pidana anak tersebut Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses

   peradilan pidana ke proses diluar peradilan pidana.

  Keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan

   kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.

3. Pengertian Anak

  Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, "Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun) termasuk anak yang masih dalam kandungan".Pasal 1 KHA / Keppres No.36 Tahun 1990, "Anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi yang ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal".

  Pasal 1 Ayat (5) Undang-undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, "Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya". 88 89 Pasal 1 ayat 7 UU No. 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak Pasal 1 ayat 6, Ibid.

  Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, memberi batasan yang berbeda antara anak perempuan dengan anak laki-laki, yakni anak perempuan berumur 16 tahun dan anak laki-laki berumur 19 tahun.

  Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Pasal 1 Ayat (2) menyebutkan bahwa: “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.”

  Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Pasal 1 angka (1), menyebutkan: “Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”.

  Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,

  Pasal 1 Ayat 3 menyebutkan “Anak yang berkonflik dengan Hukum selanjutnya disebut anak adalah anak yangtelah berumur 12 (dua belas) tahun tapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

  Undang-undang No. 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO tentang Batas Usia Minimum Anak Bekerja, adalah 15 (lima belas) tahun.

  Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) memberi batasan mengenai pengertian anak atau orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun; seperti yang dinyatakan dalam Pasal 330 yang berbunyi: “belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu kawin”.

  Hukum Islam dan Hukum Adat menentukan seorang masih anak-anak atau sudah dewasa bukan dari usia anak. Hal ini karena masing-masing anak berbeda usia

   untuk mencapai tingkat kedewasaan.

  Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia serta Undang-undang tentang Perlindungan Anak sendiri ditetapkan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan, dan belum pernah menikah.

  Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa batas bawah usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban pidana adalah 12 tahun. Sebelum putusan ini, menurut UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, anak yang berusia 8 hingga 18 tahun dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara pidana.

  Sidang uji materi Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa batas bawah usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban hukum adalah 12 tahun.

  Sebelumnya, anak yang berusia 8 - 18 tahun diberikan tanggungjawab pidana sesuai dengan pasal 1 angka 1, pasal 4 ayat 1 dan pasal 5 ayat 1 UU No 3/1997 Tentang Pengadilan Anak. Pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945.

90 Marlina, Op.cit, hlm.34

  Mengenai batas usia anak untuk dapat dituntut pertanggungjawaban pidananya, MK berdasarkamenaikkan batasminimal usia anak yang dapat dituntut pertanggung jawaban pidana menjadi 12

91 Tahun.

  Saat ini dalam UU Sistem Peradilan Anak yang baru ini mengatur beberapa hal penting dan salah satunya adalah batasan usia pertanggungjawaban pidana yaitu 12 tahun sampai 18 tahun serta batasan usia anak dapat dikenakan penahanan yaitu 14 tahun sampai 18 tahun (Pasal 32 ayat [2] RUU Sistem Peradilan

   Anak).

  4. Pengertian Kenakalan Anak

  Kenakalan anak sering disebut dengan “juvenile delinquency”, yang diartikan dengan anak cacat social. Istilah delinkuen berasal dari delinquency, yang diartikan

   dengan kenakalan anak, kenakalan remaja, kenakalan pemuda dan delinkuensi.

  merupakan perbuatan pelanggaran norma-norma baik seperti norma hukum maupun norma sosial. Paul Moedikdo, SH mengartikan

  

  adalah : 1.

  Semua perbuatan yang dari orang dewasa merupakan suatu kejahatan bagi anak-anak merupakan kenakalan jadi semua yang dilarang oleh hukum pidana, seperti mencuri, menganiaya dan sebagainya.

  2. Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu untuk menimbulkan keonaran dalam masyarakat.

  3. Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi sosial.

  91 Ilman, Penerapan pidana penjara bagi anak, diakses pada tanggal 5 April 2014 92 93 Ibid 94 Marlina, Op.cit, hlm.37 Haryanto, kenakalan anak wujud kepribadian dan kreatifitas, diakses pada tanggal 5 April 2014.

  Ada banyak hukuman edukatif yang bisa diterapkan khususnya pada anak yang

  

  melakukan kesalahan ringan, diantaranya adalah: 1.

  Menampakkan wajah masam Wajah masam yang diperlihatkan oleh orang tua maupun gurunya bisa menjadi hukuman baginya, saat anak melihat perubahan ekspresi wajah kita dengan sendirinya anak akan menyadari jika yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan yang harus diperbaikinya.

  2. Memberikan time out Maksud dari memberikan time out adalah dengan menyuruh si anak untuk berpisah dari kelompoknya, menyuruhnya duduk atau berdiri di suatu ruangan tertentu dalam waktu tertentu untuk merenungi kesalahannya. Hukuman ini cocok untuk anak yang melakukan kesalahan terkait sopan santun baik kepada guru, orang tua, maupun kepada teman sebayanya.

  3. Memberi anak tugas bersih-bersih Saat di sekolah bisa menyuruh anak untuk membersihkan papan tulis, menyapu kelas sebelum pulang sekolah, atau tugas kebersihan lainnya.

  Saat di rumah, hukuman bisa diberikan dengan menyuruhnya merapikan kamar atau meja belajarnya, menyuruhnya membantu tugas ibu membersihkan rumah. Selain memberikan efek jera, hukuman ini juga bisa mengajarkan tanggungjawab terhadap kebersihan lingkungan kepada si anak.

  4. Menyuruh anak meminta maaf kepada orang yang disakitinya ketika anak melakukan kesalahan kepada orang lain maka salah satu hukuman yang bisa berikan kepada si anak adalah dengan menyuruhnya meminta maaf kepada orang yang bersangkutan. Dengan menyuruhnya meminta maaf itu sama dengan kita mengajarkan anak untuk bertanggungjawab atas segala perbuatannya.

  5. Menyuruh anak berjanji untuk tidak mengulanginya salah satu tujuan diberikannya hukuman kepada anak adalah agar anak tidak mengulangi perbuatannya. Hukuman semacam ini memiliki banyak manfaat, salah satunya adalah melatih anak untuk berlaku jujur, amanah, dan konsisten untuk menepati janjinya.

  6. Menyuruh anak membantu pekerjaan kita salah satu hukuman yang edukatif adalah dengan menyuruh anak membantu pekerjaan kita, jika di rumah si anak bisa diminta untuk mengerjakan beberapa pekerjaan ringan seperti menyapu lantai, membuang sampah, dan lain sebagainya, jika di sekolah, anak bisa diminta untuk membagikan buku kepada siswa lain, menghapus papan tulis dan tugas lainnya

  7. 95 Menyuruh anak membaca buku dan menceritakan isinya

  

Aka, Memberikan anak hukuman edukatif, diakses pada tanggal 5 april 2014 menyuruh anak membaca buku adalah salah satu jenis hukuman edukatif yang cukup banyak disarankan oleh para pakar pendidikan dibanding dengan memarahi atau memukulnya.

  8. Menyuruh anak menghafal salah satu hukuman edukatif lainnya adalah menyuruh anak menghafal terkait pelajaran yang ia pelajari. Misalnya anak diminta menghafal perkalian atau menghafal surat pendek dalam Alqur’an. Hukuman ini akan sangat bermanfaat untuk mengasah daya ingat, melatih konsentrasi, dan banyak manfaat lainnya.

  9. Menyuruh anak menulis menulis merupakan kegiatan yang sangat baik dibiasakan sejak kecil.

  Dengan menulis, anak dilatih untuk bisa mentransfer apa yang ada dalam pikiran mereka dalam bentuk tulisan.

  10. Mengurangi jatah waktu bermain Dengan mengurangi jatah waktu bermainnya, diharapkan dapat memberikan efek jera kepada anak dan tidak mengulangi kesalahannya tersebut.

  Mengurangi jatah bermain anak harus dilakukan dengan mengalihkannya kepada kegiatan positif lainnya.

  Delikuensi dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai tingkah laku yang menyalahi secara ringan norma dan hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat.

  Badan Koordinasi penanggulangan Kenakalan Remaja dan penyalahgunaan Narkotika Sumatera Utara dalam Makalah “Pola penanggulangan Kenakalan Remaja” Kenakalan remaja adalah terjemahan dari Kata “juvenile delinquency” dan dirumuskan sebagai suatu kelainan tingkah laku, perbuatan ataupun tindakan remaja yang bersifat asocial, bertentangan dengan agama, dan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dalam masyarakat.

   Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak, pasal 1 angka

  2 menentukan bahwa anak nakal adalah : Istilah yang lazim digunakan adalah kejahatan anak dan adapula yang menggunakan istilah kenakalan remaja.

   1.

  Anak yang melakukan tindak pidana 96 Maidin, Op.Cit., hlm.56 97 Pasal 1 angka 2, UU 3 Tahun 1997 Pengadilan Anak

  2. Anak yang melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang- undangan maupun menurut peraturan lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

  Dua pengertian anak nakal tersebut diatas yang dapat diselesaikan melalui jalur hukum adalah pengertian anak nakal menurut poin a, yaitu anak yang melakukan tindak pidana. KUHP tidak mengenal istilah anak nakal dari pengertian huruf b,

   karena KUHP mengatur tentang tindak pidana .

  Pasal tersebut dalam penjelasannya tidak memberi penjelasan lebih lanjut, secara umum dari pasal tersebut dapat diartikan kenakalan sebagai salah satu tingkah laku anak yang menimbulkan persoalan bagi orang lain.

  Perumusan tersebut masih dianggap terlalu luas dan masih bisa dipersempit menjadi dua macam sifat kenakalan berdasarkan ringan atau beratnya akibat

  

  yang ditimbulkan yaitu; 1.

  Kenakalan semu, merupakan kenakalan yang tidak dianggap kenakalan bagi pihak ketiga kecuali orang tua mereka, dianggap masih dalam batas kewajaran dan nilai moral.

  2. Kenakalan nyata, adalah tingkah laku anak yang dianggap melanggar nilai social dan nilai moral, sehingga dapat merugikan dirinya sendiri dan orang lain.

  98 99 Maidin, Opcit, hlm.57 Nandang , Pembaruan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010 hlm. 209

  Adapun gejala-gejala yang dapat memperlihatkan hal-hal yang mengarah kepada kenakalan Anak : 1.

  Anak-anak yang tidak disukai oleh teman-temannya sehingga anak tersebut menyendiri. Anak yang demikian akan dapat menyebabkan kegoncangan emosi.

  2. Anak-anak yang sering menghindarkan diri dari tanggung jawab di rumah atau di sekolah. Menghindarkan diri dari tanggung jawab biasanya karena anak tidak menyukai pekerjaan yang ditugaskan pada mereka sehingga mereka menjauhkan diri dari padanya dan mencari kesibukan-kesibukan lain yang tidak terbimbing.

  3. Anak-anak yang sering mengeluh dalam arti bahwa mereka mengalami masalah yang oleh dia sendiri tidak sanggup mencari permasalahannya. Anak seperti ini sering terbawa kepada kegoncangan emosi.

  4. Anak-anak yang mengalami phobia dan gelisah dalam melewati batas yang berbeda dengan ketakutan anal-anak normal.

  5. Anak-anak yang suka berbohong.

  6. Anak-anak yang suka menyakiti atau mengganggu teman-temannya di sekolah atau di rumah.

  7. Anak-anak yang menyangka bahwa semua guru mereka bersikap tidak baik terhadap mereka dan sengaja menghambat mereka.

  8. Anak-anak yang tidak sanggup memusatkan perhatian.

  yang paling dominan mengendalikan adalah dari keluarga, karena merupakan lingkungan yang paling pertama ditemui seorang anak.

  Menghadapi pihak orang tua kehendaknya dapat mengambil

  

  dua sikap bicara yaitu : 1.

  Sikap/cara yang bersifat preventif yaitu perbuatan/tindakan orang tua terhadap anak yang bertujuan untuk menjauhkan si anak daripada perbuatan buruk atau dari lingkungan pergaulan yang buruk. Dalam hat sikap yang bersifat preventif, pihak orang tua dapat memberikan/mengadakan tindakan sebagai berikut :

  a) Menanamkan rasa disiplin dari ayah terhadap anak.

  

b) Memberikan pengawasan dan perlindungan terhadap anak oleh ibu.

  c) Pencurahan kasih sayang dari kedua orang tua terhadap anak.

  d)

  Menjaga agar tetap terdapat suatu hubungan yang bersifat intim dalam satu ikatan keluarga.

  e)

  agama untuk meletakkan dasar moral yang baik

  f) Penyaluran bakat si anak ke arab pekerjaan yang berguna dan produktif, supaya kepribadian dan kreatifitas anak terasah.

  g) Rekreasi yang sehat sesuai dengan kebutuhan jiwa anak.

  h) 100 Pengawasan atas lingkungan pergaulan anak sebaik-baiknya. 101 Haryanto, Op.cit Ibid

  2. Sikap/cara yang bersifat represif yaitu pihak orang tua hendaknya ikut serta secara aktif dalam kegiatan sosial yang bertujuan untuk menanggulangi masalah kenakalan anak seperti menjadi anggota badan kesejahteraan keluarga dan anak, ikut serta dalam diskusi yang khusus mengenai masalah perlindungan anak-anak. Selain itu pihak orang tua terhadap anak yang bersangkutan dalam perkara kenakalan hendaknya mengambil sikap sebagai berikut :

  a)

  Mengadakan sepenuhnya akan kealpaan yang telah diperbuatnya sehingga menyebabkan anak terjerumus dalam kenakalan anak.

  b) Memahami sepenuhnya akan latar belakang daripada masalah kenakalan yang menimpa anaknya.

  c)

  Meminta bantuan para ahli (psikolog atau petugas sosial) di dalam mengawasihidupan anak, apabila dipandang perlu.

  d) Membuat catatan perkembangan pribadi anak sehari-hari.

G. Metodologi Penelitian

  Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri atas:

1. Jenis Penelitian

  Jenis Penelitian yang dilakukan dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian

  

  Penelitian hukum doktriner atau yuridis normatif, yaitu suatu penelitian yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain. Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif analitis karena penelitian ini diharapkan dapat memperoleh gambaran yang jelas, rinci dan sistematis. Sedangkan dikatakan Analitis karena data yang diperoleh akan dianalisis untuk pemecahan terhadap permasalahan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. 102

  Jhony Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,Surabaya, Bayu media, 2008, hlm. 295

2. Jenis dan Sumber Data

  Adapun jenis data penelitian ini bersumber dari data sekunder yang meliputi:

  a. Bahan Hukum Primer Bahan Hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autorotatif artinya mempunya otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-

   undangan yang diurut berdasarkan hierarki.

  Penelitian ini dipakai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian tentang sistem peradilan pidana anak yang edukatif ini yaitu Undang- undang Pengadilan Anak No. 3 Tahun 1997, dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

  b. Bahan Hukum Sekunder Bahan Hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku- buku teks yang ditulis oleh ahli hukum yang berpengaruh, jurnal- jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi uang berkaitan dengan topik

   penelitian.

  Penelitian ini menggunakan bahan hukum sekunder berupa bacaan yang relevan dengan materi yang diteliti, khususnya tentang peradilan yang edukatif.

  103 104 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, 2006, hlm. 141 Jhony, Op.cit, Hlm. 296 c. Bahan Hukum Tertier Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau

  

  penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder Bahan hukum tertier dengan menggunakan kamus hukum maupun kamus umum dan website internet baik itu melalui Google maupun Yahoo, serta saran ajar tentang penulisan karya ilmiah.

3. Teknik Pengumpulan Data

  Metode Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

  a. Penelitian Kepustakaan (Library Research), Pengumpulan data dari literatur-literatur, karya ilmiah peraturan perundang- undangan, pendapat-pendapat sarjana b. Penelitian Lapangan (Field research)

  Penelitian lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer, data ini diperoleh dengan menggunakan teknik wawancara (interview guide).

  Wawancara dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya.

  105 Ibid

4. Metode Analisa Data

  Penelitian ini dianalisis dengan secara kualitatif, dan dikemukakan dalam bentuk uraian yang sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data dengan memperhatikan fakta-fakta dalam pengaplikasiannya di lapangan yang kemudian dibandingkan dengan teori dalam studi kepustakaan, sebagai cara untuk menarik kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah terkumpul, metode analisa data yang digunakan adalah Normatif Kualitatif. Normatif karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan-peraturan yang ada sebagai norma hukum positif, sedangkan kualitatif maksudnya analisa data yang bertitik tolak pada informasi-informasi yang didapat dari responden untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas, sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.

H. Sistematika Penulisan

  Untuk memberikan gambaran secara kesuluruhan dari skripsi ini penulis akan menguraikan sistematikanya.

  Skripsi ini terdiri dari V Bab yaitu:

Dokumen yang terkait

Sistem Peradilan Pidana yang Edukatif Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana (Studi di Kabupaten Simalungun).

2 76 133

Penerapan Konsep Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

1 56 13

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang Money Laundering

0 0 21

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perkembangan Gratifikasi Sebagai Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

0 0 26

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Hukum Pidana Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan Yang Dilakukan Orangtua Terhadap Anak Kandungnya

1 2 31

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/Pn-Bi)

0 1 20

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan

0 0 23

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 0 16

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum Di Dalam Kuhp (Studi Putusan Ma No. 1914/K/Pid/2012)

0 1 33

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pengaturan Tindak Pidana Narkotika di Indonesia

0 0 20