BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi Orangutan - Perilaku Makan Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson, 1827) Di Stasiun Penelitian Hutan Batang Toru Bagian Barat Tapanuli Utara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Taksonomi Orangutan

  Orangutan termasuk kera besar dari ordo Primata dan famili Homonidae (Groves, 2001), dengan klasifikasi sebagai berikut:

  Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Sub phylum : Vertebrae Kelas : Mamalia Ordo : Primata Famili : Homonidae Genus : Pongo Spesies : Pongo abelii Lesson, 1827 Pongo pygmaeus Linneus, 1760.

  Nama orangutan merujuk pada kata orang (manusia) dan hutan yang berarti "manusia hutan" seperti yang dikemukakan oleh Galdikas & Briggs (1999). Sebelum genus Pongo digunakan, sebutan untuk keluarga kera besar ini dengan nama spesies Ourangus outangus. Nama ini tidak diberlakukan lagi setelah International Commission for Zoological Nomenclature (ICZN) memberikan sebutan Pongo untuk genus keluarga kera besar ini (Mapple, 1980).

  Orangutan termasuk ke dalam anggota primata dan merupakan salah satu jenis kera besar yang masih hidup sampai saat ini. Kegiatan pengklasifikasian yang didasarkan pada perbandingan anatomi dan imunologi memberikan petunjuk bahwa orangutan bersama-sama dengan dua kera besar lainnya, yaitu simpanse dan gorila merupakan kerabat bangsa manusia yang paling dekat dalam dunia hewan. Perkataan orangutan berasal dari bahasa Melayu yang berarti manusia yang hidup di dalam hutan (Sujarno, 2000).

2.2. Morfologi Orangutan Orangutan memiliki postur tubuh mirip dengan keluarga kera besar lainnya.

  Memiliki lengan yang panjang dan kuat, kaki orangutan lebih pendek, tidak memiliki ekor serta rambut berwarna cokelat kemerahan. Beberapa peneliti mengatakan bahwa jenis rambut orangutan dapat dijadikan acuan untuk mengidentifikasi dan membedakan satu individu dengan individu lainnya berdasarkan warna rambut dan alur tumbuhnya rambut (Groves, 1999).

  Perbedaan morfologi orangutan dapat dikenali dari perawakannya, khususnya struktur rambut. Dilihat melalui mikroskop, jenis dari Kalimantan berambut pipih, dengan kolom pigmen hitam tebal di tengah; jenis dari Sumatera berambut lebih tipis, membulat, mempunyai kolom pigmen gelap yang halus dan sering patah di bagian tengahnya, biasanya jelas di dekat ujungnya dan kadang berujung hitam di bagian luarnya (MacKinnon, 1973). Ciri yang kedua, orangutan Kalimantan lebih tegap dan mempunyai kulit dan warna rambut lebih gelap daripada yang ada di Sumatera. Namun perlu diperhatikan bahwa ciri-ciri umum yang membedakan kedua anak jenis ini tidak mudah dilihat di lapangan (Meijard et al. 2001).

  Menurut Supriatna (2000), rambut orangutan Sumatera lebih terang bila dibandingkan orangutan Kalimantan. Warna rambut coklat kekuningan, dan umumnya rambut agak tebal atau panjang. Seperti halnya orangutan Kalimantan, anak yang baru lahir mempunyai kulit muka dan tubuh berwarna pucat, dan rambutnya coklat sangat muda. Menginjak dewasa warnanya akan berubah sesuai dengan perkembangan umur. Jantan dewasa ukuran tubuhnya dua kali lebih besar daripada betina yaitu sekitar 125-150 cm.

  Morfologi dari orangutan itu sendiri baik orangutan Sumatera dan Kalimantan akan terlihat serupa (Gambar 2.1). Akan tetapi, apabila dikenali lebih dalam maka akan terlihat perbedaan antara orangutan Sumatera dan Kalimantan.

  Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus), khususnya bila telah dewasa mengarah kepada warna cokelat kemerah-merahan, sedangkan rambutnya terlihat kasar dan jarang-jarang. Pada orangutan Sumatera (Pongo abelii), biasanya berwarna lebih pucat, khasnya “ginger” (jahe), dan rambutnya lebih lembut dan lemas. Kadang- kadang orangutan Sumatera mempunyai bulu putih pada mukanya, sedangkan pada orangutan Kalimantan tidak ditemukan hal tersebut. Perbedaan ini bukan merupakan sifat yang mantap tetapi dapat digunakan sebagai penuntun kasar (Galdikas, 1986).

  a b c d

Gambar 2.1 Foto Orangutan dari Jenis a) Pongo abelii betina (Batang Toru, YEL- SOCP) b) Pongo abelii jantan (Harahap, 2013) c) Pongo abelii betina (Suaq, sumber Jeef Oonk) d) Pongo pygmaeus

2.3. Perilaku Makan Orangutan

  Orangutan merupakan satwa diurnal dan arboreal. Orangutan dewasa pada umumnya menjalani perilaku yang diawali dari bangun tidur sekitar pukul 06.00 WIB dan tidur kembali sekitar pukul 18.00 WIB. Beberapa saat setelah bangun kegiatan hariannya dimulai dengan mengeluarkan kotoran di luar sarang. Jika di sekitar sarang tercium bau khas kotoran dan urin berarti orangutan telah memulai perilaku hariannya, dan bila terjadi sebaliknya berarti orangutan masih berada di sarangnya. Selanjutnya orangutan akan menuju sumber makanan yang terdekat. Jika pohon tempat bersarang tersebut juga merupakan pohon pakan, maka orangutan akan langsung makan di pohon tersebut. Setelah itu aktivitasnya berkisar antara makan, istirahat, bergerak dan sosial (YEL, 2007).

  Rodman (1979) menyatakan bahwa aktivitas utama orangutan didominasi oleh kegiatan makan kemudian aktivitas istirahat, bermain, berjalan-jalan di antara pepohonan dan membuat sarang. Kegiatan membuat sarang ini umumnya dilakukan dalam persentase waktu yang relatif kecil. Menurut Fakhrurradhi (1998) di Suaq Balimbing, orangutan Sumatera rata-rata dalam satu hari menggunakan waktu 65% untuk melakukan aktivitas makan, 16% untuk bergerak pindah, 17% untuk beristirahat, 1% untuk membuat sarang dan 0,5% untuk aktivitas sosial.

  Orangutan merupakan hewan diurnal, yaitu hewan yang aktif di siang hari (Galdikas, 1984; Rodman, 1977). Selanjutnya dijelaskan bahwa sebagian besar waktu kehidupan orangutan di siang hari (57%) dihabiskan untuk mencari makan sebesar 45.9% dan berpindah tempat sebesar 11,1% dan 43% digunakan untuk istirahat pada malam hari.

  Menurut van Schaik (2006) bahwa kehidupan sehari-hari orangutan semua mengenai makanan. Sebagian besar waktu aktif orangutan dilewati dengan menemukan, memproses, dan memakan makanan, sehingga jadwal kehidupan mereka sehari-hari mudah disimpulkan: makan dan berjalan, berjalan dan makan. Selanjutnya Kuncoro et al. (2008) menyatakan bahwa orangutan merupakan satwa arboreal. Fungsi lain kehidupan arboreal pada orangutan berhubungan dengan ketersediaan pakan yang sesuai. Saat musim buah orangutan banyak beraktivitas pada kanopi tengah dan atas.

  Perubahan produksi buah sangat mempengaruhi perilaku makan orangutan (van Schaik, 2001; Morrogh-Bernard et al. 2009). Hal tersebut dikarenakan orangutan adalah primata frugivorus, yaitu hewan yang makanan utamanya adalah buah (Mackinnon, 1974; Rijksen, 1978; Galdikas, 1986; Rodman, 1999). Pada saat terjadi kelangkaan buah di Gunung Palung, orangutan memilih memakan kambium dari kulit pohon atau liana sebagai makanan alternatif (Knott, 1998). Di Sumatera, orangutan juga terlihat banyak makan daun saat buah langka (Delgado & van Schaik, 2000).

  Buah-buahan yang telah matang, apalagi kalau jumlahnya banyak, merupakan menu utama makanan orangutan. Buah-buahan merupakan sumber energi yang baik, akan tetapi bukan merupakan sumber protein. Kebanyakan diantara para primata menemukan jalan tengah dengan menambah dedaunan muda atau serangga yang dua-duanya kaya akan protein (van Schaik, 2006).

  Perubahan musim hujan dan kemarau dapat mempengaruhi fenologi tumbuhan, khususnya waktu terjadinya pertunasan, perbungaan dan perbuahan yang menggambarkan produktivitas dari tumbuhan. Perubahan waktu berbunga dari tumbuhan tersebut juga dapat mempengaruhi produksi buah yang dimakan oleh orangutan (Suhud & Saleh, 2007).

  Aktifitas harian orangutan dipengaruh oleh musim buah. Pada saat tidak musim buah, orangutan menghabiskan waktunya untuk berjalan dan waktu untuk makan hanya sedikit (MacKinnon, 1974 dalam Rijksen, 1978). MacKinnon juga menemukan perbedaan pola aktifitas harian orangutan sumatera pada saat hari kering dan hari basah. Pada saat hari kering waktunya lebih banyak dihabiskan untuk beristirahat daripada aktifitas makan dan berjalan. Pada saat hari kering orangutan menghabiskan waktunya untuk istirahat sampai tengah hari.

  Perilaku makan yang tinggi sepanjang hari, dan agak menurun pada siang hari karena meningkatnya perilaku istirahat (Kuncoro et al. 2008). Hal ini sedikit berbeda dengan yang di Sungai Wain, yaitu perilaku makannya tinggi, perilaku istirahat sedikit dan perilaku pergerakan juga sedikit (Frederiksson, 1995). Hal tersebut berbeda dengan perilaku orangutan liar di Ulu Segama Sabah dan Sungai Ranun Sumatera (MacKinnon, 1972), Ketambe Sumatera (Rijksen, 1978) serta Mentoko Kutai (Rodman, 1988), karena perilaku makan orangutan banyak terjadi pada pagi dan sore hari, sedangkan siang hari yang banyak dilakukan adalah perilaku istirahat. Frederiksson (1995) menduga hal tersebut terjadi karena perbedaan umur, penelitian pada orangutan liar umumnya umurnya sudah dewasa, sedangkan penelitian pada orangutan rehabilitan umumnya umurnya masih muda.

  Perilaku makan orangutan berbeda-beda di setiap daerah yang dipengaruhi oleh tipe habitat, musim, umur serta jenis kelamin (Mackinnon, 1974). Menurut (Rowe, 1996; Supriatna & Wahyono, 2000) bahwa perbedaan ukuran tubuh orangutan jantan dewasa yang lebih besar daripada betina dewasa serta jarak jelajah harian dan luas daerah teritori orangutan jantan dewasa lebih besar bila dibandingkan dengan betina dewasa mengakibatkan perbedaan perilaku makan antara orangutan jantan dan betina. Menurut Singleton (2000) bahwa pada orangutan betina dewasa, anak juga sangat mempengaruhi dalam perilaku makan, karena kehidupan anak sangat bergantung pada induknya.

  Perubahan produksi buah akan direspon oleh orangutan dan kera besar lainnya, yaitu dengan melakukan perubahan perilaku makan (Meijaard et al. 2001; Yamagiwa, 2001). Perilaku makan termasuk perilaku yang cukup penting dalam kehidupan orangutan karena sebagian besar aktivitas orangutan digunakan untuk mencari, memproses dan memakan makanan (van Schaik, 2006). Dalam pengamatan perilaku makan, orangutan terlihat memiliki daya ingat terhadap perubahan fenologi bunga dan buah yang dimakan (Rijksen, 1978; Utami et al. 1997). Selain itu, orangutan juga memperlihatkan perilaku dalam memilih bagian yang dimakan dari makanannya (van Schaik, 2003; Russon, 2009). Hasil penelitian perilaku makan buah yang dilakukan di Gunung Palung terlihat bahwa orangutan hampir selalu memakan daging buah yang matang, sementara biji biasanya dimakan dari buah yang mentah. Orangutan memilih makan kambium saat terjadi kelangkaan buah (Knott, 1998).

  Orangutan memiliki strategi dalam perilaku makan, yaitu dengan memilih makanan yang tersedia di alam dan menentukan bagian yang dimakan dari suatu jenis makanan. Orangutan akan memilih makan daging buah yang matang dan makan biji yang mentah dari jenis tumbuhan yang sama (van Schaik, 2006). Penelitian perilaku makan orangutan di Tanjung Puting menunjukkan bahwa, orangutan jantan dewasa sering memakan rayap (Galdikas, 1986). Penelitian lain dari Utami & van Hoof (1997) memperlihatkan bahwa orangutan betina dewasa di Ketambe dan Suaq Balimbing secara kebetulan memakan kukang (Nycticebus coucang ).

  Hasil penelitian Harrison (2009) di Sebangau, Kalimantan Tengah menunjukkan perbedaan perilaku makan orangutan jantan dan betina dewasa, disebabkan oleh perbedaan aktivitas harian yang dilakukan. Perbedaan tersebut menurut Knott (1998) disebabkan karena orangutan jantan dewasa memerlukan energi yang lebih banyak daripada betina dewasa. Konsumsi kalori saat buah melimpah dari orangutan jantan dewasa adalah 8422 kkal/hari dan 7404 kkal/hari untuk betina dewasa. Saat buah langka, orangutan jantan dewasa menkonsumsi 3824 kkal/hari dan 1793 kkal/hari untuk betina dewasa. Konsumsi makanan dengan energi yang besar dari orangutan jantan digunakan dalam menjelajah dan mempertahankan daerah teritori, sedangkan orangutan betina dewasa mengkonsumsi makanan dengan kualitas lebih tinggi digunakan untuk kebutuhan pada waktu hamil, menyusui dan merawat anak (Knott, 1988).

  Mencari makanan seharusnya merupakan tantangan berat bagi para orangutan. Di hutan telah tersedia banyak tanaman yang beracun atau berserat tinggi yang mungkin saja bisa dimakan, akan tetapi makanan yang mudah dicerna lagi pula bebas kandungan kimia yang dicari orangutan ini sangat sedikit tersedia. Para orangutan memakan aneka ragam makanan dan menyantap jajaran luas berbagai macam jenis, hanya akan memakan buah yang matang dari jenis yang satu, akan tetapi memakan semua tahap kematangan dari jenis buah berikutnya. Menyobek hingga lepas kulit dari batang pohon dan melumatkan umbi yang penuh zat makanan dan banyak airnya dari epifit. Kebanyakan satwa mengandalkan rasa dan konsistensi makanan untuk menentukan apa saja yang layak dimakan, dan banyak pula diantaranya mungkin akan menghindar dari jenis makanan yang telah membuat mereka sakit setelah mereka pernah mencobanya (van Schaik, 2006).

2.4. Daya Dukung Habitat

  Hutan berfungsi bukan hanya sebagai sumber kehidupan bagi manusia, tetapi juga bagi satwa liar. Hutan telah berperan secara ekologi sebagai sumber air dan hidrologi, penyimpan sumberdaya alam lainnya, pengatur kesuburan tanah dan iklim, serta cadangan karbon yang mampu menyediakan kebutuhan manusia. Begitu pula, beragam jenis satwa liar telah memanfaatkan hutan sebagai habitat untuk mencari makan, berkembangbiak, dan kehidupan sosial lainnya. Dengan demikan, terjadinya kerusakan hutan tidak saja mengancam kehidupan manusia, lebih jauh lagi akan mengakibatkan punahnya beragam jenis satwa liar yang kerugiannya sulit untuk dinilai secara nominal (Kuswanda, 2008).

  Dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya, orangutan membutuhkan persyaratan habitat kawasan hutan alam yang relatif utuh dan cukup luas sebagai tempat mencari makan, beristirahat, berlindung dari pemangsa dan pemenuhan kebutuhan sosial lainnya (Perbatakusuma et al. 2007). Selain itu, hutan yang luas diperlukan orangutan Sumatera mengingat areal jelajah individu dapat mencapai 1500-4000 hektar untuk individu jantan dewasa dan 850-950 hektar untuk individu betina dewasa (Singleton & van Schaik, 2001).

  Diperkirakan total luasan bentang alam daya dukung habitat yang dapat mendukung kelangsungan hidup orangutan (orangutan landscape) di Ekosistem Batang Toru adalah 148.570 hektar yang terdiri dari Blok-blok Hutan di Batang Toru Barat dan di Batang Toru Timur atau Blok Hutan Sarulla (Conservation International, 2006). Habitat orangutan di kawasan hutan Batang Toru sebagian berupa hutan sekunder dan hutan bekas tebangan masyarakat. Berdasarkan ketinggiannya tipe vegetasi habitat orangutan meliputi hutan dataran rendah, hutan campuran dan hutan dataran tinggi. Habitat orangutan didominasi oleh pohon berdiameter 10-30 cm (75,6%) dengan tinggi antara 10-30 m (80,4%) (Simorangkir et al.2009).

  Orangutan sangat peka terhadap perubahan kondisi hutan tropis yang menjadi habitatnya. Dimana hutan tropis yang menjadi habitatnya harus menyediakan beragam tumbuhan buah yang menjadi sumber pakan utamanya sehingga primata ini dapat bertahan hidup. Dengan demikian pembukaan hutan tropis sangat berpengaruh terhadap perkembangan populasinya (Supriatna & Edy, 2000).

  Fakta terkini mengenai habitat orangutan di Sabah dan Kalimantan Timur menunjukkan orangutan dapat beradaptasi di hutan komersial dan hutan sekunder (Ancrenaz et al. 2007), walaupun habitat yang demikian berdampak negatif terhadap populasi orangutan di alam. Hutan sekunder atau komersil menyebabkan dampak negatif bagi populasi orangutan, karena pada daerah seperti ini orangutan sering berinteraksi dengan manusia. Dengan interaksi yang terjadi maka perubahan perilaku dari liar menjadi jinak juga terjadi, sehingga orangutan lebih mudah ditangkap (Saphiro, 2004).

2.5. Kondisi dan Penurunan Habitat

  Berdasarkan hasil temuan fosil, sekitar 10.000 tahun yang lalu orangutan tersebar hampir di seluruh daratan Asia Tenggara dan sebagian dari daratan Cina bagian Selatan. Namun saat ini populasi orangutan hanya dapat ditemui di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan. Penyebaran orangutan di alam saat ini, sebagian besar orangutan liar berada di wilayah Indonesia serta sebagian kecil di wilayah Malaysia dan Brunei Darussalam (Ancrenaz et al. 2007).

  Saat ini hampir semua orangutan Sumatera hanya ditemukan di Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Nangro Aceh Darussalam, dengan Danau Toba sebagai batas paling Selatan sebarannya. Hanya 2 populasi yang relatif kecil berada di sebelah Barat Daya Danau, yaitu Sarulla Timur dan hutan-hutan di Batang Toru Barat. Sebaran orangutan di Hutan Batang Toru Blok Barat terdapat pada Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Tapanuli Tengah, dan Kabupaten Tapanuli Selatan. Peta sebaran orangutan Sumatera di Daerah Aliran Sungai Batang Toru yang merupakan kompilasi terkini para peneliti disajikan pada Gambar 2.2 berikut ini.

Gambar 2.2. Lokasi Penemuan Sarang Orangutan dan Individu di DAS Batang Toru (sumber peta: Concervation International Indonesia, PT. Newmont Horas Nauli, dan Departemen Kehutanan)

  Pembukaan kawasan hutan merupakan ancaman terbesar terhadap lingkungan karena mempengaruhi fungsi ekosistem yang mendukung kehidupan di dalamnya. Selama periode tahun 1980-1990, hutan Indonesia telah berkurang akibat konversi menjadi lahan pertanian, perkebunan, dan permukiman, kebakaran hutan, serta praktek pengusahaan hutan yang tidak berkelanjutan. Pengembangan otonomi daerah dan penerapan 10 desentralisasi pengelolaan hutan pada 1998 juga dipandang oleh banyak pihak sebagai penyebab peningkatan laju deforestasi di Indonesia. Pembangunan perkebunan dan izin usaha pemanfaatan kayu yang dikeluarkan pemerintah daerah turut berdampak terhadap upaya konservasi orangutan (Soehartono et al. 2007).

  Kawasan hutan tropis dalam lingkup Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Toru yang menjadi kawasan habitat orangutan Sumatera berdasarkan peta vegetasi Sumatera yang disusun oleh Laumonier et al. (1987) dapat dikategorikan menjadi 2 sub-tipe formasi hutan. Pertama, sub-tipe Formasi Air Bangis-Bakongan yang menjadi bagian dari tipe Formasi Bukit Barisan Barat perbukitan berelevasi menengah (300 sampai 1000 meter di atas permukaan laut). Kedua, sub-tipe Hutan Montana (1000-1800 meter di atas permukaan laut) yang menjadi bagian dari tipe Formasi Bukit Barisan di atas 1000 meter dari permukaan laut (Perbatakusuma et al. 2007).

2.6. Fragmentasi Habitat

  Tilson et al. (1993), Rijksen & Meijaard (1999), van Schaik et al. (2001), dan Robertson & van Schaik (2001) menyatakan bahwa orangutan yang sudah dikategorikan terancam secara global, kelangsungan hidupnya sangat terancam akibat dari rusak dan hilangnya habitat alamiah serta terpecahnya habitat (fragmentasi) yang diakibatkan oleh penebangan kayu liar, penebangan kayu komersil yang tidak berkelanjutan, perladangan berpindah dan konversi hutan alam skala besar untuk perkebunan atau pertambangan mineral secara terbuka. Ditambahkan karakter perilaku orangutan yang rentan terhadap kepunahan, seperti mempunyai daerah jelajah yang luas (1500-4000 hektar untuk individu jantan dewasa dan 850-950 hektar untuk individu betina dewasa (Singleton & van Schaik, 2001)), berukuran besar, sebaran geografisnya relatif sempit, membentuk kelompok secara tetap atau sementara, menghendaki lingkungan habitat yang relatif stabil dari gangguan dan tidak mempunyai kemampuan menyebar dan adaptasi yang baik jika habitatnya mengalami gangguan yang berat. Ancaman kerusakan habitat orangutan di Kawasan Hutan Batang Toru semakin tinggi akibat dari aktifitas pertambangan, perambahan hutan dan illegal logging. Peta 2.3 berikut ini menunjukkan laju kerusakan habitat orangutan di Kawasan Hutan Batang Toru Blok Barat dari tahun 2001 sampai 2003.

Gambar 2.3. Kondisi Perubahan Peningkatan Kerusakan Habitat Alamiah Orangutan Sumatera di Kawasan Hutan DAS Batang Toru Barat pada Tahun 2001 Dibandingkan pada Tahun 2003 ( CI Indonesia, PT. Newmont Horas Nauli, Departemen Kehutanan)

  Hutan yang telah terdegradasi komposisi pohonnya sudah bercampur dengan tanaman budidaya masyarakat seperti karet, coklat, durian, aren, kemenyan, kopi dan petai. Pada titik-titik orangutan ditemukan, kondisi vegetasinya masih sangat baik walaupun itu hanya merupakan pecahan-pecahan hutan alam yang disekelilingnya sudah berubah menjadi kebun-kebun masyarakat. Situasi ini mengindikasikan bahwa walaupun tekanan perubahan fungsi lahan dari hutan menjadi non hutan yang sangat tinggi, orangutan di Blok Batang Toru Barat masih dapat bertahan hidup, karena didukung ketersediaan sumber pakan (aren, durian, petai) dan tajuk berlapis kebun-kebun masyarakat. Hal itu juga menunjukan terjadinya kompetisi sumber makanan antara manusia dan orangutan, akibat kemungkinan kelangkaan sumber pakan di hutan alam. Situasi ini menjadikan masyarakat setempat pada beberapa tempat menyatakan orangutan sebagai hama pengganggu tanaman budidaya masyarakat. Kondisi ini tentunya menyebabkan kelangsungan hidup orangutan secara jangka panjang tidak berjalan harmonis dengan pemanfaatan sumberdaya oleh masyarakat yang ada sekarang ini disekitar habitat orangutan. Sehingga habitat alami orangutan menjadi penting untuk tidak dirusak guna mendukung ketersediaan sumber pakannya (Perbatakusuma et al. 2007).

Gambar 2.4. Kerusakan Habitat Alamiah Berupa Penebangan Kayu Liar Adalah Salah Satu Ancaman Bagi Habitat dan Populasi Orangutan Sumatera di DAS Batang Toru (CI Indonesia, PT. Newmont Horas Nauli, Departemen Kehutanan).

  Menurut Meijaard et al. (2001), penebangan hutan telah menurunkan produktivitas makanan satwa liar frugifora karena mengganggu siklus hara dan keseimbangan ekosistem. Menurut Conservation International, (2006) di Pulau Sumatera dalam kurun waktu 25 tahun populasi orangutan menurun hingga 80%.

  Penebangan hutan secara langsung telah mengakibatkan penurunan kualitas habitat satwaliar, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Kegiatan eksploitasi kayu secara resmi ataupun illegal yang mencapai puncaknya pada tahun 1980-an telah merusak habitat orangutan antara 50 % sampai kerusakan total (Populationand Habitat Viability Assessment/ PHVA, 2004). Dampaknya, komunitas orangutan terpecah menjadi unit-unit yang lebih kecil dan tidak mampu bertahan hidup. Selain itu, kerusakan habitat sangat mempengaruhi kemampuan orangutan untuk melakukan reproduksi, yang akhirnya akan menyebabkan populasinya di alam semakin menurun (Kuswanda, 2007).

Dokumen yang terkait

Studi Tumbuhan Anggrek Di Kawasan Hutan Batang Toru Blok Barat Kabupaten Tapanuli Utara Sumatera Utara

11 132 149

Perilaku Makan Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson, 1827) Di Stasiun Penelitian Hutan Batang Toru Bagian Barat Tapanuli Utara

1 45 85

Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson, 1827) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Perbatasan Cagar Alam Dolok Sibual Buali

1 36 69

Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson, 1827) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Cagar Alam Dolok Sibual Buali (Studi Kasus Desa Bulumario, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara)

2 37 72

Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Orangutan Sumatera (Pongo Abelii Lesson, 1827) Di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) Resort Sei Betung

3 30 69

Pola Makan Induk Orangutan (Pongo abelii) Di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera, Desa Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung Leuser, Sumatera Utara

0 19 60

Studi Tumbuhan Anggrek Di Kawasan Hutan Batang Toru Blok Barat Kabupaten Tapanuli Utara Sumatera Utara

0 2 20

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tumbuhan Nepenthes spp. - Studi Kantung Semar (Nepenthes Spp.) Kawasan Hutan Batang Toru Blok Barat Kabupaten Tapanuli Utara Sumatera Utara

0 0 6

Perilaku Makan Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson, 1827) Di Stasiun Penelitian Hutan Batang Toru Bagian Barat Tapanuli Utara

0 0 15

Perilaku Makan Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson, 1827) Di Stasiun Penelitian Hutan Batang Toru Bagian Barat Tapanuli Utara

0 0 6