MODEL KAJI TINDAK PEMBANGUNAN PARTISIPAT

MODEL KAJI TINDAK PEMBANGUNAN PARTISIPATIF UNTUK PENGENTASAN KEMISKINAN DAN RAWAN PANGAN BERBASIS POTENSI LOKAL DAN EKONOMI KREATIF *

P. Eko Prasetyo, Marimin dan Andang Samsudin S.,

Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang email:prasetyo.dr.eko@gmail.com

ABSTRAK

Model kaji tindak program pembangunan paritsipatif merupakan salah satu bentuk pemberdayaan yang mampu memaksimalkan sesuatu yang masih bersifat potensial menjadi nyata. Tujuan artikel ini untuk menjelaskan esensi dan urgensi model tersebut sebagai upaya untuk memaksimalkan kemampuan potensi; ekonomi, sosial, politik dan budaya masyarakat setempat secara riil, sehingga mereka dapat lebih memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri secara mandiri dan berkelanjutan. Karena itu, model kaji tindak community base economic development participation merupakan program yang penting untuk dikembangkan sebagai upaya pengentasan kemiskinan dan rawan pangan. Hasil penelitian menunjukkan kesadaran masyarakat mampu memaksimalkan potensinya sendiri lebih ditentukan oleh kreatifitasnya di dalam kelompok dan bukan karena fasilitas yang diberikan oleh pemerintah. Karena itu, model kaji tindak terhadap kelompok yang demikian inilah yang perlu diperulas agar ke depan mereka mampu memberdayakan dirinya. Hasil penelitian menjelaskan bahwa masalah ketidakberdayaan masyarakat tidak selamanya disebebkan karena ketiadaan modal sekalipun modal tetap dipentingkan. Namun, lebih banyak dikarenakan kesadaran dan etos kerja yang belum terbangkitkan agar dapat ke luar dari masalah kemiskinan dan rawan pangan. Untuk itu, dalam kaji tindak ini paling tidak diperlukan empat pilar yakni; penciptaan kesempatan kerja dan berusaha, perlindungan sosial, peningkatan kemampuan dan pilar pemberdayaan masyarakat. Selanjutnya, implementasi kaji tindak perluasan program pemberdayaan berbasis potensi sumber daya lokal dan ekonomi kreatif merupakan model strategi yang ensensi dan urgensi untuk dikembangkan sebagai upaya pengentasan kemiskinan dan rawan pangan.

Keyword : kaji tindak, partisipatif, pemberdayaan, potensi lokal, dan ekonomi kreatif .

PENDAHULUAN

Perluasan program pembangunan berbasis pada keterlibatan seluruh komponen atau potensi masyarakat lokal setempat merupakan model pembangunan berkelanjutan. Artinya, perluasan program pembangunan berarti memberikan penguatan peran masyarakat setempat untuk lebih mampu mengoptimalkan seluruh sumber daya yang ada secara produktif, kreatif dan berwawasan ke depan untuk pengentasan kemiskina dan rawan pangan secara mandiri. Karena itu, model kaji tindak perluasan program ini harus didukung dengan tiga hal pokok, yakni; kearifan lokal yang produktif, institusi, dan kreatifitas individu atau kelompok.

* ) Terimkasih kepada DP2M DIKTI yang telah memberikan dana dalam penelitian ini melalui Program

Penelitian Hibah Kompetitif sesuai Perioritas Nasional Batch II 2009 No.335/SP2H/PP/DP2M/VI/2009

Pembangunan dapat diartikan sebagai suatu proses multi-dimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur; ekonomi, sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusi-institusi, di samping itu tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketimpangan, kemiskinan dan pengangguran (Todaro, 2007). Karena itu, Rencana Kerja Pembangunan Presiden SBY pada KIB I dan KIB II tetap di fokuskan pada peningkatan pertumbuhan ekonomi untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Namun demikian, berbagai kajian menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia masih rendah dan tidak berkualitas, sehingga tidak banyak manfaatnya untuk mengurangi masalah; kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan distribusi pendapatan. Menurut Wiloejo Wirjo Wijono (2009), pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak sepenuhnya bertumpu pada kekuatan dan potensi domestik, dan sangat rentan terhadap gejolak eksternal. Selanjutnya, Ia merekomendasikan perlu diciptakan iklim perekonomian yang mendorong swasta untuk tidak hanya cenderung membeli, namun juga mampu untuk membuat produk yang berbasis domestik.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak hanya dihasilkan oleh penambahan investasi stok modal dan jumlah tenaga kerja, tetapi juga oleh peningkatan produktivitas faktor-faktor produksi akibat perubahan teknologi dan peningkatan kualitas SDM. Dengan demikian, investasi untuk meningkatkan SDM yang berkualitas mutlak diperlukan. Jika modal SDM sebagai cerminan manusia dalam masyarakat dan sumber daya sosial ( social capital ) itu baik dan berkualitas, maka ini merupakan sumber kekuatan utama yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Artinya, dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang baik dan berkualitas sebagai syarat cukup dalam pembangunan ekonomi, sudah pasti dibutuhkan pemberdayaan masyarakat. Menurut kaidah ekonomi, pemberdayaan masyarakat adalah proses perolehan pelaku ekonomi untuk mendapatkan surplus value sebagai hak manusia yang terlibat dalam kegiatan produksi. Upaya ini dilakukan melalui distribusi penguasaan faktor-faktor produksi (melalui kebijakan politik ekonomi yang tepat dengan kondisi dan tingkatan sosial budaya masyarakat setempat).

Tujuan penelitian ini sebenarnya agar dapat disusunnya model dasar strategi pengentasan kemsikinan yang kredibel dan akuntabel serta mudah dan murah dilakukan sendiri oleh warga miskin khalayak sasaran secara mandiri dan berkelanjutan, baik bertaraf lokal maupun nasional. Sedangkan, kajian dalam jangka pendek adalah; mengkaji dinamika ekonomi-sosial budaya dan politik masyarakat setempat, sebagai infrastruktur modal dasar strategi peningkatan kesejahteraan masyatrakat yang dimaksud. Selanjutnya, model dasar Tujuan penelitian ini sebenarnya agar dapat disusunnya model dasar strategi pengentasan kemsikinan yang kredibel dan akuntabel serta mudah dan murah dilakukan sendiri oleh warga miskin khalayak sasaran secara mandiri dan berkelanjutan, baik bertaraf lokal maupun nasional. Sedangkan, kajian dalam jangka pendek adalah; mengkaji dinamika ekonomi-sosial budaya dan politik masyarakat setempat, sebagai infrastruktur modal dasar strategi peningkatan kesejahteraan masyatrakat yang dimaksud. Selanjutnya, model dasar

Karena itu, dalam penelitian ini peneliti berusaha untuk menemukan dan menganalisis dasar-dasar atau langkah-langkah perbaikan bagi suatu aspek kehidupan yang dipandang perlu diperbaiki yakni model strategi pengentasan kemiskinan. Untuk itu, peneliti berusaha menemukan kebaikan-kebaikan dan keburukan serta kekurangan di dalam aspek tersebut yang diselidiki dapat digunakan sebagai upaya-upaya pengentasan kemiskinan, selanjutnya dirumuskan alternatif-alternatif cara yang terbaik untuk melakukan langkah-langkah yang tepat untuk mengatasi masalah kemiskinan tersebut.

LANDASAN TEORI

Penyebab Kemiskinan

Secara teori sosial-ekonomi, masalah kemiskinan terjadi tidak begitu saja, melainkan ada sebab sekaligus akibat. Para akademisi umumnya lebih suka mempelajari kemiskinan dari sisi sebab-sebab kemiskinan, terutama kemiskinan struktural. Namun demikian, kita tetap harus memahami apa yang dimaksud kemiskinan itu sendiri dulu. Kemiskinan hingga saat ini masih merupakan salah satu problem sosial-ekonomi yang amat serius. Karena itu, sebelum bertidak lebih jauh maka, perlu diidentifikasikan terlebih dahulu dengan cermat apa sebenarnya yang dimaksud dengan kemiskinan itu sendiri, mengapa sebenarnya kemiskinan itu sendiri terjadi, bagaimana cara mengukurnya serta bagaimana cara mengatasinya.

Konsep miskin dapat diartikan sebagai posisi relatifnya, bukan miskin absolut, karena pendapatan mereka juga meningkat, namun posisi relatifnya tidak berubah. Bagi kelompok pengambil kebijakan, yang diperlukan adalah profil miskin. Mereka lebih

membutuhkan ukuran ’garis kemiskinan’ untuk mengukur kemiskinan itu sendiri. Oleh sebab itu, kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga pengertian: kemiskinan absolut,

kemiskinan relatif dan kemiskinan kultural. Seseorang termasuk golongan miskin absolut jika hasil pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum: pangan, sandang, kesehatan, papan, pendidikan. Seseorang yang tergolong miskin relatif sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan, namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya. Sedang miskin kultural berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari pihak lain yang membantunya. Kemiskinan kultural terjadi sebagai akibat dari kemiskinan relatif dan kemiskinan kultural. Seseorang termasuk golongan miskin absolut jika hasil pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum: pangan, sandang, kesehatan, papan, pendidikan. Seseorang yang tergolong miskin relatif sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan, namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya. Sedang miskin kultural berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari pihak lain yang membantunya. Kemiskinan kultural terjadi sebagai akibat dari

Selanjutnya, kemiskinan itu sendiri dapat dilihat dari berbagai dimensi. Kemiskinan yang disebabkan berkaitan dengan pembangunan dapat dibedakan pula menjadi kemiskinan subsisten (kemiskinan sebagai akibat dari rendahnya pembangunan), kemiskinan pedesaan (kemiskinan sebagai akibat peminggiran pedesaan dalam proses pembangunan), kemiskinan perkotaan (kemiskinan yang disebabkan oleh hakekat dan percepatan pertumbuhan perkotaan), kemiskinan sosial (kemiskinan yang dialami oleh para perempuan, anak-anak, dan kelompok minoritas, serta kemiskinan konsekuensial, yaitu kemiskinan yang terjadi akibat kejadian-kejadian lain atau faktor-faktor eksternal di luar si miskin, seperti; konflik, bencana alam, kerusakan lingkungan dan tingginya laju jumlah penduduk melebihi laju jumlah pendapatan nasional. Apabila kita telusuri lebih lanjut dari sebab dan akibatnya maka, dapat disimpulkan bahwa mereka miskin memang karena ia miskin. Logika berpikir secara makro ini sebenarnya telah lama dikemukakan oleh Ragnar Nurkse, seorang ahli ekonomi pembangunan di tahun 1953, yakni; bahwa negara miskin itu miskin karena dia miskin ( a poor country is poor because it is poor ).

Selain itu, penyebab kemiskinan yang bermuara pada lingkaran setan kemiskinan ( vicious circle of poverty ) tersebut juga telah diidentifikasikan oleh; Ansel M. Sharp dkk (1996). Ia mengidentifikasikan tiga penyebab kemiskinan yang dipandang dari sisi ekonomi. Pertama, secara mikro, kemiskinan terjadi karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumber daya yang terbatas dan kualitasnya rendah. Kedua, kemiskinan terjadi sebagai akibat perbedaan kualitas sumber daya manusia (SDM). Kualitas SDM yang rendah berbarti produktivitas rendah, dan pada gilirannya upah atau pendapatannya rendah. Rendahnya kualitas SDM ini terjadi karena rendahnya tingkat pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya diskriminasi, atau keturunan. Ketiga, kemiskinan terjadi sebagai akibat perbedaan akses dalam kepemilikan modal.

Ukuran garis kemiskinan yang sering digunakan adalah sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan setara 2100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan non-makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya. (BPS dan Depsos, 2005: 3). Jika setiap individu tidak dapat memenuhi kebutuhan setara 2100 kilo kalori tersebut per hari, maka ia dianggap miskin. Sedangkan, ukuran kemiskinan menurut Bank

Dunia adalah pengeluaran setara US$2 per individu per hari. Sementara itu, cara yang paling sederhana untuk mengukur tingkat kemiskinan adalah dengan menghitung jumlah orang miskin sebagai proporsi dari populasi yang ada. Cara ini sering disebut dengan

Headcount Index. Namun, cara ini dikritik mengandung kelemahan, karena mengabaikan jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Karena itu, kesenjangan

kemiskinan pendapatan ( poverty gap ) digunakan untuk mengatasi kelemahan headcount index ini (Meier, 1995:26). Caranya, poverty gap yakni menghitung transfer yang membawa pendapatan setiap penduduk miskin hingga ke tingkat di atas garis kemiskinan, sehingga kemiskinan dapat segera dihilangkan.

Dalam penelitian ini, pendekatan tentang batasan pengertian kemiskinan yang digunakan secara operasoional adalah cenderung digunakan pendekatan kemiskinan dari UU No. 5 tahun 2000 tentang program pengentasan kemiskinan nasional. Sedangkan, ukuran garis kemiskinan secara makro digunakan metode pendekatan BPS. Dengan demikian, upaya-upaya tindakan strategi sebagai solusi untuk pengentasan kemiskinan dalam penelitian ini cenderung digunakan model strategi yang lebih mampu mengurangi kemiskinan yang yang dapat diukur dari tiga dimensi kebutuhan pokok, kebutuhan sosial, dan kebijakan pembangunan.

Salah satu teori ketimpangan dan kemiskinan yang terkenal adalah teori dari Myrdal. Menurut Gunnar Myrdal (1957) dalam (Chalid, 2008) adanya hubungan ekonomi antara negara maju dengan negara belum maju yang telah menimbulkan ketimpangan internasional dalam pendapatan per kapita dan kemiskinan di negara yang belum maju. Adapun faktor utama yang menyebabkan ketimpangan ini adalah adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, adanya pasar yang luas dan konsentrasi modal keuangan di negara maju. Dalam penelitian ini dapat dikaji faktor penyebab ketimpangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang digunakan. Selanjutnya, kemakmuran kumulatif timbul di negara maju dan kemiskinan kumulatif dialami rakyat di negara miskin. Dengan kata lain, hubungan ekonomi antara negara maju dengan negara miskin menimbulkan efek balik ( backwash effect ) yang cenderung membesar ketimpangan terhadap negara miskin. Sedangkan, menurut teori Dos Santos, titik berat proses ketergantungan dan keterbelakangan tidaklah merupakan faktor luar saja, tetapi juga harus dilihat faktor dalam di negara-negara miskin.

Selanjutnya, Myrdal menegaskan argumentasinya bahwa sebagai upaya untuk memberantas kemiskinan di negara yang belum maju harus dilakukan dengan campur tangan pemerintah terutama dalam mempengaruhi kekuatan pasar bebas. Kemudian tentang teori keunggulan komparatif yang digunakan oleh ahli ekonomi neoklasik tidak dapat Selanjutnya, Myrdal menegaskan argumentasinya bahwa sebagai upaya untuk memberantas kemiskinan di negara yang belum maju harus dilakukan dengan campur tangan pemerintah terutama dalam mempengaruhi kekuatan pasar bebas. Kemudian tentang teori keunggulan komparatif yang digunakan oleh ahli ekonomi neoklasik tidak dapat

Penelitian Sebelumnya

Penelitian sebelumnya tentang hubungan antara pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, dan ketimpangan telah banyak dilakukan di Indonesia, salah satunya dilakukan oleh Sumarto (2002, 2004) dari SMERU Research Institute. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa kemiskinan berhubungan erat dengan pertumbuhan ekonomi yang rendah dan tidak berkualitas, sehingga hubungan erat ini menjadi tema sentral oleh Pemerintah Indonesia, yakni seperti yang tertuang dalam RKP sejak tahun 2004-2009 hingga mendatang. Dalam RKP tersebut telah ditegaskan bahwa konsentrasi kerja Pemerintahan SBY difokuskan untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang tinggi untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Selanjutnya, hasil penelitian SMERU, (2004) secara garis besar menunjukkan bahwa: 1). Terdapat hubungan negatif yang sangat kuat antara pertumbuhan ekonomi dengan

kemiskinan. Artinya, karena pada tahun 2009 pertumbuhan mengalami kontraksi, maka kemiskinan meningkat lagi, dan ini harus segera diatasi.

2). Pertumbuhan tidak mengurangi kemiskinan dalam jangka panjang, karena masih banyak masyarakat yang tetap rentan terhadap kemiskinan. Artinya, manajemen kejutan ( management of shocks ) dan jaring pengaman sosial harus diterapkan.

3). Pertumbuhan secara kontemporer dapat mengurangi kemiskinan, sehingga pertumbuhan yang berkelanjutan penting untuk mengurangi kemiskinan. 4). Pengurangan ketimpangan pendapatan dapat mengurangi kemiskinan secara signifikan,

sehingga sangat penting mencegah pertumbuhan yang meningkatkan ketimpangan. 5). Memberi hak atas properti dan akses terhadap kapital untuk golongan masyarakat miskin dapat mengurangi kesenjangan, merangsang pertumbuhan dan mengurangi kemiskinan. Sebagai mekanismen dari masalah kemiskinan dan kelaparan, ada seorang ahli ekonomi kesejahteraan pemenang nobel ekonomi (1998), Amartya Kumar Sen, dalam Jakti, (2007) berpendapat bahwa; jika sukses ekonomi suatu bangsa hanya ditentukan oleh pendapatan dan indikator-indikator kemewahan tradisional lainnya serta kesehatan finansial, maka tujuan utama bagi tercapainya kesejahteraan telah meleset/gagal. Artinya,

Amartya Sen, telah berjasa karena telah memasukan unsur kemanusiaan (humanis) dalam ilmu ekonomi, sehingga keberhasilan pembangunan suatu negara tidak hanya diukur dari besarnya pendapatan perkapita penduduknya, tetapi juga memasukan indikator-indikatir kesejahteraan. Selanjutnya, salah satu hasil penelitian Sen tentang kelangkaan pangan dan kelaparan yang dapat mengejutkan dirinya sendiri adalah bahwa; bencana kelapran tidak pernah muncul di negara yang bebas dan demokratik. Tetapi, bencana kelapran selalu terjadi di bawah keditaktoran militer dan pemerintah satu partai atau rezim kolonial lama. Hasil penelitian Sen ini barangkali masih relevan dan dapat dijumpai pada sebagian kecil daerah di Indonesia yang kini masih dilanda dampak krisis global 2008. Karena ia menegaskan bahwa bencana kelaparan adalah ulah manusia akibat tak adanya hak atas informasi berupa pers yang bebas. Karena itu harus dibangun manusia pembangunan.

Inti daripada teori kesejahteraan Sen sebenarnya adalah bahwa; setiap masyarakat memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan program bagi setiap warganya, khususnya anak-anak, sehingga mereka dapat mencapai pemenuhan kebutuhan maksimal dan berkembang menjadi manusia yang capable . Menurut Scott Brown, ahli ekonomi investasi, penghargaan terhadap Sen sebagai pemenang nobel ekonomi adalah justru mengangkat citra bidang studi ekonomi pembangunan, dan mengingatkan pada kita semua agar tidak mendewakan perekonomian pasar bebas yang terbukti kini telah gagal.

Berdasarkan pendekatan dari kedua ahli ekonomi pemenang nobel (Myrdal, 1974; dan Sen, 1998) yang konsen terhadap masalah kesejahteraan rakyat inilah saatnya, bahwa melalui penelitian ini kedua pendekatan tersebut dapat diramu agar dapat mengentaskan masyarakat rawan pangan dan kemiskinan di Indonesia secara signifikan. Karena pada dasarnya, kedua ahli ekonomi tersebut adalah sama, khsusnya mengenai pendapat bawah; lebih menekankan pentingnya sebuah proses dalam pengambilan keputusan yang demokratik dalam merumuskan kebijakan ekonomi. Seperti halnya Stiglitz, pemenang nobel ekonomi 2001, kedua ahli ekonomi kesejahteraan tersebut (Myrdal dan Sen) juga bukan anti pasar, namun mereka sangat menyadari keterbatasan pasar dan pemerintah dalam penyelenggaraan kegiatan ekonomi masyarakat.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini didisain dengan model pendekatan kualitatif yang latarbelakangi dari pendekatan kuantitatif dari penelitian sebelumnya dan program pemerintah. Oleh karena itu, penelitian ini lebih menonjolkan pendalaman dan pemahaman terhadap masalah yang diteliti yakni masalah kemiskinan dan rawan pangan. Agar diperoleh data yang mendalam, Penelitian ini didisain dengan model pendekatan kualitatif yang latarbelakangi dari pendekatan kuantitatif dari penelitian sebelumnya dan program pemerintah. Oleh karena itu, penelitian ini lebih menonjolkan pendalaman dan pemahaman terhadap masalah yang diteliti yakni masalah kemiskinan dan rawan pangan. Agar diperoleh data yang mendalam,

Untuk kepentingan analisis tersebut digunakan variabel tingkat kemiskinan sebagai variabel utama dan sebab-sebab terjadinya kemiskinan dan cara mengatasisnya, serta beberapa variabel tingkat produksi dan variabel faktor produksi dari setiap usaha yang ditekuninya. Teknik analisis diawali dari data sebab-sebab mengapa terjadi kemiskinan di daerah tersebut, selanjutnya dikaji lebih dalam potensi ekonomi produktif dan kreatif apa yang dapat dikembangkan di wilayah desa tersebut serta diminati oleh warga miskin di daerah itu.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Diskripsi Umum Daerah Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah Kecamatan Bringin Kabupaten Seamrang. Secara georgrafis, jarak wilayah penelitian ini sebenarnya cukup dekat dengan Ibu Kota Kabupaten Semarang, yakni ke arah tenggara dari Ibu Kota Kabupaten Semarang. Namun, karena harus ditempuh dengan jarak yang memutar, maka kurang lebih berjarak 27 Km dari Ibu Kota Kabupaten Semarang. Secara topografis, daerah ini merupakan salah satu wilayah kecamatan yang terletak di lereng perbukitan dengan curah hujan yang rendah yakni ± 94 hari hujan dalam setahun. Ketinggian air dari permukaan air laut ± 330 m, belum ada irigasi yang baik, dan kedalaman air sumur rata-rata ± 25 meter, sehingga wilayah ini merupakan salah satu dari lima kecamatan yang sering terancam kekeringan. Lima wilayah yang sering teracam kekeringan di musim kemarau di Kabupaten Semarang adalah; Bringin, Bancak, Pringapus, Bawen dan Pabelan.

Air adalah salah satu sumber penting kehidupan, Namun masalah air di wilayah ini merupakan salah satu kendala utama kehidupan. Sebagian besar jenis pengairan diperoleh dari pengairan tadah hujan, dan hanya sedikit yang dari irigasi teknis dan setengah teknis. Ketika curah hujan kurang, dan air bersih dari sumur untuk kebutuhan rumah tangga saja tergolong kurang, apalagi air untuk tanaman dan hewan. Padahal, daerah ini juga belum ada irigasi yang baik. Dengan demikian, kondisi rawan pangan dan kemiskinan yang terjadi di wilayah ini dapat dikategorikan pula dipengaruhi oleh kondisi alam dan lingkungannya.

Berdasarkan data BPS (2007 dan 2009), wilayah Kecamatan Bringin adalah merupakan salah satu daerah yang mengalami difisit status pangannya, bersamaan dengan dua wilayah daerah kecamatan lain yakni; Kecamatan Bancak dan Kecamatan Ungaran Barat. Selain itu, daerah ini juga merupakan salah satu wilayah yang terdapat banyak jumlah warga miskinnya, terutama di beberapa desa yakni; Bringin, Truko, Wiru, Gogodalem, Rembes dan Sambirejo. Dari sejumlah 16 desa yang ada di Kecamatan Bringin, jumlah warga miskin di desa tersebut lebih dari 500 warga, sehingga kegiatan kajian penelitian ini lebih banyak dipusatkan di wilayah daerah tersebut.

Berdasarkan data Kecamatan Bringin dalam angka tahun (2005, 2006, 2007, dan 2008), dapat disimpulkan bahwa daerah ini merupakan salah satu wilayah daerah yang tergolong lambat dalam perkembangan pembangunannya. Khususnya proses pembangunan ekonomi, hampir tidak banyak kemajuan yang sangat berarti. Jumlah sarana perekonomian seperti; pasar, koperasi, KUD, bank, wartel, toko atau warung masih sangat minim sekali.

Luas wilayah daerah Kecamatan Bringin sebesar 61,89 Km 2 , dengan jumlah penduduk sebesar 43.987 jiwa, dan jumlah keluarga sebanyak 12.982 KK, serta tingkat kepadatan

penduduk per Jiwa/Km 2 sebesar 713, dan tingkat kepadatan keluarga sebesar 210 per KK. Penggunaan luas tanah di wilayah daerah tersebut sebagian besar digunakan untuk

tanah sawah, tanah ladang, tanah pekarangan, dan hutan negara. Selanjutnya, luas tanah tersebut sebagian besar ditanami padi sawah, jagung, kacang tanah, kedelai dan umbi- umbian yakni ubi jalar dan ubi kayu. Luas tanah yang digunakan untuk tanaman padi sawah, seluas 4.062 Ha dengan tingkat produksi 17.615 ton, dan rata-rata produksi/Ha sebanyak 43,37 Kwintal. Sedangkan, luas panen jagung sebesar 1.181 Ha, tingkat produksi 3.463 ton dengan rata-rata produksi/Ha sebesar 29,32 Kwintal. Sementara itu, penggunaan luas tanah untuk hasil produksi yang lainnya seperti kacang tanah, umbi-umbian dan kedelai, lebih kecil daripada padi sawah dan jagung tersebut.

Mata pencaharian sebagaian besar penduduk di wilayah ini adalah sebagai petani, buruh tani, buruh bangunan dan buruh industri. Dari sejumlah total 25.435 jiwa yang memiliki mata pencahrian, sebesar 6.879 sebagai petani, 6.773 sebagai buruh tani, 2.459 sebagai buruh bangunan, 2.098 sebagai buruh industri, 761 PNS/ABRI, 745 pedagang, 208 pengusaha kecil, 201 angkutan, dan sebesar 4.822 lainnya seperti sebagai pekerja srabutan, dan 489 pensiunan. Selain itu, tingkat pendidikan warga di wilayah daerah ini tergolong masih rendah. Sebagian besar tidak tamat SD yakni sebesar 8.225, tamat SD sebesar 11.234, tamat SLTP sebanyak 5.129, dan tamat SLTA sebanyak 3.808. Sedangkan, yang Mata pencaharian sebagaian besar penduduk di wilayah ini adalah sebagai petani, buruh tani, buruh bangunan dan buruh industri. Dari sejumlah total 25.435 jiwa yang memiliki mata pencahrian, sebesar 6.879 sebagai petani, 6.773 sebagai buruh tani, 2.459 sebagai buruh bangunan, 2.098 sebagai buruh industri, 761 PNS/ABRI, 745 pedagang, 208 pengusaha kecil, 201 angkutan, dan sebesar 4.822 lainnya seperti sebagai pekerja srabutan, dan 489 pensiunan. Selain itu, tingkat pendidikan warga di wilayah daerah ini tergolong masih rendah. Sebagian besar tidak tamat SD yakni sebesar 8.225, tamat SD sebesar 11.234, tamat SLTP sebanyak 5.129, dan tamat SLTA sebanyak 3.808. Sedangkan, yang

Keberadaan industri kecil rumah tangga di wilayah Kecamatan Bringin ini masih tergolong sangat kecil, dan tidak ada industri menengah atau besar. Sebagian besar industri kecil rumah tangga ini merupakan industri anyaman sebanyak 1.557 unit usaha, mebel 98 unit usaha, tempe/tahu sebesar 85 unit usaha, gula kelapa 37 unit usaha, dan lainnya sebanyak 237 unit usaha. Semua unit usaha ini masih sangat potensial untuk dikembangkan sebagai upaya pengentasan kemiskinan di wilayah daerah ini.

Kemiskinan dan Kesejahteraan Masyarakat di Pedesaan

Memahami kesejahteraan dan masalah kemiskinan merupakan langkah pertama yang harus dipahami dalam pengentasan kemiskinan. Berkurangnya kemiskinan berarti meningkatkan kesejahteraan. Kedua konsep istilah tersebut saling terkait dan merupakan dua sisi yang berbeda atas masalah yang sama. Pengertian secara umum kemiskinan pada dasarnya adalah kurangnya kesejahteraan. Karena itu, kedua istilah tersebut dalam laporan penelitian ini sering digunakan bergantian dan tak perlu diperdebatkan. Batasan pengertian kedua konsep tersebut ditujukan untuk dapat mengakomodir berbagai konsep nasional dan membantu dalam menilai dan menganalisis berbagai dimensi kemiskinan. Argumentasinya adalah karena istilah kemiskinan sering terdengar negatif, maka istilah ”kesejahteraan” membuat tentang pembahasan kemiskinan dapat dilakukan dari sisi positip. Oleh sebab itu, kemiskinan dalam laporan penelitian ini sering dimaknai sebagai ’kurangnya kesejahteraan” dan istilah ”kesejahteraan” sebagai ”kurangnya kemiskinan”.

Tujuan pembangunan suatu negara adalah untuk mensejahterkan masyarakat. Meskipun berbagai program telah banyak dilaksanakan untuk pengentasan kemiskinan, namun masalah kemiskinan sampai saat ini masih terus menerus menjadi masalah yang berkepanjangan. Kemiskinan dan kesejahteraan merupakan dua konsep yang berbeda namun, keduanya saling berkaitan erat dan sebagai sebab akibat. Mereka dianggap belum sejahtera karena mereka masih miskin. Membahas dua konsep tersebut di atas sebenarnya membahas masalah lama namun, masalah tersebut hingga kini tak pernah ”usang”. Apa dan bagaiamana profil kemiskinan, mengapa mereka miskin, apa sebab-sebabnya mereka bisa miskin dan sebagainya bukanlah masalah baru. Masalah kemiskinan di pedesaan semakin dikaji justru akan memperoleh sesuatu yang makin rumit. Dampak dari pengaruh negatif modernisasi yang tak dapat mereka kuasai, maka masalah kemiskinan menjadi semakin rumit dan berdemensi jamak, meskipun berbagai program anti kemiskinan baik oleh Tujuan pembangunan suatu negara adalah untuk mensejahterkan masyarakat. Meskipun berbagai program telah banyak dilaksanakan untuk pengentasan kemiskinan, namun masalah kemiskinan sampai saat ini masih terus menerus menjadi masalah yang berkepanjangan. Kemiskinan dan kesejahteraan merupakan dua konsep yang berbeda namun, keduanya saling berkaitan erat dan sebagai sebab akibat. Mereka dianggap belum sejahtera karena mereka masih miskin. Membahas dua konsep tersebut di atas sebenarnya membahas masalah lama namun, masalah tersebut hingga kini tak pernah ”usang”. Apa dan bagaiamana profil kemiskinan, mengapa mereka miskin, apa sebab-sebabnya mereka bisa miskin dan sebagainya bukanlah masalah baru. Masalah kemiskinan di pedesaan semakin dikaji justru akan memperoleh sesuatu yang makin rumit. Dampak dari pengaruh negatif modernisasi yang tak dapat mereka kuasai, maka masalah kemiskinan menjadi semakin rumit dan berdemensi jamak, meskipun berbagai program anti kemiskinan baik oleh

Berbagai hasil penelitian sebelumnya, Penny (1990) Baharsjah (1992) Mubyarto (1994) dan seterusnya, diketahui bahwa kemiskinan yang parah dan meluas tanpak lebih tajam di pedesaan, sehingga banyak penelitian tentang kemiskinan termasuk penelitian ini dipusatkan di wilayah daerah pedesaan. Hasil penelitian kemiskinan yang dilakukan di wilayah daerah pedesaan sampel Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang ini menunjukkan bahwa kemiskinan di daerah pedesaan ini tidak semata-mata kurangnya modal agregat di pedesaan. Tetapi juga disebabkan karena tidak meratanya penguasaan aset ”modal” produksi, masih rendahnya kualitas sumber daya manusia, dan pola kepemilikan aset yang kurang optimal pemanfaatannya.

Kepemilikan sebagaian besar aset tanah di wilayah daerah ini merupakan wilayah daerah lereng pengunungan milik pemerintah, yang masih banyak ditanami pohon karet dan kayu lainnya. Sebagian besar mata pencaharian mereka adalah sebagai buruh tani, petani ladang dan pedagang, serta sedikit pegawai negeri. Karena sebagian besar warga masyarakat masih berpendidikan rendah tidak tamat Sekolah Dasar (SD) dan setingkat SD serta masih sedikit yang setingkat Menengah dan atas, apalagi yang lulus perguruan tinggi, maka ini menandakan bahwa kualitas mutu kehidupan sumber daya masnusia (SDM) di sana masih rendah. Jika masalah kualitas mutu SDM ini tidak segera ditangani, maka dikuatirkan masalah ini dapat menjadi penyebab utama gejala kemiskinan massal yang jurtru akan lebih mengerikan.

Berdasarkan kajian hasil penelitian dapat disimpulkan sementara bahwa segala masalah kemiskinan di daerah pedesaan ini diawali dengan adanya kualitas kehidupan SDM yang rendah, sehingga potensi sumber daya daerah ini rendah. Oleh sebab itu, sebagai salah satu solusinya yang terbaik, terlebih dahulu harus dapat membangun manusia pembangunan. Jika warga masyarakat kita dididik dan diberikan ketrampilan, pelatihan, baik secara intelktual, kultur dan mental-spiritual akan bangkit kesadaran meraka untuk dapat melepaskan dirinya sendiri dan keluarga dari masalah kemiskinan.

Argumentasinya bahwa ternyata tedapat masalah yang sangat krusial tentang kualtas kehidupan SDM di daerah penelitian ini, sehingga masalah ini bukanlah tanggungjawab pemerintah semata, tetapi juga tanggungjawab masyarakat luas termasuk kita. Jika dikaji lebih dalam, pemegang peranan penting untuk mempersiapkan SDM adalah keluarga, yang merupakan unit sosial terkecil dalam masyarakat. Dengan demikian, di pundak keluargalah semua harapan akan kemerdekaan hidup sejahtera lepas dari kemiskinan diletakan. Karena Argumentasinya bahwa ternyata tedapat masalah yang sangat krusial tentang kualtas kehidupan SDM di daerah penelitian ini, sehingga masalah ini bukanlah tanggungjawab pemerintah semata, tetapi juga tanggungjawab masyarakat luas termasuk kita. Jika dikaji lebih dalam, pemegang peranan penting untuk mempersiapkan SDM adalah keluarga, yang merupakan unit sosial terkecil dalam masyarakat. Dengan demikian, di pundak keluargalah semua harapan akan kemerdekaan hidup sejahtera lepas dari kemiskinan diletakan. Karena

Karakteristik dan Dinamika Kemiskinan di Daerah Penelitian

Berdasarkan data kemiskinan di Kabupaten Semarang, (2008; 2009) Kecamatan Bringin merupakan salah satu wilayah daerah yang banyak memiliki warga miskin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar warga miskin di kecamatan ini berada di desa Wiru dan Desa Gogodalem. Di kedua desa ini selain terdapat banyak warga miskin juga warga yang mengalami rawan pangan. Mengapa masalah kemiskinan dan rawan pangan dapat terjadi di wilayah Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang ini? Bagaimana karakteristik dan dinamika kemiskinan dan rawan pangan di wilayah ini? Seberapa besar dampak kemiskinan ini terjadi? Faktor dominan apa yang mempengaruhi kemiskinan mereka, serta bagaimana solusinya? Semua pertanyaan ini sangat menarik untuk dikaji dalam penelitian ini dan sekaligus untuk ditindaklajuti penanganannya, sehingga jumlah orang miskin dan rawan pangan dapat dikurangi secara signifikan.

Secara konvensional baik teori maupun empiris, melacak sebab-sebab mengapa kemiskinan tersebut dapat terjadi, telah banyak dilakukan oleh pemerintah, lembaga, swadaya masyarakat maupun peneliti. Hasilnya dapat disimpulkan bahwa sebab-sebab kemiskinan terletak pada watak atau karakteristik dan perilaku orang miskin itu sendiri. Artinya, bagaimanapun ihwal pemberantasan kemiskinan tidak saja menjadi keinginan dari pihak masyarakat miskin itu sendiri, akan tetapi merupakan tugas pemerintah dan lembaga terkait serta kita bersama, dengan cara disepakati bersama. Berbagai sebab-sebab kemiskinan secara struktural biasanya dapat dengan mudah dilacak karena banyak dipengaruhi oleh banyak faktor sebagai berikut.

1. Kurangnya demokrasi: hubungan kekuasaan yang menghilangkan kemampuan suatu warga negara untuk memutuskan masalah yang menjadi perhatian mereka;

2. Kurangnya memperoleh alat-alat produksi (lahan dan teknologi) dan sumber daya (pendidikan, kredit dan akses pasar) oleh mayoritas penduduk;

3. Kurangnya mekanisme yang memadai untuk akumulasi dan distribusi

4. Disintegrasi ekonomi nasional, yang berorientasi memenuhi pasar asing daripada pasar domestik;

5. Pengikisan peran pemerintah sebagai perantara dalam meminimalkan ketimpangan sosial, contohnya melalui swastanisasi program-program sosial

6. Eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya alam dan tercemarnya ekosistem yang secara tidak proporsional berdampak kepada orang miskin; dan

7. Kebijakan-kebijakan yang menyebabkan monopolisasi ekonomi dan polarisasi masyarakat, yang memacu semakin bertambahnya penumpukan pendapatan dan kesejahteraan hanya pada sebagian kecil orang saja.

Kemiskinan dapat diartikan sebagai kekurangan banyak hal. Kemiskinan dapat berarti disebabkan karena kurangnya penghasilan atau pendapatan untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka. Apabila batasan kemiskinan yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan kemiskinan absolut, yakni kemiskinan yang diukur dari rendahnya tingkat pendapatan yang dibutuhkan dan dimiliki untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, sedangkan kemiskinan relatif yang berarti tingkat pendapatanya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya saja, maka masih banyak penyebab kemiskinan yang dapat menyebabkan mengapa warga masyakarakat di daerah penelitian tersebut miskin baik secara internal maupun eksternal.

Faktor penyebab kemiskinan mereka secara eksternal diantaranya adalah dampak dari kenaikan harga BBM di tahun 2005 yang cukup memicu inflasi tinggi, sehingga mampu menekan taraf hidup sebagian warga masyarakat setempat, terlebih warga masyarakat yang sebelumnya sudah miskin. Mereka yang pada mulanya hampir miskin menjadi menurun taraf hidupnya sebagai akibat kenaikan harga bahan kebutuhan pokok yang naiknya jauh lebih tinggi daripada kenaikan pendapatan yang mereka terima. Penyebab faktor eksternal yang tak kalah pentingnya adalah seperti yang telah dikemukakan di atas. Kurangnya demokrasi, yakni kurang melibatkan partisipasi aktif langsung warga masyarakat dalam mengentaskan kemiskinan. Misal dalam menentukan warga miskin untuk menerima bantuan langsung tunai (BLT). Kurangnya memperoleh akses kredit perbankan karena sebagian besar warga bermata pencaharian bukan sebagai pengusaha, sehingga tidak mampu pula mengakses alat-alat produksi (lahan dan teknologi) serta sumber daya (pendidikan dan akses pasar).

Faktor penyebab kemiskinan secara internal di daerah penelitian terutama terpusat pada masih rendahnya kualitas kehidupan sumber daya manusia (SDM). Rendahnya kualitas SDM pada keluarga miskin, menyebabkan mereka tidak dapat meraih berbagai fasilitas dan sumber daya yang tersedia di daerah maupun di pasaran. Pola pengentasan yang cenderung tidak mendidik seperti BLT, justru memicu semakin tidakberdayanya mereka. Pola pengentasan kemiskinan seperti ini, cenderung tidak mendidik dan perlu dikoreksi masyarakat. Ada sebagian responden yang menyatakan sangat mengarapkan Faktor penyebab kemiskinan secara internal di daerah penelitian terutama terpusat pada masih rendahnya kualitas kehidupan sumber daya manusia (SDM). Rendahnya kualitas SDM pada keluarga miskin, menyebabkan mereka tidak dapat meraih berbagai fasilitas dan sumber daya yang tersedia di daerah maupun di pasaran. Pola pengentasan yang cenderung tidak mendidik seperti BLT, justru memicu semakin tidakberdayanya mereka. Pola pengentasan kemiskinan seperti ini, cenderung tidak mendidik dan perlu dikoreksi masyarakat. Ada sebagian responden yang menyatakan sangat mengarapkan

Berdasarkan hasil penelitian, masih ada beberapa faktor penyebab kemiskinan secara internal di daerah penelitian yang makin menunjukkan kompleksitasnya masalah kemiskinan tersebut. Hasil penelitian ini baru dikaji dari aspek ekonomi saja sudah rumit, dan mungkin akan semakin rumit lagi jika dilihat dari segi sosial, politik dan budaya. Dari aspek ekonomi, karakteristik dan penyebab kemiskinan ini dapat dilihat dari matapencaharian warga miskin dan tingkat pendapatan yang diperoleh. Ketika matapencaharian mereka semakin tidak banyak alternatif, maka tingkat pendapatan mereka makin rendah, dan pada gilirannya ketika tingkat pendapatan mereka tidak cukup memenuhi kebutuhan pokoknya, maka mereka menjadi miskin.

Mata pencaharian pokok warga miskin

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerjaan utama rumah tangga keluarga miskin dan rawan pangan di daerah penelitian wilayah Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang adalah sebagai buruh tani dan petani. Ketika musim kemarau tiba, maka mata pencaharian petani miskin yang semula sebagai petani padi beralih matapencahariannya menjadi petani jagung atau ubi. Ketika itu pula, jumlah rumah tangga rawan pangan yang bekerja sebagai buruh tani makin banyak. Secara lebih rinci mengenai pekerjaan KK rawan pangan pada tahun 2008-2009 di wilayah daerah Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang dapat didiskripsikan sebagai berikut.

Tabel-1 Mata Pencaharian Responden Sampel Rumah Tangga Miskin dan Rawan Pangan

di Wilayah Daerah Penelitian Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang

Pekerjaan Responden Sampel

Total Persen

Desa I

27 21,42 Desa II

21 16,67 Desa III

13 10,32 Desa IV

18 14,28 Desa V

35 27,78 Desa VI

126 100 Sumber: Data Primer, 2009

Pada Tabel-1 menunjukkan bahwa dari 126 responden rumah tangga miskin dan rawan pangan terdapat 92 (73,02 persen) adalah buruh tani dan 34 (26,98 persen) sebagai petani. Selain sebagai buruh tani, desa V (Gogodalem) adalah salah satu desa yang cukup banyak rumah tangga miskin sebagai petani tadah hujan yakni; petani padi, ubi kayu dan jagung. Ketika musim kemarua tiba, kehidupan mereka beralih menjadi petani ubi atau jagung. Kondisi tersbut justru menunjukkan bahwa kehidupan warga petani miskin seperti ini masih rentan terhadap rawan pangan. Sekalipun, pada Desa V ini jumlah penduduk rawan pangannya lebih sedikit dibanding desa I (Wiru). Barangkali masalah ini yang membuat keputusan Pemerintah Daerah setempat memutuskan Desa Wiru dijadikan sebagai sentra desa percontohan program mandiri pangan.

Jika dikaji lebih lanjut, sebagian besar kehidupan warga miskin yang sebagai petani ini juga tidak memiliki tanah ladang yang cukup. Untuk warga petani yang mengaku tidak miskin saja hanya memiliki paling luas rata-rata kurang dari 0,5 hektar. Selain itu, lahan tersebut sebagian besar kurang subur, karena kondisi air di wilayah ini sebagian besar sangat kurang. Hal ini logis karena daerah ini adalah merupakan daerah lereng pegunungan yang airnya paling banyak hanya dari curah hujan saja. Sedangkan sumber air untuk kehidupan ketika di musim kemarau menjadi tersa sangat sulit. Dampak berikutnya dari kekurangan air sebagai sumber kehidupan ini, jelas bahwa kehidupan pertanian mereka juga menjadi kurang subur. Selanjutnya, ketika hasil pertanian mereka sudah tidak dapat diandalkan lagi, maka mereka akan mengalami kemiskinan dan rawan pangan sebagaimana kehidupan ini berputar. Kehidupan ini semakin dirasakan parah jika mereka mengaku sebagai petani, tetapi mereka sendiri tidak memiliki ladang pertanian.

Mata pencaharian tambahan warga miskin

Pada umumnya, responden sampel menjelaskan bahwa pekerjaan pokok mereka adalah sebagai petani dan buruh tani. Selain itu, sebagian besar responden tidak memiliki pekerjaan sampingan lain, yakni sebesar 88 rumah tangga atau (69,84 persen). Ada sebayak

38 responden atau 30,16 persen dari warga miskin dan rawan pangan yang memiliki pekerjaan sampingan selain pekerjaannya sebagai petani dan buruh tani adalah; sebagai pekerja srabutan, buruh pabrik/bagunan, pembantu rumah tangga, dan pedagang kecil- kecilan atau warung kaki lima. Hasil penelitian ini selengkapnya dapat dilihat pada Tabel-2 di bawah. Jika kita lihat pekerjaan sebagai buruh bangunan atau buruh pabrik masih sedikit sebenarnya cukup aneh, karena pada dasarnya wilayah daerah ini cukup dekat dengan Kabupaten Semarang yang nota bene cukup banyak industri.

Masih banyaknya rumah tangga miskin ini tindak memiliki pekerjaan sampingan (pekerjaan lain) selain sebagai petani dan buruh tani adalah semakin menyulitkan atau memiskinkan mereka ketika musim kemarau tiba. Fenomena ini terjadi, ketika musim kemarau hasil merka jelas berkurang (menjadi sedikit), yang berarti pula pendapatan mereka semakin kecil, padahal mereka sendiri tidak memiliki sumber-sumber pendapatan lainnya. Kondisi tersebut berarti menunjukkan bahwa produktivitas mereka rendah, maka dampak berikutnya daya beli dan daya saing mereka juga makin rendah. Rendahnya produktivitas ini berarti mendiskripsikan ketidak berdayaan mereka. Namun demikian, apa yang menjadi penyebab utama mereka tidak berdaya ini? Apakah mereka malas atau karena ketidaktahuannya? Bagaimana cara memberdayakan mereka ini, adalah sesuatu hal yang sangat urgen untuk terus dikaji lebih lanjut pada penelitian tahap berikutnya.

Tabel-2 Mata Pencaharian Sampingan Warga Miskin dan Rawan Pangan Sampel

Desa

Total Tdk punya

Jenis Pekerjaan

Pedagang Jml

% Jml % I 20 15,87

7 5,55 126 100 Sumber: Data primer, 2009

Hasil penelitian yang didukung data pada Tabel-2 tersebut, makin menegaskan diskripsi bahwa karakteristik mengapa mereka miskin, memang karena mereka sendiri miskin. Pola kemiskinan ini tidak hanya disebabkan karena memang mereka tidak saja memiliki pekerjaan sampingan lainnya. Hal ini dapat dimungkinkan karena mereka tidak memiliki alternatif pekerjaan yang lebih baik lainnya. Mengapa mereka tidak memiliki alternatif pekerjaan baik lainnya, karena mereka memang tidak mengetahui pekerjaan alternatif lain apa yang dapat mereka kerjakan. Dengan demikian dapat dimaknai bahwa masalah pokok mereka sebenarnya adalah ketidaktahuan mencarai pekerjaan lain karena memang mereka tidak memiliki ketrampilan lain selain sebagai petani dan buruh tani. Hasil penelitian ini justru semakin menarik untuk ditindak lanjuti melalui penelitian berikutnya atau melalui pengabdian masyarakat melalui pemberian pelatihan kerja.

Tingkat pendapatan warga miskin

Rata-rata tingkat pendapatan warga miskin dan rawan pangan ini adalah Rp300.000 per bulan, dengan tingkat pendapatan terendah kurang dari Rp200.000,00 dan tingkat pendapatan tertinggi sebesar Rp650.000. Sedangkan, yang lebih menyedihkan adalah warga miskin yang memiliki tingkat pendapatan antara Rp500.000-Rp650.000 justru lebih sedikit yakni sebesar 3,97 persen dibanding yang tingkat pendapatannya kurang dari Rp200.000 ada sebanyak 12,70 persen. Fenomena ini menegaskan bahwa masalah kemiskinan terjadi di daearah penelitian tersebut dapat dinyatakan karena memang redahnya tingkat pendapatan mereka.

Tabel-3.

Tingkat Pendapatan Warga Miskin dan Rawan Pangan Sampel Tingkat Pendapatan Responden Sampel (Rp000)

Desa Rp50-Rp200 Rp200-Rp350 Rp350-Rp500 Rp500-Rp650 Total Jml

5 3,97 126 100 Sumber: Data primer, 2009

Ketika pendapatan mereka rendah, maka daya beli mereka juga rendah, akibtaknya akses mereka terhadap kepemilikan aset yang lain juga rendah. Rendahnya kepemilikan aset tersebut berdampak pada daya saing mereka juga rendah, karena mereka semakin tidak banyak memiliki alternatif lain yang lebih baik. Dengan kata lain, ketika pendapatan yang mereka miliki rendah, maka kepemilikan mereka terhadap pemenuhan kebutuhan pokok mereka juga rendah. Artinya kemiskinan ini secara mutlak terjadi sebab pendapatannya tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok esensi mereka. Sebagian besar dari pendapatan ini, mereka gunakan hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok konsumsi makan sehari-hari saja dan sangat sulit untuk memenuhi kebutuhan pokok lainnya seperti, kesehatan dan pendidikan yang lebih baik. Jika dikaji lebih lanjut, ternyata konsumsi makan mereka, sebagian besar hanya berkualitas rendah, yang berarti gizi mereka juga rendah. Konsumi makan mereka memang nampak tidak masalah dari segi kelancaran. Namun, dari segi asupan gizinya masih tergolong rendah, karena konsumsi mereka jarang menggunakan lauk-pauk yang bergisi.

Dinamika dan karakteristik masalah kemiskinan menjadi semakin parah dan paling parah justru ketika seseorang tidak hanya merasa miskin, tetapi juga kekurangan kemampuan untuk memiliki sarana dan prasarana agar ke luar dari kemiskinannya. Dengan demikian, k emiskinan tidak hanya ”tidak mempunyai ikan” atau BLT, tetapi mereka justru ”tidak tahu” menangkap ikan, atau ”tidak memiliki pancing atau jaring” bahkan ”tidak memiliki hak untuk menangkap ikan”. Artinya, ketika mereka merasa tidak memiliki BLT,

Dokumen yang terkait

ANALISIS KEMAMPUAN SISWA SMP DALAM MENYELESAIKAN SOAL PISA KONTEN SHAPE AND SPACE BERDASARKAN MODEL RASCH

69 778 11

STUDI PENJADWALAN DAN RENCANA ANGGARAN BIAYA (RAB) PADA PROYEK PEMBANGUNAN PUSAT PERDAGANGAN CIREBON RAYA (PPCR) CIREBON – JAWA BARAT

34 235 1

STUDI PERTUKARAN WAKTU DAN BIAYA PADA PROYEK PEMBANGUNAN GEDUNG PERPUSTAKAAN UMUM KABUPATEN PAMEKASAN

5 158 1

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN BEBAS TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA KESUSILAAN DENGAN KORBAN ANAK (Putusan Nomor 24/Pid.Sus/A/2012/PN.Pso)

7 78 16

ANALISIS YURIDIS TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN OLEH OKNUM POLISI DALAM PUTUSAN NOMOR 136/PID.B/2012/PN.MR (PUTUSAN NOMOR 136/PID.B/2012/PN.MR)

3 64 17

PERAN PT. FREEPORT INDONESIA SEBAGAI FOREIGN DIRECT INVESTMENT (FDI) DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA

12 85 1

PENGGUNAAN BAHAN AJAR LEAFLET DENGAN MODEL PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE (TPS) TERHADAP AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI POKOK SISTEM GERAK MANUSIA (Studi Quasi Eksperimen pada Siswa Kelas XI IPA1 SMA Negeri 1 Bukit Kemuning Semester Ganjil T

47 275 59

PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE TPS UNTUK MENINGKATKAN SIKAP KERJASAMA DAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV B DI SDN 11 METRO PUSAT TAHUN PELAJARAN 2013/2014

6 73 58

PENINGKATAN HASIL BELAJAR TEMA MAKANANKU SEHAT DAN BERGIZI MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR-SHARE PADA SISWA KELAS IV SDN 2 LABUHAN RATU BANDAR LAMPUNG

3 72 62