hubungan antara pola asuh dengan delinku

BAB 1
Pendahuluan

1.1. Latar Belakang Masalah
Adapun Hasil Penelitian Badan Narkotika Nasional bekerja sama
dengan Universitas Indonesia (BNN, 2011) menunjukkan bahwa pelaku
penyalahgunaan narkoba dengan suntikan adalah sebesar 572.000 orang
dengan kisaran 515.000 sampai 630.000 orang. Jumlah penyalahgunaan
narkoba sebesar 1,5% dari populasi 3,2 juta orang, yang terdiri dari 69%
kelompok teratur pakai dan 31% kelompok pecandu dengan proporsi lakilaki sebesar 79% dan perempuan 21% (BNN, 2011). Kelompok teratur
pakai terdiri dari penyalahgunaan ganja 71%, shabu 50%, ekstasi 42%,
dan obat penenang 22% (BNN, 2011). Kelompok pecandu terdiri dari
penyalahgunaan ganja 75%, heroin, putaw 62%, shabu 57%, ekstasi 34%,
dan obat penenang 25% (BNN, 2011).
Hasil survei yang dilakukan oleh Komnas Perlindungan Anak
(Ado, 2010) menyebutkan sebanyak 21,2 persen remaja di Indonesia
mengaku pernah melakukan aborsi karena hubungan di luar nikah dengan
teman dekatnya. Akibatnya 8 ribu atau 57,1% kasus HIV/AIDS terjadi
pada remaja dengan 37,8% terinfeksi melalui hubungan seks yang tidak
aman dan 62,2% terinfeksi melalui penggunaan narkoba jarum suntik.
Raymon Tambunan (dalam Nawawi, 2001) dalam artikelnya yang

berjudul “Perkelahian Pelajar” menyatakan bahwa tawuran yang anarkis
sering terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan. Di
Jakarta (Polri, 2010) tercatat setiap tahun mengalami peningkatan kasus.
Tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat
menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar. Tahun 1995 terdapat
194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota Polri.
Sedangkan menurut data Bimas Mabes POLRI (Polri, 2010) antara tahun

1

1995 hingga 1999 terjadi sejumlah 1316 kasus tawuran se-Indonesia. Di
Pulau Jawa terjadi sejumlah 933 kasus. Sedangkan tawuran di luar Pulau
Jawa paling banyak terjadi di Polda Sumsel, yaitu sebanyak 253 kasus.
Berdasarkan catatan Kanwil Depdiknas DKI Jakarta (dalam
Nawawi, 2001), selama tahun ajaran 1999/2000, jumlah pelajar yang
terlibat tawuran pelajar tercatat 1.369 orang. Sebanyak 26 pelajar tewas,
56 oramg luka berat, dan 109 orang luka ringan (Suara Pembaharuan,
2000). Menurut versi harian Media Indonesia (2000) 0,08% dari 1.685.084
orang jumlah siswa terlibat tawuran di Jakarta.
Polda Metro Jaya telah melakukan bukti pelanggaran terhadap

17.000 anak dibawah usia 15 tahun selama 2012 dan 8.000 anak selama
Januari-Juni 2013 (Beritasatu, 2013). Salah satu insiden kecelakaan yang
cukup fenomenal pada bulan September 2013 adalah kecelakaan yang
terjadi Minggu dini hari yang menyebabkan tujuh korban

tewas dan

sembilan lainnya luka-luka. Ironisnya, penyebab peristiwa itu berasal
dari mobil yang dikendarai AQJ, seorang bocah masih berusia 13 tahun,
anak seorang musisi ternama di Indonesia (Republika, 2013).
Berdasarkan data BPS (BPS, 2010) tindak pidana yang dilakukan
remaja pada umumnya adalah tindak pencurian yaitu sebanyak 60%. Hal
ini dilakukan dengan alasan faktor ekonomi sebesar 46%. Pencurian yang
dilakukan oleh

remaja ini karena pihak keluarga kurang mampu

menopang kebutuhan secara materi. Sehingga mereka memilih jalan pintas
melalui mencuri.
Menurut Survei Lembaga Modernisator dan LPEP FEB Unair

(dalam Jawapos, 2013) sebanyak 12,98% pelajar SMP, SMA dan SMK
menjadi perokok aktif dan 14,3% mengaku bahwa kadang-kadang
merokok. Lebih lanjut, mereka menyatakan sebanyak 63% penyebab
merokok karena keluarga.
Berdasarkan fenomena kenakalan remaja (juvenile delinquency)
yang telah dipaparkan sebelumnya, terjadi dari berbagai pengaruh.
Misalnya lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah, teman sebaya,

2

serta aktivitas yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari (Santrock,
2003). John W. Santrock (2003) mendefinisikan kenakalan remaja
(juvenile delinquency) sebagai rentang perilaku yang luas, mulai dari
perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial (seperti bertindak
berlebihan disekolah), pelanggaran (seperti melarikan diri dari rumah),
hingga tindakan-tindakan kriminal (seperti mencuri). Menurut Helen
(2000), kecenderungan berperilaku delinkuensi adalah kecenderungan
individu melakukan perilaku yang bersifat amoral, antisosial, melanggar
hukum, dan mengarah kriminalitas seperti berbohong, membolos sekolah,
kabur dari rumah, menentang orangtua, membawa benda berbahaya

(pistol, pisau), melacurkan diri, baik untuk tujuan ekonomi atau tujuan
lain, mengkonsumsi minuman keras, atau obat terlarang, seks bebas,
bunuh diri, percobaan pembunuhan, sampai tersangkut pembunuhan,
aborsi, dan penganiayaan yang menyebabkan kematian seseorang. Secara
umum, kenakalan remaja dapat dibedakan menjadi dua. Yakni index
offenses yaitu perilaku kriminal yang dilakukan orang dewasa dan status
offenses yaitu perilaku kenakalan yang apabila dilakukan oleh orang
dewasa tidak dapat disebut ilegal (Santrock, 2003).
Istilah remaja berasal dari bahasa latin adolescere yang artinya
“tumbuh untuk mencapai kematangan“. Kematangan ini bisa terjadi secara
mental, emosional, sosial dan fisik (Hurlock, 1999). Remaja disebut
sebagai masa transisi karena secara fisik telah mengalami perkembangan
layaknya orang dewasa. Namun secara emosi masih belum cukup matang.
Sehingga remaja masih mencari identitas dirinya (Santrock, 2003). Emosi
yang masih belum cukup matang, membuat remaja rentan melakukan
perilaku yang menyimpang yang disebut kenakalan remaja (juvenile
delinquency).

3


Tabel 1.1 Review Jurnal Tentang Kenakalan Remaja
No.
1.

Peneliti
Sujoko,
2011

2.

Rahmania
dan
Suminar,
2012

3.

Murtiyani,
2011


4.

Wittenborn,
2002

Metode
Teknik
menentukan
subjek
dengan
stratified random
sampling.

Hasil
Hasil ini menunjukkan bahwa
ada korelasi positif yang
sangat
signifikan
antara
keluarga broken home, pola

asuh orang tua dan interaksi
teman
sebaya
terhadap
kenakalan remaja.
Purposive
Hasil menunjukkan terdapat
sampling, teknik hubungan
negatif
antara
analisis korelasi persepsi terhadap kontrol
product moment
orang
tua
dengan
kecenderungan
perilaku
delinkuensi pada remaja yang
pernah terlibat tawuran.
Analitik

cross Ada hubungan pola asuh
sectional.
orang tua dengan kenakalan
remaja di RW V Kelurahan
Sidokare Kecamatan Sidoarjo
secara positif.
Prosedur
Ada hubungan yang signifikan
korelasional dan antara
gaya
pengasuhan
analisis
permisif dan otoriter dengan
multivariat
tingkat kenakalan. Selain itu,
tidak ada hubungan antara
gaya
pengasuhan
authoritative
dengan

kenakalan remaja.

Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kenakalan
remaja (juvenile delinquency) memiliki hubungan dengan pengasuhan dan
faktor teman sebaya. Faktor teman sebaya dapat dikatakan sebagai bentuk
konformitas. Sedangkan dalam pengasuhan orangtua, terdapat dua hal
yakni dukungan dan kontrol. Barber dkk (1994) dan Kakihara (2009)
membedakan kontrol perilaku dan kotrol psikologis. Kontrol perilaku
berfokus pada mengatur perilaku remaja dengan menciptakan struktur
regulasi melalui beberapa tindakan seperti menentukan batas. Sedangkan
kontrol

psikologis

mengacu

untuk

mengontrol


perilaku,

dengan

memanipulasi emosi, pikiran, perasaan, dan ide-ide dengan menerapkan

4

beberapa teknik berupa menunjukkan ekspresi kecewa, penumbuhan rasa
bersalah, penarikan rasa sayang serta teknik-teknik lainnya untuk
menumbuhkan rasa bangga, bersalah, dan malu (Segrin dan Flora,, 2005).
De kemp, Scholte, Overbeek, dan Engels (2006) mengindikasikan bahwa
pengasuhan secara langsung berkaitan dengan perilaku delinkuensi.
Penelitian ini juga menemukan bahwa dukungan berhubungan dengan
menurunnya level perilaku delinkuensi remaja pada interval 6 bulan
berikutnya.
Namun dalam penelitian ini kami memilih untuk lebih fokus pada
gaya pengasuhan. Karena menurut kami, gaya pengasuhan sudah terbentuk
sejak masih anak-anak. Kami memandang bahwa gaya pengasuhan menjadi
faktor yang riskan bagi terbentuknya kenakalan remaja. Karena keluarga

adalah tempat pertama bagi seseorang untuk tumbuh kembang. Oleh karena
itu, kami lebih memfokuskan hubungan gaya pengasuhan dengan
kenakalan remaja (juvenile delinquency).
Berdasarkan fenomena yang terjadi tersebut, peneliti ingin
mengetahui apakah ada hubungan antara pola asuh dengan kenakalan
remaja (juvenile delinquency). Namun kenakalan remaja (juvenile
delinquency) yang ingin diungkap adalah status offenses yakni kenakalan
yang apabila dilakukan orang dewasa tidak dikatakan ilegal. Hal ini ingin
diketahui lebih lanjut oleh peneliti, karena lebih jarang ditemukan data
berupa kenakalan remaja yang tidak sampai melanggar hukum.
1.2. Batasan Masalah
Penelitian

lebih

sering

membahas

terkait

index

offenses

yang

menggambarkan kenakalan remja (juvenile delinquency). yang mengarah pada
kriminalitas. Sehingga penelitian ini ingin menfokuskan pada kenakalan
remaja yang tidak sampai ke ranah hukum dan melihat perbedaanya terkait
dengan pola asuh orangtua. Pola asuh yang diteliti yakni authoritarian,
authoritative, permissive, dan neglected. Subjek adalah remaja akhir yang
berusia 17-21 tahun.

5

1.3. Rumusan Masalah


Bagaimana gambaran kenakalan remaja yang terjadi saat ini yang
terkait status offenses (kenakalan yang tidak ilegal dimata hukum)?



Apakah terdapat perbedaan status offenses remaja ditinjau dari pola
asuh orangtua (authoritarian, authoritative, permissive, dan
neglected)?

1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kenakalan
remaja terkait status offenses dan mengetehui apakah ada perbedaan status
offenses ditinjau dari pola asuh orangtua (authoritarian, authoritative,
permissive, dan neglected).
1.5. Manfaat Penelitian
Manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:
a. Manfaat Teoritis:


Dapat menambah wawasan terkait hubungan antara pola asuh
dengan juvenile delinquency khususnya status offense remaja.



Dapat mengetahui ada atau tidaknya perbedaan status offenses
remaja

ditinjau

dari

pola

asuh

orangtua

(authoritarian,

authoritative, permissive, dan neglected)
b. Manfaat Praktis:


Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan panduan bagi
orangtua dalam mengasuh anak. Sehingga dapat dengan tepat
memberikan batas dan kotrol dari perilaku anak.



Diharapkan mampu membuat remaja menyadari pentingnya
mengontrol perilaku agar terhindar dari kenakalan yang melanggar
norma maupun hukum.

6

BAB 2
Kajian Teori
1. Remaja
2.1.1. Pengertian Remaja
Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau
tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi
yang mencakup kematangan mental, emosional sosial dan fisik (Hurlock, 1992).
Masa remaja merupakan salah satu periode dari perkembangan manusia. Masa ini
merupakan masa perubahan atau peralihan dari masa kanak-kanak ke masa
dewasa yang meliputi perubahan biologis, perubahan psikologis, dan perubahan
sosial.
Secara teoritis ada pembagian masa perkembangan remaja. Pembagian
masatersebut didasarkan pada timbulnya ciri yang berbeda dari tiap masa atau
munculnya sesuatu ciri membedakan dari masa sebelumnya.
Hurlock

(dalam

Simandjuntak,

1984)

membuat

pembagian

usia

perkembangan yaitu early adolesence dengan usia 12 hingga 16 tahun dan late
adolesence dengan usia 17 hingga-21 tahun. Pada masa remaja cenderung muncul
masalah dalam lingkup yang lebih luas. Masalah yang ditimbulkan oleh remaja
tidak lagi terbatas dalam lingkungan keluarga, tetapi sudah ke masyarakat yang
lebih luas. Karena itu, masalah yang ditimbulkan oleh remaja menjadi masalah
sosial. Apabila masyarakat atau orang tua menolak kehadiran para remaja untuk
berperan dalam kehidupan masyarakat, maka remaja dapat melakukan hal yang
tidak dikehendaki oleh masyarakat, perilaku yang menarik perhatian untuk
mencari eksistensi dirinya.
Berikut merupakan ciri-ciri remaja:
a. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa.
Pada masa ini terjadi proses perkembangan fisik, mental, emosi, maupun sosial.
Keadaan fisik akan menyerupai fisik orang dewasa.

7

b. Remaja mengalami perkembangan kapasitas intelektual dan pengalaman
akademis. Keterampilan dan konsep yang berguna bagi masa depan remaja,
banyak diperoleh pada masa ini.
c. Masa remaja merupakan periode timbulnya keinginan-keinginan, kesadaran
diri, serta pengembangan idealisme. Remaja mengalami keinginan untuk bergaul
lebih luas dan masuk ke dalam kehidupan kelompok. Status dalam kelompok
sangat berarti bagi remaja sehingga norma-norma kelompok, sering mengalahkan
norma-norma keluarga. Disamping itu perhatian terhadap lawan jenis mulai
timbul.
d. Masa remaja dianggap sebagai suatu periode mencari identitas diri, mencari
status yang jelas bagi dirinya Remaja berusaha mendapatkan status kedewasaan
dengan jalan melepaskan diri dari orang tuanya. Masa ini merupakan masa
pertumbuhan dan perkembangan minat terhadap pekerjaan.
2.1.2. Tugas Perkembangan Remaja
Perkembangan masa remaja difokuskan pada upaya meninggalkan sikap
dan perilaku kekanak-kanakan untuk mencapai kemampuan bersikap dan
berperilaku dewasa. Adapun tugas-tugas perkembangan masa remaja menurut
Hurlock (1991) adalah sebagai berikut:
1) Mampu menerima keadaan fisiknya.
2) Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa.
3) Mampu membina hubungan baik dengan lawan jenis.
4) Mencapai kemandirian emosional.
5) Mencapai kemandirian ekonomi.
6) Mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang sangat
diperlukan untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat
7) Memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai orang dewasa dan
orang tua.
8) Mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang diperlukan untuk
memasuki dunia dewasa.
9) Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan.

8

10)Memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab kehidupan
keluarga.
Tugas-tugas perkembangan fase remaja ini amat berkaitan dengan
perkembangan kognitifnya, yaitu fase operasional formal. Kematangan
pencapaian fase kognitif akan sangat membantu kemampuan dalam
melaksanakan tugas perkembangan dengan baik. Sehingga dapat
melaksanakan tugas-tugas perkembangan yang diperlukan kemampuan
kreatif

remaja.

Kemampuan

kreatif

ini

banyak

diwarnai

oleh

perkembangan kognitifnya (Ali dan Asrori, 2009)
2.1.3. Remaja Akhir (Late Adolescent)
Sulaeman (1995) menyebutkan ciri-ciri umum masa remaja akhir yaitu
pemilihan jalan kehidupan mulai menjadi fokus perhatian, mncul kesadaran akan
bakat yang dimiliki, dan kecenderungan untuk menetapkan jenis pekerjaan yang
akan dipilihnya
Menurut Mappiare (1982) ciri- ciri umum remaja akhir yaitu stabilitas
mulai timbul dan meningkat, citra diri dan pandangan yang lebih realistis,
menghadapi masalahnya secara lebih matang, dan perasaan menjadi lebih tenang.
Mappiare (1982) menyatakan bahwa ciri- ciri yang ada pada remaja akhir yang
dikemukakakan sebelunya merupakan ciri-ciri remaja akhir yang dapat dikatakan
tidak mempunyai persoalan serius.
Remaja akhir menurut Widyastuti dkk (2009) adalah remaja yang berusia
sekitar 16-19 tahun dengan ciri mengungkapkan kebebasan diri, pencarian teman
sebaya yang lebih selektif, memiliki citra tersendiri terhadap dirinya, dapat
mewujudkan perasaan cinta, dan memiliki kemampuan berpikir khayal atau
abstrak.
Kesimpulannya adalah remaja akhir merupakan remaja yang
sedang berusaha mencari identitas diri dengan mulai menemukan bakat yang
dimiliki, membangun citra diri, dan berimajinasi tentang kehidupan yang akan
datang.

9

2. Kenakalan Remaja
2.2.1. Pengertian Kenakalan Remaja
John W. Santrock (2003) mendefinisikan kenakalan remaja (juvenile
delinquency) sebagai rentang perilaku yang luas, mulai dari perilaku yang tidak
dapat diterima secara sosial (seperti bertindak berlebihan disekolah), pelanggaran
(seperti melarikan diri dari rumah), hingga tindakan-tindakan kriminal (seperti
mencuri). Menurut Helen (2000), kecenderungan berperilaku delinkuensi adalah
kecenderungan individu melakukan perilaku yang bersifat amoral, antisosial,
melanggar hukum, dan mengarah kriminalitas seperti berbohong, membolos
sekolah, kabur dari rumah, menentang orangtua, membawa benda berbahaya
(pistol, pisau), melacurkan diri, baik untuk tujuan ekonomi atau tujuan lain,
mengkonsumsi minuman keras, atau obat terlarang, seks bebas, bunuh diri,
percobaan pembunuhan, sampai tersangkut pembunuhan, aborsi, penganiayaan
yang menyebabkan kematian seseorang.
Kesimpulan kenakalan remaja (juvenile delinquency) adalah perilaku yang
merugikan diri sendiri bahkan oranglain antara lain dengan melawan hukum
(kriminal) maupun yang tidak kriminal (melanggar norma).
2.2.2. Status Offenses dan Index Offenses
Santrock (2006) membuat perbedaan

kenakalan remaja (juvenile

delinquency) menjadi index offenses dan status offenses. Index offenses (indeks
pelanggaran) adalah suatu bentuk tindakan yang telah berada pada taraf tindak
kriminal baik itu dilakukan oleh orang dewasa maupun anak-anak. Tindakan
index offenses meliputi pencurian, perampokan, pemerkorsaan, pembunuhan, dan
lain-lain. Sedangkan status offenses adalah tindakan-tindakan pelanggaran yang
dilakukan anak-anak hingga remaja namun bukan suatu bentuk tindak kriminal
baik itu dilakukan oleh orang dewasa maupun anak-anak. Tindakan status
offenses antara lain lari dari rumah, membolos sekolah, minum-minuman keras,
menentang orangtua, sulit mengontrol emosi, dan lain-lain.

10

2.2.3. Aspek – Aspek Kenakalan Remaja
Sejumlah ahli telah mengklasifikasikan perilaku delinkuensi remaja ke
dalam berbagai macam bentuk. Jensen (dalam Sarwono, 2002) membagi
kenakalan remaja menjadi empat bentuk yaitu:
a. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain: perkelahian,
perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lain-lain.
b. Kenakalan yang meninbulkan korban materi: perusakan, pencurian,
pencopetan, pemerasan, dan lain-lain.
c. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain:
pelacuran, penyalahgunaan obat, hubungan seks bebas, dan lain-lain.
d. Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status anak
sebagai pelajar dengan cara membolos, kabur dari rumah, membantah
perintah, dan lain-lain.
Hurlock (1973) berpendapat bahwa kenakalan yang dilakukan remaja
terbagi dalam empat bentuk, yaitu:
a. Perilaku yang menyakiti diri sendiri dan orang lain.
b. Perilaku yang membahayakan hak milik orang lain, seperti merampas,
mencuri, dan mencopet.
c. Perilaku yang tidak terkendali, yaitu perilaku yang tidak mematuhi
orangtua dan guru seperti membolos, mengendarai kendaran dengan tanpa
surat izin, dan kabur dari rumah.
d. Perilaku yang membahayakan diri sendiri dan orang lain, seperti
mengendarai

motor

dengan

kecepatan

tinggi,

memperkosa

dan

menggunakan senjata tajam.
Berdasarkan bentuk kenakalan remaja yang telah dipaparkan sebelumnya,
dapat disimpulkan bahwa perilaku remaja tersebut dapat menimbulkan dampak
negatif yang tidak baik bagi dirinya sendiri, orang lain, serta lingkungan
sekitarnya.

11

2.2.4. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kenakalan Remaja
Faktor-faktor kenakalan remaja menurut Santrock, (1996) sebagai berikut :
a. Identitas
Menurut teori perkembangan yang dikemukakan oleh Erikson (dalam
Santrock, 1996) masa remaja ada pada tahap di mana krisis identitas versus difusi
identitas harus di atasi. Perubahan biologis dan sosial memungkinkan terjadinya
dua bentuk integrasi terjadi pada kepribadian remaja yaitu terbentuknya perasaan
akan konsistensi dalam kehidupannya dan tercapainya peran identitas, kurang
lebih dengan cara menggabungkan motivasi, nilai-nilai, kemampuan dan gaya
yang dimiliki remaja dengan peran yang dituntut dari remaja. Erikson (dalam
Santrock, 1996) percaya bahwa kenakalan remaja terutama ditandai dengan
kegagalan remaja untuk mencapai integrasi yang kedua, yang melibatkan aspekaspek peran identitas.
b. Kontrol diri
Hasil penelitian yang Santrock (1996) menunjukkan bahwa kontrol diri
mempunyai peranan penting dalam kenakalan remaja. Pola asuh orangtua yang
efektif di masa kanak-kanak (penerapan strategi yang konsisten, berpusat pada
anak, dan tidak aversif) berhubungan dengan dicapainya pengaturan diri oleh
anak.
c. Usia
Munculnya tingkah laku anti sosial di usia dini berhubungan dengan
kenakalan masa remaja. Namun, tidak semua anak yang bertingkah laku nakal
pasti saat remaja kan menjadi seseorang yang berperilaku nakal pula (Kartono,
2003).
d. Jenis kelamin
Remaja laki-laki lebih banyak melakukan tingkah laku anti sosial daripada
perempuan. Menurut Kartono (2003) pada umumnya jumlah remaja laki-laki yang

12

melakukan kejahatan dalam kelompok gang diperkirakan 50 kali lipat daripada
gang remaja perempuan.
e. Harapan terhadap pendidikan dan nilai-nilai di sekolah
Remaja yang menjadi pelaku kenakalan seringkali memiliki harapan yang
rendah terhadap pendidikan di sekolah. Mereka merasa bahwa sekolah tidak
begitu bermanfaat untuk kehidupannya. Sehingga biasanya nilai-nilai mereka
terhadap sekolah cenderung rendah dan mereka tidak mempunyai motivasi untuk
sekolah.
3. Pola Asuh Orang Tua
2.3.1. Pengertian Pola Asuh Orang Tua
Pola asuh terdiri dari dua kata yaitu pola dan asuh. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, pola berarti corak, model, sistem, cara kerja, bentuk (struktur)
yang tetap. Sedangkan kata asuh dapat berati menjaga (merawat dan mendidik)
anak kecil, membimbing (membantu; melatih dan sebagainya), dan memimpin
(mengepalai dan menyelenggarakan) satu badan atau lembaga. Pola asuh berarti
bagaimana orang tua memperlakukan anak, mendidik, membimbing dan
mendisiplinkan serta melindungi anak dalam mencapai proses kedewasaan,
hingga pembentukan norma-norma yang diharapkan oleh masyarakat pada
umumnya (Casmini, 2007).
Menurut Baumrind (dalam Bee & Boyd, 2004) pengasuhan pada
prinsipnya merupakan parental control.

Kohn (dalam Casmini, 2007)

menyatakan bahwa pengasuhan merupakan cara orang tua berinteraksi dengan
anak yang meliputi, pemberian aturan, hadiah, hukuman, pemberian perhatian,
serta tanggapan terhadap perilaku anak. Pada dasarnya pola asuh dapat diartikan
seluruh cara perlakuan orang tua yang di terapkan pada anak. Banyak ahli
mengatakan pengasuhan anak (child rearing) adalah bagian penting dan
mendasar, menyiapkan anak untuk menjadi masyarakat yang baik (Wiwit
Wahyuning., Jash., & Metta Rachmadian, 2003). Ulwan (2009) menambahkan
jika remaja diperlakukan oleh orang tua dengan perlakuan yang kejam, dididik

13

dengan pukulan yang keras dan cemoohan pedas, serta diliputi dengan
penghinaan, ejekan dan pemberian label-label negatif maka yang akan
menimbulkan citra diri negatif pada remaja. Kesimpulannya, pola asuh akan
menjadi membentuk perilaku anak.
Menurut Baumrind (dalam Bee & Boyd, 2004), pola asuh dibagi menjadi
4 jenis yaitu Authoritarian, Authoritativ, permissive,dan

neglected.Pola asuh

authoritarian menetapkan standar perilaku pada anak akan tetapi kurang responsif
terhadap hak dan keinginan anak. Orang tua memiliki kendali yang tinggi dalam
membentuk, mengendalikan, dan mengevaluasi perilaku anak. Kurang adanya
kedekatan dan komunikasi antara anak dengan orang tua. Pola asuh ini
menekankan pada kebutuhan orang tua yaitu ketika pendapat orang tua lebih di
utamakan dan hukuman menjadi cara untuk membentuk kepatuhan terhadap anak.
Anak yang dibesarkan dalam pola asuh ini biasanya memiliki mood yang kurang
stabil, pasif, penuh konflik dalam sosialisasi, dan jika frustrasi ia akan cenderung
memusuhi sesama.
Pola asuh authoritative menetapkan standar perilaku atau aturan terhadap
anak namun tetap responsif terhadap kebutuhan anak (Bee & Boyd, 2004). Orang
tua menggunakan pendekatan secara rasional dan demokratis. Terjalin keakraban
antara orang tua dan anak serta peran orang tua yang mampu menghargai dan
mengarahkan aktivitas anak. Orang tua dapat menghargai dan mendengarkan
pendapat anak. Peraturan yang diberikan adalah peraturan yang disertai dengan
penalaran dan alasan. Anak yang dibesarkan dengan pola asuh ini akan lebih
kompeten dalam bersosialisasi, adaptif, terampil bergaul, dan percaya diri.
Pola asuh permissive menetapkan suatu standar dimana orang tua hanya
menerapkan sedikit aturan dan jarang menggunakan kekerasan ataupun kuasa
(Bee & Boyd, 2004). Orang tua bersikap responsif terhadap kebutuhan dan
keinginan anak tanpa adanya tuntuan ataupun kontol terhadap anak. Penerapan
kedisiplinan hanya sedikit dan ada sikap tidak konsisten dalam penerapannya.
Kebebasan yang diberikan lebih banyak bahkan menyebabkan anak dapat berbuat
semaunya. Anak yang dibesarkan dalam pola asuh ini cenderung kurang dewasa,

14

akan mengalami kesulitan ketika menghadapi tugas-tugas, dan kurang patuh
terhadap aturan.
Pola asuh neglected biasanya memiliki interaksi waktu yang sedikit
dengan anak-anaknya. Pola asuh ini orang tua lebih mementingkan kepentingan
sendiri misalnya terlalu sibuk, tidak peduli bahkan tidak tahu anaknya dimana
atau sedang dengan siapa, dan lain sebagainya.
2.3.2. Aspek – Aspek Pola Asuh Orang Tua
Menurut Diana Baumrind (Bee & Boyd, 2004), terdapat empat aspek yang
dalam pola asuh orang tua, yaitu :
1. Kendali dari orang tua (Parental control)
Merupakan tingkah laku orang tua dalam menerima dan menghadapi
perilaku anak yang tidak sesuai dengan perilaku yang diharapkan. Hal ini
juga termasuk usaha orang tua untuk mengubah tingkah laku anak yang
dianggap kurang baik.
2. Tuntutan terhadap tingkah laku matang (Parental maturity demands)
Perilaku orang tua dalam membantu anak agar dapat bersikap mandiri
serta bertanggung jawab dalam segala tindakan.
3. Komunikasi antara orang tua dan anak (Parent-child communication)
Usaha orang tua dalam menciptakan komunikasi verbal dengan anak atau
ada komunikasi dua arah (antara orang tua dan anak).
4. Pengasuhan dan pemeliharaan orang tua terhadap anak (Parental
nurturance)
Ungkapan kasih sayang, perhatian, dan dorongan orangtua pada anak.
Terdiri kehangatan yang merupakan pencurahan bentuk kasih sayang
orang tua berupa sentuhan fisik, dukungan verbal, dan keterlibatan yang
ditunjukkan dengan pengenalan akan tingkah laku dan perasaan anak.
2.3.3. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Orang Tua
15

Adapun faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua terhadap anak
adalah (Edward, 2006):

a. Pendidikan orang tua
Hasil riset dari Sir Godfrey Thomson menunjukkan bahwa pendidikan
diartikan sebagai pengaruh lingkungan pada individu untuk menghasilkan
perubahan yang tetap atau permanen di dalam kebiasaan tingkah laku, pikiran dan
sikap. Orang tua yang memiliki pengalaman sebelumnya dalam mengasuh anak
akan lebih siap menjalankan pengasuhan. Selain itu orang tua akan lebih mampu
mengamati tanda-tanda pertumbuhan dan perkembangan yang normal (Supartini,
2004).
b. Lingkungan
Lingkungan banyak mempengaruhi dalam perkembangan anak, maka
tidak mustahil jika lingkungan juga ikut serta mewarnai pola-pola pengasuhan
yang diberikan orang tua terhadap anak.
c. Budaya
Sering kali orang tua mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat
dalam mengasuh anak yaitu kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam mengasuh
anak. Karena pola-pola tersebut, dianggap berhasil dalam mendidik anak kearah
kematangan. Orang tua mengharapkan kelak anaknya dapat diterima dimasyarakat
dengan baik, Oleh karena itu kebudayaan atau kebiasaan masyarakat dalam
mengasuh anak juga mempengaruhi orang tua dalam memberikan pola asuh
terhadap anaknya (Anwar, 2000).
2.4. Perbedaan Status Offenses ditinjau Dari Pola Asuh
Loeber dan Stouthamer (1986) menyatakan dalam penelitiannya bahwa
orang tua yang mengasuh dengan gaya neglected yaitu kurangnya pengawasan,
tidak disiplin, kurangnya dukungan omosional, dan penolakan dapat memprediksi
kenakalan pada remaja. Dornbusch et al. (1998) menyatakan bahwa orangtua yang
authoritarian akan mempengaruhi perilaku anak mereka menjadi cenderung nakal

16

(juvenile delinquency). Chassin, McLoughlin, dan

Sher (1988) menyatakan

bahwa orang tua yang menggunakan obat-obatan terlarang (narkoba) berpengaruh
pada anak. Menurut Baumrind (2011) pola asuh neglected dan authoritarian
cenderung dikaitkan dengan penggunaan narkoba.
2.5. Hipotesis
HO

: Tidak ada perbedaan status offenses ditinjau dari gaya pengasuhan
(authoritarian, authoritative, permissive, dan neglected).

HI

: Ada perbedaan status offenses ditinjau dari gaya pengasuhan
(authoritarian, authoritative, permissive, dan neglected)

17

Bab 3
Metode Penelitian

3.1.

Identifikasi Variabel
Pada penelitian ini , peneliti ingin mengetahui perbedaan status
offenses ditinjau dari pola asuh (authoritarian, authoritative, permissive,
dan neglected). Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah status
offenses sedangkan variabel bebas adalah pola asuh orang tua yang terdiri
atas authoritarian, authoritative, permissive, dan neglected.

3.2.

Definisi Operasional
Kenakalan remaja (juvenile delinquency) yang bersifat status
offenses adalah ketika seorang remaja yang melakukan perilaku bersikap
amoral namun tidak dapat disebut sebagai hal yang ilegal seperti
berbohong, menentang orang tua, membolos sekolah, dan melanggar
peraturan sekolah.Berdasarkan pada kamus besar bahasa Indonesi ,
berbohong adalah ketika seseorang mengucapkan suatu perkataan yang
tidak sesuai dengan kenyataan sehingga hal tersebut dapat dikatakan tidak
benar atau palsu. Menentang orang tua adalah perilaku ketika seseorang
memberikan

perlawanan secara perkataan maupun perbuatan sebagai

bentuk ketidaksetujuaan terhadap orang tua. Membolos sekolah adalah
perilaku ketika seseorang tidak mengikuti proses belajar mengajar disertai
dengan ketidakhadiran di sekolah tanpa disertai alasan yang jelas dan tidak
diketahui oleh orangtua. Melanggar peraturan sekolah adalah perilaku

18

ketika sesorang tidak mematuhi atau melakukan pelanggaran terhadap
aturan yang berlaku di sekolah.
Definisi operasional pola asuh adalah cara orangtuas mendidik,
merawat,

mendisiplikan,

dan

melindungi

anaknya.

Pola

asuh

authoritarian adalah pola asuh yang memiliki aturan yang tegas dan keras
dalam membentuk perilaku anak. Kendali anak sepenuhnya berada pada
orangtua. Pola asuh authoritative adalah pola asuh demokratis dengan
menetapkan standar perilaku yang jelas namun tetap mempertimbangkan
keinginan anak, dan mampu menjalin kedekatan dengan anak. Pola asuh
permissive adalah pola asuh yang cenderung memanjakan anak dan tidak
memiliki aturan yang jelas. Kendali anak sepenuhnya berada pada diri
mereka sendiri. Pola asuh neglected adalah pola asuh yang terabaikan
dengan kedekatan emosional antara orangtua dan anak yang sangat lemah.
Pengukuran

terhadap perilaku status offenses dan pola asuh

(authoritarian, authoritative, permissive, dan neglected) diukur dengan
menggunakan skala likert. Angket status offenses terdiri dari pernyataanpernyataan mengenai perilaku membolos, menentang orang tua, melanggar
peraturan, dan berbohong. Angket pola asuh terdiri atas pola asuh
authoritarian, authoritative, permissive, dan neglected. Terdapat pilihan
jawaban yang terdiri dari pernyataan yang sangat setuju (SS), setuju (S),
netral (N), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS).

Tabel Angket
No

Variabel

1.

Berbohong

Definisi
Skala
Operasional
Mengucapkan
Likert
suatu perkataan
yang tidak sesuai
dengan kenyataan
sehingga
hal
tersebut
dapat
dikatakan
tidak
benar atau palsu

19

Cara
Ukur
Mengisi
kuisioner

Hasil Ukur
SS=
Sangat
setuju
S= Setuju
N = Netral
TS= Tidak
setuju
STS=

Sangat
tidak
setuju
2.

Membolos

Tidak mengikuti Likert
proses
belajar
mengajar disertai
dengan
ketidakhadiran di
sekolah
tanpa
disertai
alasan
yang jelas.

Mengisi
kuisioner

3.

Menentang
orang tua

Memberikan
Likert
perlawanan secara
perkataan maupun
perbuatan sebagai
bentuk
ketidaksetujuaan
terhadap orang tua

Mengisi
kuisioner

4.

Melanggar
aturan
sekolah

Tidak mematuhi
atau melakukan
pelanggaran
terhadap aturan
yang berlaku di
sekolah.

Likert

Mengisi
kuisioner

5.

Authoritativ
e

Pola asuh
demokratis
dengan
menetapkan
standar perilaku
yang jelas namun
tetap
mempertimbangk

Likert

Mengisi
kuisioner

20

SS=
Sangat
setuju
S= Setuju
N = Netral
TS= Tidak
setuju
STS=
Sangat
tidak
setuju
SS=
Sangat
setuju
S= Setuju
N = Netral
TS= Tidak
setuju
STS=
Sangat
tidak
setuju
SS =
Sangat
setuju
S= Setuju
N = Netral
TS =
Tidak
setuju
STS =
Sangat
tidak
setuju
SS =
Sangat
setuju
S= Setuju
N = Netral
TS =
Tidak
setuju

3.3.

an keinginan
anak, dan mampu
menjalin
kedekatan dengan
anak
Pola asuh yang Likert
memiliki aturan
yang tegas dan
keras
dalam
membentuk
perilaku
anak.
Kendali
anak
sepenuhnya
berada
pada
orangtua.

STS =
Sangat
tidak
setuju

6.

Authoritari
an

Mengisi
kuisioner

7.

Permissive

Pola asuh yang Likert
cenderung
memanjakan anak
dan
tidak
memiliki aturan
yang
jelas.
Kendali
anak
sepenuhnya
berada pada diri
mereka sendiri.

Mengisi
kuisioner

8.

Neglected

Pola asuh yang Likert
terabaikan dengan
kedekatan
emosional antara
orangtua dan anak
yang
sangat
lemah.

Mengisi
kuisioner

Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel
21

SS =
Sangat
setuju
S= Setuju
N = Netral
TS =
Tidak
setuju
STS =
Sangat
tidak
setuju
SS =
Sangat
setuju
S= Setuju
N = Netral
TS =
Tidak
setuju
STS =
Sangat
tidak
setuju
SS =
Sangat
setuju
S= Setuju
N = Netral
TS =
Tidak
setuju
STS =
Sangat
tidak
setuju

Pada penelitian ini peneliti menggunakan subjek yang berusia 1721 tahun yang dikatakan sebagai remaja akhir. Remaja berjenis kelamin
laki-laki dan perempuan dan berdomisili di kota Surabaya. Subjek yang
digunakan adalah 30 orang dari SMA Kristen Petra 5 Surabaya dan 30
orang remaja yang bersekolah di SMA 9 Surabaya. Subjek adalah remaja
yang sedang bersekolah atau berstatus sebagai pelajar yang totalnya adalah
60 orang. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara non random yaitu
accidental. Artinya memberikan angket pada siswa yang ditemui pada saat
menyebar angket.
3.4.

Metode Pengambilan Data
Pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan dua skala
angket dengan pertanyaan tertutup yang disebarkan pada sampel. Skala
tersebut yaitu skala pola asuh dan skala status offenses. Skala pola asuh
dengan 16 pertanyaan dan skala status offenses dengan 15 pertanyaan.

3.5.

Teknik Analisis

Skala favorable SS memiliki nilai 5, S memiliki nilai 4, N memiliki nilai 3,
TS memiliki nilai 2, STS memiliki nilai 1. Skala unfavorable SS memiliki
nilai 1, S memiliki nilai 2, N memiliki nilai 3, TS memiliki nilai 4, STS
memiliki nilai 5. Kemudian data-data yang diperoleh akan dianalisis
menggunakan analisis statistik, yaitu:
A. Uji Instrumen
 Uji Reliabilitas
Neuman (1997) juga mengatakan bahwa alat ukur yang
reliabel adalah alat ukur yang menghasilkan hasil yang relatif
sama. Uji reliabilitas ini dilakukan dengan test retest yaitu
memberikan angket yang sama pada subjek yang sama dengan
periode waktu tertentu agar dapat mengetahui kekonsistenan

22

subjek. Alat ukur dapat dikatakan reliabel apabila alpha cronbach
(α) lebih dari 0,6


Uji validitas
Validitas yang digunakan dalam peneltiian ini adalah content

validity untuk menguji apakah pertanyaan yang diajukan telah
sesuai dengan konteks yang ingin diukur yakni terkait kenakalan
remaja berupa status offenses dan pola asuh orangtua authoritative,
authoritarian, permissive, neglected. Alat ukur dapat dikatakan
valid apabila alpha cronbach (α) > 0,3

B. Uji Asumsi
Uji Normalitas Sebaran
Uji normalitas sebaran

dilakukan untuk mengetahui

distribusi data, data ekstrem dengan juling kanan, juling kiri, atau
data tersebar merata. Suatu data dikatakan memenuhi distribusi
normal maka nilai koefisien ρ > 0,05.

C. Uji Hipotesis
Apabila data yang dihasilkan normal, maka menggunakan
parametrik dengan anava 1 jalur untuk melihat mean pada keempat pola
asuh (authoritative, authoritarian, permissive, neglected ) terhadap status
offenses. Selain itu apabila ada perbedaan, ingin mengetahui pola asuh
manakah yang berkontribusi paling besar terhadap status offenses.
Namun apabila data yang dihasilkan tidak normal, maka
menggunakan non parametrik yaitu Kruskal Wallis untuk melihat apakah
ada perbedaan kenakalan remaja berupa status offenses ditinjau dari pola
asuh yaitu authoritative, authoritarian, permissive, neglected. Uji
hipotesis akan menyatakan adanya alpha cronbach (α) < 0,05.

23

3.6.Blue Print Angket
Skala Status Offenses
Dimensi

Favorable

Unfavorable

Jumlah

Proporsi
26,67%

Membolos

1, 2, 4

3

butir
4

sekolah
Menentang

5, 6

7, 8

4

26,67%

orangtua
Berbohong
Melanggar

9, 10, 11, 12
13, 14, 15

-

4
3

26,67%
20%

peraturan
sekolah
Skala Pola Asuh
Dimensi

Favorable

Unfavorable

Jumlah

Proporsi

Authoritative
Authoritarian
Permissive
Neglecting

1, 2, 3, 4
5, 6, 7, 8
9, 10, 11, 12
13, 14, 15,

-

butir
4
4
4
4

25%
25%
25%
25%

16

24

Lampiran Angket
Angket Status Offenses
No
1.

Pernyataan
Jika guru
pelajaran

SS
sedang

menjelaskan

dengan

cara

yang

membosankan saya merasa ingin
2.

membolos mata pelajaran tersebut.
Bila terlambat sekolah, saya berpikir

3.

lebih baik nongkrong di tempat lain.
Saya akan tetap mengikuti pelajaran
yang

membosankan

daripada

4.

membolos.
Saya lebih suka pergi bersama

5.

teman-teman daripada mengikuti les.
Bila orang tua tidak mengijinkan
saya berpacaran maka saya akan

6.

kabur bersama pacar saya.
Bila orang tua membuat saya kesal,

7.

ingin rasanya untuk memaki.
Bila
orang
tua
memaksakan
kehendaknya

8.

saya

berusaha

memahami alasan mereka.
Bila orang tua membuat saya kesal,
saya akan memberikan kritikan yang

9.

halus agar mereka tidak tersinggung.
Bila saya mendapat nilai ulangan
harian buruk, saya akan memalsu
tanda tangan orang tua pada kertas

10.

ulangan tersebut.
Saya mengatakan pada orang tua
bahwa

saya

tidak

punya

pacar
25

S

N

TS

STS

11.

padahal saya sedang berpacaran.
Saya menutupi nilai saya yang buruk

12.

pada orang tua.
Saya memilih untuk mengatakan
sedang mengerjakan tugas kelompok
ketika orang tua melarang pergi
bersenang-senang bersama teman-

13.

teman.
Jika kepala

sekolah

membuat

peraturan sekolah yang terlalu ketat,
saya akan mengajak teman-teman
untuk
14.

berdemo

agar

peraturan

tersebut dihilangkan.
Saya tidak suka menggunakan atribut
yang seharusnya diwajibkan untuk

15.

digunakan saat sekolah.
Saya suka merokok di sekolah.
Angket Pola Asuh

No
1.

Pernyataan
SS
Saya pikir orang tua mendukung saya
untuk

2.

mandiri

dalam

melakukan

kegiatan belajar di rumah.
Saya menilai orang tua

selalu

memberikan teladan yang baik bagi
3.

saya untuk berperilaku.
Orang tua memberikan ijin kepada
saya

untuk

bersama
4.

melalukan

kegiatan

teman-teman

sebatas

kegiatan tersebut sesuai norma.
Orang tua menetapkan batasanbatasan yang jelas agar perilaku saya

5.

tidak menyimpang.
Orang tua melarang saya untuk

26

S

N

TS

STS

mengikuti suatu kegiatan tanpa alasan
6.

yang jelas.
Orang tua saya memberikan aturanaturan yang menghambat aktivitas

7.

saya.
Orang tua saya memberikan hukuman
fisik ketika saya tidak mentaati

8.

peraturan.
Orang tua memegang kendali penuh

9.

terhadap perilaku saya.
Orang tua membebaskan

saya

melakukan

asal

kegiatan

apapun

10.

masih dalam sepengetahuan mereka.
Orang tua selalu menuruti apapun

11.

yang saya inginkan.
Orang
tua
tidak

12.

memberikan

peraturan

yang

jelas

bagi

sehingga

saya

memiliki

saya

kendali

sepenuhnya atas perilaku saya.
Orang tua tidak pernah mengontrol
perilaku saya meskipun hal tersebut

13.

melanggar norma.
Orang tua tidak pernah memberikan

14.

penghiburan ketika saya sedih.
Orang tua saya akan bersikap cuek
walaupun saya mendapatkan nilai

15.

yang baik di sekolah.
Orang tua jarang mengajak saya

16.

berbicara tiap kali ada kesempatan.
Orang tua saya malas berdiskusi
mengenai berbagai hal dengan saya.

27

Daftar Pustaka
Ado,
(2010).
Diunduh
pada
1
Oktober
2013
http://health.liputan6.com/read/302884/komnas-pa-212-persen-remaja-pernahaborsi
Ali, M. & Asrori, M. (2009). Psikologi Remaja.Jakarta : Bumi Aksara.
Anwar, M. (2000). Peranan Gizi dan Pola Asuh dalam Meningkatkan Kualitas
Tumbang Anak.
Barber, B. K., Maughan, S. L., & Olsen, J. A. (2005). Patterns of parenting across
adolescence. New Directions for Child and Adolescent Development, 1008, 5 –
16
Baumrind, D. (2011). Prototypical Descriptions of 3 Parenting Styles
http://www.devpsy.org/teaching/parent/baumrind parenting_styles.pdf
Bee, H. & Boyd, D. (2004). The Developing Child”, 10th ed, Pearson Education.
Berita
Satu,
(2000).
Diunduh
pada
5
Oktober
2013
http://www.beritasatu.com/hukum-kriminalitas/137315-polisi-larang-anakdibawah-umur-mengemudi.html

28

BNN, (2011). Diunduh pada 1 Oktober 2013 http://bnn.go.id/portal/
BPS,
(2010)
Diunduh
pada
5
Oktober
2013
http://www.bps.go.id/hasil_publikasi/flip_2011/4401003/files/search/searchtex
t.xml
Casmini. (2007). Emotional Parenting. Yogyakarta: Pilar Media.
Chassin, L., McLaughlin, L. M., & Sher, K J. (1988). Self-awareness theory,
family history of alcoholism, and adolescent alcohol involvement. Journal
ofAbnormal Psychology, 97, 206-217.
De Kemp, R. A. T., Scholte, R.H. J., Overbeek, G.., Engels, & Rutger C. M. E.
(2006). Early Adolescent Delinquency : The Role of Parents and Best Friends.
Criminal Justice and Behavior 33: 488
Dornbusch, S. M., Ritter, P. L., Mont-Reynaud, R., & Chein, Z. (1990). Family
decision making and academic performance in a diverse high school
population. Journal of Adolescent Research, 5,143-160.
Edward, D. C. (2006). Ketika Anak Sulit Diatur : Panduan Orang Tua Untuk
Mengubah Masalah Perilaku Anak. Bandung : PT. Mizan Utama.
Helen, (2000). Peranan psikologi dalam menanggulangi masalah juvenile
delinquency di Indonesia. Jurnal ilmiah psikologi arkhe. Vol 5, 9, 79-84.
Hurlock, E.B. (1973). Adolecent Development. Tokyo: McGraw-Hill, Kogakusha,
Ltd.
Hurlock, E.B. (1991). Child Development. 6th. Ed. (Alih Bahasa oleh Tjandrasa,
M; dan Zarkasih, M.). Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama.
Hurlock, E.B. (1992). Developmental Psycology : A Life Span Approach, fifth
edition. Mc Graw Hill.
Hurlock, E. B. (1999). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan. Jakarta : Erlangga.
Jawapos, (2013). Diunduh pada 5 Oktober 2013 http://www.jawapos.com/
Kartono, K. (2003). Kenakalan Remaja (Patologi sosial 2). Cetakan Ketiga.
Bandung: PT Raja Grapindo Persada.
Kakihara, F. & Tilton-W, L. (2009). Adolescents' interpretations of parental
control: differential by domain and types of control. Child Development
Volume 80 number 6
Loeber, R. & Stouthamer, M. (1986). Family Factors as Correlates and Predictors
of Juvenile Conduct Problem and Delinquency. Crime andJustice: An Annual
Review ofResearch (7th ed, pp. 29-149). Chicago: University of Chicago
Press.

29

Mappiare, A. (1982). Psikologi Remaja. Surabaya: Usaha Nasional.
Media Indonesia, (2000). Diunduh
http://www.indonesiamedia.com/

pada

5

Oktober

2013

Murtiyani, N. (2011). Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Kenakalan Remaja
Di RW Kelurahan Sidokare Kecamatan Sidoarjo. Jurnal Keperawatan. Vol 1,
No. 1.
Nawawi, A. (2001). Diunduh pada 3 Oktober 2013 Intervensi sosial terhadap
tawuran
remaja
http://www.scribd.com/doc/91828342/Intervensi-SosialTawuran-Pelajar
Neuman, L. (1997). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative
Approach (3th ed.). Massachusetts: Allyn and Bacon A Viacom Company.
Polri, 2010. Diunduh pada 5 Oktober 2013 http://metro.polri.go.id/
Rahmania, A. M. dan Suminar, D. R. (2012). Hubungan antara Persepsi
terhadap Kontrol Orangtua dengan Kecenderungan Perilaku Delikuensi pada
Remaja yang pernah Terlibat Tawuran. Jurnal Psikologi Pendidikan dan
Perkembangan Vol. 1, No. 3.
Republika,
2013.
Diunduh
pada
5
Oktober
2013
http://www.republika.co.id/berita/nasional/jawa-timur/13/09/10/msw3n0polisi-perketat-pemberian-sim-di-bawah-umur
Santrock, J.W. (1996). Adolescence. 6th Edition. Dubuque, Lowa : Wm. C. Brown
Publishers.
Santrock, J. W. (2003). Adolescece Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga.
Santrock, J. W (2006). Life – Span Development jilid 2 (terjemahan). Jakarta:
Erlangga.
Sarwono, W. S. (2004). Psikologi remaja. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Segrin, C. & Flora, J. (2005). Family communication. New Jersey: Lawrence
Erlbaum Associates, Publishers.
Simandjuntak, B. (1984). Latar Belakang Kenakalan Remaja. Bandung:
Percetakan Offset Alumni.
Suara
Pembaruan,
(2000).
Diunduh
pada
5
Oktober
2013
http://www.suarapembaruan.com/home/
Sujoko. (2011). Hubungan antara Keluarga Broken Home, Pole Asuh Orang Tua,
dan Interaksi Teman Sebaya dengan Kenakalan Remaja.
Sulaeman, D. (1995). Psikologi Remaja, Dimensi-dimensi Perkmbangan.
Bandung: Mandar Maju.
Supartini. (2004). Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. EGC, Jakarta.
Ulwan. 2009??
Widyastuti, dkk. (2009). Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta : Fitramaya.

30

Wiwit Wahyuning., Jash., & Metta Rachmadian, 2003??
Wittenborn, M. (2002). The Relations Between Parenting Styles and Juvenile
Delinquency. Honors Theses. Paper 266.

31