Budaya Masyarakat Asia Tenggara Thailand

PERKEMBANGAN BUDAYA dan MASYARAKAT THAILAND
Makalah ini diajukan untuk tugas mata kuliah Budaya dan Masyarakat Asia Tenggara

Disusun Oleh:
Anastasya
Anisa Widya Lestari
Indah Apriyani
Belliana Noviary

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS NASIONAL
JAKARTA

1

NOVEMBER 2013

I.

Pendahuluan
Pendekatan sejarah sangat penting dalam memahami suatu budaya masyarakat di


suatu negara. Pendekatan sejarah menjelaskan dari segi mana kajian sejarah hendak
dilakukan, dimensi mana yang diperhatikan, unsur-unsur mana yang diungkapkannya, dan
lain sebagainya. Hal ini berhubungan dengan budaya masyarakat yang merupakan subjek
yang dinamis dimana proses pembentukannya dipengaruhi oleh kegiatan masyarakat pada
suatu periode tertentu. Perubahan kebudayaan pada suatu masyarakat merupakan keniscyaan
dan tidak dapat dielakkan. Masyarakat tidak pernah statis, selalu dinamis berubah dari satu
keadaan ke keadaan lainnya yang disebabkan oleh berbagai faktor. Perubahan ini
dimaksudkan sebagai wujud tanggapan manusia terhadap tantangan lingkungannya. Melalui
pendekatan sejarah akan didapatkan pemahaman secara holistik tentang budaya masyarakat
yang akan dikaji. Hal ini lah yang menjadi tema dalam penelitian ini dengan memahami
Proses Pembentukan Budaya dan Masyarakat Thailand.
Dalam menganalisa proses perkembangan/pertumbuhan Budaya dan Masyarakat
Thailand, ada lebih baiknya kita memahami tentang pengertian budaya itu sendiri. Budaya
merupakan kebiasaan (custom) yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga membentuk
pola dan mempunyai keteraturan serta pada akhirnya budaya dapat menyediakan suatu
kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya
meramalkan perilaku orang lain. Dengan adanya pola tertentu, baik pola yang tangible
maupun intangible, kita dapat mencirikan suatu budaya negara yang membedakan dengan
negara lainnya.

Negara Thailand (dulu Siam) pada awal pembentukannya diwarnai oleh hadirnya
kerajaan-kerajaan, seperti Sukhothai, Ayuthaya, Thonburi, dan Rattanakosin. Hadirnya
kerajaan-kerajaan ini banyak menyumbangkan budaya kepada masyarakat Thai pada masa
kini. Periode kerajaan Monarki Absolut pada masa itu diklasifikasikan sebagai sejarah
Thailand pada pra-modern. Pembentukan kerajaan-kerajaan ini secara tidak langsung
dipengaruhi oleh bangsa-bangsa yang bermigrasi ke Thailand dan membawa nilai dan ajaranajaran sehingga turut mewarnai perkembangan budaya negara ini.
Dalam sisi teori, pada masa pra-modern dapat dikaitkan dengan teori difusi budaya.
Teori difusi kebudayaan dimaknai sebagai persebaran kebudayaan yang disebabkan adanya
2

migrasi manusia. Perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, akan menularkan budaya
tertentu. Hal ini akan semakin tampak dan jelas kalau perpindahan manusia itu secara
kelompok dan atau besar-besaran, di kemudian hari akan menimbulkan difusi budaya yang
luar biasa. Setiap ada persebaran kebudayaan, di situlah terjadi penggabungan dua
kebudayaan atau lebih. Akibat pengaruh kemajuan teknologi-komunikasi, juga akan
mempengaruhi terjadinya difusi budaya. Keadaan ini memungkinkan kebudayaan semakin
kompleks dan bersifat multikultural1.
Dalam periode Thailand Modern, pola budaya masyarakat Thailand lebih sedikit
terbuka pada pengaruh budaya asing, terutama dari segi pemerintahannya, walaupun nilainilai kebudayaan tradisional masih tetap dipegang teguh oleh masyarakat, seperti ajaran
Buddha, mata pencaharian, nilai-nilai adat istiadat, dll. Seperti yang Hans Hofer (1991)

kemukakan bahwa :
“Thailand is still basically a country of villages and towns following traditional ways;

a

full 80 percent of the population is engaged in agriculture. Tradition still exerts a powerful
influence, even in the clamorous streets of capital” 2

Hal inilah yang akan dibahas pada penelitian ini, dengan membatasi ruang lingkup
masalah pada pengaruh budaya dan masyarakat Thailand pada pra-modern hingga pada apa
yang disebut sebagai Thailand Modern pada masa ini dan sedikit tentang pembahasan asalmuasal masyarakat Thailand agar mendapatkan gambaran yang lebih jelas lagi.

1 http://sosbud.kompasiana.com/2011/11/01/teori-perubahan-kebudayaan-408712.html , diakses pada tanggal 5
November 2013.
2 Hans Hofer. 1991. Insight Guides Thailand. Singapore : APA Publications. Hal. 15

3

II.


Proses Perkembangan Budaya dan Masyarakat Thailand dilihat pada Aspek
Sejarah

2.1

Asal Muasal Masyarakat Thailand
Hans Hofer (1991) dalam bukunya Insight Guides Thailand menyebutkan tentang

sekilas asal muasal masyarakat Thai. Menurutnya, ditinjau dari pendekatan Linguistik, Cina
Selatan merupakan daerah asal darimana masyarakat Thailand terbentuk, khususnya dari
bangsa Yunan yang bermigrasi ke Asia Tenggara pada sekitar abad ke 7 – 13. Dari sisi lain,
asal muasal masyarakat Thai disebutkan telah ada sejak dua abad yang lalu, dimana pada
pedesaan Ban Chieng ditemukan artefak-artefak dengan peradaban yang sudah tinggi. Hal ini
dibuktikan oleh penemuan piring, perhiasan, dan perunggu. Hal ini pula lah yang
mengindikasikan bahwa Bangsa Yunan bukan satu-satunya nenek moyang dari penyebaran
suku di Asia Tenggara, khususnya Thailand3. Terlepas dari hal ini, pemahaman tentang asal
muasal masyarakat Thailand di berbagai literatur lebih banyak disebutkan berasal dari bangsa
Yunan yang bermigrasi dari Cina bagian Selatan. Walaupun penemuan artefak di pedesaan
Ban Chieng merupakan sejarah yang telah lama berdiri sebelum bangsa Yunan menempati
Thailand, akan tetapi sumber dan informasi dari peradaban ini masih sedikit dan terkesan

abstrak sehingga belum dapat dijadikan sumber yang objektif.
Hans Hofer lalu menekankan pada bangsa Yunan sebagai nenek moyang dari
masyarakat Thailand, yaitu dari suku Shan 4. Penyebaran bangsa ini pertama kali menduduki
wilayah Thailand Utara, terutama di daerah Chiang Mai dan Chiang Saen. Lama kelamaan
bangsa ini berkembang dan kemudian membentuk sebuah kerajaan yang dinamakan
Sukhothai, dimana kerajaan inilah yang pertama kali dibentuk dan awal dari peradaban
bangsa Thailand. Lalu pengaruh kerajaan ini pada abad ke-13 mulai menjalar ke selatan
Thailand dimana Suku Mon dan Khmers (suku asal Myanmar) mulai tersingkirkan dari
wilayah selatan. Hal ini menunjukkan bahwa peradaban Thailand dimulai di wilayah
utaranya. Oleh karena itulah, bagian utara Thailand merupakan wilayah yang sangat vital
dalam memahami proses budaya dan masyarakat karena kaya akan sejarahnya dibandingkan
dengan Thailand bagian Selatan.

3 Ibid. Hal. 19
4 Shan adalah sebuah kelompok etnis di Asia Tenggara. Suku Shan tinggal terutama di negara bagian Shan di
Myanmar (dulu Burma), dan di daerah-daerah yang bertetangga dengannya di Tiongkok, Thailand, Kamboja
dan Vietnam.

4


2.2

Thailand Pra-Modern
Thailand Pra-Modern kami klasifikasikan sebagai masa dimana bangsa ini belum

terpengaruh oleh ajaran asing, terutama dari segi pemerintahan. Pada periode ini nama
“Thailand” belum menjadi nama resmi negara. Pada sekitar abad ke-12, nama “Siam”
menjadi sebutan oleh bangsa asing pada negara ini. Hal ini berlangsung sampai Thailand
menganut sistem demokrasi di pemerintahannya pada tahun 1939, lalu “Siam” berubah
menjadi “Thailand” atau “Thai” sebutan untuk masyarakatnya yang artinya “Bebas”.
Akan sangat jelas bila penjelasan ini diarahkan pada pembelajaran tentang kerajaankerajaan yang memerintah, bagaimana struktur masyarakatnya, dll. Akan tetapi, karena
keterbatasan sumber dan menjadikan ruang lingkup penelitian ini menjadi meluas dan
abstrak, maka penekanan hanya pada pengaruh budaya-budaya yang mewarnai Thailand PraModern.
2.2.1

Pengaruh Budaya India
Pengaruh India disebut berasal dari Suku Mon dan Suku Khmers yang

mendapat Indianisasi yang kuat di Myanmar. Kedua suku ini menduduki Thailand
sekitar abad ke 6 – 11 dan mempengaruhi kebudayaan Thailand. Suku Mon

berkontribusi pada seni-seni Buddha dan kebudayaan suku Khmers terlihat pada
peninggalan bangunan candi di bagian timur laut wilayah Thailand.
2.2.2

Pengaruh Budaya Cina
Kenyataan sejarah bangsa Thailand berasal dari bangsa Yunan membuktikan

bahwa budaya Cina juga secara langsung maupun tidak langsung juga turut mewarnai
pola kebudayaan di masyarakat Thai. Hal ini diantaranya adalah dikenalkannya teknik
pembuatan pottery, benda keramik yang dibuat dari tanah liat, oleh bangsa Cina
sekitar abad ke-12 pada periode kerajaan Sukhothai. Sampai saat ini di daerah
Thailand yang bernama Sawankhalok menjadi pusat penjualan pottery yang terkenal.
Pengaruh lainnya adalah agama Taoism walaupun penyebaran agama ini hanya
mencakup masyarakat minoritas di Thailand. Seperti yang dikatakan Ellen London
(2008) pada bukunya Thailand Condensed : 2000 years of History and Culture:
“Taoism is the religion of a very small minority in Thailand”5.
2.2.3

Pengaruh Ajaran Buddha


5 Ellen London. 2008. Thailand Condensed : 2000 years of History and Culture. Singapore : Marshall
Cavendish Editions. Hal. 75.

5

Seperti yang kita ketahui ajaran Buddha merupakan hal yang paling
fundamental bagi masyarakat Thai sebagai way of life mereka, khususnya ajaran
Buddha Theravada yang dianut sekitar 90% dari jumlah penduduknya. Ajaran Buddha
pertama kali dibawa oleh Suku Mon yang membentuk kerajaan Buddha di bagian
utara dan tengah Thailand pada abad 6 - 9. Kerajaan tersebut dikenal dengan nama
“Dvaravati”. Hal ini tercermin pada tulisan Ellen London (2008) : “The foundations
for Buddhism in central Southeast Asia were laid between the 6th and 9th centuries,
when a Theravada Buddhist culture linked to the Mon group was developing in
central and northeastern Thailand”.
Ajaran Buddha pun masuk ke dalam kehidupan kerajaan Sukhothai yang
merupakan kerajaan pertama Thailand di abad ke-13. Hal ini dikarenakan adanya
pernikahan silang antara suku Mon dengan silsilah dari kerajaan Thailand. Salah satu
contohnya adalah pernikahan Phra Ruang dengan anak perempuan dari raja Sukhothai
dan akhirnya Phra Ruang menjadi raja atas Sukhothai. Walaupun hal ini merupakan
sebagai cerita folklore dalam sejarah Thailand yang belum tentu benar keabsahannya,

akan tetapi tidak dapat disangkal lagi bahwa ajaran Buddha dari berbagai sumber
literatur telah tertanam pada masa kerajaan Sukhothai.
Menurut buku Insight Guide Thailand, menguatnya pengaruh ajaran Buddha
mulai terasa pada masa pemerintahan raja kedua dari Sukhothai, yaitu Ramkahaeng.
Beliau dikenal sebagai raja yang membawa kesejahteraan pada masyarakat. Ia berjasa
dalam pembuatan aksara Thailand dan menjadikan Buddha Theravada sebagai agama
negara. Ketika ia tidak lagi menjabat, digantikan oleh anaknya yang bernama Lo Thai.
Dimana Lo Thai sangat religius dalam gaya pemerintahannya. Ia lebih memilih
mengembangkan agama dibandingkan dengan perang dan sistem feudal. Hal ini
terlihat pada tulisan Hans Hofer (1991) :
“The relationship between Sukhothai and Sri Lanka, the center of orthodox
Buddhism, became intensified during his rule; Lo Thai recorded that he built many
monuments to house sacred relics of the Buddha newly obtained from Ceylon”.

Meskipun Thailand mendapatkan pengaruh agama Buddha yang mendalam
dari Ceylon (sekarang Kamboja), namun hal tersebut telah dibayar kembali oleh
Thailand, dimana raja Thailand mengirimkan rupaṁ Buddha dari emas dan perak,
salinan kitab-kitab suci agama Buddha serta sejumlah bhikkhu ke Ceylon. Dari
6


peristiwa tersebut, dapat diartikan bahwa pada waktu itu Ceylon mengakui Thailand
sebagai negeri yang memiliki agama Buddha dalam wujud yang murni6.
Disisi lain, ajaran Buddha Theravada juga dipengaruhi oleh kebudayaan
Myanmar. Kebudayaan ini dianut oleh kerajaan kedua Thailand, yaitu Ayuthaya.
Budaya Myanmar tersebut adalah konsep Deravaja dimana salah satu ajaran dari
Buddha Theravada, yang mengemukakan bahwa raja merupakan pelindung dan
kekuasaan tertinggi dalam negara. Pada saat itu, konsep ini sangat berpengaruh pada
sistem pemerintahan Ayuthaya dan masyarakat Thai.
Sehingga pada periode inilah proses menguatnya ajaran Buddha Theravada
pertama diklasifikasikan. Raja merupakan panutan bagi masyarakat, apapun yang raja
kemukakan akan menjadi way of life oleh masyarakatnya pula. Karena pada pramodern ini kerajaan Thailand sangat lah absolut dalam kekuasaannya (Monarki
Absolut). Kerajaan merupakan pusat pemerintahan yang tidak dapat diganggu gugat.
Mayoritas (94,6%) penduduk Thailand mempraktekkan ajaran Buddhisme
Theravada hingga kini dan Negara ini memiliki kekayaan kuil-kuil dan stupa-stupa
Buddhis. Bahkan bendera nasional pun dikatakan menyimbolkan ajaran Buddha. Para
biksu mendapatkan penghormatan tertinggi di Thailand dan orang-orang mendorong
keluarga mereka untuk bergabung masuk menjadi biksu7.
Buddha Theravada didukung dan diawasi oleh pemerintah, dengan biksu
menerima sejumlah tunjangan pemerintah, seperti bebas menggunakan infrastruktur
transportasi publik. Buddhisme di Thailand sangat dipengaruhi oleh kepercayaan

tradisional mengenai roh-roh nenek moyang dan alam, yang telah dimasukkan ke
dalam kosmologi Buddhis.

2.3

Thailand Modern

6 http://www.buddhakkhetta.com/User/Kat1/Sub12/Art75/baca.php?com=1&id=175 , diakses pada tanggal 4
November 2013.
7 http://shambhalaguardian.wordpress.com/2009/08/07/ajaran-buddha-di-penjuru-dunia/, diakses pada tanggal 4
November 2013.

7

Dari segi sejarahnya, pemerintahan Raja Rama I, Chakri, (era Rattanakosin)
menyumbangkan pemikiran tentang Thailand Modern, dimana program pemerintahannya
salah satunya adalah mengembalikan kebudayaan Thailand yang dulunya hancur pasca
runtuhnya kerajaan Ayuthaya pada 1767. Hal ini seperti yang Hans Hofer (1991) kemukakan
bahwa “Modern Thailand is indebted to Rama I for his assiduous cultural revival program”.
Lalu, sumbangan pemikiran modern juga ditemukan pada masa pemerintahan Raja
Rama IV, Mongkut. Dilatarbelakangi oleh pemahamannya akan budaya Barat dan teknologi,
pemerintahannya digambarkan sebagai “The Bridge Spanning The New and The Old”.
Mongkut juga menyadari bahwa modernisasi akan membawa Thailand sejajar dengan bangsa
Barat dan mengurangi permusuhan dengan bangsa asing. Penguasaan kerajaan atas produksi
ekspor beras juga berkembang pada masa ini. Hal ini dikarenakan dengan terbukanya
ekonomi Thailand dengan melakukan perjanjian-perjanjian dengan negara Barat khususnya
masalah keringanan pajak atas ekspor-impor.
Selain itu, pendidikan juga berkembang pada masa Raja Rama V (Chulalongkorn).
Pelajaran Barat semakin berkembang pada masa ini. Pada tahun 1878, anak-anak golongan
bangsawan diantar ke istana untuk mendapat pelajaran Barat. Semasa Chulalongkorn,
pelajaran Barat bukan saja terbuka kepada anak-anak golongan bangsawan tetapi juga anakanak rakyat biasa, terutama selepas peresmian Sekolah Harian sejak tahun 1884. D.G.E. Hall
dalam bukunya “A History of South East Asia” menegaskan perkembangan pelajaran Barat
berlaku karena terdapat tiga sekolah yang dikuasai oleh Inggris pada tahun 1890-an. Sekolahsekolah tersebut ialah Maktab Raja 1878 untuk anak-anak lelaki golongan bangsawan,
Sunandalaya 1883 untuk anak perempuan golongan bangsawan dan Sekolah Harian 1884
untuk anak lelaki kelas pertengahan. Hal ini menunjukkan bahwa pada masa periode Rama V,
pendidikan merupakan salah satu program utama dalam membangun Thailand untuk
mencapai dan sejajar dengan modernisasi yang sedang berkembang. Faktor pendidikan ini
sangat penting bagi perkembangan budaya dan masyarakat Thailand, karena pendidikan
menentukan daya pikir dan reaksi manusia untuk menghadapi persoalan yang dihadapinya.
Maka dari itu ajaran-ajaran Barat juga turut mempengaruhi warna budaya masyarakat
Thailand Modern.
Thailand modern juga berpengaruh pada sistem ekonominya, pertumbuhan ekonomi
yang terus bertambah terjadi pada era 1985-1995 akan tetapi pada tahun 1997 tekanan
spekulatif menyebabkan merosotnya ekonomi Thailand. Pemulihan perekonomian thailand
8

terjadi pada tahun 1999 dengan adanya hasil ekspor yang meningkat dengan investor terbesar
yang berasal dari pariwisata,selain itu thailand juga membuka investor asing untuk bergabung
untuk meningkatkan ekonomi negara tersebut.
Sekitar 60% dari seluruh angkatan kerja thailand dipekerjakan dibidang pertanian,
komoditi pertanian menghasilkan jumlah yang cukup besar, hingga kini thailand menjadi
negara pengekspor pangan yang terus meningkat seiring berjalannya waktu.
2.4

Bentuk-bentuk Budaya dan Masyarakat di Thailand
Dari penjabaran diatas maka dapat disimpulkan bahwa budaya dan masayarakat

Thailand menggabungkan kepercayaan budaya dan karakteristik adat ke daerah yang dikenal
sebagai Thailand modern ditambah dengan banyak pengaruh dari India kuno, Cina, Kamboja,
bersama dengan tetangga pra-sejarah budaya Asia Tenggara . Hal ini dipengaruhi terutama
oleh Animisme , Hindu, Buddha, serta oleh migrasi kemudian dari Cina, dan selatan India .
Berikut ini adalah beberapa contoh dari kebudayaan Thailand :
1. Seni
Thailand seni

visual secara

tradisional

terutama Buddha. Thailand

Buddha

gambar dari periode yang berbeda memiliki sejumlah gaya yang khas. Thailand candi
seni dan arsitektur berevolusi dari sejumlah sumber, salah satunya adalah arsitektur
Khmer. Seni kontemporer Thailand Thailand sering memadukan unsur-unsur
tradisional dengan modern teknik. Sastra di Thailand yang banyak dipengaruhi
oleh India Hindu budaya. Yang penting karya sastra yang paling Thai adalah versi
dari Ramayana, sebuah epik agama Hindu, yang disebut Ramakien, ditulis langsung
oleh Raja Rama I dan II Rama, dan puisi dari Sunthorn Phu . Tidak ada tradisi
lisan drama di Thailand, bukan peran yang diisi oleh tarian Thailand . Ini dibagi
menjadi tiga kategori-Khon, lakhon dan likay -Khon yang paling rumit dan likay yang
paling populer. Nang drama, suatu bentuk wayang, ditemukan di Selatan. Para musik
dari Thailand termasuk musik tradisi rakyat dan klasik serta string atau musik pop.
2. Agama
Thailand

hampir

95% Theravada

Buddha ,

dengan

minoritas

dari Muslim (4,6%), Kristen (0,7%), Buddha Mahayana , dan agama lain. Thailand
Buddhisme Theravada didukung dan diawasi oleh pemerintah, dengan biarawan
menerima sejumlah pemerintah manfaat, seperti bebas menggunakan infrastruktur
transportasi publik. Buddhisme di Thailand sangat dipengaruhi oleh kepercayaan
9

tradisional mengenai roh leluhur dan alam, yang telah dimasukkan ke dalam
kosmologi Buddhis. Kebanyakan orang Thailand rumah sendiri semangat, rumahrumah kayu miniatur di mana mereka percaya roh hidup rumah tangga. Mereka hadir
persembahan makanan dan minuman untuk roh-roh untuk membuat mereka
senang. Jika roh ini tidak bahagia, diyakini bahwa mereka akan menghuni rumah yang
lebih besar dari Thailand, dan menyebabkan kekacauan. Rumah-rumah ini roh dapat
ditemukan di tempat-tempat umum dan di jalan-jalan Thailand, di mana membuat
penawaran umum. Sebelum munculnya Buddhisme Theravada, baik India Brahmana
agama dan Buddhisme Mahayana hadir di Thailand. Pengaruh dari kedua tradisi
masih dapat dilihat pada hari ini. kuil Brahmanist memainkan peran penting dalam
Thai agama rakyat , dan Buddha Mahayana pengaruh tercermin dalam kehadiran
tokoh-tokoh seperti Lokesvara, sebuah bentuk dari Bodhisattiva Avalokitesvara
kadang-kadang dimasukan ke ikonografi Thailand.
3. Perkawinan
Upacara perkawinan Thai antara umat Buddha pada umumnya dibagi menjadi
dua bagian: Buddha komponen, yang mencakup pembacaan doa dan persembahan
makanan dan hadiah-hadiah lainnya untuk para biarawan dan gambar Buddha, dan
komponen non-Buddhis berakar pada tradisi rakyat, yang berpusat pada pasangan
suami-istri. Pada zaman dulu, itu tidak diketahui untuk para biksu Budha untuk hadir
pada setiap tahapan upacara perkawinan itu sendiri. Sebagai biarawan diminta untuk
mengurus pemakaman orang mati selama, kehadiran mereka di sebuah pernikahan
(yang dikaitkan dengan kesuburan, dan dimaksudkan untuk menghasilkan anak-anak)
adalah dianggap sebagai pertanda buruk. Beberapa akan mencari berkat dari kuil
setempat sebelum atau setelah menikah, dan mungkin berkonsultasi dengan seorang
biarawan untuk astrologi nasihat dalam menetapkan tanggal yang menguntungkan
untuk pernikahan. Non-Buddhis bagian dari pernikahan akan berlangsung jauh dari
kuil, dan akan sering terjadi pada hari yang terpisah. Di zaman modern, larangan
tersebut telah sangat santai.Hal ini tidak biasa bagi kunjungan ke sebuah kuil yang
harus dilakukan pada hari yang sama dengan non-Buddhis bagian dari pernikahan,
atau bahkan untuk pernikahan terjadi di dalam kuil. Sementara sebuah divisi masih
biasa terlihat antara “agama” dan “sekuler” bagian layanan pernikahan, mungkin
sederhana seperti para biarawan hadir dalam upacara Buddhis berangkat untuk
mengambil peran mereka makan siang setelah selesai. Selama komponen Buddha
layanan pernikahan, pasangan busur pertama di hadapan patung Buddha. Mereka
10

kemudian membacakan doa-doa Buddha dasar tertentu atau nyanyian (biasanya
termasuk mengambil Tiga perlindungan dan Lima ajaran), dan menyalakan dupa dan
lilin sebelum pengambilan gambar. Para orangtua dari pasangan kemudian dapat
dipanggil untuk ‘menghubungkan’ mereka, dengan menempatkan di atas kepala
pengantin kembar loop benang atau benang yang mengaitkan pasangan bersamasama. Pasangan mungkin kemudian membuat persembahan makanan, bunga, dan
obat-obatan kepada para biarawan sekarang. Hadiah uang tunai (biasanya ditempatkan
dalam sebuah amplop) mungkin juga akan disajikan ke kuil pada saat ini. Para
biarawan mungkin kemudian beristirahat panjang kecil benang yang diselenggarakan
antara tangan para biarawan berkumpul. Mereka memulai serangkaian pembacaan
kitab suci Pali dimaksudkan untuk membawa pahala dan berkah bagi pasangan baru.
String berakhir dengan memimpin biarawan, yang mungkin terhubung ke sebuah
wadah air yang akan ‘dikuduskan’ untuk upacara. Merit dikatakan perjalanan melalui
string dan akan disampaikan kepada air pengaturan yang sama digunakan untuk
mentransfer pahala kepada orang mati di pemakaman, bukti lebih lanjut dari
melemahnya pencampuran tabu pada citra dan simbol-simbol penguburan dengan
upacara perkawinan. Berbahagialah air dapat dicampur dengan lilin tetesan dari
menyalakan lilin di depan gambar Buddha dan unguents dan rempah-rempah lainnya
untuk menciptakan sebuah ‘paste’ yang kemudian diterapkan pada dahi pengantin
untuk membuat kecil ‘titik’, mirip dengan menandai kadang-kadang dibuat dengan
oker merah Hindu devotees. Tanda pengantin wanita diciptakan dengan gagang akhir
lilin daripada jempol biarawan itu, sesuai dengan Vinaya menyentuh larangan
terhadap perempuan. Peringkat tertinggi rahib sekarang dapat memilih untuk
mengucapkan beberapa patah kata kepada pasangan, menawarkan nasihat atau
dorongan. Pasangan mungkin kemudian membuat persembahan makanan kepada para
biarawan, di mana bagian Buddhis dari upacara ini menyimpulkan. Sistem mas kawin
Thailand dikenal sebagai ‘Dosa Sodt’. Secara tradisional, pengantin laki-laki akan
diharapkan untuk membayar sejumlah uang untuk keluarga, untuk mengimbangi
mereka dan untuk menunjukkan bahwa pengantin laki-laki secara finansial mampu
merawat putri mereka. Terkadang, jumlah ini adalah murni simbolik, dan akan
kembali ke pengantin setelah pernikahan telah terjadi. Komponen keagamaan upacara
perkawinan antara Muslim Thailand sangat berbeda dari yang dijelaskan di atas.
Imam masjid setempat, pengantin laki-laki, ayah pengantin perempuan, laki-laki
dalam keluarga dan orang-orang penting dalam masyarakat duduk dalam lingkaran
11

selama upacara, yang dilakukan oleh Imam. Semua wanita, termasuk pengantin,
duduk di ruang yang terpisah dan tidak memiliki partisipasi langsung dalam upacara.
Komponen sekuler upacara Namun, sering hampir identik dengan sekuler bagian dari
upacara pernikahan Buddha Thailand. Satu-satunya perbedaan penting di sini adalah
jenis daging yang disajikan kepada tamu (kambing dan / atau daging sapi daripada
daging babi). Thai Muslim sering, meskipun tidak selalu, juga mengikuti konvensi
Thai sistem mas kawin.
4. Kebiasaan
a. Raja Thailand dan keluarganya sangat dihormati rakyatnya, di jalan-jalam
dan di gedung banyak sekali ditemui foto-foto raja dan ratu. Melakukan
tindakan yang dianggap melecehkan keluarga kerajaan bisa dianggap
sebagai tindakan kriminal.
b. Nilai paternalisme dan patriakal dalam budaya Thai masih melekat erat,
dimana mereka menganggap raja sebagai “father” dalam mengarahkan
masyarakat ke arah yang lebih baik. Selain itu, raja dianggap sebagai
perwakilan Wisnu, Siwa, dan Budhisattava yang merupakan titisan dewa.
Sehingga tak heran bila masyarakat Thai lebih mencintai raja daripada
politik.
c. Salah satu yang paling menonjol adalah kebiasaan Thailand wai, yang
mirip dengan gerakan namaste India. Menampilkan salam, selamat tinggal,
atau pengakuan, ia datang dalam beberapa bentuk yang mencerminkan
status relatif mereka yang terlibat, tetapi biasanya melibatkan doa-seperti
isyarat dengan tangan dan menundukkan kepala.
d. Fisik demonstrasi kasih sayang di depan umum adalah umum di antara
teman-teman, tapi kurang begitu antara sepasang kekasih. Dengan
demikian dapat sering melihat teman-teman berjalan bersama-sama
bergandengan tangan, tapi pasangan jarang melakukannya, kecuali di
daerah kebarat-baratan.
e. Sebuah norma sosial terkemuka berpendapat bahwa menyentuh seseorang
di kepala dapat dianggap kasar. Hal ini juga dianggap kasar untuk
meletakkan satu kaki pada tingkat di atas kepala orang lain, terutama jika
orang itu lebih tinggi kedudukan sosial. Hal ini karena rakyat Thailand
untuk mempertimbangkan kaki menjadi kotor dan gemuk bagian tubuh,
dan kepala yang paling dihormati dan tertinggi bagian tubuh. Hal ini juga
mempengaruhi bagaimana Thai duduk ketika di tanah-kaki mereka selalu
12

menunjuk jauh dari orang lain, terselip ke samping atau di belakang
mereka. Menunjuk pada atau menyentuh sesuatu dengan kaki juga
dianggap kasar.
f. Dalam kehidupan sehari-hari di Thailand, ada penekanan kuat pada konsep
sanuk; gagasan bahwa hidup harus menyenangkan. Karena ini, Thailand
bisa menjadi sangat menyenangkan di tempat kerja dan pada hari-hari
kegiatan. Menampilkan emosi positif dalam interaksi sosial juga penting
dalam budaya Thai, begitu banyak sehingga thailand sering disebut
sebagai Land of Smiles.
g. Konflik dan menampilkan kemarahan yang dihindari dalam budaya
Thailand dan, seperti yang banyak budaya Asia, gagasan wajah sangat
penting. Untuk alasan ini, pengunjung harus berhati-hati untuk tidak
menciptakan konflik, untuk menampilkan kemarahan atau menyebabkan
orang Thai kehilangan muka. Perselisihan atau sengketa harus ditangani
dengan senyuman dan tidak ada upaya harus dilakukan untuk
menyalahkan yang lain.
h. Juga adat melepaskan sepatu sebelum memasuki sebuah rumah atau
sebuah kuil, dan bukan untuk melangkah di ambang pintu.
i. Ada beberapa kebiasaan Thailand berkaitan dengan status khusus biksu di
masyarakat Thai. Karena disiplin agama, Thailand biarawan dilarang
kontak fisik dengan perempuan. Oleh karena itu, perempuan diharapkan
untuk memberi jalan untuk melewati biarawan untuk memastikan bahwa
kontak tidak disengaja terjadi. Berbagai metode yang digunakan untuk
memastikan bahwa tidak ada insidental kontak (atau tampilan kontak
tersebut) antara perempuan dan rahib terjadi. Wanita membuat tempat
persembahan kepada para biarawan sumbangan mereka pada kaki
biarawan, atau pada kain diletakkan di atas tanah atau meja. Serbuk atau
unguents dimaksudkan untuk membawa berkat diterapkan ke Thai
perempuan oleh biarawan menggunakan ujung lilin atau tongkat. Lay
orang diharapkan untuk duduk atau berdiri dengan kepala mereka pada
tingkat yang lebih rendah daripada seorang biarawan. Dalam sebuah kuil,
rahib boleh duduk di atas panggung selama upacara untuk membuat ini
lebih mudah untuk dicapai.

13

III.

Penutup

14

Daftar Pustaka

Eesterik, Penny Van. 2000. Materializing Thailand. New York : Oxford.
Hofer, Hans. 1991. Insight Guides Thailand. Singapore : APA Publications.
London, Ellen. 2008. Thailand Condensed : 2000 years of History and Culture. Singapore :
Marshall Cavendish Editions.
Peleggi, Maurizio. 2007. Thailand : The Worldly Kingdom. London : Reaktion Books Ltd.
http://www.buddhakkhetta.com/User/Kat1/Sub12/Art75/baca.php?com=1&id=175
http://shambhalaguardian.wordpress.com/2009/08/07/ajaran-buddha-di-penjuru-dunia/
http://bimantararhizki.blogspot.com/2012/05/kebudayaan-negara-thailand.html

http://www.thailandtoday.org/culture-and-society/overview
http://sabungpitik.blogspot.com/2013/03/teori-teori-tentang-budaya.html
http://www.thailandtoday.org/culture-and-society/overview
http://www.ywamthai.org/office/culture

15