Makalah SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM SEJARAH (1)

Makalah
SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM
(SEJARAH PENDIDIKAN PADA MASA KOLONIALISME BELANDA)

Oleh:
Kelompok II
MASNUN

151.116.056

SOFIAN SAURI

151.116.079

HAMZANWADI

151.116.058

MUHAMMAD BASRI

151.116.070


NANI NURFAIZAH

151.116.043

JURUSAN PENDIDIKAN IPS EKONOMI
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) MATARAM
2013

A. LATAR BELAKANG SOSIAL, POLITIK
Sejarah pendidikan Islam di Indonesia sedikit banyak di pengaruhi oleh latar belakang
sosial politik, apalagi ketika zaman penjajahan Belanda, yang merupakan penjajah paling
lama bertahan di Indonesia, hal ini menyebabkan kerusakan tatanan keislaman yang sudah
ada di Indonesia saat itu, karena kaum kolonial belanda mempunyai misi yang ganda
diantaranya Imperialis (Bangsa yang menjalankan politik menjajah Bangsa lain) dan
kristenisasi.
Memang diakui bahwa belanda cukup banyak mewarnai perjalanan sejarah Islam di
Indonesia. Cukup banyak peristiwa di Indonesia, baik sebagai pedangang, perorangan
kemudian diorganisasikan membentuk kongsi-kongsi dagang yang diberi nama VOC,

maupun sebagai aparat pemerintah yang menjajah dan berkuasa. Oleh sebab itu, wajar bila
kedatangan mereka mendapat tantangan dan perlawanan dari penduduk pribumi, raja-raja,
dan tokoh agama setempat.
Tujuan Belanda datang ke Indonesia, tidak lain adalah untuk mengembangkan usaha
perdagangan, yaitu mendapatkan rempah-rempah yang mahal harganya di Eropa. Perseroan
Amsterdam mengirim armada kapal dagangnya yang pertama ke Indonesia tahun 1595,
dibawah pimpinan Cornelis de Houtman Melihat hasil yang diperoleh Perseroan
Amsterdam itu, banyak perseroan lain yang berdiri juga ingin berdagang dan berlayar ke
Indonesia. pada bulan maret 1602, perseroan-perseroan itu bergabung dan disahkan oleh
Staten-General Republik dengan suatu piagam yang memeberi hak khusus kepada
perseroan gabungan tersebut untuk berdagang, berlayar, dan memegang kekuasaan
dikawasan antara Tanjung Harapan dan Kepulauan Solomon, termasuk kepulauan
Nuantara. Perseroan itu yang dikenal dengan VOC ( Vereenigde Oost Indische
Compagnie).
VOC sejak semula memang diberi izin oleh pemerintah Belanda untuk melakukan
kegiatan politik dalam rangka mendapatkan hak monopoli dagang di Indonesia. oleh karena
itu, VOC dibantu oleh kekuatan militer dan armada tentara serta hak-hak yang bersifat
kenegaraan mempunyai wilayah, mengadakan perjanjian politik, dan sebagainya. Dengan
perlengkapan yang lebih maju, VOC melakukan politik Ekspansi (perluasan daerah).
Dengan kata lain, abad ke-17 dan 18 adalah periode ekspansi dan monopoli dalam sejarah

kolonial di Indonesia. menjelang abad ke-18, ekspansi wilayah ini berhasil di Jawa.

Keadaan kerajaan-kerajaan Islam sendiri menjelang datangnya belanda di akhir abad
ke-16 dan awal abad ke-17 ke Indonesia mengalami kemajuan, bukan hanya berkenaan
dengan kemajuan politik, tetapi juga proses Islamisasinya. Beberapa contoh diantaranya :
1. Kerajaan Malaka Islam di Sumatera Utara lebih di dominasi oleh daerah Aceh yang
waktu itu berada pada masa kejayaan dibawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda.
Karena Aceh merupakan pelabuhan transito, yang merupakan pelabuhan dagang,
Aceh mencoba melakukan Ekspansi perluasan perdagangan dan perluasan Islam
dengan menguasai Jambi, Tiku, Pariaman dan Bengkulu. Iskandar Muda wafat dalam
usia 46 tahun pada 27 Desember 1636. Ia digantikan oleh Sultan Tsani, sultan ini
mampu mempertahankan kebesaran Aceh. Akan tetapi setelah Ia meninggal dunia, 15
Februari 1641, Aceh berturut-turut dipimpin oleh tiga orang wanita selama 59 tahun.
Ketika itulah, Aceh mengalamai kemunduran. Daerah-daerah di Sumatera yang dulu
berada dibawah kekuasaanya mulai memerdekakan diri.
2. Di Jawa pusat kerajaan Islam sudah pindah dari pesisir ke pedalaman, yaitu Demak ke
Pajang kemudian ke Mataram. Berpindahnya pusat pemerintahan itu membawa
pengaruh besar yang sangat menentukan perkembangan sejarah Islam di jawa,
diantranya :
1) Kekuasaan dan system politk didasarkan atas basis garis

2) Peranan daerah pesisir dalam perdagangan dan pelayaran mundur, demikian juga
pelayar jawa
3) Terjadinya pergeseran pusat-pusat perdagangan dalam abad ke-17 dengan segala
akibatnya.
Kemajuan itu berubah menjadi kemunduran setelah datangnya bangsa barat.
Kedatangan bangsa barat disatu pihak memang telah membawa kemajuan teknologi, tetapi
kemajuan teknologi tersebut bukan dinikmati penduduk pribumi, melainkan tujuannya
hanyalah untuk meningkatkan hasil penjajahanya. Jelasnya kehadiran belanda di Indonesia
justru menimbulkan berbagai reaksi, yang dimulai sejak awal kedatanganya, seperti
serangan

Adipati

Unus

terhadap

Portugis

Malaka,


Sultan

Agung,

Trunojoyo,

Diponegoro,Perang paderi, perang Aceh, dsb.
KH. Zainuddin Zuhri menggambarkan, bahwa rakyat Indonesia yang mayoritas umat
Islam tidak memandang orang-orang barat tersebut melainkan sebagai penakluk dan
penjajah, mereka kaum Imperalis, tidak peduli mereka katolik atau protestan. Dalam dada
penjajah tersebut begitu kuatnya ajaran dari politikus curang dan licik Machiavelli, yang
anatara lain mengajarkan :

1. Agama sangat diperlukan bagi pemerintah penjajah / Kolonial
2. Agama tersebut dipakai untuk menjinakkan dan menaklukan rakyat
3. Setiap aliran agama yang dianggap palsu oleh pemeluk agama yang bersangkutan
harus dibawa untuk memecah-belah dan agar mereka berbuat untuk mencari bantuan
kepada pemerintah
4. Janji dengan rakyat tak perlu ditepati jika merugikan

5. Tujuan dapat menghalalkan segala cara.
Demikianlah, sejak Jan Pieters Zoon Coen (1587-1929) dengan meriam dan politk
Machiavellinya menduduki Jakarta pada tgl 30 Mei 1619 serta mengganti nama Jakarta
menjadi Batavia.
B. KEADAAN PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA KOLONIALISME BELANDA
Perkembangan pendidikan mulai merosot pada pertengahan abad ke 18. Sewaktu
tanah jajahan di kembalikan kepada belanda pada tahun 1816, pendidikan berada dalam
keadaan yang menyedihkan di tandai dengan tidak adanya satu sekolah pun di luar jawa.
Setelah pemerintah baru yang diresapi oleh ide-ide liberal aliran Aufklarung atau
Enlightenment memerintah di Indonesia, mulai diterapkan politik pengajaran liberal, yang
berisikan antara lain: perluasan pengajaran bagi bumiputra, dan anak-anak Indonesia serta
Tionghoa diperbolehkan memasuki sekolah-sekolah Belanda. Setelah pemerintah Belanda
menyatakan politik etis maka bagi rakyat Indonesia terbukalah kesempatan untuk
memasuki sekolah-sekolah, khususnya pendidikan rendah. Pada tahun 1907 atas perintah
Gubernur Jenderal Van Heutz didirikanlah sekolah-sekolah desa. Pada awall abad 20
bermuncullah sekolah kelas satu, sekolah kelas dua, sekolah desa.
Dalam bidang pendidikan agama pemerintah Hindia Belanda, mempunyai sikap netral
terhadap pendidikan agama disekolah-sekolah umum, ini dinyatakan dalam pasal 179 (2)
I.S (Indische Staatsregeling) dan dalam beberapa ordonansi yang secara singkatnya sebagai
berikut:

“Pengajaran umum adalah netral, artinya bahwa pengajaran itu diberikan dengan
menghormati keyakinan agama masing-masing. Pengajaran agama hanya boleh berlaku
diluar jam sekolah”.
Di sebabkan karna berbagai faktor, meliputi kebijakan, fasilitas dan sarana, maka
sekolah-sekolah yang di bangun oleh pemerinah belanda ini sangat terbatas, tidak atau

belum seimbang dengan populasi penduduk indonesia. Di tambah pula dengan tingkat
penghasilan ekonomi masyarakat Indonesia yang rendah sehingga amat sedikit di kalangan
bumiputra yang bisa memasuki dan melanjutkan ke sekolah-sekolah Belanda tersebut.
Berkenaan dengan itu, maka alternatif lain dari lembaga pendidikan yang lebih
merakyat serta bersifat egalitarian (pandangan yg menyatakan bahwa manusia itu
ditakdirkan sama derajat) adalah pendidikan di pesantren, surau atau dayah, maka lembagalembaga pendidikan itu adalah merupakan pilihan yang memungkinkan bagi masyarakat
Indonesia, karena nya masyarakat muslim ketika itu banyak memasukkan anak-anak
mereka ke lembaga pendidikan tersebut.
Pesantren dan sejenisnya dari segi sistem, metode dan materi berbeda dengan lembaga
pendidikan sekolah yang di asuh oleh pemerintah Belanda. Dari segi sistemnya pesantren
masih bersifat nonklasikal, metodenya berpusat kepada metode wetonan, sorogan, hafalan
yang di sampaikan kepada pengajian kitab-kitab klasik, materinya semata-mata ilmu-ilmu
agama saja. Sedangkan di sekolah-sekolah Belanda memakai sistem klasikal metodenya
adalah seirama dan serasi dengan metode klasikal, materinya semata-mata pelajaran umum,

disini tidak di ajarkan agama sama sekali.
Berkenaan dengan itu, kedua lembaga ini (pesantren dan sekolah), memiliki filosofi
yang berbeda yang sekaligus melahirkan out put yang memiliki orientasi yang berbeda
pula. Pada waktu itu muncullah perbedaan yang tajam antara ilmu agama dan ilmu umum,
maka muncullah sistem pendidikan umum dan sistem pendidikan agama pada fase terakhir
abad ke-19, serta di lanjutkan dan diperkuat pada abad 20.
Antara ke dua lembaga itu pilah dan terpisah tidak ada pertautan sama sekali, masingmasing berjalan sendiri-sendiri, mengenai hal ini Steenbrink, mendiskripsikan.
Dalam abad ke -19 khusus pada permulaan abad itu pesantren merupakan satusatunya lembaga pendidikan sesudah pengajian AL-QUR’AN hampir di seluruh wilayah
Indonesia pada masa ini pemerintah kolonial membuka lembaga pendidikan sendiri yang
sama sekali tidak berhubungan dengan sistem pendidikan Islam.
Dalam perjalanan sejarah pendidikan Islam di Indonesia, kelihatannya memang
pernah ada juga perhatian pemerintah kolonial Belanda terhadap pendidikan Islam,
misalnya, Gubernur Jenderal Van Der Capellen pada tahun1819 menginstruksikan kepada
para Residen agar menyelidiki kemungkinan-kemungkinan untuk memperbaiki pendidikan
pribumi. Verkerk Pistorius juga pernah mengusulkan supaya perkembangan pendidikan
dilakukan dengan memperbaiki secara bertahap sistem pendidikan asli yang sudah ada.

Meskipun ada beberapa usulan yang seperti disebut diatas untuk memperbaiki
pendidikan pribumi ternyata pemerintah Belanda tetap melaksanakan memilih untuk
mengembangkan pendidikan sendiri, meskipun sebenarnya menurut Steenbrink ada

beberapa pendapat memberikan penilaian positif terhadap sistem pendidikan asli Indonesia
dalam perkembangan pendidikan modern.
Sebetulnya sikap pemerintah kolonial Belanda terhadap pendidikan Islam, pada
dasarnya tertolak dari sikap dan kebijakan mereka terhadap pendidikan Islam. Dalam
kenyataan sejarah yang mereka alami bahwa muncul perlawanan-perlawanan dari umat
Islam seperti perang paderi (1821-1827), perang Diponegoro (1825-1830), Perang Aceh
(1873-1903), dan lain-lain, hal ini tentu menimbulkan sikap kehati-hatian pemerintah
Belanda terhadap Islam.
Pemerintah Belanda pada mulanya tidak berani mencampuri masalah Islam, oleh
karena belum adanya kebijakan yang jelas mengenai masalah ini. Disamping karena belum
mengetahui pengetahuan mengenai Islam dan dan bahasa Arab, dan pada waktu itu Belanda
belum mengetahui sistem sosial Islam. Barulah setelah datangnya Snouch Hurgronje pada
tahun 1889, pemerintah kolonial Belanda mempunyai kebijakan yang jelas mengenai
masalah Islam. Menurut Snouch Hurgronje membagi masalah Islam itu dalam 3 kategori,
yakni:
1. Bidang agama murni atu ibadah
2. Bidang sosial kemasyarakatan
3. Bidang politik.
Tiap-tiap bidang memiliki alternatif pemecahan berbeda. Resep inilah yang kemudian
dinamakan dengan Islam politik. Dalam kenyataan kenetralan itu tidak bisa terealisasi,

banyak peraturan-peraturan yang dikeluarkan pemerintah Belanda guna mengawasi dan
membatasi kegiatan Islam. Misalnya, peraturan (ordonansi) yang dikeluarkan tahun 1859
tentang masalah hajji. Ordonansi guru tahun 1905, yakni yang mewajibkan minta izin bagi
guru-guru agama.
C. BERBAGAI KEBIJAKAN BELANDA DALAM BIDANG PENDIDIKAN ISLAM
Penaklukan bangsa barat atas dunia Timur dimulai dengan jalan perdagangan,
kemudian dengan kekuatan militer. Selama zaman penjajahan barat itu berjalanlah proses
westernisasi Indonesia. Kedatangan bangsa batar memang telah membawa kemajuan
teknologi. Tetapi tujuannya adalah untuk meningkatkan hasil penjajahannya, bukan untuk

kemakmuran bangsa yang dijajah. Begitu pula dibidang pendidikan. Mereka
memperkenalkan sistem dan metode baru tetapi sekedar untuk menghasilkan tenaga yang
dapat membantu kepentingan mereka dengan upah yang murah dibandingkan dengan jika
mereka harus mendatangkan tenaga dari Barat. Apa yang mereka sebut pembaharuan
pendidikan itu adalah westernisasi dari kristenisasi yakni untuk kepentingan Barat dan
Nasrani. Dua motif inilah yang mewarnai kebijaksanaan penjajah Barat di Indonesia
selama ±3,5 abad. Ketika terjadi perang antara Rusia dengan Jepang pada tahun 19041905 M, raja Jerman mengirim pesan kepada raja Rusia yang berbunyi: “Melawan Jepang
adalah panggilan suci untuk melindungi salib dan kebudayaan Kristen Eropa”. Itulah
gambaran dari motif keagamaan orang barat terhadap Timur. Disamping itu sebagai
bangsa penjajah pada umumnya mereka menganut pikiran Machiavelli yang menyatakan

antara lain:
1) Agama sangat diperlukan bagi pemerintah penjajah.
2) Agama tersebut dipakai untuk menjinakkan dan menaklukkan rakyat
3) Setiap aliran agama yang dianggap palsu oleh pemeluk agama yang bersangkutan
harus dibawa untuk memecah belah dan agar mereka berbuat untuk mencari bantuan
kepada pemerintah
4) Janji dengan rakyat tak perlu ditepati jika merugikan
5) Tujuan dapat menghalalkan segala cara.
Pemerintah Belanda mulai menjajah Indonesia pada tahun 1619 M, yaitu ketika Jan
Pieter Zoon Coen menduduki Jakarta, dan dilawan oleh Sultan Agung Mataram yang
bergelar Sultan Abdurrahman Khalifatullah Sayidin Panotogomo. Pada zaman Sultan
Islam ini hitungan tahun Saka diasimilasikan dengan tahun hijriyah dan berlaku diseluruh
negara. Nama hari dan bulan diambil dari Islam. Sedangkan hitungan tahunnya diambil
dari Jawa. Hal itu menggambarkan adanya usaha mempertemukan unsur kebudayaan
Islam dengan kebudayaan pribumi dalam hal-hal yang tidak merusak akidah dan ibadah.
Pangeran Diponegoro alias Sultan Abd. Hamid

Herutjokro Amirul Mukminin

Sayidin Khalifatullah adalah tokoh politik, militer dan ulama. Para pembantunya terdiri
dari pada ulama juga antara lain: K. Moh. Basri, K. Abd. Kadir, K. Moh. Usman, K.
Imam Misbah, Syeh H. Ahmad, K. Melangi, dan lain-lain. Pada masa itu kehidupan
beragama erat sekali dengan kehidupan kenegaraan. Pimpinan negara adalah tokoh
ulama. Keadaan semacam ini juga sering terjadi di daerah lain seperti diMinagkabau
dengan Imam Bonjol dan di Aceh dengan Tengku (Kyai) Cik Di Tiro.

Setelah Belanda dapat mengatasi pemberontakan-pemberontakan dari tokoh-tokoh
politik dan agama yaitu pengeran Diponegoro, Imam Bonjol, Tengku Cik Di Tiro,
Pangeran Antasari, Sultan Hasanuddin dan lain-lain, maka sejarah kolonialisme di
Indonesia mengalami fase yang baru, yaitu Belanda secara politik sudah dapat menguasai
Indonesia. Raja-raja didaerah masih ada, tetapi tidak dapat berkuasa penuh, baik disegi
kewilayahan maupun dibidang ketatanegaraannya. Dengan demikian maka semua
kekuasaan baik politik maupun ekonomi dan sosial budaya sudah berada ditangan
penjajah. Belanda berkuasa mengatur pendidikan dan kehidupan beragama, sesuai dengan
prinsip-prinsip kolonialisme, westernisasi dan kristenisasi.ketika Van den Boss menjadi
Gubernur jenderal di Jakarta pada tahun 1831, keluarlah kebijaksanaan bahwa sekolahsekolah gereja dianggap dan diperlukan sebagai sekolah pemerintah. Departemen yang
mengurus pendidikan dan keagamaan dijadikan satu. Dan di tiap daerah Keresidenan
didirikan satu sekolah kristen.
Gubernur Jenderal Van den Capellen pada tahun 1819 M mengambil inisiatif
merencanakan berdirinya sekolah dasar bagi penduduk pribumi agar dapat membantu
pemerintah Belanda. Dalam surat edarannya kepada bupati tersebut sebagai berikut:
“Dianggap penting untuk secepat mungkin mengadakan peraturan pemerintah yang
menjamin meratanya kemampuan membaca dan menulis bagi penduduk pribumi agar
mereka lebih mudah untuk dapat mentaati undang-undang dan hukum negara”.
Jiwa dari surat edaran diatas menggambarkan tujuan daripada didirikannya sekolah
dasar pada zaman itu. Pendidikan agama Islam yang ada dipondok pesantren, masjid,
mushalla dan lain sebagainya dianggap tidak membantu pemerintah Belanda. Para santri
pondok masih dianggap buta huruf Latin.
Pada salah satu point angket yang ditujukan kepada bupati-bupati berbunyi:
“Apakah tuan bupati tidak sepaham dengan kami bahwa pendidikan yang berguna
adalah sejenis pendidikan yang sesuai dengan rumah tangga desa”.
Jadi, jelas bahwa madrasah pesantren dianggap tidak berguna dan tingkat sekolah
pribumi adalah rendah sehingga disebut sekolah desa, dan dimaksudkan untuk
menandingi madrasah, pesantren atau pengajian yang ada didesa itu.
Politik pemerintah Belanda terhadap rakyat Indonesia yang mayoritas Islam didasari
oleh rasa ketakutan, rasa panggilan agamanya dan rasa kolonialismenya.
Pada tahun 1882 M pemerintah Belanda membentuk suatu badan husus yang bertugas
mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam yang disebut priserraden. Atas
nasihat inilah maka pada tahun 1905 M pemerintah mengeluarkan peraturan yang isinya

bahwa orang yang memberikan pengajaran (baca pengajian) harus minta izin lebih dulu.
Pada tahun itu memang sudah terasa adanya ketakutan dari pemerintah Belanda terhadap
kemungkinan kebangkitan pribumi, karena terjadinya peperangan antara Jepang melawan
Rusia yang dimenangkan oleh Jepang.
Pada tahun 1925 M pemerintah mengeluarkan peraturan yang lebih ketat lagi terhadap
pendidikan agama Islam yaitu bahwa tidak semua orang (kyai) boleh memberikan
pelajaran mengaji. Peraturan itu mungkin disebabkann oleh adanya gerakan organisasi
pendidikan Islam yang sudah tampak tumbuh seperti Muhammadiyah, Partai Syarikat
Islam, Al-Irsyad, Nahdatul Wathan dan lain-lain.
Pada tahun 1932 M keluar pula peraturan yang dapat memberantas dan menutup
madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau memberikan pelajaran yang tak disukai
oleh pemerintah yang disebut Ordonansi Sekolah Liar (Wilde School Ordonantie).
Peraturan ini dikeluarkan setelah munculnya gerakan nasionalisme-Islamisme pada tahun
1928 M, berupa Sumpah Pemuda. Selain dari pada itu untuk lingkungan kehidupan
agama Kristen diIndonesia yang selalu menghadapi reaksi dari rakyat, dan untuk menjaga
dan penghalangi masuknya pelajaran agama disekolah umum yang kebanyakan muridnya
beragama Islam, maka pemerintah mengeluarkan peraturan yang disebut netral agama.
Yakni bahwa pemerintah bersikap tidak memihak kepada salah satu agama sehingga
sekolah pemerintah tidak mengajarkan agama. Dan pemerintah melindungi tempat
peribadatan agama (Indische Staat Regeling pasal 173-174).
Jika kita melihat peraturan-peraturan pemerintah Belanda yang demikian ketat dan
keras mengenai pengawasan, tekanan dan pemberantasan aktifitas madrasah dan pondok
pesantren di Indonesia, maka seolah-olah dalam tempo yang tidak lama, pendidikan Islam
akan menjadi lumpuh atau porak poranda. Akan tetapi apa yang dapat disaksikan dalam
sejarah adalah keadaan yang sebaliknya. Masyarakat Islam di Indonesia pada zaman itu
laksana air hujan atau air bah yang sulit dibendung. Dibendung disini, meluap disana.
Jiwa Islam tetap terpelihara dengan baik. Para ulama dan kyai bersikap non
cooverative (kerjasama) dengan Belanda. Mereka menyingkir dari tempat yang dekat
dengan belanda. Mereka mengharamkan kebudayaan yang dibawa oleh Belanda dengan
berperang kepada hadis Nabi Muhammad SAW yang artinya: “Barang siapa yang
menyerupai suatu golongan, maka ia termasuk golongan tersebut” (Riwayat Abu Dawud
dan Imam Hibban). Mereka tetap berpegang kepada ayat Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat
51 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah orang yahudi dan nasrani
engkau angkat sebagai pemimpinmu”.

D. LEMBAGA PENDIDIKAN ZAMAN PENJAJAHAN BELANDA
Pendidikan selama penjajahan Belanda dapat dipetakan kedalam 2 (dua) periode
besar, yaitu pada masa VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie) dan masa pemerintah
Hindia Belanda (Nederlands Indie). Pada masa VOC, yang merupakan sebuah
kongsi(perusahaan) dagang, kondisi pendidikan di Indonesia dapat dikatakan tidak lepas
dari maksud dan kepentingan komersial. Berbeda dengan kondisi di negeri Belanda sendiri
dimana lembaga pendidikan dikelola secara bebas oleh organisasi-organisasi keagamaan,
maka selama abad ke-17 hingga 18 M, bidang pendidikan di Indonesia harus berada dalam
pengawasan dan kontrol ketat VOC.
Jadi, sekalipun penyelenggaraan pendidikan tetap dilakukan oleh kalangan agama
(gereja), tetapi mereka adalah berstatus sebagai pegawai VOC yang memperoleh tanda
kepangkatan dan gaji. Dari sini dapat dipahami, bahwa pendidikan yang ada ketika itu
bercorak keagamaan (Kristen Protestan). Hal ini juga dikuatkan dari profil para guru di
masa ini yang umumnya juga merangkap sebagai guru agama (Kristen). Dan sebelum
bertugas, mereka juga diwajibkan memiliki lisensi (surat izin) yang diterbitkan oleh VOC
setelah sebelumnya mengikuti ujian yang diselenggarakan oleh gereja Reformasi.
Kondisi pendidikan di zaman VOC juga tidak melebihi perkembangan pendidikan di
zaman Portugis atau Spanyol. Pendidikan diadakan untuk memenuhi kebutuhan para
pegawai VOC dan keluarganya di samping untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja murah
terlatih dari kalangan penduduk pribumi, VOC memilih untuk tidak melakukan kontak
langsung dengan penduduk, tetapi mempergunakan mediasi para penguasa lokal pribumi.
Jikalaupun ada, itu hanya berada di pusat konsentrasi pendudukannya yang ditujukan bagi
para pegawai dan keluarganya. Beberapa lembaga pendidikan yang adapa pada masa jaman
penajajahn belanda adalah :
1. MULO (Meer Uit gebreid lager school), sekolah tersebut adalah kelanjutan dari
sekolah dasar yang berbasa pengantar bahasa Belanda. Lama belajarnya tiga sampai
empat tahun. Yang pertama didirikan pada tahun 1914 dan diperuntukan bagi
golongan bumi putra dan timur asing. Sejak zaman jepang hingga sampai sekarang
bernama SMP. Sebenarnya sejak tahun 1903 telah didirikan kursus MULO untuk
anak-anak Belanda, lamanya dua tahun.
2. AMS (Algemene Middelbare School) adalah sekolah menengah umum kelanjutan
dari MULO berbahasa belanda dan diperuntukan golongan bumi putra dan Timur
asing. Lama belajarnya tiga tahun dan yang petama didirikan tahun 1915. AMS ini

terdiri dari dua jurusan (afdeling= bagian), Bagian A (pengetahuan kebudayaan) dan
Bagian B (pengetahuan alam ) pada zaman jepang disebut sekolah menengah tinggi,
dan sejak kemerdekaan disebut SMA.
3. HBS (Hoobere Burger School) atau sekolah warga Negara tinggi adalah sekolah
menengeh kelanjutan dari ELS yang disediakan untuk golongan Eropa, bangsawan
golongan bumi putra atau tokoh-tokoh terkemuka. Bahasa pengantarnya adalah
bahasa belanda dan berorentasi ke Eropa Barat, khususnyairikan pada belanda. Lama
sekolahnya tiga tahun dan lima tahun. Didirikan pada tahun 1860
4. Sekolah pertukangan (Amachts leergang) yaitu sekolah berbahasa daerah dan
menerima sekolah lulusan bumi putra kelas III (lima tahun) atau sekolah lanjutan
(vervolgschool). Sekolah ini didirikan bertujuan untuk mendidik tukang-tukang.
didirikan pada tahun 1881
5. Sekolah pertukangan (Ambachtsschool) adalah sekolah pertukangan berbahasa
pengantar Belanda dan lamanya sekolah tiga tahun menerima lulusan HIS, HCS atau
schakel. Bertujuan untuk mendidik dan mencetak mandor jurusanya antara lain montir
mobil, mesin, listrik, kayu dan piñata batu
6. Sekolah teknik (Technish Onderwijs) adalah kelanjutan dari Ambachtsschool,
berbahasa Belanda, lamanya sekolah 3 tahun. Sekolah tersebut bertujuan untuk
mendidik tenaga-tenaga Indonesia untuk menjadi pengawas, semacam tenaga teknik
menengah dibawah insinyur.
7. Pendidikan Dagang (Handels Onderwijs). Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan
perusahaan Eropa yang berkembang dengan pesat.
8. Pendidikan pertanian (landbouw Onderwijs) pada tahun 1903 didirikan sekolah
pertaian Yang menerima lulusan sekolah dasra yang berbahasa penganatar Belanda,
dll.
E. KURIKULUM PENDIDIKAN
Secara umum sistem pendidikan pada masa VOC dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Pendidikan Dasar
Berdasar peraturan tahun 1778, dibagi kedalam 3 kelas berdasar rankingnya. Kelas 1
(tertinggi) diberi pelajaran membaca, menulis, agama, menyanyi dan berhitung. Kelas 2
mata pelajarannya tidak termasuk berhitung. Sedangkan kelas 3 (terendah) materi pelajaran
fokus pada alphabet dan mengeja kata-kata. Proses kenaikan kelas tidak jelas disebutkan,

hanya didasarkan pada kemampuan secara individual. Pendidikan dasar ini berupaya untuk
mendidik para murid-muridnya dengan budi pekerti. Contoh pendidikan dasar ini antara
lain Batavische school (Sekolah Betawi, berdiri tahun 1622); Burgerschool (Sekolah
Warga-negara,berdiri tahun 1630); Dll.
2.

Sekolah Latin
Diawali dengan sistem numpang-tinggal In de kost di rumah pendeta tahun 1642.

Sesuai namanya, selain bahasa Belanda dan materi agama, mata pelajaran utamanya adalah
bahasa Latin. Setelah mengalami buka-tutup, akhirnya sekolah ini secara permanent ditutup
tahun 1670.
3.

Seminarium Theologicum (Sekolah Seminari)
Sekolah untuk mendidik calon-calon pendeta, yang didirikan pertama kali oleh

Gubernur Jenderal van Imhoff tahun 1745 di Jakarta. Sekolah dibagi menjadi 4 kelas secara
berjenjang. Kelas 1 belajar membaca, menulis, bahasa Belanda, Melayu dan Portugis serta
materi dasar-dasar agama. Kelas 2 pelajarannya ditambah bahasa Latin. Kelas 3 ditambah
materi bahasa Yunanu dan Yahudi, filsafat, sejarah, arkeologi dan lainnya. Untuk kelas 4
materinya

pendalaman

yang

diasuh

langsung

oleh

kepala

sekolahnya.

Sistem

pendidikannya asrama dengan durasi studi 5,5 jam sehari dan Sekolah ini hanya bertahan
selama 10 tahun.
4.

Sekolah Cina
Pada tahun 1737 didirikan untuk keturunan Cina yang miskin, tetapi sempat vakum

karena peristiwa de Chineezenmoord (pembunuhan Cina) tahun 1740. selanjutnya, sekolah
ini berdiri kembali secara swadaya dari masyarakat keturunan Cina sekitar tahun 1753 dan
1787.
5.

Pendidikan Islam
Pendidikan untuk komunitas muslim relatif telah mapan melalui lembaga-lembaga

yang secara tradisional telah berkembang dan mengakar sejak proses awal masuknya Islam
ke Indonesia. VOC tidak ikut campur mengurusi atau mengaturnya.

KESIMPULAN
Beberapa penjelasan diatas adalah merupakan sebagian dari uraian mengenai politik
belanda terhadap Islam di Indonesia. Dengan gambaran demikian dapat pulalah
diprediksikan bagaimana sikap pemerintah kolonial Belanda terhadap pendidikan Islam di
Indonesia.
Politik yang dijalankan pemerintah belanda terhadap rakyat Indonesia yang mayoritas
beragama Islam sebenarnya didasarkan oleh adanya rasa ketakutan, rasa panggilan
agamanya yaitu Kristen dan rasa kolonialismenya. Sehingga dengan begitu mereka tetapkan
berbagai peraturan dan kebijakan
Dalam bidang pendidikan, hal yang dirasakan umat Islam sangat diskriminatif atau
merasa dibedakan adalah ordonansi guru tahun 1905. Ordonansi ini adalah mewajibkan
setiap guru agama Islam untuk meminta dan memperoleh izin terlebih dahulu sebelum
melaksanakan tugasnya sebagai guru Agama. Ordinasi ini bisa digunakan oleh Belanda
untuk menekan Islam.
Meski demikian, jiwa Islam tetap terpelihara dengan baik. Para ulama dan kyai
bersikap non cooverative (kerjasama) dengan Belanda. Mereka menyingkir dari tempat
yang dekat dengan belanda. Mereka mengharamkan kebudayaan yang dibawa oleh
Belanda dengan berperang kepada hadis Nabi Muhammad SAW yang artinya: “Barang
siapa yang menyerupai suatu golongan, maka ia termasuk golongan tersebut” (Riwayat
Abu Dawud dan Imam Hibban). Mereka tetap berpegang kepada ayat Al-Qur’an surat AlMaidah ayat 51 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah orang yahudi
dan nasrani engkau angkat sebagai pemimpinmu”.

DAFTAR PUSTAKA
Dra. Zuraini, dkk. Sejarah Pendidikan Islam, BUMI AKSARA,
Jakarta, 2011
Prof . Dr. H. Haidar Putra Daulay, MA. Sejarah pertumbuhan dan
perkembangan islam di indonesia. KENCANA PRENADA MEDIA GROUP,
Jakarta 2007.