PENINGKATAN KEMAMPUAN BERBICARA MELALUI PENERAPAN METODE SOSIODRAMA DI KELAS V SD NEGERI CILUMPING - repository perpustakaan

  2) Meningkatkan aktivitas siswa selama kegiatan pembelajaran berlangsung dengan menerapakan metode sosiodrama.

  3) Melalui penerapan metode sosiodrama siswa mampu menghubungkan materi yang dipelajari dengan pemanfaatannya dalam kehidupan sehari-hari.

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Belajar Menurut pengertian secara psikologis, belajar merupakan suatu

  proses perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Perubahan- perubahan tersebut akan nyata dalam seluruh aspek tingkah laku. (Slameto 2010 : 2).

  “Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya” Slameto (2010 : 2). Ciri-ciri perubahan tingkah laku dalam pengertian belajar yaitu : a) Perubahan terjadi secara sadar, hal ini berarti bahwa seseorang yang belajar akan menyadari terjadinya perubahan itu atau sekurang-kurangnya ia merasakan telah terjadi adanya suatu perubahan dalam dirinya; b) Perubahan dalam belajar bersifat kontinyu dan fungsional sebagai hasil belajar perubahan yang terjadi dalam diri seseorang berlangsung secara berkesinambungan tidak statis.

  Satu perubahan yang terjadi akan menyebabkan perubahan berikutnya dan akan berguna bagi kehidupan ataupun proses belajar berikutnya; c) Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif, dalam perbuatan

  8 belajar, perubahan-perubahan itu senantiasa bertambah dan tertuju untuk memperoleh sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. Dengan demikian makin banyak usaha belajar itu dilakukan, makin banyak dan makin baik perubahan yang diperoleh. Perubahan yang bersifat aktif artinya bahwa perubahan itu tidak terjadi dengan sendirinya melainkan karena usaha individu sendiri; d) Perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara, perubahan yang terjadi karena proses belajar bersifat menetap atau permanen. Ini berarti bahwa tingkah laku yang terjadi setelah belajar akan bersifat menetap; e) Perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah, ini berarti bahwa perubahan tingkah laku itu terjadi karena ada tujuan yang akan dicapai. Perbuatan belajar terarah kepada perubahan tingkah laku yang benar-benar disadari; f) Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku, perubahan yang diperoleh seseorang setelah melalui suatu proses belajar meliputi perubahan keseluruhan tingkah laku. Jika seorang belajar sesuatu, sebagai hasilnya ia akan mengalami perubahan tingkah laku secara menyeluruh dalam sikap, keterampilan, pengetahuan dan sebagainya (Slameto 2010 : 3-5). Jadi dapat disimpulkan, bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku yang dialami siswa dengan adanya interaksi dengan lingkungannya menuju ke arah yang lebih baik (positif), berawal dari siswa tidak tahu menjadi tahu.

2. Tinjauan Pembelajaran Bahasa Indonesia a. Pengertian Bahasa Indonesia

  Bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat yang merupakan bunyi atau lambang bunyi yang dihasilkan melalui alat ucap manusia. Bloch dan Trager menjelaskan bahwa bahasa adalah A

  

system of arbritary vocal symbol (bahasa adalah sistem tanda bunyi

yang arbritrer).

  Pengajaran Bahasa Indonesia di sekolah dasar memiliki arti dan peranan penting bagi siswa, karena kepadanya mula-mula diletakkan landasan keterampilan Bahasa Indonesia. Hal ini bertambah penting mengingat sebagian besar anak didik kita yang memasuki sekolah dasar hampir tidak memiliki latar belakang Bahasa Indonesia. Mereka biasanya memakai bahasa ibu yaitu bahasa daerah. Pentingnya pengajaran Bahasa Indonesia itulah guru selain harus menguasai bahan/materi dan metode mengajar juga mengetahui fungsi, kedudukan, tujuan, segi, bahan dan komponen keterampilan bahasa. Keterampilan bahasa ada empat komponen, yaitu:

  1) Keterampilan menyimak (listening skills) 2) Keterampilan berbicara (speaking skills) 3) Keterampilan membaca (reading skills ) 4) Keterampilan menulis (writing skills) b.

   Hakikat bahasa

  Arti kata hakikat bila merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki pengertian intisari atau dasar. Hakikat bahasa dapat diartikan sesuatu yang mendasar dari bahasa.

  Hakikat bahasa diantaranya :

  1) Bahasa sebagai simbol Simbol atau lambang adalah suatu yang dapat melambangkan mewakili ide, perasaan, pikiran, benda, dan tindakan secara arbiter konversional dan representatif- interpretatif. Tidak ada hubungan langsung dan alamiah antara yang menyimbolkan dengan yang disimbolkan. Untuk itu baik yang batiniah (linier) seperti perasaan, pikiran, ide, maupun yang lahiriah (outer) seperti benda dan tindakan dapat dilambangkan atau diwakili simbol.

  Manusia senantisa bergelut dengan simbol. Melalui simbol, manusia memandang, memahami, dan menghayati alam dan kehidupannya. Simbol itu sendiri merupakan kenyataan hidup, baik kenyataan lahiriah maupun batiniah yang disimbolkan, karena di dalam simbol terkandung ide, dan perasaan, serta tindakan manusia.

  Bahasa adalah kombinasi kata yang diatur secara sistematis sehingga dapat dipergunakan sebagai alat komunikasi.

  Kata adalah bagian dari simbol yang hidup dan digunakan oleh kelompok msyarakat tertentu. Kata bersifat simbolis karena tidak memiliki hubungan langsung atau hubungan intrinsik dengan kenyataan yang diacunya, tetapi hanya bersifat arbitrer dan konvensional. Misalnya kata /b-u-k-u/ tidak ada hubungannya dengan benda yang dirujuk yaitu lembaran lembaran kertas yang ditulis dan dibaca. Kata / a-p-i / tidak ada hubungannya dengan sifat kepanasan yang diacunya sehingga walaupun kita mengucapkan kata api berkali-kali, maka mulut kita tidak akan terbakar. Hal itu hanya bersifat arbiterer dan kemudian disepakati menjadi konvensi oleh pemakai bahasa.

  Sebuah wacana secara totalitas dapat juga berupa simbol. Dalam masayarakat batak dikenal wacana berupa ragam bahasa rataan (wailing language). Bahasa ratapan adalah syair yang diucapkan oleh seseorang ketika dia menagisi orang yang meninggal. Bahasa ratapan melambangkan dan mewakili perasaan siperatap. Bahasa ratapan itu sebagai symbol secara totalitas, tetapi wacana bahasa ratapan itu juga terdiri dari simbol-simbol yang lebih kecil seperti kata, frase, dan kalimat. 2) Bahasa Sebagai Bunyi Ujaran

  Telinga selalu mendengar bunyi- bunyi yang dihasilkan oleh benda benda tertentu. Bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia (Human Organ of Speech) yang disebut sebagai bahasa.

  Bunyi ujaran merupakan sifat kesemestaan atau keunivesalan bahasa. Tidak satupun bahasa di dunia ini yang tidak terjadi dari bunyi. Bahasa sebagai ujaran, mengimplikasikan bahwa media komunikasi yang paling penting adalah bunyi ujaran. Jika kita mempelajari sesuatu bahasa kita harus belajar menghasilkan bunyi-bunyi suara.

  Pada hakikatnya, bunyi adalah kesan pada pusat syaraf sehingga akibat getaran gendang telinga yang bereaksi karena perubahan-perubhan dalam tekanan udara. Bunyi ujaran (speech

  

sound ) adalah suatu bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap dan

  diamati dalam fonemik sebagai fon atau dalam fonologi sebgai fonem.

  3) Bahasa Bersifat Arbitrer Pengertian arbitrer dalam studi bahasa adalah mana suka, asal bunyi atau tidak ada hubungan logis antara kata sebagai simbol (lambang) dengan yang dilambangkan. Arbitrer berarti dipilih secara acak tanpa alasan sehingga ciri khusus bahasa tidak dapat diramalkan secara tepat.

  Secara leksis, dapat dilihat kearbitreran bahasa. Kata

  

anjing digunakan dalam Bahasa Indonesia, biang dalam bahasa

  Batak, dog dalam bahasa Inggris. Hal ini memiliki kata yang berbeda untuk menyatakan konsep yang sama. Kearbitreran bahasa di dunia ini menyebkan adanya kedinamisan bahasa.

  4) Bahasa Besifat Konvensional Konvensional dapat diartikan sebagai suatu pandangan atau anggapan bahwa kata-kata sebgai penanda tidak memiliki hubungan intrisik atau inhern dengan objek, tetapi berdasarkan kebiasaan, kesepakatan atau persetujuan masayarakat yang didahului pembentukan secara arbitrer. Tahapan awal adalah manasuka/arbitrer, hasilnya disepakati/dikonvensionalkan, sehingga menjadi konsep yang terbagi bersama (sicialy cocept). Setip bicara terlibat dalam konvensi. Jika sorang melihat kata

  

kursi atau mendengar bunyi kursi, secara langsung dapat

  mengetahui bahwa kata itu merujuk sesuatu yang lain. Jika tahu bahwa tidak ada hubungan yang ihern antar kata kursi dengan benda kursi. Kata itu merujuk pada benda karena ada konvensi penamaan atau penyebutan benda tertentu dengan suatu nama tertentu.

  Konvensi/kesepakatan akan menentukan kata yang dibentuk secara arbitrer dapat terus berlangsung dalam pemakaian bahasa makna menjadi pembicaraan orang.

  a) Makna Kontekstual Makna unsur bahasa yang didasarkan pada hubungan antara ujaran dengan situasi ketika ujaran itu dipergunakan.

  Misalnya kata bagus dapat berati jelek ketika seorang ayah mengejek anaknya yang malas belajar, kalimat yang patutlah

  nilaimu sangat bagus.

  b) Makna Gramatis Makna yang diperoleh berdasarkan hubungan antar unsur- unsur bahasa dalam satuan satuan yang lebih besar. Misalnya pada kata dia mencintai ibunya, bermakna sebutan atau perbuatan aktif.

  5) Bahasa Bersifat Produktif

  Hal ini diartikan sebagai kemampuan unsur bahasa untuk menghasilkan terus-menerus dan dipakai secara teratur untuk membentuk unsur-unsur baru. Prefik / men / dan / di/, misalnya dapat melekat pada setiap kata kerja dan fungsinya masing- masing membentuk kata kerja aktif dan kata kerja pasif dalam Bahasa Indonesia.

  6) Bahasa Bersifat Universal Bahasa merupakan suatu yang berlaku umum dan dimiliki setiap orang. Pada sifat internal bahasa, universal adalah katagori linguistik yang berlaku umum untuk semua bahasa. 7) Bahasa Bersifat Unik

  Hal ini terlihat dari studi bahasa yang tersendiri bentuk dan jenisnya dari bahasa lain. Setiap bahasa ada perbedaan dengan bahasa lain meskipun termasuk dalam bahasa serumpun. 8) Bahasa Sebagai Komunikasi

  Menjadi penyampai pesan dari penyapa kepada pesapa (penerima). Komunikasi harus bermakna atau berarti baik bagi penyapa atau pesapa. Komunikasi dapat bermakna jika sistem tanda yang digunakan sebagai alat komunikasi dapat informative.

c. Hakikat Berbicara

  1) Pengertian Berbicara Berbicara merupakan kegiatan komunikasi lisan. Berbicara dapat diartikan sebagai kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi bahasa untuk mengekpresikan atau menyampaikan pikiran gagasan atau perasaan secara lisan (Brown dan Yule,1983). Kaitan antara antara pesan dan bahasa lisan sebagai media penyampain sangat erat. Pesan yang diterima oleh pendengar tidaklah dalam wujud asli, tetapi dalam bentuk lain yakni bunyi bahasa. pendengar kemudian mencoba mengalihkan pesan dalam bentuk bunyi bahasa itu menjadi bentuk semula. Kareana itulah maka sering kita dengar dengan ungkapan “medium is message”.

  Keterampilan berbicara pada dasarnya harus dimiliki oleh semua orang yang di dalam kegiatannya membutuhkan komunikasi, baik yang sifatnya satu arah maupun yang timbal balik antar keduanya. Seseorang yang memiliki keterampilan berbicara yang baik, akan memiliki kemudahan di dalam pergaulan, baik di rumah, maupun di tempat lain.

  Konsep dasar berbicara sebagai sarana komunikasi mencakup sembilan hal, yakni: a) Berbicara dan menyimak adalah dua kegiatan resiprokal

  b) Berbicara adalah proses individu berkomunikasi

  c) Berbicara adalah ekspresi kreatif

  d) Berbicara adalah tingkah laku

  e) Berbicara adalah tingkah laku yang dipelajari

  f) Berbica dipengaruhi kekayaan pengalaman

  g) Berbicara saran memperluas cakrawala

  h) Kemampuan linguistik berkaitan erat i) Berbicara adalah pancara pribadi (Logan dan Gumawang,1972: 104-105).

  2) Tujuan berbicara Tujuan bebicara adalah untuk berkomunikasi, agar dapat menyampaikan pikiran secara efektif (Tarigan, 1987: 5). Tujuan berbicara biasanya dapat dibedakn atas lima golongan, yakni:

  a) menghibur;

  b) menginformasikan;

  c) menstimulasi; d) meyakinkan; e) menggerakan.

  Berbicara untuk menghibur, pembicara menarik perhatian dengan berbagai cara seperti humor, spontanitas, menggairahkan, kisah-kisah jenaka, dan sebagainya. Humor yang orisinil baik dalam gerak-gerik cara berbicara cara mengunakan kata atau kalimat akan menawan pembicara. Suasana pembicara biasanya santai, rileks, penuh canda, dan menyenangkan.

  Berbicara untuk tujuan menginformasikan, untuk melaporkan, dilaksanakan bila seseorang ingin: a) menjelaskan suatu proses;

  b) menguraikan, menafsirkan, atau menginterprestasikan sesuatu hal; c) memberi, menyebarkan, atau menanamkan pengetahuan; d) menjelaskan kaitan, hubungan, relasi antar benda, hal atau peristiwa.

  Berbicara untuk tujuan meyakinkan ialah meyakinkan pendengar akan seusuatu. Melalui sikap pembicara yang meyakinkan sikap pendengar akan dapat diubah dari yang tadinya menolak menjadi menerima. Misalnya bila seseorang atau kelompok orang tidak menyetujui suatu rencana, pendapat atau putusan orang lain, maka orang atau kelompok tersebut perlu diyakinkan bahwa sikap mereka tidak benar. Melalui pembicara yang terampil dan disertai bukti, fakta, contoh dan ilustrasi yang mengena.

  Berbicara untuk tujuan mengerakan diperlukan pembicara yang berwibawa, panutan, atau tokoh idola masyarakat. Melaui kepintaran berbicara, kelihatan membakar emosi, kecakapan memanfaatkan situasi, ditambaha dengan penguasaan terhadap ilmu jiwa massa, pembicara akan dapat menggerakan pendengarnya.

  Pembicara yang baik selalu berusaha meyakinkan kebenaran isi ungkapan; sesuatu yang direncanakan hasilnya lebih baik dari yang tidak direncanakan. Makna ungkapan tersebut dapat diterapakan dalam mempersiapakan pembicaraan mulai dari: a) memilih topik;

  b) memahami dan menguji topik;

  c) menganalisis pendengar dan situasi; d) menyusun rencana kerangka pembicaraan; e) mengujicobakan; f) meyakinkan.

  3) Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keterampilan Berbicara.

  Keterampilan berbicara seseorang, sangat dipengaruhi oleh dua faktor penunjang yaitu internal dan ekternal. Faktor internal adalah segala sesuatu potensi yang ada di dalam diri orang tersebut, baik fisik maupun non fisik, faktor fisik adalah menyangkut dengan kesempurnaan organ-organ tubuh yang digunakan di dalam berbicara misal pita suara, lidah, gigi, dan bibir, sedangkan faktor non fisik diantaranya adalah: kepribadian (kharisma), karakter, tempramen, bakat, (talenta), cara berfikir, dan tingkat intelegensi.

  Sedangkan faktor ekternal misalnya tingkat pendidikan, kebiasaan, dan lingkungan pergaulan.

  Faktor penunjang keefektifan berbicara menurut (Asjad 2005: 17-22) diklasifikasikan sebagai berikut:

  a. Faktor-faktor kebahasaan sebagai penunjang keefektifan berbicara: 1) Ketepatan ucapan

  Seorang pembicara harus membiasakan diri mengucapkan bunyi-bunyi bahasa secara tepat. Pengucapan bunyi bahasa yang kurang tepat dapat mengalihkan perhatian pendengar.

  2) Penenempatan tekanan, nada, sendi, dan durasi yang sesuai penempatan tekanan, nada, sendi, dan durasi akan merupakan daya tarik tersendiri dalam berbicara. Bahkan kadang-kadang merupakan faktor penentu keberhasilan berbicara. 3) Pemilihan kata (diksi) Pemilihan kata hendaknya tepat, jelas, dan bervariasi.

  Jelas maksudnya mudah dimengerti oleh pendengar yang menjadi sasaran. Pemilihan kata harus kita sesuaikan dengan pokok pembicaraan dan dengan siapa berbicara. 4) Ketepatan sasaran pembicara

  Hal ini menyangkut pemakaian kalimat efektif. Kalimat yang mengenai sasaran, sehingga mampu meningalkan kesan, menimbulkan pengaruh atau menimbulkan akibat.

  b. Faktor-faktor non kebahasaan sebagai penunjang keefektifan berbicara.

  Berikui ini yang termasuk faktor non kebahasaan antara lain: 1) Sikap yang wajar, tenang dan tidak kaku

  Dengan sikap yang wajar sebenarnya pembicara sudah dapat menunjukan otoritas dan integritas dirinya sebaiknya latihan sikap ini ditanamkan lebih awal karena sikap ini merupakan modal utama untuk kesuksesan berbicara.

  2) Pandangan harus diarahkan kepada lawan bicara Dengan sikap ini pembicara melibatkan pada semua pendengar. Pandangan yang hanya tertuju pada satu arah, akan menyebabkan pendengar merasa kurang diperhatikan sehinga pendengar tiadak dapat merespon apa yang disampaikan pembicara akibatanya materi yang disampaikan akan menjadi sia-sia.

  3) Kesediaan menghargai pendapat orang lain Seorang pembicara hendaknya memiliki sikap terbuka, mau menerima paendapat orang lain dan bersedia menerima kritik, bersedia mengubah pendapatnya kalau memang keliru. 4) Gerak - gerik

  Sikap ini dapat pula menunjang keefektifan berbicara, selain itu juga menghidupkan komunikasi, artinya tidak kaku. 5) Mimik yang tepat

  Mimik atau ekspresi muka merupakan salah satu faktor yang sangat mendukung dalam melakukan berbicara dengan ekspresi yang sesuai akan dapat meyakin kan pendengar.

  6) Kenyaringan suara Tingkat kenyaringan ini tentu disesuaikan dengan situasi, tempat dan jumlah pendengar. Dengan pengaturan kenyaringan yang tepat pendengar akan dapat mendengar dengan jelas isi pembicara.

  7) Kelancaran Seorang pembicara yang lancar berbicara akan memudahkan menagkap isi pembicaraannya. Sebaliknya, pembicara yang terlalu cepat berbicara juga akan menyulitkan pendengar menangkap pokok pembicaraannya. Oleh karena itu, pembicara diharapkan dapat mengatur tempo kata - kata atau kalimat.

  8) Relevansi atau penalaran

  Gagasan demi gagasan haruslah berhubungan dengan logis. Hal ini berarti hubungan bagian-bagian dalam kalimat, hubungan kalimat dengan kalimat harus logis dan berhubungan dengan pokok pembicaraan.

  9) Penguasaan topik Penguasaan topik yang baik akan menumbuhkan keberanian dan kelancaran. Jadi penguasaan topik sangat penting, bahkan merupakan faktor utama dalam berbicara. Banyaknya faktor yang terlihat di dalamnya, menyebabkan orang beranggapan bahwa berbicara merupakan kegiatan yang kompleks. Faktor- faktor tersebut merupakan indikator keberhasilan berbicara sehingga harus diperhatikan pada saat menentukan mampu tidaknya seseorang berbicara. Jadi, tingkat kemampuan berbicara seseorang atau siswa tidak hanya ditentukan dengan mengukur penguasaan faktor linguistik saja atau faktor psikologis saja, tetapi dengan mengukur penguasaan semua faktor tersebut secara menyeluruh.

  Seseorang dapat membaca atau menulis secara mandiri, dapat menyimak siaran radio tetapi sangatlah jarang orang melakukan kegiatan berbicara tanpa hadirnya orang kedua sebagai pemerhati atau penyimak. Oleh sebab itu, Valette (1977) berpendapat bahwa berbicara merupakan kemampuan berbahasa yang bersifat sosial. Perhatikan contoh kegitan berbicara berikut ini. Bu Tina : “Saya dengar Andi mengalami kecelakaan. Oleh karena itu, saya langsung datang kesini.” Bu Susi : “ Benar. Kalau saja dia mau mendengarkan omongan saya, tidak naik motor ke sekolah, mungkin saat ini dia tidak berbaring di sini .”

  Bu tina : “Sudahlah, Bu. Jangan terlalu disesali. Mudah-mudahan kejadian ini membawa hikmah bagi kita, terutama bagi Andi. Kita berdoa saja, mudah-mudahan luka-luka Andi cepat sembuh dan Andi bisa kembali ke sekolah seperti biasa.”

  Bu Susi : “Ya, Bu. Terimakasih atas kedatangan Ibu.” Pemirsa, saat ini kita berada di lokasi banjir di kota

  Semarang. Banjir yang terjadi sejak hari Senin kemarin masih menggenangi rumah-rumah dan sekolah - sekolah di kota ini. Para penghuni rumah yang terkena banjir berusaha menyelamatkan barang-barang mereka ke tempat yang lebih aman. Anak-anak sekolah terpaksa libur karena sekolah tempat menimba ilmu tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya. Banjir di kota ini baru pertama kali terjadi. Sebaiknya kita harus waspada mengingat musim hujan masih panjang. Kita harus menjaga lingkungan agar banjir seperti ini tidak terulang lagi. Demikian laporan dari Atika

  Suri. Kita kembali ke studio 5. Silahkan Adolf. Kegiatan yang dilakukan pada uraian di atas merupakan salah satu kegiatan berbicara 3.

   Metode sosiodrama

  Sosisodrama adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa. Pengembangan imajinasi dan penghayatan itu dilakukan siswa dengan memerankannya sebagai tokoh hidup atau benda mati. Metode ini banyak melibatkan siswa dan membuat siswa senang belajar serta metode ini mempunyai nilai tambah yaitu: a) dapat menjamin partisipasi seluruh siswa dan memberi kesempatan yang sama untuk menunjukkan kemampuannya dalam bekerjasama hingga berhasil; b) permainan merupakan pengalaman yang menyenangkan bagi siswa. Pembelajaran dengan sosiodrama merupakan suatu aktivitas yang dramatik, biasanya ditampilkan oleh sekelompok kecil siswa, bertujuan mengeksploitasi beberapa mesalah yang ditemukan untuk melengkapi partisipasi dan pengamat dengan pengalaman belajar yang nantinya dapat meningkatkan pemahaman.

  Menurut Mulyasa (2005) pembelajaran dengan Sosiodrama ada tujuh tahap yaitu pemilihan masalah, pemilihan peran, menyusun tahap- tahap bermain peran, menyiapkan pengamat, tahap pemeranan, diskusi dan evaluasi serta pengambilan keputusan. Pada tahap pemilihan masalah, guru mengemukakan masalah yang diangkat dari kehidupan peserta didik agar mereka dapat merasakan masalah itu dan terdorong untuk mencari penyelesaiannya. Tahap pemilihan peran memilih peran yang sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas, mendeskripsikan karakter dan yang harus dikerjakan oleh para pemain. Selanjutnya menyusun tahap- tahap bermain peran. Dalam hal ini guru telah membuat dialog tetapi siswa bisa menambah dialog sendiri.

  Tahap berikutnya adalah menyiapkan pengamat. Pengamat dari kegiatan ini adalah semua siswa yang tidak menjadi pemain atau pemeran.

  Setelah semuanya siap maka dilakukan kegiatan pemeranan. Pada tahap ini para peserta didik mulai bereaksi sesuai dengan peran masing-masing sesuai yang terdapat pada skenario bermain peran. Dalam hal ini guru menghentikan permainan pada saat terjadi pertentangan agar memancing permasalahan agar didiskusikan. Masalah yang muncul dari bermain peran, dibahas pada tahap diskusi dan evaluasi. Sosiodrama pada dasarnya mendramatisasikan tingkah laku dalam hubungannya dengan masalah sosial (Djamarah dan Zain, 2002). Sosisodrama menurut (Djamarah dan Zain 2002) mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan sebagai berikut: a. Kelebihan Metode sosiodrama

1) Siswa melatih dirinya untuk memahami dan mengingat isi bahan

  yang akan diperankan. Sebagai pemain harus memahami, menghayati isi cerita secara keseluruhan, terutama untuk materi yang harus diperankannya. Dengan demikian, daya ingatan siswa harus tajam dan tahan lama.

  • – 2) Siswa lebih tertarik perhatian pada pelajaran, karena masalah masalah sosial berguna bagi mereka.

  3) Karena bermain peran adalah bermain peran sendiri maka mudah memahami masalah

  • –masalah sosial . 4) Bagi siswa yang memerankan seperti orang lain, maka ia dapat menempatkan diri seperti watak orang lain, sehingga ia dapat merasakan perasaan orang lain, dapat mengakui pendapat orang lain, dapat mengakui pendapat orang lain sehingga menumbuhkan sikap saling pengertian toleransi dan tenggang rasa .

  5)

  Siswa akan berlatih untuk berinisiatif dan berkreatif. Pada waktu bermain peran para pemain dituntut untuk mengemukakan pendapatnya sesuai dengan waktu yang tersedia.

  6) Bakat yang terdapat pada siswa dapat dipupuk sehingga

  dimungkinkan akan muncul atau tumbuh bibit seni drama dari sekolah.

  7) Kerjasama antar pemain dapat ditumbuhkan dan dibina dengan sebaikbaiknya.

  8) Siswa memperoleh kebiasaan untuk menerima dan membagi tanggung jawab dengan sesamanya.

  9)

  Bahasa lisan siswa dapat dibina menjadi bahasa yang lebih baik agar mudah dipahami orang lain. b. Kelemahan metode sosiodrama 1) Sebagian siswa yang tidak ikut bermain peran menjadi kurang kreatif.

  2) Banyak memakan waktu, baik waktu untuk persiapan maupun pelaksanaan pertunjukan.

  3) Memerlukan tempat yang cukup luas, jika tempat bermain sempit anak menjadi kurang bebas.

  4) Kelas lain sering terganggu oleh suara pemain dan para penonton yang kadang-kadang bertepuk tangan dan sebagainya.

  c. Proses pelaksanaan metode sosiodrama 1) Pemilihan masalah, guru mengemukakan masalah yang diangkat dari kehidupanpeserta didik agar mereka dapat merasakan masalah itu dan terdorong untuk mencari penyelesaiannya. 2) Pemilihan peran, memilih peran yang sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas, mendeskripsikan karakter dan apa yang harus dikerjakan oleh para pemain. 3) Menyusun tahap-tahap bermain peran, dalam hal ini guru telah membuat dialog tetapi siswa dapat juga menambahkan dialog sendiri. 4) Menyiapkan pengamat, pengamat dari kegiatan ini adalah semua siswa yang tidak menjadi pemain atau pemeran.

  5) Pemeranan, dalam tahap ini para peserta didik mulai bereaksi sesuai dengan peran masing-masing yang terdapat pada skenario bermain peran.

  6) Diskusi dan evaluasi, mendiskusikan masalah-masalah serta pertanyaan yang muncul dari siswa.

  7) Pengambilan kesimpulan dari bermain peran yang telah dilakukan.

  Jadi pembelajaran dengan sosiodrama merupakan cara belajar yang dilakukan dengan cara membagi siswa mnjadi beberapa kelompok dan setiap kelompok memerankan karakter sesuai dengan naskah yang telah dibuat dan materi yang telah ditentukan oleh guru, sehingga siswa lebih mudah memahami dan mengingat materi yang telah diperankan tersebut.

B. Penelitian yang Relevan

  Penelitian yang dilakukan oleh (Kasmiati 2004) FKIP yang berjudul Peningkatan Keterampilan Berbicara Melalui Metode Sosiodrama Pada Siswa Kelas II di SD Negeri 3 Pakikiran. Menunjukkan adanya peningkatan pada aspek minat, sikap, prestasi belajar dan kemampuan berbicara siswa dalam kegiatan pembelajaran. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil observasi dan evaluasi pada setiap siklus. Rata-rata anak didik berpredikat sangat baik pada aspek minat dan berbicara. Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan metode sosiodrama dapat meningkatkan kemampuan berbicara anak didik pada pembelajara Bahasa Indonesia di kelas II SD Negeri 3 Pakikiran Tahun Pelajaran 2004.

  Belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

  Pada dasarnya setiap siswa mau dan mampu untuk belajar tergantung pada minat masing-masing untuk mempelajari sesuatu. Minat besar pengaruhnya terhadap belajar siswa, karena bila bahan pelajaran yang dipelajari tidak sesuai dengan minat siswa, maka siswa tidak akan belajar dengan sebaik- baiknya. Kenyataan menunjukkan bahwa kebanyakan siswa enggan dan kurang bergairah dalam mengikuti pelajaran Bahasa Indonesia. Hal ini juga dapat berakibat pada prestasi belajar Bahasa Indonesia yang juga menurun.

  Banyak cara yang dapat dilakukan oleh seorang guru untuk dapat meningkatkan kemampuan berbicara siswa. Salah satu cara untuk meningkatkan kamampuan berbicara siswa yaitu dengan menggunakan penerapan sosiodrama. Penerapan sosisodrama diharapkan lebih bermakna bagi siswa, proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalaminya. Dengan penerapan model sosiodrama diharapkan kemampuan berbicara siswa dapat meningkat, dengan ditandai adanya peningkatan prestasi belajar Bahasa Indonesia.

C. Kerangaka Berpikir

  Belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

  Pada dasarnya setiap siswa mau dan mampu untuk belajar tergantung pada minat masing-masing untuk mempelajari sesuatu. Minat besar pengaruhnya terhadap belajar siswa, karena bila bahan pelajaran yang dipelajari tidak sesuai dengan minat siswa, maka siswa tidak akan belajar dengan sebaik- baiknya. Kenyataan menunjukkan bahwa kebanyakan siswa enggan dan kurang bergairah dalam mengikuti pelajaran Bahasa Indonesia. Hal ini juga dapat berakibat pada prestasi belajar Bahasa Indonesia yang juga menurun.

  Banyak cara yang dapat dilakukan oleh seorang guru untuk dapat meningkatkan minat belajar siswa. Salah satu cara untuk meningkatkan minat belajar siswa yaitu dengan menggunakan penerapan metode sosidrama.

  Penerapan metode sosiodrama diharapkan lebih bermakna bagi siswa, proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalaminya. Dengan penerapan metode sosiodrama diharapkan minat belajar siswa dapat meningkat, dengan ditandai adanya peningkatan kemampuan berbicara dan prestasi belajar Bahasa Indonesia.

D. Hipotesis Tindakan

  Berdasarkan analisis teoritik dapatlah dirumuskan hipotesis tindakan sebagai berikut : “Jika pembelajaran bahasa Indonesia pada kompetensi dasar memerankan tokoh drama dengan lafal dan intonasi yang tepat di kelas V SD Negeri Cilumping Kabupaten Cilacap menggunakan metode sosiodrama maka kemampuan berbicara siswa akan meningkat belajar siswa akan meningkat”.