STUDI KOMPARASI KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK DALAM PERSPEKTIF KH. HASHIM ASH’ARI DAN SHAIKH ‘UMAR BIN AHMAD BARAJA’.
SKRIPSI
Oleh : MOCH JIBRIL NIM. D01211017
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM 2015
(2)
i SKRIPSI
Diajukan Kepada
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Menyelesaikan Program Strata Satu (S-1)
Pendidikan Agama Islam
Oleh :
MOCH JIBRIL NIM. D01211017
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM 2015
(3)
(4)
(5)
(6)
iv ABSTRAK
Moch Jibril 2015 : Studi Komparasi Konsep Pendidikan Akhlak dalam
Perspektif KH. Ha>shimAsh’ari> dan Shai>kh‘Umar bin Ah}mad
Ba>raja>’
Kata Kunci : Studi Komparasi, Konsep Pendidikan Akhlak, KH. Ha>shim Ash’ari>, Shai>kh ‘Umar bin Ah}mad Ba>raja>’.
Dunia pendidikan saat ini sering dikritik oleh masyarakat yang disebabkan karena adanya sejumlah pelajar dan lulusan pendidikan tersebut yang menunjukkan sikap kurang terpuji. Banyak pelajar yang terlibat tawuran, tindakan kriminal, dsb. Perbuatan tersebut telah meresahkan masyarakat dan merepotkan banyak pihak.
Berangkat dari problematika yang terjadi, maka menjadi penting bahwa pendidikan akhlak adalah hal yang pertama dan mendasar harus dimiliki oleh pendidik dan peserta didik. Oleh karena itu, perlu kiranya untuk kembali mempelajari pemikiran tokoh-tokoh pendidikan Islam yang dalam pemikirannya betul-betul memosisikan akhlak secara serius dan primer.
Masalah yang diteliti adalah 1) Bagaimana konsep pendidikan akhlak dalam
perspektif KH. Ha>shim Ash’ari>?, 2) Bagaimana konsep pendidikan akhlak dalam
perspektif Shai>kh ‘Umar bin Ah}mad Ba>raja>’?, 3) Bagaimana perbandingan konsep
pendidikan akhlak antara KH. Ha>shim Ash’ari> dan Shai>kh ‘Umar bin Ah}mad
Ba>raja>’?
Dalam menjawab permasalahan tersebut peneliti menganalisis dengan jenis penelitian kualitatif dengan model kepustakaan. Dengan menggunakan tekhnik pengumpulan data berupa dokumenter.
Berdasarkan uraian tersebut, data penelitian dapat disimpulkan bahwa 1)
konsep pendidikan akhlak menurut KH. Ha>shim Ash’ari> meliputi: Keutamaan ilmu.
Etika belajar, etika terhadap guru, etika belajar, dan etika terhadap buku. 2) konsep
pendidikan akhlak munurut Shai>kh ‘Umar bin Ah}mad Ba>raja>’ yaitu peserta didik
yang dicintai, etika sebelum berangkat sekolah, etika dalam perjalanan menuju sekolah, etika saat di sekolah, etika menjaga fasilitas (sekolah), etika terhadap guru, dan etika terhadap teman. 3) Hasil analisis perbandingan yaitu menyangkut perbedaan dan persamaan diantara keduanya. perbedaannya yaitu seputar pembahasan dan situasinya serta nuansa pemikiran. Poin-poinnya yaitu Etika sebelum belajar, Etika terhadap fasilitas (sekolah), Etika terhadap makanan, Etika berbicara saat berkunjung ke rumah guru. Sedangkan persamaannya yaitu Tujuan mencari ilmu, Etika terhadap guru, Etika pergaulan, Etika terhadap fasilitas belajar, materi pelajaran dan
kebersihan – kesehatan.
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa KH. Ha>shim Ash’ari> dan
Shai>kh ‘Umar bin Ah}mad Ba>raja>’ memiliki pandangan tersendiri tentang konsep pendidikan akhlak, namun di satu sisi keduanya juga memiliki banyak persamaan.
(7)
ix DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... ii
PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iii
ABSTRAK ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Alasan Pemilihan Judul ... 9
(8)
x
F. Penelitian Terdahulu ... 12
G. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 13
H. Definisi Operasional ... 14
I. Metodologi Penelitian ... 17
J. Sistematika Pembahasan ... 20
BAB II. LANDASAN TEORI A. Pengertian Pendidikan Akhlak ... 22
B. Dasar-dasar Pendidikan Akhlak ... 29
C. Tujuan Pendidikan Akhlak ... 32
D. Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak ... 35
E. Metode Pendidikan Akhlak ... 48
BAB III. KH. HA>SHIM ASH’ARI> A. Biografi ... 54
B. Riwayat Pendidikan ... 56
C. Karya-karya ... 61
D. Konsep Pendidikan Akhlak dalam Perspektif KH. Ha>shim Ash’ari> ... 64
BAB IV. SHAI>KH ‘UMAR BIN AH}MAD BA>RAJA>’ A. Biografi ... 91
(9)
xi
C. Genealogi Intelektual ... 92
D. Kiprah Dakwah ... 94
E. Karya-karya ... 98
F. Konsep Pendidikan Akhlak dalam Perspektif Shai>kh‘Umar bin Ah}madBa>raja>’... 100
BAB V. ANALISIS PERBANDINGAN A. Perbedaan... 126
B. Persamaan ... 140
C. Keunggulan 1. KH. Ha>shimAsh’ari>... 160
2. Shai>kh‘Umar bin Ah}madBa>raja>’ ... 165
D. Relevansi ... 167
BAB VI. PENUTUP A. Kesimpulan ... 184
B. Saran-saran ... 187
DAFTAR PUSTAKA ... 188
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... 192
RIWAYAT HIUP ... 193
(10)
xii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1.1 ... 136
(11)
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Dunia pendidikan saat ini sering dikritik oleh masyarakat yang disebabkan karena adanya sejumlah pelajar dan lulusan pendidikan tersebut yang menunjukkan sikap kurang terpuji. Banyak pelajar yang terlibat tawuran, melakukan tindakan kriminal, pencurian, penodongan, penyimpangan seksual, menyalahgunakan obat-obatan terlarang, dan lain sebagainya. Perbuatan tidak terpuji yang dilakukan para pelajar tersebut benar-benar telah meresahkan masyarakat dan merepotkan pihak aparat keamanan. Hal tersebut masih ditambah lagi dengan adanya peningkatan jumlah penganggur yang sebagiannya adalah
tamatan pendidikan.1 Adanya pemalsuan ijazah oleh oknum kepala sekolah,
diterimanya siswa yang NEM-nya rendah dengan syarat ada uang pelicin, pemberian beasiswa kepada siswa yang tidak dibarengi dengan peningkatan mutu pendidikan dan sebagainya adalah merupakan akibat arus globalisasi yang telah melanda dunia pendidikan. Jika dunia pendidikan saja sudah sedemikian keadaannya, maka lembaga mana lagi yang dapat dijadikan tempat menaruh
harapan masa depan bangsa.2
Keadaan ini semakin menambah potret pendidikan kita makin tidak menarik dan tak sedap dipandang, yang pada gilirannya makin menurunkan
1
Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan; Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2012), cet. Ke-5, 40.
2
(12)
kepercayaan masyarakat terhadap wibawa dunia pendidikan kita. Apabila keadaan yang demikian tidak segera dicarikan solusinya, maka sulit mencari sebuah alternatif yang paling efektif untuk membina moralitas masyarakat. Berbagai upaya mencari solusi untuk memperbaiki dunia pendidikan dan mencari
sebab-sebabnya merupakan hal yang tidak dapat ditunda lagi.3
Diantara penyebab dunia pendidikan kurang mampu menghasilkan lulusannya yang diharapkan adalah karena dunia pendidikan selama ini hanya membina kecerdasan intelektual, wawasan, dan keterampilan semata, tanpa
dibiimbangi dengan membina kecerdasan emosional.4
Dalam pendidikan Islam berbagai ciri yang menandai kecerdasan
emosional terdapat pada pendidikan akhlak.5 Para pakar pendidikan Islam
dengan berbagai ungkapan pada umumnya sepakat bahwa tujuan pendidikan Islam adalah membina pribadi yang berakhlak. Ahmad D. Marimba mengatakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Senada dengan itu, Sementara itu, M. Yusuf al-Qardhawi memberikan pengertian bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan manusia secara seutuhnya; akal dan hatinya;
3
Ibid, 41.
4
Yang dimaksud dengan kecerdasan emosional dalam pandangan Islam yaitu sesuatu yang berkaitan dengan sikap-sikap-sikap terpuji yang muncul dari qalbu dan aql, yaitu sikap bersahabat, kasih sayang, empati, takut berbuat salah, keimanan, dorongan moral, bekerja sama, dapat beradaptasi, berkomunikasi dan penuh perhatian dan kepedulian terhadap sesama makhluk ciptaan Tuhan.
5
Secara harfiah akhlak artinya perangai, budi pekerti, kepribadian dan watak. Adapun dalam pengertian yang lebih luas, akhlak adalah perbuatan yang telah mendarah daging yang dilakukan secara spontan dan mudah, atas kemauan diri sendiri, bukan berpura-pura dan atas dasar ikhlas semata-mata karena Allah. Lihat Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), 16.
(13)
rohani dan jasmaninya; akhlak dan keterampilannya. Untuk itu, pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup dalam keadaan damai maupun perang, dan menyiapkannya untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikannya,
manis dan pahitnya.6
Salah satu dimensi manusia yang sangat diutamakan dalam pendidikan Islam adalah akhlak. Pendidikan agama berkaitan erat dengan pendidikan akhlak, tidak berlebih-lebihan kalau kita katakan bahwa pendidikan akhlak dalam pengertian Islam adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pendidikan agama. Sehingga seorang muslim tidak sempurna agamanya bila akhlaknya tidak baik. Hampir-hampir sepakat filosof-filosof pendidikan Islam bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam. Sebab salah satu tujuan tertinggi
pendidikan Islam adalah pembinaan akhla>q al-kari>mah.7
Pembentukan akhlak yang mulia merupakan tujuan utama pendidikan Islam. Hal ini dapat ditarik relevansinya dengan tujuan Rasulullah diutus oleh Allah:
Tujuan dari pendidikan akhlak dalam Islam adalah untuk membentuk manusia bermoral baik, keras kemauan, sopan dalam bicara dan perbuatan, mulia dalam tingkah laku perangai, bersifat bijaksana, sempurna, sopan dan beradab, ikhlas, jujur dan suci. Dengan kata lain pendidikan akhlak bertujuan untuk
melahirkan manusia yang memiliki keutamaan (al-fad}i>lah). Berdasarkan tujuan
6
Abuddin, Manajemen, 46-47.
7
(14)
ini, maka setiap saat, keadaan, pelajaran, aktivitas merupakan saran pendidikan akhlak dan setiap pendidik harus memelihara akhlak dan memperhatikan akhlak
di atas segala-galanya.8
Berbicara tentang problematika pendidikan yang semakin hari kian kompleks, dalam hal ini yang sangat bertanggung jawab adalah guru sebagai pendidik, tidak mungkin seorang guru dapat membimbing peserta didik dengan baik jika dirinya sendiri tidak memberikan teladan yang baik. Guru harus menjadi contoh (uswatun hasanah), kepada peserta didik dan juga kepada masyarakat sekitar. Oleh karena itu, sebagai pendidik guru harus menyadari bahwa menjadi seorang pendidik harus mempunyai pengetahuan yang luas dan juga akhlak al-karimah.
Kasus-kasus kerap kali terjadi menimpa banyak para pelajar. Contohnya seperti perbuatan mesum antar pelajar, narkoba, tawuran sesama pelajar, dsb. Kasus-kasus tersbut bisa kita lihat - temukan diberita-berita yang dimuat di televisi, koran, dan media sosial. Hal ini menjadi lebih gawat lagi, karena menimpa para pelajar yang nantinya akan menjadi penerus pada generasi selanjutnya.
Kasus-kasus diatas tidak hanya menimpa pada kalangan pelajar dan guru, tetapi beberapa sarjana pun tak luput dari hal itu, banyak kalangan yang sudah mendapatkan gelar dan keilmuwannya tidak diragukan lagi tapi masih saja melakukan hal-hal yang tidak sepantasnya dilakukan. Seperti: tindakan korupsi
8
(15)
(miliaran bahkan triliunan rupiah), pengangguran, dsb. Krisis akan kejujuran, keadilan, seakan sulit sehingga menjadi keniscayaan untuk diperjuangkan.
Berangkat dari realita dan problematika yang terjadi, maka menjadi penting bahwa pendidikan akhlak adalah hal yang pertama dan mendasar harus dimiliki oleh seorang guru sebagai pendidik dan peserta didik. Jika mengacu dalam ranah pendidikan, memang benar dari dulu sampai sekarang pelajaran atau pendidikan akhlak sudah diajarkan didunia pendidikan, akan tetapi pendidikan akhlak tersebut masih kurang diposisikan secara primer artinya kebanyakan para guru selaku pendidik masih kurang menekankan tentang pentingnya berakhlak.
Oleh karena itu, seorang guru harus betul-betul memberikan pendidikan akhlak yakni dengan memosisikannya secara primer. Dalam pendidikan tersebut seharusnya dilakukan sejak usia dini atau sejak kecil. Karena peserta didik
merupakan “raw material” (bahan mentah) dalam proses transformasi dalam
pendidikan.9
Berbicara pentingnya memberikan pendidikan akhlak sejak usia dini, Shai>kh ‘Umar bin Ah}mad Ba>raja>’ dalam karyanya yaitu Kita>b Akhla>q li al-Bani>n, mengharuskan akan pentingnya memberikan pendidikan akhlak sejak mulai kecil. Dalam hal ini, ia mengilustrasikan sebuah cerita simbolik tentang seorang anak kecil bernama ahmad pergi bersama ayahnya untuk membersihkan kebun. Kemudian ahmad melihat pohon mawar yang sangat indah, akan tetapi
9
Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokoh, (Jakarta: Kalam Mulia, 2010), 169.
(16)
pohon tersebut bengkok (sehingga menjadi tidak enak dipandang). Kemudian
ahmad berseru dan bertanya kepada ayahnya, “Sungguh pohon ini sangat bagus
sekali, akan tetapi kenapa pohon ini bengkok, wahai ayahku?” Ayahnya
menjawab: „karena si penjaga kebun tidak begitu mementingkan untuk
meluruskannya, sejak pohon ini kecil (mulai tumbuh), maka jadilah pohon ini
menjadi bengkok’. Kemudian ahmad berkata: “alangkah baiknya kita
meluruskannya sekarang’!. Kemudian ayahnya tersenyum sambil tertawa dan
berkata kepada anaknya: „wahai anakku, kita tidak bisa melakukan hal itu,
karena pohon ini sudah tua (besar), cabang atau ranting-rantingnya pun juga sudah besar’.
Cerita dan dialog diatas memberikan pesan bahwa dalam memberikan sesuatu terlebih itu menjadi pondasi dikemudian hari maka hal itu harus mulai, ditanam, diberikan dan dirawat sejak kecil, karena hal itu akan lebih memudahkan dalam membimbing anak tersebut sesuai dengan yang kita harapkan. Namun jika sejak kecil sudah dibiarkan, tidak dirawat, tidak diperhatikan dan dibiarkan maka anak tersebut nanti ketika sudah tua akan sulit untuk diluruskan sebagaimana pohon dalam cerita diatas.
Di samping itu, tokoh lain yang juga sangat memberikan tentang
pendidikan akhlak ialah KH. Ha>shim Ash’ari>, menurutnya hal paling awal yang
harus diperhatikan oleh peserta didik dalam mencari ilmu adalah membersihkan hati terlebih dahulu dari berbagai macam kotoran (penyakit hati) seperti
(17)
kebohongan, dengki, prasangka buruk, dsb. lebih lanjut, menurutnya tujuan
mencari ilmu itu harus diniatkan semata-mata karena mencari Rid}a> Allah Swt.
dan bertekad mengamalkannya.
Hal senada juga di kemukakan oleh Shai>kh ‘Umar bin Ah}mad Ba>raja>’
bahwa tujuan mencari ilmu itu semata-mata karena mengharap rid}a Allah Swt,
dan tidak diperkenankan mempunyai tujuan seperti ingin mendapatkan pengaruh, reputasi, dsb.
Nilai-nilai yang sangat mendasar seperti yang dikemukakan dan diuraikan diatas, seakan sudah mulai diabaikan dan kurang mendapatkan perhatian serta dianggap usang bahkan dianggapnya sudah tidak relevan. Lantas, ketika pendidikan akhlak lambat laun kian terabaikan, apa yang akan terjadi jika bangsa ini tidak berakhlak? Maka dari itu, tulisan ini ingin mengungkapkan kembali nilai-nilai dasar seputar pendidikan akhlak yang seakan sudah terabaikan serta menarik untuk diuaraikan secara mendalam.
KH. Ha>shim Ash’ari dan Shai>kh ‘Umar bin Ah}mad Ba>raja>’ merupakan dua tokoh dari sekian tokoh pendidikan Islam yang sangat memerhatikan tentang pendidikan akhlak. Keduanya mempunyai pandangan yang berbeda, namun juga memiliki banyak kesamaannya. Oleh karena itu, perlu kiranya untuk kembali mempelajari pemikiran-pemikiran para tokoh-tokoh yang secara pasti memosisikan pendidikan akhlak secara primer.
(18)
Dalam hal ini, peneliti mencoba menelusuri serta mengkomparasikan
pemikiran KH. Ha>shim Ash’ari> dan Shai>kh ‘Umar bin Ah}mad Ba>raja>’ seputar
pendidikan akhlak. Peneliti menganggap pentingnya upaya penelusuran yang mendalam guna untuk mendapatkan esensitas dari pada pendidikan Akhlak.
Maka dari itu peneliti dalam penyusunan skripsi ini, mengangkat judul “Studi
Komparasi Konsep Pendidikan Akhlak dalam Perspektif KH. Ha>shim Ash’ari> dan Shai>kh ‘Umar bin Ah}mad Ba>raja>’”
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep pendidikan akhlak dalam perspektif KH. Ha>shimAsh’ari>?
2. Bagaimana konsep pendidikan akhlak dalam perspektif Shai>kh ‘Umar bin
Ah}madBa>raja>’?
3. Bagaimana perbandingan konsep pendidikan akhlak antara KH. Ha>shim Ash’ari> dan Shai>kh Umar bin Ah}madBa>raja>’?
C. Tujuan penelitian
1. Mengetahui dan meneliti lebih dalam mengenai konsep pendidikan akhlak
dalam perspektif KH. Ha>shimAsh’ari>
2. Mengetahui dan meneliti lebih dalam mengenai konsep pendidikan akhlak
dalam perspektif Shai>kh‘Umar bin Ah}madBa>raja>’
3. Mengetahui lebih dalam perbandingan konsep pendidikan akhlak antara KH.
(19)
D. Alasan Pemilihan Judul
1. Kedua tokoh tersebut memberikan penekanan akan pentingnya pendidikan
akhlak, sehingga sampai saat ini pemikiran kedua tokoh tersebut masih dikaji
diberbagai pondok pesantren di Indonesia melalui karyanya (kita>b). meskipun
dalam uraiannya sedikit berbeda hal ini menjadi semakin menarik untuk dikomparasikan dengan mencari perbedaannya serta mencari titik temu atau persamaan diantara keduanya.
2. Penulis menganggap bahwa Kita>b Ada>b al-„A<lim wa al-Muta’allim Karya
KH. Ha>shim Ash’ari> dan Kita>b al-Akhla>q li al-Bani>n Karya Shai>kh ‘Umar bin Ah}mad Ba>raja>’ adalah buah percikan pemikiran dari tokoh yang cukup berpengaruh dan tidak diragukan lagi kealiman dan kehati-hatiannya. Uraian yang sederhana, mendasar dan sarat makna.
3. Melihat beragam problematika yang ada diera globalisasi dan modernisasi
menyebabkan dekadensi moral, merosotnya akhlak sampai merambah pada dunia pendidikan, menyadarkan penulis untuk mencoba menghidupkan kembali pemikiran kedua tokoh tersebut dengan dikontekstualisasikan pada realitas dan problematika masa kini.
E. Kegunaan Penelitian
Dalam kerangka penelitian ini paling tidak terdapat manfaat yang dapat diambil, diantaranya:
(20)
Dalam penelitian ini, setidaknya akan bermanfaat dalam memberikan motivasi dan inspirasi untuk digalakkannya pembahasan lebih lanjut tentang pentingnya mempelajari tokoh; biografi, pemikirannya, karya bahkan pengaruhnya, dalam hal ini pentingnya mempelajari pendidikan akhlak.
Disamping itu, pemikiran KH. Ha>shim Ash’ari> yang tertuang dalam Kita>b
Ada>b al-„A<lim wa al-Muta’allim dan pemikiran Shai>kh ‘Umar bin Ah}mad Ba>raja>’ yang tertuang dalam Kita>b al-Akhla>q li al-Bani>n masih dipelajari di beberapa pondok pesantren sampai saat ini, sedangkan dalam pendidikan formal masih belum begitu ditekankan. Oleh karenanya, hal ini patut menjadi inspirasi bagi para para tokoh-tokoh dan cendikiawan untuk lebih digalakkannya lagi pembicaraan tentang pendidikan akhlak.
Penelitian ini juga berguna sebagai salah satu bahan kajian pemikiran untuk menambah wawasan dan refrensi, pada guru (sebagai pendidik) secara khusus, dan kepada setiap orang pada umumnya. Disamping itu, kajian ini juga dapat membantu, atau pengontrol dalam menentukan kebijakan pemerintah terlebih menyangkut kebijakan mengenai pendidikan.
2. Manfaat secara praktis
a. Bagi para pendidik untuk senantiasa meniatkan bahwa terselanggaranya
pendidikan itu semata-mata karena Allah Swt. Bukan karena faktor lainnya. Dengan kata lain, pendidik harus bersungguh-sungguh dalam mendidik peserta didik, karena jika kita melihat pendidikan sekarang disatu
(21)
sisi mengalami konstruksi yang membanggakan tapi dibeberapa sisi mengalami dekonstruksi; dalam hal ini merosotnya akhlak. Bentuk-bentuk
dekonstruksi ini bisa kita lihat pada istilah seperti, politisasi pendidikan,
komersialisasi pendidikan, pergaulan bebas, guru mencabuli siswa,
sesama siswa berbuat mesum, minuman keras, mabuk-mabukan, dsb.
b. Kepada peserta didik untuk selalu mensucikan niatnya karena Allah Swt.
Bukan karena hal-hal yang bersifat keduniawian. Disamping itu, peserta didik harus menjaga akhlak, akhlak kepada diri sendiri, orang tua, guru, masyarakat, dsb.
c. Kepada pendidik untuk selalu memerhatikan bahwa ternyata pendidikan
akhlak itu harus lebih ditekankan lagi. Pendidik harus lebih menekankan lagi tentang pentingnya akhlak terlebih sejak mulai usia dini hingga dewasa. Apa jadinya jika bangsa ini tidak berakhlak? Hal ini, berbanding terbalik dalam realitasnya, dimana yang paling dikedepankan adalah kognisi-intelektual siswa, sedangkan pendidikan akhlak kurang begitu diperhatikan. Sekali lagi, Akhlak harus diposisikan secara primer.
d. Bagi pemerintah yang bertanggung jawab untuk membuat kebijakan,
khususnya kebijakan dalam lembaga pendidikan Islam agar tidak salah arah dan semaunya sendiri sehingga dapat berdampak pada instabilitas sistem pendidikan. Terlebih juga dalam menentukan kurikulum.
(22)
F. Penelitian Terdahulu
Berdasarkan penelusuran yang penulis lakukan pada skripsi-skripsi yang ada, terdapat banyak karya ilmiah (skripsi) yang membahas mengenai studi komparasi tentang pendidikan akhlak, namun penulis belum menemukan penelitian terhadap kitab yang sama persis dengan penelitian penyusun yang akan diteliti. Akan tetapi, penyusun menemukan beberapa skripsi yang berkaitan dengan studi komparasi tentang pendidikan akhlak, diantaranya:
1. Studi komparasi antara pemikiran Ibnu> Miskawai>h dan Syed Muhammad al
Naquib al Attas tentang konsep pendidikan akhlak10
2. Konsep pendidikan akhlak: studi komparasi pada pemikiran Imam al Ghazali
dan Syed Muhammad Naquib al Attas11
3. Studi komparasi konsep pendidikan akhlak dalam perspektif Ibnu Miskawaih
dan Syed Muhammad Naquib Al Attas12
4. Studi komparasi kitab adab al alim wa al muta'allim dengan kitab ta'lim al
muta'allim tentang pendidikan akhlak13
5. Konsep Akhlak Umar Baradja dan Relevansinya di Era Globalisasi; Study
Analisis Kritis atas Kitab Al-Akhlaq Li Al-Banat14
10
Nurul Ismy Romadhotin Hasanah, Studi komparasi antara pemikiran Ibnu Miskawaih dan Syed Muhammad al Naquib al Attas tentang konsep pendidikan akhlak, (Surabaya: Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Sunan Ampel, 2013).
11
Ainiyatul Fauziyah, Konsep pendidikan akhlak : studi komparasi pada pemikiran Imam al Ghazali dan Syed Muhammad Naquib al Attas, (Surabaya: Fakultas Tarbiyah, 2013).
12
Maftuchatul Choiriyah, Studi komparasi konsep pendidikan akhlak dalam perspektif Ibnu Miskawaih dan Syed Muhammad Naquib Al Attas, (Surabaya: Fakultas Tarbiyah, 2012).
13
M. Alib Shofwanthoni, Studi komparasi kitab adab al alim wa al muta'allim dengan kitab ta'lim al muta'allim tentang pendidikan akhlak, (Surabaya, Fakultas Tarbiyah, 2012) .
(23)
6. Etika Belajar Peserta Didik Perspektif Syaikh Umar bin Achmad Baradja
dalam Kitab Al-Akhlaq Li Al-Banat15
7. Konsep Pendidikan Akhlak Dalam Kitab Al-Akhlaq Li Al-Banin Karya Umar
bin Achmad Baradja 16
Dari uraian kajian kepustakaan diatas penulis dapat memberikan
simpulan bahwa masih belum ada penelitian yang mengkaji tentang Studi
Komparasi Konsep Pendidikan Akhlak dalam Perspektif KH. Ha>shim Ash’ari> dan Shai>kh ‘Umar bin Ah}mad Ba>raja>’.
G. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Supaya penelitian ini menjawab fokus inti serta tidak memunculkan bias, maka penulis membatasi masalah pada:
Pertama, pada pembahasan mengenai konsep pendidikan akhlak,
penulis membatasi masalah pada konsep mengenai pendidikan akhlak. Pendidikan akhlak yang dimaksud yaitu pendidikan yang berlandaskan ajaran
Islam yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah.
Kedua, agar penelitian ini semakin fokus maka dalam menguraikan
seputar pendidikan akhlak dalam perspektif KH. Ha>shim Ash’ari>, peneliti
membatasi kajian ini hanya pada karyanya, yaitu Kita>b Ada>b al-„A<lim wa
14
Lailatul Fitriah, Konsep Akhlak Umar Baradja dan Relevansinya di Era Globalisasi; Study Analisis Kritis atas Kitab Al-Akhlaq Li Al-Banat, (Surabaya, Fakultas Tarbiyah, 2007).
15
Nikmahtul Choiriyah, Etika Belajar Peserta Didik Perspektif Syaikh Umar bin Achmad Baradja Dalam Kitab Al-Akhlaq Li Al-Banat, (Surabaya, Fakultas Tarbiyah, 2014).
16M. Ainun Na’im,
Konsep Pendidikan Akhlak Dalam Kitab Al-Akhlaq Li Al-Banin Karya Umar bin Achmad Baradja, (Surabaya: Fakultas Tarbiyah, 2007).
(24)
Muta’allim sedangkan dalam pendidikan akhlak dalam perspektif Shai>kh ‘Umar bin Ah}mad Ba>raja>’, peneliti membatasi kajiannya pada karyanya, yakni Kita>b al-Akhla>q li al-Bani>n jilid I dan II. Hal ini menjadi semakin menarik karena perbedaan uraian serta pembahasannya.
Ketiga, penulis mencoba melakukan perbandingan yakni melihat
perbedaan dan persamaan dari kedua tokoh tersebut. Dalam analisis perbandingannya, penulis lebih menekankan pembatasannya kepada etika peserta didik. Hal ini dilakukan karena dalam kedua kitab yang diteliti, kitab karya KH. Ha>shim Ash’ari> cakupannya lebih luas dibandingkan kitab karya Shai>kh ‘Umar bin Ah}madBa>raja>’.
H. Definisi Operasional
Untuk mendapatkan pemahaman yang sesuai dengan arah dari judul penelitian ini, maka perlu kiranya penulis menjelaskan beberapa unsur istilah yang terdapat dalam judul skripsi ini, di antaranya:
1. Studi Komparasi
Studi berarti penelitian ilmiah, kajian, telaahan 17, pendidikan;
pelajaran, penyelidikan18. Sedangkan komparasi yaitu perbandingan19. Jadi,
studi komparasi yaitu kajian dan telaahan secara ilmiah dan mendalam tentang suatu hal dengan membandingkan antara suatu hal dengan hal yang lain.
17
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia; Pusat Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia Utama, 2011), 1342.
18
Pius A Parpanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya, Arkola, 1994), 728.
19
(25)
2. Konsep
Ide umum, pengertian, pemikiran, rancangan, rencana dasar.20
3. Pendidikan Akhlak
Suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar dan disengaja untuk memberikan bimbingan, baik jasmani maupun rohani, melalui penanaman nilai-nilai Islam, latihan moral, fisik serta menghasilkan perubahan ke arah positif, yang nantinya dapat diaktualisasikan dalam kehidupan, dengan kebiasaan bertingkah laku, berpikir dan berbudi pekerti yang luhur menuju terbentuknya manusia yang berakhlak mulia, di mana dapat menghasilkan perbuatan atau pengalaman dengan mudah tanpa harus direnungkan dan disengaja atau tanpa adanya pertimbangan dan pemikiran, yakni bukan karena adanya tekanan, paksaan dari orang lain atau bahkan pengaruh-pengaruh yang indah dan pebuatan itu harus konstan (stabil) dilakukan berulang kali dalam
bentuk yang sering sehingga dapat menjadi kebiasaan.21
4. KH. Ha>shimAsh’ari>
Lahir pada tanggal 14 Februari 1871 M, di Pesantren Gedang, Desa Tambakrejo, Kota Jombang, Jawa Timur. Salah satu Kyai yang paling berpengaruh di Indonesia. Dalam kajian ini, penulis mengkaji pemikirannya tentang konep pendidikan akhlak mengambil dari salah satu karyanya yaitu Kita>b Ada>b al-‘A<lim wa al-Muta’allim fi>ma> Yahta>j ila>hi al-Muta’allim fi>
20
Pius dan Al-Barry, Kamus Ilmiah, 362.
21
Raharjo, dkk., Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 63.
(26)
Ahwa>l Ta’allum wa ma> Yatawaqaff ‘alaihi al-Mu’allim fi Maqa>ma>t Ta’limihi.
5. Shai>kh‘Umar bin Ah}madBa>raja>’
Nama lengkapnya yaitu Syai>kh ‘Umar bin Ah}mad Ba>raja>’ lahir di
kampung Ampel Maghfur, pada 10 Jumadil Akhir 1331 H/17 Mei 1913 M. Dalam kajian ini, penulis mengkaji pemikirannya tentang konep pendidikan
akhlak mengambil dari salah satu karyanya yaitu Kita>b al-Akhla>q li al-Bani>n
Juz I & II.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan judul dalam penilitian ini adalah Studi Komparasi; Konsep Pendidikan Akhlak dalam Perspektif KH. Ha>shim Ash’ari> dan Shai>kh ‘Umar bin Ah}mad Ba>raja>’, yakni menguraikan seputar konsep pendidikan akhlak dalam pandangan dua tokoh yaitu KH. Ha>shim Ash’ari> dan Shai>kh ‘Umar bin Ah}mad Ba>raja>’. Selanjutnya, mengenai
konsep pendidikan akhlak dalam perspektif KH. Ha>shim Ash’ari>, penulis
mengambil pemikirannya pada kitab yang dikarangnya yaitu Kita>b Ada>b
al-‘A<lim wa al-Muta’allim. Sedangkan mengenai konsep pendidikan akhlak dalam
perspektif Shai>kh ‘Umar bin Ah}mad Ba>raja>’, penulis mengambil pemikirannya
pada kitab yang dikarangnya yaitu Kita>b al-Akhla>q li al-Bani>n Juz I & II. Kemudian penulis melakukan analisis perbandingan konsep pendidikan akhlak dalam pandangan kedua tokoh tersebut dengan titik tekannya pada etika peserta didik.
(27)
I. Metodologi Penelitian
Untuk memperoleh data yang diperlukan, mengolah dan menganalisis data, maka langkah-langkah yang harus dijelaskan terkait dengan hal-hal teknis dalam metodologi penelitian ini, adalah sebagai berikut:
1. Jenis penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian kepustakaan (library
reseach). Berpacu pada term penelitian kepustakaan sendiri adalah
serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data
pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah data penelitian.22 Melihat dari
segi sifatnya, penelitian ini termasuk pada jenis penelitian kualitatif.23
2. Pendekatan penelitian
Penelitian ini bercorak historis – faktual24 karena mengarah pada dua
pemikiran tokoh melalui karyanya. Serta deskriptif – analisis25 yaitu dengan
memberikan gambaran secara utuh tentang biografi, karya, pemikiran tentang konsep pendidikan akhlak. kemudian menganalisis dua pemikiran dengan membandingkan; perbedaan dan persamaan diantara keduanya.
3. Sumber data
22
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), 3.
23
Sugiyono menjelaskan penelitian kualitatif digunakan untuk kepentingan yang berbeda-beda. Salah satunya adalah untuk meneliti sejarah perkembangan kehidupan seorang tokoh atau masyarakat akan dapat dilacak melalui metode kualitatif.
24
Anton Barker, Metode–Metode Filsafat, (Jakarta: Galia Indonesia, 1984), 136.
25
(28)
a. Sumber Data Primer
Sumber primer merupakan sumber pokok yang digunakan dalam penelitian ini yang relevan dengan pembahasan ini, dalam hal ini penulis
menggunakan Kita>b Ada>b al-„A<lim wa al-Muta’allim Karya KH. Ha>shim
Ash’ari> dan Kita>b al-Akhla>q li al-Bani>n Juz I & II Karya Shai>kh ‘Umar bin Ah}madBa>raja>’ sebagai sumber utama.
b. Sumber Data Sekunder
Mencakup sumber kepustakaan yang terwujud dalam buku-buku penunjang, jurnal dan karya ilmiah yang ditulis selain bidang yang dikaji, yang membantu penulis berkaitan dengan kajian tentang konsep pendidikan akhlak.
4. Teknik pengumpulan data
Metode pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode dokumenter, yaitu mencari atau mengumpulkan data mengenai hal-hal atau variable penelitian yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, notulen, prasasti, rapat, leger, dan penelitian ini bersifat kepustakaan.
Oleh karena itu, langkah yang ditempuh peneliti sebagai upaya menyelaraskan metode dokumenter tersebut, maka langkah yang ditempuh antara lain:
a. Reading, yaitu dengan membaca dan mepelajari literatur-literatur yang berkenaan dengan tema penelitian.
(29)
b. Writing, yaitu membuat catatan data yang berkenaan dengan penelitian. c. Editing, yaitu memeriksa validitas data secara cermat mulai dari
kelengkapan referensi, arti dan makna, istilah-istilah atau ungkapan-ungkapan dan semua catatan data yang telah dihimpun.
d. Untuk keseluruhan data yang diperlukan agar tekumpul, maka tindakan
analisis data yang bersifat kualitatif dengan maksud mengorganisasikan
data.26 yang kemudian proses analisis data dimulai dari menelaah seluruh
data yang tersedia dalam berbagai sumber.27
5. Teknik analisis data
Adapun tehnik analisis data dari penelitian ini adalah menggunakan
instrument analisis deduktif dan content analysis atau analisa isi. Dengan
menggunakan analisis deduktif, langkah yang penulis gunakan dalam penelitian ini ialah dengan cara menguraikan beberapa data yang bersifat
umum yang kemudian ditarik keranah khusus atau kesimpulan yang pasti.28
Content analysis penulis pergunakan dalam pengolahan data dalam pemilahan pembahasan dari beberapa gagasan atau yang kemudian dideskripsikan, dibahas dan dikritik. Selanjutnya dikelompokan dengan data yang sejenis, dan dianalisa isinya secara kritis guna mendapatkan formulasi yang kongkrit dan memadai, sehingga pada akhirnya penulis pergunakan
26
Ibid, 103.
27
Ibid., 193.
28
(30)
sebagai langkah dalam mengambil kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah yang ada.
Maksud penulis dalam penggunaan teknik Content analysis ialah
untuk memper tajam maksud dan inti data-data, sehingga secara langsung memberikan ringkasan pada tentang fokus yang diteliti.
Fokus utama yang paling ditekankan dalam penelitian ini yaitu perbandingan dua pemikiran tokoh. Dalam hal ini penting untuk dijadikan rambu-rambu agar uraian yang ditulis dalam penelitian ini tidak jauh melebar dari fokus inti pembahasan.
J. Sistematika Pembahasan
Agar penyusunan penelitian ini selaras dengan fokus bidang kajian, maka dibutuhkan sistematika pembahasan. Adapun rancangan sistematika pembahasan dalam penyusunan penelitian ini antara lain:
Bab pertama, berisi pendahuluan yang berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, alasan pemilihan judul, kegunaan penelitian, penelitian terdahulu, ruang lingkup dan keterbatasan penelitian, definisi operasional, metodologi penelitian yang meliputi: (jenis penelitian, sumber data, metode pengumpulan data dan teknik analisis data), sistematika pembahasan.
Bab kedua, landasan teori yaitu menyajikan bahasan tentang pendidikan akhlak. Pada bab ini berisi: pengertian pendidikan akhlak, dasar-dasar pendidikan akhlak, tujuan pendidikan akhlak, ruang lingkup pendidikan akhlak dan metode pendidikan akhlak.
(31)
Bab ketiga, pada bab ini membahas tentang konsep pendidikan akhlak
dalam perspektif KH. Ha>shimAsh’ari>.
Bab keempat, pada bab ini membahas tentang konsep pendidikan akhlak
dalam perspektif Shai>kh‘Umar bin Ah}madBa>raja>’.
Bab kelima, analisis data yaitu analisis perbandingan konsep pendidikan
akhlak dala perspektif KH. Ha>shim Ash’ari> dan Shai>kh ‘Umar bin Ah}mad
Ba>raja>’ yakni dengan mencari perbedaan dan persamaan dari kedua pemikiran tersebut dan ditambahkan pula keunggulan serta relevansinya bagi pendidikan masyarakat modern.
Bab keenam, tentang penutup yaitu menguraikan tentang kesimpulan dan saran-saran serta diteruskan daftar kepustakaan dan lampiran-lampiran.
(32)
22 BAB II
KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK
Dalam bab dua ini, yaitu uraian mengenai konsep pendidikan akhlak, membahas seputar: Pengertian pendidikan akhlak, Dasar-dasar pendidikan akhlak, Tujuan pendidikan akhlak, Ruang lingkup pendidikan akhlak serta Metode pendidikan akhlak.
A. Pengertian Pendidikan Akhlak
Pendidikan akhlak terdiri dari dua kata, yaitu pendidikan dan akhlak. Sebelum menguraikan lebih jauh tentang pendidikan akhlak serta agar mendapatkan pemahaman yang utuh, maka terlebih dahulu diuraikan tentang pengertian pendidikan dan akhlak.
1. Pengertian pendidikan
Pendidikan adalah berasal dari kata “didik” dengan memberi awalan
“pe” dan akhiran “an”, mengandung arti perbuatan (hal, cara dan sebagainya).
Istilah pendidikan ini semula berasal dari bahasa Yunani yaitu “Paedagogie”
yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan kedalam bahasa inggris dengan “education” yang berarti pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa Arab istilah ini sering diterjemahkan dengan “tarbiyah” yang berarti pendidikan.
Dalam perkembangan selanjutnya, Pendidikan berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja terhadap anak didik oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Dalam perkembangan selanjutnya,
(33)
Pendidikan berarti usaha yang dijalankan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk memengaruhi seseorang atau sekelompok orang agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup dan penghidupan yang lebih tinggi dalam
arti mental.1
Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan pemerintah melalui bimbingan, pengajaran dan latihan, yang berlangsung di sekolah dan diluar sekolah sepanjang hayat untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat memainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tepat dimasa
yang akan datang.2
Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar yang diarahkan untuk mematangkan potensi fitrah manusia, agar setelah tercapai kematangan itu, ia mampu memerankan diri sesuai dengan amanah yang disandangnya, serta
mampu mempertanggung jawabkan pelaksanaan kepada Sang Pencipta.3
Dalam Islam, pada mulanya pendidikan disebut dengan kata “ta’dib”. Kata “ta’dib” mengacu kepada pengertian yang lebih tinggi dan
mencakup seluruh unsur-unsur pengetahuan („ilm), pengajaran (ta’lim4) dan
pengasuhan yang baik (tarbiyah). Akhirnya, dalam perkembangan kata-kata
“ta’dib” sebagai istilah pendidikan hilang dari peredarannya, sehingga para
ahli didik Islam bertemu dengan istilah at tarbiyah atau tarbiyah, sehingga
1
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2010), cet.Ke-8, 13.
2
Binti Maunah, Landasan Pendidikan, (Yogyakarta: Teras, 2009), cet. Ke-1, 5-6.
3
Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), 51.
4
Menurut Rasyid Ridha, Ta’lim adalah proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu. Pemaknaan ini didasarkan atas QS.al-Baqarah: 31. Lihat, Ramayulis, Ilmu, 16.
(34)
sering disebut tarbiyah5. Sebenarnya kata ini asal katanya adalah dari “Rabba -Yurobbi-Tarbiyatan” yang artinya tumbuh dan berkembang.6
Sedangkan pengertian pendidikan menurut para ahli yaitu, antara lain:
a. John Dewey
Pendidikan adalah sebagai suatu proses pembentukan kemampuan
dasar yang fundamental, baik menyangkut daya pikir (intelektual) maupun
daya perasaan (emosional) menuju ke arah tabiat manusia dan manusia
biasa.7
b. Ki Hajar Dewantara
Pendidikan merupakan tuntutan bagi pertumbuhan anak-anak. Artinya, pendidikan menuntut segala kekuatan kodrat yang ada pada diri anak-anak, agar mereka sebagai manusia sekaligus sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan
setinggi-tingginya.8
c. Ahmad D. Marimba
5
Menurut Muhammad At}iyah al-Abra>shi, Tarbiyah adalah mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan bahagia, mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya (akhlaknya), teratur pikirannya, halus perasaannya, manis tutur katanya baik dengan lisan atau tulisan. Lihat, Ramayulis, Ilmu, 16.
6
Zuhairini, dkk., Metodologi Pendidikan Agama, (Bandung: Ramadhani, 1993), 9.
7
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), 1.
8
(35)
Pendidikan adalah bimibingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju
terbentuknya kepribadian yang utama.9
d. Jalaluddin & Abdullah Idi
Pendidikan diartikan sebagai suatu proses usaha dari manusia dewasa yang telah sadar akan kemanusiaannya dalam membimbing, melatih, mengajar dan menanamkan nilai-nilai dan dasar pandangan hidup kepada generasi muda, agar nantinya menjadi manusia yang sadar dan bertanggung jawab akan tugas-tugas hidupnya sebagai manusia sesuai
dengan sifat hakiki dan ciri-ciri kemanusiaannya.10
Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah suatu usaha yang dilakukan secara sadar untuk memberikan bimbingan, pengarahan dalam membina jasmani dan rohani manusia secara seimbang serta mengembangkan potensi yang dimiliki sehingga dapat mencapai manusia seutuhnya, atau dengan kata lain, pendidikan yaitu suatu kegiatan atau usaha yang dilakukan secara sadar dan disengaja untuk memberikan bimbingan dan pengarahan, baik jasmani maupun rohani, melalui penanaman nilai-nilai Islam, latihan moral, fisik serta menghasilkan perubahan ke arah positif yang nantinya dapat diaktualisasikan dalam kehidupan, dengan
9
Ahmad D, Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: PT Al-Ma‟arif, 1962), 19.
10
Jalaluddin & Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan; Manusia Filsafat dan Pendidikan, (Jakarta: Rajawali, 2013), 9.
(36)
kebiasaan bertingkah laku, berpikir dan berbudi pekerti yang luhur menuju terbentuknya manusia yang berakhlak mulia.
2. Pengertian Akhlak
Secara etimologi, kata Akhlak berasal dari bahasa arab ( قلخا )
dengan unsur “خَ,لَ,ق” yang merupakan bentuk jamak dari kata قلخ (khuluq)
yang artinya; (a) tabiat, budi pekerti, (b) kebiasaan atau adat, (c) keperwiraan,
kesatriaan, kejantanan, (d) agama dan (e) kemarahan (ghad}ab).11. Ini
tercantum didalam surah al-Qalam yang isinya merupakan pujian kepada Nabi
Muhammad Saw. Yang berakhlak sangat mulia12, yaitu sebagai berikut: َكناو
ميظعَ قلخَ ىلعل “dan sesungguhnya kamu (muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung”
Sedangkan para ahli mendefinisikan akhlak, antara lain: a. Ima>m al-Ghazali>
Akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam diri atau jiwa manusia yang dari sifat itu melahirkan tindakan-tindakan mudah dan
gampang tanpa memerlukan pemikiran ataupun pertimbangan.13
b. Al-Qurt}u>bi>
11
Ensiklopedi Islam, Akhlak (Jakarta: PT. Ictiar Baru Van Houve, 2005), 130.
12
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak Tasawuf, (Surabaya: IAIN SA Press, 2011), cet. Ke-1, 1.
13
(37)
Suatu perbuatan manusia yang bersumber dari ada>b kesopanannya disebut akhlak, karena perbuatan itu termasuk bagian dari kejadiannya.
c. Muhammad bin Ilaan as-Shadieqy
Suatu pembawaan dalam diri manusia yang dapat menimbulkan perbuatan baik, dengan cara mudah (tanpa dorongan dari orang lain). d. Abu> Bakar Ja>bir al-Jazairi>
Bentuk kejiwaan yang tertanam dalam diri manusia yang menimbulkan perbuatan baik dan buruk, terpuji dan tercela dengan cara
disengaja.14
e. Abuddin Nata
Akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mendalam dan tanpa pemikiran, namun perbuatan itu telah mendarah daging dan melekat dalam jiwa, sehingga saat melakukan perbuatan tidak lagi memerlukan
pertimbangan dan pemikiran.15 Selain itu, akhlak dapat pula diartikan
sebagai sifat yang telah dibiasakan, ditabiatkan, didarah dagingkan sehingga menjadi kebiasaan dan mudah dilaksanakan, dapat dilihat
indikatornya dan dapat dirasakan manfaatnya.16
Dari uraian yang dikemukakan oleh beberapa ahli diatas tampak berbeda-beda, namun memiliki esensi makna yang sama yaitu akhlak adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh manusia tanpa melalui pertimbangan atau
14
Mahjuddin, Kuliah Akhlaq Tasawuf, (Jakarta: Kalam Mulia, 1999), 2-3.
15
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), 5.
16
(38)
pemikiran, hal itu muncul karena didasari dari kebiasaan-kebiasaan yang berulang-ulang tanpa adanya sebuah paksaan.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa akhlak adalah suatu sikap atau kehendak manusia disertai dengan niat yang tentram dalam jiwa yang
berlandaskan al-Qur’a>n dan al-H}adi>th yang dari padanya timbul
perbuatan-perbuatan atau kebiasaan-kebiasaan secara mudah tanpa memerlukan pembimbingan terlebih dahulu. Jika kehendak jiwa itu menimbulkan perbuatan-perbuatan dan kebiasaan-kebiasaan yang bagus, maka disebut dengan akhlak yang terpuji. Begitu pula sebaliknya, jika menimbulkan perbuatan-perbuatan dan kebiasaan-kebiasaan yang jelek, maka disebut dengan akhlak yang tercela.
3. Pengertian Pendidikan Akhlak
Dengan pengertian tentang akhlak baik dari segi bahasa maupun istilah sebagaimana tersebut diatas tampak erat kaitannya dengan pendidikan, yang pada intinya upaya menginternalisasikan nilai-nilai, ajaran, pengalaman, sikap dan sistem kehidupan secara holistik sehingga menjadi sifat, karakter
dan kepribadian peserta didik.17
Selanjutnya, Setelah dijelaskan secara terpisah mengenai pengertian pendidikan dan pengertian akhlak, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan akhlak adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar dan disengaja untuk memberikan bimbingan, baik jasmani maupun rohani, melalui penanaman
17
(39)
nilai-nilai Isla>m, latihan moral, fisik serta menghasilkan perubahan ke arah positif, yang nantinya dapat diaktualisasikan dalam kehidupan, dengan kebiasaan bertingkah laku, berpikir dan berbudi pekerti yang luhur menuju terbentuknya manusia yang berakhlak mulia, di mana dapat menghasilkan perbuatan atau pengalaman dengan mudah tanpa harus direnungkan dan disengaja atau tanpa adanya pertimbangan dan pemikiran, yakni bukan karena adanya tekanan, paksaan dari orang lain atau bahkan pengaruh-pengaruh yang indah dan perbuatan itu harus konstan (stabil) dilakukan berulang kali dalam
bentuk yang sering sehingga dapat menjadi kebiasaan.18
B. Dasar-dasar Pendidikan Akhlak
Sumber ajaran pokok dalam agama Islam adalah al-Qur’a>n dan
al-Sunnah Nabi Saw. Keduanya menjadi acuan umat Isla>m dalam beribadah dan
bermuamalah. Akhlak sebagai pusat ibadah manusia pun juga bersumber dari kedua ajaran pokok tersebut. Nabi Muhammad Saw. Diutus ke muka bumi hanya
bertujuan untuk memperbaiki akhlak manusia.19 Rasulullah saw. Sebelum
bertugas menyempurnakan akhlak, beliau sendiri sudah berakhlak sempurna.
Perhatikan firman Allah Swt. dalam surah al-Qalam (68): 4
َ وَ اَ ن
َ ك
ََ ل
َ عَ ل
َ خَى
َ لَ ق
ََ ع
َ ظَ ي
َ م
َ
“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berada di atas budi pekerti yang
agung”20
18
Raharjo, dkk., Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 63.
19
Tim Penyusun, Akhlak, 9.
20
(40)
Sabda Nabi saw. yang sangat populer terkait dengan akhlak ialah:
َامّنا
قلخّاَ حلاصَ امّمتءَّ تثعب
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakanakhlak yang saleh”21
Dari keterangan di atas, Allah Swt. sudah menegaskan bahwa Nabi Muhammad Saw. Mempunyai akhlak yang agung. Hal ini menjadi syarat pokok bagi siapapun yang bertugas untuk memperbaiki akhlak orang lain. Logikanya, tidak mungkin bisa memperbaiki akhlak orang lain kecuali dirinya sendiri sudah baik akhlaknya.
Karena akhlak yang sempurna itu, patut dijadikan uswa>t al-hasanah
(teladan yang baik).22 Firman Allah Swt. dalam surat al-Ahzab (33): 21
َ لَ ق
َ دََ
َ ك
َ نا
ََ ل
َ ك
َ مَ
َ ِ
َ رَى
َ سَ و
ََ لَّل
َ هَ
َ اَ س
َ وٌَة
َ
َ ح
َ سَ ن
َ ةَ
َ لَ م
َ نََ
َ ك
َ نا
ََ َُ ر
َ جَ
و
َ هاَا
ََ و
َ لاَ ي
َ وَ م
َ
َ ّا
َ خ
َر
َ وَ ذ
َ كَ ر
َ ها
َََ ك
َ ثَ يَ ر
ا
َ
“Demi (Allah), sungguh telah ada bagi kamu pada (diri) Rasulullah suri teladan
yang baik bagi orang yang (senantiasa) mengaharap (rahmat) Allah dan (kebahagiaan) hari kiamat, serta (teladan bagi mereka) yang banyak berdzikir
kepada Allah.”23
Disamping itu, terdapat banyak sekali ayat-ayat al-Qur’a>n yang
menjelaskan, menuntun manusia untuk selalu berperilaku terpuji. Salah satu
21
(HR. S}ahi>hBukha>ri, kita>bada>b; Baihaqi> dalam kitab Shu‟abil Ima>n dan al-Ha>kim). Didalam versi lain tertulis teks yang berbunyiقلخّاَمراكمَممتءَّتثعبَامنا
22
Deden Makbuloh, Pendidikan Agama Islam; Arah Baru Pengembangan Ilmu dan Kepribadian di Perguruan Tinggi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), cet. Ke-2, 140.
23
(41)
contohnya ialah ayat yang terdapat dalam al-Qur’a>n yang terkait dengan akhlak manusia, menjelaskan agar manusia tidak arogan atau angkuh dalam kehidupan
bermasyarakat. Firman Allah dalam surah Luqma>n (31): 18-19
َ ك
َ نا
ََ ر
َ سَ و
َ لَ
َ ها
َ
َ صَ
ل
َ هاَى
ََ ع
َ لَ يَ ه
ََ و
َ سَ ل
َ مََ ا
َ ح
َ س
َ نَ
َ نلا
َ سا
َ
َ خَ ل
َ ق
َ وَا
َ خَ ل
َ قا
َ
“Nabi Muhammad saw. adalah merupakan manusia dengan bentuk tubuh dan
rohani(akhlak) yang terbaik”. (HR. Muslim dan Abu> Dawud).
Dapat dipahami, betapa persoalan budi pekerti dan akhlak baik itu menjadi perhatian serius dan menunjukkan bahwa berakhlak baik merupakan
suatu keharusan yang sangat ditekankan didalam ajaran agama Isla>m.
Oleh karena itu, akhlak tidak diragukan lagi memiliki peran besar dalam kehidupan manusia. Pembinaan akhlak dimulai dari individu. Pembinaan akhlak selanjutnya dilakukan dalam lingkungan keluarga dan harus dilakukan sendiri mungkin sehingga memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Melalui pembinaan akhlak pada setiap individu dan keluarga akan tercipta peradaban
masyarakat yang tentram dan sejahtera.24
Berdasarkan uraian di atas, memberikan pengertian tentang pentingnya pendidikan akhlak dalam kehidupan manusia, di mana dengan pendidikan akhlak yang diberikan dan disampaikan kepada manusia tentunya akan menghasilkan orang-orang yang bermoral, laki-laki maupun perempuan, memiliki jiwa yang bersih, kemauan yang keras, cita-cita yang benar dan akhlak yang tinggi,
24
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012), cet. Ke-2, 59-60.
(42)
mengetahui arti kewajiban dan pelaksanaannya, menghormati hak-hak manusia,
mengetahui perbedaan buruk dan baik, memilih satu fadi>lah karena cinta pada
fad}i>lah, menghindari suatu perbuatan yang tercela dan mengingat Tuhan dalam setiap pekerjaan yang mereka lakukan.
C. Tujuan Pendidikan Akhlak
Dalam tujuan pendidikan akhlak dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu tujuan secara umum dan tujuan secara khusus.
1. Tujuan secara umum
Tujuan pendidikan akhlak secara umum, yaitu:
a. Supaya dapat terbiasa melakukan yang baik, indah, mulia, terpuji serta
menghindari yang buruk, jelek, hina dan tercela.
b. Supaya perhubungan kita dengan Allah Swt. dan dengan sesama makhluk
selalu terpelihara dengan baik dan harmonis.25
c. Akhlak berintikan tanggung jawab atas amanat Allah Swt., dengan
mengaplikasikan hubungan yang baik dengan sesama manusia, seluruh
makhluk atas rid}a Allah. Akhlak mulia (terpuji) merupakan tujuan akhir
dari sikap hidup yang diinginkan. Tujuan akhir dari akhlak identik dengan
tujuan akhir ajaran Isla>m, yaitu untuk mencapai kebahagiaan hidup di
dunia dan akhirat.26
25
Barnawy Umari, Materi Akhlak, (Sala: Ramadhani, 1984), 2.
26
Jalaluddin, Filsafat Pendidikan Islam; Telaah Sejarah dan Pemikirannya, (Jakarta: Kalam Mulia, 2011), cet.Ke1, 60-61.
(43)
d. Menurut Ali Hasan bahwa tujuan pokok akhlak adalah agar setiap orang berbudi (berakhlak), bertingkah laku (tabiat) berperangai atau beradat
istiadat yang baik atau yang sesuai dengan ajaran Isla>m.27
e. Menurut Muhammad „At}iyyah Al-Abrashi> menjelaskan tujuan dari pendidikan moral dan akhlak dalam Islam adalah membentuk orang-orang yang bermoral baik, keras kemauan, sopan dalam bicara dan mulia dalam bertingkah laku dan perangai, bersifat bijaksana, sempurna, sopan dan
beradab, ikhlas}, jujur dan suci. Jiwa dari pendidikan Isla>m adalah
pendidikan moral dan akhlak.28
f. Menurut Ahmad Amin, bahwasannya tujuan pendidikan akhlak (etika)
bukan hanya mengetahui pandangan atau teori, bahkan setengah dari tujuan itu adalah mempengaruhi dan mendorong kehendak kita supaya membentuk hidup suci dan menghasilkan kebaikan dan kesempurnaan dan memberi faedah kepada sesama manusia, maka etika itu adalah mendorong kehendak agar berbuat baik, akan tetapi ia tidak selalu berhasil kalau tidak
ditaati oleh kesucian manusia.29
2. Tujuan secara khusus
Adapun secara spesifik pendidikan akhlak bertujuan:
a. Menumbuhkan pembentukan kebiasaan berakhlak mulia
27
M. Ali Hasan, Tuntunan Akhlak, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), 11.
28 Muhammad „At}iyyah
Al-Abrashi>, Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), 114.
29
(44)
b. Memantapkan rasa keagamaan pada siswa, membiasakan diri berpegang pada akhlak mulia dan membenci akhlak yang rendah.
c. Membiasakan siswa bersikap rela, optimis, percaya diri, emosi, tahan
menderita dan sabar.
d. Membimbing siswa ke arah sikap yang sehat dan dapat membantu mereka
berinteraksi sosial yang baik, mencintai kebaikan untuk orang lain, suka menolong, sayang kepada yang lemah, dan menghargai orang lain.
e. Membiasakan siswa bersopan santun dalam berbicara dan bergaul baik di
sekolah maupun di luar sekolah.
f. Selalu tekun beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Swt. dan
bermuamalah yang baik.30
g. Menurut Afif Abdul Fatah, tujuan pendidikan akhlak adalah
menyampaikan dan mengarahkan peserta didik, mana yang baik dan mana yang buruk, serta apa-apa yang pantas untuk dilakukan dan apa-apa yang seharusnya ditinggalkan dalam kehidupan individu dan masyarakat, sehingga masalah yang pertama kali mendapatkan perhatian para filosof dan ahli hukum adalah membangkitkan umat manusia untuk mengajak kepada akhlak mulia karena pada dasarnya akhlak merupakan fondasi dari
setiap bangunan kelompok masyarakat yang bernama manusia.31
30
Chabib Thoha, Saifudin Zuhri, dkk., Metodologi Pengajaran Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 136.
31
(45)
D. Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak
Secara garis besar, ruang lingkup pendidikan akhlak amat luas seluas
ajaran Isla>m itu sendiri, karena esensi dari akhlak adalah ketentuan kebaikan dan
keburukan dari perbuatan manusia. Padahal, perbuatan manusia tidaklah statis. Dengan demikian, seluruh ajaran Islam pun pada dasarnya bermuatan akhlak.
Penegasan seperti itu dapat ditarik dari pemahaman tentang hadi>th Nabi Saw.,
bahwa pilar Isla>m adalah Iman, Isla>m dan Ih}san.
Dengan kata lain, sasaran perbuatan akhlak atau muara akhlak adalah ruang lingkup pelaksanaan akhlak, yaitu tujuan dimanifestasikannya perbuatan akhlak. Secara kategoris, ruang lingkup atau muara pelaksanaan perbuatan akhlak itu ada 4 (empat): (1) akhlak terhadap Allah Swt., (2) akhlak terhadap sesama manusia, (3) akhlak terhadap diri sendiri dan (4) akhlak terhadap
lingkungan (alam binatang, tumbuhan dan benda-bendaa yang lain).32
Menurut Muhammad Daud Ali menyatakan bahwa dalam garis besarnya
akhlak terbagi dalam dua bagian, pertama adalah akhlak terhadap Allah/Khaliq
(pencipta) dan kedua adalah akhlak terhadap makhluknya (semua ciptaan Allah).
Dan ruang lingkup pendidikan akhlak meliputi: (1) akhlak terhadap Allah Swt.,
32
Masing-masing dari lingkup akhlak tersebut memiliki matra sendiri-sendiri yang mesti dicermati. Matra akhlak adalah isi dari masing-masing lingkup akhlak yang berisi satuan-satuan perbuatan akhlak. Konsep akhlaki yang berada dalam satuan-satuan perbuatan tersebut lazim disebut sebagai ada>b yang biasanya diterjemahkan ke dalam istilah etiket. Jadi matra akhlak tersebut terdiri dari etiket-etiket, yakni satuan-satuan normatif akhlak. Sebagai contoh, lingkup akhlak terhadap Allah adalah terdiri dari (matra) satuan-satuan etiket (tatakrama, dan disebut sebagai ada>b beribadah (berinteraksi
atau berkomunikasi pengabdian) kepada Allah swt. misalnya, tatakrama beribadah, tatakrama berdo‟a
(46)
(2) akhlak terhadap sesama manusia, (3) akhlak terhadap lingkungan.33 Sedangkan menurut Abu Ahmadi & Noor Salimi, membagi ruang lingkup pendidikan akhlak menjadi: (1) akhlak yang berhubungan dengan Allah Swt., (3) akhlak diri sendiri, (3) akhlak terhadap keluarga, (4) akhlak terhadap masyarakat,
(5) akhlak terhadap alam.34
Oleh karena itu, ruang lingkup pendidikan akhlak dalam uraian ini mencakup, yaitu: (1) akhlak terhadap Allah Swt., (2) akhlak terhadap manusia, meliputi: akhlak terhadap Rasulullah Saw., akhlak terhadap orang tua, akhlak terhadap guru, akhlak terhadap diri sendiri dan akhlak terhadap masyarakat (3) akhlak terhadap alam.
1. Akhlak terhadap Allah Swt.
Berakhlak kepada Allah Swt. pada prinsipnya berangkat dari kewajiban seorang hamba untuk percaya dan beriman kepada Allah Swt. sebagai Tuhan. berakhlak seperti itu artinya menampilkan performa kedirian manusia sebagai hamba yang menghendaki komunikasi kepada Allah Swt. dengan sebaik-baiknya, berdasarkan petunjuk-Nya.
Menurut Abuddin Nata, akhlak terhadap Tuhan antara lain dengan mengenal, mengetahui, mendekati dan mencintai-Nya; melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya; menghiasi diri dengan sifat-sifat-Nya atas dasar kemampuan dan kesanggupan manusia; membumikan
33
M. Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), 352.
34
Abu Ahmadi & Noor Salimi, Dasar-dasar Pendidikan Agama Islam; Untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), cet. Ke-5, 207.
(47)
Nya dalam kehidupan individu, masyarakat dan bangsa.35 Sedangkan menurut
Abu Ahmadi & Noor Salimi36, contoh-contoh akhla>q al-kari>mah, yaitu: (a)
Mentauhidkan Allah (b) Taqwa, Berdo‟a, (c) Dhikrullah, (d) Tawakkal.
2. Akhlak terhadap Manusia
a. Akhlak terhadap Rasulullah
Terdapat banyak cara kita berakhlak kepada Rasulullah Saw., diantaranya:
1) Mengikuti dan menaati Rasulullah Saw.37.
2) Mencintai dan memuliakan Rasulullah Saw.
“tidak beriman salah seorang diantara kalian sehingga aku lebih dicintai olehnya dari pada dirinya sendiri, orang tuanya, anak-anaknya dan manusia semuanya” (HR. Bukha>ri-Muslim)
3) Mengucapkan shalawat dan salam kepada Rasulullah Saw.
4) Mencontoh akhlak Rasulullah Saw., lihat Qs. Al-Fath: 29
5) Melanjutkan misi Rasulullah Saw.
6) Menghormati pewaris Rasul38, berakhlak baik kepada Rasul berarti juga
berakhlak baik kepada para pewarisnya yakni para ulama‟ yang
konsisten dalam berpegang teguh kepada nilai-nilai Isla>m,39
7) Menghidupkan sunnah Rasul
b. Akhlak terhadap keluarga
35
Abuddin, Pemikiran, 209.
36
Abu & Noor, Dasar-dasar, 207-208.
37
Qs. An-Nisa>‟: 80.
38
Moh. Mansur, Akidah Akhlak II, (Jakarta: Ditjen Binbaga, 1997), 176.
39
(48)
Akhlak terhadap keluarga meliputi ayah, ibu, anak dan keturunannya. Kita harus berbuat baik pada orang tua. Ibu telah mengandung dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah. Menyusui dan
mengasuhnya selama 2 tahun.40
Oleh karena itu, wajib bagi seorang anak berbuat baik kepada kedua orang tua, berbakti, berbicara dengan perkataan yang baik kepada keduanya, serta adil terhadap saudara. Disamping itu, begitu juga dengan orang tuanya, mereka juga harus membina dan mendidik keluarganya
dengan baik, memelihara keturunannya, tidak bertindak semaunya, dst.41
Hal demikian dijelaskan didalam al-Qur’a>n al-Kari>m, antara lain: Berbuat
baik kepada ibu bapak walaupun beda amal perbuatan42, Birr al-Wa>lidain
berbakti kepada kedua orang tua,43 Berbicara dengan perkataan yang
baik44, Orang tua dilarang membunuh anak karena takut miskin45, Adil
terhadap saudara46, Membina dan mendidik keluarga47, Memelihara
keturunan48.
Dengan demikian, Isla>m jelas mengatur tata pergaulan hidup
dalam keluarga yang saling menjaga akhlak. Sebab, dalam Isla>m semua
40
Deden, Pendidikan, 149.
41
Ibid, h. 150.
42
Lihat Qs. Al-Ah}qaf: 15.
43
Lihat Qs. Al-Nisa>‟: 36.
44
LihatQs. Al-Isra>‟: 23-24.
45
Lihat Qs. Al-Isra>‟: 31.
46
LihatQs. Al-Nah}l: 90.
47
LihatQs. Al-Tahri>m: 6 dan Al-Shu‟ara>: 214.
48
(49)
anggota keluarga memiliki hak dan kewajiban yang sama-sama harus dilaksanakan. Seluruh anggota keluarga berperan untuk memberikan kontribusi menciptakan keluarga yang sakinah, mawadah dan penuh ramah. Hal ini akan terwujud hanya jika semua menjalankan hak dan kewajiban berdasarkan akhla>q al-kari>mah.49
c. Akhlak terhadap guru
Akhla>q al-Kari>mah kepada guru di antaranya dengan menghormatinya, berlaku sopan dihadapannya, mematuhi perintah-perintahnya, baik itu di hadapannya ataupun di belakangnya, karena guru
adalah spiritual father atau bapak rohani bagi seorang murid, yaitu yang
memberi santapan jiwa dengan ilmu, pendidikan akhlak dan membenarkannya.
Penyair Shauki telah mengakui pula nilainya seorang guru dengan kata-katanya sebagai berikut:
َ ل ي ج ب تلاَ هِّ وَ مّل ع م ل لَ م ق
َ ّ و س رَ ن و ك َُ ن اَ مّل ع م لا دا كَكَ
Berdiri dan hormatilah guru dan berilah penghargaan, seorang guru itu
hampir saja merupakan seorang Rasul.50
d. Akhlak terhadap diri sendiri
Manusia memiliki dua lapis kewajiban. Pertama, kewajiban
shar‟iyyah-formal. Kedua, kewajiban moral. Kewajiban moral adalah kelanjutan dari pelaksanaan kewajiban formal atau disebut juga kewajiban
49
Ibid, 151.
50
(50)
ihsan dalam menjalankan hukum formal-shari>‟ah. Adapun kewajiban moral
seseorang terhadap dirinya sendiri adalah kewajibannya untuk
memperlakukan dirinya secara baik. Misalnya dengan menerima dirinya dengan penuh optimisme, apa adanya, tidak pernah menyesali keberadaannya, bahkan menggunakan segala potensi yang ada baik jasmani dan rohani untuk dikembangkan sebagaimana seharusnya.
Terkait dengan rohani, batin atau jiwa, manusia harus berakhlak
dan berbuat baik (ih}san). Disini, agama memberikan norma-norma, etiket
atau ada>b sebagaimana prinsipnya yang telah diberikan oleh al-Qur’a>n dan
selanjutnya dijabarkan oleh Nabi Muhammad saw. diantara norma-norma
itu adalah:51
1) Menggunakan akalnya untuk berpikir dengan baik, merawat dan
mengokohkannya dengan ilmu-ilmu berpikir yang benar, memberikan asupan ilmu pengetahuan bermanfaat, tidak boleh merusaknya baik dengan membiarkannya sia-sia, seperti melamun dan berangan-angan kosong atau maupun dirusak dengan makanan dan minuman yang memabukkan.
2) Menggunakan daya rasa hatinya dengan baik, merawat dan
membersihkan intuisi dan mendengarkan suaranya, membersihkan hati dari penyakit-penyakitnya, semisal sombong, keras hati, dengki, mengancam, berdusta, menipu, berprasangka buruk baik kepada sesama
51
(51)
manusia ataupun kepada Allah Swt. sebaliknya seseorang harus menghiasinya dengan berbaik sangka, bersyukur. Menerima kenyataan yang ada, berkehendak baik yang kuat, dsb.
3) Menggunakan daya nafsu (hawa> & shahwat) dengan proporsional.
Tentang ini terdapat kajian mendalam dalam bab atau kitab tersendiri,
misalnya, dijabarkan dalam bab Riya>d}ah al-Nafs, yaitu mengolah nafsu
atau melatih hawa nafsu secara baik, dalam arti mau dan terbiasa dikontrol oleh akal sehat dan hati nurani.
Selanjutnya, terkait dengan jasmani, manusia harus
memperlakukannya dengan baik sesuai dengan aturan moral berupa ada>b
atau etiket. Pada dasarnya, memelihara jasmani dilakukan dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan seperti pangan, sandang dan papan serta memelihara keperluan hidupnya. Di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya,
manusia harus berdasarkan moralitas Isla>m agar jasmaninya berkembang
dan tumbuh dengan sehat.52 Dalam hal memenuhi kebutuhan hidup, makan
dan minum, maka manusia harus menggunakan ada>b-ada>b seperti:
1) Memberikan yang halal dan baik (ابيطَ ّلح), arti halal dalam makanan
misalnya bukan harta curian, hasil judi, korupsi dan lain-lain. Hal
tersebut tidak membawa berkah, tetapi membawa „adha>b. Sedangkan
52
(52)
t}ayyib memiliki makna benda yang dikonsumsi itu bermanfaat dan baik untuk tubuh.
2) Memenuhi keinginan atau kebutuhan makan-minum tidak berlebihan,
sebab dapat membahayakan kesehatannya (اوِرستَّوَاوبرشوَاولك).
3) Manusia harus menjaga kesehatan fisiknya dengan berolah raga dan
melatih organ-organ tubuhnya agar berfungsi semestinya, agar tumbuh rasa dan semangat sehingga tidak menjadi pemalas. Sabda Rasulullah saw. dalam kaitan ini adalah banyak sekali.
4) Manusia harus menjaga fisiknya agar selalu tampil baik dan sopan,
harus percaya diri tanpa berbau kesombongan, harus menghargai diri sebagai kebalikan dari menghinakan diri dan memperlemah diri. Jasad harus diberlakukan dengan baik sebagaimana adabnya telah dijelaskan oleh Islam. Misalnya dengan cara: (1) memperhatikan kebersihan dan
kesucian dengan cara memotong kuku yang panjang dan
membersihkannya, berwangi-wangian, meminyaki, menyisir rambut, bersiwak, menutupi aurat, memandikan dan membersihkan badan, memotong rambut, jambang, kumis, mencabutu bulu ketiak dan menyisiri jenggot yang panjang. (2) menghiasi badan secara sederhana, misalnya: berpakaian bagus, dan bersih, memakai cincin bagi laki-laki, memakai kalung dan anting bagi perempuan, memakai pacar dengan berbagai ragamnya bagi wanita atau memakai sorban dan kopiah bagi
(53)
lelaki, (3) menikahkan diri atau hidup bersuami istri kalau sudah memenuhi syarat dan rukunnya. Semuanya itu memiliki seperangkat norma atau tatakramanya masing-masing yang harus diperhatikan oleh
seseorang agar menjadi manusia yang bermoral baik.53
Sedangkan menurut Abu Ahmadi & Noor Salimi, beberapa contoh
akhlak terhadap diri sendiri, antara lain: (a) Sabar54, (b) Syukur55, (c)
Tawadhu‟56, (d) Benar57, (e) Iffah, menahan diri dari melakukan yang
terlarang, (f) Hilmun atau menahan diri dari marah, (g) Amanah atau jujur,
(h) Shaja‟ah atau berani karena benar, (i) Qana‟ah atau merasa cukup
dengan apa yang ada.58
Sedangkan menurut Abuddin Nata, akhlak dengan diri sendiri antara lain tidak membiarkan diri sendiri dalam keadaan lemah, tidak berdaya dan terbelakang, baik secara fisik, intelektual, jiwa, spiritual, sosial dan emosional. Akhlak terhadap diri sendiri dilakukan dengan cara membuat diri secara fisik dalam keadaan sehat, kokoh dan memiliki berbagai keterampilan; mengisi otak dan akal pikiran dengan berbagai pengetahuan; mengisi jiwa dengan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan dan
53
Ibid, 119-120.
54
Sebagaimana dalam Qs. Al-Baqarah: 153.
55
Sebagaimana dalam Qs. Al-Nah}l: 14.
56
Lihat Qs. Luqma>n: 18.
57
Lihat Qs. Al-Taubah: 119.
58
(54)
seni; mengisi jiwa dengan kemampuan bersosialisasi dengan masyarakat
sekitarnya dan sebagainya.59
e. Akhlak terhadap masyarakat
Pentingnya akhlak tidak terbatas pada perorangan saja, tetapi penting untuk bertetangga, masyarakat, umat dan kemanusiaan seluruhnya. Di antaranya akhlak terhadap tetangga dan masyarakat adalah saling tolong menolong, saling menghormati, persaudaraan, pemurah, penyantun, menepati janji, berkata sopan dan berlaku adil. Allah SWT berfiman dalam al-Qur’a>n Qs. Al-Ma’>ida>h [5]: 2:
“dan tolong-menolonglah kamu dalm (mengerjakan) kebajikan dan ketakwaan, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras
pembalasan-Nya.”60
Disamping itu, menurut Abu Ahmadi & Noor Salimi61 dalam
kehidupan bermasyarakat sebagai bentuk akhlak kita terhadap masyarakat, manusia harus berlaku adil, pemurah, dan penyantun, pemaaf & musyawarah, menepati janji, wasiat dalam kebenaran. Disamping itu, Islam mengajarkan agar seseorang tidak boleh memasuki rumah orang lain sebelum minta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Jika tidak ada
orangnya, maka janganlah masuk.62
59
Abuddin, Pemikiran, 209.
60
M. Quraish, Al-Qur’an,106.
61
Abu & Noor, Dasar-dasar, 211-214.
62
(55)
Dari uraian di atas, terdapat sekian banyak hal yang harus diperhatikan dalam hubungannya dengan sesama manusia, baik hal-hal yang berkenaan mulai dari hal yang kecil sampai kepada hal-hal yang besar. Sebagai seorang beragama, patutnya hal-hal di atas harus kita sadari bersama, tidak hanya sekedar dibaca dan dipelajari saja akan tetapi harus mampu memahami serta dapat menginternalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Kaitannya dengan hubungan manusia dengan manusia juga harus betul-betul dipahami dengan baik, berakhlak yakni menghormati kepada orang yang lebih tua, dan menyayangi orang yang lebih muda. Bahkan Allah Swt. tidak berkenan jikalau antar sesama manusia terjadi hubungan yang tidak baik,
seperti saling membenci, menz}alimi, saling menfitnah, bertengkar, dsb apalagi
sampai memutus hubungan tali s}ilat al-rahim. Bahkan Rasulullah saw, pernah
bersabda akan ancaman orang yang memutus hubungan tali s}ilat al-rahim itu
tidak akan masuk surga.63
63 Hadi>th
tersebut berbunyi, “tidak akan masuk surga orang yang memutus (S}ilat al-rahmi)” (HR.
Ima>mBukha>ri>). M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa kandungan hadits ini sudah didiskusikan oleh para pakar-pakar hadi>th, apalagi terdapat sekian banyak dalil keagamaan yang menginformasikan bahwa yang tidak masuk surga hanya orang-orang yang tidak percaya ajaran para Nabi. Atas dasar itu, para pakar hadi>thmemahami kalimat “tidak masuk surga” dalam arti “tidak masuk surga dalam arti rombongan awal yang masuk, karena yang bersangkutan harus mampir terlebih dahulu untuk disiksa di Neraka”. Ada juga yang memahami hadi>th ini dalam arti ancaman serius, walaupun ancaman tersebut belum tentu terlaksana. Ini dimaksudkan agar setiap orang selalu menjalin hubungan harmonis dengan sesama. Kesalah pahaman antar dua orang muslum untuk tidak menyapa hanya dibenarkan berlangsung tidak lebih dari tiga hari. Tenggang waktu tersebut sudah cukup untuk meluruskan benang kusut, mencairkan yang beku dan menjalin kembali hubungan harmonis. Lihat. M. Quraish Shihab, Menjawab? 1001 Soal Keislaman Yang Patut Anda Ketahui, (Jakarta: Lentera Hati, 2011), cet.Ke-11, 603-604.
(1)
senantiasa menjaga kesehatan tubuhnya baik jasmani maupun rohani sehingga dapat beraktivitas dengan baik dan dapat menerima pelajaran dengan maksimal.
Etika-etika seperti yang telah dikemukakan oleh kedua tokoh tersebut masih relevan dan justru semakin dibutuhkan untuk kembali dicermati, dipahami sehingga dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mewujudkannya, maka sebuah langkah dan usaha secara serius – konsist – kontinyu untuk selalu memberikan pemahaman kepada para pelajar sejak dini tentang pentingnya pendidikan akhlak.
Disamping itu, sekolah sebagai penyelenggara pendidikan kiranya harus lebih sensitif, tanggap dan peka serta dengan segera menyikapi tentang problematika yang menimpa dikalangan pelajar akhir-akhir ini. Sebagai sebuah usaha untuk lebih menguatkan lagi maka pendidikan akhlak harus betul-betul menjadi prioritas utama, hal itu bisa dilakukan yakni dengan mulai membiasakan dan mengarahkan peserta didik untuk mewajibkan melaksanakan shalat lima waktu, membiasakan membaca al-Qur‟an, berpakaian sopan, bertutur kata yang baik kepada siapapun, memakan makanan yang halal dan baik, bergaul dengan sesama orang baik, menjauhi perbuatan yang buruk, dsb. Di satu sisi, Untuk mendukung itu semua, tidak hanya dibebankan kepada sekolah saja, akan tetapi perlu juga dukungan dan kerja sama dari berbagai pihak seperti orang tua, lingkungan masyarakat setempat dan pemerintah.
(2)
Oleh karena itu, perlunya sebuah usaha secara kolektif yang berangkat dari kesadaran masing-masing pihak; orang tua (keluarga), para pendidik, dan anggota masyarakat pada umumnya serta pemerintah berkewajiban untuk lebih memerhatikan tentang pentingnya pendidikan akhlak, seperti perlunya untuk terus memerhatikan, memantau dan bahkan mewaspadai perilaku – gerak-gerik anak, terlebih pada era zaman sekarang yakni dampak negatif dari arus globalisasi – modernisasi (teknologi) yang perlu membutuhkan ekstra kehati-hatian.
(3)
DAFTAR PUSTAKA
Abrasyi (al), Muhammad ‘Athiyyah, Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan, Bandung: Pustaka Setia, 2003.
Ahmadi, Abu & Salimi, Noor, Dasar-dasar Pendidikan Agama Islam; Untuk Perguruan Tinggi, Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
Ali, M. Daud, Pendidikan Agama Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000. Amin, Ahmad, Etika (Ilmu Akhlak), terj. K.H. Farid Ma’ruf, Jakarta: Bulan Bintang, 1975. Ampel, Tim Penyusun MKD IAIN Sunan, Akhlak Tasawuf, Surabaya: IAIN SA Press, 2011. Anam, Choirul, Pertumbuhan & Perkembangan NU, Surabaya: PT. Duta Aksara Mulia, 2010. Arifin, M, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2000.
Assegaf, Habib bin Abdul Qadir bin Husein, Kunjungan Habib Alwi Solo kepada Habib Abu Bakar Gresik, Surabaya: Putra Riyadl, 2003.
Assegaf, Muhammad Achmad, Sekelumit Riwayat Hidup al-Ustadz Umar bin Achmad Baradja, Surabaya: Panitia Haul ke-V, 1995.
Ash’ari>, Ha>shim, A>da>b al-‘A>lim wa al-Muta’allim; fi> ma> Yahta>j ilaih al-Muta‘alim fi> Ahwa>l Ta’allum wa ma> Yatawaqqaf ‘Alaih al-Mu’allim fi> Maqa>ma>t al-Ta’li>mihi, Jombang: Tura>th al-Isla>mi>, 1238 H.
Ba>raja>’, Umar bin Ahmad, Al-Akhla>q Lil Bani>n; Lit}ulla>b al-Mada>ris al-Isla>miyyati bi Indu>nisiyya>, Juz I, Surabaya: C.V. Ahmad Nabhan, 1276 H.
______________________, Al-Akhla>q Lil Bani>n; Lit}ulla>b al-Mada>ris al-Isla>miyyati bi Indu>nisiyya>, Juz II, Surabaya: C.V. Ahmad Nabhan, 1954.
______________________, Sullam Fiqih Tingkat Pemula, Surabaya: YPI Al-Ustadz Umar Baradja dan Progres, 1992.
Barker, Anton, Metode-Metode Filsafat, Jakarta: Galia Indonesia, 1984.
Choiriyah, Maftuchatul, Studi komparasi konsep pendidikan akhlak dalam perspektif Ibnu Miskawaih dan Syed Muhammad Naquib Al Attas, Surabaya: Fakultas Tarbiyah, 2012. Choiriyah, Nikmahtul, Etika Belajar Peserta Didik Perspektif Syaikh Umar bin Achmad Baradja
(4)
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren; Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2011.
Fauziyah, Ainiyatul, Konsep pendidikan akhlak; studi komparasi pada pemikiran Imam al Ghazali dan Syed Muhammad Naquib al Attas, Surabaya: Fakultas Tarbiyah, 2013. Fitriah, Lailatul, Konsep Akhlak Umar Baradja dan Relevansinya di Era Globalisasi; Study
Analisis Kritis atas Kitab Al-Akhlaq Li Al-Banat, Surabaya, Fakultas Tarbiyah, 2007. Hasan, M. Ali, Tuntunan Akhlak, Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
Hasanah, Nurul Ismy Romadhotin, Studi komparasi antara pemikiran Ibnu Miskawaih dan Syed Muhammad al Naquib al Attas tentang konsep pendidikan akhlak, Surabaya: Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Sunan Ampel, 2013.
Islam, Ensiklopedi, Akhlak, Jakarta: PT. Ictiar Baru Van Houve, 2005.
Jalaluddin & Idi, Abdullah, Filsafat Pendidikan; Manusia Filsafat dan Pendidikan, Jakarta: Rajawali, 2013.
Jalaluddin, Filsafat Pendidikan Islam; Telaah Sejarah dan Pemikirannya, Jakarta: Kalam Mulia, 2011.
Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001..
Jazairy (al), Abu Bakar Jabir, Pedoman dan Program Hidup Muslim, Semarang: CV. Toha Putra, 1984.
Juwariyah, Dasar-dasar Pendidikan Anak dalam Al-Qur’an, Yogyakarta: Teras, 2010.
Khazanah, Syaikh Umar bin Achmad Baradja; Mengukir Akhlaq Para Santri, Surabaya: Alkisah, 2007.
Kurniawan, Syamsul & Mahrus, Erwin, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam; Ibn Sina, Al-Ghazali, Ibn Khaldun, Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, Hasan Al-Banna, Syed Muhammad Naquib Al-Attas, KH. Ahmad Dahlan, KH. Ha>syi>m Asy’a>ri , Hamka, Basiuni Imran, Hasan Langgulung, Azyumardi Azra, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
Mahiry (al), Pesan-Pesan Rasulullah, Bandung: Citra Umbara, 1995. Mahjuddin, Kuliah Akhlaq Tasawuf, Jakarta: Kalam Mulia, 1999.
Majid, Abdul dan Andayani, Dian, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012.
(5)
Makbuloh, Deden, Pendidikan Agama Islam; Arah Baru Pengembangan Ilmu dan Kepribadian di Perguruan Tinggi, Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
Mansur, Moh., Akidah Akhlak II, Jakarta: Ditjen Binbaga, 1997.
Marimba, Ahmad D, Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung: PT Al-Ma’arif, 1962. Maunah, Binti, Landasan Pendidikan, Yogyakarta: Teras, 2009.
Moleong, Lexy J., Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Rosdakarya, 2002.
Na’im, M. Ainun, Konsep Pendidikan Akhlak Dalam Kitab Al-Akhlaq Li Al-Banin Karya Umar bin Achmad Baradja, Surabaya: Fakultas Tarbiyah, 2007.
Narbuko, Cholid dan Ahmadi, Abu, Metodologi Penelitian, Jakarta: Bumi Aksara, 2009.
Nasional, Departemen Pendidikan, Kamus Bahasa Indonesia; Pusat Bahasa, Jakarta: PT Gramedia Utama, 2011.
Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997.
____________, Manajemen Pendidikan; Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2012.
____________, Pemikiran Pendidikan Islam & Barat, Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
Parpanto, Pius A dan Barry (al), M. Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya, Arkola, 1994. Raharjo, dkk., Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1999.
Ramayulis dan Nizar, Samsul, Filsafat Pendidikan Islam; Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokoh, Jakarta: Kalam Mulia, 2010.
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2010.
Rohani, Ahmad & Ahmadi, Abu, Pengelolaan Pengajaran, Jakarta: Rhineka Cipta, 1991. Shihab, M. Quraish, Al-Qur’an & Maknanya, Tangerang: Lentera Hati, 2010.
_______________, Menjawab? 1001 Soal Keislaman Yang Patut Anda Ketahui, Jakarta: Lentera Hati, 2011.
Shofwanthoni, M. Alib, Studi komparasi kitab adab al alim wa al muta'allim dengan kitab ta'lim al muta'allim tentang pendidikan akhlak, Surabaya, Fakultas Tarbiyah, 2012.
(6)
Sholihin, M & Anwar, Rasyid, Akhlak Tasawuf; Manusia, Etika dan Makna Hidup, Bandung: Nuansa, 2005.
Siswanto, Ali Hasan, Dialektika Tradisi NU; Di Tengah Arus Modernisasi, Surabaya: iQ_Media, 2014.
Suwarno, Wiji, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006. Tatapangarsa, Humaidi, Pengantar Kuliah Akhlak, Surabaya: Bina Ilmu, 1984..
Thabarah, Afif Abdul Fatah, Ruh ad-Din al-Islamiy, Beirut: Jama’atu ‘Abdurrahman, tt.
Thoha, Chabib, Zuhri, Saifudin, dkk., Metodologi Pengajaran Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Tursidi, Muhammad Maisur Sindi, Nasihat Penting bagi Pencari Ilmu; dari Hadratussyekh
Hasyim Asy’ari, Yogyakarta, Titian Ilahi Press: 1995.
Umari, Barnawy, Materi Akhlak, Sala: Ramadhani, 1984.
Wiyani, Novan Ardy, Pendidikan Karakter; Berbasis Iman dan Taqwa, Yogyakarta: Teras, 2012.
Zed, Mestika, Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004. Zuhairini, dkk., Metodologi Pendidikan Agama, Bandung: Ramadhani, 1993.
Zuhri, Achmad Muhibbin, Pemikiran KH. M. Ha>syi>m Asy’a>ri; Tentang Ahl Sunnah Wa Al-Jama>’ah, Surabaya: Khalista, 2010.