NILAI-NILAI PENDIDIKAN ETIKA BERKOMUNIKASI DALAM SURAT AL HUJURAT AYAT 1-3.
Oleh:
DEWI HAMALATIN NI’MAH NIM. D91212162
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JANUARI 2016
(2)
(3)
(4)
(5)
ABSTRAK
Dewi Hamalatin Ni’mah (D9121162), Nilai-nilai Pendidikan Etika Berkomunikasi dalam Surat Al-Hujurat Ayat 1-3, Program Studi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
Keyword: Nilai-nilai Pendidikan, Etika Berkomunikasi, Surat Al-Hujurat Ayat 1-3.
Fokus penelitian dalam skripsi ini adalah Bagaimana konsep pendidikan etika berkomunikasi dalam surat Al-Hujurat ayat 1-3, Bagaimana pendapat mufassir tentang Al-Hujurat ayat 1-3 dan Bagaimana aplikasi nilai-nilai pendidikan etika berkomunikasi dalam surat Al-Hujurat ayat 1-3.
Pelaksanaan penelitian pada skripsi ini dalam pengumpulan data penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Research), sedangkan fokus penelitiannya adalah Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 1-3 yang membahas tentang pendidikan etika berkomunikasi. Dalam pengolahan data, penulis menggunakan metode analitis (tahlili).
Hasil analisis tentang nilai-nilai pendidikan etika berkomunikasi dalam surat Al-Hujurat ayat 1-3 setelah diadakan kajian penelitian menunjukkan konsep pendidikan etika berkomunikasi dalam pergaulan, yaitu: Hormat kepada orangtua; Islam mengajarkan supaya anak mematuhi ibu bapaknya, selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Kesopanan terhadap teman sebaya; orang yang berteman hendaklah bergaul dengan segala tindak tanduk yang baik dan terpuji di mana saja dan kapan saja. Etika berbicara; seorang Muslim hendaknya bersuara lembut, berkata jujur, santun dan tidak mudah menghina.
Berdasarkan dari hasil analisis kajian skripsi ini, maka dapat penulis simpulkan bahwa untuk membentuk karakter Muslim yang cakap, luwes dalam bergaul dan memiliki kecerdasan sosial yang tinggi, maka harus dilaksanakan melalui proses pembiasaan perbuatan yang memiliki esensi nilai-nilai pendidikan etika, karena kepribadian Muslim terbentuk dari bentuk-bentuk akhlak yang mulia yang sudah terbiasa dilakukan hingga tidak memerlukan proses berfikir terlebih dahulu untuk melakukannya. Ketika nilai-nilai pendidikan etika berkomunikasi yang terkandung di dalam surat Al-Hujurat ayat 1-3 dimanifestasikan dalam bentuk perbuatan, maka akan lahir sifat-sifat yang baik (akhlaqulkarimah), apabila sifat-sifat yang baik tersebut melekat pada pribadi seseorang dan menjadi kebiasaan serta identitas yang selalu ada pada seorang Muslim serta menjadi ciri khas dari keseluruhan jatidirinya sebagai umat Islam. Maka yang demikianlah generasi penerus yang memiliki etika baik dalam berkomunikasi (bergaul).
(6)
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... ii
PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iii
MOTTO ... iv
PERSEMBAHAN ... v
ABSTRAK ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... ix
PEDOMAN TRANSLITERASI ... xii
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1
B.Rumusan Masalah ... 6
C.Tujuan Penelitian ... 6
D.Kegunaan Penelitian ... 6
E. Penelitian Terdahulu ... 8
F. Batasan Masalah ... 11
G.Definisi Operasional ... 11
H.Metodologi Penelitian ... 14
(7)
BAB II KAJIAN TEORI
A.Pendidikan Etika ... 23
1. Pengertian Pendidikan Etika ... 29
2. Tujuan Pendidikan Etika ... 32
3. Fungsi Pendidikan Etika ... 35
4. Ukuran Baik dan Buruk Pendidikan Etika ... 36
B.Etika Berkomunikasi ... 43
1. Etika Berkomunikasi dengan Orang yang Lebih Tua ... 47
2. Etika Berkomunikasi dengan Teman Sebaya ... 55
3. Etika Berkomunikasi dengan Orang yang Lebih Muda .... 56
BAB III PENYAJIAN DATA A. Lafadz dan Arti Mufradat Surat Al-Hujurat Ayat 1-3 ... 58
B. Asbab An-Nuzul ... 68
C. Munasabah ... 75
D. Isi Kandungan QS. Al-Hujurat Ayat 1-3 ... 83
BAB IV ANALISIS DATA A. Analisis Nilai-nilai Pendidikan Etika Berkomunikasi dalam Surat Al-Hujurat Ayat 1-3 ... 100
B. Aplikasi Nilai-nilai Pendidikan Etika Berkomunikasi dalam Surat Al-Hujurat Ayat 1-3 ... 118
(8)
2. Pendidikan Etika di Sekolah ... 122 3. Pendidikan Etika di Masyarakat ... 125
BAB V PENUTUP
A.Kesimpulan ... 136 B.Saran ... 139 DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
PERNYATAAN KEABSAHAN BIOGRAFI PENULIS
(9)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan salah satu aspek yang sangat penting untuk membangun generasi yang siap mengganti tongkat estafet generasi tua dalam rangka membangun masa depan. Karena itu pendidikan berperan menyosialisasikan kemampuan baru kepada mereka agar mampu mengantisipasi tuntutan masyarakat yang dinamis.1
Pendidikan merupakan kebutuhan manusia, kebutuhan pribadi seseorang. Kebutuhan yang tidak dapat diganti dengan yang lain. Karena pendidikan merupakan kebutuhan setiap individu untuk mengembangkan kualitas, potensi dan bakat diri. Pendidikan membentuk manusia dari tidak mengetahui menjadi mengetahui, dari bodoh menjadi pintar, dari kurang paham menjadi paham, intinya adalah pendidikan membentuk jasmani dan rohani menjadi paripurna.2 Sebagaimana tujuan pendidikan, menurut Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) UU RI No. 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3 dinyatakan:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
1
Muhaimin, Konsep Pendidikan Islam, (Solo: Ramadlan, 1991), h. 9 2
(10)
menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab.”3
Tujuan pendidikan setidaknya terbagi menjadi dua, yaitu pendidikan bertujuan mengembangkan aspek batin/rohani dan pendidikan bersifat jasmani/lahiriyah. Pertama, pendidikan bersifat rohani merujuk kepada kualitas kepribadian, karakter, akhlak dan watak. Kesemua itu menjadi bagian penting dalam pendidikan. Kedua, pengembangan berfokus kepada aspek jasmani, seperti ketangkasan, kesehatan, cakap, kreatif dan sebagainya. Pengembangan tersebut dilakukan di institusi sekolah dan di luar sekolah seperti di dalam keluarga dan masyarakat.
Tujuan pendidikan berusaha membentuk pribadi berkualitas baik jasmani dan rohani. Dengan demikian secara konseptual pendidikan mempunyai peran strategis dalam membentuk anak didik menjadi manusia berkualitas, tidak saja berkualitas dalam aspek skill, kognitif, afektif, tetapi juga spiritual. Hal ini membuktikan pendidikan mempunyai andil besar dalam mengarahkan anak didik mengembangkan diri berdasarkan potensi dan bakatnya. Melalui pendidikan anak
3
UU RI Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas (Bandung: Citra Umbara, 2006), h. 76
(11)
memungkinkan menjadi pribadi saleh, pribadi berkualitas secara skill, kognitif dan spiritual.4
Namun realitas di masyarakat, pendidikan diposisikan sebagai institusi yang dianggap gagal membentuk anak didik beretika baik dan mulia. Padahal tujuan pendidikan diantaranya adalah membentuk pribadi berwatak, bermartabat, beriman, dan bertakwa serta beretika.
Islam sangat mementingkan pendidikan, dengan pendidikan yang benar dan berkualitas, individu-individu yang beradab akan terbentuk yang akhirnya memunculkan kehidupan sosial yang bermoral.
Etika maupun akhlak yang baik menjadi sesuatu yang sangat penting dan berharga bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Mengingat dengan etika akan membentuk watak bangsa yang berkarakter dan memilki jati diri.5
Aspek pendidikan akhlak atau pembentukan akhlak menempati urutan yang sangat diutamakan dalam pendidikan, bahkan harus menjadi tujuan prioritas yang sangat dicapai. Hal ini karena dalam dinamika kehidupan akhlak merupakan mutiara hidup yang dapat membedakan manusia dengan makhluk Allah yang lain. Jika manusia tidak berakhlak maka akan hilanglah derajat kemanusiaannya sebagai makhluk Allah yang paling mulia, karena manusia akan terlepas dari
4
Ahlanwasahlan, Artikel: Metode Mengajar Tata Krama (Akhlak) (09 September 2008, http://warungbaca.blogspot.com/2008/09/methode-mengajar-tatakrama-akhlak-html) diakses tanggal 17 November2008
5
(12)
kendali nila-nilai seharusnya dijadikan pedoman dan pegangan dalam kehidupan ini.
Al-Qur‟an membahas semua nilai-nilai akhlak tanpa terkecuali. Ayat-ayatnya tidak meninggalkan satu pun permasalahan yang berhubungan dengan akhlak. Setiap dimensi yang berkaitan dengan akhlak terdapat di dalamnya baik berbentuk perintah, larangan maupun berbentuk anjuran, baik mengenai akhlak terpuji maupun mengenai perilaku tercela.6 Termasuk juga di dalamnya etika berkomunikasi, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 70:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar.(Al-Ahzab:33:70)7
Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak akan pernah lepas dari komunikasi. Komunikasi selalu menjadi kegiatan utama manusia baik komunikasi verbal maupun non verbal, baik komunikasi antar pribadi maupun komunikasi organisasi.
Hal ini memang telah menjadi kodrat manusia yang tidak dapat hidup sendiri, karena manusia adalah makhluk sosial. Dan dari dalam interaksi itulah manusia lambat laun menciptakan nilai-nilai bersama yang disebut sebagai kebudayaan.
Nilai-nilai yang terbentuk tersebut terdapat beberapa kaidah yang bertujuan mengatur tata cara kita berkomunikasi antar sesama tanpa menyakitkan hati dan
6
Ali Abdul Halim Mahmud, Akhlak Mulia, (Jakarta: Gema Insani, 2004), cet. 1, h. 173
7
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Pustaka Al-Mubin, 2013), h. 427
(13)
menjunjung tinggi etika sebagai sebuah tanda penghargaan pada lawan bicara, sebagaimana firman Allah srat Al-Hujurat ayat 1-3:
1. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
2. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari.
3. Sesungguhnya orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka Itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.(QS. Al-Hujurat [49]: 1-3)8
Dalam surat Al-Hujurat ayat 1-3 tersebut, terdapat nilai-nilai pendidikan etika berkomunikasi yang tidak akan dapat dipahami dan dihayati oleh siapapun dengan mata telanjang. Adanya pendidikan etika berkomunikasi yang sesuai dengan kaidah Al-Qur‟an menjadi sangat penting untuk dikaji dan diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Berdasarkan dari uraian di atas, peneliti kemudian bermaksud untuk melakukan penelitian guna mengetahui lebih jauh lagi tentang nilai-nilai
8
(14)
pendidikan etika berkomunikasi dalam surat Al-Hujurat ayat 1-3. Dengan itu, dalam penelitian ini peneliti memberi judul “Nilai-nilai Pendidikan Etika Berkomunikasi dalam Surat Al-Hujurat Ayat 1-3.”
B. Rumusan Masalah
Dari kerangka penelitian latar belakang masalah di atas dapat dirinci sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep pendidikan etika berkomunikasi?
2. Bagaimana pendapat para mufassir tentang pendidikan etika berkomunikasi yang terkandung dalam surat Al-Hujurat ayat 1-3?
3. Bagaimana aplikasi pendidikan etika berkomunikasi yang terkandung dalam surat Al-Hujurat ayat 1-3?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Penulis ingin mengetahui konsep pendidikan etika berkomunikasi
2. Penulis ingin mengetahui pendapat para mufassir tentang pendidikan etika berkomunikasi yang terkandung dalam surat Al-Hujurat ayat 1-3
3. Penulis ingin menjelaskan aplikasi pendidikan etika berkomunikasi di dalam pendidikan Islam
D. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian dari skripsi ini diharapkan dapat memberi manfaat, antara lain:
(15)
1. Manfaat Teoritis
a. Adapun hasil penelitian ini diharapkan untuk mengembangkan teori pendidikan etika berkomunikasi yang bersumber dari Al-Qur‟an.
b. Hasil penelitian ini diharapkan untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan etika berkomunikasi yang terkandung dalam Al-Qur‟an surat Al-Hujurat ayat 1-3.
c. Penelitian ini sebagai evaluasi diri agar menjadi manusia yang beretika luhur, khususnya dalam hal berkomunikasi dengan sesama.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dan tambahan pengetahuan mengenai pendidikan etika berkomunikasi yang kemudian bisa ditransformasikan kepada masyarakat tentang pentingnya seorang muslim mempunyai etika dalam berkomunikasi
b. Bagi peneliti yaitu sebagai salah satu syarat kelulusan dalam menyelesaikan program sarjana di prodi Pendidikan Agama Islam, jurusan Pendidikan Islam, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FTK) Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
c. Adapun penelitian ini dapat dijadikan bahan literatur atau referensi baru untuk memberi wawasan tambahan bagi peneliti selanjutnya.
(16)
E. Penelitian Terdahulu
Dalam penelitian terdahulu kali ini penulis akan mendeskripsikan beberapa karya skripsi sebelumnya yang ada kaitannya tentang nilai-nilai pendidikan etika berkomunikasi dalam surat Al-Hujurat ayat 1-3.
1. Ani Tuti Aswati (2014), alumni Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Ampel Surabaya. Skripsinya berjudul “Nilai-nilai Pendidikan Etika Sosial dalam Al-Qur‟an (Kajian QS. Al-Hujurat Ayat 11-13)” yang menjelaskan tentang pengajaran Allah SWT kepada manusia supaya senantiasa berperilaku baik di tengah-tengah masyarakat.
Nilai-nilai pendidikan etika sosial tersebut, adalah:
a. Pendidikan menjunjung tinggi kehormatan sesama muslim b. Pendidikan berprasangka baik
c. Pendidikan ta‟aruf
d. Pendidikan taubat
2. Erlin Nur Muhibbah (2014), alumni Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Ampel Surabaya. Skripsinya berjudul “Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Al-Qur‟an Surat Al-Hujurat Ayat 1-18” yang memberikan pengajaran tentang nilai yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, antara ssama manusia, antara lingkungan dan mengatur dirinya sendiri.
Nilai-nilai pendidikan akhlak tersebut, adalah: a. Adab terhadap wali-wali Allah
(17)
c. Berhati-hati terhadap berita yang dibawa oleh orang fasik
d. Cara menyelesaikan konflik yang timbul diantara kaum Muslimin e. Larangan saling mengejek
f. Larangan berburuk sangka dan menggunjing
g. Allah menciptakan manusia berbagai bangsa supaya saling mengenal h. Ciri iman yang sejati
3. Muhammad Athoillah (2013) alumni fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Skripsinya berjudul “Nilai-Nilai Kemasyarakatan dalam Surat Al-Hujurat (Studi atas Penafsiran Ahmad Mustafa Al-Maraghi dalam Tafsir al-Maraghi)” yang memberikan kontribusi terhadap perkembangan wacana keilmuan tentang nilai-nilai kemasyarakatan dalam cakupan luas di kehidupan manusia.
Nilai-nilai kemasyarakatan tersebut, adalah: a. Bentuk Perintah
1. Tabayyun (Klarifikasi) 2. Ishlah (Perdamaian) 3. Adil
4. Ukhuwah (Persaudaraan) 5. Ta’aruf(Saling Mengenal) 6. Musawah (Persamaan Derajat) b. Bentuk Larangan
(18)
2. Tidak Meninggikan Suara 3. Tidak Mengolok-olok 4. Tidak Berprasangka Buruk 5. Tidak Mencari-cari Keburukan 6. Tidak Menggunjing
Penulis menganilisis beberapa kajian pustaka ini terdapat persamaan dan perbedaan dengan skripsi yang akan penulis teliti, yaitu:
a. Persamaan: Sama- sama berkisar tentang pendidikan etika/akhlak, beberapa literatur dan skripsinya tersebut di dalamnya terkandung pembahasan berkisar tentang prilaku dan kepribadian, dan skripsi keduanya sama-sama menggunakan kajian studi analisis, yaitu dengan mengambil sumber dari Ayat Al-Qur‟an, As-Sunnah, buku literatur yang relevan dan kitab karangan para Ulama‟Salaf.
b. Perbedaan: Penelitian yang pertama itu obyek pembahasannya tentang nilai-nilai pendidikan islam tentang etika dalam hubungan sosial yang terkandung dalam surat Al-Hujurat ayat 11-13, sedang penelitian yang kedua obyek pembahasannya tentang nilai-nilai pendidikan akhlak yang tidak hanya mengatur hubungan sesama manusia saja, namun juga hubungan antara manusia dengan Tuhan dan lingkungan serta akhlak yang mengatur pribadi manusia yang terkandung dalam surat Al-Hujurat ayat 1-18, dan penelitian yang ketiga obyek pembahasannya tentang nilai-nilai kemasyarakatan secara
(19)
luas dalam kehidupan bermasyarakat yang terkandung dalam surat Al-Hujurat seluruhnya.
Adapun dari beberapa kajian pustaka di atas penulis lebih memfokuskan pada pendidikan etika berkomunikasi. Oleh karena itu, pada skripsi kali ini penulis akan mengkaji sebuah penelitian dengan judul “Nilai-nilai Pendidikan Etika Berkomunikasi dalam Surat Al-Hujurat Ayat 1-3”.
F. Batasan Masalah
Mengingat luasnya pembahasan, maka untuk lebih memperjelas dan memberi arah yang tepat dalam penulisan skripsi ini, perlu adanya pembatasan masalah dalam pembahasannya. Maka penulis membatasi permasalahan dalam penulisan skripsi ini sebagai berikut:
1. Konsep pendidikan etika berkomunikasi
2. Pendapat para mufassir tentang pendidikan etika berkomunikasi yang tekandung dalam surat Al-Hujurat ayat 1-3
3. Aplikasi pendidikan etika berkomunikasi yang terkandung dalam QS. Al-Hujurat ayat 1-3 di dalam pendidikan Islam
G. Definisi Operasional
Untuk memahami pengertian dalam penulisan skripsi ini, maka penulis memberikan beberapa istilah yang terkandung dalam judul skripsi ini. Adapun judul skripsi adalah Nilai-Nilai Pendidikan Etika Berkomunikasi Dalam Surat Al-Hujurat Ayat 1-3.
(20)
1. Nilai-nilai
Nilai dapat diartikan sebagai suatu yang positif dan bermanfaat dalam kehidupan manusia dan harus dimiliki setiap manusia untuk dipandang dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai di sini dalam konteks etika (baik dan buruk), logika (benar dan salah), estetika (indah dan jelek).9
Nilai merupakan segala sesuatu yang dihargai masyarakat mengenai apa yang lebih penting atau kurang penting, apa yang lebih baik atau kurang baik, dan apa yang lebih benar atau kurang benar sehingga dapat mengarahkan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari.
2. Pendidikan Etika
Pengertian pendidikan adalah suatu usaha sadar yang teratur dan sistematis yang dilakukan oleh orang-orang yang diserahi tanggungjawab untuk mempengaruhi anak agar mempunyai sifat dan tabiat sesuai dengan cita-cita pendidikan.10 Sedangkan etika adalah suatu ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dapat dinilai baik dan mana yang dapat dinilai buruk dengan memperlihatkan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat dicerna akal pikiran.11
9
http://konselingsebaya.blogspot.com/2012/06/pengertian-nilai-pendidikan.html diakses pada tanggal 05 Juli 2015
10
Amir Daein Indrakusuma, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Surabaya: Penerbit Usaha Nasional, 1973), h. 25
11
M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), h. 10
(21)
Pendidikan etika ialah latihan mental dan fisik yang menghasilkan manusia berpotensi tinggi untuk melaksanakan tugas kewajiban dan tanggungjawab dalam masyarakat.12
Jadi, pendidikan etika dapat disimpulkan sebagai suatu proses mendidik, memelihara, membentuk dan memberikan latihan fisik tentang etika dan kecerdasan berpikir baik yang bersifat formal maupun informal, sehingga menghasilkan manusia berbudaya tinggi untuk melaksanakan tugas kewajiban dan bertanggungjawab dalam masyarakat.
3. Komunikasi
Komunikasi adalah suatu proses seseorang atau beberapa orang, kelompok, organisasi dan masyarakat menciptakan dan menggunakan informasi agar terhubung dengan lingkungan dan orang lain serta dilakukan secara verbal (lisan) maupun nonverbal (gerak-gerik badan) yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak.13
Jadi komunikasi merupakan pesan yang disampaikan komunikator (sumber) kepada komunikan (pihak penerima) baik secara langsung atau tidak langsung dengan maksud memberikan dampak/efek kepada komunikan sesuai dengan yang diinginkan komunikator.
12
Istighfarotur Rahmaniyah, Konsep Pendidikan, Ibid., h. 90 13
(22)
4. Surat Al-Hujurat Ayat 1-3
Al-Qur‟an surat Al-Hujurat ayat 1-3 merupakan sebagian ayat dari sekian banyak ayat di dalam Al-Qur‟an yang membahas tentang pendidikan etika berkomunikasi yang penulis gunakan sebagai data primer pada penelitian ini. Di dalam ayat tersebut Allah Ta‟ala menjelaskan tentang seorang muslim yang bertakwa dan beruntung kelak di akhirat adalah hamba yang santun dalam berkomunikasi dengan lawan bicaranya, tidak menyakitkan hati dan dia tahu dengan siapa ia berkomunikasi.
Jadi maksud penulis dalam penulisan skripsi yang berjudul “Nilai-nilai Pendidikan Etika Berkomunikasi dalam Surat Al-Hujurat Ayat 1-3” adalah suatu konsep yang diterapkan dalam mendidik, memelihara, membentuk dan memberikan latihan fisik tentang etika dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan seseorang atau beberapa orang, kelompok, organisasi dan masyarakat yang sesuai dengan hasil penghayatan dari surat al-Hujurat Ayat 1-3 sehingga menghasilkan manusia bertaqwa dan berbudaya tinggi untuk melaksanakan tugas kewajiban dan bertanggungjawab dalam masyarakat.
H. Metodologi Penelitian
Kitab suci Al-Qur‟an selalu menjadi solusi dan petunjuk bagi siapa saja yang membutuhkannya. Namun, solusi dan petunjuk Al-Qur‟an dapat diserap dan digunakan jika seseorang memahami sifat-sifat dan kandungan Al-Qur‟an secara
(23)
bijak dan cermat, serta menggunakan metode yang tepat untuk menggali makna yang terkandung di dalamnya.14
Dalam menyusun skripsi ini, penulis menggali dan memperoleh data dengan metodologi penelitian sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati,15 Data yang dikumpulkan dalam menyelesaikan dan dalam memberikan penafsiran tidak menggunakan angka/rumus statistik. melainkan berupa kata-kata yang digali dari buku atau literatur.
Kajian ini merupakan kajian pustaka (library research) yaitu pengambilan data berasal dari buku-buku atau karya ilmiah di bidang tafsir Al-Qur‟an dan pendidikan. Dalam penelitian ini mencari nilai yang terkandung dalam Al-Qur‟an surat Al-Hujurat ayat 1-3.
2. Sumber Data
Yang dimaksud dengan data adalah segala keterangan (informasi) mengenai segala hal yang berkaitan dengan tujuan penelitian.
14
Syahrin Harahap, Metodologi Studi Penelitian Ilmu-ilmu Ushuluddin, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), h. 11
15
(24)
Menurut sumbernya, data penelitian digolongkan sebagai data primer dan data sekunder. Data yang digunakan penulis dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder, yaitu:
a. Data Primer
Data Primer adalah sumber informasi yang mempunyai wewenang dan tanggungjawab terhadap pengumpulan ataupun penyimpanan data atau di sebut juga sumber data/informasi tangan pertama, dikumpulkan oleh peneliti secara langsung dari sumber datanya. Data primer disebut juga sebagai data asli atau data baru.16 Sumber data primer yang penulis gunakan adalah:
1) Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Al-Qur’an dan tafsirnya, juz XIX, Semarang: Toha Putra, 2003.
2) Muhammad Qurays Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
3) Al-Imam Abul Fida Isma‟il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kasir, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2004
Skripsi yang penulis kaji menggunakan al qur‟an surat Al-Hujurat ayat 1-3 sebagai data primernya. Di dalam ayat tersebut Allah SWT menjelaskan tentang seorang muslim yang bertakwa dan beruntung kelak di akhirat adalah hamba yang santun dalam berkomunikasi dengan lawan
16
Muhammad Ali, Penelitian Kependidikan : Prosedur dan Strategi, (Bandung: Angkasa, 1987),h. 42.
(25)
bicaranya, tidak menyakitkan hati dan dia tahu dengan siapa ia berkomunikasi.
b. Data sekunder
Data sekunder yaitu sumber data yang mendukung dan melengkapi data-data primer. Adapun sumber data skunder penulis jadikan sebagai landasan teori kedua dalam kajian skripsi setelah sumber data primer. Data ini berfungsi sebagai penunjang data primer, dengan adanya sumber data primer maka akan semakin menguatkan argumentasi maupun landasan teori dalam kajiannya.17
Adapun data sekunder dalam penelitian ini adalah beberapa ayat
Al-Qur‟an, Hadits yang relevan dan buku-buku yang menunjang didalamnya
mengandung tentang nilai-nilai pendidikan etika berkomunikasi dalam surat Al-Hujurat ayat 1-3 dan aplikasinya dalam kehidupan bermasyarakat, diantaranya adalah:
1) Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
2) Istighfarotur Rahmaniyah, Pendidikan Etika, Malang: Aditya Media, 2011.
3) A. Mudjab Mahali, Ethika Kehidupan, Yogyakarta: BPFE, 1984.
17
Joko Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004), cet, 4, h. 89
(26)
3. Analisis Data
Para ulama sepanjang sejarah Islam telah berusaha secara serius merumuskan berbagai metode yang dapat diterapkan dalam mengkaji Al-Qur‟an, sehingga umat Islam yang meyakini kitab suci ini sebagai pedoman hidup, dapat menangkap makna pesan-pesannya. Metode-metode tersebut adalah:18
a. Metode Tafsir Tahlili (Analitis)
Metode tahlily atau yang dinamai Baqir al-Shadr sebagai metode
tajzi’i19
adalah satu metode tafsir yang mufassirnya berusaha menjelaskan arti dan maksud ayat-ayat Al-Qur‟an dari sekian banyak seginya, dengan menjelaskan ayat demi ayat sesuai urutannya di dalam mushaf, melalui penafsiran kosa kata, penjelasan asbab al-nuzul (sebab-sebab turunnya ayat), munasabat (keterkaitan ayat dengan ayat, surat dengan surat dan seterusnya), serta kandungan ayat tersebut, sesuai keahlian dan kecenderungan seorang mufassir.
b. Metode Tafsir Maudlu’iy (Tematik)
Metode Maudlu’iy adalah suatu metode menafsirkan Al-Qur‟an dengan menghimpun ayat-ayat, baik dari suatu surat maupun beberapa surat, yang berbicara tentang topik tertentu, untuk kemudian mengaitkan
18
Syahrin Harahap, op.cit., h. 17 19
(27)
antara satu dengan lainnya. Kemudian mengambil kesimpulan menyeluruh tentang masalah tersebut menurut pandangan Al-Qur‟an. c. Metode Tafsir Muqaran (Komparasi-Perbandingan)
Metode Muqaran adalah suatu metode mencari kandungan Al-Qur‟an dengan cara membandingkan satu ayat dengan ayat lainnya, yaitu ayat-ayat yang mempunyai kemiripan redaksi dalam dua masalah atau membandingkan ayat-ayat Al-Qur‟an dengan hadits Nabi yang tampak bertentangan, serta membandingkan pendapat-pendapat para ulama tafsir menyangkut penafsiran Al-Qur‟an.
d. Metode Tafsir bi al-Ma’tsur
Metode tafsir bi al-ma’tsur adalah metode penafsiran dengan cara mengutip atau mengambil rujukan pada Al-Qur‟an, hadits Nabi, kutipan sahabat serta tabi‟in.20
Metode ini mengharuskan mufassir menelusuri shahih tidaknya riwayat yang digunakannya.
e. Metode Tafsir bi al-Ra’yi
Metode tafsir bi al-ra’yi adalah penjelasan-penjelasan yang bersendi kepada ijtihad dan akal, berpegang pada kaidah-kaidah bahasa dan adat istiadat orang Arab dalam mempergunakan bahasanya.21
Dalam penelitian ini, penulis menganalisis data dengan menggunakan metode
Tafsir Tahlili (analitis) dengan tahapan kerjanya yaitu:
20
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran/TafsirI, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 227
21
(28)
1. Bermula dari kosakata yang terdapat pada setiap ayat yang akan ditafsirkan sebagaimana urutan dalam Al-Qur‟an,
2. Menjelaskan asbab nuzul ayat dengan menggunakan keterangan yang diberikan oleh hadits (bir riwayah),
3. Menjelaskan munasabah atau hubungan ayat yang ditafsirkan dengan ayat sebelum atau sesudahnya,
4. Menjelaskan makna yang terkandung pada setiap potongan ayat dengan menggunakan keterangan yang ada pada ayat lain, atau dengan menggunakan hadits Rasulullah SAW atau dengan menggunakan penalaran rasional atau berbagai disiplin ilmu sebagai sebuah pendekatan
5. Menarik kesimpulan dari ayat tersebut yang berkenaan dengan hukum mengenai suatu masalah, atau lainnya sesuai dengan kandungan ayat tersebut22
Jadi dalam penelitian ini, penulis berusaha menjelaskan nilai-nilai pendidikan etika berkomunikasi dalam surat Al-Hujurat ayat 1-3 dari beberapa redaksi tafsir dengan menggunakan metode tafsir tahlily yang dilihat dari segi pendekatannya, menggunakan sandaran pada hadits-hadits Rasullullah yang disebut tafsir bi
al-Ma’tsur dan ada yang menggunakan sandaran pada penalaran atau pendapat akal yang disebut tafsir bi al-ra’yi.
22
(29)
I. Sistematika Pembahasan BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah B. Rumusan Masalah C. Tujuan Penelitian D. Kegunaan Penelitian E. Penelitian Terdahulu F. Batasan Masalah G. Definisi Operasional H. Metodologi Penelitian I. Sistematika Pembahasan BAB II: KAJIAN TEORI
A. Pendidikan Etika :
1. Pengertian Pendidikan Etika 2. Tujuan Pendidikan Etika 3. Fungsi Pendidikan Etika
4. Ukuran Baik dan Buruk Pendidikan Etika B. Etika Berkomunikasi
1. Etika Berkomunikasi dengan Orang Yang Lebih Tua 2. Etika Berkomunikasi dengan Teman Sebaya
(30)
BAB III: PENYAJIAN DATA
A. Lafadz dan Arti Mufradat Surat Al-Hujurat Ayat 1-3 B. Asbab An-Nuzul
C. Munasabah
D. Isi Kandungan QS. Al-Hujurat Ayat 1-3 BAB IV: ANALISIS DATA
A. Analisis nilai-nilai pendidikan etika berkomunikasi yang terkandung dalam QS. AL-Hujurat ayat 1-3
B. Aplikasi nilai-nilai pendidikan etika berkomunikasi yang terkandung dalam QS. AL-Hujurat ayat 1-3
1. Pendidikan Etika dalam Keluarga 2. Pendidikan Etika di Sekolah 3. Pendidikan Etika di Masyarakat BAB V: PENUTUP
Kesimpulan dari skripsi yang berawal dari rumusan masalah dan dilengkapi dengan saran-saran yang membantu dalam perbaikan skripsi ini, dan diikuti dengan daftar pustaka serta lampiran-lampirannya.
(31)
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pendidikan Etika
Di kalangan masyarakat Indonesia ada beberapa istilah yang digunakan sebagai nama suatu tindakan atau perilaku seseorang, diantaranya istilah moral, akhlak, adab dan etika. Masyarakat awam menilai keempat istilah tersebut senyawa dan searti tanpa ada perbedaan. Maka, sebelum penulis membahas pengertian pendidikan etika, penulis merasa perlu untuk menjelaskan pengertian istilah-istilah tersebut agar tidak menimbulkan kerancuan dalam pemahaman pembaca.
Moral berasal dari bahasa latin mos (jamak: mores) yang juga mengandung arti adat kebiasaan, kebiasaan, cara, tingkah laku, kelakuan.23 Moral dalam arti istilah adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik dan buruk.
Secara umun moral adalah istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktivitas manusia dengan nilai (ketentuan) baik atau buruk, benar atau salah.24
23
Abd. Haris, Pengantar Etika Islam, (Sidoarjo: Al-Afkar Press, 2007), h. 5 24
http://www.academia.edu/9209192/PENGERTIAN_PENDIDIKAN_AKHLAK_MORAL_ DAN_ETIKA, diakses 23 Oktober 2015, 09.35
(32)
Jadi moral merupakan upaya perbaikan perilaku anak agar mereka mau dan mampu melaksanakan tugas hidupnya selaras dan seimbang dengan adanya batasan benar salah dan baik buruk.
Setelah membahas pengertian moral, penulis membahas pengertian akhlak. Definisi akhlak berasal dari bahasa Arab, yaitu isim mashdar dari kata akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan, sesuai dengan wazan tsulasi majid af’ala yuf’ilu if’alan yang berarti al-sajiyah (perangai), ath-thabi’ah (kelakuan, tabia‟at, watak, dasar),
al-‘adat (kebiasaan, kelaziman), al-muru’ah (peradaban yang baik), dan ad-din
(agama).25
Akhlak menurut bahasa berarti tingkah laku, perangai atau tabi‟at, sedangkan menurut istilah adalah daya kekuatan jiwa yang mendorong perbuatan-perbuatan dengan mudah dan spontan, tanpa dipikir dan direnungkan hati.
Adapun akhlak secara terminologi para ulama memberikan definisi-definisi beragam sebagaimana dibawah ini:
Menurut Ibnu Miskawih bahwa yang dimaksud dengan akhlak adalah keadaan jiwa yang selalu mendorong manusia berbuat, tanpa memikirkan lebih lama.26
Menurut Imam Al-Ghazali, akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.27
25
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), cet, 12, h. 1 26
Mahjuddi, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Kalam Mulia, 2010), h. 2 27
Imam Ghazali, Mau’idotun Al-Mukminin Min Ihya’ Ulumuddin, (Surabaya: Maktabah Al-Hidayah, tt), h. 203
(33)
Akhlak adalah suatu kekuatan dalam kehendak yang mantap, kekuatan dan kehendak mana berkombinasi membawa kecenderungan pada pemilihan pihak yang benar (dalam hal akhlak yang baik) atau pihak yang jahat (dalam hal akhlak yang jahat).28
Perbuatan-perbuatan manusia dapat dianggap sebagai manifestasi dari akhlaknya, apabila dipenuhi dua syarat, yaitu:
a. Perbuatan-perbuatan itu dilakukan berulang kali dalam bentuk yang sama, sehingga menjadi kebiasaan.
b. Perbuatan-perbuatan itu dilakukan karena dorongan emosi-emosi jiwanya, bukan karena adanya tekanan-tekanan yang menimbulkan ketakutan atau bujukan dengan harapan-harapan yang indah.29
Adapun secara tekstual, definisi diatas tampak berbeda-beda, akan tetapi memiliki esensi makna yang sama, beberapa ulama diatas sependapat bahwa akhlak adalah tindakan yang dilakukan manusia tanpa melalui pertimbangan tertentu sebelumnya, dan muncul menjadi suatu kebiasaan. Hal itu terjadi karena cenderung dilakukan berulang-ulang dan mandiri tanpa ada paksaan dari faktor luar diri manusia sebagai makhluk individual yang bebas. Perbuatan yang menjelma menjadi perilaku-perilaku kebiasaan mencerminkan karakter pribadi manusia. Prilaku manusia merupakan nilai kualitas manusia yang melekat dalam diri pribadinya sebagai akibat pembiasaan-pembiasaan dan terimplemantasikan
28
A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), cet, 2, h. 14 29
(34)
pada bentuk perilaku secara spontanitas, baik berupa perilaku terpuji maupun perilaku tercela.
Jadi, akhlak merupakan wujud tabiat yang baik pada seorang anak, sehingga terbentuk manusia yang taat kepada Allah. Pembentukan tabiat ini dilakukan oleh pendidik secara kontinue dengan tidak ada paksaan dari pihak manapun.
Setelah membahas pengertian moral dan akhlak, penulis menjelaskan pengertian adab. Menurut bahasa, adab memiliki arti kesopanan, kehalusan dan kebaikan budi pekerti. M. Sastra Praja menjelaskan bahwa adab yaitu tata cara hidup, penghalusan dan kemuliaan kebudayaan manusia. Sedangkan menurut istilah, adab adalah suatu ibarat tentang pengetahuan yang dapat menjaga diri dari segala sifat yang salah.30
Menurut Hamka adab dibagi menjadi dua bagian: a. Adab di luar
Adab di luar dalam istilah lain disebut dengan etiket. Etiket sendiri berarti tata cara atau adat atau sopan santun dan sebagainya, di masyarakat beradab dalam memelihara hubungan baik antara sesama manusianya. Adab di luar atau etiket adalah kesopanan dalam pergaulan, menjaga yang salah pada pandangan orang. Adab di luar berubah menurut perubahan tempat dan bertukar menurut pertukaran zaman, termasuk kepada hukum adat istiadat dan lain-lain.
30
(35)
b. Adab di dalam
Adab di dalam atau kesopanan batin adalah tempat timbulnya kesopanan lahir. Kesopanan batin yang dimaksud di atas tentu berbeda dengan kesopanan lahir. Kesopanan lahir adalah etiket, sedangkan kesopanan batin adalah etika. Etiket berarti sopan santun dan etika berarti moral.31
Jadi adab merupakan kesiapan anak menjadi manusia seutuhnya yang berbudi pekerti luhur dalam segenap peranannya sekarang dan masa yang akan datang.
Sedangkan pengertian etika secara etimologi, berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu “ethos” (jamak: ta etha) yang artinya adat kebiasaan. Etika adalah istilah lain dari akhlak dan moral, serta ilmu tentang tingkah laku manusia dan prinsip-prinsip yang disistematisasi dari hasil pola pikir manusia.32
Persoalan etika ialah perbuatan yang timbul dari orang yang melakukan dengan ikhtiar dan sengaja.33 Etika juga merupakan kebiasaan moral dan sifat perwatakan yang berisi nilai-nilai yang terbentuk dalam tingkah laku dan adat istiadat. Jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata etika berarti ilmu tentang asas-asas akhlak.34
Etika secara terminologis, Bertens mengartikan etika sebagai ilmu yang mempelajari adat kebiasaan, termasuk di dalamnya moral yang mengandung nilai
31
Abd. Haris, Pengantar Etika, Ibid. h. 40 32
Beni Ahmad Saebani, Ilmu Akhlak, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 27 33
Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak(, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 5 34
(36)
dan norma yang menjadi pegangan hidup seseorang atau sekelompok orang bagi pengaturan tingkah lakunya.35
Jadi dapat disimpulkan bahwa ada beberapa persamaan antara moral, akhlak, adab dan etika, yang dapat dipaparkan sebagai berikut:
a) Moral, akhlak, adab dan etika mengacu kepada ajaran atau gambaran tentang perbuatan, tingkah laku, sifat dan perangai yang baik
b) Moral, akhlak, adab dan etika merupan prinsip atau aturan hidup manusia untuk menakar martabat dan harkat kemanusiaannya. Sebaliknya semakin rendah kualitas akhlak, etika seseorang atau sekelompok orang, maka semakin rendah pula kualitas kemanusiaannya.
c) Moral, akhlak, adab dan etika seseorang atau sekelompok orang tidak semata-mata merupakan faktor keturunan yang bersifat tetap, statis, dan konstan, tetapi merupakan potensi positif yang dimiliki setiap orang. Untuk pengembangan potensi positif tersebut diperlukan penddikan, pembiasaan dan keteladananserta dukungan lingkungan, mulai dari lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat secara terus menerus.
Sedangkan perbedaan moral, akhlak, adab dan etika terletak pada sifat dan objeknya. Etika lebih bersifat teoritis dan umum, moral bersifat lokal atau khusus, akhlak standar penentuannya adalah Al-Quran dan Al-Hadits, sedangkan adab lebih bersifat teknikal.
35
Nurul Zuriah, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011), h. 17
(37)
Moral, akhlak, adab dan etika jika dilihat dari sumber yang dijadikan patokan untuk menentukan baik dan buruk juga terdapat perbedaan. Dalam etika penilaian baik buruk berdasarkan pada pendapat akal pikiran, sedangkan moral akhlak dan adab berdasarkan kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat. 1. Pengertian Pendidikan Etika
Alasan penulis menggunakan kata etika dalam judul skripsi ini adalah karena istilah etika lebih bersifat teoritis dan umum, sehingga makna yang terdapat dalam istilah moral, akhlak dan adab secara tersurat sudah tercover didalamnya.
Membahas tentang etika, penulis berasumsi bahwa etika tidak mungkin dapat dimiliki oleh seorang tanpa adanya latihan dan pembiasaan yang dilakukan secara konsisten. Maka, dalam dunia pendidikan terdapat istilah pendidikan etika. Dalam hal ini, penulis terlebih dahulu menjelaskan pengertian pendidikan secara etimologi dan terminologi.
Secara etimologi, Istilah pendidikan berasal dari bahasa Yunani “Paedagogike” ini adalah kata majemuk yang terdiri dari kata “paes” yang
berarti aku membimbing anak dengan maksud membawanya ke tempat belajar dalam bahasa Yunani disebut “paedagogos”. Jika kata ini diartikan secara simbolis, maka perbuatan membimbing seperti dikatakan diatas itu merupakan inti perbuatan mendidik yang tugasnya hanya untuk membimbing
(38)
saja, dan kemudian pada suatu saat ia harus melepaskan anak itu kembali (ke dalam masyarakat).36
Secara terminologi pengertian pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara menyebutkan bahwa pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.37
Sedangkan menurut Athiyah al-Abrasyi seperti dikutip Ramayulis, pendidikan adalah mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan bahagia, mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya (akhlaknya), teratur pikirannya, halus perasaannya, mahir dalam pekerjaannya, manis tutur katanya baik dengan lisan atau tulisan.38
Pendidikan telah didefinisikan secara berbeda oleh berbagai kalangan yang banyak dipengaruhi pandangan dunia masing-masing. Namun pada dasarnya, semua pandangan yang berbeda itu bertemu dalam kesimpulan awal; Pendidikan merupakan suatu proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien.39
36
Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), h. 70 37
Ki Hajar Dewantara, Karya Bagian pertama: Pendidikan, (Yogyakarta: Majlis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1962), h. 14
38
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), h. 3 39
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi Modernisasi di Tengan Tantangan Milenium, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 4
(39)
Pendidikan dalam arti sederhana sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan.
Nilai pendidikan merupakan batasan segala sesuatu yang mendidik manusia ke arah kedewasaan yang bersifat baik maupun buruk, sehingga berguna bagi kehidupan manusia yang diperoleh melalui proses pendidikan. Proses pendidikan bukan berarti hanya dapat dilakukan dalam satu tempat ataupun waktu tertentu. Dalam kehidupan manusia, nilai-nilai pendidikan diarahkan pada pembentukan pribadi manusia sebagai makhluk individu, sosial, religius dan berbudaya.
Sedangkan etika sebagaimana yang dikatakan oleh Jan Hendrik Rapar, berarti pengetahuan yang membahas baik buruk atau benar tidaknya tingkah laku dan tindakan manusia menyoroti kewajiban-kewajiban manusia.40
Jadi dapat disimpulkan Pendidikan Etika adalah upaya untuk membekali anak melalui bimbingan, pengajaran dan latihan selama pertumbuhan dan perkembangan dirinya sebagai bekal masa depannya, agar memiliki hati nurani yang bersih, berperangai yang baik, serta menjaga kesusilaan dalam melaksanakan kewajiban terhadap Tuhan dan sesama makhluk. Dengan demikian, terbentuklah pribadi seutuhnya yang tercemin pada perilaku berupa ucapan, perbuatan, sikap, pikiran, perasaan, kerja dan
40
(40)
hasil karya berdasarkan nilai-nilai agama serta norma dan moral luhur bangsa.
Pendidikan etika harus ditanamkan sejak dini, baik dari lingkungan, keluarga dan sekolah. Agar anak dapat berkembang dengan edengan etika dan moral yang baik serta sesuai dengan ajaran agama.
2. Tujuan Pendidikan Etika
Setiap usaha yang dilakukan secara sadar oleh manusia, pasti tidak lepas dari tujuan. Demikian juga halnya dengan tujuan pendidikan etika, yaitu bahwa yang akan dicapai dalam pendidikan etika tidak berbeda dengan tujuan pendidikan Islam itu sendiri. Tujuan tertinggi agama dan etika ialah mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, kesempurnaan jiwa bagi individu, dan menciptakan kebahagiaan, kemajuan, kekuatan dan keteguhan bagi masyarakat.
Dalam kehidupan sehari-hari, pendidikan etika sangat penting diterapkan untuk menciptakan nilai moral yang baik. Beberapa orang mengartikan bahwa etika hanyalah sebagai konsep untuk dipahami dan bukan menjadi bagian dari diri kita. Namun sebenarnya etika harus benar-benar dimiliki dan diterapkan oleh diri kita masing-masing, sebagai modal utama moralitas kita pada kehidupan yang menuntut kita berbuat baik. Etika yang baik, mencerminkan perilaku yang baik, sedangkan etika yang buruk, mencerminkan perilaku yang buruk pula. Selain itu etika dapat membuat seorang menjadi lebih bertanggungjawab, adil dan responsif.
(41)
Pendidikan etika secara umum bertujuan untuk memfasilitasi anak agar mampu menggunakan pengetahuan, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai, mengembangkan ketrampilan soasial yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya akhlak mulia dalam diri siswa serta mewujudkannya dalam perilaku sehari-hari.41
Adapun tujuan pendidikan etika menurut M. Athiyah Al-Abrasyi adalah membentuk orang-orang yang bermoral baik, keras kemauan, sopan dalam berbicara dan perbuatan, mulia dalam tingkah laku dan perangai, bersifat bijaksana, beradab, ikhlas, jujur, suci.42
Selanjutnya Anwar Masy‟ari juga berpendapat bahwa tujuan pendidikan etika untuk mengetahui perbedaan perangai manusia yang baik dan jahat, agar manusia memegang teguh perangai-perangai yang jelek, sehingga terciptalah tata tertib dalam pergaulan masyarakat, tidak saling membenci dengan yang lain.43
Menurut Imam Ghazali tujuan pendidikan etika (akhlak) adalah membuat amal yang dikerjakan menjadi nikmat. Seseorang yang dermawan akan merasakan lezat dan lega ketika memberikan hartanya dan ini berbeda
41
Nurul Zuriah, Pendidikan Moral, Ibid. h. 64
42
M Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), h. 140
43Anwar Masy‟ari,
(42)
dengan orang yang memberikan hartanya karena terpaksa. Seseorang yang merendahkan diri ia merasakan lezatnya tawadhu‟.44
Menurut Cahyoto tujuan pendidikan etika dapat dikembalikan kepada harapan masyarakat terhadap sekolah yang menghendaki siswa memiliki kemampuan dan kecakapan berpikir, menjadi anggota masyarakat yang bermanfaat dan memiliki kemampuan yang teruji sebagai anggota masyarakat.45
Berdasarkan pemikiran diatas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan etika adalah sebagai berikut:
a) Untuk mendapatkan konsep yang sama mengenai penilaian baik buruknya perilaku atau tindakan manusia dalam ruang dan waktu tertentu b) Mengarahkan perkembangan masyarakat menuju suasana yang
harmonis, tertib, teratur dan sejahtera
c) Mengajak orang bersikap kritis dan rasional dalam mengambil keputusan secara otonom
d) Etika merupakan sarana yang memberi orientasi pada hidup manusia e) Untuk memiliki kedalaman sikap; untuk memiliki kemandirian dan
tanggungjawab terhadap hidupnya
f) Mengantar manusia pada bagaimana menjadi baik
44
Ahmad Muhammad Al-Huffy, Keteladanan Akhlak Nabi Muhammad SAW, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), cet, 1, h. 14
45
(43)
3. Fungsi Pendidikan Etika
Menurut Draf Kurikulum Berbasis Kompetensi, fungsi pendidikan etika bagi anak/siswa ialah sebagai berikut:
a) Pengembangan, yaitu untuk meningkatkan perilaku yang baik bagi anak/siswa yang telah tertanam dalam lingkungan keluarga dan masyarakat
b) Penyaluran, yaitu untuk membantu anak/siswa yang memiliki bakat tertentu agar dapat berkembang dan bermanfaat secara optimal sesuai dengan budaya bangsa
c) Perbaikan, yaitu untuk memperbaiki kesalahan, kekurangan dan kelemahan anak/siswa dalam perilaku sehari-hari
d) Pencegahan, mencegah perilaku negatif yang tidak sesuai dengan ajaran agama dan budaya bangsa
e) Pembersih, yaitu untuk membersihakan diri dari penyakit hati seperti sombong, egois, iri, dengki dan riya‟ agar anak/siswa tumbuh dan berkembang sesuai dengan ajaran agama dan budaya bangsa
f) Penyaring (filter), yaitu untuk menyaring budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai etika46
Dengan demikian, pendidikan etika akan menjadi dasar dalam pembentukan moral berkualitas bangsa, yang tidak mengabaikan nilai-nilai sosial. Pendidikan etika akan melahirkan pribadi unggulyang tidak hanya
46
(44)
memilki kemampuan kognitif saja, namun memiliki etika yang mampu mewujudkan kesuksesan. Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat, ternyata kesuksesan seseorang tidak semata-mata ditentukan oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill).
4. Ukuran Baik dan Buruk Pendidikan Etika
Kebaikan merupakan hal yang dapat dicapai oleh manusia dengan melaksanakan kemauannya dan berupaya dengan hal yang berkaitan dengan tujuan diciptakannya manusia. Sedangkan keburukan merupakan penghambat manusia dalam mencapai kebaikan, dimana hambatan ini berupa kemauan dan upayanya, atau berupa kmalasan dalam mencari kebaikan.
Kebanyakan manusia berselisih dalam pandangannya mengenai sesuatu; diantara mereka ada yang melihatnya buruk, bahkan ada seorang yang melihat sesuatu baik dalam waktu ini, lalu melihatnya buruk pada waktu lain, maka dengan ukuran apakah sehingga dengan suatu pandangan, kita dapat memberi hukum kepada sesuatu dengan baik dan buruk?
Dalam Islam, dasar atau alat pengukur yang menyatakan baik buruknya sifat seseorang itu adalah Al-Qur‟an dan As-Sunnah Nabi SAW. Apa yang baik menurut Al-Qur‟an dan As-Sunnah, itulah yang baik untuk
(45)
dijadikan pegangan dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, apa yang buruk menurut Al-Qur‟an dan As-Sunnah, itulah tidak baik dan harus dijauhi. 47
Abdur Razaq menceritakan kepada kita dari Ma‟mar dari Qotadah dari Zuroroh dari Sa‟ad bin Hisyam berkata aku bertanya kepada „Aisyah maka aku berkata: beritahu aku tentang akhlak Rasulullah SAW maka beliau berkata adapun akhlak Rasulullah adalah Al Qur‟an.(HR. Ahmad)
Maksud perkataan „Aisyah adalah bahwa segala tingkah laku dan tindakan beliau, baik yang lahir maupun bathin senantiasa mengikuti petunjuk dari Al-Quran. Al-Qur‟an selalu mengajarkan umat Islam untuk berbuat baik dan menjauhi segala perbuatan yang buruk. Ukuran baik dan buruk ini ditentukan oleh Al-Qur‟an.49
Al-Qur‟an dengan jelas memberikan tuntunan tentang perihal
perbuatan baik yang harus dilakukan oleh manusia dan mana perbuatan buruk yang harus dijauhinya. Demikian halnya dengan Hadits yang merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah Al-Qur‟an juga sebagai pedoman tingkah laku oleh manusia, karena seluruh ucapan, perbuatan, tingkah laku dan Iqrar Nabi adalah suri tauladan bagi tatanan kehidupan manusia yang
47
M. Ali Hasan, Tuntunan Akhlak, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 11. 48
Ahmad Bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad binHanbal, (tt, Muassasah Arrisalah: 1999), Juz. 42, h. 183
49
A. Zainuddin dan Muhammad Jamhari, Al-Islam 2: Muamalah dan Akhlak, (Bandung: CV Pustaka, 1999), h. 74
(46)
Ideal. Dijelaskan dalam firman Allah SWT. Di dalam Al-Qur‟an surat Al -Ahzab ayat 21 sebagai berikut:
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah. (Al-Ahzab [33]: 21)50
Sedangkan baik dan buruk dalam ukuran-ukuran yang terkenal dalam kalangan ahli-ahli pengetahuan ialah ditinjau dari berbagai aspek, yaitu:51 a. Pengaruh adat istiadat
Dalam segala tempat dan waktu, manusia terpengaruh oleh adat istiadat golongan dan bangsanya, karena manusia hidup di dalam lingkungan mereka.52 Perintah adat istiadat dan larangan-larangan yang dijauhi ada beberapa hal:
1) Pendapat umum, karena memuji pengikut-pengikut adat istiadat dan mengejek orang-orang yang menyalahinya, maka adat istiadat bangsa dalam berpakaian, makan, bercakap-cakap dan sebagainya sangatlah kuat dan kokoh.
50
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemah, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2010), h. 423
51
Ahmad Amin, Etika, Ibid., h. 86 52
(47)
2) Apa yang diriwayatkan turun temurun dari hikayat-hikayat yang menganggap bahwa setan dan jin akan membalas dendam kepada orang-orang yang menyalahi perintah-perintah adat istiadat dan malaikat akan memberi pahala bagi mereka yang mengikutinya.
3) Beberapa upacara, keramaian, pertemuan dan sebagainya yang menggerakkan perasaan dan yang mendorong bagi para hadirin untuk mengikuti maksud dan tujuan upacara itu. Seperti mengikuti adat istiadat kematian, pengantin, ziarah kubur dan lain-lainnya.53
Manusia mudah terpengaruhi oleh adat istiadat sekitar. Tetapi, dalam penyelidikan yang seksama, adat istiadat tidak dapat dipergunakan sebagai ukuran dan pertimbangan karena sebagian dari perintah-perintahnya tidak masuk akal.
b. Pengaruh ajaran agama
Agama memilki hubungan sangat erat dengan etika. Setiap ajaran agama, di dalamnya mengandung pendidikan etika. Hubungan etika dan agama akan membuat keseimbangan, dimana agama bisa membantu etika untuk tidak bertindak hanya berdasarkan rasio dan melupakan kepekaan rasa dalam diri manusia. Etika dapat membantu agama untuk melihat secara kritis dan rasional tindakan-tindakan moral.
Agama adalah salah satu hal yang membuat kita juga menjadi sadar akan pentingnya etika dalam kehidupan manusia. Tidak dapat kita
53
(48)
bayangkan bagaimana kehidupan manusia yang berbeda agama tanpa etika didalamnya. Kebenaran mungkin akan menjadi sangat relatif, karena kebenaran moral hanya akan diukur dalam pandangan agama kita.
Bagi orang beragama, Tuhan adalah dasar dan jaminan untuk berlakunya tatanan etika. Atau sebagaimana dikatakan oleh seorang totoh dalam novel yang ditulis pengarang Rusia termasyhur, Dostoyevski: “Seandainya Allah tidak ada, semuanya diperbolehkan”. Demikianlah pemikiran tradisional yang berabad-abad diterima begitu saja tanpa mempersoalkannya dan sampai kini banyak orang masih tetap berpendapat sama.54
Dalam agama Islam, terdapat tiga kriteria yang menjadikan etika cukup unik dan khas:
1) Dari segi cakupannya
Etika meliputi aspek teori (majal an-nazar) dan praktis (majal
al-‘amal). Ia tidak hanya melibatkan pemikiran teoritis para ulama‟ salaf dalam berbagai bidang ilmu, namun juga rincian-rincian dari bentuk praktis perilaku mereka. Akhlak yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW merupakan model teladan yang paling tinggi tingkatannya. Beliau memberika contoh praktis tuntunan akhlak Islam dalam urusan individu, rumah tangga, masyarakat, bahkan urusan negara. Gabungan
54
(49)
aspek teori dan praktek ini merupakan etika Islam cukup lengkap untuk dilaksanakan dalam segenap aspek hidup manusia.
2) Dari segi kandungan nilainya
Nilai dalam etika Islam meliputi berbagai aspek dan dimensi. Ia sempurna dan suci sejalan dengan kesempurnaan dan kesucian Tuhan. Maka nilai-nilai yang ada dalam etika Islam melambangkan keagunganNya, memberika kepuasan pada fitrah manusia, dan cocok untuk segala tempat dan zaman (shalih likulli makan wa zaman). Konsep tentang baik atau buruk, haq atau bathil akan diakui dan diterima oleh umat manusia sepanjang masa.
Dari sisi nilai, etika Islam meliputi nilai positif (‘ijabiyah) dan nilai negatif (salbiyah). Nilai positif merujuk pada nilai yang memberi kesan baik kepada hati dan diri manusia serta dituntut untuk diamalkan (al-ma’ruf). Nilai negatif merujuk pada kesan yang tidak baik dan wajar dihindari karena mendatangkan kerugian kepada banyak pihak (al-munkar).
Dari sisi harmoni kehidupan, etika Islam memelihara nilai-nilai dalam hubungan manusia dengan Sang Pencipta (Habl min Allah), hubungan sesama manusia (Habl min as-Nas) dan hubungan dengan alam sekitar, sehingga ruang lingkupnya meliputi keseluruhan gerak hidup manusia yang meliputi akhlak pribadi, akhlak berkeluarga, akhlak bermasyarakat, akhlak bernegara dan akhlak beragama.
(50)
Dari sisi cakupan nilai etika Islam meliputi dimensi lahiriah (perilaku) dan batiniah (kejiwaan) manusia, sehingga yang timbul melalui pendekatan lahiriah yaitu penampilan, sikap, perilaku dan bahasa, maupun pendekatan batiniah yaitu melalui hati
3) Dari segi faktor kepatuhannya
Asas kepatuhan muslim terhadap etika Islam juga cukup unik. Sesuatu itu bukanlah baik dan buruk secara zatnya, tetapi Allah SWT yang menetapkan baik atau buruknya sesuatu perkara itu,55 sebagaimana ditegaskan QS. Ali ‘Imran [3]: 110:
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS. Ali „Imran [3]: 110)56
Faktor yang mendorong kepatuhan kepada etika Islam adalah ketaatan dan kepatuhan kepada ajaran Islam itu sendiri. Segala nilai yang diperintahkan oleh Islam dilaksanakan semata-mata karena
55
Ahmad Yusan Thobroni, et.al., Tafsir dan Hadits Tarbawi, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2013), h. 165
56
(51)
mengharap ridha Allah SWT dengan penuh keyakinan, ketaatan dan kerelaan hati, bukan disebabkan oleh peraturan kerja ataupun tekanan atasan.57
Ketiga kriteria di atas memperlihatkan keunikan dan keunggulan etika Islam, ia sempurna, memenuhi wilayah multidimensi kehidupan manusia mulai dari urusan yang paling kecil, sederhana dan pribadi sampai pada hal-hal yang sifatnya besar, rumit dan mencakup urusan orang banyak. Mulai dari tata krama masuk kamar mandi hingga tata krama mengelola Negara, tidak saja membimbing manusia memperoleh kebaikan dunia, namun juga menjanjikan kebahagiaan di akhirat kelak.
B. Etika Berkomunikasi
Sifat alami jiwa manusia itu kosong dan menerima segala bentuk etika. Oleh karena itu, pendidikan moral sangat penting. Tanpa pendidikan moral, akhlak-akhlak terpuji dan mulia tidak akan menjadi bagian yang menyatu dengan kepribadian seseorang. Tanpa pendidikan moral, seseorang akan terbiasa denganh akhlak-akhlak tercela yang didukung oleh nafsu, selaras dan sejiwa dengan syahwatnya.
Pendidikan moral tidak dapat dianggap mudah, dianaktirikan atau diremehkan dengan alasan bahwa manusia adalah makhluk yang berakal dan manusia secara alami akan mencari dan menuju akhlak yang terpuji. Kedua alasan ini salah,
57
(52)
berbahaya, dan membawa kegagalan dan kehancuran moral karena suatu etika diperoleh dengan latihan yang berkelanjutan atau pengaruh dar etika umum suatu masyarakat. Dan setiap masyarakat memiliki etika-etika yang mereka sepakati.58
Etika diperoleh melalui latihan yang berkelanjutan atau pengaruh etika suatu masyarakat, bukan dengan kemampuan akal dan bukan pula dengan naluri manusia. Fungsi akal dan naluri dalam proses pendidikan moral adalah sebagai pengawas, penyelaras, dan penilai. Seandainya pendidikan moral dapat terwujud dan terlaksana hanya dengan kemampuan akal, niscaya para Nabi tidak perlu melatih diri mereka untuk memperoleh akhlak-akhlak terpuji dan tak perlu mendidik umatnya berakhlak mulia.
Imam Abu al-Hasan Ali al-Bazhri al-Mawardi dalam bukunya menjelaskan bahwa:
Rasulullah SAW diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak-akhlak terpuji, sebagaimana hadist:
Sa‟id bin Mansur menceritakan kepada kita dia berkata Abdul Aziz bin Muhammad menceritakan kepada kita dari Muhammad bin „Ajlan dari Qo‟qo‟
58
Abu Al-Hasan Ali Al-Bashri Al-Mawardi, Etika Jiwa, (Bandung: Pustaka Setia Bandung, 2003), h. 13
59
(53)
bin Hakim dari Abi Sholih dari Abi huroiroh berkata Rasulullah SAW bersabda sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak-akhlak mulia. (HR. Ahmad)
Ali ibn Abi Tahlib RA berkata, “Sesungguhnya Allah Ta‟ala memosisikan akhlak-akhlak mulia itu sebagai penghubung antara diriNya dan kamu. Alangkah mulianya orang yang dapat berhubungan dengan Allah dengan salah satu akhlak-akhlak mulia itu.”
Azdasyir ibn Babak berkata, “Salah satu bukti keutamaan etika adalah ia dipuji oleh semua orang, menjadi mahkota di mana pun berada, dan dikenang sepanjang masa.”
Ibnu Al-Muqaffa‟ berkata, “ Kebutuhan kita pada etika yang merupakan sebuah produktivitas aaakal kita lebih besar dari pada kebutuhan panca indera kita. Benih biji yang ditanami di tanah tidak akan tumbuh dan berbunga tanpa disiram dengan air.”
Seorang budayawan berkata, “ Perbesarlah nilai kepribadianmu dengan etika, sebagaimana kobaran api yang menjadi semakin membesar bila bahan bakarnya ditambah. Jadikan etika sebagai mutiara dan peliharalah ia, niscaya ada orang yang menyukai anda dan ada pula yang takut kepada anda. Jasa baik dan sikap adil anda diharapkan oleh masyarakat.”60
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak mungkin dapat hidup sendiri. Setiap orang pasti membutuhkan orang lain, baik untuk kepentingan diri sendiri maupun kepentingan bersama. Untuk kelancaran dan ketentraman dalam
60
(54)
melakukan interaksi antar manusia, Islam memberikan aturanm yang lengkap tentang bagaimana seorang muslim harus berperilaku dan bersikap sehari-hari.
Salah satu etika penting yang harus ditanamkan dalam diri setiap muslim adalah sikap saling menghormati dan menghargai orang lain. Menghormati dan menghargai orang lain merupakan salah satu upaya untuk menghormati dan menghargai diri sendiri. Seseorang yang membiasakan sikap ini terhadap orang lain pasti juga akan mendapatkan perlakuan atau sikap yang sama dari orang lain. Bagaimana orang lain mau menghormati dan menghargai seseorang jika ia tidak mau menghormati dan menghargai orang lain?
Orang lain adalah orang yang selain dirinya, baik orang itu keluarganya maupun di luar keluarganya. Orang lain dalam satu keluarga bisa kedua orangtuanya, kakak, adik, atau anggota-anggota keluarga yang lain. Sementara itu, orang lain yang tidak termasuk dalam keluarga, antara lain teman atau tetangga. Dalam konteks beragama, orang lain bisa juga diartikan orang yang tidak seiman atau orang yang tidak memeluk agama Islam. Orang lain yang memiliki hubungan yang paling dekat adalah kedua orangtua, kemudian suami atau istri, anak-anak, setelah itu baru kerabat yang lain. Setelah kerabat dan keluarga kita, orang lain yang harus dihormati dan dihargai adalah guru, tetangga, tamu, ulama atau cendekiawan, pemimpin, orang kaya dan memiliki
(55)
kekuatan, orang miskin dan lemah, anak yatim dan orang yang tidak seiman (nonmuslim).61
Apapun maknanya, menghormati dan menghargai orang lain adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan dalam batas-batas tertentu. Islam mmemberikan aturan umum dalam melakukan penghormatan dan penghargaan kepada orang lain dalam pengertian yang bermacam-macam.
Diantara etika yang harus ditanamkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai wujud interaksi sosial adalah berkomunikasi dengan sesama. Dalam hal ini penulis menjelaskan bagaimana etika berkomunikasi dengan orang yang lebih tua, teman sebaya dan orang yang lebih muda.
1. Etika Berkomunikasi dengan Orang yang Lebih Tua
Orang yang lebih tua adalah orang yang memiliki usia yang lebih tua dari usia seseorang, baik sedikit terpautnya maupun banyak. Orang ini bisa orangtua, saudara seperti kakak, paman, bibi dan kerabat yang lain; atau bukan saudaranya, seperti guru.
Bergaul dengan orangtua tidak sama bergaul dengan orang lain atau teman sebaya. Orangtua memiliki kedudukan yang sangat istimewa di hadapan anak-anaknya sehingga mereka harus menghormatinya dan mematuhi perintah-perintahnya.
Dalam Al-Quran cukup banyak memberikan pendidikan etika khusus terhadap kedua orangtua, seperti surat Al-Isra‟ ayat 23-24:
61
(56)
23. dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia.
24. dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".(QS. Al-Isra‟ [17]: 23-24)62
Berdasarkan ayat tersebut dapat dipahami bahwa berbuat baik kepada kedua orangtua (birr al-walidain) adalah wajib dan utama dalam Islam. Sebaliknya, berani atau durhaka kepada kedua orangtua adalah dosa besar dan sangat dilarang dalam Islam. Aturan ini merupakan fasilitas utama Islam yang diberikan kepada keluarga agar menjadi harmonis dengan menjadikan kedua orangtua sebagai figur sentral.63
Agar hubungan dengan kedua orangtua berjalan dengan baik, terutama bagi anak, ada beberapa tata cara yang harus diperhatikan dan menjadi etika mulia:
62
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Tajwid, Ibid., h. 284 63
(1)
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
138
c) Imam Abul Fida Ismail Ibn Katsir dalam Tafsir Ibn Katsir
Melalui ayat 1-3, Allah membimbing hamba-hambaNya yang beriman tentang cara bergaul dan berhubungan dengan Rasul Saw, dari cara menghargai, menghormat, memuliakan dan mengagungkan beliau.
1) Kesopanan dalam perbuatan/tindakan ditunjukkan oleh ayat pertama surat Al-Hujurat, misalnya dalam menetapkan segala sesuatu sebelum ketetapan Allah melalui lisan RasulNya. karena orang muslim harus menjadi pengikutnya dalam segala hal.
2) Kesopanan dalam berbicara ditunjukkan oleh ayat kedua dan ketiga surat Al-Hujurat, yakni hendaklah berbicara dengan penuh kelembutan dan suara rendah serta penuh penghormatan.
3. Dari tuntunan surat Al-Hujurat ayat 1-3, Allah mengajarkan pada kaum muslimin untuk selalu menghormati Nabi dan orang-orang penerus Nabi, semisal ulama, para guru, orangtua dan orang-orang di sekeliling kita.
Dan dari ayat-ayat tersebut juga merupakan tuntunan orang muslim dalam kehidupan bermasyarakat, seperti etika berkomunikasi (harus memperhatikan dengan siapa, dimana, kapan), etika berjalan (dimana, kapan dan bagaimana), etika bertamu (memberi salam, meminta izin, memperkenalkan diri, tidak mendahului tuan rumah saat berbicara dan tidak berlama-lama), dsb.
Harus diakui dan disadari pengaruh masyarakat dalam pembentukan karakter, terutama bagi anak-anak sangatlah besar. Masyarakat merupakan lingkungan yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan anak-anak, tetapi pengaruhnya
(2)
bisa dikendalikan. Salah satu caranya adalah dengan memberikan pendidikan karakter yang benar kepada anak-anak.
Para orang tua dan guru harus siap menjadi teladan bagi anak-anak dan para peserta didik di lingkungan keluarga dan sekolah. Di samping itu, mereka harus mampu berperan aktif sebagai pendidik, fasilitator, motivator dan evaluator demi pengembangan karakter anak-anak. Mereka harus terus mengawasi sepak terjang anak-anak, baik secara langsung maupun tidak langsung, agar setiap hari dapat dipastikan bahwa sikap dan perilaku anak-anak memang berada di jalur yang benar.
B. Saran
Kondisi masyarakat Indonesia, terutama umat Islam pada saat ini dihadapkan pada kehidupan yang begitu kompleks serta kemajuan zaman yang begitu pesat. Dalam hal tersebut mengakibatkan perubahan pemikiran serta pola hidup masyarakat sehingga menumbuhkan persoalan baru bagi pendidikan, khususnya pendidikan etika yang lambat laun mengalami krisis. Padahal, pendidikan etika seharusnya diprioritaskan karena merupakan landasan dalam membangun generasi penerus umat Islam yang beriman dan bertakwa serta berkarakter Islami yang berpengaruh dalam kehidupan bermasyarakat.
Kepada insan akademis, mengingat begitu pentingnya pembahasan – pembahasan yang berkaitan tentang keimanan, ketakwaan, etika dan kepribadian, kiranya tema ini dapat menjadi inspirasi untuk melakukan pengkajian dan
(3)
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Haris, Pengantar Etika Islam, (Sidoarjo: Al-Afkar Press, 2007) Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000)
Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001) Abu Al-Hasan Ali Al-Bashri Al-Mawardi, Etika Jiwa, (Bandung: Pustaka Setia
Bandung, 2003)
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), cet. 12 Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, (Jakarta: Kencana, 2011)
Ahlanwasahlan, Artikel: Metode Mengajar Tata Krama (Akhlak) (09 September
2008,
http://warungbaca.blogspot.com/2008/09/methode-mengajar-tatakrama-akhlak-html)
Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), (Jakarta: Bulan Bintang, 1975)
Ahmad Bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, (tt, Muassasah Arrisalah: 1999), Juz. 42
Ahmad Muhammad Al-Huffy, Keteladanan Akhlak Nabi Muhammad SAW, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), cet, 1
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: Karya Toha Putra Semarang, 1993), cet. II, Juz. XXVI
Ahmad Syadili dan Ahmad Rofi’i, Ulumul Qur’an I, (Bandung: Pustaka Setia, 2000)
Ahmad Yusan Thobroni, et.al., Tafsir dan Hadits Tarbawi, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2013)
Ali Abdul Halim Mahmud, Akhlak Mulia, (Jakarta: Gema Insani, 2004), cet. 1
Al-Imam Abul Fida Ismail Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kasir, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2004), cet. II, Juz XXVI
(4)
Amir Daein Indrakusuma, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Surabaya: Penerbit Usaha Nasional, 1973)
Anwar Masy’ari, Akhlak Al-Qur’an, (Surabaya: Bina Ilmu, 1990), cet, 1
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi Modernisasi di Tengan Tantangan Milenium, (Jakarta: Kencana, 2012)
Beni Ahmad Saebani, Ilmu Akhlak, (Bandung: Pustaka Setia, 2010)
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Lembaga Percetakan Al-Qur’an Departemen Agama, 2008)
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Pustaka Al-Mubin, 2013)
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemah, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2010)
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran/TafsirI, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980)
http://konselingsebaya.blogspot.com/2012/06/pengertian-nilai-pendidikan.html http://www.academia.edu/9209192/PENGERTIAN_PENDIDIKAN_AKHLAK_MO
RAL_DAN_ETIKA
https://id.m.wikipedia.org/wiki/komunikasi
Imam Ghazali, Mau’idotun Al-Mukminin Min Ihya’ Ulumuddin, (Surabaya: Maktabah Al-Hidayah, tt)
Istighfarotur Rahmaniyah, Etika Pendidikan, (Malang: Aditya Media, 2010)
J. Subhani, Tadarus Akhlak: Etika Qurani dalam Surah al-Hujurat, (Qom: Citra, 2013), cet. I
Joko Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004), cet. 4
(5)
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Widya Cahaya, 2011), Jilid 9
Ki Hajar Dewantara, Karya Bagian pertama: Pendidikan, (Yogyakarta: Majlis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1962)
M Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970)
M. Ali Hasan, Tuntunan Akhlak, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976)
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi Peranan Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1998), vol. 12
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran), (Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 2009), cet. VII, vol. 13
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran), (Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2009), cet. II, vol. 12
M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006)
Mahjuddi, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Kalam Mulia, 2010)
Majid Fakhry, Etika dalam Islam, (Bandung: Mizan Pustaka, 2006) Marzuki, Pendidikan Karakter Islam, (jakarta: Amzah, 2015)
Mudjab Mahali, Al-Ghazali Tentang Ethika Kehidupan, (Yogyakarta: BPFE, 1984) Muhaimin, Konsep Pendidikan Islam, (Solo: Ramadlan, 1991)
Muhammad Ali, Penelitian Kependidikan : Prosedur dan Strategi, (Bandung: Angkasa, 1987
Muhammad Chirzin, Al-Quran dan Ulumul Qur’an, (Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1998)
Muhammad Ibn Mukrim Ibn Mandlur Al-Afriqiy Al-Mishriy, Lisanul ‘Arab, (Bairut: Barnamij Al-Muhaddits Al-Majjaniy, 1996), cet. I, Juz XII
(6)
Musthafa Bin Al-‘Adawiyi, Fikih: Berbakti Keada Orangtua, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), cet. I
Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), cet, 2
Noor Aufa Shiddiq Al-Qudsy, Pedoman Belajar Bagi Pelajar Dan Santri, (Surabaya, Al-Hidayah, 2013)
Nurul Zuriah, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011)
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002)
Ramli Abdul Wahid, Ulumul Qur’an I, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002) S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005)
Sayyid Qutbh, Tafsir Fi Zhilalil Quran, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), cet. 1, Jilid X
Subhi Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993) Sutan Rajasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Surabaya: Mitra Cendekia, 2003) Sutan Rajasa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Mitra Cendekia, 2002) Syahrin Harahap, Metodologi Studi Penelitian Ilmu-ilmu Ushuluddin, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2000)
UU RI Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas (Bandung: Citra Umbara, 2006)
Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, Al-Misykat (Al-Qur’an Terjemahan Per Komponen Ayat, (Bandung: Al-Mizan Publishing House, 2011), cet. I Zainuddin dan Muhammad Jamhari, Al-Islam 2: Muamalah dan Akhlak, (Bandung:
CV Pustaka, 1999)
Zainuddin, Imam Ghazali: Bahaya Lidah, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), cet. II Zainuddin, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991)