KONSELING KELUARGA DENGAN HUMAN VALIDATION PROCESS MODEL UNTUK MENINGKATKAN PROSOSIAL ANAK DALAM KELUARGA DI DESA KEMBANG KUNING KERAMAT II SURABAYA.
KONSELING KELUARGA DENGAN HUMAN VALIDATION PROCESS MODEL UNTUK MENINGKATKAN PROSOSIAL ANAK DALAM KELUARGA DI DESA KEMBANG KUNING KERAMAT II SURABAYA
SKRIPSI
Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Memperoleh Gelar
Sarjana Sosial (S.Sos)
OLEH : UMMY HABIBAH
B53213074
PROGRAM STUDI BIMBINGAN KONSELING ISLAM JURUSAN DAKWAH
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA 2017
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
ABSTRAKSI
Ummy Habibah (B53213074), konseling Keluarga dengan Human Validation Process Model dalam Meningkatkan Prosoial Anak dalam Keluarga di Kembang Kuning Keramat II Surabaya.
Fokus penelitian adalah (1) Apakah penyebab rendahnya prososial anak dalam keluarga di Kembang Kuning Keramat II? (2) Bagaimana proses konseling dengan human validation process model dalam kasus meningkatkan prososial anak dalam keluarga di Kembang Kuning Keramat II Surabaya? (3) Bagaimana hasil akhir konseling keluarga dengan human validation process model dalam kasus meningkatkan prososial anak dalam keluarga di Kembang Kuning Keramat II Surabaya?
Dalam menjawab permasalah tersebut, penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan analisa deskriptif komparatif. Dalam menganalisa penyebab rendahnya prososial anak dalam keluarga. Data yang digunakan berupa hasil observasi yang disajikan dalam bab penyajian data dan analisa data. Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penyebab rendahnya prososial anak dalam keluarga diantaranya adalah orangtua konseli tidak memberikan konseli kesempatan untuk mengutarakan keinginannya (honest), konseli memberontak karena tidak dapat mengutarakan keinginannya, orangtua tidak mengajarkan berperilaku prososial (modelling). Dalam penelitian ini, konseling keluarga menggunakan pendekatan human validation process model dimana konseli diharapkan dapat membangun komunikasi positif sebagai salah satu syarat interaksi positif sehingga perilaku prososial dapat ditingkatkan. Hasil akhir dari penelitian melalui proses konseling keluarga dengan human validation process model cukup berhasil dengan prosentase 66,7%, yang mana hasil tersebut dapat dilihat dari adanya perubahan pada sikap atau perilaku konseli yang kurang baik mulai menjadi lebih baik.
(7)
DAFTAR ISI
COVER ... i
PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ... iii
MOTTO ... iv
PERSEMBAHAN ... v
PERNYATAAN OTENTISITAS SKRIPSI ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR BAGAN ... xv
BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Manfaat Penelitian ... 6
E. Definisi Konsep ... 6
F. Metode Penelitian ... 13
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 13
2. Subjek Penelitian ... 13
3. Tahap-Tahap Penelitian ... 14
4. Jenis dan Sumber Data ... 15
5. Teknik Pengumpulan Data ... 17
6. Teknik Analisis Data ... 19
7. Teknik Keabsahan Data... 19
G. Sistematika Pembahasan ... 21
BAB II: KONSELING KELUARGA, HUMAN VALIDATION PROCESS MODEL, PROSOSIAL A. Konseling Keluarga ... 22
1. Konseling Keluarga ... 22
a. Definisi Konseling Keluarga ... 22
b. Permasalahan Dalam Keluarga ... 27
c. Peranan Konselor Dalam Konseling Keluarga ... 30
(8)
2. Human Validation Process Model ... 31
a. Konsep Dasar ... 31
b. Tujuan Terapi ... 34
c. Fungsi dan Peran Konselor... 36
d. Teknik-Teknik Konseling... 37
3. Prososial ... 40
a. Tahapan Perilaku Prososial ... 41
b. Faktor Penentu Perilaku Prososial ... 43
B. Penelitian Terdahulu yang Relevan ... 48
BAB III: PENYAJIAN DATA A. Deskripsi Umum Objek Penelitian ... 49
1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 49
2. Rekapitulasi Usia Penduduk ... 51
3. Deskripsi Konselor ... 51
4. Deskripsi Konseli ... 53
a. Deskripsi Kepribadian Konseli ... 53
b. Deskripsi Masalah Konseli ... 54
c. Latar Belakang Keluarga Konseli ... 55
d. Kondisi Ekonomi Konseli ... 57
e. Kondisi Keagamaan Keluarga ... 58
f. Kondisi Lingkungan Konseli... 59
B. Deskripsi Hasil Penelitian ... 60
1. Proses Konseling Keluarga dengan Human Validation Process Model untuk Meningkatkan Prososial Anak Dalam Keluarga di Desa Kembang Kuning Keramat II Surabaya ... 61
a. Identifikasi Masalah ... 61
b. Diagnosis ... 63
c. Prognosis ... 64
d. Treatment/Terapi ... 65
e. Evaluasi/Follow up ... 72
2. Deskripsi Hasil Akhir Pelaksanaan Konseling Keluarga dengan Human Validation Process Model untuk Meningkatkan Prososial Anak Dalam Keluarga di Desa Kembang Kuning Keramat II Surabaya ... 71
BAB IV: ANALISIS DATA A. Analisis Data Tentang Konseling Keluarga dengan Human Validation Process Model untuk Meningkatkan Prososial Anak Dalam Keluarga di Desa Kembang Kuning Keramat II Surabaya ... 77
B. Analisis Data Tentang Konseling Keluarga dengan Human Validation Process Model untuk Meningkatkan Prososial Anak Dalam Keluarga di Desa Kembang Kuning Keramat II Surabaya ... 81
(9)
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ... 87 B. Saran ... 88 DAFTAR PUSTAKA ... 90 LAMPIRAN
(10)
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Konsep Human Validation Process Model Tabel 3.1 Data Penduduk
Tabel 3.2 Kontrak Perubahan Perilaku Konseli Tabel 3.3 Kontrak Perubahan Perilaku Bapak Tabel 3.4 Kontrak Perubahan Perilaku Ibu
(11)
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Tahap-tahap Melakukan Tindakan Prososial Bagan 2.2 Tahapan Perilaku Prososial
Bagan 3.1 Genogram
(12)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keharmonisan dalam sebuah keluarga adalah harapan banyak orang. Sebuah keharmonisan keluarga, tentu hal yang dapat dicapai dengan adanya interaksi antar anggota keluarga. Interaksi antar anggota tidak akan terjadi tanpa adanya komunikasi. Komunikasi adalah proses penyampaian suatu pernyataan atau informasi oleh seseorang kepada orang lain untuk mengubah perilaku atau pendapat orang tersebut baik secara langsung maupun melalui media massa.2
Komunikasi adalah satu penyebab terjadinya interaksi antar anggota keluarga, baik verbal maupun non-verbal.3 Namun, bagaimanakah sebuah interaksi dapat terjadi dengan baik apabila tidak ada komunikasi yang baik. Tidak mungkin dalam sebuah keluarga tidak ada interaksi yang terjadi, karena tidak mungkin anggota keluarga tidak berkomunikasi dengan anggota yang lain. Namun dalam sebagian keluarga tetap saja komunikan, baik itu orangtua ataupun anak tidak bisa menangkap pesan komunikasi yang dilakukan sekalipun berkomunikasi dengan efektif.
Keluarga adalah wadah berkomunikasi yang paling intens dalam membangun kepribadian seorang anak. Beberapa hal yang mempengaruhi kepribadian seorang anak adalah sebagai berikut:
2
Onong Uchana Effendy, Dinamika Kelompok, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,2008), hal. 5
3
(13)
2
1. Macam dan kualitas hubungan antarpersonal, terutama antara orangtua dan anak;
2. Tingkat kualitas dan kuantitas hubungan antarpersonal dapat menghindarkan anak dari deprivasi;
3. Metode pengasuhan (parenting) dalam keluarga.4
Menurut paparan diatas, kita dapat mengetahui bahwa kepribadian anak itu sangat dipengaruhi oleh keluarga. Dalam keluarga ada orang–orang yang memiliki kedekatan emosional dengan anak yang disebut dengan holding environment. Anak memiliki kedekatan emosional dengan orangtua atau dengan salah satu dari orangtua (ayah atau ibu). Ayah, ibu dan anak membentuk susunan nuclear family.5
Dalam sebuah keluarga inti (nuclear family) yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Keluarga adalah sebuah wadah terkecil dalam struktur atau tatanan kehidupan bersosial. Keluarga merupakan ladang pertama dimana individu mendapatkan hak–haknya sebagai manusia. Untuk memenuhi hak– haknya maka individu juga harus melakukan kewajibannya. Melihat fenomena yang terjadi banyak keluarga yang mengalami ketimpangan.
Ketimpangan yang terjadi salah satunya diakibatkan oleh kurangnya komunikasi yang persuasif dalam keluarga.6 Hal tersebut menyebabkan tindakan yang dilakukan anggota keluarga, baik anak, ayah ataupun ibu tidak proporsional atau pemenuhan hak dan kewajiban sebagai anggota keluarga
4
Singgih D. Gunarsa dan Yulia Singgih D. Gunarsa, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), hal. 6
5
Sri Lestari, Psikologi Sosial, (Jakarta: Kencana , 2012), hal. 3 6
Syaiful Bahri Djamrah, Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak Dalam Keluarga, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hal. 13
(14)
3
tidak dijalankan. Namun, ada pula yang sudah menjalankan kewajiban dan mendapatkan haknya, sehingga individu itu bisa membantu orang lain. Hal ini terjadi karena dalam keluarga, sejak kecil sudah diajari bagaimana bersikap demikian.
Fenomena yang sosial yang dikutip dari detik.com yang dilaporkan oleh Maya Safira menuturkan bahwa orang yang berkepribadian menolong dan tidak egois disebabkan adanya penanaman nilai semenjak usia dini. Kepribadian menolong tidak dapat muncul tanpa adanya nilai–nilai yang diajarkan orang tua kepada anak.7
Dalam skripsi yang ditulis tahun 2012 oleh Maya Budi Indriani yang
berjudul “perilaku prososial pada remaja ditinjau dari pola asuh demokratis”,
dapat diketahui bahwa keluarga sangat berperan dalam terciptanya perilaku prososial. Dalam penanaman sikap prososial maka sangat perlu dimulai sejak dini. Dengan penanaman nilai tolong menolong ini, maka keluarga dapat mengajarkan anak bagaimana bersosialisasi dengan baik dengan lingkungannya terutama dalam keluarga. Sehingga tidak dapat dihindari bahwa hal tersebut sangatlah penting.8 Maka perlu diketahui bahwa keluarga yang mendukung penanaman nilai akan membantu terbentuknya perilaku prososial.
7 Maya Safira “Berbagi Makanan Sejak Kecil Buat Orang Lebih Baik”, detikFood, (online),(http://www.search.detik.com/index.php?fa=detik.searchresult&query=Prososial+keluarga &area-id=news&siteid=&x=0&y-0, diakses 11 November 2014)
8 Maya Budi Indriani, “Perilaku Prososial Pada Remaja Ditinjau Dari Pola Asuh Demokratis” (Skripsi, Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, 2012), hal. vii
(15)
4
Peneliti menemukan sebuah keluarga dengan fenomena anak yang hidup dalam sebuah keluarga yang kurang harmonis. Sebut saja namanya Dwi, dia anak kedua dari tiga orang bersaudara. Kakaknya sudah menikah di usia enam belas (16) tahun dan adiknya kelas tiga (3) SD. Dwi adalah seorang anak yang rentan putus sekolah, suka membolos dan kurang perhatian dari orangtuanya.
Orangtua Dwi, Pak Totok bekerja sebagai seorang kuli bangunan sedangkan ibunya, terkadang bekerja sebagai buruh setrika dan terkadang malam harinya berjualan matrabak telur dipasar. Salah seorang dari orangtua sangat menekannya, sehingga dia sangat tertutup dengan lingkungan. Saat ia hendak mengutarakan sesuatu didepan orangtua, dia terlihat sangat sesak dan bergetar–getar. Berbeda sekali saat menemuinya sendiri, konseli bisa meluapkan emosinya dengan menangis.
Hal itu tidak bisa diungkapkannya saat berhadapan langsung dengan kedua orang tuanya dan peneliti. Konseli merasa apa pentingnya untuk berbuat sesuatu apabila tidak ada imbasnya untuk dirinya. Maka, Dwi masih rendah keinginannya untuk prososial dan konseli memerlukan dukungan dari keluarga. Keluarga yang mengajarkan kita untuk memiliki kepribadian yang baik dan mampu berbuat prososial. Sikap prososial adalah sikap yang akan tumbuh di dalam keluarga apabila sejak dini telah mengajarkan untuk bersikap demikian. Sedangkan keluarga dari Dwi tidak mengajari dirinya untuk prososial dengan dirinya sendiri apalagi dengan lingkungan sekitarnya. Sehingga konseling keluarga sangat penting untuk dilakukan agar tercipta
(16)
5
keterbukaan sehingga dapat meningkatkan prososial Dwi terhadap dirinya sendiri maupun dengan keluarga bahkan lingkungannya.
Melihat hal ini, peneliti merasa fenomena ini layak untuk diangkat menjadi bahan penelitian. Peneliti ingin melihat seberapa jauh komunikasi dalam keluarga mempengaruhi Dwi untuk melakukan perilaku prososial
dalam keluarganya. Maka peneliti mengangkat judul “Konseling Keluarga dengan Human Validation Process Model Dalam Meningkatkan Prososial Seorang Anak Dalam Keluarga di Desa Kembang Kuning Keramat II Surabaya”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses konseling keluarga dengan human validation process model dalam meningkatkan prososial seorang anak dalam keluarga di Desa Kembang Kuning Keramat II Surabaya?
2. Bagaimana hasil proses konseling keluarga dengan human validation process model dalam meningkatkan prososial seorang anak dalam keluarga di Desa Kembang Kuning Keramat II Surabaya?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui proses konseling keluarga dengan human validation process model dalam meningkatkan prososial seorang anak dalam keluarga di Desa Kembang Kuning Keramat II Surabaya
2. Mengetahui hasil proses konseling keluarga dengan human validation process model dalam meningkatkan prososial seorang anak dalam keluarga di Desa Kembang Kuning Keramat II Surabaya
(17)
6
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini, diharapkan bermanfaat untuk masyarakat dan mahasiwa pada khususnya. Manfaat adanya penelitian ini antara lain, yaitu: 1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan konseling keluarga yang ada dengan menginovasikan beberapa teori lama.
b. Sebagai sumber referensi dan pengetahuan bagi peneliti selanjutnya dan dapat dijadikan rujukan dalam penelitian selanjutnya.
2. Manfaat Praktis a. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini mampu diaplikasikan bagi diri peneliti sendiri maupun lingkungan dalam mengahadapi kasus prososial dalam keluarga.
b. Bagi Masyarakat
Masyarakat bisa mengaplikasikannya bagi kehidupan mereka sehari– hari, sehingga apabila menemukan kasus yang sama maka bisa menjadikannya rujukan penelitian.
E. Definisi Konsep
1. Konseling Keluarga dengan Human Validation Process Model
Konseling secara etimologi konseling berasal dari kata
“counseling” yang berarti “to give advice” atau memberikan saran dan nasihat9. Menurut Hallen, konseling merupakan alat yang paling penting
9
(18)
7
dari usaha yang pelayanan bimbingan. Sehingga konseli mampu memahami dirinya sendiri dengan lebih baik, mampu memecahkan masalahnya, dan mengarahkan potensi dirinya dengan optimal, sehingga mencapai kebahagiaan pribadi dan kebermanfaatan sosial.10
Aryatmi Siswohardjono mengungkapkan bahwa konseling (dari sisi pertolongan dalam bentuk wawancara) menuntut adanya komunikasi dan interaksi mendalam dan usaha mencapai tujuan guna memecahkan masalah, pemenuhan kebutuhan ataupun pengubahan sikap dan tingkah laku.11
Konseling dapat dilakukan melalui tatap muka langsung ataupun tidak. Jadi, konseling adalah hubungan antara konselor dan konseli guna memberikan bantuan untuk memecahkan masalah, pemenuhan kebutuhan atau perubahan sikap atau tingkah laku. Konseling dilakukan guna membantu konseli mendapatkan jawaban dari permasalahan yang terjadi dalam keluarga.
Keluarga merupakan sistem sosial alamiah yang berfungsi membentuk aturan–aturan, komunikasi dan negosiasi antar anggota keluarga. Reiss mengungkapkan bahwa keluarga adalah suatu kelompok kecil yang terstruktur dalam pertalian keluarga dan memiliki fungsi utama berupa sosialisasi pemeliharaan terhadap generasi baru.12
Konseling juga dapat diartikan sistem sosial yang alamiah dan berfungsi sebagai pembentuk aturan, komunikasi dan negosiasi dalam
10
Hallen, Bimbingan dan Konseling,(Jakarta: Quantum Teaching, 2005), hal. 11 11
Saiful Akhyar Lubis, Konseling Islam, (Yogyakarta: elSAQ Press, 2007), hal. 34 12
(19)
8
anggota keluarga.13 Jadi, keluarga adalah wadah sosialisasi paling kecil dalam tatanan sosial. Dari keluarga, sang anak mampu mengetahui, memahami dan membiasakan dirinya untuk dapat berperilaku positif atau berperilaku sebaliknya yaitu berperilaku negatif dan lain sebagainya. Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa hal itu sangat berkaitan dengan meningkatkan prososial anak dalam keluarga.
Di Amerika Serikat, konseling keluarga muncul terutama dalam masalah–masalah hubungan antara anggota keluarga (ayah, ibu, dan anak–anak) dalam prespektif sosial.14 D. Stanton menyebutkan bahwa konseling keluarga dianggap sebagai konseling khusus dari sudut pandang oleh konselor terutama konselor non-keluarga, konseling keluarga sebagai (1) modalitas yaitu konseli adalah anggota dari sebuah keluarga, yang (2) dalam proses konseling melibatkan keluarga inti atau pasangan.15
Konseling keluarga adalah proses membantu individu dengan melibatkan anggota keluarga dalam upaya memecahkan masalah yang terjadi.16 Upaya konseling keluarga ini kemudian ditujukan untuk membangun keluarga bahagia. Keluarga bahagia yang islami kemudian biasanya disebut sebagai keluarga sakinah.17
13
Achmad Juntika Nurihsan, Bimbingan dan Konseling, (Bandung: Refika Aditama, 2014), hal. 99
14
Sulistyarini dan Moh. Jauhar, Dasar–Dasar Konseling, (Jakarta: Prestasi Pustakarya, 2014), hal. 235
15
Latipun, Psikologi Konseling,(Malang: UMM, 2015), hal. 149 16
Farid Mashudi, Psikologi Konseling, (Jogjakarta : IRCiSoD, 2014), hal. 241 17
(20)
9
Menurut Glick dan Kessler mengemukakan tujuan umum dari konseling keluarga, sebagai berikut:
a. Memfasilitasi komunikasi pikiran dan perasaan antar anggota keluarga
b. Mengganti gangguan, ketidakfleksibelan peran dan kondisi
c. Memberi pelayanan sebagai model dan pendidikan peran tertentu yang ditunjukkan kepada orang lain.18
Dari paparan diatas, dapat diketahui bahwasanya konseling keluarga adalah konseling khusus guna membantu memecahkan masalah dalam anggota keluarga dengan melibatkan seluruh anggota keluarga. Konseling keluarga yang dilakukan dapat berupa konseling kelompok maupun konseling individu. Jadi, konseling yang diberikan pada konseli berupa konseling keluarga baik itu perorangan maupun secara keseluruah anggota keluarga untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi anggota keluarga.
Salah satu pendekatan dalam konseling keluarga adalah human validation procees model. Human validation process model yang dicetuskan oleh Virgia Satir (1916–1988) yang merupakan seorang terapis yang berpengaruh hingga sekarang. Human validation process model atau Satir’s Theory berfokus kepada perkembangan holistik yang
18
(21)
10
sesuai dengan keperluan individu dan keluarga.19 Untuk mengetahui keperluan itu, maka perlu ada komunikasi antar anggota keluarga dan orientasi humanistik untuk mengupayakan harga diri dan penilaian diri dari seluruh anggota keluarga.20
Penghargaan diri masing–masing individu diperkuat melalui dialog–dialog internal individu. Dengan adanya penghargaan diri dari internal, maka akan mudah untuk memahami orang lain. Dari penghargaan diri maka selanjutnya individu membangun komunikasi. Komunikasi dapat bersifat fungsional dan disfungsional. Dari komunikasi disfungional yang ada, kemudian dibangun dari harga diri yang rendah.
Konseling keluarga dengan human validation process model dalam penelitian ini, konseling yang dilakukan dalam keluarga dengan human validation process model bertujuan untuk menjalin komunikasi yang baik antara masing–masing anggota keluarga. Dengan terjalinnya komunikasi antara masing–masing anggota keluarga, maka dapat meningkatkan prososial dalam keluarga. Semakin adanya komunikasi yang terjalin dengan sangat baik, maka besar kemungkinan melakukan interaksi dan terciptanya prososial (keterbukaan dan membantu) dalam keluarga, masyarakat dan lingkungan.
19 Khoo Be Lee dan Mohd Hashim bin Othman, “Pendekatan Kaunseling Keluarga Satir”. Pendidikan Kaunseling, 7 ( Januari, 2007), hal. 94
20
Achmad Juntika Nurihsan, Bimbingan dan Konseling, (Bandung: Refika Aditama, 2014), hal. 10
(22)
11
2. Prososial
Prososial adalah tindakan yang menguntungkan penerima tetapi tidak memiliki keuntungan yang jelas bagi pelakunya.21 Dalam situs pribadinya, Diana Septi Purnama menuturkan perilaku prososial adalah segala sesuatu yang dilakukan atau direncanakan untuk menolong orang lain, tanpa memperdulikan motif si penolong.22 Myres menyatakan bahwa perilaku prososial adalah keinginan untuk membantu orang lain tanpa memikirkan kepentingan diri sendiri.23
William menegaskan bahwa tindakan prososial adalah tindakan yang mengarah kepada perubahan keadaan fisik atau psikologis penerima bantuan dari kurang baik menjadi lebih baik dalam material maupun psikologis. Tindakan prososial juga dikenal dengan tindakan menolong dalam prespektif sosial.
Terdapat tiga norma paling penting dalam perilaku prososial yaitu:
a. Norma tanggung jawab sosial, menentukan bahwa kita seharusnya membantu orang lain yang bergantung pada kita
b. Norma timbal balik, menyatakan bahwa seharusnya kita menolong orang yang membantu kita
21
Tri Dayakisni dan Hudaniah, Psikologi Sosial, (Malang : UMM Press, 2009), hal. 155 22
Diana Septi Purnama (dianaseptipurnama@uny.ac.id, Altruisme dan Perilaku Prososial, Email kepada UNY (www.uny.ac.id)
23 Gusti Yuli Asih dan Margaretha Maria Shinta Pratiwi, “Perilaku Prososial Ditinjau Dari Empati dan Kematangan Emosi”. Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus, 1 ( Desember. 2010), hal. 34
(23)
12
c. Norma keadilan sosial, aturan dimana keadilan dan pembagian sumber daya secara adil.24
Tiga norma diatas menegaskan bahwa perilaku sosial bukan semata bantuan yang diberikan tanpa ada faktor yang mendorong atau mendasari, mengapa perilaku sosial terjadi. Maka perilaku prososial tanpaa didasari oleh beberapa hal yang tidak bisa dilepas dari penyebab adanya perilaku prososial.
Ada tiga indikator yang menjadikan sebuah perilaku dinamakan perilaku prososial:
a. Tindakan berhenti pada dirinya dan tidak menuntut keuntungan kepada pihak pelaku;
b. Tindakan itu terjadi secara sukarela; c. Tindakan itu menghasilkan kebaikan.
Jadi, beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku prososial adalah segala bentuk perilaku yang memberikan hal positif bagi penerima, baik berupa materi, fisik, psikologis dan tanpa ada keuntungan yang jelas bagi penolong.
Perilaku prososial yang diamati dalam penelitian ini adalah prososial anak dalam keluarga. Prososial anak dimulai dari penanaman nilai pada diri anak. Prososial yang dibidik adalah perilaku saling berbagi antara anak dan orangtua mapuun sebaliknya. Penelitian dilakukan melalui
24
(24)
13
konseling keluarga dengan human validation process model sehingga anak mampu meningkatkan perilaku prososial anak kepada orangtua dalam keluarga.
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini mengunakan pendekatan kualitatif, yaitu penelitian yang dilakukan untuk memahami fenomena/kejadian yang dialami oleh subyek penelitian lebih dalam.25 Jenis penelitian ini berupa studi kasus yaitu studi mendalam pada sekelompok orang atau fenomena yang dideskriptifkan. Sebuah kasus terikat dengan waktu dan aktivitas, peneliti melakukan tahap pengumpulan data dalam waktu berkesinambungan.26
Maka penelitian dengan pendekatan kualitatif dalam bentuk studi kasus, karena peneliti ingin memahami lebih dalam fenomena/kejadian yang dialami konseli dalam waktu tertentu untuk meningkatkan prososial.
2. Subjek Penelitian
Subyek penelitian ini adalah siswa kelas IV SDN Pakis VIII bernama Dwi Septiana Purwanti. Anak ini memiliki pendapat–pendapat yang belum diungkapkannya. Saat orangtua bersikap yang tidak sesuai dengan pendapatnya. Dia hanya bisa menangis, dia sesak, dan bibirnya
25
C. P Chaplin, Kamus Psikologi, (Jakarta : PT. Renika Cipta), hal. 305 26
Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif, : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 132
(25)
14
bergetar–getar, seolah ingin mengungkapkan keinginannya. Saat diminta untuk berbuat sesuatu maka dia sering menolaknya.
Penelitian ini dilakukan di Desa Kembang Kuning Keramat II, Kecamatan Sawahan, Surabaya, Jawa Timur. Dwi adalah anak yang dulu putus sekolah karena tidak adanya penanaman nilai prososial orangtua terhadapnya. Hal ini menyebabkan dirinya tidak prososial terhadap orangtua. Sehingga yang perlu dilakukan atau dicermati adalah lingkungan terdekatnya yaitu keluarga. Dimana keluarga adalah tempat pertama konseli menjadi tempat konseli belajar untuk berperilaku prososial. Orangtua juga perlu bekerjasama untuk mengajarkan bagaimana perilaku prososial dapat berkembang dengan baik dalam diri anak.
3. Tahap–Tahap Penelitian
Dalam penelitian kualitatif ini terdapat 3 tahapan, yaitu:27 a. Tahap pra lapangan
Tahap pra lapangan adalah tahap dimana seorang peneliti melakukan penjajakan terlebih dahulu di lapangan. Pada tahap ini, seorang peneliti melakukan:
1) Menyusun rencana penelitian
Dalam hal ini peneliti membuat draft atau susunan rencana/kerangka penelitian sebelum terjun ke lapangan guna mempermudah peneliti saat di lapangan.
27
J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), hal. 85
(26)
15
2) Menjajaki dan menilai keadaan lapangan
Dalam menjajaki dan menilai keadaan lapangan, peneliti memanfaatkan informasi yang berkaitan dengan konseli melalui wawancara kepada teman, saudara, maupun tetangga konseli. 3) Memilih informasi
Dalam hal memilih informasi, peneliti harus memanfaatkan informan yang berkaitannya dengan konseli. Sehingga informasi yang didapatkan akurat, tepat dan tidak mengada–ngada mengenai seluk-beluk kondisi maupun keadaan konseli di lapangan. Informasi dapat berasal dari konseli langsung maupun holding environment.
b. Tahap persiapan lapangan
Pada tahap ini, peneliti melakukan persiapan untuk memasuki lapangan dan menyusun jadwal penelitian yang mencakup waktu dan tempat penelitian dilakukan. Sehingga peneliti dapat memperkirakan situasi yang tepat untuk melakukan penelitian.
c. Tahap pekerjaan lapangan
Pada tahap ini, peneliti memulai terjun dilapangan dan memanfaatkan informan yang ada serta peneliti sudah melakukan pendekatan dengan konseli maupun keluarga konseli. Sehingga peneliti menemukan informasi-informasi yang diperlukan.
4. Jenis dan Sumber Data
(27)
16
a. Jenis Data 1) Data primer
Data primer adalah data yang didapat berupa kata-kata maupun tindakan yang didapatkan melalui hasil wawancara dari pengamatan langsung di lapangan.28 Data primer yang didapatkan selama proses lapangan di Desa Kembang Kuning Keramat II Surabaya adalah ucapan, sikap dan perubahan perilaku sebelum dan sesudah proses konseling yang diberikan kepada konseli.
2) Data Sekunder
Data sekunder adalah data-data yang didapat dari dokumen, buku harian, lampiran-lampiran dari berbagai lembaga resmi hasil survey, dan sebagainya. Data sekunder penelitian ini antara lain laporan pendampingan CSR, dokumen-dokumen keluarga, catatan-catatan konseli dan lampiran dari lembaga signal mandiri serta surat dari lembaga Dinas Sosial Pemerintah Kota Surabaya.
b. Sumber data
1) Sumber data primer
Sumber data primer adalah sumber data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung di lapangan.29 Dalam penelitian ini,
28
Burhan Bungin, Metode Penelitian Sosial: Format-Format Kuantitaif dan Kualitatif, (Surabaya: Airlangga University Press, 2001), hal. 128
29
Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006), hal. 16
(28)
17
peneliti mendapatkan data melalui observasi dan wawancara dengan konseli maupun orangtua konseli untuk melihat bagaimana perilaku dan ucapan konseli sebelum dan sesudah dilakukannya proses konseling.
2) Sumber data sekunder
Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh bukan dari sumber pertama sebagai sarana untuk memperoleh data atau informasi untuk menjawab masalah yang diteliti. Adapun data sekunder dapat diperoleh melalui kerabat konseli, tetangga konseli, maupun riwayat pendidikan konseli.
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah proses penentuan apakah sebuah penelitian baik atau tidak untuk dilakukan. Maka, data yang didapatkan berkaitan dengan masalah penelitian. Teknik pengumpulan data yang dilakukan peneliti antara lain:
a. Wawancara (Interview)
Wawancara adalah proses tanya jawab antara dua orang atau lebih secara lisan mengenai permasalahan yang harus diteliti, dan mengetahui informasi yang lebih mendalam.30 Peneliti harus membangun rapport yang baik dengan informan guna mendapatkan data yang konkret mengenai objek penelitian. Dalam penelitian yang
30
(29)
18
dilakukan, wawancara dilakukan kepada konseli, orangtua konseli maupun yang terlibat menjadi sumber data terkait penelitian.
b. Observasi
Observasi adalah studi yang digunakan untuk meneliti hal– hal yang berkenaan dengan perilaku manusia, proses kerja, gejala– gejala alam melalui proses pengamatan dan ingatan.31 Observasi bisa bersifat partisipan artinya ikut terjun langsung mengamati objek yang diteliti atau bersifat non partisipan yaitu pengamatan secara tidak langsung terhadap objek penelitian.
Dalam penelitian ini, observasi yang dilakukan adalah terjun langsung ke lapangan yaitu datang ke rumah konseli untuk mengetahui bagaimana keadaan konseli dan keluarga. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan observasi tak langsung seperti mendatangi rumah tetangga konseli.
c. Dokumentasi
Dokumentasi adalah cara yang dipakai untuk menyediakan dokumen–dokumen sebagai bukti akurat adanya pencatatan sumber– sumber informasi khusus sebuah penelitian. Dokumen dapat berbentuk tulisan, gambaran dan catatan–catatan kecil serta dokumen berbentuk karya misalnya karya seni dan sebagainya.32 Penelitian ini mengambil beberapa dokumen seperti data Kartu
31
Masruhan, Metodologi Penelitian Hukum, 212 32
Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hal.152
(30)
19
Keluarga konseli, foto pasca dilakukannya konseling, data-data seperti catatan pendampingan CSR.
6. Teknik Analisis Data
Setelah data sudah terkumpul, maka tahap selanjutnya adalah analisis data. Penelitian ini menggunakan teknik analisis berupa analisis deskriptif komparatif. Analisis yang dilakukan adalah sebagai berikut: a. Mendeskripsikan proses konseling keluarga dengan human
validation process model dalam meningkatkan perilaku prososial anak dalam keluarga.
b. Mendeskripsikan keberhasilan konseling keluarga dengan human validation process model dalam meningkatkan perilaku prososial anak dalam keluarga.
7. Teknik Keabsahan Data
Teknik keabsahan data merupakan faktor yang menentukan kemantapan validitas data. Keabsahan data merupakan salah satu objektifitas dari hasil penelitian yang dilakukan. Maka langkah yang harus ditempuh peneliti adalah :
a. Perpanjangan keikutsertaan
Keikutsertaan tersebut tidak hanya dilakukan dalam waktu singkat, tetapi memerlukan waktu yang cukup panjang. Hal ini dilakukan guna untuk memperoleh data yang valid. Jadi, keikutsertaan peneliti dalam waktu yang cukup lama menentukan banyaknya data yang dikumpulkan.
(31)
20
b. Ketekunan Pengamatan
Pada tahap ini, peneliti menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur situasi yang sangat relevan dengan persoalan yang sedang dicari. Dari situasi–situasi yang relevan dengan persoalan yang diteliti kemudian peneliti mendapatkan data yang dibutuhkan dalam penelitian.
c. Triangulasi
Methodological triangulation atau metode triangulasi adalah pengujian data dengan jelas membandingkan data penelitian yang dilakukan dengan menggunakan beberapa metode yang berbeda tentang data yang semacam.33
Dalam triangulasi, data atau sumber dari permasalahan yang sama diambil menggunakan beberapa sumber. Artinya data yang ada dilapangan diambil dari beberapa sumber penelitian yang berbeda dan dapat dilakukan dengan:34
1) Membandingkan data pengamatan dengan data wawancara 2) Membandingkan apa yang dikatakan masyarakat dengan apa
yang mereka katakan secara pribadi sendiri
3) Membandingkan hasil wawancara dengan dokumen yang diperoleh
33
Kasiram, Metodologi Penelitian Kualitatif-Kuantitatif, (Malang: UIN Maliki Press), hal. 294-295
34
Michael Quinn Patton, Metode Evaluasi Kualitatif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal. 279
(32)
21
Dalam penelitian ini, peneliti lebih menggunakan teknik wawancara dan observasi untuk memperoleh data. Sehingga data yang diperoleh benar-benar akurat baik dari data primer maupun data sekunder.
G. Sistematika Pembahasan
Penulisan skripsi ini disusun dalam lima bab yang masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan. Berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi konsep dan sistematika pembahasan.
Bab II Kerangka Teori. Berisi kajian teoritik dan penelitian terdahulu yang relevan.
Bab III Penyajian Data. Memuat data yang berkenaan dengan hasil penelitian. Dalam sub bab ini dibahas metode penelitian, teknik pengumpulan data, teknik keabsahan data, dan teknik analisis data.
Bab IV Analisis proses dan hasil. Kajian analisis atau jawaban dari rumusan permasalahan dalam penelitian ini. Bab ini berisi tentang apakah konseling keluarga dengan human validation process model untuk meningkatkan prososial anak dalam keluarga.
Bab V Penutup. Bab ini merupakan bagian akhir yang berisi kesimpulan dari uraian-uraian yang telah dibahas dalam keseluruhan penelitian dan saran.
(33)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teoritik
1. Konseling Keluarga
a. Definisi Konseling Keluarga
Konseling keluarga berasal dari dua term yaitu konseling dan keluarga. Berikut ini adalah penjelasan secara singkat mengenai makna dari masing– masing term tersebut :
1) Konseling
Konseling yang biasa kita ketahui dikenal dengan kata penyuluhan yang secara awam diartikan dengan pemberian informasi, penerangan atau nasehat kepada pihak lain. Kata konseling (counseling) sendiri, berasal dari kata counsel yang dari bahasa Latin yaitu counselium, artinya “bersama”
atau “bicara bersama”. Pengertian “berbicara bersama–sama” dalam hal ini
pembicaraan bersama antara konselor dan konseli mengenai permasalahannya.35
Konseling merupakan bantuan yang bersifat terapiutik yang diarahkan untuk mengubah sikap dan perilaku individu. Wawancara konseling dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung. Konseling adalah upaya membantu individu normal, bukan individu yang mengalami kesulitan kejiwaan, melainkan individu yang mengalami
35
(34)
23
kesulitan dalam adaptasi diri dalam pendidikan, pekerjaaan dan kehidupan sosialnya.36
Hal tersebut merupakan salah satu konsep dasar dari konseling yaitu Amar Ma’ruf Nahi Mungkar yang terdapat dalam Surah Al-Imran ayat 104:
ْْلَو
ْْنُكَت
ْ
ِْْم
ْْمُك
ْ
ْ ةمُأ
ْ
ْْدَي
ْْوُع
ْْلٱْىَلِإَْن
ْْيَخ
ْْأَيَوِْر
ْْوُرُم
ْْلٱِبَْن
ْْعَم
ْْوُر
ْْوَهَيَوْ ِف
ْْلٱْ ِنَعَْن
ُْْم
ِْرَك
ْ
لْوُأَو
َْكِئ
ْ
ُْمُ
ْْْلٱ
ْْفُم
ْْوُحِل
َْنْ
ٔٓٗ
ْْ
Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma´ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.(QS. Al-Imran:104)37
Hendaklah diantara kamu yang dimaksudkan pada ayat diatas adalah tanggung jawab sebagai konselor dalam membantu konseli mencapai kebahagiaan atau keberuntungan. BAC (British Association for Counseling) menyebutkan bahwa konseling adalah membangun hubungan dan bekerja dengan orang yang mungkin saja bertujuan untuk pengembangan diri, dukungan terhadap krisis, psikoterapis, bimbingan atau pemecahan masalah dan memberikan konseli, kesempatan untuk bereksplorasi dan menemukan cara hidup lebih memuaskan dan cerdas dalam menghadapi sesuatu.38
Stone dan Shertzer membahas definisi konseling sebagai upaya membantu individu melalui proses interaksi yang bersifat pribadi antara konselor dan konseli agar konseli mampu memahami diri dan
36
Achmad Juntika Nurihsan, Bimbingan dan Konseling: Dalam Berbagai Latar Kehidupan, (Bandung: Refika Aditama, 2014), hal. 22
37
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Jawa Barat: CV. Dipenogoro, 2006),hal. 05 38
John McLeod, Pengantar Konseling : Teori dan Studi Kasus, (Jakarta: Prenamedia Group, 2015), hal. 5
(35)
24
lingkungannya, mampu mengambil keputusan sehingga konseli merasa bahagia dan efektif bahagia.39
ASCA (American School Counselor Association) mengemukakan bahwa konseling adalah hubungan tatap muka yang bersifat rahasia, penuh dengan sikap penerimaan dan pemberian kesempatan dari konselor kepada konseli. Konselor menggunakan pengetahuan dan keterampilan untuk membantu konseli mengatasi permasalahannya.
Konseling menurut Prayitno dan Erman Amti adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli (disebut konselor) kepada individu yang sedang mengalami suatu masalah (disebut konseli) yang berfokus dalam mengatasi masalah yang dihadapi konseli.40 Carl Rogers berpendapat bahwa konseling merupakan hubungan terapi dengan konseli yang bertujuan untuk melakukan perubahan self (diri) konseli. Rogers menekankan bahwa perubahan konseling system self konseli sebagai tujuan konseling akibat dari struktur hubungan konselor dengan konseli.41
Konseling adalah sebuah hubungan melalui proses wawancara langsung maupun tidak antara konselor dan konseli dalam upaya mengatasi permasalahan yang dihadapi konseli, mengembangkan diri (eksplorasi) dan menemukan cara hidup yang lebih baik kedepannya.
2) Keluarga
Hill menyebutkan bahwa keluarga adalah rumah tangga yang memiliki hubungan darah atau perkawinanan atau menyediakan
39
Achmad Juntika Nurihsan, Bimbingan dan Konseling: Dalam Berbagai Latar Kehidupan, (Bandung: Refika Aditama, 2014), hal. 10
40
Afufudin, Bimbingan dan Konseling, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hal. 15 41
Faizah Noer Laela, Bimbingan dan Konseling Sosial, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2015), hal. 7
(36)
25
terselenggaranya fungsi–fungsi instrumental mendasar dan fungsi–fungsi ekspresif keluarga bagi yang anggotanya yang berada dalam sebuah jaringan. Reiss berpendapat bahwa keluarga adalah suatu kelompok kecil yang terstruktur dalam pertalian kelurga dan memiliki fungsi utama berupa sosialisasi pemeliharaan terhadap generasi baru.42 Keluarga adalah sistem sosial yang alamiah, berfungsi membentuk aturan–aturan, komunikasi, dan negosiasi diantara para anggotanya. Keluarga melakukan suatu pola interaksi dan keberadaan para anggotanya.
Pendapat lain menyebutkan bahwa keluarga adalah suatu kelompok sosial yang bersifat langgeng berdasarkan hubungan pernikahan maupun hubungan darah.43 Keluarga sangat berperan dalam mewariskan nilai–nilai kehidupan yang mulia kepada generasi–generasi selanjutnya. Keluarga di masa sekarang berbeda dengan keluarga di masa dahulu. Dalam ikatan keluarga, orang–orang mengalami pergolakan dan perubahan yang hebat, terutama mereka yang hidup di perkotaan. Jika dilihat dari keluarga– keluarga yang belum terpengaruh keberadaan industri, teknologi dan informasi, maka akan jauh berbeda jika dibandingkan dengan keluarga yang berada di tengah segala kemewahan materi. 44
Konseling keluarga telah berkembang pesat pada tahun 1970-an. Teknik konseling keluarga juga semakin inovatif. Pada saat sekarang ini, konseling keluarga lebih menekankan penanganan permasalahan– permasalahan konseling secara kontekstual daripada secara terpisah
42
Sri Lestari, Psikologi Keluarga: Penanaman Nilai dan Penangan Konflik dalam Keluarga, (Jakarta: Kencana, 2014), hal. 6
43
Yulia Singgih D. Gunarsa, Asas – Asas Psikologi Keluarga Idaman, Cet.3, (Jakarta: Gunung Mulia, 2002), hal. 43
44
(37)
26
individu–individu.45 Pendapat lain juga menyebutkan bahwa konseling keluarga sebagai sebuah upaya memberikan bantuan kepada individu yang dilakukan melalui mengubah interaksi antar anggotanya sehingga keluarga dapat menyelesaikan masalah yang dihadapinya untuk kesejahteraan seluruh anggota keluarga.46
Samsul Munir Amin juga menyebutkan bahwa konseling keluarga adalah upaya pemberian bantuan kepada para individu sebagai pemimpin atau anggota keluarga agar mereka mampu menciptakan keluarga yang harmonis dan utuh, mengoptimalkan kemampuan diri dengan norma keluarga, serta berperan aktif dalam mencapai kehidupan keluarga yang bahagia.47 Keluarga yang bisa menjaga anggota keluarga mereka merupakan salah satu upaya mencapai keluarga yang bahagia, sebagaimana yang tercantum dalam Surah At-Tahrim ayat 6, sebagai berikut:
ْ َي
اَه يَأ
ْ
ْْيِذلٱ
ْْوُ َماَءْ َن
ْوُقْْا
ْْاْ
ْْ نَأ
ْْمُكَسُف
ْ
َْْأَو
ْْيِل
ْْمُك
ْ
ْ راَنا
ْ
ْْوُ قَو
اَُد
ْ
ْْلٱَوْ ُسا لٱ
ُْةَراَجِح
ْ
ْْ يَلَع
اَه
ْ
ْ ةَكِئ َلَم
ْ
َْلِغ
ْ ظ
ْ داَدِش
ْ
ّْ
ْ
ْْعَ ي
ْْوُص
َْنْ
ْاَمَْللٱ
ْْمَُرَمَأ
ْ
ْْفَ يَو
ْْوُلَع
َْنْ
اَمْ
ْْؤُ ي
ْْوُرَم
َْنْ
٦
ْْ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (QS. At-Tahrim: 6)48
Hal tersebut dilakukan melalui pembenahan sistem keluarga agar potensi yang ada dalam keluarga tersebut berkembang dengan optimal dan masalahnya dapat diatasi atas dasar kemauan dan keinginan dari seluruh
45
Achmad Juntika Nurihsan, Bimbingan dan Konseling: Dalam Berbagai Latar Kehidupan, (Bandung: Refika Aditama, 2014), hal. 102
46
Sofyan S. Willis, Konseling Keluarga, (Bandung : Alfabet, 2013), hal. 83 47
Samsul Munir Amin, Bimbingan dan Konseling Islam, (Jakarta: Amzah, 2013), hal. 66 48
(38)
27
anggota keluarga berdasarkan kerelaan dan kecintaan terhadap keluarga. 49 Jadi, konseling keluarga dilakukan tidak secara terpisah–pisah, namun lebih berpusat secara keseluruhan dari permasalahan yang terjadi dalam keluarga. Konseling keluarga juga diartikan sebagai penerapan konseling secara khusus dalam sebuah keluarga. Konseling keluarga ini secara khusus berfokus kepada permasalahan yang berhubungan dengan situasi keluarga dan penyelenggaraannya melibatkan anggota keluarga.50
b. Permasalahan Dalam Keluarga
Mengingat banyaknya permasalahan yang akan dihadapi dan harus diatasi setiap individu, maka semuanya tidak akan dibicarakan satu per satu. Apabila masalah–masalah dilihat secara umum, maka persoalan yang timbul bersumber pada masalah atau kesulitan mencapai kesesuaian. Keadaan–keadaan maupun pribadi–pribadi, terus–menerus mengalami pengelolahan yang mengakibatkan perubahan–perubahan. Perubahan–perubahan ini menuntut penyesuaian terus–menerus dari pribadi–pribadi. Apabila pribadi–pribadi tidak dapat mengikuti perubahan diluar dirinya maka akan terjadi jarak perbedaan yang akan menimbulkan perselisihan. Maka hal inilah yang menjadi sumber pokok permasalahan yang dikenal dengan masalah penyesuaian diri ataupun adaptasi.51
Permasalahan yang terjadi dalam keluarga atau yang sering juga disebut dengan konflik keluarga. Konflik keluarga dapat terjadi karena adanya perilaku oposisi atau ketidaksetujuan antara anggota keluarga. Prevalensi konflik dalam keluarga berturut–turut adalah konflik sibling, konflik orang tua–anak, dan
49
Kathryn Geldard & David Geldard, Konseling Keluarga, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hal. 13-14
50
Latipun, Psikologi Konseling, (Malang: UMM Press, 2015), hal. 149 51
(39)
28
konflik pasangan.52 Hubungan antara masing–masing anggota keluarga merupakan jenis hubungan yang sangat dekat dan memiliki intensitas yang sangat tinggi. Maka tidak heran apabila permasalahan dalam keluarga dapat terjadi apabila individu atau anggota keluarga yang satu dengan anggota keluarga yang lain tidak dapat berkomunikasi dan tidak memahami satu sama lainnya. Semakin berkembangnya zaman, maka berkembang dan semakin kompleks permasalahan keluarga terjadi.
Dilihat pada era masa kini, selain adaptasi ada banyak sekali faktor– faktor yang menjadi penyebab terjadinya permasalahan diantaranya :
1) Miskomunikasi atau kurang intensnya komunikasi, 2) Kurang perhatian antara orangtua dan anak,
3) Cara mendidik yang salah, 4) dan lain sebagainya.
Referensi lain menyebutkan bahwa segala macam permasalahan dalam pernikahan apabila dikumpulkan, maka masalah–masalah tersebut dapat diklasifikasikan menjadi beberapa tipe:
1) Masalah suami isteri yang berhubungan dengan masa lalu mereka dan masa depan yang akan mereka jalani. Memulai kehidupan baru tanpa mengetahui kisah masa lalu dari pasangan itu ada baik dan ada buruknya. Baiknya, apabila masalah tersebut tidak memberikan pengaruh terhadap pasangan. Jeleknya, apabila permasalahan yang terjadi di masa lampau yang tidak dialami bersama–sama, namun menyenangkan bagi yang lainnya. Jika suami isteri tidak dapat mengkomunikasikan dengan baik kepada
52
Sri Lestari, Psikologi Keluarga: Penanaman Nilai dan Penangan Konflik dalam Keluarga, (Jakarta: Kencana, 2014), hal. 103
(40)
29
pasangannya, maka api konflik akan menghanguskan keutuhan keluarga tersebut.
2) Masalah pribadi suami isteri yang memasuki lingkungan keluarga baru: mertua, ipar, kakak, nenek, dan lain sebagainya. Memulai adaptasi dengan individu, watak, perilaku bahkan keseharian orang–orang yang berada dilingkungan baru yang belum pernah ditemui sebelumnya. Jika suami maupun istri tidak dapat memahami lingkungan keluarga dengan baik, maka bisa saja permasalahan justru semakin meluap.
3) Masalah yang berhubungan dengan keluarga baru dan rencana–rencananya yang akan dibentuk, meliputi hari depan perkembangan dan pendidikan anak. Dengan lahirnya seorang anak, maka kebutuhan keluarga meningkat (dipandang dari segi ekonomi) sehingga sang ayahpun harus mencari nafkah. Sedangkan ibu harus meluangkan waktu untuk mengurus anaknya. Jika nafkah yang diberikan terpenuhi dan waktu untuk mengurus anak sudah sesuai maka konflik dapat dihindari. Namun berbeda apabila yang terjadi malah sebaliknya, malah akan menyulut api konflik dalam keluarga tersebut. 53
Masalah–masalah yang awalnya kecil menjadi besar hanya karena individu yang ada dalam keluarga tidak berusaha untuk memperbaiki atau mengatasi permasalahan yang terjadi dalam keluarga tersebut. Ada yang tergerak hatinya untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi namun takut, apabila yang dilakukan salah. Namun, ada pula yang acuh tidak mau mengetahui permasalahan apa yang terjadi. Hal ini menjadikan permasalahan yang ada terus menumpuk dan tak kunjung teratasi.
53
(41)
30
Sangat disayangkan sekali, permasalahan–permasalahan yang terjadi dalam keluarga yang terus menerus terjadi bahkan tidak terselesaikan. Akhirnya berujung pada sebuah kekerasan, penindasan, bahkan perceraian. Hal ini dapat
dianalogikakan kedalam Surah Ali „Imran ayat 109 sebagai berikut:
ْْحَرْاَمِبَف
َْةَم
ْ
َْنِم
ْ
ِْْلِْللٱ
ْْمُهَلْ َت
ْ
ْْوَلَو
ُْْك
َْت
ْ
اظَف
ْ
ْْيِلَغ
َْظ
ْْْلٱ
ْْلَق
ِْب
ْ
َّْْْ ن
ْْنِمْْاوضَف
ْْوَح
َْكِل
َْْف
ْْعٱ
ُْف
ْ
ْْ َع
مُه
َْْو
ْْسٱ
ْْغَ ت
ْْرِف
ْ
ْْمُهَل
ْ
ْْرِواَشَو
ْْمُ
ْ
ْْيِف
ْ
َْْلٱ
ْْمِْر
ْ
ْْمَزَعْاَذِإَف
َْت
ْ
ْْلكَوَ تَ ف
ْ
ىَلَع
ْ
ِْللٱ
ْ
ْبِحُيَْللٱْنِإ
لٱ
ِْكَوَ تُم
ْْيِل
َْن
٩٥١
Artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya (QS. Ali Imran: 159)54
Maka penting sekali, permasalahan yang terjadi dalam keluarga untuk diselesaikan dengan segera. Salah satunya melakui konseling keluarga, yang bertujuan membantu menyelesaikan permasalahan yang terjadi didalam keluarga. Sehingga keluarga yang awalnya memiliki konflik, akhirnya bisa menyelesaikannya dengan baik.
c. Peranan Konselor Dalam Konseling Keluarga
Konselor peranannya dalam membantu konseli dalam konseling keluarga dan perkawinan, sebagaimana yang telah disebutkan Satir sebagai berikut:
1) Konselor sebagai ”facilitative a comfortable”, membantu konseli melihat dirinya secara jelas dan objektif serta perilaku–perilakunya sendiri
2) Konselor menggunakan perlakuan atau treatment melalui setting peran interaksi
54
(42)
31
3) Berusaha menghilangkan pembelaan diri dan keluarga
4) Memberikan kesempatan bagi konseli untuk belajar berpikir dewasa, bertanggung jawab dan melakukan self–control
5) Konselor menjadi penengah dari pertentangan, ketimpangan, kesenjangan komunikasi dan menginterpretasikan pesan–pesan yang disampaikan konseli maupun anggota keluarga
6) Konselor menolak membuat penilaian dan membantu menjadi congruence dalam merespon anggota keluarga55
d. Proses dan Tahapan Konseling Keluarga
Pada awalnya seorang konseli datang kepada seorang konselor untuk mengkonsultasikan masalahnya. Biasanya, datang pertama kali ini lebih bersifat
“identifikasi pasien”56. Namun untuk tahap treat atau penanganan diperlukan kehadiran anggota keluarganya. Menurut Satir, tidak mungkin mendengarkan peran, status, nilai, dan norma keluarga apabila tidak ada kehadiran anggota keluarga. Jadi, pada tahap ini anggota keluarga yang lain harus ikut mendatangi konselor untuk menyelesaikan masalah keluarganya.57 Selain itu, tahap yang dilakukan dalam konseling keluarga sama dengan tahap yang dilakukan dalam konseling pada umumya hanya saja ruang lingkup dan teknik yang dipakai didalamnya ada kemungkinan berbeda.
2. Human Validation Process Model a. Konsep Dasar
Salah satu pendekatan dalam konseling keluarga adalah human procees validation model. Human validation process model yang dicetuskan oleh Virginia Satir (1916–1988) yang merupakan seorang terapis yang berpengaruh
55
Latipun, Psikologi Konseling, (Malang: UMM Press, 2015), hal. 155 56
Samuel T. Gladding, Counseling: A Comperhensive Profession, (Canada: Pearson, 2013), hal 347 57
(43)
32
hingga sekarang. Human validation process model atau Satir’s Theory berfokus kepada perkembangan holistik yang sesuai dengan keperluan individu dan keluarga. Berikut adalah tabel mengenai human validation process model:58
Tabel 2.1
Tabel Human Validation Process Model
Fokus Kebebasan memilih, perkembangan diri, membuat
keputusan pribadi dan pencapaian pribadi
Tokoh Virginia Satir
Konsep dan Teori Harga diri, komunikasi yang efektif Intervensi
Membina komunikasi berkesan, mengatasi
permasalahan dan batasan perkembangan pribadi, perkembangan kesadaran diri, terbuka dan spontan
Human validation process model fokus terhadap proses peningkatan dan validasi dari harga diri, aturan keluarga, dan keharmonisan pada pola komunikasi, membantu, dan memelihara keluarga triadi dan pemetaan keluarga, fakta kejadian kehidupan keluarga. Satir memandang akar permasalahan dari tiga generasi kehidupan. Faktor yang ditekankan disini antara lain membuat kontak, komunikasi yang jelas, membuat kemungkinan yang baru, dan sentuhan personal dalam proses terapi.
Satir juga memusatkan perhatian pada pola kehidupan yang akan datang, perkembangan pemetaan keluarga (genogram) dan fakta kejadian kehidupan atau membuat sebuah grup proses dalam sebuah keluarga dengan pola keluarga dan pengalaman yang bisa disimulasikan dalam sebuah rekonstruksi. Untuk mengetahui keperluan itu, maka perlu ada komunikasi antar anggota keluarga
58 Khoo Be Lee dan Mohd Hashim bin Othman, “Pendekatan Kaunseling Keluarga Satir”.
Pendidikan Kaunseling, 7 ( Januari, 2007), hal. 92
(44)
33
dan orientasi humanistik mengupayakan harga diri dan penilaian diri seluruh anggota keluarga.59
Anak–anak selalu memasuki dunia sebagai bagian dari pra-sistem yang ada dalam sebuah keluarga. Anak–anak masuk dalam sebuah keluarga yang memiliki aturan–aturan yang menjadi tempat dimana tumbuh dan berkembangnya anak-anak. Aturan–aturan yang ada, berkembang untuk membantu berfungsinya sistem dan kesejahteraan keluarga. Ketika orangtua mulai cemas dan putus asa, mereka akan cenderung untuk menciptakan aturan untuk mengontrol situasi yang kosong. Aturan dalam keluarga dimulai dengan membantu menahan amarah, keputus asaan dan ketakutan anak–anak. Hal tersebut, bertujuan untuk memberikan sebuah wadah yang aman bagi keinginan anak–anak di dunia.
Namun ada sisi kontra, dimana keluarga yang disfungsional yang diawali dengan hubungan yang kaku dan komunikasi yang tertutup. Keluarga yang disfungsional adalah salah satu penyebab dari harga diri yang rendah. Penghargaan diri yang masih rendah diperkuat melalui dialog–dialog internal individu. Dengan adanya penghargaan diri dari internal, muncul keinginan untuk marah, putus asa dan lain sebagainya. Bagi orang tua yang kehilangan kontrol keluarga akan menakut–nakuti, menghukum, melakukan kesalahan atau bahkan mendominasi keinginan anak–anak mereka dalam keluarga. Hal ini yang menyebakan perlunya aturan untuk menjaga keutuhan keluarga.
Ada yang bisa ikut serta dalam membantu menyelesaikan permasalahan dan ada pula yang tidak. Saat stress meningkat dan permasalahan dalam sebuah
59
(45)
34
sistem keluarga meningkat, maka anggota keluarga berusaha mengambil jalan keluar untuk menyelesaikan permasalahan. Berikut beberapa hal yang harus diperhatikan:60
1. Anggota keluarga yang berusaha mengambil kata perdamaian dimaksudkan sebagai sebuah kesepakatan terhadap tingkat stress dan ketakutan mereka sendiri. Mereka lemah dan mencoba melakukan penilaian diri. Karena mereka tidak merasakan sensasi/respon dari harapan dan merasa putus asa dengan orang lain.
2. Orang yang menyalahkan sikap diri orang lain akan mengalami ketakutan yang lain, mengenai diri mereka sendiri. Mereka berasusmi bahwa mendominasi dan mencari kesalahan dari orang lain itu hebat. Tujuan pokok mereka adalah menghina atau menyalahkan orang lain, mereka jauh dari aksi yang membutuhkan tanggung jawab.
3. Orang yang menjadi paling pantas untuk menjaga banyak aturan seperti terikat aturan. Mereka berusaha untuk menyempurnakan kontrol bagi diri mereka, orang lain dan lingkungan tempat mereka tinggal. Mereka berusaha keras untuk menjaga standar emosi mereka.
4. Perilaku yang tidak relevan banyak terlihat saat posisi kebingungan terhadap sebuah pola kesalahan/efek yang menyebabkan orang lain terluka, tersakiti atau stress akan berkurang. Orang yang tidak tepat adalah orang yang tidak bisa untuk berhubungan dengan apa yang sedang terjadi.
b. Tujuan Terapi
Tujuan kunci dari human validation process model adalah terciptanya komunikasi yang jelas, meningkatkan potensi untuk tumbuh, terutama dalam
60
Gerald Corey, Theory and Practice of Counseling and Psychoterapy: Sixth Edition, (Fullurton: Thomsom Learning), hal 404
(46)
35
penghargaan diri dan proses untuk berubah. Model terapi keluarga ini lebih berfokus kepada pertumbuhan individu dan keluarga dibanding sekedar kestabilan keluarga.
Tujuan umum dan proses terapi adalah memfasilitasi keinginan perubahan dari sistem keluarga. Dan tujuan yang spesifik, yang berhubungan dengan proses perubahan:61
1) Meningkatkan harapan dan keberanian anggota keluarga untuk memformulasikan ide-ide baru
2) Mengakses, memperkuat, meningkatkan atau membangkitkan kemampuan menyontoh (coping) anggota keluarga
3) Semangat anggota keluarga untuk berlatih ide yang akan menghasilkan hal positif untuk membersihkan simptom–simptom belaka.
Satir mengidentifikasikan tiga tujuan dari terapi keluarga yang disebutkan di atas. Pertama, setiap individu dalam keluarga harus bisa mengungkapkan kebenaran mengenai apa yang mereka lihat, mereka dengar, mereka rasakan dan mereka pikirkan. Kedua, pengambilan keputusan dalam keluarga adalah jalan untuk mengeksplorasi kebutuhan dan negosiasi individu lebih dibandingkan kemampuan, dan terakhir perbedaan yang ada harus diakui secara terang–terangan dan digunakan untuk perkembangan keluarga.
Didalam surah Al-Isra‟ ayat 23 dijelaskan bahwa terapi keluarga dimulai dengan komunikasi yang dilakukan didalam keluarga, yakni sebagai berikut:
61
Gerald Corey, Theory and Practice of Counseling and Psychoterapy: Sixth Edition, Fullurton: Thomsom Learning), hal 405 - 406
(47)
36
۞
ْ ىَضَقَو
ْ
َْكبَر
ْ
َّْأ
ْ
ْْاوُدُبعَت
ْ
ِّْإ
ْ
ُْايِإ
ْ
ِْبَو
لٱ
ِْنيَدِل َو
ْ
حِإ
ا َس
ْ
امِإ
ْ
ْنَغُلبَي
ْ
َْكَد ِع
ْلٱ
َْرَ بِك
ْ
ْاَمُُدَحَأ
وَأ
ْ
اَمُ َلِك
ْ
َْلَف
ْ
لُقَ ت
ْ
اَمُهل
ْ
ّْفُأ
ْ
ََّْو
ْ
اَمُرَهَت
ْ
لُقَو
ْ
اَمُهل
ْ
ّوَق
ْ
اميِرَك
ْ
ٕٖ
ْْ
ْ
Artinya: Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (QS. Al-Isra‟:23)62
c. Fungsi dan Peran Konselor
Fungsi dan peran terapi atau konselor adalah sebagai pembimbing anggota keluarga melalui proses perubahan. Konselor adalah seseorang yang jauh lebih penting dari teknik intervensi. Konselor adalah seseorang dengan pemahaman yang baik sekaligus sebagai fasilitator dalam menuntun proses terapi/konseling dan mereka tidak bertugas untuk membuat sebuah perubahan terjadi. Kejujuran konselor mengenai kemampuan anggota keluarga untuk berkembang pesat dan aktualisasi adalah pusat dari konseling ini.
Satir juga menjelaskan banyak peran dan teknik kerja konselor keluarga dalam membantu sebuah keluarga mencapai tujuan mereka. Contoh sebagai berikut:63
1) Menciptakan setting dimana orang akan melihat kemungkinan– kemungkinan dengan jelas dan objektif mengenai diri mereka dan perilaku mereka
2) Menolong anggota keluarga dalam membangun self-esteem 3) Membantu konseli mengidentifasikan aset mereka
4) Meminta cerita keluarga dan catatan pencapaian dimasa lalu
62
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Jawa Barat: CV. Dipenogoro, 2006), hal. 63
Gerald Corey, Theory and Practice of Counseling and Psychoterapy: Sixth Edition, (Fullurton: Thomsom Learning), hal 406 - 407
(48)
37
5) Menggunakan teknik langsung untuk me-refresh perasaan konseli mengenai permasalahan yang dimintai pertanggung jawaban
6) Mengidentifikasikan komunikasi nonverbal 7) dan lain sebagainya.
Khoo Be Lee dan Mohd Hashim bin Othman menyebutkan dalam jurnal “pendidikan kaunseling: pendekatan kaunseling keluarga Satir”, perubahan dapat terjadi dalam keluarga melalui tiga hal. Pertama, konselor boleh melaporkan masalah yang diamati secara kongruen, lengkap dan jujur didepan anggota keluarga yang lain. Kedua, setiap anggota keluarga memiliki keunikan, dan yang terakhir memahami perbedaan dan menggunakannya untuk perkembangan hubungan keluarga yang lebih baik.64
Melalui gaya terapi Satir yang jauh berbeda dari pendekatan Carl Whitaker, yang akan diamati kemudian menekankan pada aturan–aturan dari konselor sebagai seorang personal. Dimana, Whitaker mengembangkan metodenya mengenai akar eksistensial dan psikoanalisis. Satir terpengaruh pada pemikiran Carl Rogers dan belajar kepadanya. Bersama dengan Rogers, dia mendasari praktiknya mengenai dugaan bahwa manusia berusaha keras dan kita berpikir jauh untuk meraih semua potensi. Mengingat prespektif person centered therapy, kamu akan ingat hal tersebut sebagai sebuah hubungan antara konselor dan konseli dengan menstimulasi perkembangan dan perubahan dalam diri konseli.
d. Teknik–Teknik Konseling
Satir mengembangkan dan melakukan hal spesial dalam teknik konseling keluarga yaitu pemetaan (mapping/genogram), pengalaman
64 Khoo Be Lee dan Mohd Hashim bin Othman, “Pendekatan Kaunseling Keluarga Satir”.
Pendidikan Kaunseling, 7 ( Januari, 2007), hal 92
(49)
38
kronologi kehidupan yang terjadi dalam tiga generasi kehidupan, keluarga mematung, dan rekonstruksi keluarga. Teknik dari terapi Gestalt, psikodrama dan person centered therapy yang sering digunakan dalam kegiatan kerjanya dengan keluarga.
1) Keluarga mematung (family sclupting)
Keluarga mematung digunakan untuk menghilangkan kecemasan konseli mengenai bagaimana mereka berfungsi dan bagaimana mereka dalam pandangan orang lain dalam sebuah sistem. Satir sebenarnya mempososikan secara lahiriah setiap anggota keluarga dalam hubungan yang ada, dan sering menggunakan prespektif komunikasi, ketika dia ingin mengetahui bagaimana anggota keluarga coping. Melalui penggunaan teknik ini, proses keluarga dan interaksi akan jelas, menghasilkan informasi yang signifikan mengenai anggota keluarga. Keluarga mematung memberikan anggota keluarga kesempatan untuk menujukkan bagaimana mereka memandang satu sama lain dalam struktur dan juga mengekspresikan bagaimana mereka bisa berhubungan dengan cara yang berbeda.
2) Rekonstruksi keluarga (family reconstruction)
Sebagai bentuk dari psikodrama yang dilakukan lagi dalam rekonstruksi keluarga yang memungkinkan konseli untuk mengeksplor kejadian secara signifikan dalam tiga generasi dalam kehidupan keluarga. Rekonstruksi keluarga yang mereka ambil melalui tahap–tahap yang berbeda dalam hidup mereka, memiliki tiga tujuan yaitu:
a) Memungkinkan anggota keluarga untuk mengidentifikasi akar dari pengalaman dahulu
(50)
39
b) Membantu mereka memformulasikan mengenai sebuah gambar yang lebih realita mengenai orang tua mereka
c) Menolong mereka dalam menemukan keunikan pribadi mereka65
Referensi lain juga menyebutkan garis besar dari pendekatan human validation process model yakni sebagai berikut:
1. Anggota keluarga berperan fleksibel dalam konseling
2. Disfungsi dalam keluarga dapat diamati dari rendahnya self-esteem dan komunikasi yang rendah
3. Tujuan utama dari konseling adalah meningkatkan komunikasi dalam keluarga dan perkembangan pribadi anggota keluarga
4. Cara menilai atau assesment fungsi keluarga dilakukan melalui kronologi kehidupan keluarga atau lebih dikenal dengan mapping/genogram
5. Fokus sementara dari konseling adalah masa yang akan datang
6. Intervensi yang biasa dilakukan pelatihan dan modelling dalam keluarga, kejelasan komunikasi keluarga, keluarga mematung dan membimbing interaksi keluarga
7. Karakteristik pendekatan dalam konseling adalah berperan langsung dan aktif, tidak men-judge siapapun, menjadi contoh komunikasi terbuka.66
Konseling keluarga dengan human validation process model dalam penelitian ini, konseling yang dilakukan dalam keluarga dengan human
65
Gerald Corey, Theory and Practice of Counseling and Psychoterapy: Sixth Edition, (Fullurton: Thomsom Learning), hal 408-411
66
David Capuzzi dan Douglas R. Gross, Counseling and Psychotherapy: Theories and Intervention, (Garamond: Pearson Education, 2003), hal. 294
(51)
40
validation process menggunakan teknik family sclupting yang bertujuan untuk menjalin komunikasi yang baik antara masing–masing anggota keluarga. Dengan terjalinnya komunikasi antara masing–masing anggota keluarga, maka dapat meningkatkan prososial dalam keluarga. Semakin adanya komunikasi yang terjalin dengan sangat baik, maka besar kemungkinan melakukan interaksi dan terciptanya prososial (keterbukaan dan membantu) dalam keluarga, masyarakat dan lingkungan.
3. Prososial
Perilaku prososial ini tidak lepas dari kehidupan manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Interaksi yang dilakukan tidak lepas dari tolong menolong, karena dalam kenyataan hidup walaupun manusia dikatakan makhluk yang mandiri, namun pada saat tertentu manusia tetap membutuhkan pertolongan dari orang lain. Pertolongan yang didapatkan dari orang sekitarnya merupakan hasil interaksi sebagai upaya mempertahankan kelangsungan hidupnya. Hal inilah yang menyebabkan adanya perilaku tolong–menolong. Bagaimana kemudian ada seseorang yang tidak mau membantu orang lain? Apakah faktor yang mendorong seseorang untuk memliki perilaku menolong atau prososial. 67
Myres menyatakan bahwa perilaku prososial adalah keinginan untuk membantu orang lain tanpa memikirkan kepentingan diri sendiri.68 Prosocial behavior diartikan sebagai tindakan apapun yang menguntungkan orang lain.69 Diartikan pula secara umum, prososial yaitu tindakan yang tidak menyediakan
67
Siti Mahmudah, Psikologi Sosial: Teori & Model Penelitian, (Malang: UIN-Maliki Press, 2011), hal. 53
68Gusti Yuli Asih dan Margaretha Maria Shinta Pratiwi, “Perilaku Prososial Ditinjau Da
ri Empati dan Kematangan Emosi”, Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus, 1 ( Desember. 2010), hal. 34
69
(52)
41
keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan bahkan mungkin mengandung derajat resiko tertentu. Prososial adalah tindakan yang dilakukan ataupun direncanakan untuk menolong orang lain, tanpa memperdulikan motif–motif si penolong. Perilaku sosial berkisar antara tindakan altrusitik tanpa pamrih hingga tindakan menolong yang termotivasi dari diri sendiri.70 lebih jauh, perilaku prososial mencakup tindakan sharing, cooperative, donating, helping, honesty, generosity, serta mempertimbangkan hak dan kesejahteraan orang lain.71 Dalam penelitian ini, yang dibidik adalah perilaku prososial anak yang dapat mencakup sharing, helping, honesty yang dilakukannya dalam keluarga.
a. Tahapan Perilaku Prososial
Latense dan Darley menjelaskan bahwa sebetulnya individu memberikan pertolongan kepada orang lain melalui beberapa tahapan, sebagai berikut:
1) Tahap perhatian
Perhatian merupakan hal yang sangat penting dalam perilaku prososial. Hal ini disebabkan karena perilaku manusia banyak ditentukan oleh kemauan/kehendaknya. Perhatian ini bisa muncul dikarenakan beberapa sebab misalnya: terganggu oleh kesibukan, ketergesangan, terdesak oleh kepentingan lain. Maka tingkat perhatian individu dipengaruhi oleh hal–hal tersebut.
2) Interpretasi situasi
Interpretasi mengenai situasi juga menentukan perilaku prososial individu. Singkatnya, bagaimana individu menginterpretasikan kejadian
70
Yeni Widyastuti, Psikologi Sosial, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014), hal. 107 71
(53)
42
yang diperhatikannya. Dalam menginterpretasikan kejadian itu, ada dua macam hasil interpretasi yang muncul atau ditunjukkan:
a) Sesuatu yang perlu ditolong b) Sesuatu yang tidak perlu ditolong 3) Tanggung jawab sosial (orang banyak)
Seseorang yang memiliki tanggung jawab sosial yang tinggi akan punya kecenderungan yang besar untuk menunjukkkan perilaku prososial. Seseorang mungkin akan dapat menolong orang yang dibencinya karena adanya rasa tanggung jawab sosial dalam diri individu tersebut.
4) Mengambil keputusan (menolong atau tidak)
Walaupun tadi sudah diputuskan untuk menolong, karena ada beberapa hambatan sebagai berikut: pengalaman–pengalaman terdahulu, dan sebagainya yang memungkinkan seseorang tidak jadi menolong. Oleh karena itu, sebenarnya pengambilan keputusan untuk menolong orang lain atau tidak sangat ditentukan juga oleh beberapa faktor intern maupun ekstern individu itu sendiri. 72
Secara singkat tahap-tahap pengambilan keputusan untuk melakukan tindakan prososial adalah perhatian terhadap sekitar kemudian menafsirkan kejadian yang terjadi di lingkungan sekitar, memiliki rasa tanggung jawab untuk membantu sehingga dapat mengambil tindakan untuk membantu permasalahan yang terjadi.
Bagan tahap–tahap pengambilan keputusan dalam model Latane dan Darley:
72
Siti Mahmudah, Psikologi Sosial: Teori & Model Penelitian, (Malang: UIN-Maliki Press, 2011), hal. 56 - 57
(54)
43
Bagan 2.1
BAGAN TAHAP–TAHAP MELAKUKAN TINDAKAN PROSOSIAL73
b. Faktor Penentu Perilaku Prososial 1) Situasi sosial
Situasi sosial akan mempengaruhi individu untuk menolong orang lain ataupun tidak. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa ada korelasi negatif antara banyaknya kelompok atau pemerhati terhadap tindakan prososial. Karena dalam situasi kelompok besar terjadi apa yang disebut dengan diffusion of responsibility (kekaburan tanggung jawab), kecuali apabila kelompok tersebut memiliki kohesivitas atau kesatuan kelompok yang tinggi.
Sears menyebutkan bahwa ada tiga hal yang mempengaruhi perilaku prososial seorang berkaitan dengan situasi ini, yaitu:
a) Kehadiran seseorang
Penelitian yang dilakukan oleh Darley dan Latane kemudian penelitian Latane dan Rodin menunjukkan hasil bahwa orang yang melihat kejadian darurat akan lebih suka memberi pertolongan apabila mereka sendirian daripada bersama orang lain. Sebab dalam
73
Jenny Mercer & Debbie Clayton, Psikologi Sosial, (jakarta: Erlangga, 2012), hal. 124
Mengetahui bahwa sesuatu sedang terjadi Menginterpretasi-kan peristiwa sebagai sebuah kedaruratan Mengambil keputusan akhir untuk menolong Memutuskan bahwa Anda atribut yang dibutuhkan untuk menolong Memutuskan bahwa Anda bertanggung jawab untuk menolong
(1)
87
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, peneliti telah menjelaskan
masalah beserta proses penyelesaian masalah dalam beberapa bab
sebelumnya. Untuk memberikan kemudahan bagi para pembaca, maka
peneliti mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Proses Konseling Keluarga dengan Human Validation Process Model
Dalam Meningkatkan Prososial Anak Dalam keluarga di Kembang Kuning
Keramat II Surabaya.
Konselor melakukan langkah identifikasi, diagnosis, prognosis,
terapi/treatment, dan evaluasi/follow up. Konselor memberikan bantuan
kepada konseli melalui konseling keluarga yang berfokus pada salah satu
pendekatannya yaitu human validation process model dengan
menggunakan salah satu tekniknya yaitu family sclupting (keluarga
mematung) untuk membentuk kelompok diskusi dalam keluarga tersebut.
Konselor juga menggunakan kontrak perubahan melalui tabel perubahan
agar dapat memantau perubahan sikap pada konseli seperti perubahan cara
berkomunikasi dan hubungan yang baik dalam keluarga. Sehingga onseli
bersedia memenuhi permintaan tanpa mengharapkan imbalan apapun bagi
dirinya serta orangtua dan konseli saling membantu peningkatan prososial
yang dilakukan konseli dalam keluarga baik terhadap orangtua, adik, dan
(2)
88
2. Kemudian setelah dilakukannya Konseling Keluarga dengan Human
Validation Process Model dalam sebuah keluarga di Kembang Kuning Keramat II Surabaya.
Konseli telah mengalami peningkatan dalam perubahan baik dari
segi ucapan maupun tingkah laku. Konseli yang sering meminta imbalan
saaat orangtua memintanya untuk mengerjakan sesuatu kemudian berubah
lebih prososial (bekerja tanpa mengharap imbalan apapun). Konseli yang
pada awalnya sering membentak, tidak jujur dan terbuka mengenai
permasalahannya kepada orangtua, keluar rumah seizin tanpa orangtua,
bersikap kurang sopan dalam kepada orang yang lebih tua dan tidak
bertanggung jawab untuk mengerjakan tugas rumah serta konseli yang
enggan untuk mendengar dan mengerjakan nasehat orangtua, kini sudah
mulai berkurang. Hasil akhir dari proses konseling yang dilakukan dalam
penelitian, dapat dikategorikan cukup berhasil dengan membawa hasil
perubahan pada masing-masing anggota keluarga sesuai dengan
permasalahan yang dihadapi oleh keluarga.
B. Saran
Peneliti menyadari bahwa dalam penelitian ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis berharap kepada peneliti selanjutnya
agar lebih menyempurnakan hasil penelitian, yang tentunya merujuk kepada
hasil penelitian yang sudah ada dengan harapan supaya penelitian yang akan
dihasilkan nantinya dapat menjadi lebih efektif dan lebih sempurna. Maka
(3)
89
1. Bagi Konseli
Bagi konseli agar dapat berperilaku prososial tidak hanya dalam
keluarga saja, namun juga dapat menumbuhkan dan menyebarkan
perilaku prososial dimanapun konseli berada, baik disekolah, baik kepada
teman-teman dan lain sebagainya. Selalu menjadi diri yang lebih baik
dan melakukan perintah Allah swt. Maka konseli mampu tumbuh
menjadi anak yang sholeh, giat serta mampu menjadi anak dengan
pribadi yang hebat.
2. Bagi Konselor
Konselor disarankan untuk dapat memberikan motivasi bagi
konseli agar dapat lebih mengembangkan perilaku prososial konseli
dalam keluarganya, serta memantau perkembangan konseli sehingga
tidak terjadi perilaku-perilaku yang tidak prososial seperti sebelumnya.
Konselor juga diharapkan untuk menambahkan wawasan kepada konseli
dan orangtuanya agar dapat membantu konseli untuk menangani
permasalahan rendahnya perilaku prososial anak dalam keluarga.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Peneliti selanjutnya disarankan agar melakukan yang lebih
mendalam lagi dalam menangani rendahnya perilaku prososial anak
dalam keluarga.
Selain itu, apabila dalam penelitian ini terdapat banyak kekeliruan,
mohon kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kesempurnaan pada
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Afufudin. Bimbingan dan Konseling. Bandung: Pustaka Setia. 2010
Amin, Samsul Munir. Bimbingan dan Konseling Islam. Jakarta: Amzah. 2015 Asih, Gusti Yuli. dan Margaretha Maria Shinta Pratiwi, “Perilaku Prososial
Ditinjau Dari Empati dan Kematangan Emosi”, Jurnal Psikologi Universitas
Muria Kudus, 1 Desember 2010
Baron, Robert A. dan Donn Byrne, Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga. 2005
Bungin, Burhan. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
2007
Chaplin, C. P. Kamus Psikologi. Jakarta: PT. Renika Cipta.
Corey, Gerald. Theory and Practice of Counseling and Psychoterapy: Sixth
Edition. Fullurton: Thomsom Learning.
David Capuzzi dan Douglas R. Gross. Counseling and Psychotherapy: Theories
and Intervention, Garamond: Pearson Education. 2003
Dayakisni, Tri. dan Hudaniah, Psikologi Sosial. Malang: UMM Press. 2009
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jawa Barat: CV.
Diponegoro. 2006
Djamrah, Syaiful Bahri. Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak Dalam Keluarga. Jakarta: Rineka Cipta. 2004
Effendy, Onong Uchana. Dinamika Kelompok. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya. 2008
Geldard, Kathryn. & David Geldard, Konseling Keluarga. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 2011
Gladding, Samuel T. Counseling: A Comperhensive Profession. Canada: Pearson. 2013
Gunarsa, Ny. Singgih D. Psikologi Untuk Keluarga. Jakarta: Gunung Mulia. 2000
Gunarsa, Singgih D. dan Yulia Singgih D. Gunarsa, Psikologi Perkembangan
Anak dan Remaja. Jakarta: Gunung Mulia. 2004
Gunarsa, Yulia Singgih D. Asas-Asas Psikologi Keluarga Idaman. Cet.3. Jakarta: Gunung Mulia. 2002
(5)
91
Hallen. Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Quantum Teaching. 2005
Indriani, Maya Budi. “Perilaku Prososial Pada Remaja Ditinjau Dari Pola Asuh Demokratis” (Skripsi, Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, 2012), hal. Vii
Kasiram. Metodologi Penelitian Kualitatif-Kuantitatif. Malang: UIN Maliki Press
Laela, Faizah Noer. Bimbingan dan Konseling Sosial. Surabaya: UIN Sunan Ampel Press. 2015
Latipun. Psikologi Konseling. Malang: UMM Press. 2015
Lee, Khoo Be. dan Mohd Hashim bin Othman, “Pendekatan Kaunseling Keluarga
Satir”, Pendidikan Kaunseling, 7 Januari 2007 Lestari, Sri. Psikologi Keluarga. Jakarta: Kencana. 2012
Lubis, Saiful Akhyar. Konseling Islam. Yogyakarta: elSAQ Press. 2007
Mahmudah, Siti. Psikologi Sosial: Teori & Model Penelitian. Malang:
UIN-Maliki Press. 2011
Mashudi, Farid. Psikologi Konseling. Jogjakarta : IRCiSoD. 2014.
Masruhan. Metodologi Penelitian Hukum.
McLeod, John. Pengantar Konseling: Teori dan Studi Kasus. Jakarta: Prenamedia Group. 2015
Mercer, Jenny. & Debbie Clayton , Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga. 2012
Moleong, J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2001
Mubarok, Achmad. Psikologi Keluarga. Malang : Madani. 2016
Nurihsan, Achmad Juntika. Bimbingan dan Konseling. Bandung : Refika
Aditama. 2014
Patton,Michael Quinn. Metode Evaluasi Kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2006
Purnama, Diana Septi. (dianaseptipurnama@uny.ac.id, Altruisme dan Perilaku
(6)
92
Safira, Maya. “Berbagi Makanan Sejak Kecil Buat Orang Lebih Baik”, detikFood. (online),
http://www.search.detik.com/index.php?fa=detik.searchresult&query=Prososi al+keluarga&area-id=news&siteid=&x=0&y-0, diakses 11 November 2014
Sarwono, Jonathan. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta:
Graha Ilmu. 2006
Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta. 2015
Sulistyarini dan Moh. Jauhar. Dasar–Dasar Konseling. Jakarta: Prestasi
Pustakarya. 2014
Widyastuti, Yeni. Psikologi Sosial. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2014
Willis, Sofyan S. Konseling Keluarga. Bandung : Alfabet. 2013