orientasi pra rekonstruksi Bab4

(1)

Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

BAB I V

K ON DI SI K AWASAN H U T AN

4.1. Pulau Bintan

Pulau Bintan merupakan salah satu pulau yang terletak di Propinsi Kepulauan Riau. Pulau Bintan terdiri dari dua wilayah administratif yaitu Kota Tanjung Pinang dan Kabupaten Bintan. Kawasan hutan yang terdapat di Pulau Bintan pada awalnya terdiri dari hutan lindung, hutan produksi terbatas, hutan mangrove dan hutan konversi dengan luas total 109.701 ha.

- Hutan Lindung seluas 4.355 Ha

- Hutan Produksi Terbatas seluas 34.200 Ha - Hutan Bakau seluas 9.146 Ha - Hutan Konversi dan penggunaan lain seluas 62.000 Ha Jumlah 109.701 Ha


(2)

Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

4%

33%

19% 36%

8%

hutan lindung catchment

hutan produksi terbatas hutan konversi

hutan mangrove Gambar 4.1. Proporsi luasan tiap tipe hutan di Pulau Bintan


(3)

Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

Seiring dengan perkembangan daerah telah terjadi perubahan tipe kawasan hutan berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor: 955/Kpts-II/1992 yang merubah fungsi hutan produksi seluas 12.950 ha hutan dan konversi seluas 21.750 ha yang terletak di kelompok hutan Sungai Jago, S. Ekang, S. Anculai, S. Bintan, S. Kangboi dan S. Kawal Pulau Bintan menjadi kawasan hutan lindung yang selanjutnya dikenal dengan nama kawasan Catchment Area. Dengan demikian tipe kawasan hutan yang ada di Pulau Bintan dapat dikelompokkan menjadi Hutan Lindung (4.355 ha), Catchment Area (37.000 ha), Hutan Produksi Terbatas (21.250 ha), Hutan konversi (40.250 ha), Hutan Mangrove (9.146 ha), dengan total jumlah 112.001 ha. Gambar 4.1. menunjukkan proporsi dan jumlah luasan masing-masing tipe hutan.

Total luasan hutan sebesar 112.001 ha ini di Pulau Bintan tersebar di Kabupaten Bintan dan Kotamadya Tanjung Pinang. Gambar 4.2. menunjukkan distribusi tiap tipe hutan di Pulau Bintan.

Kondisi land cover terkini hutan di Pulau Bintan berdasarkan analisis citra satelit (2006) meliputi hutan primer dataran rendah 3.949 ha, hutan dataran rendah 13.203 ha, hutan mangrove 8.244 ha, tegalan 17.794 ha, semak belukar 57.256 ha, pemukiman 5.812 ha, lahan terbuka 1.795 ha, dan pertambangan 7.845 ha, sehingga total luas Pulau Bintan 115.898 ha (Gambar 4.2). Kondisi penggunaan lahan Pulau Bintan disajikan Tabel 4.1.

Hasil analisis citra menunjukkan bahwa luasan hutan di Pulau Bintan adalah sebesar 25.396 ha, sedangkan luas non hutan adalah sebesar 90.502 ha. Kawasan non hutan di Pulau Bintan telah mencapai 78% dari total luasan di Pulau Bintan.

Tabel 4.1. Luasan Beberapa Tipe Landuse Hasil Analisis Citra Satelit di Pulau Bintan

No Landuse Luas (Ha)

1 Hutan primer dataran rendah 3.949

2 Hutan dataran rendah 13.203

3 Hutan mangrove 8.244

4 Tegalan 17.794

5 Semak belukar 57.256

6 Pemukiman 5.812

7 Lahan terbuka 1.795

8 Pertambangan 7.845


(4)

Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

4.1.1. Hutan Lindung

Kawasan Hutan lindung merupakan salah satu tipe hutan yang memegang peranan penting untuk menyangga kehidupan masyarakat di kota Tanjung Pinang dan Kabupaten Bintan. Meskipun luasnya hanya 4.355 ha tetapi kebedaannya sangat penting untuk kepentingan air minum di kedua kota tersebut sehingga keberadaannya harus tetap dipertahankan

.

Letak hutan lindung tersebar di beberapa tempat yang dengan posisi yang demikian memiliki nilai positif sebagai kawasan untuk penyulai air secara merata di wilayah Pulau Bintan. Hutan lindung di Pulau Bintan terdiri dari:

a. Hutan Lindung Sungai Pulai

Menurut SK penunjukan Mentan No.71/Kpts/UM/1978 Tanggal 1 Desember 1979 dan SK penetapan Menhut No. 424/Kpts -II/1987 Tanggal 28 Desember 1987, HL Sungai Pulai memiliki luas 751.80 ha (Lampiran 5). Menurut SK Kepala Dinas Pertanian, Kehutanan dan Peternakan Provinsi Kepulauan Riau No.525/DPKP/HUT/VIII/41.352 Tanggal 7 Agustus 2006, HL Sungai Pulai memiliki luas 636 ha (Peta Situasi Hutan Pulau Bintan pada Lampiran 1). Kondisi terkini hutan tersebut dapat dilihat pada peta; hampir 50 % kawasan telah menjadi semak belukar, bahkan terdapat pula pertambangan dan tegalan.

Hutan Lindung Sungai Pulai merupakan sumber air Kota Tanjung Pinang (Bendungan S. Pulai) yang dikelola oleh PDAM. Fungsi utama hutan lindung Sungai Pulai adalah sebagai penyangga kelansungan sumber air waduk Sungai Pulai. Sumber air ini merupakan pemasuk utama untuk kebutuhan akan air minum bagi kota Tanjung Pinang, yang dikelola oleh PDAM Tirta Janggi. Kelestarian akan sumber air di waduk Sungai Pulai tergantung oleh keutuhan hutan lindung Sungai Pulai, oleh karena itu diperlukan sinergi dari berbagai lembaga (instansi), khususnya perpaduan antara Dinas Kehutanan dengan Dinas Pengelola air minum atau PDAM setempat.

Berdasarkan keterangan pengelola PDAM, debit air dewasa ini rata rata antara 150 lt per detik sampai dengan 200 lt per detik. Mengingat semakin meningkatnya perkembangan kota Tanjung Pinang, tentu akan diikuti dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, keadaan ini akan diikuti oleh kebutuhan akan sumber air minum yang meningkat.


(5)

Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

Oleh karena itu, perlu dipikirkan untuk usaha meningkatkan debit air minum sesuai dengan kebutuhan masyarakat, paling tidak dapat ditingkatkan mencapai antara 300 lt per detik hingga 400 lt per detik, bahkan bila perlu dapat ditingkatkan mencapai 500 lt per detik.

Untuk mencapai itu, usaha yang paling strategis adalah dengan memperbaiki kawasan hutan lindung Sungai Pulai. Keterlibatan berbagai instansi perlu dilakukan, khususnya Dinas Kehutanan dengan Dinas Pengelola Air Minum atau PDAM, tentu saja untuk keberhasilannya perlu di dukung oleh fihak-fihak lain. Seperti oleh berbagai lembaga di jajaran Pemda, masyarakat luas, dan juga Lembaga Swadaya masyarakat (LSM), dan perlu didukung oleh lembaga Legislatif (DPRD).

b. Hutan Lindung Bukit Kucing

SK Mentan No./Kpts/UM/1978, 1-12-1979 dan SK Menhut No.424/Kpts-II/1987, 28-12-1987 menyebutkan luas Hutan Lindung Bukit Kucing adalah 54.40 ha. Pada Menurut SK Kepala Dinas Pertanian, Kehutanan dan Peternakan Provinsi Kepulauan Riau No.525/DPKP/HUT/VIII/41.352 Tanggal 7 Agustus 2006, HL Bukit Kucing memiliki luasan sebesar 66 ha. Secara umum kondisi hutan masih tertutup oleh hutan primer walaupun telah sedikit berubah.

HL Bukit Kucing berperan untuk melindungi sumber air kebutuhan PLN, dan Taman Wisata Kota Tanjung Pinang, karena lokasinya berada di tengah-tengah Kota Tanjung Pinang.

c. Hutan Lindung Bukit Lengkuas dan Hutan Lindung Gunung Kijang

HL Bukit Lengkuas ditunjuk berdasarkan SK Mentan No.670/Kpts/UM/1978, 1-12-1979 dan ditetapkan dengan SK. Menhut No 424/Kpts-II/1987, 28-12-1987, seluas 1.071,80 ha. Namun berdasarkan SK terbaru (Dinas Pertanian, Kehutanan, dan Peternakan Provinsi Kepulauan Riau) tertuang luasan 646 ha. Sementara itu HL Gunung Kijang ditunjuk dengan SK Mentan No.70/Kpts/UM/1978 1-12-1979 dan ditetapkan berdasarkan SK Menhut No.424/Kpts-II/1987, 28-12-1987 seluas 760 ha. Berdasar data terbaru (SK No.525/DPKP/HUT/VIII/41.352 Tanggal 7 Agustus 2006) tertuang luasan 643 ha. Secara umum sebagian besar kawasan masih berupa hutan primer dan hutan dataran rendah.

HL Bukit Lengkuas dan HL Gunung Kijang merupakan penyedia sumber air untuk Kota Kijang dan Indomoty Produksi air mineral oleh PT. Sanqua dan PT. Bentari.


(6)

Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

d. Hutan lindung Gunung Bintan Kecil dan Bintan Besar

Hutan Lindung Gunung Bintan Kecil ditunjuk dengan SK Mentan No.060/Kpts/UM/1978 Tanggal 1 Desember 1979 dan ditetapkan dengan SK Menhut No.426/Kpts-II/1987 Tanggal 28 Desember 1987 seluas 308 ha. Sedangkan Hutan Lindung Gunung Bintan Besar ditunjuk dan ditetapkan berdasarkan SK Mentan No.701/Kpts/UM/1978, 1-12-1979 dan SK Menhut No.426/Kpts-II/1987, 28-12-1987 Status terakhir kawasan ini adalah sebagai catchment area berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor: 955/Kpts-II/1992. Menurut SK Kepala Dinas Pertanian, Kehutanan, dan Peternakan Provinsi Kepulauan Riau No.525/DPKP/HUT/VIII/41.352 Tanggal 7 Agustus 2006 diketahui luas Hutan Gunung Bintan Kecil adalah 168 ha dan hutan Gunung Bintan Besar 395 ha. Berdasarkan data analisis citra satelit kondisi penutupan lahan masih berupa hutan primer dengan vegetasi yang rapat.

Fungsi utama kawasan Hutan Lindung Gunung Bintan Kecil dan Gunung Bintan Besar adalah sebagai Hutan penyangga Catchmet Area Pulau Bintan.

e. Hutan Lindung Sungai Jago

Penunjukan Hutan Lindung Sungai Jago tertuang dalam SK Mentan No.71/Kpts/UM/1978 Tanggal 1 Desember 1979 dan ditetapkan berdasarkan SK Menhut No.426/Kpts -II/1987 Tanggal 28 Desember 1987. Luas kawasan berdasarkan SK tersebut adalah 1.629,6 ha. Sedangkan menurut SK Kepala Dinas Pertanian, Kehutanan, dan Peternakan Provinsi Kepulauan Riau No.525/DPKP/HUT/VIII/41.352 Tanggal 7 Agustus 2006 kawasan Hutan Lindung Sungai Jago memiliki luas 1.395 ha. Kondisi umum penutupan lahan masih sangat baik berupa hutan orimer yang dominan.

Proses penetapan dan tata batas Hutan Lindung di Pulau Bintan tertera pada Lampiran 5. Sedangkan sebaran, luasan, dan kondisi penutupan lahan masing-masing kawasan hutan lindung dapat dilihat pada Lampiran 1, 2 dan 3.

Hutan dataran rendah Pulau Bintan merupakan hutan hujan tropis dengan komposisi tumbuhan berupa hutan sekunder, sebagian kecil hutan primer dan semak belukar. Hutan primer yang masih alami terdapat di kawasan Hutan Lindung ataupun dijumpai di lahan milik masyarakat. Di beberapa titik seperti misalnya Gunung Bintan Kecil masih terdapat lahan masyarakat yang ditumbuhi formasi hutan hujan tropis yang masih alami. Hutan hujan tropis di Pulau ini mempunyai karakter khas berupa dominasi pohon tiup-tiup. Belum didapat ada data resmi tentang keragaman jenis pohon yang menyusun hutan hujan tropis di wilayah ini.


(7)

Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

Hasil pendataan sementara Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kepulauan Riau menyatakan bahwa di hutan Lindung Pulau Bintan terdapat jenis-jenis seperti Keruing, Meranti, Resak, Jelutung, Semarem, Geronggang, Gaharu, Kempas, Bintangur, Merbulan, Punak.

Gambar 4.4. Formasi vegetasi hutan primer di Pulau Bintan

Hutan sekunder di Pulau Bintan sebagian besar merupakan hutan yang tumbuh dari bekas pembukaan hutan oleh aktivitas penambangan, pemukiman, dan penebangan liar. Permudaan alami dari beberapa jenis pioner berlangsung selama beberapa tahun menciptakan formasi hutan baru berupa hutan sekunder. Upaya penghijauan oleh pemerintah dan masyarakat telah dilakukan dengan jenis-jenis seperti mahoni, meranti, karet, dan akasia (Gambar 4.5). Karet dan akasia merupakan jenis paling diminati karena nilai ekonomis yang tinggi.

Tipe vegetasi semak belukar banyak terdapat di daerah dataran rendah (low land) yang merupakan areal bekas penambangan dan penebangan liar. Kawasan ini memiliki aksesibilitas yang tinggi karena merupakan daerah yang dekat dengan pemukiman dan dilintasi jalan raya. Formasi vegetasi yang ada terdiri atas akasia, paku-pakuan, rumput gajah, resam, dan alang-alang (Gambar 4.5.). Kondisi tanah berupa bauksit dengan kelerengan relatif datar berkisar antara 0–10%. Pada beberapa lokasi terlihat pula semak belukar di daerah up land dengan kelerengan mencapai 40%.


(8)

Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

Gambar 4.5. Formasi vegetasi hutan sekunder di Pulau Bintan

Keberadaan hutan lindung di Pulau Bintan mendapat tekanan yang besar baik untuk kepentingan pertanian, pembangunan sarana dan prasarana, perambahan atau tekanan lahan untuk permukiman, pengembangan kawasan industri, perkebunan maupun tekanan akan sumber daya di dalam kawasan hutan lindung. Permasalahan pada masing-masing kelompok hutan disajikan di bawah ini.

a. HL. Sungai Pulai memiliki permasalahan berupa pemanfaatan lahan untuk perkebunan sawit, kebun karet rakyat, permukiman dalam kawasan yaitu Kampung Suka Damai, Tirto Mulyo, Pondok Pesantren, dan akses jalan yang tinggi.

b. Hutan Lindung Gunung Lengkuas memiliki permasalahan berupa illegal logging, terdapat perkebunan masyarakat, permukiman Batu 20, tambang batu granit. Pemanfaatan sumber daya air hutan lindung ini untuk kebutuhan industri air mineral PT. Sanqua dan PT. Bestari. Hutan dataran rendah merupakan kawasan yang secara geologis mempunyai potensi berbagai macam bahan tambang. Kegiatan eksploitasi berbagai macam bahan tambang seperti, pasir, bauksit dan juga batu granit mudah dijumpai. Sejak masa peralihan kekuasaan pemerintahan orde baru hutan lindung mengalami permasalahan yang sangat berat berupa perambahan lahan yang diikuti dengan berpindahnya atau hilangnya patok-patok tapal batas. Hal ini dipengaruhi oleh dua hal, yaitu: kurang optimalnya pelaksanaan tugas dan wewenang penjagaan dan pengamanan kawasan Hutan Lindung oleh instansi terkait dan semakin meningkatnya tekanan penduduk terhadap lahan.


(9)

Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

Gambar 4.6. Semak belukar di Pulau Bintan

Gambar 4.7. Foto kondisi waduk sungai Pulai

dan hutan lindung Sungai Pulai

Gambar 4.8. Foto permukiman penduduk di hutan lindung Sungai Pulai

c. Hutan lindung Gunung Kijang memiliki permasalahan berupa adanya perkampungan, industri granit, akses jalan yang tinggi, illegal logging. Hutan Lindung Gunung Kijang dan Hutan Lindung Sungai Lengkuas dapat diperkirakan separo luas arealnya telah terambah.

d. Hutan Lindung Gunung Bintan Besar dan Gunung Bintan Kecil, serta Gunung Jago relatif masih terjaga.


(10)

Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

4.1.2.

Catchment Area

Kelompok hutan ini pada dasarnya masuk dalam tipe hutan lindung seperti yang tertera dalam SK Menteri Kehutanan Nomor: 955/Kpts-II/1992, namun istilah cacthment area lebih populer di masyarakat. Kawasan cacthment area memiliki luas 37.000 yang kawasannya berupa lahan milik Negara dan sebagian berupa lahan milik masyarakat. Wilayah cacthment area meliputi 5 DAS yaitu DAS Jago, Ekang-Anculai, Bintan, Kangboi dan Kawal.

Fungsi dari kawasan ini sama seperti fungsi hutan lindung untuk kepentingan tata air bagi masyarakat kota Tanjung Pinang dan Bintan. Sebagai wilayah tangkapan air hujan semestinya kawasan ini memiliki penutupan kawasan yang baik agar fungsinya untuk menampung dan menahan aliran air dapat berfungsi dengan baik. Kepulauan Riau memiliki wilayah daratan hanya 5% dari luas wilayah dan wilayahnya berupa pulau-pulau kecil sehingga pemenuhan kebutuhan air menjadi prioritas untuk diperhatikan dalam rangka penataan wilayah. Perubahan yang kecil dapat menyebabkan timbulnya dampak yang besar. Namun kenyataannya cacthment area mendapat tekanan yang besar dalam beberapa bentuk, antara lain:

a. Areal yang dijadikan cacthment area berupa hutan sekunder yang didominasi oleh kebun karet rakyat, kebun rakyat. Kebun karet dan kebun rakyat dalam peta hasil olahan citra satelit (Lampiran 1) termasuk dalam tipe penutupan hutan dataran rendah.

b. Dalam kawasan akan dibangun ibukota Kabupaten Bintan sehingga konversi lahan akan semakin tinggi seiiring pertumbuhan ibukota kabupaten ke depan. c. Terdapat permukiman penduduk yang sudah lama menetap sebelum kawasan

ditetapkan menjadi cacthment area. Sebagian telah mendapatkan ganti rugi oleh alih kepemilikan lahan, namun sebagian masyarakat belum mendapat ganti rugi. d. Akses yang tinggi dalam kawasan berupa jalan aspal sehingga mendorong tinggi

gangguan berupa illegal logging, dan pemukiman liar.

e. Pemanfaatan lahan untuk menara telkomsel yang tidak melalui proses perjinan pinjam pakai kawasan hutan.

4.1.3. Hutan Mangrove

Berdasarkan data Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi kepulautan Riau tahun 2002 luas total hutan mangrove 32.700 ha. Dari jumlah tersebut Pulau Bintan memiliki hutan mangrove seluas 16.998 ha atau 52% dari total luas hutan mangrove di


(11)

Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

Propinsi Kepulauan Riau. Hutan mangrove tersebut tersebar di dua kecamatan yaitu kecamatan Bintan Timur dan Kecamatan Bintan Utara yang terdiri dari 16 kelompok. Letak hutan mangrove tersebut, sebagian masuk kawasan catchment area sebagian lainnya terletak di luarnya.

Tabel 4.2. Distribusi dan luas hutan mangrove di Pulau Bintan

No Unit Hutan Mangrove Luas (ha) Kecamatan

1. Tanjung Uban 1.845 Bintan Utara 2. Tanjung Siambang 936 Bintan Utara 3. Teluk Sumpat 1.218 Bintan Utara

4. Busung 1.020 Bintan Utara

5. Ekang Anculai 2.520 Bintan Utara 6. Sungai Gesek 1.780 Bintan Timur 7. Tanjung Tangkap 760 Bintan Timur 8. Pulau Dompak 520 Bintan Timur 9. Sungai Dompak 1.140 Bintan Timur 10. Pulau Buton 300 Bintan Timur

11. Kijang 1.888 Bintan Timur

12. Pulau Angkut 143 Bintan Timur 13. Pulau Kelong 720 Bintan Timur 14. Pulau Koyan 683 Bintan Timur 15. Air Palong/P.Mantang 927 Bintan Timur 16. Tanjung Paku 598 Bintan Timur

Luas Total (Ha) 16.998

Kondisi vegetasi mangrove di Pulau Bintan dapat dibagi dalam dua karakter berdasarkan loksi dan formasi vegetasinya, yaitu; mangrove pantai yang berbatasan langsung dengan laut, dan mangrove air payau di daerah muara sungai. Formasi vegetasi mangrove di Pulau Bintan dari laut ke darat terdiri atas Rhizophora, Sonneratia, Bruguiera, dan Xylocarpus (Gambar 4.9).

Rhizophora dominan pada daerah depan diselingi oleh beberapa jenis Sonneratia. Kondisi tanah berpasir di daerah pantai merupakan faktor penyebab terjadinya kombinasi dua jenis vegetasi tersebut. Sementara itu, di daerah muara sungai memiliki keadaan tanah yang sedikit pasir dan bibir pantai yang relatif lebih curam. Formasi vegetasi dari sungai ke arah darat sama dengan daerah pantai, tetapi di daerah muara sungai Sonneratia baru dijumpai pada jarak 15 m hingga 20 m ke daratan. Kemudian baru diikuti Xylocarpus dan Bruguiera serta beberapa vegetasi daratan (Gambar 4.10).


(12)

Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

Gambar 4.9. Sketsa formasi vegetasi mangrove daerah pantai di Pulau Bintan

Gambar 4.10. Formasi vegetasi mangrove daerah muara sungai di Pulau Bintan

Hutan mangrove dicirikan dengan vegetasi yang memiliki perakaran dan cabang-cabang bagian bawah yang terendam air asin sedalam 0,5–1 meter. Sistem perakaran yang khas untuk pertukaran gas diatas tanah yang tergenang air dan kekurangan oksigen, dikenal sebagai pneumatophora (Mann, 1982 dalam Whitten et al., 1987). Masing-masing spesies memiliki karakter batang yang spesifik untuk habitat yang dipengaruhi pasang surut, seperti akar nafas, akar lutut, akar tunjang, akar sauh yang tinggi atau akar kabel yang mendatar di permukaan tanah (Richard,1984; Vallejo, 1989).


(13)

Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

Hutan mangrove di Pulau Bintan memiliki potensi yang besar sebagai sumber perekonomian masyarakat dalam hal pemanfaatan kayu dan pengembangan perikanan. Pemanfaatan kayu mangrove untuk industri arang atau dapur arang telah lama berkembang dan diusahakan oleh masyarakat dan terus meningkat. Ijin pengusahaan panglong arang tahun 2004 berjumlah 10 ijin pengusahaan panglong arang dengan target produksi 4.980 m3, tahun 2005 ada 11 ijin dengan target produksi 6180 m3, dan pada tahun 2006 meningkat menjadi 20 ijin pengusahaan arang dan target produksi lebih dari 6380 m3. Luas yang terbatas dengan target produksi yang tinggi akan menyebabkan laju kerusakan mangrove yang cepat.

Industri arang ini mempunyai nilai strategis yang cukup tinggi. Jika dapat dikelola secara berkelanjutan maka panglong arang merupakan industri ramah lingkungan yang patut dijaga dan ditingkatkan kualitas pengelolaannya. Dari industri ini dipungut berbagai pungutan resmi dari pemerintah. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 859/Kpts-II/1999 tentang Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) Per Satuan Hasil Hutan Bukan Kayu sebesar, Panglong arang dipungut biaya sebesar Rp. 32.000, per ton arang yang dihasilkan. Panglong arang juga menggunakan kayu sebagai bahan bakar sehingga dikenai provinsi sebesar Rp. 1.500 per SM (staple meter) kayu bakar yang digunakan. Selain itu, pihak Pemerintah Daerah juga akan memberlakukan sebuah perda tentang restribusi hasil hutan sebesar Rp. 100.000 per ton arang dan Rp. 16.500 per SM kayu bakar.

Kegiatan tambak dengan membuka hutan mangrove belum banyak dilakukan di Kabupatan Bintan. Pada umumnya masyarakat lebih sering menggunakan keramba dalam melakukan budidaya ikan. Meskipun demikian, aktivitas pembukaan hutan mangrove untuk dijadikan lokasi tambak sudah mulai dilakukan. Hal ini terlihat di kawasan Sungai Tiram, desa Penaga, Teluk bintan. Kegiatan pembalakan juga terjadi di kawasan hutan mangrove di Kabupaten Bintan. Pembalakan ini terjadi dengan cara masyarakat membagi kawasan mangrove menjadi tanah kapling. Tanah tersebut kemudian dialihfungsikan menjadi kawasan perkebunan maupun kawasan pemukiman. Alih fungsi kawasan mangrove menjadi kawasan perkebunan (pisang dan nanas) dapat ditemukan di Sungai Tiram, sedangkan alih fungsi kawasan mangrove menjadi kawasan pemukinan dapat ditemukan di Selat Bintan.

Permasalahan lain yang terdapat di kawasan mangrove berupa pemanfaatan untuk kegiatan tambang bauksit. Aktivitas tambang bouksit untuk pengolahan, penampungan limbah tailing, aktivitas pengangkutan turut andil terjadi kerusakan mangrove. Kegiatan tambang di Kabupaten Bintan secara umum merugikan kawasan


(14)

Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

hutan mangrove. Kawasan tambang yang memiliki lokasi di atas kawasan hutan mangrove memberikan dampak negatif dengan pencemaran air yang dipergunakan untuk proses tailing. Akibat pencemaran tersebut, hutan mangrove yang berada di sekitar lokasi tailing menjadi layu, kering dan kemudian mati. Hal ini seperti yang terjadi di kawasan tambang Teluk Bintan. Gambar 4.13 menunjukkan kerusakan hutan mangrove akibat aktivitas pertambangan khusunya tailing.

a b

Gambar 4.11. Tanaman mangrove; a. Rhizophora; b. Sonneratia

Gambar 4.12. Foto pembukaan hutan mangrove untuk lokasi tambak di Sungai Tiram, P. Bintan

Gambar 4.13. Vegetasi mangrove yang kering di lokasi tailing


(15)

Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

Selain itu penimbunan kawasan mangrove untuk lokasi pengangkutan bahan hasil tambang juga sangat merugikan karena merusak hutan mangrove dan mengakibatkan hutan mangrove yang juga digunakan sebagai habitat satwa liar menjadi terfragmentasi. Habitat yang terganggu kan menyebabkan adanya reduksi populasi terhadap satwa liar terutama mamalia besar yang membutuhkan daerah jelajah yang luas, untuk kawasan hutan mangrove di Kabupaten Bintan adalah jenis primata. Terjadinya fragmentasi juga menjadi pemicu adanya kegiatan perburuan terhadap satwa liar karena akses menjadi lebih mudah. Hal ini terbukti di daerah Tanjung Mamboi, pegawai tambang biasa beberburu satwa liar untuk dimakan.

Gambar 4.14. Foto kegiatan penimbunan mangrove di kawasan mangrove Desa Kelong

Gambar 4.15. Foto pemanfaatan kawasan mangrove

sebagai tempat pengolahan bouksit dan penampungan limbah tailing

Kegiatan reklamasi terhadap area bekas tambang juga dilakukan. Usaha ini terlihat dengan adanya pembuatan lokasi persemaian oleh salah satu perusahaan tambang. Vegetasi yang digunakan untuk reklamasi tersebut adalah mahoni (Swetenia mahagoni). Namun usaha ini banyak mengalami kegagalan karena minimnya data mengenai kesesuaian lahan terhadap tanaman yang akan ditanam.


(16)

Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

Meskipun demikian tidak semua aktivitas pengolahan bauksit merusak mangrove dalam jumlah luas. Pengolahan limbah di Gunung Siung menjadi contoh yang baik dengan membuat 6 sampai 7 kolam pengolahan limbah tailing dan selanjutnya air limbah tersebut dipakai lagi dalam proses pengolahan pemisahan biji bouksit. Sistem daur ulang limbah ini dapat memperkecil resiko kerusakan mangrove dalam jumlah yang luas, seperti tertera pada gambar di bawah ini.

4.2.

Kabupaten Lingga

Kabupaten Lingga meliputi tiga pulau utama yaitu Pulau Lingga, Pulau Singkep dan Pulau Senayang. Pulau Lingga secara administratif dibagi dalam dua kecamatan yaitu Kecamatan Lingga dan Kecamatan Lingga Utara, Pulau Singkep dibagi menjadi Kecamatan Singkep dan Kecamatan Singkep Barat, sedangkan Pulau Senayang hanya masuk dalam Kecamatan Senayang.

Berdasarkan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Kabupaten Lingga tahun 2005-2015, kawasan hutan di Kabupaten Lingga mempunyai total luasan sebesar 69.266,93 ha atau 32,66% dari seluruh tipe penggunaan lahan di kabupaten ini. Kawasan hutan menempati posisi kedua setelah tipe penggunaan lahan lainnya sebesar 111.925,00 (52.78%). Tabel 4.3. menunjukkan tipe penggunaan lahan, luas dan proporsi antar tipe penggunaan lahan di kabupaten Lingga berdasarkan RUTR kabupaten Lingga tahun 2005-2015.

Tabel 4.3. Tipe penggunaan lahan, luas dan proporsi antar tipe penggunaan lahan di kabupaten Lingga

No Jenis Luas (Ha) Prosentase (%)

1. Hutan 69.266,93 32,81

2. Perkebunan 23.880,00 11,31

3. Pertanian 750,75 0.36

4. Pertambangan 1.084,86 0.51

5. Industri 139,00 0,06

6. Pemukiman 4.066,50 1,92

7. Lain-lain 111.925,00 53,02

TOTAL 211113.04 100,00

Sumber: RUTR 2005-2015 kabupaten Lingga

Dari total luasan hutan yang ini dibagi menjadi tiga tipe kawasan hutan yaitu kawasan hutan lindung, kawasan hutan produksi dan kawasan hutan mangrove. Berdasarkan sumber data yang sama, ketiga kawasan ini menunjukkan bahwa


(17)

Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

kawasan hutan lindung memiliki luasan terbesar (37.505 Ha) diikuti dengan kawasan hutan produksi (28.328,93 Ha) dan kawasan hutan Mangrove (2.435). Proporsi ketiga tipe kawasan hutan ini disajikan dalam Gambar 4.16.

Gambar 4.16. Grafik proporsi kawasan hutan Lindung, hutan Produksi dan hutan Mangrove di Kabupaten Lingga.

(Sumber : RUTR Kabupaten Lingga 2005-2015)

Gambar 4.17. Distribusi tiap tipe hutan lindung di Pulau Lingga Kabupaten Lingga Hutan Lindung

55%

Hutan Produksi 41%

Hutan Mangrove 4%


(18)

Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

4.2.1. Pulau Lingga

Berdasarkan analisis citra satelit, kondisi umum kawasan hutan Pulau Lingga masih sangat baik, sebagian besar berupa hutan dataran rendah. Hutan primer masih cukup luas di beberapa daerah pegunungan (Gambar 4.17).

Data luasan tiap tipe land use (Tabel 4.4), menunjukkan dominasi hutan dataran rendah terjadi di seluruh kawasan. Pulau Lingga memiliki luas 85.517 ha yang terbagi menjadi beberapa tipe penutupan lahan, antara lain; hutan dataran rendah 73.250 ha, hutan dataran tinggi 7.361 ha, hutan mangrove 2.334 ha, lahan terbuka 103 ha, pemukiman 385 ha, perkebunan 189 ha, semak belukar 1.403 ha, dan tegalan 492 ha.

Tabel 4.4. Luasan Beberapa Tipe Landuse Hasil Analisis Citra Satelit di Pulau Lingga

No Landuse Luas (Ha)

1 Hutan dataran tinggi (hutan primer) 7.361

2 Hutan dataran rendah 73.250

3 Hutan mangrove 2.334

4 Tegalan 492

5 Semak belukar 1.403

6 Pemukiman 385

7 Lahan terbuka 103

8 Perkebunan 189

Luas Pulau Lingga 85.517

4.2.1.1. Hutan Lindung

Hutan Lindung Gunung Daik di Pulau Lingga telah ditetapkan berdasarkan SK Kepala Daerah Tingkat I Riau No. Kpts. 96/III/1998/tanggal 23Maret 1998, dengan luas 14.557,54 Ha. Namun sebelumnya, SK Penunjukan No. 671/XII/78, hutan Lindung Gunung Daik tertulis 49.000 ha. Data spasial yang ada adalah TGHK 1985 yang membagi hutan menjadi hutan lindung, hutan produksi terbatas, dan mangrove. Hal ini menyebabkan penyajian data spasial tentang Hutan Lindung Gunung Daik belum dapat ditampilkan (Lampiran 2).

Kawasan hutan ini terletak di daerah Gunung Daik, yang merupakan Gunung tertinggi di Pulau Lingga, sekitar 1206 m, dari permukaan laut. Permasalahan yang ada pada hutan ini adalah belum jelasnya tata-batas kawasan, adanya kebun-kebun penduduk yang berada di dalam hutan dan illegal loging.

Potensi obyek wisata alam yang menonjol adalah air terjun Sungai Resun yang juga sangat bermanfaat bagi masyarakat baik untuk air minum. Potensi lain yang


(19)

Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

bisa dikembangkan di kawasan ini adalah industri air mineral dan pembangkit listrik tenaga uap. Potensi hasil hutan non kayu seperti buah-buahan dan getah merah juga sangat tinggi.

4.2.1.2. Hutan Produksi Terbatas dan Mangrove

Hutan Produksi Terbatas (HPT) pada saat ini tidak lagi dijalankan walaupun statusnya masih tetap berdasarkan TGHK 1984. Hutan ini pada awalnya dikelola oleh Perusahaan HPH PT. Pulai Lingga Coy. Kondisi hutan mangrove di Pulau Lingga relatif masih baik dan utuh, kondisi ini jauh lebih baik daripada Pulau Bintan. Berdasarkan SK Penunjukan No. 671/XII/78 terdapat tiga kawasan hutan produksi terbatas dan hutan bakau seluas 24.099 ha, terdiri atas; Tengkis (4.356 ha), Tanjung Duara (2.314 ha), dan Sungai Mengkuding (1.429 ha). Kawasan mangrove di kabupaten ini juga sudah mengalami pengelolaan oleh masyarakat yang tinggal di sekitarnya, meliputi panglong, tambang, tambak, pembalakan dan industri sagu.

4.2.2. Pulau Singkep


(20)

Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

Tipe-tipe hutan yang dapat ditemukan di Pulau Singkep adalah hutan lindung, hutan produksi terbatas, dan hutan mangrove. Kondisi penutupan lahan adalah berupa; hutan dataran rendah 62.854 ha, hutan dataran tinggi 558 ha, hutan primer 5.391 ha, hutan mangrove 1.939 ha, lahan terbuka 1.037 ha, pemukiman 649 ha, semak belukar 3.728 ha, dan tegalan 1.540 ha (Tabel 4.5). Berdasarkan hasil analisis citra (Gambar 4.18), luas total Pulau singkep adalah 77.696 ha. Pulau Singkep masih didominasi oleh hutan (92,26%) baik berupa hutan dataran rendah, hutan mangrove dan hutan lereng gunung. Hal ini menunjukkan bahwa kawasan hutan di Pulau Singkep masih relatif baik.

Tabel 4.5. Luasan Beberapa Tipe Landuse Hasil Analisis Citra Satelit di Pulau Singkep

No Landuse Luas (Ha)

1 Hutan primer 5.391

2 Hutan dataran tinggi 558

3 Hutan dataran rendah 62.854

4 Hutan mangrove 1.939

5 Tegalan 1.540

6 Semak belukar 3.728

7 Pemukiman 649

8 Lahan terbuka 1.037

Luas Pulau Singkep 77.696

Pulau Singkep masih didominasi oleh kawasan yang berhutan baik berupa hutan primer, hutan dataran tinggi, hutan dataran rendah, maupun hutan mangrove. Hal ini menunjukkan bahwa kawasan hutan di pulau ini dapat dikatakan masih relatif baik.

4.1.3.1. Hutan Lindung

Hutan lindung di pulau Singkep berjumlah dua buah yaitu hutan lindung Gunung Lanjut dan hutan lindung Gunung Muncung. Kedua kawasan ini sebagian besar terletak di kecamatan Singkep.

Data luasan kawasan hutan lindung Gunung Lanjut dan hutan lindung Gunung Muncung mempunyai beberapa sumber yang menyebutkan luasan yang berbeda satu sama lainnya. Dua sumber utama yang dijadikan reference pada kajian ini adalah berdasarkan RUTR kabupaten Lingga 2005-2015 dan Keputusan Kepala Daerah Tingkat I Riau No. Kpts.96/III/1998 tanggal 23 Maret 1998. Kedua versi data disajikan dalam tabel Luasan kawasan hutan lindung di Pulau Singkep Kabupaten Lingga berdasarkan sumber data yang ada.


(21)

Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

Tabel 4.6. Luasan kawasan hutan lindung di Pulau Singkep Kabupaten Lingga berdasarkan sumber data yang ada

Luas Hutan tiap sumber data (ha) Nama Hutan Lindung RUTR kab. Lingga 2005-2015 Keputusan Kepala Daerah Tingkat I Riau

No. Kpts.96/III/1998

Selisih luasan hutan

(ha)

1. Gunung Lanjut 3.600 4.957 1.357

2. Gunung Muncung 2.325 1.700 625

TOTAL 5.925 6.657 1.982

Meskipun merupakan data yang baru, data yang dipergunakan oleh RUTR kabupaten Lingga 2005-2015 adalah SK Penunjukkan No.1015/XII/1984. Hal ini menunjukkan bahwa hingga saat ini masih ada dua versi data luasan kawasan hutan lindung. Untuk melakukan pengelolaan hutan yang baik,maka data dasar semacam ini harus di tetapkan secara konsisten.

Salah satu potensi di Pulau Singkep adalah adanya air terjun Batu Ampar. Potensi wisata alam ini telah dan sedang di kembangkan oleh pemerintah setempat, sebagai salah satu bentuk pemanfaatan jasa lingkungan.

Obyek wisata ini telah memiliki sarana dan prasarana penunjang di di dalamnya (seperti terlihat di atas). Pengelolaan yang terencana dengan baik sebenarnya bisa mengoptimalkan pendapatan dari obyek wisata alam ini. Namun yang menjadi permasalahan adalah ketika debit air tidak ada lagi yang mengalir di sugai Batuampar, padahal air disini menjadi obyek utama wisata ini. Dan terlihat sekali bahwa air yang mengalir di air terjun batu ampar ini berasal dari hutan di atasnya. Sehingga sudah seharusnya pengelolaan wisata alam ini tidak dapat dilepaskan dari hutan yang ada di atasnya sebagai penyedia air.

Beberapa jenis fauna masih yang terdapat (hasil wawancara dengan masyarakat sekitar hutan) di hutan Gunung Muncung dan hutan Gunung Lanjut masih terdapat beberapa fauna diantaranya: Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), Babi hutan (Sus scrofa), Lutung hitam (Trachipithecus auratus), Kancil (Trangulus javanicus), Biawak (Varanus salvator). Beberapa jenis burung yang di jumpai selama pengamatan adalah Tekukur (Streptopelia chinensis), Cekakak sungai (Todirhampus chloris), Elang laut perut putih (Haliaeetus leucogaster), dan Elang bondol (Haliastur Indus).


(22)

Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

Ada beberapa faktor utama yang menyebabkan kawasan hutan lindung di Pulau Singkep tidak sepenuhnya merupakan kawasan berupa hutan. Faktor-faktor tersebut adalah:

a. Kawasan hutan lindung adalah kawasan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan lindung. Hal ini berimplikasi apabila dasar penetapan tidak memperhatikan kondisi riil di lapangan, maka secara otomatis kawasan ini tidak sepenuhnya berupa hutan.

b. Pembangunan infrastruktur berupa jalan raya yang yang menghubungkan pelabuhan Dabo dan pelabuhan Jago menyebabkan kedua kawasan yang relatif kompak ini terpecah menjadi dua kawasan. Akibat lebih lanjut adalah berkurangnya luasan hutan di kedua kawasan hutan lindung tersebut. Gambar 4.23 menunjukkan jalan raya yang membelah Hutan Lindung Gunung Muncung dan Hutan Lindung Gunung Lanjut di daerah batu runcing.

c. Tambang timah yang merupakan kawasan “open mining” di kawasan Hutan Lindung Gunung Lanjut dan Gunung Muncung mengakibatkan banyak lokasi yang terbuka dan tidak memiliki tutupan lahan berupa hutan. Dengan terbukanya kawasan hutan lindung, maka semakin besar run-off yang dihasilkan dari air hujan, yang juga membawa partikel tanah. Akibat lebih lanjut adalah terdegradasinya tanah akibat erosi dan akhirnya menyisakan kawasan tanah kritis.

d. Perambahan kawasan hutan untuk kegiatan pertanian menyebabkan semakin sempitnya luas hutan yang ada di kawasan Hutan Lindung Gunung Muncung dan Hutan Lindung Gunung Lanjut. Beberapa kawasan yang telah dirambah saat ini di tanami jenis-jenis tanaman perkebunan buah seperti Nanas dan Pisang. Berdasarkan informasi dari masyarakat setempat, beberapa jenis kayu yang terdapat di kawasan ini diantaranya; Bintangur (Calophyllum spp), Punak, Tiup-tiup (Adinandra dumosa), Riang-rian (Ploiarium altermifolium) Tempinis, Dedaru, Kapur, Tembesu, Meranti (Shorea spp) dan lain sebagainya. Masyarakat di beberapa desa sekitar hutan Gunung Lanjut dan Gunung Muncung juga menanami lahan di sekitarnya dengan tanaman kayu keras seperti Jati (Tectona grandis), budidaya Merica dan Durian sebagai sumber ekonomi alternatif bagi masyarakat. Tidak terlihat (jarang) adanya pertanian intensif di Pulau Singkep, hal ini karena kondisi tanah dan air yang tidak memungkinkan untuk upaya pertanian intensif. Gambar 4.24 menunjukkan kawasan Hutan Lindung Gunung Lanjut yang dirambah oleh masyarakat sekitarnya.


(23)

Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

Gambar 4.19. Potensi wisata alam (air terjun) yang telah dikembangkan di Batuampar, Singkep

Gambar 4.20. Kawasan lahan kritis akibat adanya aktivitas penambangan timah di Pulau Singkep

Gambar 4.21. Perambahan yang terjadi di Hutan Lindung Gunung Lanjut


(24)

Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

4.1.3.1. Hutan Produksi

Secara umum kondisi hutan produksi di kawasan Pulau Singkep mirip dengan Pulau Lingga. Meskipun dengan status Hutan Produksi, akan tetapi kawasan hutan di Pulau Singkep tidak lagi dikelola oleh pihak swasta seperti HPH atau HPH HTI.

4.1.3.2.

Hutan Mangrove

Persebaran dan luasan hutan produksi di pulau Singkep disajikan dalam bentuk table berikut;

Tabel 4.7. Nama kelompok hutan luasan dan dasar hukum kawasan di Pulau Singkep

No Kelompok Hutan Luas (Ha) Keterangan

1 Teluk Sekanak 2.435 RPH Dabo 2 Pulau Bakung 1 1.050 RPH Dabo 3 Pulau Bakung 2 927 RPH Dabo Sumber : RUTR Kabupaten Lingga 2005-2015

Sungai Pana adalah kawasan ekosistem pasang surut yang mempunyai vegetasi mangrove di kanan kiri sungai. Beberapa vegetasi mangrove yang terdapat di sungai ini antara lain jenis Rizophora, Sonneratia, dan Avicennia. Pemanfaatan ekosistem mangrove oleh masyarakat sekitar Sungai Pana adalah, sebagai tempat mencari ikan dan beberapa lokasi digunakan sebagai pelabuhan nelayan dan juga pelabuhan umum terutama di Jago.


(1)

Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

bisa dikembangkan di kawasan ini adalah industri air mineral dan pembangkit listrik tenaga uap. Potensi hasil hutan non kayu seperti buah-buahan dan getah merah juga sangat tinggi.

4.2.1.2. Hutan Produksi Terbatas dan Mangrove

Hutan Produksi Terbatas (HPT) pada saat ini tidak lagi dijalankan walaupun statusnya masih tetap berdasarkan TGHK 1984. Hutan ini pada awalnya dikelola oleh Perusahaan HPH PT. Pulai Lingga Coy. Kondisi hutan mangrove di Pulau Lingga relatif masih baik dan utuh, kondisi ini jauh lebih baik daripada Pulau Bintan. Berdasarkan SK Penunjukan No. 671/XII/78 terdapat tiga kawasan hutan produksi terbatas dan hutan bakau seluas 24.099 ha, terdiri atas; Tengkis (4.356 ha), Tanjung Duara (2.314 ha), dan Sungai Mengkuding (1.429 ha). Kawasan mangrove di kabupaten ini juga sudah mengalami pengelolaan oleh masyarakat yang tinggal di sekitarnya, meliputi panglong, tambang, tambak, pembalakan dan industri sagu.

4.2.2. Pulau Singkep


(2)

Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

Tipe-tipe hutan yang dapat ditemukan di Pulau Singkep adalah hutan lindung, hutan produksi terbatas, dan hutan mangrove. Kondisi penutupan lahan adalah berupa; hutan dataran rendah 62.854 ha, hutan dataran tinggi 558 ha, hutan primer 5.391 ha, hutan mangrove 1.939 ha, lahan terbuka 1.037 ha, pemukiman 649 ha, semak belukar 3.728 ha, dan tegalan 1.540 ha (Tabel 4.5). Berdasarkan hasil analisis citra (Gambar 4.18), luas total Pulau singkep adalah 77.696 ha. Pulau Singkep masih didominasi oleh hutan (92,26%) baik berupa hutan dataran rendah, hutan mangrove dan hutan lereng gunung. Hal ini menunjukkan bahwa kawasan hutan di Pulau Singkep masih relatif baik.

Tabel 4.5. Luasan Beberapa Tipe Landuse Hasil Analisis Citra Satelit di Pulau Singkep

No Landuse Luas (Ha)

1 Hutan primer 5.391

2 Hutan dataran tinggi 558

3 Hutan dataran rendah 62.854

4 Hutan mangrove 1.939

5 Tegalan 1.540

6 Semak belukar 3.728

7 Pemukiman 649

8 Lahan terbuka 1.037

Luas Pulau Singkep 77.696

Pulau Singkep masih didominasi oleh kawasan yang berhutan baik berupa hutan primer, hutan dataran tinggi, hutan dataran rendah, maupun hutan mangrove. Hal ini menunjukkan bahwa kawasan hutan di pulau ini dapat dikatakan masih relatif baik.

4.1.3.1. Hutan Lindung

Hutan lindung di pulau Singkep berjumlah dua buah yaitu hutan lindung Gunung Lanjut dan hutan lindung Gunung Muncung. Kedua kawasan ini sebagian besar terletak di kecamatan Singkep.

Data luasan kawasan hutan lindung Gunung Lanjut dan hutan lindung Gunung Muncung mempunyai beberapa sumber yang menyebutkan luasan yang berbeda satu sama lainnya. Dua sumber utama yang dijadikan reference pada kajian ini adalah berdasarkan RUTR kabupaten Lingga 2005-2015 dan Keputusan Kepala Daerah Tingkat I Riau No. Kpts.96/III/1998 tanggal 23 Maret 1998. Kedua versi data disajikan dalam tabel Luasan kawasan hutan lindung di Pulau Singkep Kabupaten Lingga


(3)

Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

Tabel 4.6. Luasan kawasan hutan lindung di Pulau Singkep Kabupaten Lingga berdasarkan sumber data yang ada

Luas Hutan tiap sumber data (ha) Nama Hutan Lindung RUTR kab. Lingga 2005-2015 Keputusan Kepala Daerah Tingkat I Riau

No. Kpts.96/III/1998

Selisih luasan hutan

(ha)

1. Gunung Lanjut 3.600 4.957 1.357

2. Gunung Muncung 2.325 1.700 625

TOTAL 5.925 6.657 1.982

Meskipun merupakan data yang baru, data yang dipergunakan oleh RUTR kabupaten Lingga 2005-2015 adalah SK Penunjukkan No.1015/XII/1984. Hal ini menunjukkan bahwa hingga saat ini masih ada dua versi data luasan kawasan hutan lindung. Untuk melakukan pengelolaan hutan yang baik,maka data dasar semacam ini harus di tetapkan secara konsisten.

Salah satu potensi di Pulau Singkep adalah adanya air terjun Batu Ampar. Potensi wisata alam ini telah dan sedang di kembangkan oleh pemerintah setempat, sebagai salah satu bentuk pemanfaatan jasa lingkungan.

Obyek wisata ini telah memiliki sarana dan prasarana penunjang di di dalamnya (seperti terlihat di atas). Pengelolaan yang terencana dengan baik sebenarnya bisa mengoptimalkan pendapatan dari obyek wisata alam ini. Namun yang menjadi permasalahan adalah ketika debit air tidak ada lagi yang mengalir di sugai Batuampar, padahal air disini menjadi obyek utama wisata ini. Dan terlihat sekali bahwa air yang mengalir di air terjun batu ampar ini berasal dari hutan di atasnya. Sehingga sudah seharusnya pengelolaan wisata alam ini tidak dapat dilepaskan dari hutan yang ada di atasnya sebagai penyedia air.

Beberapa jenis fauna masih yang terdapat (hasil wawancara dengan masyarakat sekitar hutan) di hutan Gunung Muncung dan hutan Gunung Lanjut masih terdapat beberapa fauna diantaranya: Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), Babi hutan (Sus scrofa), Lutung hitam (Trachipithecus auratus), Kancil (Trangulus javanicus), Biawak (Varanus salvator). Beberapa jenis burung yang di jumpai selama pengamatan adalah Tekukur (Streptopelia chinensis), Cekakak sungai (Todirhampus chloris), Elang laut perut putih (Haliaeetus leucogaster), dan Elang bondol (Haliastur Indus).


(4)

Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

Ada beberapa faktor utama yang menyebabkan kawasan hutan lindung di Pulau Singkep tidak sepenuhnya merupakan kawasan berupa hutan. Faktor-faktor tersebut adalah:

a. Kawasan hutan lindung adalah kawasan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan lindung. Hal ini berimplikasi apabila dasar penetapan tidak memperhatikan kondisi riil di lapangan, maka secara otomatis kawasan ini tidak sepenuhnya berupa hutan.

b. Pembangunan infrastruktur berupa jalan raya yang yang menghubungkan pelabuhan Dabo dan pelabuhan Jago menyebabkan kedua kawasan yang relatif kompak ini terpecah menjadi dua kawasan. Akibat lebih lanjut adalah berkurangnya luasan hutan di kedua kawasan hutan lindung tersebut. Gambar 4.23 menunjukkan jalan raya yang membelah Hutan Lindung Gunung Muncung dan Hutan Lindung Gunung Lanjut di daerah batu runcing.

c. Tambang timah yang merupakan kawasan “open mining” di kawasan Hutan Lindung Gunung Lanjut dan Gunung Muncung mengakibatkan banyak lokasi yang terbuka dan tidak memiliki tutupan lahan berupa hutan. Dengan terbukanya kawasan hutan lindung, maka semakin besar run-off yang dihasilkan dari air hujan, yang juga membawa partikel tanah. Akibat lebih lanjut adalah terdegradasinya tanah akibat erosi dan akhirnya menyisakan kawasan tanah kritis.

d. Perambahan kawasan hutan untuk kegiatan pertanian menyebabkan semakin sempitnya luas hutan yang ada di kawasan Hutan Lindung Gunung Muncung dan Hutan Lindung Gunung Lanjut. Beberapa kawasan yang telah dirambah saat ini di tanami jenis-jenis tanaman perkebunan buah seperti Nanas dan Pisang. Berdasarkan informasi dari masyarakat setempat, beberapa jenis kayu yang terdapat di kawasan ini diantaranya; Bintangur (Calophyllum spp), Punak, Tiup-tiup

(Adinandra dumosa), Riang-rian (Ploiarium altermifolium) Tempinis, Dedaru,

Kapur, Tembesu, Meranti (Shorea spp) dan lain sebagainya. Masyarakat di

beberapa desa sekitar hutan Gunung Lanjut dan Gunung Muncung juga menanami lahan di sekitarnya dengan tanaman kayu keras seperti Jati (Tectona grandis), budidaya Merica dan Durian sebagai sumber ekonomi alternatif bagi masyarakat. Tidak terlihat (jarang) adanya pertanian intensif di Pulau Singkep, hal ini karena kondisi tanah dan air yang tidak memungkinkan untuk upaya pertanian intensif. Gambar 4.24 menunjukkan kawasan Hutan Lindung Gunung Lanjut yang dirambah


(5)

Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

Gambar 4.19. Potensi wisata alam (air terjun) yang telah dikembangkan di Batuampar, Singkep

Gambar 4.20. Kawasan lahan kritis akibat adanya aktivitas penambangan timah di Pulau Singkep

Gambar 4.21. Perambahan yang terjadi di Hutan Lindung Gunung Lanjut


(6)

Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

4.1.3.1. Hutan Produksi

Secara umum kondisi hutan produksi di kawasan Pulau Singkep mirip dengan Pulau Lingga. Meskipun dengan status Hutan Produksi, akan tetapi kawasan hutan di Pulau Singkep tidak lagi dikelola oleh pihak swasta seperti HPH atau HPH HTI.

4.1.3.2.

Hutan Mangrove

Persebaran dan luasan hutan produksi di pulau Singkep disajikan dalam bentuk table berikut;

Tabel 4.7. Nama kelompok hutan luasan dan dasar hukum kawasan di Pulau Singkep

No Kelompok Hutan Luas (Ha) Keterangan

1 Teluk Sekanak 2.435 RPH Dabo 2 Pulau Bakung 1 1.050 RPH Dabo 3 Pulau Bakung 2 927 RPH Dabo Sumber : RUTR Kabupaten Lingga 2005-2015

Sungai Pana adalah kawasan ekosistem pasang surut yang mempunyai vegetasi mangrove di kanan kiri sungai. Beberapa vegetasi mangrove yang terdapat di sungai ini antara lain jenis Rizophora, Sonneratia, dan Avicennia. Pemanfaatan ekosistem mangrove oleh masyarakat sekitar Sungai Pana adalah, sebagai tempat mencari ikan dan beberapa lokasi digunakan sebagai pelabuhan nelayan dan juga pelabuhan umum terutama di Jago.