PENINGKATAN KEMAMPUAN BERBICARA BAHASA INGGRIS MELALUI TEKNIK 4/3/2 PADA SISWA KELAS X SMA NEGERI GEDONGTATAAN PESAWARAN LAMPUNG

(1)

(2)

ABSTRACT

IMPROVING STUDENTS’ SPEAKING ABILITY THROUGH 4/3/2 TECHNIQUE TO GRADE X STUDENTS OF SMA NEGERI

GEDONGTATAAN PESAWARAN LAMPUNG BY

HARUN NPM 0823011034

The objectives of the research are: a) to design a speaking English learning in form of appropriate Lesson Plan using 4/3/2 technique at SMA N Gedongtataan; b) to describe the implementation of appropriate speaking English learning using 4/3/2 technique; c) to arrange an appropriate evaluation system of speaking English learning using 4/3/2 technique; and d) to analyze the improvement students’ speaking English ability using 4/3/2 technique.

The research is a classroom action research, conducted in SMA N Gedongtataan Pesawaran of 2011-2012 academic year. The subjects of the research were 32 students of special class of X b. The research was undertaken in the firts week of February to 13 February 2012.

The results showed that by the implementation of 4/3/2 technique, there were improvements not only in students’ speaking ability but also in the improvements of students’ learning activities. The improvement of the speaking abilities can be seen from various aspects: comprehension, fluency, pronunciation, and vocabulary. This means that at the initial position the students score of speaking was 59.37 percent at cycle I, then it increased to 65.62 percent at the second sycle, and finally increased to 81.25 percent at the third cycle.


(3)

ii ABSTRAK

PENINGKATAN KEMAMPUAN BERBICARA BAHASA INGGRIS MELALUI TEKNIK 4/3/2 PADA SISWA KELAS X SMA NEGERI

GEDONGTATAAN PESAWARAN LAMPUNG OLEH

HARUN NPM 0823011034

Penelitian ini bertujuan untuk: a) mendesain pembelajaran berbicara Bahasa Inggris dalam bentuk RPP yang tepat dengan menggunakan Teknik 4/3/2 di SMA Negeri Gedongtataan Pesawaran Lampung, b) mendeskripsikan pelaksanaan pembelajaran berbicara bahasa Inggris dengan tepat menggunakan Teknik 4/3/2 di SMA Negeri Gedongtataan, c) menyusun sistem evaluasi pembelajaran berbicara Bahasa Inggris yang tepat dengan menggunakan Teknik 4/3/2,dan d) mengkaji peningkatan keterampilan berbicara Bahasa Inggris Siswa dengan menggunakan Teknik 4/3/2.

Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas, dilaksanakan di SMA Negeri Gedongtataan Pesawaran Lampung pada Tahun Pelajaran 2011-2012. Subjek penelitian adalah siswa kelas unggulan X b yang berjumlah 32 orang. Penelitian ini dilaksanakan pada minggu pertama Februari sampai dengan tanggal 13 Februari 2012.

Hasil Penelitian menunjukkan dengan penggunaan teknik 4/3/2 adanya peningkatan baik dalam hal kemampuan berbicara bahasa Inggris, maupun dalam aktivitas belajar siswa. Peningkatan kemampuan berbicara terlihat dari berbagai aspek baik dalam hal comprehension, fluency, pronunciation, vocabulary , yakni yang semula hanya 59,37 persen pda siklus I meningkat menjadi 65,62 persen pada siklus II, dan 81,25 persen pada siklus III.


(4)

(5)

(6)

(7)

xii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... ... i

ABSTRAK ... ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... ... iv

LEMBAR PERNYATAAN ... ... vi

RIWAYAT HIDUP ... ... vii

SANWACANA ... ... viii

PERSEMBAHAN ... ... x

MOTTO ... ... xi

DAFTAR ISI ... ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... ... xiv

DAFTAR TABEL ... ... xv

DAFTAR GAMBAR ... ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 5

1.3 Batasan Masalah... 6

1.4 Perumusan Masalah ... 7

1.5 Tujuan Penelitian ... 7

1.6 Manfaat Penelitian ... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 10

2.1 Hakikat Belajar dan Pembelajaran ... 10

2.1.1 Hakikat Belajar... 10

2.1.2 Hakikat Pembelajaran ... 12

2.2 Prestasi Belajar ... 12

2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar... 13

2.4 Teori Belajar dan Pembelajaran ... 18

2.4.1 Teori Belajar Kognitif ... 22

2.4.2 Teori Belajar Operant Conditioning... 26

2.4.3 Desain Pembelajaran Assure ... 28

2.5 Pembelajaran Bahasa Inggris ... 30

2.6 Kompetensi Bahasa ... 34

2.7 Kemampuan Berbicara ... 36

2.8 Kelancaran dan Ketepatan Berbicara ... 38

2.9 Teknik 4/3/2 ... 40

2.10 Kajian Peneliti yang Relevan ... 44


(8)

xiii

3.3 Lama Tindakan dan Indikator Keberhasilan ... 51

3.4 Rencana Penelitian Tindakan Kelas ... 52

3.5 Definisi Konseptual ... 54

3.6 Definisi Operasional ... 55

3.7 Instrumen Penelitian... 57

3.8 Teknik Analisis Data ... 61

3.9. Analisis Data Aktivitas Belajar Siswa ... 61

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 62

4.1 Siklus I ... 62

4.1.1 Perencanaan Tindakan ... 62

4.1.2 Pelaksanaan Tindakan ... 68

4.1.3 Pengamatan ... 74

4.1.4 Refleksi ... 76

4.2 Siklus II ... 79

4.2.1 Perencanaan Tindakan ... 79

4.2.2 Pelaksanaan Tindakan ... 84

4.2.3 Pengamatan ... 89

4.2.4 Refleksi ... 91

4.3 Siklus III ... 92

4.3.1 Perencanaan Tindakan ... 92

4.3.2 Pelaksanaan Tindakan ... 98

4.3.3 Pengamatan ... 103

4.3.4 Refleksi ... 105

4.4. Pembahasan ... 107

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 112

5.1 Kesimpulan ... 112

5.2 Implikasi ... 113

5.3 Saran ... 115

DAFTAR PUSTAKA ... 117


(9)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Tujuan akhir pembelajaran Bahasa Inggris adalah kemampuan siswa menguasai aspek-aspek kebahasaan, seperti aspek bunyi (phonology), aspek tata bahasa (grammar), aspek kosa kata (vocabulary) dan diaplikasikan ke dalam empat keterampilan berbahasa, yaitu menyimak (listening), berbicara (speaking), membaca (reading), dan menulis (writing). Kesemua kemampuan ini disebut kemampuan berbahasa (proficiency).

Dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah, prestasi belajar Bahasa Inggris saat ini, masih dilihat melalui kemampuan siswa menjawab pertanyaan guru dalam ujian, baik berupa ujian tengah semester, ujian semester, maupun ujian akhir. Sehingga gambaran kemampuan siswa sebenarnya belum dapat terungkap. Sebagai ilustrasi dapat kita lihat dari beberapa tabel hasil belajar siswa SMAN 1 Gedongtataan Pesawaran sebagai berikut ini :

Tabel 1.1 Nilai Rata-rata Ujian Akhir Nasional Mata Pelajaran Bahasa Inggris SMA Negeri 1 Gedongtataan Pesawaran

No Tahun Pelajaran Nilai Rata-rata Ujian Akhir Nasional

1 2006/2007 5,89

2 2007/2008 6,23

3 2008/2009 6,41


(10)

Tabel di atas menggambarkan bahwa nilai rata-rata ujian siswa SMA Negeri 1 Gedongtataan mengalami peningkatan pada tiga tahun terakhir, akan tetapi masih belum terlalu tinggi dibandingkan dengan rata-rata kelas di sekolah lain. Terlebih dengan rencana SMA Negeri 1 Gedongtataan untuk menjadi sekolah bertaraf internasional (PRSBI).

Adanya program kelas unggulan berstandar nasional/internasional di SMA Negeri I Gedongtataan menuntut kerja keras semua unsur di sekolah, mulai dari kepala sekolah, guru, siswa, maupun tenaga penunjang lainnya. Sebagai konsekuensi dari adanya kelas berstandar nasional tersebut adalah tuntutan prestasi bagi siswa. Mata pelajaran Bahasa Inggris adalah salah satu mata pelajaran terpenting untuk menunjang keberhasilan kelas berstandar internasional tersebut.

Untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris siswa, seperti diketahui ada tiga aspek kebahasaan yang harus dikuasai siswa, yaitu aspek bunyi bahasa dan sistem penulisan (pronunciation/orthography), aspek tata bahasa (grammar and structure) dan aspek kosakata (vocabulary). Ketiga aspek ini terakomodasi pada empat keterampilan berbahasa (language skills), yaitu keterampilan menyimak (listening skill), keterampilan berbicara (speaking skill), keterampilan membaca (reading skill), dan keterampilan menulis (writing skill).

Berbagai upaya telah dilakukan pihak sekolah untuk meningkatkan motivasi dan kemampuan siswa menguasai Bahasan Inggris. Gambaran hasil pembelajaran dapat dilihat pada tabel di bawah ini:


(11)

Tabel 1.2 Sebaran nilai Hasil Uji Kemampuan Berbicara Bahasa Inggris siswa kelas X SMA Negeri 1 Gedongtataan Pesawaran

Interval Kelas

Xa Xb Xc Xd Xe Xf

% % % % % %

75-85 8 25,0 10 30,2 9 28,1 3 9,3 2 6,2 3 9,3

65-74 6 19,8 3 10,3 6 19,8 7 21,9 6 19,8 8 23,0

55-64 8 25,0 8 25,0 5 15,7 8 25,0 9 28,1 7 21,9

45-54 10 30,2 11 34,5 12 37,4 14 42,8 15 45,9 14 42,8

32 100 32 100 32 100 32 100 32 100 32 100

Catatan: nilai 65-85 adalah nilai di atas KKM Nilai 45-64 adalah nilai di bawah KKM

Tabel tersebut terlihat bahwa ke enam kelas siswa SMAN 1 Gedongtataan kemampuan berbicara dalam berbahasa Inggris masih rendah. Hal ini disebabkan karena dalam penyusunan rencana pembelajaraan, guru masih menekankan kepada kemapuan siswa memahami teks seperti teks naratif, reccount, deskriptif dan anecdote. Hal ini tergambar dalam silabus bahasa Inggris SMA kelas X semester 2 dengan kompetensi dasar mengungkapkan makna dalam percakapan interpersonal (bersosialiasasi) resmi dan tak resmi secara akurat, lancar dan berirama dalam ragam bahasa lisan, sederhana yang melibatkan tindak tutur. Begitu juga dalam merancang materi percakapan guru terpaku memberikan pola percakapan dengan menggunakan contoh-contoh percakapan baik yang berbentuk percakapan asli maupun pembicaraan yang direkayasa. Dalam


(12)

pelaksanaannya siswa diminta melakukan percakapan dengan menirukan pola-pola yang ada dan biasanya dilakukan di depan kelas.

Hal tersebut berdampak pada kemampuan siswa berkomunikasi secara lisan harus terpaku pada pola yang diajarkan, masih kurang tersentuh dalam perencanaannya. Sehingga meskipun siswa mampu memahami teks, mereka cenderung kurang mampu mengemukakan pemikirannya secara lisan. Sedangkan tujuan pembelajaran Bahasa adalah mengarahkan siswa mampu menguasai kaidah kebahasaan serta mampu menggunakannya untuk kegiatan berkomunikasi. Atas dasar hal tersebut diperlukan berbagai upaya yang digunakan untuk meningkatkan kemampuan berbicara siswa Bahasa Inggris siswa dengan memanfaatkan teknik dan metode yang dapat mendorong siswa mau berbicara Bahasa Inggris. Salah satu teknik tersebut adalah Teknik 4 / 3 / 2 yang menurut penelitian Zhou ( 2006:19) teknik ini tidak saja mampu meningkatkan kelancaran siswa di Cina dalam berbicara bahasa Inggris tetapi juga meningkatkan ketepatan sekaligus mendorong siswa mau menggunakan Bahasa Inggris tanpa merasa takut atau khawatir berbuat kesalahan.

Teknik 4/3/2 dirancang oleh Maurice (1983) untuk memperbaiki kelancaran berbahasa secara lisan. Teknik ini memiliki makna pengulangan isi pembicaraan oleh pembicara kepada pendengar yang berbeda dengan cara mengulangi waktu bicara setiap menit. Ciri-ciri teknik ini adalah memiliki pembicara dan isi

pembicaraan yang sama, pendengar yang berbeda dan pengurangan waktu bicara (Zhang 2002 420). Dalam pelaksanaannya teknik ini dapat berubah


(13)

menjadi 3/2/1 apabila kemampuan siswa yang menggunakannya masih sangat terbatas seperti yang dipraktekkan oleh Zang.

Dalam pelaksanaannya teknik 4/3/2 memberi kesempatan kepada siswa untuk menyampaikan ide dan pemikirannya kepada lawan bicara selama empat menit, tiga menit dan dua menit dengan topik yang sama tetapi lawan berbicara berbeda. Pemberian kesempatan berbicara dalam tiga waktu yang berbeda ini memungkinkan siswa memperlancarkan apa yang akan disampaikan tanpa harus mengalami ketakutan melakukan kesalahan.

Di beberapa negara teknik ini berhasil membantu siswa memperlancar kemampuan berbicaranya. Apakah teknik ini juga efektif untuk pembelajaran bahasa Inggris di SMA Negeri 1 Gedongtataan adalah hal yang akan dijawab dalam penelitian ini. Disamping itu, penelitian ini juga akan mengkaji sejauh mana teknik ini dapat meningkatkan motivasi siswa untuk mau berbahasa Inggris secara lisan serta bagaimana suasana pembelajaran pada saat pelaksanaan teknik tersebut di kelas.

1.2 Identifikasi Masalah

Beberapa masalah dalam pembelajaran Bahasa Inggris, utamanya dalam pembelajaran berbicara di SMA Negeri Gedongtataan adalah sebagai berikut:

1. Penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Bahasa Inggris di SMA Negeri Gedongtataan belum menitikberatkan kepada kemampuan berkomunikasi tetapi lebih menekankan kepada pemahaman teks tertulis. 2. Siswa tidak terbiasa menggunakan Bahasa Inggris dalam percakapan


(14)

3. Rendahnya kemampuan berbicara Bahasa Inggris siswa terbukti dari rendahnya nilai Mata Pelajaran Bahasa Inggris pada siswa kelas X SMA Negeri Gedongtataan.

4. Guru dalam pembelajaran Bahasa Inggris lebih banyak menggunakan Bahasa Indonesia sebagai pengantar sehingga siswa kurang memperoleh kesempatan untuk mendengar dan berbicara bahasa Inggris.

5. Pembelajaran masih dilakukan secara konvensional dan menggunakan teknik yang monoton atau teacher-centered.

6. Pembelajaran masih dilakukan secara teori tidak praktek secara langsung. 7. Guru masih lebih menitik beratkan pembelajaran Bahasa Inggris kepada

aspek kebahasaan seperti grammar, vocabulary, generic structure dan reading daripada kesempatan menggunakan Bahasa Inggris secara komunikatif.

8. Belum ada evaluasi pembelajaran berbicara bahasa Inggris di lingkungan sekolah yang menggunakan teknik 4/3/2.

1.3 Batasan Masalah

Dari beberapa latar belakang masalah dan identifikasi masalah di atas, maka penelitian ini dibatasi pada:

1. Perencanaan pembelajaran berbicara Bahasa Inggris menggunakan teknik 4/3/2.

2. Pelaksanaan proses pelaksanaan pembelajaran berbicara Bahasa Inggris menggunakan teknik 4/3/2


(15)

3. Pelaksanaan evaluasi pembelajaran berbicara Bahasa Ingris yang menggunakan prinsip pelaksanaan teknik 4/3/2.

4. Kemampuan berbicara Bahasa Inggris siswa pada mata pelajaran Bahasa Inggris.

1.4 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar Belakang Masalah, identifikasi masalah, dan pembatasan masalah, maka permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah bagaimana memperbaiki proses pembelajaran dengan menggunakan teknik 4/3/2 sebagai berikut:

1. Bagaimana desain pembelajaran berbicara Bahasa Inggris dengan menggunakan Teknik 4/3/2 di SMA Negeri I Gedongtataan Pesawaran Lampung

2. Bagaimanakah pelaksanaan pembelajaran berbicara bahasa Inggris dengan menggunakan Teknik 4/3/2 di SMA Negeri 1 Gedongtataan

3. Bagaimanakah sistem evaluasi pembelajaran berbicara Bahasa Inggris dengan menggunakan Teknik 4/3/2.

4. Bagaimanakah peningkatan keterampilan berbicara Bahasa Inggris Siswa dengan menggunakan Teknik 4/3

1.5 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah maka tujuan penelitian adalah memperbaiki proses pembelajaran dengan cara


(16)

1. Mendesain pembelajaran berbicara Bahasa Inggris dalam bentuk RPP yang tepat dengan menggunakan Teknik 4/3/2 di SMA Negeri I Gedongtataan Pesawaran Lampung.

2. Mendeskripsikan pembelajaran berbicara bahasa Inggris dengan tepat menggunakan Teknik 4/3/2 di SMA Negeri 1 Gedongtataan.

3. Mendeskripsikansistem evaluasi pembelajaran berbicara Bahasa Inggris yang tepat dengan menggunakan Teknik 4/3/2.

4. Mendeskripsikan peningkatan keterampilan berbicara Bahasa Inggris Siswa dengan menggunakan Teknik 4/3/2.

1.6 Manfaat Penelitian .1 Manfaat Teoritis

Manfaat penelitian ini secara teoritis untuk mengembangkan konsep-konsep pembelajaran dalam teknologi pendidikan khususnya kawasan pengelolaan dan perancangan pembelajaran.

a. Bagi siswa dan guru

Hasil penelitian ini diharapkan dapatbermanfaat bagi siswa dan guru di SMA Negeri 1 Gedongtataan Pesawaran sebagai tambahan pengetahuan mengenai teori keterampilan berbicara dalam Bahasa Inggris sebagai Bahasa Asing terpenting di Indonesia.

b. Bagi Lembaga Sekolah

Hasl Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam menetapkan kebijakan dalam rangka meningkatkan prestasi belajar siswa dan memperbaiki proses belajar mengajar Bahasa Inggris di sekolah.


(17)

1.6.2 Manfaat Praktis a. Bagi Guru dan siswa

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk meningkatkan motivasi dan prestasi belajar keterampilan berbicara Bahasa Inggris bagi siswa di SMA Negeri 1 Gedongtataan Pesawaran. Sedangkan bagi guru dapat menjadi bahan untuk penyusunan bahan ajar yang memotivasi dan meningkatkan prestasi siswa dalam belajar Bahasa Inggris.

b. Bagi lembaga sekolah

Hasil penelitian ini diharapkan sebagai saranauntuk meningkatkan kompetensi guru serta menjadikan sikap yang positif dalam pembelajaran dan siswa termotivasi dalam menggunakan Bahasa Inggris dalam berkomunikasi sehari-hari dalam konteks dan suasana tertentu sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan kemampuan dan prestasi pembelajaran Bahasa Inggris di sekolah. Sehingga sekolah dapat meyediakan sarana dan prasarana serta situasi yang kondusif untuk pencapaian kompetensi tersebut.


(18)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Hakikat Belajar dan Pembelajaran 2.1.1 Hakikat Belajar

Belajar merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan kita karena belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Tanpa belajar seseorang tidak mungkin dapat mengembangkan potensi dirinya dengan baik secara maksimal dan tanpa belajar seseorang juga sulit menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu belajar adalah salah satu kebutuhan manusia karena dengan belajar seseorang akan dapat meningkatkan pengetahuan, ketrampilan serta sikap yang semuanya itu dapat berguna bagi dirinya maupun dalam kehidupan masyarakat. Dari belajar seseorang akan dapat melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan sebelumnya karena belajar sesungguhnya juga adalah perubahan tingkah laku atau kecakapan manusia.

Hakikatnya belajar harus menghasilkan sesuatu perubahan yang permanen dalam diri manusia melalui pengalaman yang diolah daya nalar. Pengalaman adalah hasil proses interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya. Pengalaman itulah yang menjadi bahan baku dalam proses pembelajaran. Semakin banyak interaksi


(19)

dengan lingkungan hidupnya maka manusia semakin banyak pengalaman dan semakin banyak pengalaman berarti semakin banyak pengetahuan.

Pernyataan di atas sesuai dengan pernyataan Reigeluth (1983:20) bahwa belajar merupakan proses yang ditandai oleh adanya perubahan pada diri seseorang. Proses belajar dan perubahan adalah dua gejala yang saling terkait yaitu belajar sebagai proses dan perubahan sebagai bukti telah terjadi perubahan tingkah laku yang menyangkut perubahan, dan bersifat pengetahuan keterampilan maupun nilai serta sikap. Selain itu juga sesuai dengan pernyataan Woolfolk (2004:198) bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang menimbulkan perubahan yang relatif permanen., baik perubahan yang mudah terlihat maupun yang tidak mudah terlihat (bersifat potensial).

Dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan proses yang ditandai oleh adanya perubahan pada diri seseorang. Proses belajar dan perubahan adalah dua gejala yang saling terkait yaitu belajar sebagai proses dan perubahan sebagai bukti telah terjadi perubahan tingkah laku yang menyangkut perubahan, dan bersifat pengetahuan keterampilan maupun nilai serta sikap.

2.1.2 Hakikat Pembelajaran

Menurut Miarso (2007:528) pembelajaran adalah suatu usaha mengelola lingkungan dengan sengaja agar seseorang membentuk diri secara positif tertentu dalam kondisi tertentu. Suatu program pembelajaran yang baik haruslah memenuhi kriteria daya tarik, daya guna (efektivitas), dan hasil guna (efisiensi). Dalam pembelajaran ini pembelajaran merupakan usaha memperbaiki


(20)

kemampuan berbicara bahasa Inggris melalui serangkaian kegiatan yang mendorong siswa untuk berbicara dan mengemukakan pemikirannya.

Ada beberapa dasar dalam pembelajaran meliputi :

1. Hal mengidentifikasi serta menetapkan spesifikasi dan kualifikasi perubahan tingkah laku dan kepribadian anak didik sebagaimana yang diharapkan, 2. Memilih sistem pendekatan pembelajaran berdasarkan aspirasi dan pandangan

hidup masyarakat.

3. Memilih dan menetapkan prosedur, metode, dan teknik pembelajaran yang dianggap paling tepat dan efektif sehingga dapat dijadikan pegangan oleh pengajar dalam menentukan kegiatan mengajarnya.

4. Menetapkan norma-norma dan batas minimal keberhasilan atau kriteria serta stándar keberhasilan sehingga dapat dijadikan pedoman oleh pengajar dalam

melakukan evaluasi hasil kegiatan pembelajaran yang selanjutnya akan dijadikan umpan balik buat penyempurnaan sistem instruksional yang bersangkutan secara keseluruhan (Djamarah, 2002:6)

2.2 Prestasi belajar

Prestasi belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki pembelajar setelah ia menerima pengalaman belajar dalam segala hal yang dipelajari di tempat pendidikan yang dapat menyangkut pengetahuan atau kecakapan atau keterampilan yang dinyatakan sesudah penilaian. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sudjana (2004:22) bahwa prestasi belajar adalah hasil yang diperoleh oleh seseorang, kelompok dalam suatu kegiatan pembelajaran yang dilakukan


(21)

pada awal, pertengahan , dan akhir program pembelajaran atau pokok bahasan tertentu dalam mengikuti suatu kegiatan pembelajaran

Menurut Djamarah (2005:49) prestasi belajar dapat diartikan secara luas dan sempit. Secara luas prestasi belajar menunjukan kepada tingkat kemampuan dan sekaligus penguasaan bidang pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), dan Ketrampilan (psikomotorik). Sedangkan pengertian sempit prestasi belajar adalah nilai-nilai yang berhasil dicapai oleh peserta didik misalnya prestasi belajar ditandai dengan nilai 6,7,8, dan seterusnya (Danim, 2004: 50). Secara psikologi terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prestasi belajar peserta didik. Faktor-faktor tersebut adalah faktor minat, kecerdasan, bakat, motivasi, dan faktor-faktor kognitif. ( Djamarah 2002:157).

Dalam Penelitian ini prestasi didefinisikan sebagai pencapaian yang diperoleh siswa setelah mengikuti proses belajar dan pembelajaran. Pencapaian yang dimaksud adalah kemampuan siswa mengemukakan pemikirannya secara lisan dengan cepat, tepat, berterima, dan dipahami oleh orang lain.

2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar

Untuk meraih prestasi belajar yang baik, banyak sekali faktor yang perlu diperhatikan, karena di dalam dunia pendidikan tidak sedikit siswa yang mengalami kegagalan. Kadang ada siswa yang memiliki dorongan yang kuatuntuk berprestasi, dan kesempatan untuk meningkatkan prestasi, tapi dalam kenyataannya prestasi yang dihasilkan di bawah kemampuannya.


(22)

Untuk meraih prestasi belajar yang baik banyak sekali faktor-faktor yang perlu diperhatikan. Menurut Suryabrata (2006 : 233) secara garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi belajar dan prestasi belajar dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu faktor internal dan faktor eksternal:

A.Faktor internal

Merupakan faktor yang berasal dari dalam diri siswa yang dapat mempengaruhi prestasi belajar. Faktor ini terbagi menjadi dua kelompok, yaitu :

1). Faktor fisiologi

Dalam hal ini, faktor fisiologi yang dimaksud adalah faktor yang berhubungan dengan kesehatan dan pancaindera

a. Kesehatan badan

Dalam pembelajaran memerlukan keadaan kondisi fisik yang baik, untuk itu peserta didik perlu memperhatikan pola makan dan pola tidur, untuk memperlancar metabolisme dalam tubuhnya. Selain itu, juga untuk memelihara kesehatan bahkan juga dapat meningkatkan ketangkasan fisik dibutuhkan olahraga yang teratur keadaan fisik yang lemah dapat menjadi penghalang bagi siswa dalam menyelesaikan program studinya. Dalam upaya memelihara kesehatan fisiknya.

b. Pancaindera

Berfungsinya pancaindera merupakan syarat dapatnya belajar itu berlangsung dengan baik. Dalam sistem pendidikan dewasa ini diantara pancaindera itu yang


(23)

paling memegang peranan dalam belajar adalah mata dan telinga. Hal ini penting, karena sebagian besar hal-hal yang dipelajari oleh manusia dipelajari melalui penglihatan dan pendengaran. Dengan demikian, seorang anak yang memiliki cacat fisik atau bahkan cacat mental akan menghambat dirinya didalam menangkap pelajaran, sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi prestasi belajarnya di sekolah.

2) Faktor psikologis

Adanya banyak faktor psikologis yang dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa, antara lain adalah :

a. Intelligensi

Pada umumnya, prestasi belajar yang ditampilkan siswa mempunyai kaitan yang erat dengan tingkat kecerdasan yang dimiliki siswa. Taraf intellegensi ini sangat mempengaruhi prestasi belajar seseorang siswa, dimana siswa yang memiliki taraf intellegensi tinggi mempunyai peluang lebih besar untuk mencapai prestasi belajar yang lebih tinggi. Sebaliknya, siswa yang memiliki taraf intellegensi yang rendah diperkirakan juga akan memiliki prestasi belajar yang rendah. Namun bukanlah suatu yang tidak mungkin jika siswa dengan taraf inteligensi rendah memiliki prestasi belajar yang tinggi, juga sebaliknya.

b. Sikap

Sikap yang pasif, rendah diri dan kurang percaya diri dapat merupakan faktor yang menghambat siswa dalam menampilkan prestasi belajarnya. Menurut Gunarsa (2003:233) sikap adalah kesiapan seseorang untuk bertindak secara


(24)

tertentu terhadap hal-hal tertentu. Sikap siswa yang positif terhadap mata pelajaran di sekolah merupakan langkah awal yang baik dalam proses belajar mengajar di sekolah.

c. Motivasi

Motivasi belajar adalah pendorong seseorang untuk belajar. Motivasi timbul karena adanya keinginan atau kebutuhan-kebutuhan dalam diri seseorang. Seseorang berhasil dalam belajar karena ia ingin belajar. Motivasi belajar merupakan faktor psikis yang bersifat non intelektual. Peranannya yang khas ialah dalam hal gairah atau semangat belajar, siswa yang termotivasi kuat akan mempunyai banyak energi untuk melakukan kegiatan belajar.

B. Faktor eksternal

Selain faktor-faktor yang ada dalam diri siswa, ada hal-hal lain diluar diri yang dapat mempengaruhi prestasi belajar yang akan diraih, antara lain adalah :

1). Faktor lingkungan keluarga a) Sosial ekonomi keluarga

Dengan sosial ekonomi yang memadai, seseorang lebih berkesempatan mendapatkan fasilitas belajar yang lebih baik, mulai dari buku, alat tulis hingga pemilihan sekolah.

b). Pendidikan orang tua

Orang tua yang telah menempuh jenjang pendidikan bagi anak-anaknya, dibandingkan dengan yang mempunyai jenjang pendidikan yang lebih rendah.


(25)

c). Perhatian orang tua dan suasana hubungan antara anggota keluarga

Dukungan dari keluarga merupakan suatau pemacu semangat berprestasi bagi seseorang. Dukungan dalam hal ini bisa secara langsung, berupa pujian atau nasihat, maupun secara tidak langsung, seperti hubungan keluarga yang harmonis. 2). Faktor lingkungan sekolah

a). Sarana dan prasaran

kelengkapan fasilitas sekolah, seperti papan tulis, OHP akan membantu kelancaran proses belajar mengajar disekolah; selain bentuk ruangan, sirkulasi udara dan lingkungan sekitar sekolah juga dapat mempengaruhi proses belajar mengajar.

b). Kompetensi guru dan siswa

Kualitas guru dan siswa sangat penting dalam meraih prestasi, kelengkapan sarana dan prasarana tanpa disertai kinerja yang baik dari para penggunanya akan sia-sia belaka. Bila seorang siswa merasa kebutuhannya untuk berprestasi dengan baik di sekolah terpenuhi, misalnya dengan tersedianya fasilitas dan tenaga pendidik yang berkualitas, yang dapat memenuhi rasa ingin tahunya, hubungan dengan guru dan teman-temannya berlangsung harmonis, maka siswa akan memperoleh iklim belajar yang menyenangkan. Dengan demikian, ia akan terdorong untuk terus-menerus meningkatkan prestasi belajarnya.

c). Kurikulum dan metode mengajar

Hal ini meliputi materi dan bagiamana cara memberikan materi tersebut kepada siswa. Metode pembelajaran yang lebih interaktif sangat diperlukan untuk


(26)

menumbuhkan minat dan peran serta siswa dalam kegiatan pembelajaran. Wirawan (1997:122) mengatakan bahwa faktor yang paling penting adalah faktor guru. Jika guru mengajar dengan arif bijaksana, tegas memiliki disiplin tinggi, luwes dan mampu membuat siswa menjadi senang akan pelajaran, maka prestasi belajar siswa akan cenderung tinggi, paling tidak siswa tersebut tidak bosan dalam mengikuti pelajaran.

3). Faktor lingkungan masyarakat a). Sosial budaya

Pandangan masyarakat tentang pentingnya pendidikan akan mempengaruhi kesungguhan pendidik dan peserta didik. Masyarakat yang masih memandang rendah pendidikan akan enggan mengirimkan anaknya ke sekolah dan cenderung memandang rendah pekerjaan guru/pengajar.

b). Partisipasi terhadap pendidikan

Bila semua instansi baik swasta maupun instansi pemerintah dan masyarakat peduli dan ikut andil dalam memajukan pendidikan maka sudah barang tentu pendidikan di Indonesia akan maju dan sejajar dengan bangsa-bangsa lain. 2.4 Teori Belajar dan Pembelajaran

Belajar adalah proses yang dilakukan oleh manusia untuk meningkatkan aneka ragam competencies, skills and attitude. (Gredler, 1986:1 dalam Winataputra: 2007). Kemampuan (competencies), keterampilan (skills) dan sikap (attitudes) tersebut diperoleh secara bertahap dan berkelanjutan mulai dari bayi sampai masa tua melalu proses belajar sepanjang hayat. Sardiman (2004: 20) mengemukakan


(27)

bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku atau penampilan dengan serangkaian kegiatan misalnya membaca, mengamati, mendengarkan, meniru dan lain sebagainya. Belajar adalah terminology yang akan digunakan untuk menggambarkan proses meliputi perubahan melalui pengalaman.

Proses perubahan tersebut secara relatif untuk memperoleh perubahan permanen dalam pemahaman, sikap, pengetahuan, informasi, kemampuan dan keterampilan melalui pengalaman atau dengan kata lain belajar merupakan suatu proses dalam memaknai kehidupan. Melalui proses tersebut seseorang mengubah tingkah lakunya dengan cara latihan yang terjadi secara alamiah dimana individu berinteraksi dengan lingkungannya.

Kaitannya dengan belajar tersebut beberapa ahli mengemukakan prinsip yang berkaitan dengan belajar, yaitu: 1. Belajar pada hakikatnya mengembang potensi manusia dan perilakunya 2. Belajar memerlukan proses dan pemahaman serta kematangan diri pada siswa Belajar akan lebih mantap dan efektif apabila didorong dengan motivasi perkembangan pengalaman siswa akan banyak mempengaruhi pengalaman belajarnya. Prinsip-prinsip tersebut perlu dipahami untuk dapat memberikan penjelasan tentang usaha pencapaian tujuan belajar itu sendiri melalui kondisi belajar yang kondusif. Tujuan belajar yang dimaksud adalah untuk mendapatkan pengetahuan, pemahaman konsep dan keterampilan, dan pembentukan sikap (Sardiman, 2001 : 26).

Definisi-definisi tersebut diatas menunjukkan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku atau kecakapan manusia. Perubahan tingkah laku ini bukan disebabkan oleh pertumbuhan fisiologi atau perubahan kematangan.


(28)

Perubahan yang terjadi karena belajar dapat berupa perubahan-perubahan pengetahuan (knowledge), kebiasaan (habit), kecakapan (skill) atau yang terkenal dengan istilah aspek kognitif, aspek afektif dan aspek psikomotorik.

Dilain pihak menurut Hamalik (2004 : 27) belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman (learning is defined as the modification or strengthening of behavior through experiencing) artinya belajar merupakan suatu proses, suatu kegiatan dan bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas dari itu. Hasil belajar bukan suatu penguasaan hasil latihan melainkan pengubahan kelakuan. Ada pula tafsiran lain yang menyatakan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah lakunya individu melalui interaksi dengan lingkungan, didalam interaksi inilah terjadi serangkaian pengalaman-pengalaman belajar.

Bukti bahwa seseorang telah belajar ialah terjadinya perubahan tingkah laku pada orang tersebut , misalnya dari tidak tahu menjadi tahu dan dari tidak mengerti menjadi mengerti. Tingkah laku kemanusian terdiri dari sejumlah aspek. Hasil belajar akan tampak pada setiap perubahan pada aspek-aspek seperti : (1) pengetahuan, (2) pengertian, (3) kebiasaan, (4) keterampilan, (5) apresiasi, (6) emosional, (7) hubungan sosial, (8) jasmani, (9) etis atau budi pekerti, (10) sikap. Kalau seseorang telah melakukan perbuatan belajar maka akan terlihat terjadinya perubahan dalam salah satu atau beberapa aspek tingkah lakunya tersebut (Hamalik, 2004 : 30). Komponen belajar ada 5 golongan ragam belajar yaitu informasi verbal, keterampilan intelek, keterampilan motorik, sikap dan siasat kognitif. Kelima macam siasat belajar tersebut masing-masing diperoleh dengan


(29)

cara berlainan. Artinya masing-masing memerlukan keterampilan prasyarat yang berbeda dan perangkat serta langkah yang berbeda.

Sementara pembelajaran merupakan kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan sistemik untuk menginisiasi, memfasilitasi, dan meningkatkan intensitas dan kualitas belajar pada diri peserta didik. Oleh karena pembelajaran merupakan upaya sitematis dan sitemik untuk menginisiasi, memfasilitasi, dan meningkatkan proses belajar maka pembelajaran harus menghasilkan belajar. Istilah pembelajaran mengacu pada segala kegiatan yang berpengaruh langsung terhadap proses belajar maka pembelajaran harus menghasilkan belajar. Istilah pembelajaran mengacu pada segala kegiatan yang berpengaruh langsung terhadap proses belajar siswa atau dikenal dengan istilah lain yaitu instruction. Instruction is a set of events that effect learners in such a way that learning is facilitated (Gagne, 1992:3).

Konsep dasar pembelajaran dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 menyatakan pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidikan dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran sebagai proses pembelajaran dibangun oleh guru untuk mengembangkan kreativitas berfikir untuk meningkatkan kemampuan mengkontruksi pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasaan yang baik terhadap materi pelajaran. Dari definisi diatas dapat diketahui bahwa ciri utama pembelajaran adalah inisiasi, fasilitasi, dan peningkatan proses belajar siswa. Ini menunjukkan bahwa unsur kesenjangan dari pihak diluar individu yang melakukan proses belajar, dalam hal ini pendidikan secara perorangan atau


(30)

kolektif dalam suatu sistem yang merupakan cirri utama dari suatu konsep pembelajaran. Perlu diingat bahwa tidak semua proses belajar terjadi dengan sengaja.

Sementara ciri lain dari pembelajaran adalah adanya interaksi yang sengaja diprogramkan dan interaksi tersebut terjadi antara pendidik dan peserta didik dan lingkungan belajarnya, dan juga pembelajaran tersebut memiliki komponen-komponen yang saling berkaitan satu sama lain. Komponen tersebut adalah tujuan, materi, kegiatan, dan evaluasi pembelajaran. Proses pembelajaran dalam arti luas merupakan jantungnya dari pendidikan untuk mengembangkan kemampuan, membangun watak dan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional.

Ada dua teori pembelajaran yang mengemukakan saat ini yaitu teori kognitivisme dan teori belajar operant conditioning, dengan penjelasan sebagai berikut

2.4.1 Teori belajar Kognitif

Prinsip dari teori kognitif adalah memandang bahwa setiap orang berprilaku dan mengerjakan sesuatu dipengaruhi oleh tingkat-tingkat perkembangan dan pemahaman atas diri seseorang. Piaget memandang bahwa “the child as active learner”. Dari ungkapan ini, teori belajar kognitif ada kaitannya dengan teori psikologi kognitif. Aspek kognitifnya berkaitan dengan cara seseorang memperoleh pemahaman terhadap diri dan lingkungannya dan bagaimana mereka beradaptasi dengan lingkungannya secara sadar, sedangkan aspek psikologisnya menekankan pada korelasi seseorang dengan lingkungan psikologisnya secara


(31)

bersamaan atau secara timbal balik. Psikologi kognitif lebih menekankan pada faktor internal dan proses-proses mental dalam diri manusia.

Cameron memandang bahwa perkembangan mental anak dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. The child is seen as continually interacting with the around her/him, solving problems that are presented by invironment. It is trough taking action to solve problems that learning accurs (Cameron, 2002:2).

Dalam hal ini Cameron memberikan contoh bagaimana anak memperoleh makanan dari mangkuk untuk sampai kemulutnya dengan menggunakan sendok dan garpu, setelah mengadakan percobaan berkali-kali menggunakan akhirnya anak mengetahui bahwa sendok adalah alat yang tepat untuk memecahkan masalahnya. Deskripsi diatas dapat dikatakan bahwa anak membangun pengetahuannya secara sendiri.

Actively constructed by children. What happen early in concrete objects, continues happen in the mind, as problem or confronted internally, and action taken from to solve them or think them trough (Cameron, 2002:2).

Pandangan Piaget menyatakan bahwa anak beradaptasi melalui pengalaman disekitar lingkungannya, kita dapat melihat bagaimana lingkungan dapat mempengaruhi perkembangan anak dengan memberikan kesempatan-kesempatan untuk melakukan sesuatu tindakan. Cameron (2002:5) menyatakan:

Transferring this idea methaporically to the abstracts world of learning and idea, we can think of the classroom and classroom activities as creating, and offering opportunities to learners for learning.


(32)

Model psikologi kognitif berpusat pada pikiran dan cara kerjanya pikiran. Peaget memandang perkembangan pada peserta didik dapat terjadi melalui 2 cara, Asimilasi dan Akomodasi, Cameron mendekripsikan 2 cara perkembangan tersebut yaitu:

Assimilation happens when action takes place without any change to the child; accommodation involve the child adjusting to features of invironment is some way (2002: 3). Cameron juga mendukung pandangan Peaget yaitu a child’s thinking develops as gradual growth of knowledge and intellectual skills to words a final stage of formal, logical thinking (Cameron, 2002: 3 ).

Tujuan teori psikologi untuk membentuk hubungan yang baik antara tingkah laku seseorang pada ruang kehidupannya secara spesifik sesuai dengan situasi psikologinya. Untuk memahami dan memperkirakan prilaku seseorang kita dapat memperhatikan prilaku orang tersebut dengan lingkungan psikologisnya sebagai pola dari fakta dan fungsi yang saling berkaitan. Menurut Cameron (2002) perkembangan kognitif (kecerdasan) anak dibagi menjadi empat tahap, yaitu: 1. Tahap sensori motor. Pada tahap ini terjadi pada usia 0-2 tahun. Pada tahap ini

anak mengatur sensori indranya dan tindakan-tindakannya.

2. Pra-operasional. Tahap ini terjadi pada usia 2-7 tahun dalam tahap ini seseorang anak telah mempunyai kesadaran tentang keberadaan suatu benda dan mengenalinya baik benda tersebut bersifat abstrak atau nampak.

3. Konkret operasional. Tahap ini terjadi pada usia 7 sampai 11 tahun. Dalam tahap ini anak telah dapat berpikir secara logis dan rasional.


(33)

4. Formal operasional. Tahap ini terjadi pada usia 11 sampai 15 tahun. Anak telah beranjak remaja dan dapat menggunakan cara berpikir konkret dan kompleks. Pada tahapan perkembangan waktu ini jangan dipandang sebagai suatu hal yang statis dikarenakan perkembangan manusia yang satu dan yang lain berbeda beda dan juga lingkungan dan pengalaman yang membentuk mental perkembangan anak yang berbeda pula, sudah barang tentu hal tersebut akan membedakan setiap individu.

Teori kognitif ini dikembangkan terutama untuk membantu pendidik memahami peserta didiknya. Hal ini juga dapat membantu pendidik memahami dirinya sendiri dengan lebih tepat. Menurut teori kognitif, belajar merupakan suatu proses intraksional seseorang dalam memperoleh pengetahuan baru atau struktur kognitif dan mengubah hal-hal yang lama. Agar belajar menjadi efektif seorang pendidik lebih memperhatikan dirinya dan psikologi peserta didik.

Teori belajar kognitif dibentuk dengan tujuan mengkontruksi prinsip belajar secara ilmiah hasilnya berupa langkah-langkah yang dapat diaplikasikan pada pembelajaran di kelas untuk mendapatkan hasil yang optimal. Teori belajar kognitif menjelaskan cara seseorang mencapai pemahaman atas dirinya dan lingkungannya kemudian menginterprestasikan diri dan lingkungan psikologisnya merupakan satu kesatuan. Teori ini dikembangkan berdasarkan tujuan yang melatarbelakangi prilaku, cita-cita, dan cara seseorang memahami diri dan lingkungannya sebagai upaya untuk mencapai tujuan.

Menurut Winataputra (2010:39) merumuskan bahwa prinsip-prinsip teori belajar kognitif yaitu: 1. Belajar merupakan peristiwa mental yang berhubungan dengan


(34)

berpikir, perhatian, presepsi, pemecahan masalah dan kesadaran. 2. Sehubungan dengan pembelajaran, teori belajar prilaku dan kognitif pada akhirnya sepakat bahwa guru harus memperhatikan prilaku siswa yang tampak, seperti penyelesaian tugas rumah, hasil tes, disamping itu juga harus memperhatikan factor manusia dan faktor psikologisnya. 3. Ahli kognitif percaya bahwa kemampuan berpikir setiap orang tidak sama dan tidak tetap dari waktu ke waktu. Model perkembangan dari Piaget dapat membantu peserta didik memperoleh pemahaman secara sistematis sesuai dengan tingkat kematangan psikologisnya dan juga mempermudah guru dalam menganalisis karakteristik dari peserta didiknya dan membantunya dalam menentukan materi yang sesuai didasarkan pada need assessment.

2.4.2 Teori Belajar Operant Conditioning (Skinner, 1957)

Teori belajar ini berlandaskan pada interaksi antara stimulus dan respon. Skinner (1975) menyatakan bahwa kunci untuk memahami prilaku individu terletak pada pemahaman kita terhadap stimulus satu dengan stimulus yang lainnya, respon yang dimunculkan, dan juga berbagai konsekuensi yang diakibatkan oleh respon tersebut. Prinsip utama operant conditioning adalah reinforcement (penguatan kembali), punishment (hukuman), shaping (pembentukan), extinction (penghapusan), discrimination (pembedaan), dan generalization (generalisasi). Materi ajar yang disarankan adalah

- Berterima kasih,misalnya; Thank you …thank you any way - Memuji, misalnya;That’s a lovely cake


(35)

A: Congratulation B: Thank You

- Menggunakan Ucapan Terkejut Really?

How can you say that!

Well that’t the fact,dan seterusnya.

Ada enam asumsi dasar dari teori operant conditioning yaitu: 1. Hasil belajar merupakan prilaku yang dapat diamati.

2. Perubahan prilaku sebagai hasil belajar secara fungsional berhubugan dengan perubahan situasi dalam lingkungan atau suatu kondisi.

3. Hubungan antara prilaku dan lingkungan dapat ditentukan hanya jika elemen-elemen prilaku dan kondisi percobaan diukur secara fisik dan diamati perubahannya dalam situasi yang terkontrol ketat.

4. Data yang dihasilkan oleh percobaan-percobaan terhadap prilaku merupakan satu-satunya data yang dapat digunakan untuk mengkaji alasan munculnya suatu prilaku.

5. Sumber data yang paling tepat adalah prilaku dari masing-masing individu.

6. Dinamika interaksi antara individu dengan lingkungannya bersifat relative sama untuk semua jenis makhluk hidup.

Dari kedua teori pembelajar tersebut penelitian ini menggunakan teori kognitif karena siswa dianggap memiliki potensi untuk mengembangkan kemampuan peribadinya tanpa harus dibatasi oleh kondisi yang mengekang. Hal ini sesuai denganprinsip Teori belajar kognitif yang merupakan cara seseorang mencapai


(36)

pemahaman atas dirinya dan lingkungannya kemudian menginterprestasikan diri dan lingkungan psikologisnya merupakan satu kesatuan. Ini berbeda dengan teori belajar operant conditioning yang lebih menekankan kepada adanya stimulus dan respon dalam pembelajaran yang dapat mengekang pengembangan kepribadian siswa.

2.4.3 Desain Pembelajaran Assure

Untuk menciptakan suatu aktivitas pembelajaran yang efektif, diperlukan adanya suatu proses perencanaan, atau desain yang baik. Demikian pula dengan aktivitas belajar dengan menggunakan media dan teknologi. Smaldino, James D Russel dan Michael Molenda (2005), mengemukakan sebuah desain sistem pembelajaran yang dikenal dengan ASSURE. Model ini dikembangkan untuk menciptakan aktivitas pembelajaran yang efektif dan efisien, khususnya pada kegiatan pembelajaran yang menggunakan media dan teknologi.

ASSURE adalah suatu mnemonic atau singkatan yang mudah dihapalkan oleh peserta belajar. ASSURE berbentuk suatu kata yang mempunyai arti khusus yaitu to make sure atau dalam bahasa Indonesia berarti meyakinkan.

ASSURE terdiri atas enam komponen seperti rumusan kata itu sendiri. Setiap huruf mempunyai arti, yaitu

Analyze Learner (menganalisis peserta belajar)

State Objectives (merumuskan tujuan pembelajaran atau kompetensi)

Select methods, media, and materials (memilih metode, media dan bahan ajar)


(37)

Require learner participation (mengembangkan peran serta peserta belajar)

Evaluate and Revise (menilai dan memperbaiki)

Ditinjau dari struktur, maka ASSURE dirumuskan berdasarkan kata kerja tertentu yaituanalyze, state, select, utilize, require, dan evaluate.

Dalam hal penelitian yang diajukan, apabila kita menggunakan desain ASSURE maka akan didapatkan langkah sebagai berikut:

1. Menganalisis peserta belajar (Analyze learner). Pada langkah ini diidentifikasi kemampuan berbicara siswa kelas X SMA N 1 Gedongtataan. Hasilnya adalah siswa lemah dalam mengemukakan pemikirannya secara lisa berbahasa Inggris. Ini disebabkan oleh kurangnya kesempatan berlatih berbicara yang diberikan guru kepada siswa.

2. Merumuskan tujuan pembelajaran atau kompetensi (State Objective). Pada langkah ini tujuan pembelajaran dirumuskan:

-untuk memberikan kesempatan siswa mengembangkan kemampuan berbicara dalam bahasa Inggris.

-Meningkatkan kelancaran dan ketepatan siswa berbicara bahasa Inggris secara berpasangan dan sendiri-sendiri.

3. Memilih metode, media dan bahan ajar (select methods, media, dan bahan ajar). Pada langkah ini metode yang dipilih adalah metode komunikatif dengan teknik 4/3/2 untuk kemampuan berbicara. Media yang digunakan adalah gambar dan alat multi media. Materi yang dipilih topik tentang „me and my family’, ‘my most favorite TV programme‟ dan „The most enjoyable experience in my life’.


(38)

4. Menggunakan media dan bahan ajar (utilize media and material). Pada tahapan ini media dan bahan ajar digunakan sebagai pemandu siswa untuk menyusun draft apa yang harus mereka ucapkan dalam kegiatan utama.

5. Mengembangkan peran serta siswa (Require learner participation). Disinilah teknik 4/3/2 sangat menonjol karena harus melibatkan seluruh siswa yang terlibat dalam percakapan berpasangan dengan pembagian peran sebagai pembicara (speaker) dan pendengar (listener) secara aktif. Pertukaran pasangan dalam kegiatan 4//3/2 ini menuntut keaktifan siswa secara penuh tanpa harus ada paksaan. Peran guru hanya menjadi pengatur pembagian pasangan saja selebihnya kegiatan dilakukan oleh siswa.

6. Menilai dan memperbaiki (Evaluate and revise). Pada tahapan ini guru dapat melakukan evaluasi terhadap kinerja siswa melalui instruksi untuk berbicara berpasangan dan mengevaluasi kelancaran dan ketepatan berbicara siswa. Evaluasi berikutnya adalah dalam pemilihan topik yang harus disampaikan siswa. Topik yang terlalu sulit harus diganti sedangkan yang terlalu mudah harus ditingkatkan kesukarannya.

2.5 Pembelajaran Bahasa Inggris

Bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional peserta didik dan merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi. Pembelajaran bahasa diharapkan membantu peserta didik mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain. Selain itu, pembelajaran bahasa juga membantu peserta didik mampu mengemukakan


(39)

gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat, dan bahkan menemukan serta menggunakan kemampuan analitis dan imaginatif yang ada dalam dirinya.

Bahasa merupakan alat berkomunikasi secara lisan dan tulis, untuk memahami dan mengungkapkan informasi, pikiran, perasaan, serta sebagai sarana pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya. Kemampuan berkomunikasi adalah kemampuan berwacana, yakni kemampuan memahami atau menghasilkan kalimat lisan dan tulis. Keterampilan berbahasa meliputi mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis yang dapat digunakan untuk menanggapi atau menciptakan wacana dalam kehidupan bermasyarakat.

Mata pelajaran Bahasa Inggris merupakan mata pelajaran adaptif, yang bertujuan membekali peserta didik kemampuan berkomunikasi bahasa Inggris dalam konteks material komunikasi yang diperlukan bagi program keahliannya, baik yang bersifat lisan maupun tulis.

Di samping itu mata pelajaran Bahasa Inggris membekali peserta didik kemampuan berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan tuntutan global, serta membekali peserta didik untuk mengembangkan komunikasi ke taraf yang lebih tinggi.


(40)

A. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar

Standar Kompetensi Kompetensi Dasar

1. Berkomunikasi dengan Bahasa Inggris setara LevelNovice

1. 1 Memahami ungkapan-ungkapan dasar pada interaksi sosial untuk kepentingan kehidupan

1. 2 Menyebutkan benda-benda, orang, ciri-ciri, waktu, hari, bulan, dan tahun

1. 3 Mendeskripsikan benda-benda, orang, ciri-ciri, waktu, hari, bulan, dan tahun

1. 4 Menghasilkan tuturan sederhana yang cukup untuk fungsi-fungsi dasar

1. 5 Menjelaskan secara sederhana kegiatan yang sedang terjadi

1. 6 Memahami memo dan menu sederhana, jadwal perjalanan kendaraan umum, dan rambu-rambu lalu lintas

1. 7 Memahami kata-kata dan istilah asing serta kalimat sederhana berdasarkan rumus


(41)

1. 8 Menuliskan undangan sederhana

2. Berkomunikasi dengan Bahasa Inggris setara Level Elementary

2. 1 Memahami percakapan sederhana sehari-hari baik dalam konteks profesional maupun pribadi dengan orang bukan penutur asli

2. 2 Mencatat pesan-pesan sederhana baik dalam interaksi langsung maupun melalui alat

2. 3 Merinci tugas pekerjaan dan latar belakang pendidikan yang dimilikinya secara lisan dan tulisan 2. 4 Menceritakan pekerjaan di masa lalu

dan rencana kerja yang akan datang 2. 5 Mengungkapkan berbagai macam

maksud hati

2. 6 Memahami instruksi-instruksi sederhana

2. 7 Membuat pesan-pesan pendek, petunjuk dan daftar dengan pilihan kata, ejaan dan tata tulis yang berterima

3. Berkomunikasi dengan Bahasa Inggris setara Level Intermediate

3. 1 Memahami monolog yang muncul pada situasi kerja tertentu


(42)

dengan penutur asli 3. 3 Menyajikan laporan

3. 4 Memahami manual penggunaan peralatan

3. 5 Memahami surat-surat bisnis sederhana

3. 6 Memahami dokumen-dokumen teknis

3. 7 Menulis surat bisnis dan laporan sederhana

2.6 Kompetensi Bahasa

Menurut Canale and Swain (1980), kemampuan (kompetensi) adalah “competence ordinarily is defined as adequacyfor a task or as possession of require knowledge, skill and abilities”. Kemampuan adalah sebagai suatu tugas yang memadai atau pemilikan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dituntut oleh jabatan seseorang.

Menurut Hall, G. HowardL. Jones.(1976)kemampuan adalah pernyataan yang menggambarkan penampilan suatu kompetensi tertentu secara bulat yang merupakan perpaduan antara pengetahuan dan kemampuan yang dapat diamati dan diukur. Sedangkan T. Raka Joni (1986) kompetensi adalah kemampuan melaksanakan sesuatu yang diperoleh melalui pendidikan atau latihan yang


(43)

menunjuk pada perbuatan (performance) yang bersifat rasional dan memenuhi spesifikasi tertentu didalam melaksanakan tugas-tugas kependidikan.

Pada dasarnya ada dua jenis pembelajaran Bahasa Inggris berdasarkan status bahasa dalam komunikasi dalam masyarakat. Yang pertama adalah Pembelajaran Bahasa Inggris sebagai Bahasa Kedua (English as a second language), dan yang kedua adalah Pembelajaran Bahasa Inggris sebagai Bahasa Asing (English as a Foreign Language). Untuk jenis yang pertama adalah pembelajaran Bahasa Inggris dimana bahasa tersebut digunakan siswa tidak hanya untuk belajar di sekolah tetapi juga untuk tujuan komunikasi di luar sekolah. Siswa tidak menggunakan bahasa tersebut sebagai bahasa ibu. Masyarakat dimana pembelajaran terjadi menggunakan Bahasa tersebut untuk keperluan formal dan komunikasi lainnya. Sebagai contoh type pembelajaran ini adalah pembelajaran Bahasa Inggris di Malaysia, Philipina, India, dan sebagainya. Sedangkan untuk jenis kedua, Bahasa Inggris semata-mata digunakan untuk pembelajaran di sekolah. Bahasanya tidak digunakan di luar sekolah untuk komunikasi, masyarakat umumnya tidak menggunakan bahasa tersebut untuk komunikasi sehari-hari. Contoh situasi pembelajaran seperti ini adalah pembelajaran Bahasa Inggris di Indonesia (Alisyahbana, 1990:57).

Meskipun dua jenis situasi pembelajaran itu memiliki nuansa yang berbeda, pada prinsipnya ada satu kesamaan, yaitu tujuan akhir pembelajarannya adalah kemampuan berbahasa asing, yang secara teoritis digambarkan dengan istilah kompetensi komunikatif (communicative competence). Swain and Canale (1985:334) membagi kemampuan komunikatif menjadi empat tingkatan, yaitu


(44)

kemampuan gramatikal (grammatical competence), kemampuan sosiolinguistik (sociolinguistic competence), kemampuan wacana (discourse competence), dan kemampuan strategis (strategis competence). Kesemuanya ini direalisasikan ke dalam empat keterampilan berbahasa : menyimak (listening), berbicara (speaking), membaca (reading), dan menulis (writing).

2.7 Kemampuan Berbicara

Keterampilan berbicara dalam bahasa Inggris merupakan suatu keterampilan bahasa yang perlu dikuasai dengan baik, karena keterampilan ini merupakan suatu indikator terpenting bagi keberhasilan siswa dalam belajar bahasa. Dengan penguasaan keterampilan berbicara yang baik, siswa dapat mengomunikasikan ide-ide mereka, baik di sekolah maupun dengan penutur asing dan juga menjaga hubungan baik dengan orang lain.

Berhubungan dengan deskripsi di atas, Ur (2000:46) menyatakan bahwa “Jika seseorang menguasai suatu bahasa, secara intuitif ia mampu berbicara dalam bahasa tersebut”. Ungkapan ini jelas mengidentifikasikan bahwa keterampilan berbicara menunjukkan suatu indikasi bahwa seseorang mengetahui suatu bahasa. Selain itu, keterampilan berbicara bisa juga digunakan sebagai suatu media untuk belajar (Izquirdo, 2000:56), karena keterampilan ini sangat terkait dengan pelafalan, grammatika, kosa kata, diskursus, keterampilan mendengarkan dan lain lain. Akan tetapi, keterampilan berbicara sesungguhnya bukanlah merupakan suatu keterampilan yang sederhana yang bisa dipelajari dengan mudah dalam waktu yang singkat. Dengan kata lain, keterampilan berbicara merupakan suatu keterampilan yang kompleks dan berkaitan dengan berbagai keterampilan mikro


(45)

(Brown, 2002) seperti (1) menghasilkan ujaran-ujaran bahasa yang bervariasi; (2) menghasilkan fonem-fonem dan varian-varian alophon lisan yang berbeda dalam bahasa Inggris; (3) menghasilkan pola-pola tekanan, kata-kata yang mendapat dan tidak mendapat tekanan, struktur ritmis dan intonasi; (4) menghasilkan bentuk-bentuk kata dan frasa yang diperpendek; (5) menggunakan sejumlah kata yang tepat untuk mencapai tujuan-tujuan pragmatis; (6) menghasilkan pembicaraan yang fasih dalam berbagai kecepatan yang berbeda; (7) mengamati bahasa lisan yang dihasilkan dan menggunakan berbagai strategi yang bervariasi, yang meliputi pemberhentian sementara, pengoreksian sendiri, pengulangan, untuk kejelasan pesan; (8) menggunakan kelas kata (kata benda, kata kerja,dll.) sistem (tenses, agreement dan plural), pengurutan kata, pola-pola, aturan-aturan dan bentuk ellipsis; (9) menghasilkan pemberbicaraan yang menggunakan elemen-elemen alami dalam frasa, stop, nafas dan kalimat yang tepat; (10) mengekspresikan makna tertentu dalam bentuk-bentuk gramatika yang berbeda; (11) menggunakan bentuk-bentuk kohesif dalam diskursus lisan; (12) menyelesaikan fungsi-fungsi komunikasi dengan tepat menurut situasi, partisipan dan tujuan; (13) menggunakan register, implikatur, aturan-aturan pragmatik dan fitur-fitur sosiolinguistik yang tepat dalam komunikasi langsung; (14) menunjukkan hubungan antara kejadian dan mengomunikasikan hubungan-hubungan antara ide utama, ide pendukung, informasi lama, informasi baru, generalisasi dan contoh; (15) menggunakan bahasa wajah, kinetik, bahasa tubuh dan bahasa-bahasa nonverbal yang lainnya bersamaan dengan bahasa verbal untuk menyampaikan makna; dan (16) mengembangkan dan menggunakan berbagai strategi berbicara, seperti memberi tekanan pada kata kunci, parafrase,


(46)

menyediakan konteks untuk menginterpretasikan makna-makna kata, meminta pertolongan dan secara tepat menilai seberapa baik interlokutor memahami apa yang dikatakan.

Selain keterampilan-keterampilan mikro tersebut, keterampilan berbicara juga memerlukan penguasaan empat kompetensi yang lain, yaitu (1) kompetensi gramatika, (2) kompetensi diskursus, (3) kompetensi sosiolinguistik, dan (4) kompetensi strategi (Canale dan Swain dalam Shumin, 2002). Semua kompetensi di atas terangkum dalam kegiatan 4/3/2 dimana siswa berupaya mengaplikaskan kompetensi yang dimilikinya dengan penerapan pengulangan ujaran berdasarkan waktu yang ditetapkan guru. Siswa memiliki kesempatan untuk mempraktekkan pengetahuan yang diperolehnya tanpa harus mengalami ketakutan untuk ditertawai karena kesalahan atau kekurangan kompetensi yang dimilikinya.

2.8Kelancaran dan Ketepatan Bicara

Kelancaran (fluency) dan ketepatan bicara (accuracy) adalah dua hal yang menjadi tujuan akhir pembelajaran bahasa asing (Ur 2000: 103). Kelancaran didasarkan atas makna sedangkan ketepatan berdasarkan bentuk bahasa (Ur 2000; Brumfit 1984; Stern 1992). Kedua konsep ini meski bertentangan tetapi sebenarnya saling melengkapi satu sama lain dalam hal apa yang menjadi focus dalam pembelajaran bahasa, utamanya bahasa asing atau bahasa kedua yaitu apakah lebih menekankan kepada kelancaran menggunakan bahasa atau ketepatan menggunakan bahasa secara lisan. Beberapa eksperimen menunjukkan bahwa baik penekanan pada kelancaran maupun penekanan kepada ketepatan berbicara mengandung konsekuensi yang sama.(Brumfit 1984:Skehan 1996). Ada dua cara


(47)

untuk menjawab pertanyaan mana yang harus diberi prioritas kelancaran atau ketepatan berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan. Beberapa peneliti meyakini bahwa penekanan kepada ketepatan berbicara adalah satu-satunya cara untuk memperbaiki kemampuan berbahasa seseorang (Nunan 1999, Higgs dan Clifford 1982). Schmidt (1992) menyatakan bahwa Bahasa Inggris fidgin (Bahasa Inggris berlogat local) bukan merupakan nilai lebih kemampuan berkomunikasi karena bentuk bahasanya kurang memiliki „penerimaan komunikatif‟ dari penutur asli (Zhang 1999) dan tidak dapat memenuhi harapan dan kaidah dari masyarakat penutur asli (Sajavaara 1987). Ada banyak cara untuk mencapai ketepatan penggunaan bahasa. Misalnya memperlambat pengaruh ketapatan gramatikal melaui pembelajaran (Ellis 1999) Pembelajaran grammar harus berfungsi sebagai wahana menuju kemampuan berkomunikasi (Nunan 1993) sedangkan peningkatan kesadaran berkomunikasi (consciousness-raising) dapat menimbulkan efek jangka panjang yang bermanfaat bagi kemamuan berkomunikasi. Long (1998) dan Sheen (2002) menganjurkan penekanan kepada pengajaran dengan focus pada bentuk bahasa selama proses pembelajaran bahasa berbasis komunikatif dengan cara menunda pembelajaran bentuk bahasa tertentu yang menimbulkan kesulitan berkomunikasi.

Pada sisi lain, beberapa peneliti meyakini bahwa prioritas pembelajaran bahasa dengan menekankan kepada kelancaran adalah cara yang tepat untuk memperbaiki kemampuan berbahasa seseorang (Stern 1992; Brumfit, 1984). Sedangkan Zhang (1999) menemukan bahwa bentu U dalam penguasaan gramatikal bahasa Inggris siswa di Cina dimana dikatakan bahwa perkembangan kemampuan penguasaan grammar siswa di Cina mengikuti sebuah pola yang ajeg;


(48)

artinya perkembangan kemampuan gramatikal Bahasa Inggris di Cina sudah terpola sedemikian rupa.sehingga mudah ditebak. Sedangkan pembelajaran bahasa yang berbasis kepada kelancaran berbicara ditandai dengan kemampuan menerima dan meneruskan informasi secara mudah (Ur 2000:15) Kegiatan pembelajaran bahasa yang terfokus kepada kelancaran berbicara lebih menekankan kepada penggunaan bahasa secara lancar tanpa harus merasa takut melakukan kesalahan. Sedangkan pembelajaran bahasa yang berfokus kepada ketepatan berbahasa lebih menekankan kepada ketepatan grammar, pemilihan kosa kata dan aspek bahasa lainnya.. Beberapa metode dan teknik yang menekankan kepada kelancaran antara lain teknik 4/3/2 (Arevart danNation 1991).

2.9 Teknik 4/3/2

Teknik 4/3/2 dirancang oleh Maurice (1983:40) untuk memperbaiki kelancaran berbahasa secara lisan. Teknik ini memiliki makna pengulangan isi pembicaraan oleh pembicara kepada pendengar yang berbeda dengan cara mengulangi waktu bicara setiap menit. Ciri-ciri teknik ini adalah memiliki pembicara dan isi pembicaraan yang sama, pendengar yang berbeda dan pengurangan waktu bicara (Zhang 2002: 420). Dalam pelaksanaannya teknik ini dapat berubah menjadi 3/2/1 apabila kemampuan siswa yang menggunakannya masih sangat terbatasseperti yang dipraktekkan oleh Zang (2002:42).

Dalam pelaksanaannya teknik 4/3/2 memberi kesempatan kepada siswa untuk menyampaikan ide dan pemikirannya kepada lawan bicara selama empat menit, tiga menit dan dua menit dengan topik yang sama tetapi lawan berbicara berbeda.


(49)

Pemberian kesempatan berbicara dalam tiga waktu yang berbeda ini memungkinkan siswa memperlancarkan apa yang akan disampaikan tanpa harus mengalami ketakutan melakukan kesalahan.

Ada beberapa langkah yang harus dijalani dalam pelaksanaan teknik 4/3/2 disamping langkah-langkah umum dalam pembelajaran Bahasa Inggris seperti penjelasan tugas dan kewajiban siswa, antara lain :

a. Penentuan topik

Penentuan topik dilakukan setelah siswa memahami apa yang harus dilakukan. Topik yang dipilih dapat berupa topik tunggal yang harus disampaikan oleh semua siswa, dapat juga berupa beberapa alternatif topik sesuai dengan kisi-kisi kurikulum, sehingga topik yang diambil seorang siswa dapat berbeda dengan siswa yang lain. Topik yang dipilih disesuaikan dengan kemampuan dan minat siswa. Beberapa topik umum yang biasanya digunakan untuk kegiatan ini misalnya, „me and my family’, „the most interesting experience I ever have’, „myhobbies‟, „TV Program’, dan sebagainya.

b. Penyusunan draft untuk bahan pembicaraan

Langkah kedua dalam pelaksanaan kegiatan 4/3/2 adalah penyusunan draft untuk bahan pembicaraan. Setelah siswa menetapkan topik yang dipilihnya, siswa diminta menyusun draft (bukan tulisan lengkap) tentang apa yang harus disampaikannya. Disini siswa diminta membuat outline untuk bahan pembicaraan selama empat menit. Waktu yang diberikan untuk penyusunan draft pembicaraan adalah sekitar 10 sampai 15 menit. Guru pendamping ditugaskan untuk membantu siswa apabila menemukan kesulitan untuk mengungkapkan pemikirannya.


(50)

c. Pembagian siswa menjadi pembicara dan pendengar

Setelah semua siswa selesai dengan penyusunan draft untuk bahan pembicaraan, siswa dibagi menjadi kelompok berpasangan dengan komposisi tempat duduk di dalam kelas besar dengan susunan tempat duduk sebagai berikut

Skema susunan tempat duduk siswa dan pembagian peran dalam pasangan A B A B A B

Gambar 2.1. Posisi siswa Pembicara dan Pendengar

A. adalah barisan siswa yang berperan sebagai pendengar, sedangkan B adalah barisan siswa yang berperan sebagai pembicara

d. Menetapkan pembicaraan pada empat menit

Setelah siswa menempati posisi masing-masing, guru memberi komando dan menyetel waktu untuk berbicara selama empat menit. Siswa yang mendapat giliran berbicara menyampaikan pemikirannya, sedangkan siswa yang mendapat giliran mendengar memperhatikan apa yang disampaikan oleh temannya tanpa harus memberikan komentar terhadap apa yang disampaikan. Setelah empat menit


(51)

selesai, guru memerintahkan semua siswa yang berbicara untuk menghentikan pembicaraan.

e. Pergantian pasangan

Setelah empat menit pembicaraan pertama selesai siswa diminta untuk berganti pasangan. Siswa yang memperoleh giliran berbicara berpindah tempat duduk untuk berbicara dengan pendengar yang lain.

f. Penetapan pembicaraan pada tiga menit

untuk pembicara menyampaikan apa yang telah dibicarakan terdahulu dengan pasangan yang baru, pada saat ini waktu untuk berbicara dikurangi menjadi tiga menit. Sama seperti yang terdahulu pembicara menyampaikan pemikirannya, sedangkan pendengar menyimak dan menunjukkan tanda bahwa ia menyimak apa yang disampaikan. Setelah waktu tiga menit habis, guru memerintahkan siswa untuk berhenti berbicara.

g. Pergantian pasangan

Setelah waktu berbicara tiga menit selesai, siswa pembicara diminta untuk pindah tempat dan mencari pasangan (pendengar) yang lain.

h. Penetapan pembicaraan pada dua menit

Setelah seluruh siswa memperoleh pasangan yang baru, guru memerintahkan kepada siswa yang berperan sebagai pembicara untuk membicarakan apa yang sudah disampaikan sebelumnya kepada pasangan yang baru selama dua menit. Setelah pembicaraan dua menit selesai guru memerintahkan semua siswa untuk berhenti berbicara.


(52)

i. Pergantian peran pembicara dan pendengar

Setelah tiga kali giliran berbicara selama empat menit, tiga menit, dan dua menit selesai, guru melakukan penggantian peran. Siswa yang sebelumnya berperan sebagai pembicara beralih peran menjadi pendengar sedangkan pendengar beralih peran menjadi pembicara.

j. Pengulangan seluruh proses d sampai h

Seluruh proses pada tahap d dan h di atas diulang sesuai dengan peran siswa yang baru. Pembicara berbicara kepada tiga pendengar berbeda selama empat menit, tiga menit, dan dua menit.

k. Diskusi pengalaman mengikuti kegiatan dan penulisan apa yang telah disampaikan

Setelah semua proses kegiatan selesai, guru meminta semua siswa kembali ke tempat duduk mereka semula. Sesudah itu guru membuka diskusi tentang apa yang telah siswa kerjakan selama aktifitas berlangsung dan bagaimana mereka melaksanakan setiap langkah. Sebagai variasi guru dapat meminta siswa untuk menuliskan kembali apa yang telah mereka bicarakan tanpa harus melihat catatan mereka.

2.10. Kajian Penelitian yang Relevan

Beberapa penelitian yang berkenaan dengan peningkatan kemampuan berbicara sudah sudah banyak dilakukan. Antara lain penelitian yang dilakukan oleh Martini (2011) yang mengusung topik MARTINII, NIM: S.890809026, 2011. Peningkatan Kemampuan Berbicara Siswa melalui Collaborative Learning


(53)

Technique Using Talking Chips (Sebuah Penelitian Tindakan Kelas pada Siswa Kelas XOB SMKN 2 KLaten, Tahun Pelajaran 2010/2011). Penelitian ini ditujukan untuk mengidentifikasi: (1) apakah collaborative learning technique using talking chips dapat meningkatkan kemampuan berbicara siswa; dan (2) bagaimana situasi kelas ketika collaborative learning technique using talking chips diterapkan dalam pembelajaran berbicara bahasa Inggris. Penelitian ini dilaksanakan di SMKN 2 Klaten, dari bulan Agustus 2010 sampai dengan Juni 2011. Subyek dalam penelitian ini adalah siswa kelas XOB SMKN 2 Klaten, tahun pelajaran 2010/2011. Metode penelitian yang digunakan adalah PenelitianTindakan Kelas.Hasil penelitian menunjukkan bahwa collaborative learning dapat meningkatkan: (1) kemampuan siswa dalam berbicara: (a) siswa mampu berbicara dengan lafal pengucapan yang lebih baik; (b) siswa mampu memahami pembicaraan sederhana siswa lainnya saat berdiscusi; (c) siswa mampu merangkai kata dengan gramar yang baik untuk mengungkapkan ide mereka; (d) siswa mampu memilih dan menggunakan kosa kata yang tepat untuk berbicara; dan (e) siswa mampu berbicara lancar.

Penelitian kedua yang relevan dengan kajian ini adalah penelitian Putri Kemala Dewi (2009) dengan judul Peningkatan Kemampuan Berbicara melalui Teknik Diskusi Jigsaw Siswa Kelas VII SMP Negeri 4 Malang berupa penelitian kelas yang sumber datanya berasal dari aktivitas pembelajaran berbicara siswa kelas VIIB SMPN 4 Malang dengan penerapan teknik diskusi jigsaw. Data dalam penelitian ini terbagi menjadi tiga, yakni data proses, data verbal, dan data hasil. Data proses adalah data aktivitas guru dan siswa dalam pembelajaran. Data verbal adalah data berupa tuturan guru dan siswa dalam pembelajaran. Sedangkan data


(54)

hasil berupa data pertanyaan dan respon siswa dari segi kuantitas, kualitas, kelancaran, keberanian, etika, dan bahasa. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan observasi. Analisis data dilakukan dalam 5 langkah, yakni tahap persiapan, pengelompokkan data, analisis data, penyajian data, dan penyimpulan. Berdasarkan analisis data, diperoleh hasil bahwa (1) kemampuan berbicara siswa dari segi kuantitas siswa yang bertanya dan merespon menunjukkan peningkatan sebesar 43 % (21 siswa) dan siswa yang merespon 48 siswa, (2) Kemampuan berbicara siswa dari segi kualitas pertanyaan menunjukkan peningkatan, yaitu 8 orang membuat pertanyaan tingkat tinggi dan 1 orang membuat pertanyaan tingkat rendah. Dalam hal merespon, menunjukkan peningkatan, yaitu 2 orang dikategorikan sangat baik, 5 orang dikategorikan baik, dan 3 orang dikategorikan cukup. (3) Kemampuan berbicara siswa dari segi kelancaran bertanya menunjukkan peningkatan, yakni 5 orang dikategorikan sangat baik dan 4 orang dikategorikan baik. Dalam hal merespon, menunjukkan peningkatan, yaitu 2 orang dikategorikan sangat baik, 9 orang dikategorikan baik, dan 1 orang dikategorikan cukup. (4) Kemampuan berbicara siswa dari segi keberanian bertanya, 5 orang mencapai kualifikasi sangat baik dan 4 orang mencapai kualifikasi baik. Dalam hal merespon, 7 orang mencapai kualifikasi sangat baik dan 2 orang mencapai kualifikasi baik. (5) Dari segi etika bertanya, menunjukkan peningkatan, yaitu 7 siswa dikategorikan sangat baik dan 2 siswa dikategorikan baik. Dari segi etika merespon, 7 orang dikategorikan sangat baik dan 1 orang dikategorikan baik. (6) Dari segi bahasa bertanya, siswa menunjukkan peningkatan, yaitu seluruh siswa dikategorikan sangat baik. Dalam hal merespon, 6 orang siswa dikategorikan sangat baik dan 3 orang siswa dikategorikan baik.


(55)

Penelitian berikutnya yang relevan adalah penelitian Herlina (2013) yang membandingkan kemampuan berbicara siswa SMA di Propinsi Lampung antara mereka yang diajarkan dengan Information gap task berpasangan dengan siswa yang diajarkan dengan information dalam kelompok kecil. Information gap taks yang diberikan adalah potongan gambar bagian dapur rumah, dimana satu siswa memiliki gmbar yang lengkap sedangkan siswa yang lain memiliki informasi yang tidak lengkap. Hasilnya menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara kemampuan berbicara siswa yang diajarkan dengan information gap berpasangan dengan information gap dalam kelompok kecil. Siswa yang diajarkan dengan inforation gap task dalam kelompok kecil lebih baik kemampuan berbicaranya daripada siswa yang diajarkan dengan information gap task berpasangan.

Penelitian berikutnya yang relevan adalah Wenli Tsou (2005) dari National University of Tainan Taiwan yang mengkaji pola interaksi siswa di Taiwan dalam pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing. Disimpulkan bahwa siswa dapat memberikan respon yang tepat apabila diberikan kesempatan menjawab pertanyaan dengan tugas yang relevan. Penelitian ini lebih menitikberatkan pada pola yang dikembangkan guru untuk memancing siswa menjawab pertanyaan yang diajukan.

Dari semua penelitian yang relevan tersebut, mengarah kepada pelatihan yang menuntut siswa untuk berbicara bahasa Inggris melalui penugasan yang bersifat perorang. Kalaupun ada yang berpasangan, siswa hanya dipasangkan sekali saja, bukan untuk dipasangkan secara variatif. Aspek kebahasaan yang lebih dituntut


(56)

kepada siswa untuk berbicara bahasa Inggris adalah pada ketepatan siswa berbicara bukan pada kecepatan atau kelancaran berbicara. Oleh sebab itu perlu penelitian yang lebih mendalam tentang pengaruh berbicara siswa apabila diberi kesempatan berbicara dengan pasangan yang variatif dan penekanan kepada ketapatan (accuracy) dan kelancaran (fluency) berbicara bahasa Inggris. Prinsip inilah yang dikembangkan oleh teknik 4//3/2 yang mengarahkan siswa mampu berbicara secara lancar dan benar tanpa harus takut dengan kehadiran guru.

2.11Kerangka Pikir

Kerangka pikir dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Teknik 4/32 adalah teknik pembelajaran Bahasa Inggris yang lebih menekankan kepada aspek kelancaran berbahasa. Salah satu kekuatan dari teknik ini adalah kesempatan siswa untuk mengungkapkan pokok pemikiran mereka tanpa harus mengalami ketakutan membuat kesalahan yang memungkinkan mereka merasa malu dan kehilangan muka. Karena tidak adanya tekanan untuk merasa takut dan malu siswa akan mengeluarkan kemampuan mereka sebaik mungkin. Oleh sebab itu teknik ini diasumsikan dapat meningkatkan motivasi siswa berbicara dalam Bahasa Inggris sekaligus meningkatkan kemampuan mereka dalam menguasai bahasa Inggris. Disamping mampu meningkatkan kemampuan siswa berbicara bahasa Inggris teknik ini diasumsikan dapat meningkatkan motivasi siswa untuk berbicara dan belajar bahasa Inggris.


(57)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas. Ebbut dalam Wiriatmadja mengatakan: Penelitian Tindakan Kelas (PTK) adalah sajian sistimatika dari upaya perbaikan pelaksanaan praktek pendidikan oleh sekelompok guru dengan melakukan tindakan-tindakan dalam pembelajaran, berdasarkan refleksi mereka mengenai hasil dari tindakan-tindakan tersebut (2005: 12). Pada dasarnya, desain penelitian tindakan kelas melibatkan beberapa siklus, yang pada setiap siklusnya terdiri atas fase perencanaan, implementasi tindakan, observasi/evaluasi, dan refleksi. Siklus-siklus tersebut dilukiskan seperti pada Gambar 1.


(1)

5.3 Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan, maka peneliti dapat mengemukakan beberapa saran dalam penerapan teknik 4/3/2, yaitu sebagai berikut:

1. Meningkatkan keterampilan berbicara, sebaiknya siswa benyak berlatih berbicara dan bertindak sehingga siswa menjadi terbiasa untuk menggunakan bahasa Inggris secara lisan.

2. Pembelajaran bahasa Inggris melalui teknik 4/3/2 sebaiknya dipersiapkan dan dirancang dengan baik. Guru sebaiknya memperhatikan level siswa, utamanya pada pemilihan materi. Materi yang terlalu tinggi bagi siswa dapat mempengaruhi psikologi siswa. Pemilihan topik, tujuan serta aturan permainan dalam 4/3/2 harus disampaikan agar dapat menumbuhkan rangsangan tersendiri bagi siswa. Jika perlu siswa dapat diberdayakan misalnya dalam pemilihan topik. Karena pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang mampu memberdayakan sekaligus membuat siswa aktif. Dengan cara demikian siswa akan terlatih melakukan praktik-praktik bahasa, saling berinteraksi menggunakan bahasa Inggris bersama teman-temannya tanpa mereka sadari sebelumnya.

3. Sebagai pihak yang memiliki kewenangan dalam menentukan kebijakan-kebijakan pendidikan pada tingkat sekolah, maka kepala sekolah diharapkan lebih memperhatikan pengadaan sarana dan prasarana pendukung proses pembelajaran. Kepala sekolah sebaiknya dapat memberikan motivasi dan kesempatan seluas-luasnya kepada guru untuk mengembangkan potensinya dan berani untuk mencoba model-model


(2)

pembelajaran yang aktual. Hal ini dapat dilakukan denganin house training serta pemberian penghargaan terhadap guru yang inisiatif sebagai penyemangat dalam melaksanakan tugasnya.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Alisyahbana, ST. 1990. The teaching of Engish in Indonesia. In J.M. Britton,R.E Shaffer, and K.Watson(Eds.).Teaching and Learning English Worldwide. Cleveland. Multilingual Matters, Ltd.

Arevart, S. & I.S.P Nation. 1991. Fluency improvement in a second language. RELC Journal 1: 84- 95.

Arikunto, S. 2001. Prosedur Penelitian. Jakarta. Rineka Cipta

……… 2001. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Bina Aksara. Jakarta.

Azwar, S. 2003. Sikap Manusia Teori dan Pengukuranya. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Bell Gredler, E. Margaret.1991. BelajardanMembelajarkan. Jakarta: CV. Rajawali

Brown, R.S and Paul Nation. 1997. Teaching Speaking: Suggestions for the Classroom.http://www.jalt-publications.org/tlt/files/97/jan/speaking.html

Brumfit.1984.Communicative Methodology in Language Teaching: Oxford University Press. Cameron.D and David Block. 2002. Globalzation and Language Teaching: Routledge. New

York.

Canale, M. and Swain, M. 1980. Theoretical bases of communicative approaches to second language teaching and testing. Applied Linguistics, 1: 1-47.

Danim, S. 2004. Motivasi Kepemimpinan & Efektivitas Kelompok. Jakarta: Rineka Cipta. Djamarah, Saiful Bahri 2005 Strategi Belajar Mengajar. Rineka Cipta: Jakarta

--- 2002 Psikologi Belajar. Rineka Cipta: Jakarta

Gage, N.L., & Berliner, D. 1979. Educational Psychology. Second Edition, Chicago: Rand Mc. Nally.

Gagne, E.D., 1985. The Cognitive Psychology of School Learning. Boston, Toronto: Little, Brown and Company

Gagne, Robert M. 1989, Kondisi Belajar dan teori pembelajaran. Terjemahan. Munansir, Jakarta.


(4)

Gagné, R. M., Briggs, L. J. & Wager, W. W. 1992. Principles of instructional design (4thed.). New York: Harcourt Brace Jovanovich College Publishers.

Gredler, M. E. 1986.Learning and instruction: Theory into practice. Macmillan:New York. Gunarsa, 2003. PsikologiPerkembanganAnakdanRemaja. PT. BPK GunungMulya: Jakarta. Hall, G. Howard L. Jones. 1976. Competency-Based Education: A Process. For The

Improvement of Education. Englewood Cliffs, N. J.: Prentice-. Hall, 1976.

Higgs, Theodore V.; Clifford, Ray. The Push Toward Communication Eric Clearing House. 1982

Hamalik, O, 2004, Metode Belajar dan Kesulitan Belajar, Bandung: Tarsito Hamzah B.Uno. 2007. Teori Motivasi dan Pengukurannya. Bumi Aksara Jakarta ... 2008. Orientasi dalam Psikologi Pembelajaran. Bumi Aksara. Bandung Heaton, J. B. 1988. Writing English Language Tests. Longman

Herlina. 2013. A Comparative Study of Students’ Speaking Achievement through

Information Gap Task in Pair and in Group at SMA N 1 Kotagajah Central Lampung. FKIP Universitas Lampung. Skripsi.

Heinich, Robert, Michael Molenda, James D Russell, Sharon E Smaldino (1996).

Instructional Media andTechnologies for Learning (5 ed). Englewood Cliffs NJ: Prentice-Hall, Inc.

Izquierdo, E. 2000. Two Way Dual Language Education: The Eye of Bilingual Education and the Heart of Promising Practices (Leadership Vol. 1) Scott Foresman: Glennview, Illinois.

Joni, T. Raka. 1986. Pengukuran dan penilaian pendidikan Surabaya : Karya Anda

Long, M.H. (1998). Group work, interlanguage, and second language acquisition. In Working Papers, Department of ESL., University of Hawaii 4/1: 103-137.

Martini, 2011. PeningkatanKemampuanBerbicaraSiswaMelalui Collaborative Learning Technique Using Talking Chips (SebuahPenelitianTindakanKelaspadaSiswaKelas XOB SMKN 2 KLaten, TahunPelajaran 2010/2011). MA. Tesis:

PendidikanBahasaInggris, Program PascaSarjana, UniversitasSebelasMaret. Maurice, K. (1983). The fluency workshop. TESOL Newsletter, 17 (4), 29.

Miarso, Yusufhadi, 2007. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan, Pranada Media Group: Jakarta

M. Muhtar, 2005: PembelajaranKreatif, http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/1105/29/1106.htm


(5)

Moll, L. C. (Ed.). 1994. Vygotsky and Education: Instructional Implications and Application of Sociohistorycal Psychology. Cambridge: Univerity Press.

... 2006. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar. Bumi Aksara: Jakarta.

Nanang, H. 2009. Konsep Strategi Pembelajaran. Aditama: Bandung.

Nation, P. 1989. Improving speaking fluency. System, 17 (3), 377-384.

Nunan, D. 1999. Second language teaching and learning. Boston: Heinle and Heinle. --- 1993. Language teaching methodology: a textbook for teachers. Prentice Hall. --- 1989. Designing Tasks for the Communicative Classroom.Cambridge University Press, Cambridge

Putri Kemala Dewi. 2009PeningkatanKemampuanBerbicaramelaluiTeknikDiskusi Jigsaw SiswaKelas VII SMP Negeri 4 Malang. Universitas Islam Malang: Malang.

Rafli. 2005.Hubungan Kemampuan Matematika, Motivasi Berprestasi, Dan Sikap Siswa Terhadap Pemesinan Dengan Kemampuan Keterampilan

Pemesinan. Tesis TP.UNILA

Reigeluth, Charles M, 1983,. Instructional Design Theories and model. Lawence Erlabaun Assosiates. London.

Sardiman. 2004. Interaksi Motivasi Belajar Mengajar. Raja Grafindo Persada: Jakarta. Sajavaara, Karl, (Ed.). 1987. Jyväkylä, Finland: Applications Of Cross-Language Analysis University of Jyväskylä,

Schmidt, Richard 1992. Awareness and Second Language Acquisition. Annual Review of Applied Linguistics, 13, pp 206-226.

Skehan, P. 1996, A framework for the implementation of task- based instruction Applied Linguistics 17/1: 38- 62.

Skehan, P. P. Foster.1999.The influence of task structure and processing conditions on narrative retellings. Language Learning 49/1: 93-120.

Skinner. BF. 1975. Verbal Behavior. Cambridge University Press: London.

Smaldino, James Russel dan Michael Molanda.. 2005. Instructional Technology and Media for Learning. Prentice Hall: New York.


(6)

Stren M. 1994. An Introduction to Spoken Interaction. Longman Group Limited: London. Stern, H.H. 1982.Fundamental Concepts of Language Teaching. Oxford University Press:

London.

Sudjana, N. 2004. Penilai Hasil Proses BelajarMengajar. Penerbit Rosda: Jakarta.

Surya, Muhammad. 2003. PsikologiPembelajarandanPengajaran. Bandung: Yayasan Bhakti Winaya.

Suryabrata, Sumadi. 2006. PsikologiKepribadian. Rajawali Press. Jakarta

Swain, M. and M Canale. 1985.Communicative competence: Some Roles of ComprehensibleInput and ComprehensibleOutput in ItsDevelopment. In S.M. Gass and C.G. Madden (Eds.), Input in Second Language Acquisition (pp.235-253).Newbury House:Cambridge

Ur, Penny. 2000. A Course in Language Teaching. Cambridge University Press:Cambridge. Winataputra, dkk. 2007. Materi danPembelajaran IPS di SD. Universitas Terbuka. Jakarta Winataputra, dkk. 2010. Materi danPembelajaran IPS di SD. UNJ. Jakarta.

Wirawan. (1997). Profesi dan Standar Evaluasi. Jakarta: Yayasan & UNHAMKA PRESS Zurnaini. 2008. Hubungan Penggunaan Aneka Sumber Belajar, Metode Belajar, Dan

Aktivitas Belajar Dengan Prestasi Belajar Pada Mata Pelajaran Pkn Tahun Pelajaran 2005/2006.TP Unila.

Zhang, Wenzhong. 2002. The Development of L2 Oral Fluency in EFL Classroom Setting. Changsha: Hunan Education Press.

Zhou ,Aijie. 2002.A study of the effects of the 4/32 technique on the fluency improvement in oral English. Journal of Guangdong Polytechnic Normal University 2: 102- 105. ---. 2006.A Further Study of the Effects of the 4/3/2 Technique on Spoken English