peranan ekonomi kerakyatan sebagai landa

peranan ekonomi kerakyatan sebagai landasan
perekonomianindonesia
Abstrak
Salah satu fungsi dan tujuan didirikannya sebuah negara adalah menciptakan kesejahteraan dan
kemakmuran bagi rakyatnya. Oleh karena itu, keberfungsian sebuah negara tergambar pada
seberapa sejahtera dan makmur rakyatnya. Dalam teori ekonomi pembangunan, kesejahteraan
dan kemakmuran sebuah negara diukur melalui sejumlah indikator. Dua di antaranya adalah
produk domestik bruto (PDB) per kapita dan indeks pembangunan manusia (IPM). Berdasarkan
data tentang kedua indikator tersebut, Indonesia hingga tahun 2010 masih berada jauh di bawah
Negara maju di kawasan Asia seperti Jepang dan Korea Selatan. Bahkan di Asia Tenggara,
dilihat dari IPMnya, Indonesia masih berada di bawah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia,
dan Filipina. Indonesia hanya berada lima tingkat di atas Vietnam dan 12 tingkat di atas Timor
Leste. Hal tersebut, ditambah dengan masih lebarnya kesenjangan antara “si kaya” dan “si
miskin,” mengindikasikan bahwa negara dan bangsa kita masih harus bekerja keras dan—
mungkin lebih tepat— bekerja cerdas untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran
rakyatnya. Kaitan antara tingkat pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran dengan tatanan
ekonomi nasional, khususnya kedudukan ekonomi kerakyatan yang “diwakili” oleh koperasi dan
usaha mikro, kecil, dan menengah akan menjadi fokus bahasan
Bagi rakyat, yang penting adalah mengetahui dan memahami secara jelas keuntungan apa saja
yang dapat diperoleh rakyat ketika ekonomi kerakyatan diterapkan atau sebaliknya, apa kerugian
yang akan diterima rakyat saat ekonomi neoliberal dijalankan. Pemahaman rakyat tentang

untung-rugi tersebut akan jauh lebih bermanfaat daripada mempersoalkan definisi ekonomi
kerakyatan ataupun ekonomi neoliberal.
Ekonomi yang memihak rakyat adalah ketika suatu sistem bersinggungan langsung dengan
kehidupan rakyat sehari-hari, seperti tersedianya lapangan pekerjaan, penghasilan memadai, serta
pendidikan dan kesehatan yang murah. Penerapan bagaimana sistem ekonomi itu membawa
kemakmuran bagi banyak orang, lebih utama untuk diperhatikan.
Jadi, lebih penting meyakini bahwa yang harus dikembangkan adalah ekonomi rakyat bukan
ekonomi kerakyatan, bukan juga ekonomi yang memihak atau memberi keuntungan hanya pada
segelintir orang atau kelompok (kapitalis).
Memperluas wawasan untuk mengembangkan sistem ekonomi yang dapat mensejahterakan
rakyat dapat menghindarkan kita, sebagai rakyat, agar tidak terkecoh oleh janji manis yang
ditawarkan olek konsep ekonomi kerakyatan.

PENDAHULUAN
Kata Ekonomi Kerakyatan sebagai Komoditas Politik
Akhir-akhir ini, menjelang pemilihan presiden 9 Juli 2009 kata ekonomi kerakyatan menjadi
sangat populer. Semua calon presiden yang telah mendeklarasikan diri mengusung ekonomi
kerakyatan sebagai dasar pembangunan ekonomi di masa mendatang. Tidak hanya sampai disitu,
masing-masing calon saling menuding bahwa lawan politiknya menganut mashab ekonomi neo
liberal. Namun sayang, masing-masing calon presiden tidak ada yang menjelaskan secara konkrit

mengenai visi dan misi pembangunan ekonomi yang berlandaskan ekonomi kerakyatan.
Ditengah-tengah riuhnya setiap orang menyuarakan ekonomi kerakyatan arti kata ekonomi
kerakyatan sendiri sempat tidak tersentuh. Hal ini menandakan bahwa kata ekonomi kerakyatan
hanya menjadi komoditas politik untuk menarik simpati masyarakat.
Dalam berbagai event politik, Ekonomi Kerakyatan (seperti koperasi dan UKM) sering
dibicarakan, diprogramkan dan setelah event itu usai tidak diurus lagi. Sehingga yang sebenarnya
terjadi adalah menjadikan issue Ekonomi Kerakyatan sekedar sebagai ”dagangan politik” untuk
menarik simpati. Secara umum, nasib Ekonomi Kerakyatan, khususnya Koperasi-UKM memang
hanya menarik untuk dijadikan komoditi politik ketimbang secara serius diperjuangkan sebagai
kebutuhan rakyat. Bagi (sebagian besar) politisi, perjuangan untuk menerapkan ekonomi
kerakyatan secara riil di arena politik merupakan mimpi di siang bolong, karena kehidupan
politik yang disemangati nilai-nilai kapitalisme saat ini justru dianggap sebagai peluang yang
lebih menungutungkan ketimbang berjuang memberlakukan ekonomi kerakyatan.
Sikap pesimis, ragu dan oportunis para politisi dan penyelenggara negara terhadap Ekonomi
Kerakyatan akhirnya melahirkan ambivalensi dalam memproduksi kebijakan. Pertama, secara
substansial dan obyektif, mereka menerima kapitalisme sebagai sistem ekonomi yang harus
diberlakukan di negeri ini. Alasan ”sesuai perkembangan jaman” merupakan pertimbangan yang
seringkali dirasionalisasi untuk melegitimasi aturan main yang seolah-olah merupakan
penjabaran dari Konstitusi Dasar Republik ini. Kedua, melakukan formalisasi Ekonomi
Kerakyatan secara institusional, dan bukan pemberlakuan sistem ekonomi nasional secara

substansial. Institusionalisasi tersebut berbentuk lembaga-lembaga Koperasi dan UKM yang
fungsi dan perannya sengaja dimarginalkan dalam kebijakan-kebijakan ekonomi politik.
Keberadaan Departemen Koperasi dan UKM, dalam konteks ini, adalah salah satu bentuk
formalisasi dimaksud, sekedar supaya Pemerintah dianggap menjalankan soko guru ekonomi
nasional.
Tulisan ini tidak membahas Koperasi secara khusus, melainkan akan membahas tata Ekonomi
Kerakyatan dalam perspektif politik nasional yang telah dirasuki semangat kapitalistik seperti
disebut di atas. Oleh karena itu, secara berurutan nanti akan dibahas apa itu Neo-liberalisme atau
Kapitalisme Global baru kemudian Ekonomi Kerakyatan dan terakhir akan disinggung sedikit
sejauh mana relevansi keberadaan Koperasi (sebagai bagian dari ekonomi kerakyatan) di era
Globalisasi ini.

NEO LIBERALISME
Sebelum kita uraikan beberapa persoalan riil yang terkait dengan Ekonomi Kerakyatan, terlebih
dahulu kita kupas apa itu ideologi Neoliberal, bagaimana perkembangannya serta apa dampak
penerapannya 1). Neoliberalisme merupakan tahap lanjutan dari liberalisme yang berkembang
sekitar abad 18 sampai 19 di Barat. Liberalisme asal mulanya adalah bentuk perjuangan kaum
borjuis dalam menghadapi kaum konservatif atau feodal. Sehingga boleh disebut, liberalisme
merupakan ideologi kaum borjuis kota. Dalam arti luas, liberalisme adalah paham yang
mempertahankan otonomi individu melawan intervensi komunitas. Memang, dalam konteks

definisi ada “civic liberalism” maupun liberalisme ekonomi. Dan, liberalisme ekonomi inilah
yang nantinya berkembang menjadi neoliberalisme.
Pada intinya, paham ini memperjuangkan leissez faire (persaingan bebas), yakni paham yang
memperjuangkan hak-hak atas pemilikan dan kebebasan individual. Mereka lebih percaya pada
kekuatan pasar untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial ketimbang melalui regulasi negara.
Kata neo dalam neoliberalisme yang kita bahas ini merujuk pada bangkitnya kembali bentuk
baru aliran ekonomi liberalisme lama yang dulu dibangkitkan ekonom Inggris Adam
Smith dalam karyanya “The Wealth of Nations” (1776), di mana dia dan kawan-kawannya
menggagas penghapusan intervensi pemerintah dalam ekonomi.
Dalam liberalisme, Pemerintah harus membebaskan mekanisme pasar bekerja, harus melakukan
deregulasi dengan mengurangi restriksi (hambatan) pada proses produksi, mencabut semua
rintangan birokratis perdagangan, ataupun menghilangkan tarif bagi perdagangan demi
menjamin terwujudnya free trade. Perdagangan dan persaingan bebas adalah cara terbaik bagi
ekonomi nasional untuk berkembang. Dengan demikian, liberalisme di sini berkonotasi “bebas
dari kontrol pemerintah”, atau kebebasan inidividu untuk menjalankan persaingan bebas,
termasuk kebebasan bagi kaum kapitalis untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Ekonomi
model liberalisme inilah yang menjadi dasar bagi ekonomi Amerika pada tahun 1800-an sampai
awal 1900-an. Tapi, konsep tersebut akhirnya runtuh saat bencana depresi (The Great
Depression) di tahun 1930-an melanda dunia.
Ketika depresi ekonomi melanda dunia, muncul seorang ekonom Inggris yang bernama John

Maynard Keynes, yang menantang paham liberal. Keynes mengembangkan gagasan alternatif
bahwa pemerintah dapat dan harus melakukan intervensi dalam perekonomian, dan membangun
sebuah model yang sama sekali baru. Ekonomi Keynessian yang sering disamakan
dengan Welfare State (Negara Kesejahteraan, yaitu pemilikan negara atas sebagian besar industri
dan pemerintahan yang intervensionis) itu mempengaruhi Presiden Roosvelt untuk melahirkan
kebijakan yang dikenal dengan program “New Deal”, karena dianggap berhasil menyelamatkan
rakyat Amerika waktu itu. Sejak itu pula peran pemerintah atau negara dalam ekonomi makin
dapat diterima, makin menguat dan menenggelamkan paham liberalisme. Kebanyakan negara
berkembang juga menganut strategi pembangunan yang didominasi oleh negara (welfare state).
Namun, krisis kapitalisme di akhir 1970-an menyebabkan semakin berkurangnya tingkat
keuntungan kaum kapitalis yang berakibat pada jatuhnya akumulasi kapital mereka, sehingga

meneguhkan mereka untuk kembali pada sistem liberalisme. Doktrin
ekonomi Keynessian dianggap sebagai penyebab kehancuran kapitalisme waktu itu. Dimotori
oleh ekonom Milton Friedman dan Friederich Hayek, mereka meyakini bahwa pasar bebas
mampu memajukan ekonomi dibandingkan negara dan usaha negara dalam mengatasi kegagalan
ekonomi lebih mendatangkan kerugian daripada keuntungan. Mereka ingin negara kembali pada
fungsi dasarnya dengan cara melakukan deregulasi, privatisasi atau mengkontrakkan sejumlah
fungsi negara 2) kepada swasta.
Melaui corporate globalization mereka merebut kembali ekonomi dan berhasil mengembalikan

paham liberalisme, bahkan dalam skala global. Paham liberalisme lama itu kini dihidupkan
kembali secara global, yang dikembangkan melalui sebuah “konsensus” yang dipaksakan.
Konsensu 1980-an yang dikenal dengan The Washington Consensus itu, datang dari para
pembela ekonomi pasar bebas yang berasal dari wakil perusahaan-perusahaan besar
Transnasional Corporations (TNC’s) atau Multi Nasional Corporations (MNC’s), Bank Dunia,
IMF serta wakil negera-negara kaya. Mereka menyebut kesepakatan itu sebagai “reformasi”
ekonomi dengan kebijakan pasar bebas di era global. Intinya adalah negara harus melayani dan
memberi kebebasan swasta untuk memperoleh superprofit (bukan sekedar profit).
“Rukun Iman” Neoliberalisme
Hasil-hasil “Kesepakatan Washington” 3) yang berisi berbagai kebijakan yang harus diterima
oleh dunia itulah yang kini dikenal dengan neoliberalisme. Ada beberapa ajaran yang harus
diyakini kebenarannya dan harus diamalkan oleh seluruh warga dunia. Karena ada
kecenderungan neoliberalisme dijadikan sebagai “agama” baru, maka saya menyebutnya sebagai
“Rukun Iman” Neoliberalisme.
1.
Disiplin fiskal (fiscal discipline). Pemerintah disarankan untuk melakukan kebijakan fiskal
yang konservatif, di mana defisit anggaran tidak boleh lebih daripada dua persen terhadap
Produk Domestik Buruto (PDB).
(Contoh di Indonesia, akibat kebijakan fiskal ketat di tahun 1997 ini menyebabkan harga BBM
naik, membuat rakyat marah dan kerusuhan terjadi di mana-mana. Contoh di Argentina,

kebijakan ini membuat runtuhnya daya beli rakyat, tingginya pengangguran, rendahnya
investasi, capital flight besar-besaran dan kegagalan membayar utang luar negeri yang
menumpuk)
2.
Public expenditure, yaitu perlu adanya prioritas bagi pengeluaran publik dalam anggran
pemerintah. Pemerintah harus berupaya memperbaiki distribusi pendapatan melalui belanja
pemerintah.
Penerapannya dilakukan dengan pencabutan subsidi negara untuk rakyat. Untuk mengurangi
pemborosan,
pemerintah harus memangkas semua anggaran negara yang tidak produktif, yaitu subsidi untuk
pelayanan

sosial seperti anggaran pendidikan, kesehatan, transportai rakyat, dan jaminan sosial lainnya. Hal
ini untuk
mengurangi peran negara dalam rangka efisiensi. Tetapi, pencabutan subsidi ini ternyata hanya
berlaku untuk
negera-negara berkembang. Negara-negara maju justru memberikan subsidi dan proteksi pada
petani maupun
korporasi-korporasi di negaranya.
3.

Tax reform (reformasi pajak). Pemerintah perlu memperluas basis pemungutan pajak
(broden the base). Pajak merupakan komponen penting anggaran pemerintah, dan pemerintah
perlu lebih kreatif dalam pemungutannya, dengan cara memperluas basisnya.
Penerapan reformasi pajak ini untuk memperlancar arus investasi dan memanjakan investor,
negara diminta
mengadakan pembaharuan perpajakan, yang sebenarnya tidak lain berupa pemberian
kelonggaran bagi para
pengusaha untuk kemudahan pembayaran pajak seperti tax holiday.
4.
Financial Liberalization (Liberalisasi finansisal). Sektor finansial perlu didorong menjadi
liberal dan kian ketat bersaing, agar terjadi peningkatan efisiensi.
5.
Mendorong kompetisi antara perusahaan domestik dengan perusahaan asing, sehingga
meningkatkan efisiensi.
Termasuk dalam kepercayaan ini adalah pentingnya menekan upah buruh dengan
melakukan politik pecah
belah persatuan buruh serta melenyapkan hak-hak buruh yang selama ini menjadi media
perjuangan buruh untuk
menyampaikan hak-hak mereka.
6.

Exchange rate policy (kebijakan nilai tukar) yang memiliki kredibilitas, yang menjamin
terdorongnya iklim persaingan. Penerapannya adalah pemerintah tidak boleh intervensi terhadap
mekanisme pasar uang, sebab intervensi tersebut akan mengurangi efisiensi dan menurunkan
kredibilitas ekonomi suatu negara di mata internasional. Sehinga, betetapun anjloknya nilai tukar
mata uang suatu negara, pemerintah tetap tidak pantas untuk campur tangan. Biarkan pasar
bekerja secara bebas.
7.
Terus mendorong Liberalisasi perdagangan, dengan cara menghilangkan restriksirestriksi kualitatif (larangan-larangan) secara progressif. Biarkan pasar bekerja. Dalam hal ini

termasuk membebaskan perusahaan swasta dari regulasi pemerintah atau negara, apa pun akibat
sosialnya. Penerapannya berupa pemberian ruang bebas dan terbuka terhadap perdagangan
internasional dan investasi seperti AFTA, NAFTA, maupun dalam bentuk kawasan yang lebih
kecil yang merupakan area bebas dari birokrasi negara.
Masuk dalam “iman” ini adalah melenyapkan kontrol atas harga, biarkan pasar bekerja tanpa
“distorsi”. Berikan kebebasan total arus kapital, barang dan jasa. Semua itu dirumuskan dalam
satu kredo : unregulated market is the way to increase economic growth. Keyakinan bahwa
hanya melalui pasar bebas pertumbuhan bisa dicapai ini sejalan dengan ajaran trickle down
effect dalam ekonomi sebagai jalan pemerataan.
8.
Program Privatisasi. Perusahaan-perusahaan milik negara atau BUMN seyogyanya dijual

kepada swasta (baik domestik maupun asing).
Privatisasi meliputi perbankan, industri strategis, perkeretaapian dan transportasi umum, PLN,
Sekolah dan Universitas, Rumah Sakit Umum, bahkan air. Privatisasi itu, meski dilakukan
dengan alasan “persaingan bebas” yang dibungkus rapi demi effisiensi dan mengurangi korupsi,
namun kenyataannya berakibat pada konsentrasi kapital di tangan sedikit orang dan memaksa
rakyat kecil membayar lebih mahal atas kebutuhan dasar mereka.
Orang bisa menerima privatisasi, biasanya, karena BUMN tersebut tidak sehat atau tidak efisien
karena dijangkiti penyakit korupsi, kolusi dan nepotisme. Sedang yang menolak, biasanya,
menggunakan alasan nasionalisme. Sebenarnya tidak ada jaminan bahwa setelah diprivatisasi
kemudian bersih dari KKN. Bahkan, ketika dalam prosesnya pun, disinyalir telah terjadi korupsi.
Alasan nasionalisme (yang menolak), juga kurang tepat, bahkan alasan ini seringkali
mendatangkan cibiran dari kaum neoliberal.
Tujuan BUMN sendiri adalah untuk kepentingan umum masyarakat di suatu negara. Privatisasi
BUMN, atau lebih tepatnya kapitalisasi BUMN yang disemangati oleh nilai-nilai kapitalisme, in
cluded (di dalamnya) bertentangan dengan prinsip-prinsip untuk kepentingan umum, karena
tujuan utamanya adalah keuntungan sebesar-besarnya bagi pemilik modal.
9.
Iklim deregulasi ekonomi harus didorong. Hambatan-hambatan atau restriksi-restriksi
untuk masuk pasar harus dihilangkan, supaya pasar menjadi kian kompetitif. Penerapannya
dilakukan dengan mengurangi segala bentuk regulasi negara terhadap kebebasan ekonomi,

karena regulasi selalu mengurangi keuntungan kapitalis, termasuk regulasi mengenai analisa
dampak lingkungan, ataupun aturan keselamatan kerja dan sebagainya. Dalam rangka itu pula,
setiap kebijakan pemerintah yang menghambat pemasukan modal asing harus disingkirkan.
10. Intellectual property rights (IPR), atau yang sering disebut Hak Atas Kekayaan
Intelektual (HAKI), yaitu perlindungan hukum terhadap barang produk yang dipasarkan.
Intinya adalah bagaimana ide tentang HAKI diciptakan sebagai bagian dari perluasan
kepentingan Amerika untuk terus menguasai perdagangan dunia (Indonesia termasuk sebagai
target di dalamnya, karena disinyalir memiliki volume pembajakan yang sangat besar) dan

menjadikan konsep HAKI ini bagian dari kekuatan penekan bagi hubungan dagangnya dengan
berbagai negara berkembang 4).
Dari sepuluh elemen itu, secara ringkas dapat disederhanakan menjadi lima pilar yang menjadi
mantra mujarab globalisasi, yaitu (1) pasar bebas, (2)perdagangan bebas, (3) pajak yang
rendah, (4) privatisasi, (5) deregulasi. Kebijakan neoliberal yang intinya terdiri dari 5 pilar
tersebut, diterapkan melalui paksaan oleh lembaga finansial internasional seperti IMF dan Bank
Dunia. Indonesia adalah korban yang ke sekian kalinya dalam penerapan kebijakan neoliberal
itu. Kebijakan ekonomi Indonesia selama dan setelah krisis seperti pemotongan subsidi BBM,
privatisasi bank negara, privatisasi universitas dan pendidikan, privatisasi PLN, privatisasi RSU,
privatisasi pertambangan dan perkebunan negara yang dulu hasil dari nasionalisasi di awal
kemerdekaan, adalah bentuk nyata kebijakan neoliberal itu. Termasuk juga divestasi terhadap
perusahaan-perusahaan negara dan bank pemerintah, liberalisasi perdagangan dan perpajakan
yang diterapkan selama krisis hingga kini. Karenanya, banyak orang menilai neoliberalisme
berarti rekolonisasi.
Substansi Sistem Ekonomi Kerakyatan
Berdasarkan bunyi kalimat pertama penjelasan Pasal 33 UUD 1945, dapat dirumuskan perihal
substansi ekonomi kerakyatan dalam garis besarnya mencakup tiga hal sebagai berikut.
1. Partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses pembentukan produksi nasional.
Partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses pembentukan produksi nasional menempati
kedudukan yang sangat penting dalam sistem ekonomi kerakyatan. Hal itu tidak hanya penting
untuk menjamin pendayagunaan seluruh potensi sumberdaya nasional, tetapi juga penting
sebagai dasar untuk memastikan keikutsertaan seluruh anggota masyarakat turut menikmati hasil
produksi nasional tersebut. Hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 27 UUD 1945 yang menyatakan,
“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian.”
2. Partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam turut menikmati hasil produksi nasional.
Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan, harus ada jaminan bahwa setiap anggota masyarakat
turut menikmati hasil produksi nasional, termasuk para fakir miskin dan anak-anak terlantar. Hal
itu antara lain dipertegas oleh Pasal 34 UUD 1945 yang menyatakan, “Fakir miskin dan anakanak terlantar dipelihara oleh negara.” Dengan kata lain, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau
demokrasi ekonomi, negara wajib menyelenggarakan sistem jaminan sosial bagi fakir miskin dan
anak-anak terlantar di Indonesia.
3. Kegiatan pembentukan produksi dan pembagian hasil produksi nasional itu harus berlangsung
di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Artinya, dalam rangka ekonomi
kerakyatan atau demokrasi ekonomi, anggota masyarakat tidak boleh hanya menjadi objek
kegiatan ekonomi. Setiap anggota masyarakat harus diupayakan agar menjadi subjek kegiatan
ekonomi. Dengan demikian, walau pun kegiatan pembentukan produksi nasional dapat dilakukan
oleh para pemodal asing, tetapi penyelenggaraan kegiatan-kegiatan itu harus tetap berada di
bawah pimpinan dan pengawasan anggota-anggota masyarakat. Unsur ekonomi kerakyatan yang
ketiga ini mendasari perlunya partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam turut memiliki
modal atau faktor-faktor produksi nasional. Modal dalam hal ini tidak hanya terbatas dalam
bentuk modal material (material capital), tetapi mencakup pula modal intelektual (intelectual
capital) dan modal institusional (institusional capital). Sebagai konsekuensi logis dari unsur
ekonomi kerakyatan yang ketiga itu, negara wajib untuk secara terus menerus mengupayakan
terjadinya peningkatkan kepemilikan ketiga jenis modal tersebut secara relatif merata di tengah-

tengah masyarakat. Negara wajib menjalankan misi demokratisasi modal melalui berbagai upaya
sebagai berikut:
4. Demokratisasi modal material; negara tidak hanya wajib mengakui dan melindungi hak
kepemilikan setiap anggota masyarakat. Negara juga wajib memastikan bahwa semua anggota
masyarakat turut memiliki modal material. Jika ada di antara anggota masyarakat yang sama
sekali tidak memiliki modal material, dalam arti terlanjur terperosok menjadi fakir miskin atau
anak-anak terlantar, maka negara wajib memelihara mereka.
5. Demokratisasi modal intelektual; negara wajib menyelenggarakan pendidikan nasional secara
cuma-cuma. Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi,
penyelenggaraan pendidikan berkaitan secara langsung dengan tujuan pendirian negara untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan tidak boleh dikomersialkan. Negara memang tidak
perlu melarang jika ada pihak swasta yang menyelenggarakan pendidikan, tetapi hal itu sama
sekali tidak menghilangkan kewajiban negara untuk menanggung biaya pokok penyelenggaraan
pendidikan bagi seluruh anggota masyarakat yang membutuhkannya.
6. Demokratisasi modal institusional; tidak ada keraguan sedikit pun bahwa negara memang
wajib melindungi kemerdekaan setiap anggota masyarakat untuk berserikat, berkumpul, dan
menyatakan pendapat. Secara khusus hal itu diatur dalam Pasal 28 UUD 1945, “Kemerdekaan
bersrikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tertulis dan sebagainya
ditetapkan dengan Undang-undang.” Kemerdekaan anggota masyarakat untuk berserikat,
berkumpul, dan menyatakan pendapat tersebut tentu tidak terbatas dalam bentuk serikat-serikat
sosial dan politik, tetapi meliputi pula serikat-serikat ekonomi. Sebab itu, tidak ada sedikit pun
alasan bagi negara untuk meniadakan hak anggota masyarakat untuk membentuk serikat-serikat
ekonomi seperti serikat tani, serikat buruh, serikat nelayan, serikat usaha kecil-menengah, serikat
kaum miskin kota dan berbagai bentuk serikat ekonomi lainnya, termasuk mendirikan koperasi.
Tujuan dan Sasaran Sistem Ekonomi Kerakyatan
Bertolak dari uraian tersebut, dapat ditegaskan bahwa tujuan utama penyelenggaraan sistem
ekonomi kerakyatan pada dasarnya adalah untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia melalui peningkatan kemampuan masyarakat dalam mengendalikan jalannya roda
perekonomian. Bila tujuan utama ekonomi kerakyatan itu dijabarkan lebih lanjut, maka sasaran
pokok ekonomi kerakyatan dalam garis besarnya meliputi lima hal berikut:
1. Tersedianya peluang kerja dan penghidupan yang layak bagi seluruh anggota masyarakat.
2. Terselenggaranya sistem jaminan sosial bagi anggota masyarakat yang membutuhkan,
terutama fakir miskin dan anak-anak terlantar.
3. Terdistribusikannya kepemilikan modal material secara relatif merata di antara anggota
masyarakat.
4. Terselenggaranya pendidikan nasional secara cuma-cuma bagi setiap anggota masyarakat.
5. Terjaminnya kemerdekaan setiap anggota masyarakat untuk mendirikan dan menjadi anggota
serikat-serikat ekonomi.
Ekonomi`Kerakyatan`di`Indonesia
“““““Pada akhir tahun 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa dalam
empat hingga lima tahun ke depan, produk domestik bruto (PDB) Indonesia akan mencapai 9
ribu triliun rupiah atau dua ribu triliun rupiah lebih tinggi daripada PDB tahun 2010. Lebih jauh
dijelaskan oleh Menko Perekonomian bahwa pada tahun 2025 PDB Indonesia akan berada pada
kisaran antara 3,7 hingga 4,7 triliun dolar AS dengan pendapatan per kapita antara 12 ribu

hingga 16 ribu dolar AS yang setara dengan lebih kurang 8,5 juta hingga 11 juta rupiah per
kapita per bulan. Capaian yang cukup spektakuler tersebut akan direalisasikan melalui
penggunaan “sistem ekonomi terbuka” yakni: sistem ekonomi yang mengutamakan peran pasar
meski peran pemerintah tetap besar” (Suryohadiprojo, 2011).
Jelas dari ungkapan presiden dan pembantunya di atas, tatanan ekonomi Indonesia, diakui atau
tidak, tidak lain adalah—atau paling tidak, sebagaimana dikemukakan Suryohadiprojo (2011),
lebih mengarah ke tatanan ekonomi neoliberasme yang didefinisikan oleh Martinez dan García
(2001) sebagai “…. a modern politicoeconomic theory favoring free trade, privatization, minimal
government intervention in business, reduced public expenditure on social services, etc.” Di
dunia, lanjut mereka, neoliberalisme diterapkan oleh lembaga keuangan dunia yang sangat kuat
yakni International Monetary Fund (IMF), Bank Dunia, dan the Inter-American Development
Bank. Ciri lain dari ekonomi neoliberalisme adalah fokusnya yang kuat pada pertumbuhan
ekonomi yang biasa direpresentasikan, antara lain, oleh produk domestik bruto (PDB).
Dampak langsung dari diterapkannya sistem ekonomi neoliberalisme adalah turunnya upah
sebesar 40 hingga 50 persen dan meningkatnya biaya hidup hingga 80 persen pada tahun pertama
pemberlakuan NAFTA (North America Free Trade Agreement) di Meksiko. Lebih dari 20 ribu
unit usaha kecil dan menengah mengalami kepailitan dan tidak kurang dari seribu unit badan
usaha milik pemerintah (semacam BUMN) diprivatisasi. Berdasarkan pada fenomena tersebut,
ada pihak yang mengatakan bahwa neolibelisme di Amerika Latin tidak lain adalah
neokolonialisme—bentuk penjajahan baru (Martinez dan Garcia, 2001).
Meskipun belum didukung oleh data empiris yang akurat, gejala seperti apa yang dialami
Meksiko, yakni banyaknya unit usaha kecil dan menengah yang mengalami kepailitan dan
adanya sejumlah unit badan usaha milik pemerintah yang diprivatisasi, di Indonesia sudah mulai
menampakkan wajahnya. Kondisi tersebut ditambah dengan semakin melebarnya kesenjangan
sosial dan ekonomi dalam perekonomian serta tingginya tingkat kerusakan ekologi akibat
eksploitasi besar-besaran, mengindikasikan bahwa sebenarnya tatanan perekonomian yang
diterapkan di Indonesia adalah neoliberalisme (Baswir, 2009). Bahkan, lebih tegas ia
mengemukakan bahwa setelah melaksanakan agenda ekonomi neoliberal secara masif dalam 10
tahun belakangan ini, cengkeraman neokolonialisme terhadap perekonomian Indonesia
cenderung semakin dalam. Sebuah pernyataan yang sesuai dengan pendapat Martinez dan Gracia
(2001) bahwa neoliberalisme—kali ini di Indonesia, bukan di Amerika Latin—tidak lain adalah
neokolonialisme.
Dilihat dari definisi dan orientasinya, sistem ekonomi neoliberalisme jauh bersebarangan dengan
sistem ekonomi kerakyatan. Tiga dari sejumlah perbedaan yang ada antara keduanya adalah
bahwa neoliberalisme diarahkan untuk (i) mengatur dan menjaga bekerjanya mekanisme pasar
sambil mencegah monopoli, (ii) mengembangkan sektor swasta dan melakukan privatisasi
BUMN, dan (iii) memacu laju pertumbuhan ekonomi, termasuk dengan menciptakan lingkungan
yang kondusif bagi masuknya investasi (Baswir, 2009). Dengan demikian, perjuangan untuk
membumikan sistem ekonomi kerakyatan masih panjang dan berat, meski masih menyimpan
secercah harapan, dengan syarat, seperti dikemukakan Swasono (2002), bangsa ini tidak
“menobatkan” pasar bebas sebagai “berhala baru” di mana semua pihak—dari mulai menteri
ekonomi hingga presiden bahkan kabinet yang dibentuk presiden, harus bersahabat dengan pasar.
Sebaliknya, pasarlah yang harus bersahabat dengan kita, rakyat Indonesia.
Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah dalam Tatanan Ekonomi Kerakyatan Indonesia dan
Era Globalisasi
Konstituen utama sistem ekonomi kerakyatan adalah kelompok masyarakat yang termarjinalkan

dalam sistem ekonomi kapitalis neoliberal. Mereka, secara garis besar, adalah kelompok tani,
kelompok buruh, kelompok nelayan, kelompok pegawai negeri sipil golongan bawah, kelompok
pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah serta kelompok miskin di perkotaan (Baswir, 2006).
Sementara itu, koperasi jelas diungkapkan dalam penjelasan Pasal 33 Undang Undang Dasar
1945 merupakan bangun perusahaan yang sesuai untuk menjadi wadah perekonomian rakyat.
Dengan demikian, koperasi dan usaha kecil dan menengah merupakan bagian integral dari sistem
ekonomi kerakyatan. Dilihat dari jumlah unit usaha dan penyerapan tenaga kerja, usaha mikro,
kecil, dan menengah menempati posisi penting dalam perekonomian Indonesia. Hal tersebut
ditunjukkan oleh data yang mengindikasikan bahwa jumlah usaha kecil di Indonesia pada 2009
tercatat tidak kurang dari 52 juta orang (99,92%). Jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam usaha
kecil tercatat lebih dari 93 juta orang (88,59%). Namun, kontribusi usaha kecil terhadap kegiatan
ekspor masih relatif kecil, yaitu sebesar 5,38% (Kemenkop dan UKM, 2010). Perbandingan
kinerja antara usaha mikro dan kecil, usaha menengah, dan usaha besar juga dapat dilihat dari
nilai tambah yang dihasilkan untuk setiap sektor industrinya (Tabel 1).
Relatif masih kecilnya sumbangan UKM, termasuk di dalamnya IKM, pada PBD umumnya dan
pada nilai ekspornya khususnya disebabkan oleh sejumlah kelemahan yang dimiliki sektor usaha
yang banyak menyerap tenaga kerja ini. Sebagaimana dilaporkan OECD (2002), kelemahan
utama industri kecil dan menengah (IKM) di Indonesia mencakup aspek berikut: (i) orientasi
pasar; (ii) kualitas sumberdaya manusia; (iii) penguasaan teknologi; (iv) akses pasar; dan (v)
permodalan.
Soetrisno (2003) menyatakan bahwa koperasi merupakan salah satu pilihan bentuk organisasi
ekonomi dalam menghadapi era globalisasi. Alasannya adalah karena koperasi sejak
kelahirannya disadari sebagai suatu upaya untuk menolong diri sendiri secara bersama-sama
yang didasari oleh prinsip “self help and cooperation.” Sejalan dengan pernyataan di atas,
koperasi dipandang memilik peranan strategis dalam perekonomian Indonesia, antara lain,
karena tiga bentuk eksistensi koperasi (Krisnamurthi, 2002). Ketiga bentuk eksistensi dimaksud,
menurut Krisnamurthi (2002) menyitasi PSP-IPB (199), adalah: (i) koperasi dipandang sebagai
lembaga yang menjalankan suatu kegiatan usaha tertentu, dan kegiatan usaha tersebut diperlukan
oleh masyarakat; (ii) koperasi telah menjadi alternatif bagi lembaga usaha lain; dan (iii) koperasi
menjadi organisasi yang dimiliki oleh anggotanya.
Tentang pentingnya peranan koperasi dalam perekonomian Indonesia, lebih jauh Hariyono
(2003) menegaskan bahwa koperasi di Indonesia, yang pendiriannya dilandaskan pada Pancasila
dan UUD 1945, merupakan lembaga kehidupan rakyat Indonesia untuk menjamin hak hidupnya
yakni memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sehingga
mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana
dimaksud oleh Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang sepenuhnya merupakan hak setiap warga
negara.
Dapat disimpulkan bahwa koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah merupakan bentuk
pengejawantahan ekonomi kerakyatan—sistem perekonomian yang lebih mementingkat
kesejahteraan dan kemakmuran orang banyak bukan orangper orang. Kedue bentuk organisasi
ekonomi ini, selain merupakan konstituen system ekonomi kerakyatan, juga merupakan bentuk
organisasi ekonomi yang cocok bagi karakteristik bangsa Indonesia yang, menurut Hariyono
(2003), lebih bersifat “homo societas” daripada “homo economicus” yakni lebih mengutamakan
hubungan antarmanusia daripada kepentingan ekonomi atau materi.
Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah: Beberapa Kelemahan dan Hambatan
Baik koperasi maupun usaha mikro, kecil, dan menengah, dilihat dari definisi dan ruang lingkup

serta karakteristik anggotanya yakni kecil ruang lingkup usahanya dan anggotanya adalah
(umumnya) rakyat kecil dengan modal terbatas dan kemampuan manajerial yang juga terbatas,
memiliki sejumlah hambatan dalam upaya memainkan perannya dalam “kancah” perekonomian
nasional.
Kelemahan yang dimiliki oleh usaha mikro, kecil, dan menengah, erat kaitannya dengan
karakteristik yang dimilikinya. Menurut Afiah (2009), usaha mikro, kecil, dan menengah secara
umum memiliki karakteristik berikut: (i) manajemen berdiri sendiri, dengan perkataan lain, tidak
ada pemisahan yang tegas antara pemilik dan pengelola perusahaan; (ii) pemilik biasanya juga
berperan sebagai pengelola; (iii) modal umumnya disediakan oleh seorang pemilik atau
sekelompok kecil pemilik modal; (iv) daerah operasinya umumnya lokal, walaupun adanya
sejumlah kecil UMKM yang memiliki orientasi lebih luas bahkan beroreintasi ekspor; (v) ukuran
perusahaan (firm size), baik dari segi total aset, jumlah karyawan maupun sarana prasarana
relatif kecil. Seiring dengan karakteristiknya yang spesifik tersebut, usaha mikro, kecil, dan
menengah memiliki beberapa kelemahan (weaknesses).
Kelemahan dimaksud, menurut Afiah (2009) dan Kuncoro (2000) adalah: (i) kekurangmampuan
dalam menangkap peluang pasar yang ada dan dalam memperluas pangsa pasar; (ii)
kekurangmampuan dan keterbatasan dalam mengakses sumber dana (modal) dan kelemahan
dalam struktur permodalan; (iii) rendahnya kemampuan dalam bidang organisasi dan manajemen
sumber daya manusia; (iv) keterbatasan jaringan usaha kerjasama antarpelaku usaha mikro,
kecil, dan menengah; (v) berkaitan dengan kelamahan butir (v) adalah terciptanya iklim usaha
yang kurang kondusif, karena cenderung berkembang kea rah persaingan yang saling
mematikan; (vi) program pembinaan yang dilakukan masih kurang terpadu; dan (vii) kurangnya
kepercayaan serta kepedulian masyarakat terhadap usaha mikro, kecil, dan menengah.
Baik Afiah (2009) maupun Kuncoro (2000) bersepakat bahwa kelemahan-kelemahan yang
bersifat struktural di atas dapat diatasi dan akan menjadi sumber kekuatan, jika diadakan
perbaikan-perbaikan dalam struktur organisasi. Mendukung pendapat kedua peneliti tersebut,
Dipta (2007) dan Kumorotomo (2008) menyatakan bahwa pemerintah menyadari bahwa upaya
pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) merupakan bagian
penting dari upaya mewujudkan bangsa yang berdaya-saing serta menciptakan embangunan yang
merata dan adil. Lebih jauh Kumorotomo (2008) menjelaskan bahwa langkah pertama dalam
upaya mengonversikan kelemahan menjadi kekuatan adalah dengan mengubah asumsi yang
memandang koperasi dan UMKM sebagai lembaga usaha yang berskala terlalu kecil untuk
diperhatikan, lemah, terbelakang, dan, dengan sendirinya, patut dikasihani. Oleh karena itu,
menurut Dipta (2008), program-program pemberdayaan tidak dikemas seperti program charity,
yang menganggap bahwa anggaran yang dikeluarkan semata-mata merupakan alokasi dana sosial
tanpa upaya untuk meningkatkan kemandirian dan kedewasaan berpikir para pelaku usaha
tersebut.
Tidak berbeda dengan usaha mikro, kecil, dan menengah, koperasi juga memiliki sejumlah
kelemahan. Tiga di antaranya yang paling menonjol, menurut Partomo (2004), adalah: (i) modal
anggota yang relatif sedikit dan lemah dalam pengelolaannya; (ii) kualitas sumberdaya manusia
yang mengelola koperasi yang relatif rendah (kemampuan manajemen yang masih rendah); (iii)
kurang terjalinnya kerjasama, baik antar-pengurus, antar-anggota, antara pengurus dan Pengawas
maupun antara pengurus dan anggota; dan (iv) proses pengambilan putusan yang bersifat
demokratis cenderung menghasilkan putusan yang kurang efisien. Berkaitan dengan keempat
kelemahan koperasi di atas, Widiyanto (1996), sebagaimana disitasi oleh Tambunan (2008),
menemukan bahwa pada umumnya koperasi di Indonesia tidak memiliki daya saing dan dilihat

dari posisi bisnisnya sebagian besar koperasi berada pada posisi “bertahan” dan cenderung ke
arah “lemah.” Secara lebih lengkap karakteristik koperasi di Indonesia disajikan dalam tabel
berikut.
Beberapa`Alternatif`Langkah`ke`Depan
“““““`Bertolak dari sejumlah kelemahan yang dimiliki baik oleh koperasi maupun usaha mikro,
kecil, dan menengah, sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya, sejumlah alternatif
langkah dapat ditawarkan untuk mengatasinya. Secara garis besar, langkah yang perlu diambil
untuk lebih memberdayakan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, menurut Suarja
(2007) adalah: (i) revitalisasi peran koperasi dan perkuatan posisi usaha mikro, kecil, dan
menengah dalam system perkonomian nasional; (ii) memperbaiki akses koperasi dan usaha
mikro, kecil, dan menengah terhadap permodalan, teknologi, informasi, dan pasar serta
memperbaiki iklim usaha; (iii) mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya pembangunan; dan
(iv) mengembangkan potensi sumberdaya lokal. Secara lebih teknis, Dipta (2007) menawarkan
pendekatan 3C, yakni competition (persaingan—dalam bentuk system informasi terbuka, sistem
legal, model bisnis yang dinamis, dan penguatan kapasitas pengurus/manajer), cooperation
(kerjasama—dalam bentuk kerjasama selektif, pendidikan dalam penyusunan/perubahan model
bisnis, dan kemitraan dengan public dan perguruan tinggi), dan concentration (konsentrasi—
dalam bentuk spesialisasi produk, penentuan target produk).
Kedua pendekatan di atas lebih bersifat institusional atau kelembagaan—dalam hal lembaga
pemerintah yang bertanggungjawab atas perkembangan dan pemberdayaan koperasi dan usaha
mikro, kecil, dan menengah. Dari sisi praktis, langkah yang perlu diambil dalam upaya
memberdayakan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, harus didasarkan pada
kelemahan yang ada. Oleh karena itu, peningkatan kualitas sumberdaya manusia merupakan hal
yang pokok baik pada koperasi maupun maupun usaha mikro, kecil, dan menengah. Program
pelatihan dan pendampingan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah yang bersifat
terpadu dan berkesinambungan merupakan salah satu pilihan terbaik. Namun, perlu ditekankan
di sini bahwa aspek kemandirian harus lebih diutamakan. Artinya, inisiatif pengadaan atau
pelaksanaan program pelatihan dan pendampingan harus berasal dari pihak pelaku usaha mikro,
kecil, dan menengah atau dari pihak pengurus dan anggota koperasi.
Langkah yang dapat dilakukan atau disumbangkan oleh pihak perguruan tinggi untuk
pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah bertolak dari fungsi dan tugasnya
yang tercakup dalam tri darma perguruan tinggi: pendidikan; penelitian; dan pengabdian kepada
masyarakat. Melalui ketiga kegiatan tersebut perguruan tinggi dapat melakukan banyak hal, baik
berupa pendidikan (pelatihan dan pendampingan), penelitian (dalam upaya menganalisis
pelbagai aspek tentang koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah) maupun program
pengabdian kepada masyarakat, yang fokus utamanya adalah koperasi dan usaha mikro, kecil,
dan menengah dengan beragam aspek yang berkaitan dengannya. Dengan pendekatan yang
sistematis semua upaya yang dilakukan akan lebih efektif, efisien, dan berkesinambungan.
Ekonomi Kerakyatan VS Neoliberalisme
Ekonomi kerakyatan sangat berbeda dari neoliberalisme. Neoliberalisme, sebagaimana dikemas
oleh ordoliberalisme, adalah sebuah sistem perekonomian yang dibangun di atas tiga prinsip
sebagai berikut: (1) tujuan utama ekonomi neoliberal adalah pengembangan kebebasan individu
untuk bersaing secara bebas-sempurna di pasar; (2) kepemilikan pribadi terhadap faktor-faktor
produksi diakui; dan (3) pembentukan harga pasar bukanlah sesuatu yang alami, melainkan hasil

dari penertiban pasar yang dilakukan oleh negara melalui penerbitan undang-undang (Giersch,
1961).
Berdasarkan ketiga prinsip tersebut maka peranan negara dalam neoliberalisme dibatasi hanya
sebagai pengatur dan penjaga bekerjanya mekanisme pasar. Dalam perkembangannya,
sebagaimana dikemas dalam paket Konsensus Washington, peran negara dalam neoliberalisme
ditekankan untuk melakukan empat hal sebagai berikut: (1) pelaksanaan kebijakan anggaran
ketat, termasuk penghapusan subsidi; (2) liberalisasi sektor keuangan; (3) liberalisasi
perdagangan; dan (4) pelaksanaan privatisasi BUMN (Stiglitz, 2002).
Sedangkan ekonomi kerakyatan, sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 33 UUD 1945, adalah
sebuah sistem perekonomian yang ditujukan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam bidang
ekonomi. Tiga prinsip dasar ekonomi kerakyatan adalah sebagai berikut: (1) perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan; (2) cabang-cabang produksi
yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara;
dan (3) bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Berdasarkan ketiga prinsip tersebut dapat disaksikan betapa sangat besarnya peran negara dalam
sistem ekonomi kerakyatan. Sebagaimana dilengkapi oleh Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 34, peran
negara dalam sistem ekonomi kerakyatan antara lain meliputi lima hal sebagai berikut: (1)
mengembangkan koperasi (2) mengembangkan BUMN; (3) memastikan pemanfaatan bumi, air,
dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
(4) memenuhi hak setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang
layak; (5) memelihara fakir miskin dan anak terlantar.
Mencermati perbedaan mencolok antara ekonomi kerakyatan dengan neoliberalisme tersebut,
tidak terlalu berlebihan bila disimpulkan bahwa ekonomi kerakyatan pada dasarnya adalah
antitesis dari neoliberalisme. Sebab itu, sebagai saudara kandung neoliberalisme, ekonomi
negara kesejahteraan (keynesianisme), juga tidak dapat disamakan dengan ekonomi kerakyatan.
Keynesianisme memang menaruh perhatian yang sangat besar terhadap penciptaan kesempatan
kerja penuh, namun demikian ia tetap dibangun berdasarkan prinsip persaingan bebas dan
pemilikan alat-alat produksi secara pribadi (selengkapnya lihat tabel). Perlu saya tambahkan,
ekonomi kerakyatan tidak dapat pula disamakan dengan ekonomi pasar sosial. Sebagaimana
dikemukakan Giersch (1961), ekonomi pasar sosial adalah salah satu varian awal dari
neoliberalisme yang digagas oleh Alfred Muller-Armack.