BAB II TINJAUAN TEORI A. Stabilitas Emosi 1. Pengertian Stabilitas Emosi - BAB II TIKA IRAWATI PSIKOLOGI'18

BAB II TINJAUAN TEORI A. Stabilitas Emosi 1. Pengertian Stabilitas Emosi Menurut Gerungan (dalam Dewi, 2010) bahwa stabilitas emosi atau

  kematangan emosi adalah kematangan atau kemantapan untuk mengintegrasikan keinginan, cita-cita, kebutuhan atau perasaan ke dalam kepribadian yang pada dasarnya bulat dan harmonis. Dijelaskan pula oleh Hurlock (dalam Dewi, 2010) bahwa kematangan emosi adalah individu mampu memiliki situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara emosional, pada emosi yang matang memberikan reaksi emosional yang stabil.

  Stabilitas emosi merupakan keadaan emosi seseorang yang bila mendapat rangsangan-rangsang emosional dari luar tidak menunjukkan gangguan emosional, seperti depresi dan kecemasan. Dengan kata lain, individu tersebut tetap dapat mengendalikan dirinya dengan baik.

  Menurut Sharma (2006) menjelaskan bahwa, kestabilan emosi berarti kondisi yang benar-benar kokoh, tidak mudah berbalik atau terganggu, memiliki keseimbangan yang baik dan mampu untuk menghadapi segala sesuatu dengan kondisi emosi yang tetap atau sama. Menurut Smitson (dalam Aleem, 2005), menyatakan bahwa kestabilan emosi merupakan proses dimana kepribadian secara berkesinambungan berusaha mencapai kondisi emosi yang sehat dan selaras dalam jiwa dan raga.

  Di dalam kamus psikologi (Arthur dan Emily, 2010) istilah stabilitas emosi yaitu mencirikan keadaan seseorang yang dewasa/matang secara emosi, yang reaksi-reaksi emosinya tepat bagi situasi dan konsisten dari suatu kondisi dengan kondisi yang lain.

  Kesimpulan yang dapat diambil bahwa stabilias emosi adalah keadaan seseorang yang memiliki emosi yang matang dan ketika mendapatkan rangsangan dari luar tidak memunculkan gangguan emosional, yaitu memiliki keseimbangan yang baik dan mampu untuk menghadapi segala sesuatu dengan kondisi emosi yang tetap atau sama.

2. Karakteristik Individu yang Memiliki Emosi Stabil dan Tidak Stabil

  Menurut Aleem (dalam Ekawati, 2001) karakteristik kestabilan emosi meliputi mampu merespon perubahan situasi dengan baik, mampu menunda respon, terutama respon negatif, bebas dari rasa takut yang tidak beralasan dan mau mengakui kesalahan tanpa merasa malu.

  Morgan dan King (dalam Ekawati, 2001) mengemukakan adanya perbedaan karakteristik psikologi antara individu yang mempunyai emosi stabil dengan individu yang memiliki emosi tidak stabil. Individu yang mempunyai emosi stabil adalah individu yang mempunyai ciri-ciri: kreatifitas; produktif; tidak mudah cemas, tegang serta frustasi, mandiri, semangat tinggi, dan efisien. Sebaliknya, individu yang menunjukkan sifat- sifat antara lain: tidak produktif, mudah cemas, tegang, frustasi serta kurang hati-hati, tergantung, kurang semangat dan tidak efisien.

  3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kestabilan Emosi Morgan dan King (dalam Ekawati, 2001), mengemukakan beberapa

  faktor kestabilan emosi seseorang yaitu : a) kondisi fisik, b) pembawaan, dan

  c) steaming atau suasana hati. Selain itu, menurut Young (dalam Ekawati, 2001), faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan emosi yaitu faktor lingkungan, pengalaman, dan faktor individu.

  4. Aspek –aspek stabilitas emosi

  Schneider (dalam Dewi, 2010) mengemukakan bahwa stabilitas emosi didukung oleh kesehatan emosi serta penyesuaian emosi yang terdiri tiga aspek yaitu:

  a. Adekuasi emosi Aspek ini berhubungan dengan respon emosi, mempunyai sifat baik dan sehat, oleh karena itu untuk memperoleh kesehatan emosi tidak dengan cara menahan atau menghilangkan reaksi emosi yang timbul. Sikap tenang dan dingin merupakan penyesuaian emosi yang baik. Tuntunan kehidupan membutuhkan reaksi emosi yang memadai atau adekuasi yang isinya tidak menyulutkan dan tidak merusak penyesuaian personal, sosial dan emosi.

  b. Kematangan emosi Kematangan emosi merupakan kemampuan seseorang untuk melakukan reaksi emosi sesuai dengan tingkat perkembangan pribadi.

  Gilmer (dalam Dewi, 2010) mengemukakan bahwa kematangan emosi tidak mempunyai batasan umur, artinya kematangan emosi seseorang tidak bisa dilihat. Gilmer mengemukakan indikator kematangan emosi seseorang dapat dilihat dari kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap stress, tidak mudah khawatir atau cemas dan tidak mudah marah. Definisi tentang kematangan emosi merupakan suatu keadaan tercapainya tingkat kedewasaan dalam perkembangan emosi.

  c. Kontrol emosi Kontrol emosi merupakan fase khusus dari kontrol diri yang sangat penting bagi tercapainya kematangan, penyesuaian dan kesehatan mental.

  Kontrol emosi ini meliputi pengaturan emosi dan perasaan sesuai dengan tuntutan lingkungan atau situasi dan standar dalam diri individu yang berhubungan dengan nilai-nilai, cita-cita serta prinsip. Indikasi kontrol yang kurang baik dapat di lihat dari timbulnya kegagalan pada hal-hal sebagai berikut, pengaturan perasaan seksual, pembatasan kesenangan pada materi, penempatan moralitas diatas kesenangan sementara serta penghindaran diri sedikit dari stimulus yang menyulitkan individu yang mampu mengekspresikan emosi secara tepat akan memperoleh kepuasan untuk mengarahkan energi emosi ke dalam aktivitas yang kreatif dan produktif (Smith, 1955). Kontrol emosi termasuk salah satu aspek kontrol diri, yaitu dengan menghadapi situasi dengan sikap rasional, mampu memberikan respon dan mengartikan situasi secara tepat dan tidak berlebihan.

  Aspek diatas menjelaskan bahwa stabilitas emosi kesehatan emosi serta penyesuaian emosi yang terdiri tiga aspek yaitu: Adekuasi emosi, kematangan emosi dan kontrol emosi. Apabila ketiga aspek itu berfungsi dengan baik maka dapat menjadikan penyesuaian, pengaturan emosi dan perasaan sesuai dengan tuntutan lingkungan atau situasi dan standar dalam diri, kematangan emosi seseorang dapat dilihat dari kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap stress, tidak mudah khawatir atau cemas dan tidak mudah marah dan pada akhirnya mencapai suatu keadaan dengan tercapainya tingkat kedewasaan dalam perkembangan emosi.

B. Kontrol Diri 1. Pengertian Kontrol Diri

  Pengertian kontrol diri menurut Ghufron & Risnawita (2016) merupakan suatu kecakapan individu dalam kepekaan membaca situasi diri dan lingkungannya. Selain itu juga, kemampuan untuk mengontrol dan mengelola faktor-faktor perilaku sesuai dengan situasi dan kondisi untuk menampilkan diri dalam melakukan sosialisasi kemampuan untuk mengendalikan perilaku, kecenderungan untuk menarik perhatian, keinginan mengubah perilaku agar sesuai untuk orang lain, menyenangkan orang lain, selalu konform dengan orang lain, dan menutupi perasaannya.

  Calhoun dan Acocella (dalam Ghufron & Risnawita, 2016), mendefinisikan kontrol diri (self control) sebagai pengaturan proses-proses fisik, psikologis dan perilaku seseorang, dengan kata lain serangkaian proses yang membentuk dirinya sendiri. Kontrol diri juga menggambarkan keputusan individu yang melalui pertimbangan kognitif untuk menyatukan perilaku yang telah disusun untuk meningkatkan hasil dan tujuan tertentu seperti yang diinginkan.

  Menurut Chaplin (dalam Hassassana, 2015) kontrol diri adalah kemampuan untuk membimbing tingkah lakunya sendiri, kemampuan untuk menekan atau merintangi implus-implus atau tingkah laku yang impulsif. Secara fungsional didefinisikan sebagai konsep dimana ada atau tidak adanya seseorang memiliki kemampuan untuk mengontrol tingkah lakunya yang tidak hanya ditentukan cara dan teknik yang digunakan melainkan berdasarkan konsekuensi dari apa yang mereka lalukan. Sedangkan menurut Rachdianti (2011), berpendapat bahwa self control atau kontrol diri merupakan kemampuan untuk mengarahkan kesenangan naluriah langsung dan kepuasan untuk memperoleh tujuan masa depan, yang biasanya di nilai secara sosial.

  Di dalam kamus psikologi (Arthur dan Emily, 2010), self control adalah mengendalikan diri sendiri, yaitu kemampuan mengendalikan implusivitas dengan menghambat hasrat-hasrat jangka pendek yang muncul spontan, konotasi dominannya adalah merepresi atau menghambat.

  Berdasarkan dari beberapa pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa kontrol diri (self control) adalah kemampuan seseorang untuk membimbing tingkah lakunya sendiri, mampu mengendalikan emosi serta dorongan-dorongan dalam dirinya yang berhubungan dengan orang lain, lingkungan, pengalaman yang bersifat fisik maupun psikologis untuk memperoleh tujuan di masa depan dan dinilai secara sosial.

  2. Macam-macam Kontrol Diri

  Menurut Skinner (dalam Hassassana, 2015), berdasarkan konstruknya, kontrol diri dapat dibedakan menjadi 3 yaitu :

  a.

   Objective Control Objective control atau sering disebut actual control adalah kontrol

  diri yang dimunculkan oleh individu secara nyata dalam suatu situasi tertentu.

  b. Subjective control

  Subjective control atau sering disebut perceived control yaitu

  keyakinan yang dimiliki oleh individu bahwa individu tersebut memiliki kontrol diri.

  c.

   Experiences control Experiences control yaitu perasaan yang dimiliki oleh individu pada

  saat individu berinteraksi dengan lingkungannya, dan pada saat yang sama individu akan berusaha mencapai suatu hasil tertentu atau menghindari hasil yang tidak diinginkan.

  3. Ciri-Ciri Kontrol Diri

  Menurut Ghufron & Risnawati (dalam Wulandari, 2015) mengatakan ciri-ciri kontrol diri diantaranya yaitu; (1) kemampuan mengontrol perilaku; (2) kemampuan mengontrol stimulus; (3) kemampuan mengantisipasi peristiwa; (4) kemampuan menafsirkan peristiwa; (5) kemampuan mengambil keputusan

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi kontrol diri

  Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kontrol diri yaitu :

  a. Orientasi religius Bergin (dalam Dewi, 2014), orientasi religius dapat memiliki beberapa konsekuensi positif, termasuk variabel kepribadian seperti kecemasan, kontrol diri, keyakinan irasional, depresi dan sifat kepribadian lain. Orientasi religius berkorelasi positif dengan kontrol diri, disamping itu ada hubungan antara religius dan kepribadian positif.

  b. Pola asuh orang tua Disiplin yang diterapkan orangtua merupakan hal yang penting dalam kehidupan, karena dapat mengembangkan self control dan self direction, sehingga seseorang bisa mempertanggungjawabkan dengan baik segala tindakan yang dilakukannya. Hurlock (dalam Hassassana, 2015).

  c. Faktor kognitif Menurut Mischee, dkk (dalam Dewi, 2014), kemampuan individu untuk mengendalikan diri dipengaruhi oleh perencanaan yang baik dalam bertindak. Individu dapat melakukan berbagai usaha untuk mengendalikan dirinya dengan cara berusaha untuk tidak melihat stimulus melainkan kegiatan yang dapat mengalihkan perhatian stimulus.

  Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa faktor- faktor yang mempengaruhi kontrol diri adalah orientasi religius, pengaruh pola asuh orang tua, dan faktor kognitif.

5. Aspek-aspek kontrol diri

  Menurut Averiil (dalam Hassassana, 2015) terdapat empat aspek kontrol diri, yaitu : a. Kontrol perilaku

  Yaitu kesiapan atau tersedianya suatu respon yang dapat secara langsung mempengaruhi/memodifikasi suatu keadaan yang tidak menyenangkan.

  b. Kontrol kognisi Yaitu cara remaja dalam menafsirkan atau menggabungkan suatu kejadian dalam suatu kerangka kognitif. Kemampuan tersebut terdiri atas dua tahapan yaitu memperoleh informasi dan melakukan penilaian.

  c. Kontrol keputusan Yaitu kemampuan remaja untuk memilih hasil atau tujuan yang diinginkan dengan memilih satu aksi yang sesuai dengan pencapaian tujuan tersebut, dari berbagai macam pilihan aksi yang dapat dilakukan oleh remaja.

  d. Kontrol emosi Yaitu kemampuan menghadapi situasi dengan sikap rasional, mampu memberikan respon dan mengartikan situasi secara tepat dan tidak berlebihan, sehingga terbentuk perilaku yang kuat. Kontrol emosi yang dilakukan meliputi kontrol emosi positif (marah, sedih, takut, cemas, malu, benci, rasa bersalah, muak). berdasarkan aspek diatas dapat disimpulkan ada 4 aspek menurut Menurut Averiil (dalam Hassassana, 2015), yaitu kontrol perilaku, kontrol kognisi, kontrol keputusan dan kontrol emosi.

6. Teknik Kontrol Diri

  Ada tiga teknik kontrol diri yang dikemukakan oleh Cormier (dalam Kristanti, 2003) antara lain :

  a. Self-Monitoring, suatu proses dimana individu mengamati dan peka terhadap segala sesuatu tentang dirinya dan interaksinya dengan lingkungan. Self-monitoring bersifat reaktif, yaitu tindakan yang selalu mencatat perilaku dapat menyebabkan perubahan, meskipun tidak ada keinginan untuk berusaha sendiri untuk mengadakan perubahan. Dalam

  self-monitoring , individu tidak memberi dirinya sendiri penguatan internal yang otomatis.

  b. Self-Reward, cara mengubah tingkah laku yang dapat dilakukan dengan memberi hadiah atau hal-hal yang menyenagkan apabila perilaku yang diinginkan berhasil.

  c. Stimulus-control, suatu teknik yang digunakan untuk mengurangi ataupun meningkatkan perilaku tertentu. Teknik ini menekankan pada pengaturan kembali dan modifikasi lingkungan sebagai stimulus kontrol sebagai susunan suatu kondisi lingkungan yang ditetapkan untuk menjadikan suatu hal yang tidak mungkin atau yang menggantungkan tingkah laku yang biasa terjadi.

  Dapat disimpulkan bahwa ada tiga teknik kontrol diri yang dikemukakan oleh Cormier (dalam Kristanti, 2003) yaitu Self-Monitoring, suatu proses dimana individu mengamati dan peka terhadap segala sesuatu tentang dirinya dan interaksinya dengan lingkungan. Self-Reward, cara mengubah tingkah laku yang dapat dilakukan dengan memberi hadiah atau hal-hal yang menyenagkan apabila perilaku yang diinginkan berhasil. Stimulus-control, suatu teknik yang digunakan untuk mengurangi ataupun meningkatkan perilaku tertentu.

C. Hipertensi 1. Pengertian Hipertensi

  Hipertensi menurut Martuti (2009) merupakan gangguan kesehatan yang mematikan. Ia dijuluki sebagai silent killer, karena penderita sering tidak merasakan adanya gejala dan baru mengetahui ketika memeriksa tekanan darah atau sesudah kondisinya parah seperti timbulnya kerusakan organ. Penyakit ini dikenal juga sebagai heterogeneous group of disease karena dapat menyerang siapa saja, tidak memandang umur dan sosial- ekonomi. Menurut Deby (2015) penyakit hipertensi merupakan salah satu masalah kardiovaskuler terbanyak yang disebabkan oleh berbagai faktor resiko.

2. Macam-Macam Gejala Hipertensi

  Menurut Martuti (2009), gejala yang ditunjukan, biasanya ringan dan tidak spesifik, misalnya pusing-pusing, muka merah, sakit kepala, keluar darah dari hidung secara tiba-tiba, tengkuk terasa pegal, dll. Namun jika hipertensinya berat dan menahun dn tidak diobati bisa timbul gejala seperti : sakit kepala, kelelahan, mual, muntah, sesak napas, napas pendek (terengah- engah), gelisah, pandangan mata kabur dan berkunang-kunang, emosional, telinga berdengung, sulit tidur, tengkuk terasa berat, nyeri kepala dibagian belakang dan di dada, otot melemah, terjadi pembengkakan pada kaki dan pergelangan kaki, keringat berlebihan, kulit tampak pucatatau kemerahan, denyut jantung yang kuat, cepat dan tidak teratur, impotensi, pendarahan di urine, dan mimisan (meski ini jarang terjadi).

3. Faktor Resiko Penyakit Hipertensi

  Faktor resiko yang dapat dimodifikasi, antara lain gangguan psikologis dan stres, merokok, obesitas, hiperlipidemia/ hiperkolesterolemia, bertambahnya jumlah darah yang dipompa ke jantung, penyakit ginjal, penyakit kelenjar adrenal, kurang berolahraga, konsumsi garam dan alkohol berlebih. Sedangkan faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi, antara lain usia, jenis kelamin dan genetik (Smeltzer, 2004). Dari berbagai penyebab tersebut, masalah utama yang mempengaruhi terjadinya hipertensi adalah terjadinya gangguan pada sistim saraf otonom dan sirkuasi hormon. Menurut Martuti (2009), hipertensi dapat memperbesar resiko terserang penyakit gagal jantung, terkena serangan jantung, resiko tinggi penyakit arteri koroner, pembesaran ventrikel kiri jantung, diabetes, penyakit ginjal kronis dan serangan stroke.

  Menurut Udjianti (dalam Susanti, 2015) pengaturan tahanan perifer dipertahankan oleh sistem saraf otonom dan sirkulasi hormon. Stimulus negatif yang diperoleh tubuh dapat mempengaruhi kerja sistem saraf otonom dan sirkulasi hormon. Stimulus negatif tersebut dapat berupa stres fisik maupun stres psikologis sehingga menyebabkan ketidakstabilan emosional dan akan memicu rangsangan di area pusat vasomotor yang terletak pada medula otak. Rangsangan area ini akan mengaktivasi sistem saraf simpatis dan pelepasan berbagai hormon yang selanjutnya akan mempengaruhi terjadinya peningkatan tekanan darah.

  4. Macam-Macam Penyakit Hipertensi

  Menurut Martuti (2009) berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibedakan menjadi dua golongan yaitu hipertensi primer dan hipertensi sekunder.

  a. Hipertensi primer apabila penyebab terjadinya tekanan darah tinggi tidak atau belum diketahui, sangat kompleks, merupakan interaksi dari berbagai jenis variabel.

  b. Hipertensi sekunder terjadi sebagai akibat sekunder dari penyakit lain yang bisa diketahui dengan pasti, yaitu di antaranya gangguan pada ginjal, terganggunya keseimbangan hormone yang merupakan faktor pengatur tekanan darah, pengaruh obat-obatan seperti pil KB, kortikosteroid, siklosporin, eritropoietin, kokain, penyalahgunaan alkohol, kayu manis (dalam jumlah yang sangat besar).

  5. Faktor-Faktor Penyebab Penyakit Hipertensi

  Beberapa faktor yang pernah dikemukakan oleh (Gray, dkk, 2003) secara relevan terhadap mekanisme penyebab hipertensi adalah sebagai berikut :

  a. Genetik Di banding orang yang berkulit putih orang kulit hitam di Negara barat lebih banyak menderita hipertensi, lebih tinggi tingkat hipertensinya, dan lebih besar tingkat morbiditas maupun mortalitasnya. Sehingga diperkirakan ada kaitanhipertensi dengan perbedaan genetik. Beberapa peneliti mengatakan terdapat kelainan pada gen angiotensinogen tetapi mekanismenya mungkin bersifat poligenik.

  b. Geografi dan lingkungan Terdapat perbedaan tekanan darah yang nyata antara populasi kelompok daerah kurang makmur dengan daerah maju, seperti bangsa

  Indian, Ameriks Selatan yang tekanan darahnya rendah dan tidak banyak meningkat sesuai dengan pertambahan usia dibanding masyarakat Barat.

  c. Janin Faktor ini dapat memberikan pengaruh karena berat lahir rendah tampaknya merupakan predisposisi hipertensi di kemudian hari, barangkali karena lebih sedikitnya jumlah nefron dan lebih rendahnya kemampuan mengeluarkan natrium pada bayi dengan berat lahir rendah.

  d. Jenis kelamin Hipertensi lebih jarang ditemukan pada perempuan pra-menopause dibanding pria, yang menunjukkan adanya pengaruh hormone.

  e. Natrium Banyak bukti yang mendukung peran natrium dalam terjadinya hipertensi, barangkali karena ketidak mampuan mengeluarkan natrium secara efisien baik diturunkan atau di dapat. Ada yang berpendapat bahwa terdapat hormon natriuretik (de Wardener) yang menghambat aktivitas sel pompa natrium (ATPase natrium-kalium) dan mempunyai efek penekanan. f. Sistem renin-angiotensin Renin memicu produksi angiotensin (zat penekan) dan aldosterone

  (yang memacu natrium dan terjadinya retensi air sebagai akibat). Beberapa studi telah menunjukkan sebagian pasien hipertensi primer mempunyai kadar renin yang meningkat, tetapi sebagian besar normal atau rendah, disebabkan efek homeostatic dan mekanisme umpan balik karena kelebihan beban volume dan peningkatan TD dimana keduannya diharapkan akan menekan produksi renin.

  g. Hiperaktivitas simpatis Dapat terlihat pada hipertensi umur muda. Katekolamin akan memacu produksi renin, menyebabkan konstriksi arteriol dan vena dan meningkatkan curah jantung.

  h. Resistensi insulin/hiperinsulinemia Kaitan hipertensi primer dengan resistensi primer dengan resistensi insulin telah diketahui sejak beberapa tahun silam, terutama pada pasien gemuk. Insulin merupakan zat penekan karena meningkatkan kadar katekolamin dan reabsorpsi natrium. i. Disfungsi sel endorel

  Penderita hipertensi mengalami penurunan respons vasodilatasi terhadap nitrat oksida dan endotel mengandung vasodilatator seperti endotelin-1, meskipun kaitannya dengan hipertensi tidak jelas.

  6. Riwayat Penyakit

  Menurut Martuti (2009) penderita hipertensi biasanya tidak menunjukkan gejala, kenaikan tekanan darah baru diketahui sewaktu pemeriksaan skrining kesehatan, dengan tujuan masuk kerja ataupun asuransi kesehatan. Menurut Gray, dkk (2005) gejala hipertensi adalah (sakit kepala, pusing, tinnitus, pingsan) hampir sama dengan kebanyakan orang normotensi. Adanya sakit kepala ternyata tidak banyak berkorelasi dengan tekanan darah. Kerusakan organ, terutama jantung, otak, dan ginjal, berkaitan dengan derajat keparahan hipertensi.

  Kesimpulannya bahwa hipertensi merupakan penyakit yang biasanya tidak menimbulkan gejala dan baru diketahui ketika memeriksa tekanan darah atau sesudah kondisinya parah seperti timbulnya kerusakan organ seperti jantung, otak, dan ginjal, berkaitan dengan derajat keparahan hipertensi.

  7. Hubungan Antara Kontrol Diri (Self Control) Dengan Stabilitas Emosi Pada Penderita Hipertensi Di Puskesmas I Purwokerto Timur.

  Hipertensi menurut Martuti (2009) merupakan gangguan kesehatan yang mematikan. Hipertensi dijuluki sebagai silent killer, karena penderita sering tidak merasakan adanya gejala dan baru mengetahui ketika memeriksa tekanan darah atau sesudah kondisinya parah seperti timbulnya kerusakan organ. Penyakit ini dikenal juga sebagai heterogeneous group of disease karena dapat menyerang siapa saja, tidak memandang umur dan sosial- ekonomi.

  Dalam Rofakcy dan Aini (2015) hipertensi dapat berakibat fatal jika tidak dikontrol dengan baik atau biasa disebut dengan komplikasi.

  Komplikasi hipertensi terjadi karena kerusakan organ yang diakibatkan peningkatan tekanan darah sangat tinggi dalam waktu lama. Selain itu jantung membesar karena dipaksa meningkatkan beban kerja karena saat memompa melawan tingginya tekanan darah.

  Beberapa bahaya atau dampak buruk yang dapat di timbulkan karena darah tinggi atau hipertensi seperti :1) stroke, 2) retinopati hipertensif, 3) pembuluh darah arteri, 4) gangguan pada ginjal, 5) serangan jantung, 6) sindrom metabolic, 7) menyebabkan kelelahan, 8) rasa nyeri pada bagian dada, 9) sakit kepala dan pusing, 10) denyut nadi dan jantung yang tidak teratur, dan 11) menjadi mudah marah, yaitu menjadi salah satu dampak buruk yang sudah terbukti dan sering dialami orang yang mempunyai penyakit hipertensi yaitu mudah marah atau memiliki emosi yang tidak stabil hal itu terjadi ketika tekanan darahnya sedang tinggi-tingginya. Hal ini akan membuat penderita mudah marah dan merasa bahwa segala sesuatu yang ada di sekitarnya adalah sesuatu yang sangat mengganggu bagi dirinya. Dan menurut Martuti (2009), hipertensi dapat memperbesar resiko terserang penyakit gagal jantung, terkena serangan jantung, resiko tinggi penyakit arteri koroner, pembesaran ventrikel kiri jantung, diabetes, penyakit ginjal kronis dan serangan stroke.

  Hal itu menjadikan emosi menjadi tidak stabil, seperti yang dikemukakan oleh Morgan dan King (dalam Ekawati, 2001) mengemukakan individu yang menunjukkan sifat-sifat antara lain: tidak produktif, mudah cemas, tegang, frustasi serta kurang hati-hati, tergantung, kurang semangat dan tidak efisien termasuk individu yang memiliki stabilitas emosi yang tidak stabil. Hurlock (dalam Dewi, 2010) menyatakan memberikan reaksi emosional yang stabil bisa dilakukan dengan cara mengontrol emosi, dengan menghadapi situasi dengan sikap rasional, mampu memberikan respon dan mengartikan situasi secara tepat dan tidak berlebihan, sehingga terbentuk perilaku yang kuat. Kontrol emosi yang dilakukan meliputi kontrol emosi positif (marah, sedih, takut, cemas, malu, benci, rasa bersalah, muak).

  Kontrol emosi yang merupakan fase khusus dari kontrol diri yang sangat penting bagi tercapainya kematangan, penyesuaian dan kesehatan mental. Dengan kontrol diri adalah benteng yang mencegah seseorang dari kesalahan-kesalahan dan yang terlibat dari masalah. Sifat ini mampu mengendalikan kemarahan dan tergesa-gesaan. Ia memungkinkan seseorang bepikir sebelum mengambil tindakan, bukan bertindak dahulu baru berpikir sehingga dapat menjadikan emosi seseorang menjadi stabil dan terarahkan ke dalam hal-hal yang positif.

D. Dinamika Psikologis

  Gambar I. Kerangka Dinamika Psikologis

  Keterangan : Hipertensi menurut Martuti (2009) merupakan gangguan kesehatan yang mematikan. Ia dijuluki sebagai silent killer. Menurut Martuti (2009), hipertensi dapat memperbesar resiko terserang penyakit gagal jantung, terkena serangan jantung, resiko tinggi penyakit arteri koroner, pembesaran ventrikel kiri jantung, diabetes, penyakit ginjal kronis dan serangan stroke. yang menyebabkan faktor psikologis seperti stress, gangguan emosional, mudah khawatir, takut dan cemas yang termasuk individu yang memiliki stabilitas emosi yang tidak stabil.

  Pasien Hipertensi Dampak Psikis : Stress, gangguan emosional, mudah khawatir, takut dan cemas

  Dampak Fisik :

  resiko terserang penyakit gagal jantung, terkena serangan jantung, resiko tinggi penyakit arteri koroner, pembesaran ventrikel kiri jantung, diabetes, penyakit ginjal kronis dan serangan stroke.

  Stabilitas Emosi Kontrol Diri Tinggi Rendah

  Tinggi Rendah

E. Hipotesis

  Berdasarkan uraian di atas, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu ada hubungan antara kontrol diri (self control) dengan stabilitas emosi pada penderita hipertensi di Puskesmas I Purwokerto Timur.