Tanggapan Remaja terhadap Label anak nak

Makalah Penelitian
Matakuliah Kenakalan Anak

“Tanggapan Remaja terhadap Label anak “nakal” terkait dengan Kebudayaan madol,
merokok dan Mengkonsumsi Minuman Keras, Sebuah Studi: di Stasiun Depok Baru,
Jalan Baru, Depok”

Oleh:
Nurlaili Oktaviani Faozan (1206216531)
Rina Amelia (1206216664)

Departemen Kriminologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia
Depok
2013

BAB I
PENDAHULUAN
I.1


Latar Belakang Masalah
Masa kanak-kanak merupakan masa pencarian jati diri. Pada masa ini, anak-anak banyak

belajar mengenai lingkungannya dan individu-individu yang berada disekitarnya melalui agenagen sosialisasi (keluarga, sekolah, gereja dan peers). Lingkungan yang umumnya terdiri dari
teman sepermainan memiliki faktor dominan terhadap perkembangan tingkah laku masingmasing anak.Terutama dengan teman sepermainan yang umumnya berada pada usia yang relatif
sama. Anak-anak ini belajar banyak hal, salah satu diantaranya adalah kebudayaan remaja.
kebudayaan remaja merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari anak-anak tersebut.
Mereka cenderung dianggap “nakal” oleh orang dewasa yang berada di dalam
kebudayaan dominan, karena mereka berbeda. Mereka memiliki kebudayaan sendiri, mereka
memiliki cara berpakaian sendiri dan cara bicara sendiri. Kemudian, anak-anak ini seringkali di
“label” sebagai anak-anak yang menyimpang oleh agen sosialisasi dikarenakan mereka memiliki
kebudayaan sendiri. Umumnya mereka di berikan “label nakal” sebagai bentuk reaksi terhadap
apa yang mereka lakukan dalam kebudayaan mereka. Namun, tidak jarang pula agen sosialisasi
menganggap bentuk kebudayaan mereka adalah hal yang biasa dan merupakan salah satu bentuk
“kewajaran” bagi orang-orang dewasa tersebut.
Salah satunya adalah yang terjadi pada beberapa anak jalanan yang tinggal di daerah
stasiun Depok Baru. Mereka yang umumnya merupakan anak jalanan ini memiliki satu
kebudayaan sendiri. Kebudayaan disebut sebagai madol, merokok dan meminum-minuman
keras. Mereka diberikan label sebagai anak “nakal” dan menyimpang oleh orang tua mereka
sebagai reaksi terhadap kebudayaan yang mereka terapkan dalam teman sepermainan mereka.

Dalam tulisan ini, para penulis menjelaskan apa yang disebut sebagai kebudayaan remaja di
daerah Stasiun Depok Baru, Jalan Baru, Depok tersebut, serta bagaiamana tanggapan anak-anak
ini terhadap “label” yang diberikan orang tua mereka terhadap kebudayaan yang mereka
terapkan.
Makalah ini bertujuan untuk melihat tanggapan remaja di sekitar Stasiun Depok Baru
terhadap pendefinisian label “nakal” yang diberikan kepada mereka atas kebudayaan yang
mereka terapkan.
I.2

Permasalahan
2

Berdasarkan latar belakang masalah diatas dapat dikatakan bahwa kebudayaan remaja
yang diterapkan di Stasiun Depok Baru dalam cara berpakaian, cara berbicara dan perilaku
ditanggapi sebagai salah satu bentuk “kenakalan”. Kebudayaan yang bagi kelompok dominan
(orang dewasa) sebagai penyimpangan, dimana fokus penulis pada permasalahan ini adalah
tanggapan remaja di sekitar Stasiun Depok Baru terhadap pendefinisian label “nakal” yang
diberikan kepada mereka atas kebudayaan yang mereka terapkan.
I.3


Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka terdapat satu pertanyaan mendasar

yaitu:
Bagaimana remaja di sekitar Stasiun Depok Baru, Jalan Baru, Depok dalam menanggapi
label “nakal” yang diberikan kepada mereka atas kebudayaan madol, merokok dan meminumminuman keras yang mereka terapkan dalam kelompok sepermainan mereka ?
I.4

Tujuan Penelitan
Tujuan dari penelitin ini adalah untuk melihat tanggapan remaja di sekitar Stasiun Depok

Baru, Jalan Baru, Depok terhadap pendefinisian label “nakal” yang diberikan kepada mereka atas
kebudayaan madol, merokok dan meminum-minuman keras yang mereka terapkan dalam
kelompok teman sepermainan mereka.

BAB II
3

TINJAUAN PUSTAKA
II.1


Definisi Konsep
Terdapat beberapa definisi konsep yang penulis gunakan untuk menunjang penelitian

kami dan memperkaya pengetahuan kami dalam penelitian, diantaranya:
II.1.1 Anak
Definisi konsep yang penulis gunakan untuk mendukung penelitian ini adalah
1. Menurut Undang-Undang No.25 tahun 1997 Tentang ketenagakerjaan
Pasal 1 ayat 20
Anak adalah orang laki-laki atau perempuan yang berumur kurang dari 15 tahun
2. Menurut Undang-Undang No. 3 TAHUN 1997 Tentang Pengadilan Anak
Pasal 1 ayat 1
Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun
tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
3. Konvensi Hak-Hak Anak
Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan yang
berlaku bagi anak tersebut ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal.
4. Pasal 45 KUHP
Anak yang belum dewasa apabila seseorang tersebut belum berumur 16 tahun.
Dari sekian banyaknya Undang-Undang yang mendefinisikan anak, yang paling sering

digunakan adalah Undang-Undang Republik Indonesia no. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak Pasal 1 “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan.” Sehingga kepentingan dan pengupayaan perlindungan
terhadap anak sudah dimulai sejak anak tersebut berada di dalam kandungan hingga berusian 18
tahun.
II.1.2 Kenakalan Anak
Tindakan kenakalan anak merupakan tindakan yang apabila dilakukan oleh orang dewasa
dianggap sebagai kejahatan atau perilaku menyimpang. Tindakan pelanggaran yang dilakukan
oleh anak disebut sebagai kenakalan karena belum ada konsekuensi tanggung jawab hukum yang
penuh bagi anak, karena hal tersebut lebih dianggap sebagai gagalnya proses sosialisasi pada
anak oleh agen-agen sosialisasi (keluarga, sekolah, tempat peribadatan dan peers).
4

Pada dasarnya setiap kenakalan anak dapat diukur menggunakan berbagai skala kenakalan
itu sendiri dan divalidasi menggunakan berbagai penelitian sebelumnya. Skala ini disebut
sebagai variabel dependen. Sedangkan variabel independennya merupakan agen-agen sosialisasi1
II.1.3 Status offenses
Kejahatan remaja adalah masalah besar, dan pada bahasan ini fokus pada tipikal kejahatan
jalanan khas kenakalan. Namun, sebagian besar pelanggaran remaja bukan merupakan kejahatan
kekerasan serius. Sebaliknya, proporsi yang jauh lebih besar bagi remaja yang mendapatkan

masalah dengan hukum biasanya melakukan apa yang dianggap pelanggaran ringan jika yang
melakukan orang dewasa atau bukan kejahatan sama sekali (status offenses)2.
 Kenakalan sebagai status offences
1. Segala perbuatan dianggap menyimpang bila dilakukan anak tetapi apabila dilakukan
oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan; segala perilaku anak yang dianggap
menyimpang tetapi apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak diangggap sebagai tindak
pidana.
2. Misalnya : merokok, membolos, membantah, kabur dari rumah, dll
 Kategori status offences
1. Community control categories, berkeliaran di tempat hiburan malam
2. Chemical categories, ngelem
3. Educational categories, membolos, menyontek
4. Family categories, lari dari rumah, membantah
Status offences pada dasarnya merupakan bentuk pelanggaran yang dilakukan anak terhadap
aturan-aturan atau norma sosial yang biasanya diberlakukan oleh anak.
II.I.4. Anak Jalanan
Menurut Departemen Sosial RI: Anak jalanan adalah anak yang sebagian besar
menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat
umum lainnya. Sedangkan Menurut UNICEF, anak jalanan merupakan anak-anak berumur di
1


Schroeder, Ryan D. (2010). Family Transition and Juvenile Delinquency. Sociological
Inquiry.579-604 (hlm: 587)
2
Bynum, Jack E., & William E. Thomson (2007). Juvenile Delinquency : A Sociological
Approach Sevent Edition -Pearson Education Inc, USA. Chapter 12
5

bawah 16 tahun yang sudah melepaskan diri dari keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat
terdekatnya, larut dalam kehidupan yang berpindah-pindah di jalan raya
Remaja tunawisma dan remaja yang menghabiskan sebagian waktunya di jalanan, di dunia
ketiga merupakan gambaran kekerasan dari kemiskinan. Beberapa penelitian dan laporan human
rights, anak-anak tersebut fokus pada fakta-fakta kekerasan karena mereka menggambarkan
kebrutalan (kebrutalan mulut maupun tangan) yang hidup dijalan dalam tampilan penuh gaya
hidup utama dan harapan3.
Remaja yang hidup di jalanan atau menghabiskan sebagian waktu hidupnya di jalan
merupakan suatu hal yang dianggap luas "masalah kependudukan" beresiko untuk narkoba dan
alkohol. mayoritas penduduk ini berada di bawah, tidak ada pendapatan yang jelas atau
menganggur, Hidup mereka ditandai dengan kemiskinan, kelaparan, dan kondisi lain dari
perampasan ekstrim karena mereka "nongkrong" di jalan secara teratur dan permanen4.

II.1.5 Youth Culture
Remaja merupakan sosok yang seolah dipisahkan dari orang dewasa, mereka dianggap
berbeda dari orang dewasa dan mereka bukan lagi diaggap sebagai anak-anak.

Hal ini

menyebabkan timbulnya istilah “budaya remaja” adalah frase yang menggambakan hedonistik
seks, narkoba dan rock ‘n’ roll. Budaya ini muncul pasca-perang idealisme. Fifth mendefinisikan
budaya remaja sebagai “pola tertentu dari keyakinan terhadap nilai-nilai, simbol-simbol dan
kegiatan oleh sekelompok remaja yang tidak dibagikan kepada orang-orang lain.” Bourdieu
mengungkapkan bahwa “remaja” tidak lebih dari sebuah kata yang lahir dikarenakan adanya
perpecahan antara remaja dan orang dewasa secara sewenang-wenang dan diberikannya batas
diantara mereka. Sejauh ini konsep yang dibangun terkait remaja terletak pada usia, larangan
hukum terhadap hak (ketika ada orang yang diperbolehkan menikah dan dapat minum-minuman
keras)5.

3

Berman, Laine. (2007). Surviving on the Streets of Java: Homeless Children's Narratives of
Violence. Sage Publications. Hal 149

4
Baron, Stephen. (1999). Street Youths and Substance Use: The Role of Background, Street
Lifestyle, and Economic Factors. Sage Publications. Hlm 3- 4
5
Huq, Rupa. (2006).Beyond Subculture: Pop, Youth and Identity in A Postcolonial World.
Routledge. (hlm: 1)
6

Dalam beberapa wilayah yang spesifik, emudian banyak kaum remaha yang menggunakan
istilah “budaya.” Hal ini menimbulkan banyak keberagaman. Kemudian konsep yang paling
signifikan yaitu “subkultur”, implikasinya yaitu sebagai bentuk perlawanan dan tidak resmi6.
II.1.6 Youth subculture
Dalam beberapa kultur yang dominan terdapat variasi dari subkultur, berbagi sebagian
besar sikap, nilai, dan keyakinan dari budaya keseluruhan, namun juga mereka mematuhi nilai,
keyakinan dan norma yang unik bagi mereka7. Subkultur remaja selalu menarik perhatian banyak
akademisi, media massa dan politisi. Mereka diidentifikasikan sebagai 'rakyat setan', 'musuh
masyarakat' dan produk dari perubahan sosial. Subkultur dianggap sebagai situs perlawanan
terhadap otoritas orang dewasa dan oposisi untuk kata 'umum'. Subkultur sebagai ekspresi
otentik subversi muda, khususnya kemampuan menimbulkan ‘moral panic’ dan ketakutan orang
dewasa8. Pada dasarnya rekreasi dan delinkuensi merupakan kombinasi yang menghadirkan

aspek dari perilaku subkultur yang menjadi kriminal9.
Gaya subkultur kaum muda tercermin dalam tindakan kontradiksi antara puritanisme kelas
pekerja tradisonal dan hedonisme konsumsi baru. remaja tersebut banyak menghadapi transisi
dari sekolah untuk bekerja menemukan diri mereka dalam situasi dimana mereka didorong,
melalui media, iklan dan industri konsumen untuk mencari kepuasan sesaat, dimana mereka
dibatasi oleh upah yang rendah dan kesempatan yang terbatas. Gaya ini dipandang oleh Cohen
sebagai ‘solusi generasi’ untuk menghadapi kontradiksi kelas pekerja secara keseluruhan10.
Pada dasarnya beberapa peneliti secara khusus meneliti bagaimana subkultur menggunakan
benda sebagai simbol sesuatu dan memberikan makna terhadapnya. Clarke (1976) misalnya
menggunakan konsep antropolg budaya Levi-Strauss (1966) menjelaskan konsep bricolage
untuk menjelaskan bagaimana suatu benda dapat digunakan oleh subkultur untuk mengubah atau
mengacaukan makna aslinya. Banyaknya obyek yang dipinjam dari dunia komoditas konsumen
dan adanya fokus keprihatinan subkultur. Memungkinkan perampasan gaya ini sebagai bentuk
oposisi mereka. Hebdige memberikan analisis, seperti mengapad mods menaiki skuter, mengapa
skinhead mengenakan sepatu bot dan mengapa anak punk menggunakan peniti di hidung mereka.
6

Ibid (Rupa: 2)
Ibid (Bynum)
8

Muncie, John. (2004). Youth and Crime. Sage Publication. Chapter 5 (hlm: 163)
9
Ibid(Muncie: 163)
10
Ibid (Muncie:164)
7

7

Bagi Hebdige, gaya subkultur merupakan pelanggaran simbolis terhadap tatanan sosial. Gaya
remaja ini tidak acak dan merupakan ‘perang gerilya semiotik.’ Untuk menjelaskan hal tersebut
kemudian Hebdige menggunakan istilah homologi dari Levi-Strauss, yaitu penggambaran
populer subkultur tanpa hukum, Hebdige menggambarkan bagaiman struktur internal remaja
tersebut ditandai dengan keteraturan, bagaimana elemen dan gaya mereka menjadi satu kesatuan
yang bermakna11.
Konsep ‘bricolage’ dan ‘homology’ dapat digunakan untuk mengeksplorasi bagaimana
subkultur dapat menumbangkan harapan normal dalam kerangka makna yang bersifat koheren.
Melalui teknik analisis semiotik Hebdige kemudian melihat gaya sebagai penanda dari sebuah
praktek subkultur bukan sebagai serangkaian ekspresi budaya yang berbeda. Sedangkan menurut
Clarke kelas merupakan kunci untuk menemukan resistensi subkultur. Hebdige memilih gaya
sebagai variabel utama dalam memahami esistensi sebagai satu set fenomena budaya yang
mempertanyakan mengenai formasi kelas dan pembentukan hegemoni. Farell (1966;1997)
mencontohkan bahwa hip hop, menulis graffiti pada dasarnya merupakan ‘kejahatan gaya’ untuk
itu pihak berwenang berusaha menghentikannya. Cara berpakaian, berbicara, berjalan dan
sebagainya

merupakan

benang

penghubung

antara

praktik

budaya

dan

identtas

menyimpang/kriminal yang dianggap sebagai smbol perlawanan, indikator perbedaan dan
sebagai target untuk di kriminalisasi pada dasarnya analisis subkultur remaja dan gaya ini pada
tahun 1980-an, didirikan sebagai parameter dimana adanya visi budaya radikal yang terkandung
didalamnya12.
II.I.7 Madol
Dalam definisi konsep ini, penulis memasukkan madol sebagai suatu konsep yang
penting untuk dibahas. Konsep madol sebenarnya sama halnya dengan drugs, hanya obat yang
digunakan bukanlah obat yang dikriteriakan sebagai narkotika dan kawan-kawannya melainkan
sebagai obat generik pada umumnya.
Jenis obat yang umumnya digunakan adalah tramadol, panadol paramex, dan obat lainnya
yang dapat digunakan. Sebagian ada yang mengkonsumsi obat tersebut seperti halnya
mengkonsumsi obat-obat pada umumnya, sebagian lagi mencampurnya dengan minuman soda
(Big Cola, Coca-cola, dll).
11
12

Ibid (Muncie:164)
Ibid (Muncie: 165)
8

II.2

Kerangka Teoritis

II.2.1 Labeling Theory
Teori labeling menurut buku Theories of Delinquency yang ditulis oleh Donald J.
Shoemaker13, memiliki beberapa asumsi dasar, asumsi utamanya adalah teori labeling pada
daarnya merupakan perilaku delinkuensi yang disebabkan oleh berbagai faktor yang luas.
Asumsi kedua adalah adanya faktor utama dalam pengulangan delinkuensi yang mengakibatkan
fakta bahwa individu tersebut di label sebagai “nakal.” Asumsi ketiga yaitu, individu yang
dilabel delinkuen ini kemudian melakukan delinkuensi lagi sesuai dengan label yang diberikan
oleh orang-orang terhadap individu tersebut. asumsi keempat adalah aplikasi resmi labeling
terhadap delinkuensi sangatlah tergantung pada sejumlah asumsi diatas, selain itu juga sangat
dipengaruhi oleh usia pelaku, jenis kelamin, ras dan kelas sosial, serta noma-norma organisasi
atau lembaga resmi14.
Dalam journal yang berjudul Sex Offender Registries: Fear Without Function?
Menjelaskan bahwa label yang diberikan akan memberikan disintegrasi pada rasa malu, yang
mengakibatkan individu tersebut berperilaku menyimpang dan kembali mengulangi perilaku
menyimpang tersebut15.
Menggunakan definisi dari Lemert terkait labeling, pada dasarnya labeling merupakan
“respon masyarakat” dimana individu tersebut melakukan sesuatu yang tidak disetujui. Perilaku
ini pada dasarnya terkait baik atau buruk. Pemaparan seperti ini hanya berasal dari respon
masyarakat terhadap perilaku individu16.
II.2.2 Containment Theory
Basisinya teori ini merupakan pemikiran yang termasuk dalam chicago school. Teori ini
pada dasanya menyatakan bahwa setiap individu pasti memiliki kontrol sosial (containment)
yang membantu mereka dalam menolak tekanan yang menarik mereka kearah kriminalitas 17.
Jadi pada dasarnya ada atau tidaknya tekanan sosial dalam berinteraksi dengan ada atau
13

Shoemaker, Donald J. 2010. Theories of Delinquency:Sixth Edition.Oxford University Press.
(hlm:260)
14
Ibid ( Soemaker: 261-262)
15
Agan Y. Amanda. (2011). Sex Ofender Registries: Fear Without Function. Chicago
Journals. Hal 213
16
Ibid (Soemaker;262)
17
Hagan, E. Frank. (2011). Introduction to Criminology: Theories, Method and Criminal
Behavior 7th Edition.Sage Publication.(hlm:164)
9

tidaknnya containment pada dasarnya akan menghasilkan atau tidak menghasilkan kriminalitas.
Lapisan dari tekanan sosial, terdiri atas18:
 Tekanan eksternal yang kemudian mendorong seseorang kearah kriminalitas. Variabel ini
umumnya terdiri atas kondisi hidup yang miskin, kondisi ekonomi yang tidak
menguntungkan, keanggotaan dalam kelompok minoritas dan kurangnya kesempatan
yang sah.
 Adanya faktor penarik eksternal yang jauh dari norma-norma sosial dan diberikan dari
luar seperti, subkebudayaan menyimpang dan pengaruh media.
 Adanya tekanan internal yang mendorong individu kearah kriminalitas, termasuk pada
kepribadian kontingensi, seperti ketegangan batin, perasaan rendah diri atau selalu
merasa tidak mampu, konflik mental atau cacat dan sejenisnya.
Containment theory, terbagi atas19:
Inner-containment mengacu pada internalisasi nilai-nilai, perilaku konvensional dan
perkembangan karakteristik kepribadian yang memungkinkan seseorang untuk menolak
tekanan. Self concept yang kuat, identitas dan adanya frustasi yang kuat merupakan
contoh dari lemahnya inner containment.
Outer-containment lebih diwakili oleh keluarga dan agen-agen sosialisasi yang lainnya
dengan dukungan terhadap sistem yang efektif dan membantu serta memperkuat
konvensionalitas serta isolasi individu dari serangan atau tekanan dari luar.
II.2.3 Adolescences Frustation
Asumsi yang digunakan dalam menjelaskan teori radikal20:
1. Kenakalan, sebagian besar perilaku adalah produk dari perjuangan di antara kelas-kelas
dalam masyarakat, terutama antara mereka yang memiliki alat-alat produksi (borjuis) dan
mereka yang tidak (proletariat).
2. Sistem ekonomi kapitalisme paling utama bertanggung jawab untuk perbedaan kelas
dalam masyarakat.
3. Kaum borjuis, baik secara langsung atau melalui agen, seperti Negara, mengontrol kaum
proletar, ekonomi, kelembagaan dengan secara hukum

18
19
20

Ibid
Ibid
Ibid (Soemaker: 285)
10

4. Kejahatan dan kenakalan yang dilakukan oleh kelas bawah dan pekerja sebagai bentuk
akomodasi terhadap pembatasan yang ditempatkan pada mereka oleh kaum borjuis.
David Greenberg mencoba untuk menghubungkan ide-ide neo-Marxis dengan kenakalan.
Greenberg (1977) berpendapat bahwa remaja secara ekonomi dirugikan oleh sistem ekonomi
kapitalis. Namun, untuk remaja, uang dan kekuasaan ekonomi suatu hal yang didambakan dan
penting bagi kehidupan sosial mereka. Rasa hormat dan persahabatan kadang-kadang bisa
"dibeli" sehingga kekurangan uang menghalangi sumber-sumber kepuasan bagi banyak remaja.
Keberhasilan di sekolah terbatas untuk beberapa remaja, terutama mereka dari latar belakang
kelas bawah dan pekerja, dan ini menjadi insentif lain untuk beralih ke kejahatan. Skenario ini
tampaknya untuk meregangkan hubungan antara kapitalisme dan motivasi untuk perilaku di
kalangan kaum muda21. Penjelasan Greenberg ini sering disebut dengan adolescence’s
frustration.

BAB III
METODE PENELITIAN
III.1 Pendekatan Penelitian
Metode penelitian menurut Sarantakos (1993) Sebagaimana dikutip Poerwandari adalah
metodologi secara literal berarti ilmu tentang metode-metode, berisi standar dan prinsip yang
digunakan sebagai pedoman penelitian, dan metode tersebut dalam menjelaskan sesuatu tentang
cara yang dipergunakan peniliti untuk mengumpulkan bukti-bukti empiris. 22 Artinya sebuah
21

Shoemaker, Donald, J. (2009). Juvenile Delinquency. UK: Rowman & Littlefeld Publishers,

Inc.hal: 299
22

Poerwandar, E. Kristi. (2007). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia.
Jakarta: LPSP3 Fakultas Psikologi UI. Hal 17
11

penelitian akademik memerlukan cara tertantu yang mampu menggali data dan informasi yang
objektif.
Pendekatan penelitian yang digunakan merupakan pendekatan kualitatif, dikarenakan kami
melihat adanya suatu gejala atau peristiwa merupakan suatu gejala sosial, peristiwa atau fakta
sosial dalam kehidupan masyarakat. Tujuannya adalah untuk memahami fakta, realita, serta
peristiwa yang terjadi dalam masyarakat.23 Pendekatan kualitatif digunakan karena menurut
Strauss dan Corbin “metode kualitatif dapat digunakan untuk mengungkap dan memahami
sesuatu dibalik fenomena, baik yang sediktpun belum diketahui maupun yang bau sedikti
diketahui”.24 Metode ini mempelajari bagaimana berbicara dengan subjek penelitian untuk
menyajkan perspektif mereka dalam kata-kata dan tindakan. Penelitian kualitatif merupakan
pendekatan yang menggunakan proses interaktif, dimana peneliti mempelajari hal-hal yang ingin
diteliti dari subjek penelitiannya.25
III.2.Teknik Pengumpulan Data
Untuk pencarian data pada penelitian ini kami menggunakan tehnik wawancara.
Wawancara sendiri merupakan teknik yang biasa digunakan dalam penelitian kualitatif. Dalam
wawancara yang digunakan, peneliti menggunakan jenis wawancara tidak berstruktur, tidak
berstandar, informal, atau berfokus. Dalam wawancara peneliti mengajukan pertanyaan umum
dalam area yang luas pada penelitian. Jenis wawancara ini bersifat fleksibel dan memungkinkan
peneliti mengikuti minat dan pemikiran partisipan. Peneliti juga bebas menanyakan berbagai
pertanyaan kepada partisipan dalam urutan manapun bergantung pada jawaban, tetapi peneliti
mempunyai agenda sendiri yaitu tujuan penelitian yang yang dimiliki dalam pemikiran dan isu
tertentu yang akan digali. Umumnya, ada perbedaan hasil wawancara pada tiap partisipan.
Partisipan bebas menjawab, baik isi, maupun panjang pendeknya paparan, sehingga dapat
diperoleh informasi yang sangat dalam dan rinci.

23

Raco, JR. (2001). Metode Penelitian kualitatif, Jenis Karakteristik dan Keunggulannya.
Jakarta: Grasindo. Hal: 81
24
Strauss, Anslem & Juliet Corbin. (2007). Dasar-dasar Penelitian Kualitatif: Tatalangkah dan
Teknik-teknik Teorisasi Data. Diterjemahkan oleh M. Shodiq & Imam Muttaqien. Yogyakarta:
pustaka Pelajar. Hal 5
25
http://www2.warwick.ac.uk/fac/soc/sociology/staf/academicstaf/chughes/hughesc_index/
teachingresearchprocess/quantitativequalitative/quantitativequalitative/ diakses pada
Minggu, 17-11-2013 pukul 16:53 WIB
12

Wawancara jenis ini menghasilkan data yang paling kaya, tetapi juga memiliki dross rate
paling tinggi, terutama apabila pewawancaranya tidak berpengalaman. Dross rate adalah jumlah
materi yang atau informasi yang tidak berguna dalam penelitian.
III.3 Alasan Pemilihan Subjek Penelitian
Peneliti memilih subjek penelitian di daerah Stasiun Depok Baru, Depok dikarenakan:
1. Lingkungan serta kehidupan remaja disana sangat sesuai dengan tema penelitian
peneliti yaitu: Youth Culture.
2. Selain itu, peneliti juga memiliki akses (guide keeper) untuk masuk ke dalam
daerah penelitian tersebut.
3. Serta peneliti merasa topik ini adalah sebuah topik yang jarang di bahas dalam
penelitian, sehingga peneliti berusaha mengungkap kebudayaan remaja disana dan
mengetahui bagaimana labeling theory dan containment theory diterapkan dan
dirasakan oleh remaja di daerah tersebut.
III.4 Lokasi Penelitian
Penelitian ini kami lakukan di wilayah sekitar Stasiun Depok Baru, Jalan Baru, Depok
Baru terhadap remaja perempuan dan laki-laki.
III.6 Hambatan Penelitian
Pada dasarnya pada setiap penelitian akan selalu ada hambatan. Salah satu hambatan yang
dialami oleh penulis terkait dengan mobilisasi yang sulit serta subjek penelitian yang seringkali
kehilangan fokus karena sedang berkomunikasi dengan orang lain.

BAB IV
TEMUAN DATA LAPANGAN
Penelitian ini kami lakukan di wilayah sekitar Stasiun Depok Baru, Jalan Baru, Depok
Baru pada tanggal 3 Desember 2013. Peneliti mengenal subjek penelitian melalui salah satu
rekan yang juga sedang melakukan penelitian. Kami bertemu subjek penelitian pada sore hari
sekitar pukul 18.00 WIB. Setelah berkenalan singkat di pasar stasiun Depok Baru, kemudian
13

menuju Jalan Baru. Selama di perjalanan kami mencoba bertanya-tanya singkat terkait subjek
penelitian yang kemudian ditanggapi dengan terbuka oleh subjek tersebut.
Sesampainya di Jalan Baru, peneliti memulai proses wawancara kepada subjek penelitian
yang berjumlah 2 orang remaja perempuan. Proses wawancara berlangsung dengan cukup baik
meski sedikit terganggu oleh salah satu subjek penelitian yang sedang berkomunikasi dengan
orang lain. Pertanyaan dijawab dengan cukup terbuka oleh subjek penelitian, dalam wawancara
peneliti mengajukan pertanyaan umum dalam area yang luas pada penelitian. Peneliti juga bebas
menanyakan berbagai pertanyaan kepada partisipan dalam urutan manapun bergantung pada
jawaban, tetapi peneliti mempunyai agenda sendiri yaitu tujuan penelitian. Subjek penelitian
bebas menjawab, baik isi, maupun panjang pendeknya paparan, sehingga dapat diperoleh
informasi yang sangat dalam dan rinci. Selesai wawancara di Jalan Baru, peneliti pamitan untuk
pulang dan sepakat untuk bertemu kembali pada hari berikutnya ketika subjek penelitian pulang
sekolah.
Pada hari berikutnya tanggal 4 Desember 2013, peneliti bertemu kembali dengan
partisiapan di sekolahnya pada pukul 13.00 WIB. Dari sekolah subjek peneliti kemudian
kembali ke Jalan Baru. Di sana, peneliti dikenalkan dengan beberapa teman-teman subjek
penelitian yang lainnya. Dari situ peneliti kemudian menemukan subjek penelitian lainnya.
Disana peneliti melakukan wawancara dengan salah satu anak laki-laki. Ketika peneliti akan
melakukan penelitian dengan subjek lainnya, cuaca sedang tidak memungkinkan. Hujan turun
cukup deras sehingga penelitian di hari kedua ini hanya memperoleh satu subjek penelitian saja.

III.1 Identitas Subjek Penelitian
Identitas Subjek Ke-1
Nama

: Mika (Nama disamarkan)

Usia

: 11 Tahun

Jenis kelamin

: Perempuan

Identitas Subjek Ke-2
Nama

: Mira (Nama disamarkan)

Usia

: 13 Tahun
14

Jenis kelamin

: Perempuan

Identitas Subjek Ke-3
Nama

: Romi (Nama disamarkan)

Usia

: 12 Tahun

Jenis kelamin

: Laki-laki

Nama subjek sengaja kami samarkan demi menjaga nama baik mereka.

III.2 Review Singkat Hasil Wawancara
Dalam wawancara tahap pertama yang dilakukan pada Selasa, tanggal 3-Desember-2013,
peneliti melakukan wawancara terhadap Mika dan Mira yang peneliti kenal melalui Mila (guide
keeper) dalam penelitian kami. Mereka bertiga adalah orang yang tergabung dalam sebuh geng
bernama KANSAS. Penulis melakukan wawancara pada pukul 18:50 WIB. Setelah sebelumnya
berkeliling di daerah Jalan Baru, Depok. Awalnya pertanyaan-pertanyaan penelitian dijawab
dengan singkat oleh subjek penelitian. Mereka meski terbuka menjawab pertanyaan dengan
malu-malu.
Mira dan Mika mengaku pada dasarnya mereka tidak mengerti mengapa mereka tergabing
di dalam geng Kansas tersebut, namun saat ditanya akronim dari KANSAS mereka menjawab
bahwa KANSAS merupakan kepanjangan dari Anak Nakal Suatu Hari akan Sadar. Saat ditanya
mengapa mereka memberikan nama itu, mereka menjawab bahwa mereka diberikan label nakal
oleh masyarakat.
Mika sendiri merupakan seorang remaja perempuan berusia 11 tahun yang sedang duduk
di kelas VII Sekolah Menengah Pertama. Mira merupakan remaja permpuan yang berusia 13
tahun yang sedang duduk di kelas 6 Sekolah Dasar. Pertanyaan yang diajukan oleh Mira
umumnya dijawab dengan sangat singkat dan Mira sangat mudah tersdistraksi oleh pesan singkat
dan aktivitas komunikasi yang dilakukannya dengan Mila. Saat peneliti bertanya mengenai
beberapa hal terkait dengan madol, dia cukup aktif dalam menjawab dan menyarankan untuk
menanyakan secara langsung kepada salah seorang temannya bernama Laras.

15

Proses wawancara yang juga dilakukan kepada Mika, kemudian menghasilkan temuantemuan yang baru terkait apa itu madol dan obat-obat apa saja yang biasanya digunakan untuk
madol. Dimana Mika mengungkapkan bahwa biasanya mereka cenderung menggunakan obat
tremadol, panadol dan beberapa obat lainnya. Cara menggunakan obat tersebut adalah dengan
mencampur obat-obat tersebut dengan air mineral. Tujuan penggunaan obat tersebut menurut
Mika adalah bermacam-macam salah satunya menurut Robi yaitu pacar dari Mika. Dia
mengungkapkan bahwa tujuan penggunaan obat tersebut adalah agar tidak malu saat sedang
ngamen. Fakta yang selanjutnya yang di dapatkan dari Mika adalah bahwa Robi menggunakan
madol tersebut secara legal. Dia diperbolehkan oleh orang tuanya untuk mengkonsumsi obatobatan tersebut dikarenakan Robi bekerja sebagai pengamen, sehingga mereka bebas melakukan
apapun, asalkan menghasilkan uang, karena peran Robi dirumah adalah sebagai tulang punggung
keluarga. Mika juga mengungkapkan bahwa madol pada dasarnya sudah diterapkan oleh banyak
remaja laki-laki disana. Bahkan Mika juga mengetahui bagaimana bentuk obat yang biasa
digunakan untuk madol itu melalui saudara-saudara dari Robi. Namun dia mengaku tidak pernah
diminta untuk mencoba obat tersebut. Kemudian saat peneliti menanyakan apakah Mika sudah
pernah madol atau merokok, dia menjawab belum pernah, dikarenakan takut kepada ibunya.
Di dalam wawancara tersebut juga ditemukan fakta bahwa pada dasarnya anak-anak yang
ada di lingkungan ini merupakan anak-anak yang di label “nakal” oleh masyarakat. Namun
secara khusus Mika mengungkapkan bahwa yang seringkali memberikan label “nakal” kepada
mereka adalah orang tua mereka. Selain dengan mencontohkan kepada dirinya sendiri yang
seringkali diberikan label “nakal” dikarenakan pulang telat saat bermain. Mika juga
mencontohkan kepada teman lainnya yang bernama Rani yang diberikan label “nakal” karena
saat orang tuanya sedang marah, Rani seringkali menghidupkan lagu dengan volume yang cukup
besar, sehinga kemudian orang tuanya memberikan label “nakal” kepada mereka.
Dari wawancara itu juga diketahui bahwa Mika adalah anak yang broken home, dia
seringkali menerima perlakuan buruk dari ayah tirinya. Dia seringkali dipukuli saat pulang telat
dari bermain dengan teman-temannya. Selain Mika yang merupakan anak yang broken home
Laras juga demikian. Ibunya sudah meninggal, sehingga tidak ada yang memarahi Laras ketika
Laras madol, bahkan saat dia merokok. Mika juga mengungkapkan bahwa pada dasarnya orang
tua Laras telah memarahi Laras, namun Laras masih saja melakukan kenakalan tersebut dan
tidak mempedulikan apa yang dikatakan oleh ayahnya.
16

Pada penelitian tahap dua yang dibantu juga oleh Mila (guide keeper) peneliti memperoleh
subjek penelitian bernama Romi. Romi merupakan remaja laki-laki berusia 12 tahun yang
bersekolah di Sekolah Master. Selain bersekolah Romi juga bekerja sebagai penggamenDia
mengungkapkan bahwa dia merokok, madol dan juga minum-minuman keras. Saat ditanya dia
merokok saat bersama-sama dengan temannya. Saat ditanya apakah dia pernah madol, dengan
santai Romi menjawab bahwa dia pernah madol. Pada saat wawancara berlangsung juga Romi
bersama dengan teman-temannya menggunakan beberapa istilah-istilah yang tidak diketahui
oleh orang lain.
Penggunaan madol menurut mereka selain agar tidak malu saat mengamen penggunaannya
juga sebelum mereka tawuran dengan musuh agar mereka cepat marah. Namun efek samping
dari penggunaan madol ini menurut Romi adalah saat mereka sedang mengamen dan ada orangorang yang menghinan mereka, mereka akan cepat sekali marah. Romi juga mengunmgkapkan
mengenai minuman yang sering mereka konsumsi dan minuman yang seringkali mereka
konsumsi adalah ciu. Dengan harga Rp. 8.000/liter.

BAB V
ANALISIS DATA
V.1 Pengaruh Label “Nakal” terhadap Kebudayaan Madol, Merokok dan MinumMinuman Keras bagi Remaja di Sekitar Jalan Baru, Depok
Berdasarkan kerangka konsep yang digunakan penulis dapat diklasifikasikan bahwa pada
dasarnya ketiga subjek penelitian yaitu Mika, Mira dan Romi pada dasarnya masih tergolong
sebagai anak-anak. Dengan menggunakan acuan yang terdapat dalam beberapa pasal seperti
17

pasal 1 ayat 20 Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Konvensi Hak-Hak Anak dan Pasal 45 KUHP. Serta
demikian pula, Undang-Undang Republik Indonesia no. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak Pasal 1 “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan.” Sehingga kepentingan dan pengupayaan perlindungan
terhadap anak sudah dimulai sejak anak tersebut berada di dalam kandungan hingga berusian 18
tahun. Mereka pada dasarnya merupakan kelompok yang rentan dan harus dilindungi. Dilindungi
dan diberikan kesejahteraan oleh orang tua mereka. Namun apa yang kemudian terjadi jika hal
yang sebaliknya terjadi? Atau bagaimana jika orang tua yang seharusnya memberikan
kesejahteraan dan rasa aman justru seringkali memberikan label terhadap anak-anak ini sebagai
“anak nakal”?
Berdasarkan temuan data lapangan yang peneliti peroleh melalui proses wawancara yang
dilakukan kepada tiga subjek penelitian tersebut, ditemukan bahwa pada pada dasarnya, mereka
merupakan anak yang diberikan label “nakal” oleh orang tuanya. Seperti dalam beberapa
pernyataan yang diungkapkan oleh Mika, bahwa kerapkali orang tuanya memberikan label
bahwa dia merupakan anak “nakal”, kemudian, Mika yang juga mencontohkan bahwa Rani juga
kerapkali diberikan label “nakal” oleh orang tuanya. Kemudian Laras yang orang tuanya telah
meninggal dan ayahnya yang seringkali memberikan perlakuan kasar kepadanya. Bahkan saat
wawancara telah usai peneliti sempat memperoleh pernyataan dari Mirna bahwa ayahnya pernah
mengatakan bahwa “Lebih baik saya dipenjara, ketimbang saya punya anak yang membuat malu
seperti kamu, dasar anak “nakal”.” Kemudian banyak sekali ungkapan-ungkapan yang mereka
terima terkait dengan bermacam-macam kenakalan yang mereka lakukan.
Umumnya label “nakal” ini diberikan kepada anak-anak ini dikarenakan kebudayaan yang
mereka terapkan. Mereka yang umumnya madol, merokok dan mengkonsumsi minum-minuman
keras dan apa yang mereka lakukan ini dianggap sebagai kenakalan. Pendefinisian ini pada
dasarnya lahir dari bentuk kebudayaan mereka yang dianggap berbeda oleh masyarakat.
Kemudian bagaimana mereka menanggapi label “nakal” yang diberikan kepada mereka?
Pada dasarnya mereka sangat sadar terhadap label yang diberikan masyarakat terhadap
mereka. Mereka dengan sangat jelas mengetahui label tersebut, namun kemudian yang menjadi
pertanyaan adalah, bagaimana mereka menanggapi label yang diberikan kepada mereka?
18

Berdasarkan temuan data lapangan pada dasarnya saat peneliti bertanya kepada Mika dan Mirna,
mereka menjawab bahwa mereka menanggapi label yang diberikan kepada mereka dengan
kemudian tergabung dalam sebuah geng bernama KANSAS (Kami Anak Nakal Suatu Hari akan
Sadar). Selain itu saat peneliti bertanya terkait bagaimana jika orang tua mereka sedang marah,
jawaban pada umumnya menuju kepada mereka akan mengabaikan kemarahan orang tuanya dan
tetap melanjutkan kenakalan mereka sebagai bentuk perlawanan mereka. Mereka pada dasarnya
tidak mempedulikan apa yang orang tua mereka labelkan kepada mereka.
Pada label itu sendiri ditanggapi oleh remaja ini adalah bentuk pengakuan terhadap jati diri
mereka sebagai seorang remaja yang memiliki kebudayaan sendiri. Mika terutama
mengungkapkan bahwa jika orang tuanya sedang marah karena dia pulang telat saat dia bermain,
maka dia akan kembali melanjutkan bermainnya dengan teman-temannya. Meskipun, kemudian
jika nantinya dia pulang kerumahnya dia tetap akan dimarahi oleh orang tuanya. Dengan
demikian, orang tuanya kemudian akan melabelnya sebagai anak “nakal”
Padahal jika berdasarkan tulisan yang terdapat dalam kerangka konsep kami, definisi dari
kenakalan anak merupakan tindakan yang apabila dilakukan oleh orang dewasa dianggap sebagai
kejahatan atau perilaku menyimpang26. Sedangkan pendefinisian kenakalan yang dilakukan oleh
orang tua anak-anak ini adalah perilaku apapun yang kemudian dianggap tidak sesuai dengan apa
yang diharapkan oleh orang tua kemudian disebutkan sebagai kenakalan. Padahal jika kita
menggunakan definisi yang sebenarnya, umumnya apa yang dilakukan anak-anak ini adalah
status offences, padahal jika menggunakan kategori dari status offences, apa yang dilakukan
anak-anak ini termasuk kedalam kategori chemical categories dalam status offences yaitu dengan
madol, merokok dan meminum-minuman keras.
Mereka dianggap “nakal”, selain karena label yang diberikan kepada mereka, juga
dikarenakan mereka menerapkan suatu kebudayaan mereka sendiri, seperti madol, merokok dan
mengkonsumsi minum-minuman keras. Sebagaimana yang terdapat dalam kerangka konsep yang
disebutkan, menurut Fifth mendefinisikan budaya remaja sebagai “pola tertentu dari keyakinan
terhadap nilai-nilai, simbol-simbol dan kegiatan oleh sekelompok remaja yang tidak dibagikan

26

Schroeder, Ryan D. (2010). Family Transition and Juvenile Delinquency. Sociological
Inquiry.579-604 (hlm: 587)
19

kepada orang lain27. Seperti yang terdapat dalam hasil penelitian yang peneliti dapatkan adalah
pada kelompok remaja di Jalan Baru, Depok Baru, Depok tersebut umumnya menggunakan
suatu bahasa-bahasa tertentu, seperti madol, atok dan beberapa kata lain yang diungkapkan saat
wawancara

berlangsung

dan

sulit

dipahami

oleh

peneliti,

sehingga

peneliti

harus

mengkonfirmasi kembali pernyataan tersebut untuk mengerti apa yang sebenarnya makna dari
kata-kata tersebut. Selain itu, hal lain yang juga membuktikan bahwa apa yang mereka lakukan
pada dasarnya merupakan kebudayaan adalah dengan adanya kebudayaan madol itu sendiri,
merokok dan menngkonsumsi minum-minuman keras yang biasanya mereka lakukan secara
bersama-sama. Mereka yang umumnya masih berusia antara 11-14 tahun ini dianggap memiliki
kebudayaan yang berbeda dari masyarakat pada umumnya.
Masyarakat yang umumnya kemudian memberikan label “nakal” kepada mereka adalah
karena masyarakat yang umumnya menganggap bahwa mereka berada pada suatu kebudayaan
yang dianggap berbeda dari masyarakat pada umumnya. Mereka seringkali disebut sebagai youth
subculture. Konsep ini mendefinikasn bahwa anak-anak ini berada pada suatu kebudayaan
dominan yang kemudian membentuk kebudayaan sendiri dengan membagikan nilai-nilai,
keyakinan dan norma yang unik bagi mereka. Mereka cenderung diidentifikasikan sebagai
“rakyat setan,” “musuh rakyat,” dan merupakan produk perubahan sosial 28. Subkultur
kebudayaan remaja ini pada dasarnya merupakan ekspresi otentik subversi muda, khususnya
kemampuan dalam menimbulkan “moral panic” dan ketakutan orang dewasa29.
Menggunakan adolescence’s frustration yang diungkapkan oleh David Greenberg peneliti
melihat mengapa remaja ini kemudian menerapkan kebudayaan remaja seperti madol, merokok,
dan mengkonsumsi minum-minuman keras, salah satunya dikarenakan remaja ini dirugikan
secara ekonomi, mereka mengalami kekeurangan sumber-sumber kepuasan bagi remaja
tersebut30. Dapat kami analisis bahwa kebudayaan remaja di Daerah Jalan Baru, Depok Baru,
Depok ini terjadi dikarenakan mereka merasa frustasi terhadap kehidupan mereka, dikarenakan
mereka tidak memiliki akses ekonomi untuk memenuhi kepuasan mereka. Mereka tidak
27

Huq, Rupa. (2006).Beyond Subculture: Pop, Youth and Identity in A Postcolonial World.
Routledge.
28
Bynum, Jack E., & William E. Thomson (2007). Juvenile Delinquency : A Sociological
Approach Sevent Edition -Pearson Education Inc, USA. Chapter 12
29
Muncie, John. (2004). Youth and Crime. Sage Publication. Chapter 5
30
Ibid
20

memiliki kepuasan untuk menyalurkan keinginan mereka. Mereka yang masih berusia remaja ini
juga umumnya sudah bekerja dan hal tersebut menjadikan mereka tidak memiliki waktu yang
cukup banyak untuk bermain. Frustasi yang mereka alami ini kemudian mereka salurkan
kedalam kebudayaan mereka dengan mengkonsumsi madol, merokok dan mengkonsumsi
minum-minuman keras. Madol sendiri yang hampir serupa dengan pengkonsumsian obat-obatan
terlarang, namun dengan menggunakan obat-obatan generik dan dicampur dengan minuman big
cola lebih memperlihatkan bentuk kekurangan akses ekonomi mereka untuk mengkonsumsi
narkoba sehingga kemudian mereka menggantinya dengan madol.

V.2. Pengaruh Containment Theory terhadap Pelanggaran Status Offences
Dari penelitian yang dilakukan terhdapa Mika, peneliti melihat adanya pengaplikasian dari
containment theory. Dimana dalam fakta di lapangan diperoleh fakta bahwa pada dasarnya Mika
tidak melakukan pelanggaran status offences seperti yang dilakukan oleh teman-teman
sepermainan lainnya adalah dikarenakan oleh ibunya. Ibunya yang melarangnya melakukan ini
dan itu, membuatnya memiliki benteng yang cukup kuat untuk tidak melakukan pelanggaran
terhadap status offences-nya. Pada dasasnya containment theory yang diungkapkan Walter C.
Reckless ini sendiri tergoong dalam kelompok pemikiran Chicago. Teori ini sendiri tergolong
dalam teori control sosial. Containment theory ini terbagi atas31:
 Inner-containment, hal ini mengacu pada internalisasi nilai-nilai, perilaku
konvensional dan perkembangan karakteristik kepribadian yang memungkinkan
seseorang untuk menolak tekanan. Umumnya Inner-containment lebih efektif
diterapkan di daerah perkotaan, dikarenakan integrasi masyarakat perkotaan yang
lemah.
 Outer-containment lebih diwakili oleh keluarga dan agen-agen sosialisasi lainnya
dengan dukungan terhadap sistem yang efektif dan membantu serta memperkuat
konvensionalitas serta isolasi individu dari serangan atau tekanan dari luar. Outercontainment ini lebih mudah diterapkan pada masyarakat pedesaan karena
masyarakatnya masih memiliki kekerabatan yang kuat.
31

Hagan, E. Frank. (2011). Introduction to Criminology: Theories, Method and Criminal
Behavior 7th Edition.Sage Publication.(hlm:164)
21

Mika berdasarkan data yang kami peroleh adalah seorang anak yang memiliki outercontainment yang kuat. Mengapa peneliti menggolongkannya kedalam outer-containment? Hal
ini dikarenakan kelompok yang termasuk dalam outer-containment adalah agen-agen sosialisasi
yaitu keluarga, sekolah, tempat peribadatan dan teman sepermainan. Dalam data yang kami
peroleh dari Mika peran outer-containment yang cukup kuat dipegang oleh Mika adalah peran
dari keluarga. Peran outer-containment dalam kehidupan Mika adalah berasal dari ibunya.
Ibunya yang memberikan peraturan ketat baginya. Memberikan ekspektasi dan kewajibankewajiban tertentu untuknya, menjadikannya terikat dan dengan demikian menjadikan peran
outer-containment semakin kuat. Meskipun pada dasarnya dia berada di lingkungan teman
sepermainan lainnya yang melakukan pelanggaran terhadap status offences-nya. Namun
dikarenakan adanya outer-containment yang kuat, maka dia tidak terdorong untuk melakukan
pelanggaran yang sama.

BAB VI
PENUTUP
VI. 1 KESIMPULAN
Dalam analisis yang peneliti gunakan, yaitu dengan menggunakan asumsi dasar teori
labeling, teori adolescence’s frustation serta dengan menggunakan containment theory, pada
dasarnya sesuai dengan temuan lapangan yang diperoleh oleh peneliti. Pada penelitian ini,
peneliti berusaha mencari tahu tanggapan remaja di sekitar Stasiun Depok Baru, Jalan Baru,
Depok terhadap pendefinisian label “nakal” yang diberikan kepada mereka atas kebudayaan
madol, merokok dan meminum-minuman keras yang mereka terapkan dalam kelompok teman
sepermainan mereka.
Seperti yang diketahui mereka sebagai anak hanya melakukan pelanggaran status offences,
tapi reaksi yang diberikan pada mereka dengan dilabel sebagai anak “nakal”. Kansas adalah
salah satu bentuk tanggapan mereka terhadap “label” tersebut. Tidah hanya Kansas, remaja
lainnya mulai membangun kebudayaan mereka sendiri, budaya yang dimana ia diterima sebagai
dirinya tanpa harus dipaksa oleh kebudayaan yang dianggap benar.
22

Dengan demikian dapat kami simpulkan bahwa pengaruh label “nakal” oleh orang tua
pada dasarnya menjadikan remaja ini melampiaskannya kedalam kebudayaan remaja mereka,
seperti, madol, merokok dan mengkonsumsi minum-minuman keras. Kebudayaan ini kemudian
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikan mereka berbeda dari masyarakat yang
memiliki kebudayaan dominan.
VI. 2 SARAN
Beberapa saran yang dapat direkomendasikan terhadap permasalahan ini, yaitu:
1). Harus adanya pendefinisian yang lebih sempit terhadap kenakalan itu sendiri.
2). Melakukan sosialisasi bahwa kebudayaan yang telah mereka lakukan seperti madol, merokok
dan mengkonsumsi minuman keras sebenarnya merupakan tindakan yang akan membahayakan
kesehatan mereka sendiri.
3). Harus adanya ruang publik yang menfasilitasi mereka sebagai remaja, seperti ruang yang
menampung minat dan bakat mereka, sehingga mereka tidak menerapkan kebudayaan yang
diterapkan sebelumnya.
4). Dibutuhkan peran aktif orang tua dalam pengasuhan dan perawatan yang lebih baik terhadap
mereka, agar mereka memiliki benteng dari kebudayaan yang mereka peroleh dari teman
sepermainan merek.

23

Daftar Pustaka
Buku:
Bynum, Jack E., & William E. Thomson (2007). Juvenile Delinquency : A Sociological
Approach Sevent Edition ----Pearson Education Inc, USA. Chapter 12
Hagan, E. Frank. (2011). Introduction to Criminology: Theories, Method and Criminal Behavior
7th Edition.Sage Publication.
Huq, Rupa. (2006).Beyond Subculture: Pop, Youth and Identity in A Postcolonial World.
Routledge.
Muncie, John. (2004). Youth and Crime. Sage Publication. Chapter 5
Raco, JR. (2001). Metode Penelitian kualitatif, Jenis Karakteristik dan Keunggulannya. Jakarta:
Grasindo.
Shoemaker, Donald J. 2010. Theories of Delinquency:Sixth Edition.Oxford University Press.
(hlm:260-26

24

Shoemaker, Donald, J. (2009). Juvenile Delinquency. UK: Rowman & Littlefield Publishers,
Inc.hal: 299
Poerwandari, E. Kristi. (2007). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia.
Jakarta: LPSP3 Fakultas Psikologi UI. Hal 17
Raco, JR. (2001). Metode Penelitian kualitatif, Jenis Karakteristik dan Keunggulannya.
Jakarta: Grasindo. Hal: 81
Strauss, Anslem & Juliet Corbin. (2007). Dasar-dasar Penelitian Kualitatif: Tatalangkah dan
Teknik-teknik Teorisasi Data. Diterjemahkan oleh M. Shodiq & Imam Muttaqien.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal 5
Journal:
Agan Y. Amanda. (2011). Sex Offender Registries: Fear Without Function. Chicago Journals.
Hal 213
Baron, Stephen. (1999). Street Youths and Substance Use: The Role of Background, Street
Lifestyle, and Economic Factors. Sage Publications. Hlm 3- 4
Berman, Laine. (2007). Surviving on the Streets of Java: Homeless Children's Narratives of
Violence. Sage Publications. Hal 149
Schroeder, Ryan D. (2010). Family Transition and Juvenile Delinquency. Sociological
Inquiry.579-604

Web:
http://www2.warwick.ac.uk/fac/soc/sociology/staff/academicstaff/chughes/hughesc_index/
teachingresearchprocess/quantitativequalitative/quantitativequalitative/

diakses

pada

Minggu, 17-11-2013 pukul 16:53 WIB

25

LAMPIRAN
Catatan Perjalanan
Pencarian data pertama kali kami lakukan pada Selasa, tanggal 3 Desember 2013. Kami
turun lapangan setelah kelas Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Kriminologi sekitar pukul
17.00 WIB. Kami menggunakan transportasi kereta dari Stasiun UI menuju Stasiun Depok Baru.
Bersama dengan teman yang melakukan penelitian untuk matakuliah yang sama. Kami
diperkenalkan dengan Mila, seorang remaja perempuan yang menjadi guide keeper dalam
penelitian kami. Dari dialah kami mengenal Mira dan Mika pada hari pertama penelitian.
Dari Stasiun, kami melakukan wawancara di trotoar Jalan Baru, Depok. Subjek penelitian
kami pada penelitian yang pertama adalah teman sepermainan Mila, mereka merupakan
kelompok sepermainan yang tergabung dalam suatu geng bernama KANSAS. Dari kedua subjek
penelitian kami, yaitu Mira dan Mika, mereka mengaku pada dasarnya mereka tidak mengerti
mengapa mereka tergabung di dalam geng KANSAS tersebut, namun saat ditanya akronim dari
KANSAS mereka menjawab bahwa KANSAS merupakan kepanjangan dari Anak Nakal Suatu

26

Hari akan Sadar. Saat ditanya mengapa mereka memberikan nama itu, mereka menjawab bahwa
mereka diberikan label nakal oleh masyarakat.
Mika sendiri merupakan seorang remaja perempuan berusia 11 tahun yang sedang duduk
di kelas VII Sekolah Menengah Pertama. Mira merupakan remaja permpuan yang berusia 13
tahun yang sedang duduk di kelas 6 Sekolah Dasar. Pertanyaan yang kami ajukan pada Mira
umumnya dijawab dengan sangat singkat dan Mira sangat mudah tersdistraksi oleh pesan singkat
dan aktivitas komunikasi yang dilakukannya dengan Mila. Saat peneliti mencoba bertanya
mengenai fenomena madol, Mira cukup aktif dan menyarankan untuk menanyakan secara
langsung kepada salah seorang temannya bernama Laras.
Dari wawancara yang juga dilakukan kepada Mika, menurut Mika mengungkapkan bahwa
biasanya mereka cenderung menggunakan obat tremadol, panadol dan beberapa obat lainnya.
Cara mengkonsumsinya sama seperti mengkosumsi obat biasa, tetapi tidak dipungkiri juga bisa
dikonsumsi dengan minuman soda.Mika kami menemukan bahwa ternyata konsumsi madol
tidak hanya sebatas penghilang stress, atau untuk gaya-gaya-an, tetapi juga agar tidak malu saat
sedang ngamen
Fakta yang selanjutnya yang kami peroleh dari Mika adalah bahwa Robi mengkonsumsi
madol diperbolehkan oleh orang tuanya dikarenakan Robi bekerja sebagai pengamen, sehingga
mereka bebas melakukan apapun, asalkan menghasilkan uang, karena peran Robi dirumah
adalah sebagai tulang punggung keluarga. Mik