Review Studi Kelayakan Pembangunan Saran

cover

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR.................................................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang.............................................................................................................................. 1
1.2. Tujuan .......................................................................................................................................... 2
1.3. Metode......................................................................................................................................... 2
1.4. Ruang Lingkup .............................................................................................................................. 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................................................... 3
2.1 Sumber - Sumber Pembiayaan...................................................................................................... 3
2.1.1 Pembiayaan Konvensional ..................................................................................................... 3
2.1.2 Pembiayaan Non-Konvensional ............................................................................................. 5
2.2 Analisis Kriteria Investasi .............................................................................................................. 7
2.3 Strategi Pembiayaan ..................................................................................................................... 9
BAB III GAMBARAN UMUM .................................................................................................................. 10
3.1 Deskripsi objek pembangunan .................................................................................................... 10
3.3 Kajian Struktur Anggaran Daerah/Pusat ..................................................................................... 11
3.3.1. Keuangan Kota Batam ......................................................................................................... 11

3.3.2. Keuangan DKP ..................................................................................................................... 11
3.3.3. Persyaratan Pendanaan Tahunan ....................................................................................... 11
3.4 Eksplorasi Sumber Pembiayaan Alternatif .................................................................................. 17
BAB IV ANALISIS .................................................................................................................................... 23
4.1 Analisis Finansial Sederhana ....................................................................................................... 23
4.3 Pemilihan Sumber Pembiayaan .................................................................................................. 26
4.4 Strategi Implementasi Sumber Pembiayaan Terpilih ................................................................. 27
BAB IV PENUTUP ................................................................................................................................... 28
5.1 Kesimpulan.................................................................................................................................. 28

Page ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah dengan judul “EVALUASI STUDI KELAYAKAN PROYEK PENYEDIAAN PRASARANA
PENGELOLAAN PERSAMPAHAN KOTA BATAM (Studi Kasus: Kota Batam)”. Selama proses
penulisan penulis banyak mendapatkan bantuan dari pihak-pihak lain sehingga makalah ini
dapat terselesaikan dengan optimal. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan banyak
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini yaitu:

1. Dosen Mata Kuliah Pembiayaan Pembangunan, Bapak Dr. Ir. Eko Budi Santoso,
Lic.rer.reg. dan ibu Vely Kukinul Siswanto.
2. Orang tua yang selalu memberikan motivasi
3. Teman-teman yang telah banyak membantu kelancaran penyusunan makalah ini.
Sekian, semoga makalah ini dapat bermanfaat secara luas, menambah pengetahuan
pembaca mengenai pembiayaan pembangunan

dan penerapannya dalam proyek-proyek

pembangunan di Indonesia sehingga dapat mengevaluasi dan merumuskan kebijakan yang
sesuai. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.

Surabaya, 15 Desember 2014

Penulis

Page iii

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 merupakan tujuan dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang dapat ditempuh melalui pembangunan.
Sebagai negara berkembang, Indonesia tentu saja mempunyai banyak proyek
pembangunan yang mempunyai prioritas yang hampir sama di seluruh penjuru NKRI. Namun
masalah muncul ketika terbatasnya dana yang dimiliki oleh pemerintah selaku pemilik proyek
sehingga

proyek yang berjalan harus memiliki manfaat dan nilai investasi yang tinggi

sehingga dibuatlah studi kelayakan sebagai awal dalam proses pembiayaan pembangunan.
Pembiayaan pembangunan yang digunakan harus sesuai dengan karakteristik dan
prinsip-prinsip dasar proyek yang akan dibangun sehingga keduanya berjalan seiringan dan
selaras. Hampir semua proyek pemerintah dapat diadakan melalui pembiayaan pembangunan
mulai dari penyediaan prasarana transportasi, penyediaan prasarana listrik hingga penyediaan
prasarana pengelolaan sampah.

Menururt Bintarto, Kota dari segi geografis diartikan sebagai suatu sistim jaringan
kehidupan yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan strata
ekonomi yang heterogen. Melalui pengertian ini dapat diketahui bersama bahwa kota memiliki
sistem kegiatan yang kompleks dan kompak (compact).
Kota Batam yang merupakan kota terbesar di Provinsi Kepulauan Riau yang
mempunyai masalah serupa dengan kota besar lainnya dalam hal persampahan. Sampah yang
terdapat di Kota Batam semakin hari semakin bertambah seiring dengan pertumbuhan
penduduk serta membaiknya kondisi perekonomian. Oleh karena itu pada pembahasan di
bawah ini akan dipaparkan evaluasi kegiatan pembiayaan pembangunan penyediaan
prasarana pengelolaan sampah ditinjau dari dokumen pra studi kelayakan Proyek Manajemen
Pengelolaan Persampahan Kota Batam.

Page 1

1.2. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Mampu merumuskan permasalahan pembiayaan proyek manajemen pengelolaan
persampahan di Kota Batam.
2. Mampu melakukan analisis guna mengetahui potensi investasi pada proyek
manajemen pengelolaan persampahan di Kota Batam.

3. Mengetahui alternatif-alternatif sumber pembiayaan pengelolaan persampahan di Kota
Batam.
4. Mampu menyusun strategi pembiayaan pada pengelolaan persampahan di Kota
Batam.

1.3. Metode
Adapun metode yang digunakan dalam pembahasan di bawah ini meliputi:
a. Tahap Pengumpulan Data
Tahapan pengumpulan data merupakan tahapan pencarian segala informasi yang
berhubungan dengan proyek pembangunan yang nantinya berguna dalam tahapan
analisa.
b. Tahap Analisis
Tahapan analisis merupakan indentifikasi konsep pembiayaan pembangunan
khususnya pada aspek kelayakan investasi, sumber pendanaan dan strategi
pengembalian modal.

1.4. Ruang Lingkup
Ruang lingkup pembahasan yang dibahas dalam makalah ini adalah identifikasi alur
pembiayaan proyek manajemen pengelolaan persampahan yang berlokasi di Kota Batam,
Kepulauan Riau yang meliputi konsep, instrument dan strategi pembiayaan pembangunan.


Page 2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sumber - Sumber Pembiayaan
Sumber pembiayaan pembangunan terdiri dari dua jenis, yakni sumber pembiayaan
konvensional dan non-konvensional. Keduanya jenis pembiayaan tersebut memiliki
kekurangan dan kelebihannya masing-masing sehingga pemilihan sumber pembiayaan
bergantung pada jenis proyek yang akan dibiayai. Pembiayaan konvensional bersumber pada
pemerintah baik itu dalam bentuk anggaran APBN/APBD, pajak atau retribusi sedangkan
pembiayaan non konvensional bersumber dari dana gabungan dana pemerintah, swasta dan
masyarakat seperti zakat, pesiun dan tabungan masyarakat. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat
pada diagram dibawah ini:

Pajak
Struktur Anggaran
Dana Pusat
Non Pajak
Konvensional

Pajak
Sumber
Pembiayaan

Struktur Anggaran
Dana Daerah
Non Pajak
Non Konvensional

Obligasi, zakat,
DEF, Dana Pensiun

Gambar 1 : Diagram Sumber Pembiayaan

Sumber : Hasil Analisa, 2014

2.1.1 Pembiayaan Konvensional
Pembiayaan konvensional yang berasal dari pemerintah mempunyai dua struktur
anggaran yaitu struktur anggaran dana pusat dan anggaran dana daerah. Penetapan sumber
pembiayaan yang digunakan tergantung pada tingkat kepentingan dari tiap proyek. Proyek

yang mengemban amanat nasional berasal dari struktur anggaran dana pusat sedangkan
proyek yang menyangkut kepentingan daerah berasal dari struktur anggaran dana daerah.
2.1.1.1 Struktur Anggaran Dana Pusat
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), adalah rencana keuangan
tahunan pemerintahan yang berisi berisi daftar sistematis dan terperinci yang memuat
rencana penerimaan dan pengeluaran negara selama satu tahun anggaran dan disetujui
Page 3

oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

APBN terdiri dari APBN, perubahan APBN, dan

pertanggungjawaban APBN. Struktur APBN yang sekarang dilaksanakan oleh pemerintah
Indonesia secara garis besar adalah sebagai berikut:
a. Pendapatan Negara dan Hibah
b. Belanja Negara
c. Keseimbangan Primer
d. Surplus/Defisit Anggaran
e. Pembiayaan
Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara saat ini adalah:

1. Belanja Negara. Belanja terdiri atas dua jenis:
a. Belanja Pemerintah Pusat, adalah belanja yang digunakan untuk membiayai
kegiatan pembangunan Pemerintah Pusat, baik yang dilaksanakan di pusat
maupun di daerah (dekonsentrasi dan tugas pembantuan).
b. Belanja Daerah, adalah belanja yang dibagi-bagi ke Pemerintah Daerah,
untuk

kemudian

masuk

dalam

pendapatan

APBD

daerah

yang


bersangkutan. Belanja Daerah meliputi:


Dana Bagi Hasil



Dana Alokasi Umum



Dana Alokasi Khusus



Dana Otonomi Khusus

2. Pembiayaan. Pembiayaan meliputi:
a. Pembiayaan Dalam Negeri, meliputi Pembiayaan Perbankan, Privatisasi,

Surat Utang Negara, serta penyertaan modal negara.
b. Pembiayaan Luar Negeri, meliputi:


Penarikan Pinjaman Luar Negeri, terdiri atas Pinjaman Program dan
Pinjaman Proyek.



Pembayaran Cicilan Pokok Utang Luar Negeri, terdiri atas Jatuh
Tempo dan Moratorium.

2.1.1.2 Struktur Anggaran Dana Daerah
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), adalah rencana keuangan
tahunan pemerintah daerah di Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah. APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Tahun anggaran APBD meliputi
masa satu tahun. Adapun APBD terdiri atas:
1. Anggaran pendapatan, terdiri atas :

Page 4

a. Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang meliputi pajak daerah, retribusi
daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah, dan penerimaan lain-lain.
b. Bagian dana perimbangan, yang meliputi Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi
Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus
c. Lain-lain pendapatan yang sah seperti dana hibah atau dana darurat.
2.

Anggaran belanja, yang digunakan untuk keperluan penyelenggaraan
tugas pemerintahan di daerah.

3.

Pembiayaan, yaitu setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau
pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang
bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya.

Pembiayaan pembangunan konvensional bersumber dari pemerintah baik itu dari hasil
pemungutan pajak maupun non pajak. Secara umum sumber pembiayaan konvensional dapat
dikategorikan menjadi 2, yaitu (Mangkoesoebroto, 2001):
 Pajak
Penerimaan berasal dari masyarakat yang wajib dikeluarkan dan sifatnya
memaksa guna memenuhi hajat hidup orang banyak misalnya pajak penghasilan,
pajak pertambahan nilai, pajak bumi dan bangunan, dan pajak-pajak daerah lainnya.
 Bukan Pajak
Penerimaan yang berasal dari swasta ataupun masyarakat yang sifatnya tidak
mengikat sehingga jumlahnya tidak bisa ditentukan secara pasti bisa berupa retribusi,
zakat, obligasi, dana pension dll. Salah satu contohnya adalah retribusi parkir yang
dikenakan pada masyarakat karena telah menggunakan fasilitas pemerintah.
2.1.2 Pembiayaan Non-Konvensional
Sumber pembiayaan non-konvesional merupakan sumber-sumber pembiayaan
yang diperoleh dari kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat dimana sumber
pembiayaan

dapat berasal dari pemerintah (public),

swasta termasuk di dalamnya

masyarakat (private), dan pemerintah-swasta (public-private). Strategi Pembiayaan NonKonvensional :
1. Kemitraan pemerintah – swasta
2. Kewajiban Paksa
3. Peningkatan invenstasi swasta murni
4. Peningkatan pembiayaan dari masyarakat

Page 5

Bila dilihat dari kategori sumber penerimaannya pembiayaan non-konvensional dapat
dibedakan menjadi 3 yaitu pendapatan (revenue financing), pembiayaan melalui hutang (debt

financing), dan pembiayaan melalui kekayaan (equity financing). Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1 : Tabulasi sumber penerimaan pembiayaan non-konvensional

No
1.

Sumber Penerimaan
Pendapatan (revenue
financing) meliputi:
a. Biaya dampak
pembangunan
b. Biaya sambungan

2.

Pembiayaan melalui hutang
(debt financing) meliputi:
a. Development

Keterangan
a. Biaya yang dikenakan sesuai dengan dampak
yang ditimbulkan dan menjadi pemasuukan bagi
penyediaan prasarana bila ada pembangunan
baru
b. Biaya yang dikenakan sebagai antisipasi
penambahan konsumen yang berdampak pada
penambahan jaringan. Miisal prasarana air, listrik
dll
a. Biaya yang dikenakan pada developer atas
prasarana yang akan diadakan pemerintah
sebagai syarat awal dimulainya pembangunan.

extraction
3.

Pembiayaan melalui
kekayaan (equity financing)
meliputi:
a. Usaha patungan
b. BOT
c. BOO
d. Sewa
e. Konsensi

a. Kerjasama antara pemerintah dan swasta dengan
posisi seimbang.
b. Pihak swasta membangun fasilitas dan
dioperasikan hingga balik modal lalu
dipindahtangankan kepada pemerintah sesuai
jangka waktu yang telah ditentukan.
c. Swasta membangun fasilitas diatas tanah
pemerintah kemudian pada jangka waktu tertentu
fasilitas tersebut sepenuhnya menjadi milik
swasta.
d. Pemerintah menyewakan fasilitas pada swasta
dengan fee tertentu.
e. Swasta diperbolehkan menguasai seluruh asset
pemerintah dengan catatan swasta telah membeli
asset tersebut.
Sumber : Hasil Analisa, 2014

Page 6

2.2 Analisis Kriteria Investasi
Analisis kriteria investasi merupakan hasil perhitungan kriteria investasi yang
merupakan indikator dari modal yang diinvestasikan, yaitu perbandingan antara total benefit
yang diterima dengan total biaya yang dikeluarkan dalam bentuk present value selama umur
ekonomis. Hasil perhitungan kriteria investasi dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan
dalam mengambil keputusan penanaman modal. Kriteria investasi yang dapat digunakan:
NPV, IRR, Net B/C dan PR. Keputusan yang timbul dari hasil analisis: menerima atau menolak,
memilih satu atau beberapa proyek, atau menetapkan skala prioritas dari proyek yang layak.
2.2.1 Net Present Value

Net Present Value atau biasa dikenal dengan NPV merupakan selisih antara
pengeluaran dan pemasukan yang telah didiskon dengan menggunakan sosial opportunity
cost of capital sebagai diskon faktor, atau dengan kata lain merupakan arus kas yang
diperkirakan pada masa yang akan datang yang didiskonkan pada saat ini. Dengan kata
lain NPV merupakan selisih antara present value dari investasi dengan nilai sekarang dari
penerimaan-penerimaan kas bersih di masa yang akan datang, tingkat bunga yang relevan
juga perlu ditentukan untuk menghitung nilai sekarang. Selain itu untuk menghitung NPV
juga diperlukan data tentang perkiraan biaya investasi, biaya operasi, dan pemeliharaan
serta perkiraan manfaat/benefit dari proyek yang direncanakan. Rumus yang gunakan unuk
mendapatkan nilai NPV adalah sebagai berikut:
n

NPV  
t 1

Bt  Ct
(1  i)t
i = Tingkat suku bunga

Keterangan:

n

Bt = Manfaat pada tahun t

=

Umur

ekonomis

proyek

Ct = Biaya pada tahun t

t = Waktu
Dengan Kriteria NPV :
NPV>0 (nol) → usaha/proyek layak (feasible) untuk dilaksanakan.
NPV tingkat discount rate yang berlaku, maka proyek layak untuk dilaksanakan.

b.

Jika IRR < tingkat discount rate yang berlaku, maka proyek tidak layak untuk

dilaksanakan.
2.2.3 Net Benefit Cost Ratio
Net B/C adalah perbandingan antara jumlah NPV positif dengan jumlah NPV
negatif. Net B/C ini menunjukkan gambaran berapa kali lipat manfaat (benefit) yang kita
peroleh dari biaya (cost) yang kita keluarkan. Apabila net B/C > 1, maka proyek atau
gagasan usaha yang akan didirikan layak untuk dilaksanakan. Demikian pula sebaliknya,
apabila net B/C < 1, maka proyek atau gagasan usaha yang akan didirikan tidak layak
untuk dilaksanakan. Berikut merupakan rumus dari Net B/C.

å

n

Bt- Ct
(1+i)t
NETB/C= t=1n
Ct- Bt
å (1+i)t
t=1
Keterangan:
Page 8

Bt = total penerimaan pada tahun ke-t
Ct = total biaya pada tahun ke-t
i = tingkat diskonto yang berlaku
n = umur ekonomi proyek
Indikator untuk menilai Net B/C adalah sebagai berikut:
a. Jika Net B/C > 1, maka proyek layak untuk dilaksanakan.
b. Jika Net B/C < 1, maka proyek tidak layak untuk dilaksanakan.
2.2.4 Payback Period
Payback period digunakan untuk dapat melihat seberapa lama investasi bisa
kembali. Semakin pendek jangka waktu kembalinya investsi, semakin baik suatu investasi
untuk

dijalankan.

Kelemahan

dari

metode

payback

period

adalah

tidak

memperhitungkannya nilai waktu uang dan tidak memperhitungkan aliran kas sesudah
periode payback. Berikut merupakan cara penghitungan dari payback period.

PP=

I
Ab

Keterangan:
I = besarnya biaya investasi
Ab = benefit bersih yang diperoleh setiap tahunnya

2.3 Strategi Pembiayaan
Strategi pembiayaan adalah rencana yang dikerjakan untuk mencapai objektif
keuangan program kerja. Dalam menganalisa dan memilih strategi pembiayaan bisa sangat
rumit. Dana pembangunan sifatnya terbatas, sehingga perlu upaya mobilisasi dari berbagai
sumber yang sah secara hukum.
Strategi pembiayaan dapat diupayakan dari sektor pemerintah, sumber non-APBN ,
kapitalisasi sumber daya alam, serta trust fund. Diagram alur berikut ini dapat membantu
untuk mengerti proses pembiayaan.

Page 9

BAB III
GAMBARAN UMUM

3.1 Deskripsi objek pembangunan
Kota Batam adalah kota terbesar di Provinsi Kepulauan Riau dan terdiri dari tiga pulau
utama: Batam, Rempang dan Galang (sering disingkat sebagai Barelang), beserta lebih dari
300 pulau kecil lainnya. Pembangunan ekonomi yang pesat di Batam menyebabkan
iumbuhnya populasi sekitar 10% per tahun selama 10 tahun terakhir hingga populasi saat ini
sebesar 1,1 juta. Sampah kota Batam saat ini dibawa ke Telaga Punggur, yaitu landfill atau
tempat pembuangan akhir (TPA) yang dioperasikan oleh DKP.
Saat ini terdapat kurang lebih 700 ton sampah per hari di Pulau Batam yang dibuang
di TPA Telaga Punggur. TPA Telaga Punggur adalah satu-satunya landfill yang tersedia untuk
pembuangan sampah di Batam, dan belum ada rencana untuk menambah situs lain. Untuk
itu pengembangan prasarana pengelolaan sampah patut untuk dikembangkan. Berdasarkan
sepuluh opsi yang telah dipertimbangkan, dipilihlah dua opsi yang akan ditawarkan kepada
pihak swasta yaitu opsi 5 menghasilkan Refuse derived fuel (RDF) dan tetap menggunakan

landfill untuk residu serta memisahkan sampah menjadi fraksi basah dan kering, serta opsi 9
dimana mengeringkan sampah organik basah (bio-dry) dan menggunakan sampah (kering)
sebagai bahan bakar pada instalasi pembakaran massa konvensional untuk menghasilakn
listrik.

Gambar 2 : Citra Satelit TPA dan wilayah sekitarnya

Sumber : Dokumen Pra Studi Kelayakan Proyek Manajemen Persampahan Kota Batam

Page 10

3.3 Kajian Struktur Anggaran Daerah/Pusat
3.3.1. Keuangan Kota Batam
Dengan menggunakan data dari Kota Batam dan analisis lebih lanjut, pendapatan dan
pengeluaran untuk Kota Batam sepanjang 2007-2012 telah diidentifikasi, dengan data 2012
telah dianggarkan sementara untuk 2007-2011 merupakan dana aktual. Hal ini telah dianalisis
untuk menilai kapasitas anggaran Kota Batam untuk dapat menyediakan dukungan dana
tahunan untuk mendukung proyek KPS
Pendapatan Kota Batam terdiri terutama atas dua sumber utama:
a. Pendapatan Asli Daerah (PAD), khususnya dari pajak daerah dan erbagai retribusi
(pelayanan sampah, parkir,iklan, dsb)
b. Transfer Pemerintah Pusat dan Provinsi
Sementara Transfer Pemerintah sejuah ini masih menjadi bagian besar dari
pendapatan Kota Batam, (aktual 2011 adalah 66%), PAD diproyeksikan akan tumbuh secara
signifikan seiring dengan desentralisasi di Indonesia.
Dikarenakan ukuran CAPEX baik untuk Opsi 5 dan 9, diperkirakan tidak mungkin Kota
Batam menyediakan kontribusi CAPEX di awal dalam jumlah yang signifikan di bawah salah
satu setting yang disarankan (0%, 25%, 50%). Penilaian keuangan Kota Batam ini merupakan
pemeriksaan terhadap kapasitas anggaran Kota Batam untuk menyediakan dukungan dana
tahunan, berdasarkan dukungan tarif dan CAPEX yang telah dijelaskan.
3.3.2. Keuangan DKP
Jelas bahwa sejumlah kegiatan akan berada dalam cakupan proyek KPS pengelolaan
sampah, namun jelas akan terdapat kegiatan non-pengelolaan sampah/TPA Telaga Punggur
oleh DKP yang akan terus membutuhkan pendanaan.
Ini akan memerlukan diskusi lebih lanjut dengan Kota Batam/DKP namun diperkirakan
sekitar Rp.11.000 juta akan diperlukan untuk kegiatan yang telah berjalan, yang berarti sekitar
Rp.49 milyar anggaran yang ‘tersedia’. Pendanaan DKP yang kemungkinan tersedia ini dapat
memenuhi sekitar 70% kapasitas rata-rata Kota Batam sebesar Rp.70 milyar selama lima
tahun data anggaran aktual (yaitu 2007-2011).
3.3.3. Persyaratan Pendanaan Tahunan
Secara keseluruhan untuk proyek KPS pengelolaan sampah Batam yang dikembangkan
dengan Opsi 5 atau Opsi 9, isu terkait dukungan pemerintah terkait dengan kombinasi
pembayaran subsidi CAPEX dan OPEX seperti apa yang terjangkau untuk pemerintah nasional
dan daerah: pemerintah nasional (dan provinsi) membayar sebentuk kontribusi CAPEX
Page 11

sementara Kota Batam harus membayar kontribusi OPEX yang sedang berjalan untuk
menutup funding gap tahunan.
Tabel 8.17 di bawah didasarkan pada “glidepath” tarif yang diidentifikasi sebelumnya,
menuju pemulihan OPEX selama lima tahun. Kontribusi CAPEX dan Funding Gap Tahunan
untuk masing-masing opsi merupakan konsekuensi dari pengadopsian prinsip penentuan
harga tersebut.
Kemampuan keseluruhan Kota Batam untuk menyediakan kontribusi funding gap
tahunan untuk KPS Pengelolaan Sampah Kota Batam akan mencerminkan kapasitas
finansialnya sebagaimana diringkas pada Tabel 8.17 di atas, terkaitdengan kesiapan
pemerintah nasional (dan provinsi) untuk memberikan kontribusi CAPEX.
Kelayakan Kredit Kelayakan kredit awal dari proyek Pengelolaan Sampah Kota Batam
telah dilaksanakan berdasarkan indikator finansial kunci berikut:


Rasio operasi (Biaya/Pendapatan O&M): bertujuan kurang dari 1 (biasanya
sekitar 0,5-0,8)



Rasio untuk menilai tingkat kembali proyek:



NPV menjadi > 1



Financial Internal Rate or Return (FIRR) menjadi > WACC(Keterangan: WACC
telah dikalkulasi dengan 70% hutang dan 30% ekuitas. Ekuitas IRR menjadi
>tingkat pengembalian aset yang sesuai misalnya dengan menggunakan CAPM
misalnya menggunakan CAPM [capital asset pricing model]
Ke = Rf + β (Rm-Rf)

Ke

: tingkat pengembalian yang dibutuhkan,

Rf

: Risk free rate berdasarkan pada rata-rata 10 tahun tenor bond (obligasi) pemerintah
Indonesia, sekitar 7%,

Β

: Sensitivitas aset terhadap risiko yang tidak dapat didiversifikasi , diperkirakan sebagai
1.5 dan Rm:pengembalian pasar/market return, sekitar 18% (from the input of SMI).
Maka Ke = 7% + 1.5 x (18% -7%) = 23.50%

Page 12



Debt Service Coverage Ratio (DSCR) menjadi > 1.2



Indikator finansial kunci untuk Opsi 5 dan 9 ditunjukkan di bawah pada Tabel 8.18,
berdasarkan pada scenario tarif glidepath untuk masing-masing opsi (yaitu dari WTP
kepada tingkat pemulihan OPEX selama kurun waktu lima tahun).

Tabel 2 : Indikator Finansial Menggunakan Tariff Glidepath Dengan Dukungan Pendanaan
Pemerintah

Sumber : Dokumen Pra Studi Kelayakan Proyek Manajemen Persampahan Kota Batam

Pada pembiayaan proyek KPS Pengelolaan Sampah Kota Batam, serta ketidakpastian
pada tingkat pemulihan biaya yang dapatdicapai dengan peningkatan glidepath tarif,
membuka kemungkinan berbagai variabel. DSCRE untuk kedua opsi tersebut adalah di atas
1,2, dengan meperimbangkan pasar KPS Indonesia yang berkembang dan adanya pemerintah
sub-nasional sebagai sponsor kunci untuk banyak proyek awal jalur pipa yang memandang
bank sebagai entitas konservatif/menghindari risiko dan mencari DSCR yang lebih tinggi.
Revisi persiapan (revised gearing) (dari asumsi kerja saat ini sebesar 70/30) juga dapat dinilai
pada tahap analisis berikutnya.
Ini akan terkait dengan diskusi dan resolusi antara pemangku kepentingan dalam
beberapa tahap selanjutnya dalam proyek: Kota Batam, pemeirntah provinsi dan pusat, dan
lembaga kuncinya yang relevan. Tingkat dan bentuk subsidipemerintah akan menjadi hal
kunci bagi para peserta lelang untuk proyek KPS dan karenanya amat penting untukmemiliki
posisi yang jelas dan layak kredit sebelum melibatkan pihak swasta. Skala pendanaan Kota
Batam yang tersediauntuk mendukung opsi/scenario diatas mencerminkan kapasitas
finansialnya sebagaimana dibahas pada bagian 8.4 diatas.Gambar 8.1 untuk Opsi 5 dan
Gambar 8.2 untuk Opsi 9 diperlihatkan di bawah. Untuk masing-masing opsi, terdapat
tigaskenario berbeda untuk potensi CAPEX pemerintah dan dukungan pendanaan tahunan
Page 13

(garis merah pada setiap grafik) yang disajikan agar DSCR dan tolok ukur FIRR dapat dicapai:
0% kontribusi CAPEX dan seluruh dukungan pemerintahdisediakan pada basis tahunan
sepanjang usia proyek; 25% kontribusi CAPEX dan dukungan pemerintah tahunan yanglebih
rendah; dan 50% kontribusi CAPEX dan tingkat dukungan pemerintah tahunan terendah (dari
model skenario).
Tabel 8.19 di bawah meringkas tingkat dukungan funding gap tahunan yang dibutukan
sepanjang usia operasional proyek potensial untuk berbagai level dukungan CAPEX awal. Jelas
bahwa semakin tinggi dukungan subsidi di awal akan mengurangi kebutuhan pendanaan
tahunan.
Tabel 3 : Funding Gap Tahunan

Sumber : Dokumen Pra Studi Kelayakan Proyek Manajemen Persampahan Kota Batam

Opsi 5 (RDF) akan masuk ke dalam kapasitas finansial Kota Batam yang dinilai yang
berpotensi menyediakan hingga Rp70 milyar dukungan subsidi tahunan untuk KPS,
berdasarkan setidaknya 25% dukungan CAPEX. Opsi 9 akan memerlukandukungan CAPEX
lebih besar dari 50% yang telah diilustrasikan pada analisis ini agar subsidi tahunan bisa
masuk kedalam kapasitas finansial Kota Batam.
Berdasarkan data biaya awal pada penilaian teknis untuk Opsi 5 dan 9, evaluasi proyek
selama 25 tahun telah dilaksanakan.
Pendapatan Total = Pendapatan Retribusi Sampah + Pendapatan dir penjualan
output (Opsi 5=RDF, Opsi 9=listrik)
Istilah Jeda Pendanaan (Funding Gap) (baris Ketiga di tabel di bawah) telah
dikembangkan untuk Opsi 5 dan Opsi 9 ,yang menunjukkan adanya gap antara pendapatan
dari seluruh sumber untuk masing-masing opsi dan CAPEX dan OPEX penuh untuk masingmasing opsi. Funding Gap Tahunan juga telah dihitung (Baris 4 pada tabel di bawah) yang
menunjukkan Funding Gap NPV selama 25 tahun secara keseluruhan dengan berbasis
tahunan. Funding Gap Tahunan ini ditunjukkan di bawah tiga setting:

Page 14

a. Tidak ada kontribusi pemerintah di awal untuk CAPEX, dengan tanpa pengurangan
Funding Gap Tahunan.
b. Kontribusi pemerintah di awal sebesar 25% untuk CAPEX, dengan pengurangan
sebagian dari Funding Gap Tahunan.
c. Kontribusi pemerintah di awal sebesar 50% untuk CAPEX dengan pengurangan
signifikan Funding Gap Tahunan.
Kedua opsi tersebut telah dinilai pada asumsi tingkat pengumpulan retribusi sebesar 70%.
Untuk Kota Batam, Kapasitas Finansial rata-ratanya sepanjang lima tahun data
anggaran aktual (yaitu 2007-2011) adalah kurang lebih sebesar Rp.70 milyar per tahun.
Upaya ini menyediakan dasar untuk mempertimbangkan kemungkinan dukungan
subsidi untuk KPS, namun harus disadari bahwa Kapasitas Finansial tidak memperhitungkan
pengeluaran modal oleh Kota Batam dan jelas pengeluaran modal terkait non-pelayanan
sampah harus dimasukkan kedalamnya. Hal ini masih harus dibahasantara Kota Batam dan
DKP, penilaian anggaran DKP menunjukkan kurang lebih sekitar Rp.49 milyar per tahun tidak
lagi diperlukan untuk kegiatan Pengelolaan Sampah Kota Batam jika proyek ini dijalankan
sebagai KPS. Dana DKPyang kemungkian tersedia ini dapat menutup sekitar 70% kapasitas
finansial rata-rata Kota Batam sebesar Rp.70 milyar.
Pada pembiayaan proyek KPS Pengelolaan Sampah Kota Batam, dan ketidapastian
pada tingkat pemulihan biayayang dapat dicapai dengan peningkatan glidepath tarif,
menyisakan sejumlah variabel. DSCR untuk kedua opsi diatas adalah lebih dari 1,2, dengan
memperhatikan meningkatnya pasar KPS Indonesia dan adanya pemeirntah sub-nasional
sebaai sponsor kunci untuk banyak jalur pipa proyek awal yang memandang bank bersifat
konservatif/menghindari risiko dan mencari DSCR yang lebih tinggi.
tabel 4 : Dukungan funding gap tahunan

Sumber : Dokumen Pra Studi Kelayakan Proyek Manajemen Persampahan Kota Batam

Osi 5 (RDF) akan masuk ke dalam kapasitas finansial Kota Batam yang dinilai dan
dapat menyediakan hingga Rp. 70 jutadukungan subsidi tahunan untuk KPS, berdasarkan
setidaknya 25% dukungan CAPEX. Opsi 9 akan memerlukan lebih dari 50% dukungan plafon

Page 15

CAPEX yang didasarkan pada analisis ini guna membuat subsidi tahunan masuk ke dalam
kapasitas finansial Kota Batam yang dinilai.
Pihak swasta yang sudah digandeng yakni PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) (PT
SMI). PT SMI adalah Badan Usaha Milik Negara/BUMN yang dinaungi oleh Kementrian
Keuangan. Dengan menyandang status proyek One on one bidder meetings, perkiraan biaya
proyek adalah sebesar 1-1,5 triliun.

Gambar 3 : diagram siklus pembangunan

Sumber : Dokumen Pra Studi Kelayakan Proyek Manajemen Persampahan Kota Batam

Diagram di atas menggambarkan siklus pembangunan proyek infrastruktur dengan
skema KPS. Dilihat dari konteks tanggung jawab pembiayaan proyek, sebelum proyek
infrastruktur ditentukan oleh pemenang melalui tender, pembiayaan menjadi beban
Penanggung Jawab Proyek Kerjasama

(PJPK). Sumber pendanaan yang sesuai untuk

penyiapan proyek tersebut berasal dari APBN/D, dana hibah atau soft loan, dana fasilitas
penyiapan proyek ataupun swasta untuk proyek prakarsa swasta/unsolicited.
Selanjutnya, ketika proyek tersebut sudah ditentukan pemenangnya maka selama
masa konsesi (masa konstruksi hingga akhir masa konsesi), pembiayaan menjadi tanggung
jawab swasta, dengan jenis pembiayaan komersial yang beragam.
Page 16

KPS merupakan pengetahuan yang sedang berkembang, sehingga begitu banyak
definisi yang dikemukakan para ahli. Namun demikian dapat didefinisikan secara sederhana
bahwa “KPS merupakan kontrak jangka panjang antara Pihak Pemerintah dan Pihak Swasta
dalam hal penyediaan infrastruktur atau layanan publik dimana pihak swasta mengambil alih
sebagian dari tanggung jawab dan risiko yang diemban oleh Pihak Pemerintah”.
Berdasarkan definisi diatas dapat kita pahami bahwa:
1. KPS merupakan kontrak kerjasama antara Pemerintah dan Swasta dalam penyediaan
infrastruktur atau layanan publik dalam jangka waktu panjang (biasanya 15-20 tahun).
2. Pemerintah memiliki peran dalam proses pengadaan Badan Usaha (BU) untuk memilih
mitra swasta yang akan melaksanakan pembangunan proyek infrastruktur, serta
memberikan dukungan/insentif untuk meningkatkan kelayakan finansial proyek
bilamana diperlukan.
3. Swasta bertanggung jawab dalam tahapan pembangunan proyek (termasuk
penyediaan finansial, keahlian dan teknologi yang diperlukan) dan/atau melaksanakan
operasionalisasi serta pemeliharaan sesuai dengan kontrak kerjasama.
4. Kontrak yang bersifat “win-win-win” (antara Pemerintah, Swasta, dan Publik)

3.4 Eksplorasi Sumber Pembiayaan Alternatif
Sebagaimana telah dijabarkan mendetil pada Bab 5, 10 opsi teknis telah diidentifikasi
yang mencakup berbagai kemungkinan untuk mengelola sampah Kota Batam di masa
mendatang. Sasaran utama dari opsi-opsi tersebut adalah untuk mengamankan pemrosesan
dan kapasitas pembuangan jangka panjang untuk sampah dengan cara yang paling efektif.
Sejumlah teknologi telah diidentifikasi dan proses seleksi yang menggunakan berbagai kriteria
telah digunakanyang didasarkan pada parameter yang telah ditengtukan. Tujuan dari proses
ini juga untuk mengidentifikasi proyek yang dapat menarik sektor swasta melalui skema KPS.
Berdasarkan hasil perbandingan ini, Opsi 5 RDF dijadikan sebagai rekomendasi utama diikuti
dengan Opsi 9 di tempat kedua (kombinasi bio-drying fraksi basah dari aliran sampah yang
dikombinasikan dengan WTE konvensional untuk menghasilkan listrik sebesar mungkin).
Fokus analisis finansial dan eekonomi ini adalah untuk berkonsentrasi pada kedua opsi ini.
Evaluasi Proyek Tolok ukur biaya dan pendapatan unuk Opsi 5 dan Opsi 9 didasarkan
pada tabel ringkasan yang disajikan untuk setiap opsi di Bab 5, yang dapat dilihat pada tabel
8.1 di bawah ini.

Page 17

Page 18

Ringkasan biaya dan pendapatan awal untuk masing-masing opsi pada Tabel 8.1 di
atas telah diperluas untuk analisis lebih lanjut untuk asumsi usia proyek 25 tahun. Biaya modal
dan operasional sepanjang 25 tahun unuk Opsi 5 dan 9 diperlihatkan pada Tabel 8.2 dan 8.3
(dalam istilah NPV) dan 8.4 (dalam istilah harga berlaku tahunan)/annual current price.

Page 19

“Glidepath” tarif telah diperkenalkan kedalam analisis sebagai strategi lima tahunan untuk
meningkatkan pendapatan tarif hingga mencapai tingkat yang dapat menutup penuh biaya
operasi dan pemeliharaan untuk Opsi 5 dan Opsi 9. Tarif saat ini (yaitu tarif domestik rumah
tangga rata-rata sebesr Rp.15.008 per bulan) jauh di bawah tingkat pemulihan biaya, yang
berarti subsidi operasional yang besar dibutuhkan saat ini, bahkan untuk tingkat pelayanan
yang rendah. Untuk layanan pengelolaan sampah baru dan teknologi terkait pada Opsi 5 dan
Opsi 9, peningkatan tarif yang signifikan dibutuhkan untuk memperbaiki pemulihan biaya
(sehingga dapat mengurangi ketergantungan terhadap subsidi yang ada saat ini). Tiga
kategori tarif telah dimasukkan seiring dengan sumber sampah sebagaimana dijelaskan pada
Bab 3:


Domestik/rumah tangga



Komersial/non-rumah tangga



Industri dan fasilitas publik

Untuk Opsi 5, ketiga tarif tersebut telah disesuaikan sebesar 13,77% per tahun selama
lima tahun. Untuk rumah tangga,ini akan melibatkan tarif awal sebesar Rp.20.000
(berdasarkan tarif Willingness to Pay untuk rumah tangga kelasmenengah bawah
sebagaimana dijelaskan pada Bab 4). Di bawah “glidepath” tarif sepert ini, proyek akan dapat
memulihkan secara penuh biaya operasional dan pemeliharaan pada akhir tahun kelima. Lihat
Tabel 8.5 berikut.
Page 20

Untuk Opsi 9, setiap tarif membutuhkan peningkatan 1,88% setiap tahunnya untuk
mencapai tingkat yang akan menutup penuh biaya operasional dan pemeliharaan di akhir
tahun kelima. Perhatikan bahwa peningkatan glidepath tarif tahunan yang amat rendah pada
opsi ini mencerminkan pemasukan yang kuat dari penjualan listrik dari fasilitas WTE.

Glidepath tarif untuk masing-masing opsi telah diterapkan pada Tabel 8.7 untuk Opsi
5 dan Tabel 8.8 untuk Opsi 9.Untuk masing-masing opsi, tabel menunjukkan jumlah
Pendapatan Total (lihat Baris 2 di masing-masing tabel di bawah),yang dihitung sepanjang 5
tahun usia proyek. Pendapatan Total diperlihatkan dalam istilah Present Value (PV), dikurangi
Weighted Average Cost of Capital (WACC) yang diidentifikasi pada Tabel 8.2 di atas.
Pendapatan Total telah dikalkulaskan dengan dasar berikut:
Pendapatan Total = Pendapatan Retribusi Sampah + Pendapatan dari penjualan
output (Opsi 5=RDF, Opsi 9=listrik)
Istilah Funding Gap diperkenalkan dan telah dikembangkan untuk Opsi 5 dan Opsi 9,
menunjukkan gap antara seluruh pendapatan-sumber untuk masing-masing opsi dan CAPEX
dan OPEX penuh untuk masing-masing opsi. Gap untuk masing-masing opsi merupakan hasil
dari tarif yang tidak menghasilkan pendapatan yang cukup untuk menutup biaya penuh proyek
terkait. Funding Gap Tahunan (Annual Funding Gap) juga telah dikalkulasikan (lihat Baris 4
pada masing-masing tabel di bawah).Ini menunjukkan keseluruhan 25 tahun dari NPV Funding

Gap pada basis tahunan. Funding Gap Tahunan ini ditunjukkandalam tiga setting:

Page 21

a. Tidak ada kontribusi pemerintah di awal untuk CAPEX, dengan tanpa pengurangan
Funding Gap Tahunan.
b. Kontribusi pemerintah di awal sebesar 25% untuk CAPEX, dengan pengurangan
sebagian dari Funding Gap Tahunan.
c. Kontribusi pemerintah di awal sebesar 50% untuk CAPEX dengan pengurangan
signifikan Funding Gap Tahunan.
Setting kontribusi di awal lainnya juga mungkin dan telah digunakan untuk tujuan
ilustrasi hanya pada tahap ini.Tabel 8.7 (Opsi 5) dan Tabel 8.8 (Opsi 9) telah dinilai dengan
asumsi pada tingkat pengumpulan retribusi 70%. Ini adalah asumsi kunci dan telah dibahas
sebelumnya pada bagian 4.1 di atas.
Untuk Opsi 5 pada Tabel 8.7 di atas ketika tarif dinaikkan sepanjang lima tahun pada
tingkat yang nantinya mampu menutupi biaya operasi dan pemeliharaan (yaitu OPEX), akan
tetap ada funding gap antara pendapatan dari penjualan RDF dan biaya penuh proyek (OPEX
dan CAPEX). Funding gap keseluruhan untuk Opsi 5 ini telah dikembangkan sebagai dua
komponen: Kontribusi pemerintah di awal terhadap CAPEX sebagai cara untuk mengurangi
funding gap keseluruhan. Funding gap tahunan sepanjang 25 tahun yang menunjukkan hasil
berbagai kontribusi di awal terhadap CAPEX: Semakin tinggi kontribusi di awal, semakin
rendah dana tahunan yang dibutuhkan.
Misalnya, kontribusi di awal sebesar 50% untuk CAPEX akan mengurangi kebutuhan
funding gap tahunan hingga sekitar Rp. 50 milyar.Untuk Opsi 9 pada Tabel 8.8 di atas ketika
tarif dinaikkan sepanjang lima tahun hingga mencapai tingkat yang mampu memulihkan biaya
operasi dan pemeliharaan (yaitu OPEX), masih akan terdapat funding gap antara pendapatan
daripenjualan listrik dan biaya proyek penuh (OPEX dan CAPEX). Funding gap keseluruhan
untuk Opsi 9 telah dikembangkan sebagai dua komponen: Kontribusi pemerintah di awal
terhadap CAPEX sebagai cara untuk mengurangi funding gap keseluruhan.
Funding gap tahunan sepanjang 26 tahun yang akan menunjukkan hasil berbagai
kontribusi di awal terhadap CAPEX: semakin tinggi kontribusi di awal semakin rendah funding
tahunan yang dibutuhkan. Misalnya, kontribusi di awal sebesar 50% terhadap CAPEX akan
mengurangi funding gap tahunan yang dibutuhkan hingga sekitar Rp.108 milyar. Keberhasilan
pendekatan tersebut bergantung pada sejauh mana pemerintah pada setiap tingkatan –pusat,
provinsi dan Kota Batam - bersedia berkontribusi menutup funding gap, baik di awal maupun
tahunan. Pendanaan Kota Batam yangtersedia untuk memberikan dukungan ini jelas
mencerminkan kapasitas finansialnya.

Page 22

BAB IV
ANALISIS
4.1 Analisis Finansial Sederhana
Dalam pembiayaan proyek fasilitas pengelolaan sampah di kota Batam terdapat dua
opsi dalam pengembangannya antara lain dengan sistem RDF (Refuse Derived Fuel) dan
sistem bio-drying & WTE. Berikut tabel ringkasan untuk tiap sistem RDF dan bio-drying &
WTE

Tabel di atas merupakan biaya awal dalam pembangunan fasilitas pengelolaan sampah
untuk tiap sistem. Kemudian dengan umur proyek 25 tahun maka terdapat biaya modal dan
biaya operasional sebagai berikut

Page 23

Dalam pembiayaannya, dalam 5 tahun awal difokuskan dalam meningkatkan
pendapatan tarif hingga mencapai tingkat yang dapat menutup penuh biaya operasi dan
pemeliharaan untuk tiap sistem. Tarif domestik rumah tangga rata-rata sebesr Rp.15.008 per
bulan jauh di bawah tingkat pemulihan biaya, yang berarti subsidi operasional yang besar
dibutuhkan saat ini, bahkan untuk tingkat pelayanan yang rendah. Untuk layanan pengelolaan
sampah baru dan teknologi terkait pada tiap sistem, peningkatan tarif yang signifikan
dibutuhkan untuk memperbaiki pemulihan biaya (sehingga dapat mengurangi ketergantungan
terhadap subsidi yang ada saat ini). Tiga kategori tarif telah dimasukkan seiring dengan
sumber sampah antara lain:




Domestik/rumah tangga
Komersial/non-rumah tangga
Industri dan fasilitas publik

Untuk sistem DRF, ketiga tarif tersebut telah disesuaikan sebesar 13,77% per tahun
selama lima tahun. Untuk rumah tangga, ini akan melibatkan tarif awal sebesar Rp.20.000
(berdasarkan tarif Willingness to Pay untuk rumah tangga kelas menengah bawah dan tariff
pada tahun ke – 5 sebesar Rp. 45.539,Untuk sistem bio-drying & WTE, setiap tarif membutuhkan peningkatan 1,88% setiap
tahunnya untuk mencapai tingkat yang akan menutup penuh biaya operasional dan
pemeliharaan di akhir tahun kelima. Untuk rumah tangga, ini akan melibatkan tarif awal
sebesar Rp.20.000 (berdasarkan tarif Willingness to Pay untuk rumah tangga kelas menengah
bawah dan tariff pada tahun ke – 5 sebesar Rp. 26.217,Namun dalam kenyataan, sumber pembiayaan masih belum bisa mengembalikan biaya
modal awal serta memulihkan sepenuhnya biaya operasional sehingga adanya Funding Gap.
Funding Gap menunjukkan gap atau selisish antara seluruh pendapatan dengan sumber
pembiayaan untuk memulihkan masing-masing sistem dalam CAPEX dan OPEX penuh untuk
masing-masing sistem. Gap untuk masing-masing sistem merupakan hasil dari tarif yang tidak
menghasilkan pendapatan yang cukup untuk menutup biaya penuh proyek terkait.

Page 24

Ini menunjukkan keseluruhan 25 tahun dari NPV Funding Gap pada basis tahunan.
Funding Gap Tahunan ini ditunjukkan dalam tiga setting:
a. Tidak ada kontribusi pemerintah di awal untuk CAPEX, dengan tanpa pengurangan
Funding Gap Tahunan
b. Kontribusi pemerintah di awal sebesar 25% untuk CAPEX, dengan pengurangan
sebagian dari Funding Gap Tahunan
c. Kontribusi pemerintah di awal sebesar 50% untuk CAPEX dengan pengurangan
signifikan Funding Gap Tahunan
Berikut tabel dimana tiap skenario di atas dilakukan untuk tiap sistem

Sistem RDF (Refuse Drived Fuel)

Sistem Bio-Drying & WTE
Page 25

Pendapatan dari fasilitas pengelolaan sampah tersebut berasal dari tarif yang
dikenakan kepada sumber sampah yaitu Domestik/rumah tangga, Komersial/non-rumah
tangga, serta Industri dan fasilitas public serta penjualan output dari pengelolaan sampah
yaitu RDF dan listrik.

4.3 Pemilihan Sumber Pembiayaan
Sumber pembiayaan yang relevan pertama kali adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD)
kota Batam sendiri. Namun PAD kota Batam belum bisa menyediakan kontribusi biaya modal
awal dalam jumlah yang amat besar dalam tiap skenario yang ada. Kapasitas keuangan kota
Batam bisa dihitung dengan rumus sebagai berikut
Kapasitas keuanagan= pendapatan daerah + pembagian pajak/non-pajak + dana
alokasi umum – biaya non- diskrisioner
Dengan rumus di atas maka dapat dihasilkan kapasitas keuangan kota Batam sebagai tabel
berikut

Meskipun kapasitas keuangan kota Batam pada tahun 2012 menacapaia 323 milyar, itu belum
dikurangi dengan pengeluaran modal untuk non pelayanan sampah sehingga kota Batam
belum bisa memberikan kontribusi amat besar dalam pembiayaan fasilitas pengelolaan
sampah.
Selain PAD kota Batam sumber pembiayaan pembangunan yaitu dengan Kerjasama
Pemerintah-Swasta (KPS). Dalam KPS disini lebih bisa digunakan dalam pembiayaan awal
proyek sehingga bisa mengurangi jumlah pendanaan tahunan proyek.

Page 26

4.4 Strategi Implementasi Sumber Pembiayaan Terpilih
Dari analisis finansial pada proyek fasilitas pengelolaan sampah serta sumber sumber
pembiayaan yang ada di kota Batam maka untuk pelakasanaan pembangunan proyek tersebut
diarahkan kepada prinsip Konsesi. Dalam Konsesi, Pemerintah memberikan tanggung jawab
dan pengelolaan penuh kepada kontraktor (konsesioner) swasta untuk menyediakan
pelayanan-pelayanan infrastruktur dalam sesuatu area tertentu, termasuk dalam hal
pengoperasian, perawatan, pengumpulan dan manajemennya. Konsesioner bertanggung
jawab atas sebagian besar investasi yang digunakan untuk membangun, meningkatkan
kapasitas, atau memperluas sistem jaringan, dimana konsesioner mendapatkan pendanaan
atas investasi yang dikeluarkan berasal dari tarif yang dibayar oleh konsumen. Sedangkan
peran pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan standar performance dan menjamin
kepada konsesioner.
Intinya, peran pemerintah telah bergeser dari yang dulunya penyedia pelayanan
(provider) menjadi pemberi aturan (regulator) atas harga yang dikenakan dan jumlah yang
harus disediakan. Aset-aset infrastruktur yang tetap dipercayakan kepada konsesioner untuk
waktu kontrak tertentu, tetapi setelah kontrak habis maka aset infrastruktur akan menjadi
milik pemerintah. Periode konsesi diberikan biasanya lebih dari 25 tahun. Lamanya tergantung
pada perjanjian kontrak dan waktu yang dibutuhkan oleh konsesioner swasta untuk menutup
biaya yang telah dikeluarkan.

Page 27

BAB IV
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dalam pembangunan fasilitas pengelolaan sampah di kota Batam menjadi sangat
penting dalam perkembangan kota Batam. Pembangunan fasilitas tersebut banyak
mempertimbangkan beberapa aspek yang berada di kota Batam sehingga terpilih dua sistem
yang sesuai dikembangkan dalam kota Batam antara lain sistem refuse Derived Fuel dan
sistem bio-drying &WTE. Pembiayaan pembangunan dengan dua sistem tersebut
membutuhkan sumber – sumber pembiayaan yang relevan dimana bisa mengembalikan biaya
modal awal serta menutupi biaya operasional tiap tahunnya. Sumber pembiayaan yang paling
relevan adalah pendapatan asli daerah (PAD) kota Batam. Selain itu sumber pembiayaan yang
lainnya adalah kerjasama pemerintah – swasta (KPS). Kondisi saat ini, PAD kota Batam belum
bisa memberikan kontribusi dalam pembiayaan modal awal pembangunan fasilitas serta
belum bisa sepenuhnya menutupi biaya operasional. Oleh karena itu, dalam strategi
pembangunannya lebih didorong ke prinsip konsesi dimana pemerintah kota Batam sebagai
penyedia lahan serta regulator sedangkan swasta diberikan tanggung jawab dalam hal
pengoperasian, perawatan, pengumpulan dan manajemennya selama jangka waktu sesuai
kontrak.

Page 28