Sejarah Ekonomi Dunia sastra dengan

Sejarah Ekonomi Dunia
Kajian tentang sejarah ekonomi dunia yang mengaitkannya dengan pasang surut sosial
politik, masih menjadi subyek langka dalam ranah studi ekonomi pembangunan. Minimnya para
ekonom yang menguasai ilmu-ilmu sosial secara komprehensif, menjadi salah satu faktor
penyebab hal tersebut. Dalam tulisan ini, saya mencoba memberikan sedikit gambaran mengenai
sejarah panjang ekonomi dunia beserta naik-turunnya politik negara-bangsa. Sumber-sumber
primer yang terbatas serta sedikitnya referensi yang bisa menjadi acuan, menjadi kendala
sekaligus tantangan dalam penulisannya. Lewat buku Paul Kennedy : The Rise and Fall of the
Great Powers yang sangat memukau, ditambah karya-karya Angus Maddison serta Walter
Scheidel, kajian ini coba diketengahkan. Sekadar catatan tambahan, angka-angka yang tertera di
bawah setara dengan kekuatan kurs USD pada tahun 1990.
Bahasan ini saya awali dari tahun 1 Masehi, dimana pada masa itu dengan pendapatan per
kapita sebesar USD 809, Italia tercatat sebagai negara paling makmur di dunia. Mantapnya
perekonomian Italia, disebabkan karena luasnya Imperium Romawi ketika itu. Wilayah
kerajaannya mencapai 4 juta km2 yang meliputi tiga benua : Eropa, Asia, dan Afrika.
Ditemukannya bahan-bahan mineral berharga seperti emas, besi, dan plumbum, memicu
terjadinya industrialisasi besar-besaran. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Walter Scheidel,
pendapatan domestik bruto kerajaan Romawi pada masa jayanya (tahun 150 masehi) mencapai
angka USD 43,4 milyar. Dengan kekuasaan politik yang absolut, kekayaan negeri-negeri di
sekeliling Laut Tengah dibawa pulang ke Italia. Boleh jadi politik sentralistik macam inilah yang
menjadi sumber kemakmuran mereka.

Seribu tahun kemudian imperium Romawi telah tiada. Konflik internal yang begitu
hebatnya beserta serangan barbar bangsa Gothic, telah mencabik-cabik kebesaran Romawi. Pada
tahun 1000, keperkasaannya telah digantikan oleh orang-orang Arab padang pasir. Setelah
kelahiran Muhammad SAW, mereka menjelma menjadi adikuasa dunia. Wilayah kekuasaannya
membentang luas dari Andalusia hingga Indus di India. Dua Imperium Muslim kala itu,
Abassiyah dan Umayyah, menjadi negara paling makmur di jagat raya. Dua ibu kotanya,
Baghdad dan Cordova, telah menjadi pusat peradaban dan ilmu pengetahuan yang juga
melahirkan manusia-manusia paling kaya di muka bumi. Setiap hari ada saja inovasi-inovasi
baru yang mereka temukan. Teknologi, sastra, dan keuangan, berjalan beriringan mewarnai
kemakmuran negeri. 1
Selain sukses secara finansial, komunitas Arab juga menjadi bangsa yang ditakuti. Pada
masa itu, tak ada satupun kekuatan militer yang bisa menandingi kehebatan kaum muslim.
Massifnya industrialisasi bangsa Arab yang ditopang oleh sistem ekonomi yang efisien, menjadi
faktor tumbuhnya ekonomi Asia Barat. Tak mengherankan jika masa itu mereka memiliki
pendapatan per kapita tertinggi di dunia. Dengan luas wilayah serta penduduk yang hampir setara
dengan Imperium Romawi pada masa jayanya, bangsa Arab meraih pendapatan sebesar USD
621. Angka tersebut masihlah lebih baik dari pendapatan yang pernah dicapai oleh Romawi. Dari
catatan Scheidel terungkap, pada tahun 150 pendapatan rakyat Romawi hanya sebesar USD 620
per kapita. Bahkan angka yang disajikan oleh Maddison lebih rendah lagi, yakni hanya sebesar
USD 570 per kepala pada tahun 14 SM.

1 Paul Kennedy, The Rise and Fall of the Great Powers: Economic Change and Military Conflict From 1500 to 2000,
Random House, 1987

Tahun 1500, Italia kembali muncul sebagai negara paling makmur di dunia, dengan
pendapatan per kapita mencapai USD 1.100. Motor kekuatan ekonomi Italia disebabkan oleh
majunya perdagangan dua negara laut di utara : Venesia dan Genoa. Kedua negara itu, menjadi
penyalur utama kebutuhan pokok masyarakat di daratan Eropa. Strategi politik Venesia yang
memilih untuk beraliansi dengan Prancis, serta tak menantang militer Turki yang sedang
berkuasa, mampu menstimulus kekuatan ekonomi serta jaringan perdagangannya. John Julius
Norwich dalam bukunya A History of Venice, mencatat bahwa pada masa itu Venesia tumbuh
sebagai kota termakmur di dunia. 2
Satu abad kemudian, giliran Belanda yang menjadi negara paling makmur di dunia.
Dengan pendapatan sebesar USD 1.381, Belanda telah melampaui Italia yang mengalami
stagnasi. Di tahun 1700, Belanda kembali melipatgandakan kekayaan penduduknya hingga
mencapai USD 2.130. Angka ini semakin memperkukuh kedudukan Nederland sebagai negara
termakmur di dunia. Keberhasilan Belanda pada masa itu, disebabkan oleh kuatnya jaringan
perdagangan mereka. Melalui perusahaan dagang Hindia Timur (VOC), Belanda menguasai
kota-kota penting di sepanjang pantai Lautan Hindia. Larinya sebagian besar orang-orang Yahudi
dari daratan Andalusia ke tanah rendah, menjadi faktor positif kebangkitan ekonomi Belanda.
Orang-orang Yahudi ini, yang mengalihkan seluruh harta-hartanya ke Nederland, menjadi modal

bagi ekspedisi perdagangan Belanda ke seberang lautan. Kegiatan inilah yang pada gilirannya
akan menciptakan kemakmuran bagi masyarakat Belanda. Perlu juga disebut disini, kontribusi
Jawa dalam menyumbangkan kekayaan bagi masyarakat Belanda. Mengingat hampir separuh
kekayaan negeri ini datang dari tanah Nusantara.
Pada tahun 1820 kekayaan Belanda mulai menurun. Namun angka USD 1.838 per kapita
masih menempatkannya sebagai negara termakmur di dunia. Suksesnya politik Tanam Paksa di
wilayah Hindia-Belanda, menjadi faktor penentu bertahannya Belanda sebagai negara paling
makmur di dunia. Pada tahun 1870, kekayaannya telah terlampaui oleh tetangga di seberang selat
: Inggris Raya. Kemakmuran Inggris disinyalir, karena luasnya British Empire yang mencapai 34
juta km2. “Matahari tak pernah terbenam di wilayah Inggris”, begitu sebuah kalimat pujian yang
menunjukkan betapa luasnya koloni Inggris kala itu. Selain mengalahkan Belanda, pendapatan
per kapita rakyat Inggris yang mencapai USD 3.190 itu, juga mengangkangi seteru terberatnya
Prancis (USD 1.876). Di tahun 1938, British Empire menjadi wilayah dengan tingkat GDP
tertinggi di dunia. Pada masa itu pendapatan Imperium Inggris mencapai USD 918,7 miliar, jauh
di atas pesaingnya : Nazi German Empire (USD 375,6 miliar) dan Japanese Empire (USD 260,7
miliar). 3 4
Tahun 1913, di masa berkecamuknya Perang Dunia I, Amerika Serikat untuk pertama
kalinya muncul sebagai negara paling makmur di dunia. Kehancuran negara-negara Eropa akibat
perang, telah melumpuhkan perekonomian benua biru. Hal inilah yang kemudian dimanfaatkan
oleh negeri Paman Sam, untuk menggantikan peran Eropa sebagai pemasok utama kebutuhan

dunia. Tenggelamnya China dan India, dua kekuatan ekonomi global, turut memberi andil
melajunya perekonomian Amerika. Pada tahun 1913, pendapatan per kapita Amerika Serikat
tumbuh fantastis. Naik 117% dibandingkan 43 tahun sebelumnya, atau setara dengan USD 5.301.
Tahun 1950 pasca berakhirnya Perang Dunia Kedua, Amerika benar-benar muncul sebagai
pemenang sejati. Negeri ini menjadi adidaya ekonomi dunia, dengan menguasai sepertiga GDP
global. Sebuah pencapaian yang hanya bisa disamai oleh India serta China di abad pertengahan.
2 John Julius Norwich, A History of Venice, Penguin Books Limited, 2003
3 Angus Maddison, The World Economy: Historical Statistics, OECD, 2003
4 Walter Scheidel, Sitta von Reden; The Ancient Economy, Taylor & Francis, 2002

Tahun itu menjadi tahun penuh kemakmuran bagi rakyat Amerika. Pendapatan per kapitanya
tumbuh hampir dua kali lipat menjadi USD 9.561, dibandingkan pada masa Perang Dunia I.
Sektor finansial menyumbang 40% kue ekonomi Amerika. Disamping itu, industri otomotif,
elektronik, teknologi informasi, dan film, juga mengangkat pamor ekonominya. Hingga dewasa
ini, kekuatan ekonomi Amerika masih cukup dominan. Walau tingkat kemakmurannya terus
digeser oleh negara-negara Eropa dan Timur Tengah.
Sejak ditemukannya minyak bumi di perut dunia Arab, negara-negara Timur Tengah
kembali unjuk gigi. Setelah 1000 tahun lalu keluar sebagai wilayah paling makmur di dunia,
Arab kembali mengukir prestasinya. Pada tahun 2010, Qatar negeri kecil di ujung timur
semenanjung Arab, ditasbihkan sebagai negara paling makmur di dunia. CIA melaporkan tingkat

pendapatannya mencapai USD 150.429. Jauh di atas Liechtenstein (USD 134.400) dan
Luxembourg (USD 105.400), yang juga berukuran mini.
Sejarah ekonomi Nusantara pernah pula mencatatkan masa keemasannya, yakni pada abad
ke-8 hingga ke-10 Masehi. Dimana pada masa itu, Sriwijaya menjadi pelaku utama perdagangan
di Asia Timur, yang memasok semua produk-produk India ke China, ataupun sebaliknya. Seperti
halnya Venesia di Laut Tengah, saudagar-saudagar Sriwijaya juga menguasai jalur perdagangan
Samudera Hindia serta Laut China Selatan. Politik Sriwijaya-pun mirip-mirip dengan strategi
yang dilakukan oleh Venesia. Untuk memuluskan perdagangannya, Sriwijaya tak pernah
menantang dinasti-dinasti kuat di daratan China, dan selalu bekerja sama dengan raja-raja India
untuk menghadapi pesaing potensialnya di Nusantara. Tenggelamnya perekonomian Sriwijaya
bermula dari serangan pasukan Chola dari pantai Koromandel, serta munculnya pengusahapengusaha Tiongkok dalam perdagangan Nanyang. Ikutnya masyarakat China berniaga sejak era
dinasti Song, telah mematahkan kekuatan saudagar Melayu yang selama ini mendominasi
pasaran Asia Timur yang luas. 5 6
Pada abad ke-17, Kesultanan Aceh muncul sebagai negara paling makmur di Nusantara.
Kekuatannya mengikuti Sriwijaya dan Malayu yang mengandalkan penguasaan atas jalur
perdagangan vital Selat Malaka. Dari pajak kapal-kapal yang melintasi selat, Aceh menjelma
menjadi kerajaan paling kaya. Selain itu, penanaman lada besar-besaran di sepanjang pantai barat
Sumatera, juga menjadi sumber pemasukan Aceh. Aliansi militer dengan Turki Utsmani, turut
menjaga stabilitas perdagangannya. Anthony Reid dalam bukunya Southeast Asia in the Age of
Commerce 1450-1680, mencatat bahwa pada masanya Kutaraja pernah menjadi salah satu kota

paling makmur di Asia Tenggara. 7

5 Anthony Reid, Southeast Asia in the Early Modern Era: Trade, Power, and Belief, Cornell University Press, 1993
6 Nicholas Tarling, The Cambridge History of Southeast Asia: From Early Times to c.1800 (Vol. 1), Cambridge
University Press, 1992
7 Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680: Expansion and Crisis, Yale University Press,
1993