orientasi pra rekonstruksi Bab2

Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

BAB I I
M ET ODE K AJ I AN
2.1. Pengertian
Rekonstruksi, dari kata re : kembali, dan konstruksi : susunan, model, atau tata letak
suatu bangunan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989), dalam hal ini rekonstruksi
merupakan kegiatan penataan kembali model-model pengelolaan kawasan hutan
terutama berkaitan dengan sistem manajemennya.
Orientasi adalah usaha peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan
sebagainya) yang tepat dan benar (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989).
Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai
perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir,
mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah
(Undang Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang : Kehutanan).

Metode Kajian

7

Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga


Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi
kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam, sumber daya buatan dan
nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan Pembangunan berkelanjutan
(Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung).
Hutan Produksi Terbatas (HPT) adalah hutan alam produksi yang karena faktor
topografi, kepekaan jenis tanah dan iklim sehingga pemanfaatan hasil hutan kayunya
dibatasi berdasarkan limit diameter tebang sesuai ketentuan yang berlaku. (Keputusan
Menteri Kehutanan No : 88/Kpts-II/2003).
Hutan Konversi adalah kawasan hutan yang dapat diubah atau dialih fungsikan untuk
kepentingan masyarakat
Hutan Mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis
pantai tropis sampai sub tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang
mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah an-aerob
(Snedaker, 1978).
Catchment Area atau Kawasan Resapan air adalah daerah yang mempunyai
kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan sehingga merupakan tempat pengisian
air bumi (akuifer) yang berguna sebagai sumber air (Keputusan Presiden No.32 Tahun
1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung).


2.2. Pendekatan
Kegiatan ini merupakan kegiatan jangka panjang mencakup skala kewilayahan
yang luas atau dapat dikatakan sebagai “large-scale natural resource assessment”.
Untuk melakukan kegiatan ini, akan dihadapkan pada masalah yang kompleks,
memerlukan penilaian yang komprehesif di lapangan dengan membutuhkan biaya
yang besar. Untuk itu diperlukan untuk menyusun pendekatan agar tercapai tujuan
dan terjadi efisiensi penggunaan waktu dan biaya.
Secara umum ada tiga pendekatan keilmuan yang digunakan dalam kegiatan
Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga,
yaitu bidang ekonomi, ekologi dan budaya. Gambar 2.1 menunjukkan hubungan antar
disiplin ilmu dalam kegiatan ini.

Metode Kajian

8

Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

Ekologi:
Konservasi dan

pemanfaatan
lahan

Budaya: Kehidupan
manusia yang
berkualitas

Ekonomi:
Pembangunan
yang
berkelanjutan

Tujuan Perencanaan;
Kehidupan masyarakat yang
berkualitas, dalam konteks
pemanfaatan lahan yang
bertanggung jawab, stabilitas
ekonomi dan kelestarian jangka
panjang


Gambar 2.1. Model Perencanaan, Pengelolaan Sumber daya Hutan
Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

Tahapan kegiatan ini merupakan rangkaian yang saling terkait, aspek ekologi
merupakan penekanan kegiatan pada tahun ini, sehingga hingga akhir tahun ini
adalah mencoba untuk mengumpulkan data dasar yang nantinya akan sangat
mempengaruhi 2 aspek yang lain, yaitu ekonomi dan budaya. “Existing condition” atau
kondisi terkini dari sumber daya hutan di Kabupaten Bintan dan Kabupaten Lingga
adalah hal yang paling mendasar dari kegiatan orientasi pra-rekonstruksi sumber daya
hutan. Studi yang comprehensif diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih
jelas tentang sumber daya hutan di kedua kabupaten ini.
Survey lapangan (ground check) dengan program penilaian cepat (rapid
assessment program) dilakukan untuk melihat kondisi aktual sumber daya hutan di
pulau Bintan dan Kabupaten Lingga. Penilaian sebaran sumber daya hutan dan
potensinya menjadi hal yang ditekankan dalam kegiatan tahap pertama ini. Potensi
keanekaragaman hayati dan potensi ancaman kelestarian sumber daya hutan
termasuk di dalam kegiatan penilaian ini. Berbagai bentuk pemanfaatan sumber daya
hutan dan pengambilan jasa lingkungan dicatat sebagai informasi yang melengkapi
tentang keadaan sumber daya hutan. Selain itu adalah terkait dengan penggunaan
lahan dan perencanaan tata ruang wilayah juga merupakan data ekologis yang juga

diambil dalam kegiatan ini.
Dua aspek yang lain (aspek ekonomi dan budaya) adalah kegiatan terkait yang
dapat dilakukan pada tahun-tahun mendatang. Kebudayaan masyarakat di Kepulauan
Riau secara umum dengan sendirinya tidak dapat dipisahkan dari sumber daya alam
disekitarnya. Nilai ekonomi sumber daya hutan dan lingkungan adalah faktor penting
yang harus dikaji kedepan, terkait dengan upaya rekonstruksi sumber daya hutan.

Metode Kajian

9

Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

2.3. Prosedur Pengkajian
Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten
Lingga mempunyai dua kegiatan utama yaitu; interpretasi citra satelit dengan aplikasi
teknologi GIS dan studi ekologi, ekonomi, sosial, dan budaya kawasan hutan.
Berdasarkan status hutan yang ada, tim melakukan studi terhadap dasar
penetapan kawasan hutan. Verifikasi kondisi kawasan hutan secara makro dilakukan
dengan identifikasi melalui foto udara dan atau citra satelit. Sementara itu secara

paralel, dilakukan studi ekologis kawasan hutan yang telah ditetapkan untuk
melengkapi studi makro yang telah disebutkan di awal. Studi ekologis ini dilakukan
dengan observasi di lapangan untuk menilai kondisi riil, menilai potensi yang ada,
serta memprediksi kemungkinan masalah yang muncul. Hasil identifikasi foto
udara/citra satelit dan studi ekologi ini diarahkan untuk mengidentifikasi overlapping
kawasan hutan dan digunakan untuk menyusun arahan pengelolaan hutan.
Status Hutan
Study Ekologi

Dasar Penetapan

Identifikasi Foto Udara/Citra Satelit

Potensi

Permasalahan

Identifikasi Kemungkinan
Overlapping


Penyusunan Arahan
Pengelolaan Hutan

Gambar 2.2. Alur Pikir Kegiatan Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan
di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

Data tambahan juga dikumpulkan untuk memperjelas gambaran kondisi
lapangan. Ini termasuk peta tanah, peta kontur, peta penggunaan lahan, peta lahan
basah khususnya mangrove, daerah aliran sungai (DAS) dan juga informasi mengenai
spesies endemik yang terancam kepunahannya, data-data pendukung lainnya.
Analisis semua data dilakukan dalam rangkuman dan detail kondisi lapangan saat ini,
terkait dengan isu kesehatan ekologi, penggunaan lahan, dan potensi ancaman dan
potensi pemanfaatan sumber daya alam. Kegiatan ini diharapkan akan menghasilkan
rekomendasi untuk pengelolaan yang terpadu dan aplikatif terhadap sumber daya
alam khususnya hutan di Kabuten Bintan dan Kabupaten Lingga.

Metode Kajian

10


Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

2.3.1. Analisis Citra Satelit
Untuk tujuan menampilkan penutupan lahan yang aktual, pemanfaatan citra
satelit digital sering digunakan. Citra satelit merupakan “foto bumi” yang dipotret oleh
satelit. Dalam analisis ini digunakan citra satelit hasil pemotretan satelit LANDSAT 7
ETM tahun 2004. Untuk bisa diinterpretasikan secara akurat, citra hasil pemotretan
satelit diproses melalui tahap pemrosesan awal (pre-processing), penajaman tampilan
(display and enhancement) dan ekstraksi informasi (information extraction).
Pemrosesan awal ditujukan untuk memperbaiki citra satelit dari kesalahan
geometris, radiometris maupun atmosferis (Gambar 2.3). Penajaman tampilan
dimaksudkan untuk mempermudah interpretasi obyek-obyek yang diliput satelit. Hal ini
biasanya sangat perlu apabila citra diinterpretasi secara manual atau visual.
Penajaman

ini

dilakukan

dengan


memperbesar

kontras

tampilan

sehingga

mempertajam perbedaan antar obyek.
Ekstraksi informasi merupakan tahap akhir dari analisis citra satelit. Hal ini
dilakukan baik secara visual dengan mengamati citra dan melakukan pembatasan
obyek (delineasi) maupun secara digital dengan mengelompokkan pixel berdasar nilai
spektralnya pada berbagai saluran (band). Klasifikasi secara digital diawali dengan
memilih sampel pixel yang dianggap mewakili masing-masing kelas penutupan lahan
yang dimaksud. Apabila pemilihan sampel ini dilakukan oleh peneliti maka disebut
supervised classification, namun apabila pemilihan sampel pixel dilakukan oleh
komputer dengan kaidah statistik maka disebut unsupervised classification. Pemilihan
sampel


ini

menghasilkan

range

kelas

spektral

yang

digunakan

untuk

mengelompokkan semua pixel yang ada.
Hasil pengelompokan ini adalah kelas-kelas penutupan lahan yang harus diuji
kesesuaiannya. Uji ini dapat dilakukan dengan mengecek hasil interpretasi dengan
kondisi lapangan (ground check), maupun mengecek dengan data sekunder yang lain,

misalnya peta atau foto udara. Setelah melalui cek kesesuaian, citra dapat digunakan
sebagai sumber informasi untuk menyusun peta tematik penutupan vegetasi.
Proses klasifikasi dilakukan menurut beberapa kriteria yang dikembangkan
Baplan Departemen Kehutanan (2001) dan Whitmore (An Introduction Tropical Rain
Forest (1990) (Lampiran 4). Beberapa kriteria disesuaikan pula dengan data ground
check selama pengamatan.

Metode Kajian

11

Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

Citra Landsat

Koreksi geometri dan
radiometri

Panajaman citra

Pemilihan sampel

Interpretasi manual

Klasifikasi

Supervised

Unsupervised

Uji kesesuaian

Peta tematik dan data

Gambar 2.3. Diagram alur proses analisis citra satelit

2.3.2. Analisis Kondisi Ekologi Kawasan
Lokasi sampel yang diambil meliputi lokasi hutan mangrove yang terdapat di
Kabupaten Bintan dan Kabupaten Lingga. Lokasi sampel di Kabupaten Bintan dan
Kabupaten Lingga masing-masing terdiri dari 3 titik lokasi sampel dengan tiap titik
terdapat 3 plot pengamatan. Masing-masing titik lokasi diambil dengan asumsi bahwa
setiap titik tersebut memiliki kondisi yang berbeda satu dengan yang lainnya, baik dari
segi kualitas (kondisi vegetasi dan fisik) maupun dari segi kuantitas (ketebalan).
Ketiga lokasi untuk Kabupaten Bintan adalah Desa Selat Bintan 2, Desa Bintan Buyu,
dan Desa Berakit. Lokasi titik sampel untuk Kabupaten Lingga adalah Desa
Merawang, Desa Musai, dan Desa Pekaka.
Plot pengamatan kerapatan vegetasi mangrove berbentuk persegi dengan
ukuran 20 x 20 m dengan ulangan sebanyak 3 kali. Setiap ulangan ditempatkan di
lokasi dengan kondisi vegetasi yang berbeda. Setiap individu vegetasi mangrove yang
memiliki diameter lebih dari 5 cm dan terdapat di dalam plot dihitung kerapatannya.
Untuk pengamatan jenis dilakukan dengan cara penjelajahan melintasi hutan
mangrove mulai dari pasang terendah sampai pasang tertinggi. Semua jenis yang
ditemui diidentifikasi jenisnya, kemudian dicatat. Semua satwa liar yang ditemui juga

Metode Kajian

12

Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

dicatat. Data vegetasi yang berada di dalam plot pengamatan dicatat jenis, diameter,
tinggi tajuk, tinggi batang bebas cabang, lebar tajuk, dan bentuk tajuk dicatat untuk
kemudian dibuat diagram profil.
Pada setiap lokasi pengamatan juga dicatat aktivitas masyarakat yang ditemui
di lapangan, interaksi masyarakat terhadap hutan mangrove, ancaman terhadap
pengelolaan hutan mangrove, dan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang ada di
sekitar hutan mangrove.

Metode Kajian

13