BAB II LANDASAN TEORI II. A. Emosi II. A. 1. Definisi emosi - Parental Emotional Coaching untuk Meningkatkan Kemampuan Menghadapi Emosi Negatif Anak Tunarungu

BAB II LANDASAN TEORI II. A. Emosi II. A. 1. Definisi emosi Kata emosi berasal dari bahasa Prancis emotion, dari kata emouvoir, yang

  berarti kegembiraan. Selain itu emosi juga berasal dari bahasa Latin emovere yang berarti “luar” dan movere yang berarti “bergerak”. Lahey (2003) mengatakan emosi merupakan suatu hal yang dihasilkan oleh fisiologis yang menyebabkan munculnya reaksi emosi. Reaksi ini tidak dapat dibaca namun hanya dapat dilihat dari ekspresinya dan perilaku saja.

  Menurut Prezz dalam Syukur (2011) emosi merupakan reaksi tubuh saat menghadapi situasi tertentu. Sifat dan intensitas emosi sangat berkaitan erat dengan aktivitas kognitif (berfikir) manusia sebagai hasil persepsi terhadap situasi yang dialaminya. Reaksi manusia terhadap hadirnya emosi, disadari atau tidak memiliki dampak yang bersifat membangun atau merusak. Dengan demikian bisa dikatakan emosi tidak hanya merupakan reaksi terhadap kondisi diri sendiri maupun luar diri sendiri, tetapi juga upaya pencapaian ke arah pembentukan diri menuju hidup yang transendental (spiritual).

  Sementara itu, menurut Lazarus (dalam Gross, 2002) menyatakan bahwa

  emotions represent the ‘wisdom of the ages” – emosi-emosi mengambarkan

  “kebijaksanaan usia”, membutuhkan respon-respon yang telah teruji waktu terhadap masalah-masalah adaptif yang berulang. Hal yang penting, bagaimanapun, emosi-emosi tidak memaksa kita untuk berespon dalam suatu cara tertentu, emosi-emosi hanya membuat kita lebih berkemungkinan untuk mengambil tindakan tertentu. Hal inilah yang membuat kita mampu untuk mengatur emosi kita. Saat merasa takut, kita bisa saja lari, namun tidak selalu akan berlari. Saat marah, kita bisa saja menghantam sesuatu, tetapi juga tidak selalu. Bagaimana kita meregulasi emosi kita merupakan suatu persoalan dari bagaimana kesejahteraan (well-being) tidak mungkin dipisahkan dari kaitannya dengan emosi kita.

  Menurut Frijda (dalam Nyklicek, Vingerhoets, Zeelenberg, 2011) emosi adalah fenomena dasar dari fungsi manusia, secara normalnya memiliki nilai adaptif untuk meningkatkan keefektifan kita dalam hal mencapai tujuan kita dalam arti yang lebih luas. Pada level antar individu, emosi membantu menginformasikan kepada orang lain mengenai emosi yang mendasari dan maksud suatu perilaku. Pertukaran informasi antar masing-masing orang merupakan hal yang penting bagi suatu hubungan antar manusia, hal yang menentukan dari kesejahteraan sosial dan psikologis. Selain itu juga berfungsi sebagai intrapersonal atau hubungan dengan dirinya sendiri. Seperti dalam hal memperoleh insight kedalam nilai personal seseorang yang penting untuk mengambil suatu keputusan.

  Berdasarkan dari berbagai definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa emosi adalah respon kognitif, perasaan, dan perilaku yang muncul akibat stimulus tertentu.

II. A. 2. Ciri-ciri utama emosi

  Tiga ciri utama dari emosi menurut Gross (2007) merupakan prototype yang berhubungan dari penyebab awal adanya emosi, respon terhadap emosi, dan hubungan antara penyebab awal adanya emosi dan respon terhadap emosi. Ketiga ciri-ciri utama tersebut adalah:

  1. Emosi-emosi akan mencul saat seseorang berada pada suatu situasi dan melihat sesuatu yang berhubungan dengan tujuannya. Apapun tujuannya, dan apapun sumber makna dari situasinya bagi seseorang, hal ini memberikan arti bagi seseorang, dan arti ini bisa membangkitkan emosi seseorang. Berdasarkan arti tersebut terjadi perubahan dari waktu ke waktu (baik perubahan berarti dalam situasi itu sendiri maupun perubahan pada arti situasinya), maka emosi juga akan berubah.

2. Emosi itu berbagai jenis.

  3. Emosi lebih menekankan pada pentingnya kualitas – hal ini seperti yang dikemukakan Fri jda (1986) yang membuat istilah “ control precedence” – berarti bahwa emosi-emosi bisa menginterupsi apa yang sedang kita lakukan dan memaksa masuk kedalam kesadaran kita. Bagaimanapun, emosi sering bersaing dengan respon lain yang juga dihasilkan dari lingkungan sosial dimana emosi itu berperan. Kemampuan emosi untuk berubah sudah ditekankan oleh William James (1884), yang menyatakan bahwa emosi sebagai respon kecenderungan yang bisa dihasilkan dari berbagai cara. Aspek ketiga dari emosi inilah yang menjadi hal penting untuk analisa regulasi emosi karena ciri ini membuat regulasi bisa dilakukan.

  Berdasarkan dari ketiga ciri emosi diatas dapat disimpulkan bahwa emosi dapat muncul saat seseorang melihat tujuannya, emosi itu terdiri dari berbagai jenis dan emosi itu dapat diubah dan diregulasi. Ciri yang ketiga bahwa emosi dapat diregulasi atau diatur ini yang menjadi dasar dari analisa regulasi emosi.

II.A.3. Bagian-Bagian Emosi

  Secara umum emosi yang terdapat di dalam diri manusia terdiri dari dua bagian yaitu emosi positif dan emosi negatif. Hal-hal positif dan negatif memang sellau datang silih berganti dalam kehidupan kita. Terkadang, kita terlalu egois dalam menyikapi kondisi yang di alami, karena ingin semua hal yang terjadi berjalan positif atau mungkin juga kita tidak mampu bersabar menunggu waktu datangnya hal positif setelah terjebak sekian lama dalam kondisi yang negatif.

  a.

  Emosi Positif Emosi positif adalah emosi yang mampu menghadirkan perasaan positif terhadap seseorang yang mengalaminya. Hill (dalam Syukur, 2011) mengatakan bahwa terdapat tujuh macam emosi yang masuk dalam emosi positif, diantaranya adalah hasrat, keyakinan, cinta, seks, harapan, romansa dan antusiasme. Ketujuh emosi tersebut merupakan bentuk emosi yang paling dominan, kuat, dan paling umum digunakan dalam usaha kreatif. Jenis emosi ini dapat menunjang keberhasilan karir dan dianggap tidak merugikan orang lain. Seberapa besar keberhasilan dari emosi positif ini tergantung dari batas kewajaran yang digunakannya.

  Dari kenyataan yang sering terjadi, energi emosi positif lebih baik digunakan dalam proses mengingat jika dibandingkan dengan energi emosi negatif. Emosi yang positif akan menghadirkan perasaan senang, sebab emosi ini dapat membuat otak ingin mengenang kembali bayangan tersebut. selain itu emosi positif juga dapat menumbulkan sebuah motivasi karena memang memiliki unsur motivasi yang luar biasa kuat. Untuk menumbuhkan emosi positif ini kita harus mampu mengalahkan energi yang terkandung dalam muatan emosi negatif.

  b.

  Emosi Negatif Emosi negatif merupakan emosi yang selalu identik dengan perasaan tidak menyenangkan dan dapat mengakibatkan perasaan negatif pada orang yang mengalaminya. Biasanya emosi negatif ini berada di luar batas kewajaran, seperti marah-marah yang tidak terkendali, berkelahi, menangis meraung-raung, tertawa keras dan terbahak-bahak bahkan timbulnya tindakan kriminal. Umumnya, emosi negatif menimbulkan permasalahan yang dapat menganggu orang yang mengalaminya, bahkan berdampak pada orang lain dan masyarakat secara luas. Biasanya, orang yang mengalami emosi negatif cenderung lebih memperhatikan emosi-emosi yang bernilai negatif, seperti sedih, marah, cemas, tersinggung, benci, jijik, prasangka, takut, curiga dan lain sebagainya. Emosi semacam itu akan berdampak buruk bagi yang mengalaminya dan orang lain.

1. II.A.4. Jenis-jenis emosi

  Hurlock (1993) mengatakan bahwa ada 5 jenis emosi pada anak, diantaranya adalah : a. Marah Penyebab amarah yang paling umum adalah pertengkaran mengenai permainan, tidak tercapainya keinginan dan serangan yang hebat dari anak lain. Anak mengungkapkan rasa marah dengan ledakan amarah yang ditandai dengan menangis, berteriak, menggertak, menendang, melompat atau memukul orang lain.

  b. Takut Kebiasaan atau ingatan tentang pengalaman yang kurang menyenangkan berperan penting dalam menimbulkan rasa takut, seperti cerita-cerita, gambar

  • – gambar, acara televisi, radio maupun film yang mengandung unsur yang menakutkan. Biasanya reaksi awal anak untuk rasa takut adalah panik, kemudian menjadi lebih khusus seperti lari, menghindar, bersembunyi, menangis dan menghindari situasi yang menakutkan.

  c. Cemburu Anak menjadi cemburu apabila ia menginar bahwa minat dan perhatian orangtuanya beralih kepada orang lain di dalam keluarga. Biasanya kehadiran adik yang baru lahir. Anak yang lebih muda dapat mengungkapkan kecemburuannya secara terbuka atau menunjukkannya

  • – dengan kembali berperilaku seperti anak kecil, seperti mengompol, pura pura sakit atau menjadi nakal. Perilaku ini semua bertujuan untuk menarik perhatian.
d. Gembira atau senang Anak merasa gembira biasanya dikarenakan mendapatkan nilai yang bagus, hadiah, dan pujian. Anak mengungkapkan kegembiraanya dengan tersenyum dan tertawa, melompat

  • – lompat atau memeluk benda atau orang yang dapat membuatnya bahagia.

  e. Sedih Anak

  • – anak merasa sedih karena kehilangan segala sesuatu yang dicintainya atai sesuatu yang dianggap penting bagi dirinya apakah itu orang, binatang atau benda mati seperti mainan. Secara khas anak mengungkapkan kesedihannya dengan menangis dan dengan kehilangan minat terhadap kegiatan normalnya termasuk makan.

  Berdasarkan lima jenis emosi yang biasanya terjadi pada anak maka dalam penelitian ini juga akan diteliti mengenai emosi-emosi tersebut yaitu marah, sedih, cemburu, takut dan senang atau gembira.

II. A. 5. Fungsi Emosi

  Bagi manusia, dalam teori Coleman dan Hammen dalam Syukur (2011), emosi tidak hanya berfungsi untuk mempertahankan diri atau sekedar mempertahankan hidup. Emosi pada manusia seperti yang dikemukakan oleh Martin dalam buku Psikologi Belajar, juga memberikan fungsi sebagai pembangkit energi yang memberikan kegairahan dalam hidup manusia. Emosi juga berfungsi sebagai messenger artinya adalah emosi yang terjadi dalam diri seseorang dapat membawa pesan atau informasi. Emosi memberitahukan kita bagaimana keadaan orang-orang yang berada di sekitar kita, terutama orang yang kita cintai dan sayangi, sehingga kita dapat memahami dan melakukan sesuatu yang tepat dengan kondisi tersebut.

  Dalam konteks ini, emosi bukan hanya pembawa informasi (messenger) dalam komunikasi intrapersonal, tetapi juga dalam komunikasi interpersonal.

  Lebih dari itu, emosi juga merupakan sumber informasi tentang keberhasilan kita. Setiap emosi yang ada dalam diri kita memberikan rangsangan terhadap pemikiran, khayalan baru dan tingkah laku yang baru.

II.B.6. Ekspresi Emosi

  Emosi adalah keadaan internal yang memiliki perwujudan secara ekstrenal. Meskipun yang bisa merasakan emosi adalah orang yang mengalaminya, namun orang lain kerap bisa mengetahuinya karena emosi terekspresikan dalam berbagai bentuk. Emosi dapat diekspresikan dalam bentuk verbal maupun nonverbal. Syukur (2011) mengatakan bahwa ada beberapa jenis ekspresi emosi yang menunjukkan kepribadian seseorang, diantaranya adalah: a.

  Ekspresi wajah Semua emosi yang dialami manusia akan diekspresikan melalui raut wajah. Hanya dengan melihat wajah seseorang, kita bisa dengan tepat menebak emosi yang sedang dialami oleh orang lain tersebut. Kita paham wajah orang yang sedang marah, sedih, bahagia, takut atau terkejut. Dalam hal ini, wajah saat marah dan sedih pastilah berbeda. b.

  Ekspresi vokal Nada suara seseorang akan berubah seiring dengan emosi yang sedang dialaminya. Seseorang yang sedang marah, nada suaranya pasti akan terdengar meninggi. Demikian juga seseorang yang sedang bahagia, ia akan berbicara dengan lepas dan lancar.

  Sementara itu, seseorang yang sedang mengalami gangguan jiwa dan mengalami kesedihan, kemungkinan besar nada suaranya akan terbata-bata, bahkan tidak berbicara.

  c.

  Perubahan fisiologis Saat kita merasakan perubahan sebuah emosi, terdapat perubahan fisiologis yang mengiringinya, baik yang bisa kita rasakan atau tidak. Saat takut, kita akan merasakan detak jantung yang meningkat, berdebar-debar, kaki dan tangan gemetar. Selain itu, kita juga merasakan bulu kuduk merinding, otot wajah menegang, berkeringat, kencing di celana, dan lain sebagainya. Bahkan, perubahan tersebut jarang juga diketahui oleh orang lain.

  d.

  Gerak dan isyarat tubuh Sering kali, emosi emosi seseorang akan diekspresikan melalui gerak dan isyarat tubuh. Terkadang, kita cukup mengetahui seseorang sedang gugup atau jatuh cinta hanya dari bahasa tubuhnya. Ia akan menjadi tidak hati-hati, banyak melakukan gerakan yang tidak perlu, sering melakukan kesalahan berkeringan dan lain sebagainya. Orang yang jatuh cinta menatap yang dicintainya lebih sering, duduk condong padanya, tersenyum lebih lebar dan lain-lain.

  e.

  Tindakan-tindakan emosional Banyak cara yang dilakukan oleh seseorang untuk mengekspresikan emosi yang dialaminya. Ketika emosi marah melanda, terkadang seseorang hanya diam. Diam dianggap sebagai salah satu tindakan yang mencerminkan keadaan emosionalnya.

  Namun, tidak jarang kira melihat emosi seseorang yang sedang marah dengan membentak, memaki bahkan memukul. Sementara itu, saat seseorang sedang dirundung kesedihan, ia hanya sanggup mengapresiasikannya dengan menangis.

II. A. 7. Perkembangan regulasi emosi

  Dodge dan Garber (1991) menyatakan bahwa regulasi dari sistem-sistem respon sering dianggap sebagai suatu prestasi perkembangan karena hal ini merupakan koordinasi yang tidak diperoleh langsung saat kita dilahirkan sehingga biasanya diperoleh pada masa-masa awal kehidupan. Kopp (1989) menyatakan bahwa regulasi awalnya diperoleh dari lingkungan eksternal (pengasuh) dan tugas perkembangan hubungan antara bayi dan pengasuh adalah untuk mentransfer kontrol tersebut pada bayi. Pada bulan pertama kehidupan, peristiwa-peristiwa yang terjadi tanpa disadari, seperti mengisap, memutar kepala, dan pergerakan tangan ke mulut merupakan hasil pembelajaran terhadap adanya stimulus negatif (negative arousal states). Cicchetti, Ganiban, dan Barnett (dalam Dodge dan Garber, 1991) memandang adanya kontribusi dari sistem-sistem saraf pada bulan- bulan pertama kehidupan, yang membuat bayi mampu memiliki kendali atas respon-respon motorik dan fisiologis. Selain itu, menurut Malatesta dan Walden adanya fungsi pengaturan dari interaksi antara bayi dan pengasuh, yang kemudian nantinya akan menjadi sumber informasi yang akan menjadi kontrol perilaku yang tidak nampak terutama pada hal-hal yang negatif.

  Pada saat bayi mulai matang, kemampuan kognitifnya mulai berkembang (seperti diskriminasi, perencanaan, dan selective attention) membuat mereka sudah mulai bisa untuk melakukan regulasi emosi. Seluruh kegiatan ini didukung dan dimonitor oleh pengasuh. Diantara yang paling penting pada pencapaian perkembangan dikaitkan dengan munculnya regulasi emosi adalah pencapaian kemampuan berbahasa dan berkomunikasi. Menangis menjadi sangat komunikatif, membuat bayi mampu untuk menunjukkan isyarat kepada pengasuh saat regulasi eksternal diperlukan. Dan menangis berubah menjadi sinyal-sinyal nonverbal, seperti melihat kepada ibunya saat dipaparkan stimulus yang baru atau ambigu, kemudian dengan munculnya bahasa.

  II. B. Anak Tunarungu

  II. B. 1. Definisi anak tunarungu

  Menurut Heward (1998) tunarungu (hearing impairment) adalah suatu istilah genetik yang mencakup ketidakmampuan mendengar (hearing disabilities) dari rentang ringan hingga parah (mild to profound), sehingga meliputi anak-anak yang tuli (deaf) dan mengalami kesulitan pendengaran (hard of hearing). Ketulian (deaf) adalah mereka yang tidak mampu mendengar untuk mengerti sebuah percakapan, walaupun mereka menerima beberapa suara. Terkadang walaupun memakai alat bantu dengar, kehilangan pendengaran yang sangat besar tidak bisa membuat mereka bisa mengerti sebuah percakapan jika hanya mengandalkan telinganya saja. Hal ini berbeda dengan seseorang yang mengalami kesulitan pendengaran (hard of hearing) yaitu seseorang yang memiliki kehilangan pendengaran yang signifikan sehingga memerlukan adapatasi khusus. Berg (1986) menjelaskan bahwa masih ada kemungkinan anak yang memiliki kesulitan pendengaran dapat merespon percakapan dan stimulus auditori lainnya. Dengan kata lain, kemampuan bahasa dan berbicara anak yang mengalami kesulitan pendengaran yang mengalami penurunan atau keterlambatan bisa berkembang dengan saluran suara (auditory channel). Anak-anak yang mengalami kesulitan pendengaran mampu menggunakan pendengaran mereka memahami suatu percakapan, terutama jika menggunakan bantuan alat bantu dengar.

  Somantri (2007) menyatakan bahwa tunarungu dapat diartikan sebagai suatu keadaan kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan, terutama melalui indera pendengarannya. Batasan pengertian anak tunarungu banyak diungkapkan oleh para ahli. Seperti menurut Dwidjosumarto (dalam Somantri, 2007) yang mengemukakan bahwa seseorang yang tidak atau kurang mampu mendengar suara dikatakan tunarungu. Ketunarunguan dibedakan menjadi dua kategori, yaitu tuli (deaf) dan kurang dengar (low of hearing). Tuli atau tunarungu adalah mereka yang indera pendengarannya mengalami kerusakan dalam taraf berat sehingga pendengaran tidak berfungsi lagi. Sedangkan kurang dengar adalah mereka yang indera pendengarannya mengalami kerusakan tetapi masih dapat berfungsi untuk mendengar, baik dengan maupun tanpa menggunakan alat bantu dengar atau

  hearing aids . Selain itu Salim (dalam Somantri, 2007) juga menyimpulkan bahwa

  anak tunarungu adalah anak yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran sehingga ia mengalami hambatan dalam perkembangan bahasanya. Ia memerlukan bimbingan dan pendidikan khusus untuk mencapai kehidupan lahir batin yang layak.

  Memperhatikan batasan-batasan di atas, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa tunarungu adalah mereka yang kehilangan pendengaran baik sebagian (hard of hearing) maupun seluruhnya (deaf) yang menyebabkan pendengarannya tidak berfungsi dalam kehidupan sehari-hari.

II. B. 2. Klasifikasi tunarungu

  Menurut Somantri (2007) klasifikasi tunarungu dibagi menjadi dua, yaitu secara etiologis dan menurut tarafnya:

a. Klasifikasi secara etiologis

  Yaitu pembagian yang berdasarkan sebab-sebab, dalam hal ini penyebab ketunarunguan ada beberapa faktor, yaitu:

1. Sebelum dilahirkan

  a) Salah satu atau kedua orang tua menderita tunarungu atau mempunyai gel sel pembawa sifat abnormal, misalnya dominan gen, resesif gen, dan lain-lain.

  b) Karena penyakit; sewaktu ibu mengandung terserang suatu penyakit terutama penyakit-penyakit yang diderita saat-saat kehamilan tri semester pertama, yaitu pada saat pembentuka ruang telinga. Penyakit itu adalah rubella, moribili, dan lain-lain.

  c) Karena keracunan obat-obatan, pada suatu kehamilan ibu meminum obat-obatan terlau banyak, ibu seorang pencandu alkohol, atau ibu tidak menghendaki kehadiran anaknya, sehingga dia meminum obat penggugur kandungan, hal ini akan dapat menyebabkan ketunarunguan pada anak yang dilahirkan.

  2. Saat kelahiran

  a) Sewaktu melahirkan, ibu mengalami kesulitan sehingga persalinan dibantu dengan penyedotan.

  b) Prematuritas, yakni bayi yang lahir sebelum waktunya.

  3. Setelah kelahiran (post natal)

  a) Ketulian yang terjadi karena infeksi, misalnya infeksi pada otak

  (meningitis) atau infeksi umum, seperti difteri, morbili, dan lain- lain.

  b) Pemakaian obat-obatan ototoksi pada anak-anak.

  c) Kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan alat pendengaran bagian dalam, misalnya jatuh.

b. Klasifikasi menurut tarafnya

  Menurut Heward (1995) ada beberapa tingkatan dari kerusakan pendengaran dan berbagai pengaruhnya pada anak. Tidak ada dua anak yang benar-benar memiliki pola pendengaran yang sama. Anak-anak mendengar suara dengan derajat kejelasan yang berbeda dan anak yang memiliki kemampuan mendengar sama bervariasi dari hari ke hari. Beberapa tingkatan dari kerusakan pendengaran adalah sebagai berikut: a.

  Gangguan pendengaran lebih ringan (27-40 dB) Anak dengan gangguan pendengaran slight loss bisa memiliki kesulitan mendengar samar-samar atau pidato yang jauh dan anak-anak ini biasanya tidak memiliki kesulitan dalam situasi sosial.

  b.

   Gangguan pendengaran ringan (41-55 dB)

  Anak dengan gangguan pendengaran ringan masih bisa memahami percakapan dengan jarak 3-5 kaki (face to face) dan bisa kehilangan sekitar 50% diskusi di kelas jika suaranya samar-samar atau tidak sejajar dengan garis penglihatan. Bisa memiliki keterbatasan kosakata dan ketidakteraturan dalam berbicara.

  c.

  Gangguan pendengaran sedang (56-70 dB) Anak yang mengalami gangguan pendengaran sedang hanya bisa mengerti percakapan dengan suara keras, kesulita dalam diskusi kelompok semakin meningkat, berkemungkinan adanya gangguan berbicara, kesulitan dalam penggunaan pemahaman bahasa dan berkemungkinan memiliki kosakata yang terbatas.

  d.

  Gangguan pendengaran berat (71-90dB) Anak yang mengalami gangguan pendengaran berat hanya bisa mendengar suara dengan jarak 1 kaki dari telinga mereka dan mampu untuk mengidentifikasi suara-suara pada lingkungan, mampu untuk membedakan huruf hidup tetapi tidak dengan konsonan (huruf mati). Kemampuan berbahasa dan berbicara bisa mengalami gangguan atau penurunan dan tidak bisa berkembang secara spontan jika kehilangan pendengaran dimulai pada sebelum usia 1 tahun.

  e.

  Gangguan pendengaran sangat berat (91 dB atau lebih) Pada anak yang mengalami gangguan pendengaran pada tahap sangat berat, mereka bisa mendengar beberapa suara keras tetapi lebih menggunakan sensasi getaran dibandingkan dengan gaya suara. Lebih menekankan pada penglihatan dibandingkan dengan pendengaran untuk berkomunikasi. Kemampuan berbahasa dan berbicara berkemungkinan besar mengalami kerusakan dan kemampuan ini tidak berkembang secara spontan jika kehilangan pendengaran pada masa prelingual.

  Dwidjokusumo (dalam Somantri, 2007) mengemukakan klasifikasi menurut taraf dapat diketahui dengan tes audiometris. Untuk kepentingan pendidikan ketunarunguan diklasifikasikan sebagai berikut: a.

  Tingkat I, Kehilangan kemampuan mendengar antara 35 sampai 54 dB, penderita hanya memerlukan latihan berbicara dan bantuan mendengar secara khusus.

  b.

  Tingkat II, Kehilangan kemampuan mendengar antara 55 sampai 69 dB, penderita kadang-kadang memerlukan penempatan sekolah secara khusus, dalam kebiasaan sehari-hari memerlukan latihan berbicara dan bantuan latihan berbahasa secara khusus.

  c.

  Tingkat III, Kehilangan kemampuan mendengar antara 70 sampai 89 dB.

  d.

  Tingkat IV, Kehilangan kemampuan mendengar 90 dB ke atas.

  Penderita dari tingkat I dan II dikatakan mengalami ketulian. Dalam kebiasaan sehari-hari mereka sesekali latihan berbicara, mendengar berbahasa, dan memerlukan pelayanan pendidikan secara khusus. Anak yang kehilangan kemampuan mendengar dari tingkat III dan IV pada hakekatnya memerlukan pelayanan pendidikan khusus.

II. B. 3. Sejarah perkembangan tunarungu

  Wouk (2011) menyatakan bahwa pada beberapa tahun awalnya, orang- orang yang menderita tunarungu memiliki kehidupan yang terisolasi, terpisah dari kehidupan sehari. Sekarang hal ini tidak sepenuhnya benar. Saat para peneliti menemukan berbagai cara yang berbeda untuk menentukan masalah pendengaran, mereka juga memiliki cara untuk memperbaikinya. Pada tahun 1995, pemenang dari Miss America merupakan seorang yang mengalami kehilangan pendengaran semenjak bayi. Untuk pertama kalinya dalam 75 tahun sejarah miss Amerika dimenangkan oleh seorang yang menderita kecacatan. Setelah beberapa abad lamanya orang tunarungu mengalami diskriminasi yang mengerikan. Lebih dari 2000 tahun yang lalu, fisuf yunani yaitu Aristoteles dan Plato menyatakan bahwa orang tunarungu tidak bisa mendapatkan pengajaran dan pada zaman romawi kuno seorang tunarungu tidak mendapatkan hak penuh sebagai seorang warga negara.

  Pada abad ke 16 hingga 17 tepatnya pada tahun sekitar tahun 1500 an. Seorang doktor berkebangsaan Itali dan seorang ahli matematika yang bernama Girolamo Cardano menjadi tertarik terhadap ketulian karena anak tertuanya tidak bisa mendengar pada salah satu telinganya. Cardano melakukan eksperimen dengan serangkaan gambar yang diajarkan sehingga bisa mengajar orang yang tuli. Dia menyebut sebagai kode-kode images visual sehingga Cardano menjadi orang pertama yang menyatakan bahwa Plato dan Aristoteles salah karena orang tunarungu bisa diajar. Sekitar 1 abad kemudian, doktor berkebangsaan Ingris yang bernama John Buwler sepakat dengan Cardano. Buwler mengajarkan orang berkomunikasi dengan menggunakan tangan mereka. Dia mengajarkan orang tunarungu menggunakan untuk pergerakan tangan untuk mengekspresikan pikiran mereka. Dia menyarankan bahasa tanda alphabet. Perbedaan pergerakan tangan dan jari bisa menunjukan huruf-huruf. Dengan perpindahan tangan ini, orang tunarungu bisa menghasilkan kata-kata.

  Pada tahun 1980 an, Alexander Graham Bell, penemu telepon, adalah salah satu dari orang yang percaya bersuara akan lebih baik daripada bahasa isyarat. Tunarungu sudah menjadi bagian dari dirinya semenjak dia masih kecil karena memiliki ibu yang tuli, dan sebagai anak dia berbicara dengan bahasa isyarat tetapi semenjak dia mengajar pada anak tunarungu dan menikahi salah seorang muridnya maka Bell dan yang lain percaya bahwa jika hanya menggunakan bahasa isyarat maka akan menghambat seseorang berkomunikasi hanya dengan orang yang tunarungu. Dengan belajar bersuara, maka orang tunarungu bisa berbicara dengan setiap orang sehingga pada tahun 1880, para pendidik anak tunarungu mengadakan sebuah pertemuan dunia. Mereka memutuskan unruk menghentikan untuk mengajarkan bahasa isyarat dan hanya mengajarkan mereka bersuara.

  Pada abad 20-an, sekolah hanya membantu orang tunarungu untuk berkomunikasi namun tidak melakukan apapun untuk meningkatkan kekurangan fisik mereka. Hal ini berlangsung sampai abad 20 dan kemudian terjadi perubahan. Selama bertahun-tahun mulai ada beberapa cara tradisional untuk menyembukan ketulian dan sebagian besar dari cara tersebut tidak masuk akal seperti meletakan ranting di telinga dari pagi hingga malam hari. Selain itu, ada juga dengan memakan lada sehingga mereka bersin dengan anggapan bersin akan menyembuhkan ketulian. Salah satu metode tertua adalah candling dengan cara meletakan lilin di dekat telinga mereka untuk menarik kotoran telinga.

  Setelah abad 20, para penemu menemukan alat untuk membuat suara lebih terdengar keras semacam terompet di telinga yang diadaptasi dari penemuan telepon dari Alexander Graham Bell. Selanjutnya dengan bentuk yang lebih kecil, terdiri dari mikrophone kecil yang bisa meningkat suara dan membuat suaranya terdengar lebih keras. Namun, hal ini hanya efektif dalam ruangan yang tenang, namun tidak membantu saat seseorang berada di restoran yang ribut karena segala sesuatunya termasuk latar suara yang bising juga ikut terdengar lebih keras sehingga banyak orang yang menyudahi memakai alat ini karena alasan tersebut. Saat ini ada alat terbaru, yaitu alat bantu dengar digital yang terbuat dari komputer sangat kecil yang mengubah suara menjadi kepingan data.

  Komputer tersebut tetap bisa menjaga agar latar suara bising tetap terdengar lebih pelan dan menghasilkan suara yang lebih pelan dibandingkan dari suara yang terdekat. Alat bantu dengar digital lebih rumit dibandingkan dengan model yang terdahulu. Satu alat telah dirancang untuk kebutuhan pengguna tertentu, tetapi alat bantu ini memiliki ukuran yang lebih kecil dan lebih cerdas, dan menggunakan power baterai yang lebih kecil dan jika ada kesalahan pada pengguna maka tidak perlu mengganti alat yang baru hanya dilakukan penyesuaian.

  Dillon (dalam Dornan, 2010) menyatakan bahwa alat bantu dengar terdiri dari suatu microphone yang mengubah suara kedalam elektro, suatu cetakan telinga yang mengubah suara kedalam telinga, suatu pengeras suara untuk meningkatkan kekuatan dari sinyal elektrik, suatu miniatur loudspeaker, sepasang alat untuk memperkuat suara kedalam terusan telinga dan sebuah baterai. Alat bantu dibelakang telinga (Behind Ear Aid) adalah alat bantu dengar yang paling sesuai untuk anak-anak dan alat bantu dengar yang sesuai secara bilateral direkomendasikan untuk anak-anak dengan bilateral hearing loss (American Academy of Audiology, 2004). Alat bantu dengar digital adalah alat yang menerima suara dan membuatnya menjadi digital atau gelombang suara dibagi menjadi unit yang kecil, diskrit unit sebelum menjadi amplifikasi. Alat bantu dengar digital bisa diprogram dan disesuaikan pada lingkungan akustik juataan waktu per detik. Teknologi digital juga membuat hal ini menjadi mungkin bagi clinician untuk menghasilkan program yang telah disesuaikan untuk kesulitan mendengar pada orang tertentu.

II. B. 4. Perkembangan emosional anak tunarungu

  Goldstein (2005) menyatakan bahwa perkembangan emosional dan motivasional tidak bisa dianggap sesuatu yang terpisah. Sesuatu yang menyenangkan akan dicari dan sesuatu yang tidak menyenangkan akan dihindari.

  a.

   Severe/profound congenital hearing loss

  Pada saat anak baru lahir mereka tidak begitu banyak memiliki pengalaman auditori. Sehingga pada kondisi tantrum yang dikombinasikan dengan pengaruh dari hambatan fisik dan kata-kata yang menenangkan tidak ada. Anak yang mengalami gangguan pendengaran akan mengacau saat menghadapinya dan menutup mata dengan air mata yang mengalir seperti juga anak normal lainnya.

  Hanya dengan adanya sentuhan yang menetap. Anak kecil yang marah cenderung untuk mengangkat bahu dan bergerak meninggalkan.

  Sebagai akibatnya anak dengan profound congenital hearing loss berkemungkinan akan mengalaminya dalam waktu yang lebih lama, ledakan kemarahan dan kejengkelan yang tak henti-henti, menjadi kurang terbuka terhadap bujukan.

  Bayi yang mengalami gangguan pendengaran, saat mereka ditinggalkan, saat kontak mata mereka telah hilang, mereka merasa terisolasi. Tidak adanya isyarat auditori menyebabkan baik sering mengalami keterkejutan singkat. Reaksi terhadap keterkejutan adalah suatu respon emosional yang tergabung dengan produksi adrenalin. b.

  Moderate congenital hearing loss Masih adanya kemungkinan bahwa frekuensi rendah dalam percakapan bisa didengar. Dan juga berdampak bisa mendeteksinya suara bising. Walaupun pengalaman auditori masih lemah, pada masa awal perkembangan suara-suara yang menenangkan dan bersenandung akan menjadi efektif. Nada dan bukan isi yang penting. Pada akhirnya, saat komunikasi verbal merupakan elemen kunci , suatu ketidakmampuan untuk memahami dengan segera atau mampu untuk mengekspresikan pikiran yang mengarahkan pada frustasi. Seperti yang diprediksi bahwa kelompok anak ini juga menunjukkan lebih banyak tanda-tanda dari kemarahan dan keras kepala.

  c.

  Mild congenital and fluctuating hearing losses

  

Mild hearing loss bisa jadi yang paling terprovokasi. Jika anak

  berbicara dan secara jelas memahami dalam suatu situasi dia diharapkan bisa merespon pada keseluruhan situasi. Namun hal ini justru yang tidak bisa dilakukan oleh banyak anak yang mengalami

  

mild hearing loss . Untuk situasi berikutnya dalam beberapa cara yang

  salah karena saat pada hari yang bagus segala sesuatunya tersenyum dan pada hari yang buruk (poor hearing) instruksi dan penjelasan susah untuk diikuti atau tidak berhasil diselesaikan. Karena mereka dianggap suka membantah mereka mudah terprovokasi untuk mengeluarkan respon marah, yang bisa menjadi ke bentuk temper tantrum atau menarik diri. Berdasarkan penjelasan diatas dapat diketahui bahwa gambaran emosional pada anak yang mengalami gangguan pendengaran atau tunarungu kategori ringan sampai sedang adalah seringnya mereka marah-marah dengan perilaku tantrumnya dan juga terkadang menjadi mengeluarkan emosi-emosi yang menunjukkan penarikan diri.

  II. C. Parental Emotional Coaching

  II. C. 1. Landasan awal parental emotional coaching

  Pelatihan orangtua dalam emotional coaching diawali dengan penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Gottman et al. (dalam Coffrin, 2007) pada 56 pasang suami istri di Illinois dengan anak mereka saat berusia empat atau lima tahun yang kemudian ditelaah kembali ketika berusia tujuh atau delapan tahun.

  Penelitian longitudinal tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara sikap orangtua dan respon emosional anak (baik pada diri mereka maupun anak mereka) dan regulasi emosi anak, tingkah laku, keterampilan sosial, dan performa akademik (dalam Havinghurst, 2009). Gottman et al, (dalam Cook, 2004) menemukan bahwa meta emotion coaching mempengaruhi hubungan antara tingkah laku orangtua dalam pengasuhan dan keterampilan sosial anak.

  Gottman dan koleganya (dalam Coffrin, 2007) melakukan penelitian mengenai

  parents’meta philoshopy yang mengacu pada serangkaian pikiran dan

  perasaan yang terorganisir mengenai emosi orangtua dan emosi anak. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, ditemukan bahwa meta emosi pada dasarnya bervariasi untuk masing-masing orangtua. Beberapa orangtua memandang bahwa emosi- emosi negatif, seperti marah dan sedih sebagai hal yang menganggu, sedangkan yang lainnya memandang sebagai emosi yang wajar sehingga memerlukan atensi atau indikator-indikator yang membantu bahwa ada sesuatu yang salah atau terjadi hal yang mengecewakan dan hal lainnya yang perlu diatasi. Perbedaan makna dari juga ditemukan oleh yang lainnya (contohnya, Haviland-Jones,

  emotional arousal Gebelt & Stapley, 1997; Thompson, Flood, && Lundquist, 1995).

  Dalam penjelasan lebih lanjut mengenai perbedaan pada

  parents’meta philoshopy (Gottman dan koleganya, 1996) ada dua tipe dasar dari perilaku pola

  asuh terhadap emosi-emosi: emotion dismissing dan emotion coaching. Orangtua yang memiliki pola asuh emotion dismissing memandang bahwa kesedihan dan kemarahan anak sebagai racun, atau berpotensi akan membahayakan anak. Mereka percaya bahwa tugas mereka adalah mengubah emosi negatif ini secepat mungkin dan menjelaskan kepada anak bahwa emosi tersebut tidak penting.

  Selain itu, orangtua tersebut bisa jadi tidak melihat adanya alasan anak untuk bersedih, sebagai contoh komentar orangtua yang pertama adalah, “Apa anak harus bersedih mengen ai...?” (Gottman dan koleganya, 1996). Sehingga pada akhirnya orangtua memandang kemarahan anak (tanpa adanya kelakuan buruk) sebagai alasan yang sudah cukup untuk menghukum anak. Orangtua ini memiliki filosofi meta-emotion menyamakan emosi negatif dengan keegoisan, kehilangan kontrol, ketidakpedulian, atau kegagalan. Namun hal ini bukan berarti bahwa orangtua ini selalu keras. Pada kenyataannya, Gottman menemukan bahwa orangtua dengan pola asuh ini bisa jadi sensitif terhadap perasaan anak mereka dan ingin membantu, tetapi pendekatan mereka terhadap perasaan-perasaan negatif adalah mengabaikan atau menolaknya sebisa mungkin.

  Sementara itu, orangtua yang memiliki teknik pola asuh yang emotional

  coaching akan sangat menyadari terhadap perasaan anak dan sering membuat

  suatu pelajaran saat anak sedang mengalami emosi negatif sebagai suatu cara untuk mengikutsertakan anak dan mengajari mereka mengenai emosi-emosi.

  Orangtua yang mendengarkan anak dan menggunakan berbagai strategi untuk membantu anak mereka mengatur emosi. Hal ini akan membawa berbagai keuntungan seperti pemahaman emosi yang lebih baik dan akan lebih mudah memperbaiki dari situasi yang tidak menyenangkan. Terkait pola pengasuhan, terdapat tiga macam gaya pengasuhan yaitu a.

  Gaya pengasuhan suka menghina (derogation) Merupakan pengasuhan negatif dimana orangtua bertingkah laku dengan mengkritik, mengejek anak, dan tidak sabar ketika mengajarkan sesuatu kepada anak.

  b.

   Gaya pengasuhan yang hangat (warmth) Orangtua yang menunjukkan kehangatan terhadap anak.

  c.

  Gaya pengasuhan scaffolding Orangtua responsif dan hangat terhadap anak, tapi berbeda dengan pengasuhan warmth, orangtua mengajarkan anak hal-hal baru dan memberi struktur ketika berhadapan dengan situasi dimana mereka harus mengajarkan anak suatu hal (ketika mengajarkan suatu permainan, orangtua dengan gaya pengasuhan ini bisa menjelaskan dengan tenang tujuan dan prosedur permainan, menunggu anak untuk mencoba dan memberi pujian ketika anak melakukannya dengan benar). Secara lebih spesifik, emotion coaching berkorelasi negatif dengan

  derogatory parenting dan berkorelasi positif dengan scaffollding (praising parent behavior ).

II. C. 2. Definisi Parental Emotional Coaching

  Menurut Gottman (1996) emotional coaching mencakup lima komponen, yaitu:

  1. Aspek pertama yaitu menyadari munculnya emosi anak, bahkan jika emosi tersebut hanya memiliki intensitas yang rendah. Hal ini membuat orangtua memungkinkan untuk mengenali tanda-tanda awal dari kesedihan dan kemarahan anak dan mengaitkannya dengan emosi negatif yang pernah terjadi, sebelum mulai meningkat ke intensitas yang tinggi.

  2. Emotion coaching parent memandang emosi-emosi negatif dari anak merupakan suatu kesempatan untuk melakukan keakraban dan pengajaran kepada anak. Orangtua ini memandang kesedihan, sebagai informasi penting dan suatu isyarat bahwa sesuatu telah salah dan menggunakan ekspresi dari anak mereka ini untuk sebagai cara untuk membuat hubungan dengan mereka. Contohnya, orangtua memberi skor yang tinggi pada variabel perasaan dekat dengan anak-anak mereka saat mereka merasa sedih (Gottman et al., 1997).

  3. Komponen yang bertujuan untuk memvalidasi atau berempati pada emosi negatif anak. Hal ini mencakup komunikasi dengan anak bahwa merupakan sesuatu yang wajar apabila mengalami emosi negatif pada situasi yang tidak menyenangkan.

  4. Emotional coaching parents membantu anak memberi label terhadap emosi negatif. Yaitu, orangtua membantu anak untuk menempatkan perasaan mereka ke dalam kata-kata yang dapat meningkatkan pemahaman mereka dari pengalaman emosi yang pernah mereka alami..

  5. Komponen dari emotion coaching mengacu pada pemecahan masalah anak. Hal-hal ini bisa mencakup membuat batasan waktu sebagai contoh, “Ok jika kamu marah, namun kamu tidak boleh memukul adikmu, mengambarkan perilaku yang tepat, dan membantu anak untuk memperjelas tujuan dan strategi-strategi untuk mencapainya. Berdasarkan pada penjelasan diatas bahwa dapat disimpulkan bahwa

  emotional coaching terdiri dari lima komponen. Komponen tersebut dimulai pada

  saat orangtua mulai menyadari emosi anak muncul, emosi negatif yang muncul tersebut dianggap sebagai media pembelajaran bagi anak dan sarana orangtua untuk memiliki hubungan yang lebih dekat dengan anak mereka. Selain itu, bagaimana orangtua bisa memastikan dan berempati terhadap emosi negatif yang dialami oleh anak, membantu anak memberikan label terhadap emosi negatif yang sedang dialami anak sehingga akhirnya bisa mencari pemecahan masalah terhadap emosi negatif yang sedang dialami anak. Namun, dalam penelitian ini juga memasukan emosi gembira atau senang dari emosi dasar manusia selain dari emosi-emosi negatif yaitu marah, cemburu, kecewa, dan takut.

II. C. 3. Kecenderungan reaksi orangtua dalam menghadapi emosi negatif anak berdasarkan teori Gottman

  Gottman & DeClaire (1998) menjelaskan bahwa ada empat gaya pengasuhan yang berkaitan dengan reaksi orangtua dalam menghadapi emosi negatif anak, yaitu orangtua yang mengabaikan (dimissing style), tidak menyetujui (disaproving style), membebaskan (laissez-faire), dan pelatih emosi (the emotion

  coaching style ). Umumnya orangtua lebih dominan pada satu gaya. Namun

  demikian, penggunaan gaya lain dapat terjadi sesekali. Berikut penjelasan dari empat gaya tersebut (Gottman & DeClaire, 1998; Gottman & Talaris Institute, 2004): 1.

  Orangtua yang mengabaikan (dimissing style) Orangtua yang mengabaikan emosi negatif anak didasari oleh keyakinan emosi negatif adalah sesuatu yang tidak perlu atau justru berbahaya, dan perlu dihindari. Akibatnya, mereka menghindari emosi- emosi tersebut, berusaha “memperbaiki” perasaan anak, atau berupaya mengalihkan mereka dari perasaan tersebut. Mereka berpendap at tidaklah sehat “menyimpan” emosi berlama-lama. Bila mereka terlibat dalam penyelesaian masalah dengan anak-anak mereka, mereka memusatkan perhatian pada yang dibutuhkan untuk “mengatasi” emosi, bukan pada emosi itu sendiri. Sebagian dari orangtua yang mengabaikan emosi negatif anak cenderung meremehkan perasaan anak karena anak-anak dalam pandangan mereka “hanyalah anak-anak”. Mereka berpandangan bahwa kesedihan/kekecewaan anak (misalnya kesedihan atas mainan yang rusak atau masalah di tempat bermain) ad alah “hal-hal kecil”, terutama bila dibandingkan dengan kecemasan-kecemasan orang dewasa mengenai hal-hal seperti kehilangan pekerjaan. Hal ini bukan mengisyaratkan bahwa setiap orangtua yang mengabaikan tidak mempunyai kepekaan. Pada kenyataannya, banyak yang merasa sangat akrab dan melindungi mereka. Dengan orangtua yang cenderung mengabaikan emosi negatif, anak dapat merasa, seringkali diabaikan ketika ia merasakan emosi yang kuat. Anak belajar untuk percaya bahwa emosi seperti sedih atau marah adalah sesuatu yang buruk dan perlu diperbaiki segera. Anak tidak belajar bagaimana mengatasi emosi, dan dapat mengalami kesulitan untuk itu ketika ia mengalami kekecewaan.

2. Orangtua yang tidak menyetujui (disapproving style)

  Orangtua semacam ini mempunyai banyak persamaan dengan orangtua yang mengabaikan emosi-emosi anaknya, dengan beberapa perbedaan; secara mencolok orangtua tersebut kritis dan tidak berempati saat anak mengambarkan pengalaman-pengalaman emosional. Mereka bukan sekedar mengabaikan, menyangkal, atau meremehkan emosi-emosi negatif anak, mereka tidak menyetujuinya. Hal ini dilandasi keyakinan bahwa emosi-emosi negatif adalah hal yang tidak dapat diterima dan dapat dikontrol. Sehingga, jangankan memahami emosi anak, orangtua justru memberikan disiplin atau menghukum anak karena emosi yang mereka rasakan.

  Penelitian menunjukkan bahwa anak yang dibesarkan oleh orangtua yang cenderung menolak maka akan mengalami kesulitan dalam menyakini penilaian mereka sendiri, tumbuh dengan perasaan “ada sesuatu yang sa lah” pada diri mereka, cenderung memiliki harga diri yang rendah, mengalami kesulitan dalam melakukan regulasi emosi, mengalami kesulitan berkonsentrasi, belajar, dan bersosialisasi dengan anak lain.

3. Orangtua laissez faire

  Orangtua yang menerima emosi anak, bersedia menerima tanpa syarat perasaan-perasaan apa saja yang diungkapkan anak mereka. Orangtua seperti ini penuh empati terhadap anak dan mereka memberitahukan anak-anak mereka bahwa apapun yang mereka alami, orangtua memperbolehkannya. Tetapi, orangtua tidak memberikan bimbingan kepada anak mereka tentang bagaimana mengatasi emosi-emosi negatif. Orangtua menginginkan agar anak mengetahui bahwa mengekspresikan emosi adalah suatu hal yang positif, dan apapun tingkah laku yang ditunjukkan anak mereka akan selalu dicintai. Terkait emosi negatif, orangtua cenderung melihat amarah dan kesedihan sebagai suatu masalah “melepaskan uap”, membiarkan anak mengungkapkan emosi-emosinya, maka pekerjaan sebagai orangtua telah selesai. Kesadaran tentang bagaimana menolong anak-anak untuk belajar dari pengalaman emosional tergolong rendah. Karenanya, mereka tidak mengajarkan bagaimana memecahkan masalah kepada anak dan banyak yang merasa kesulitan menentukan batas-batas tentang tingkah laku.

  Pada dasarnya, pendekatan ini baik dalam beberapa hal, tetapi tidak cukup adekuat untuk membantu perkembangan emosional bagi anak.