T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penanganan Tindak Pidana Pencurian dengan Pendekatan Restorative Justice: Studi Kasus di Desa Lengkongecamatan Garungabupaten Wonosobo T1 BAB I

1

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara hukum, oleh karena itu hukum sangat dijunjung

tinggi di Indonesia. Menurut Aristoteles, suatu negara yang baik ialah negara yang
diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Bagi Aristoteles, yang
memerintah dalam negara bukanlah manusia melainkan pikiran yang adil, dan
kesusilaanlah yang menentukan baik buruknya suatu hukum1. Manusia perlu di
bimbing menjadi warga yang baik, bersusila, dan akhirnya akan menjelmakan
manusia yang bersikap adil. Apabila keadaan semacam itu telah terwujud, maka
terciptalah suatu negara hukum, karena tujuan negara adalah kesempurnaan warganya
yang berdasarkan atas keadilan. Jadi, keadilanlah yang memerintah dalam kehidupan
bernegara. Agar manusia yang bersikap adil itu dapat terjelma dalam kehidupan
bernegara, maka manusia harus di bimbing menjadi warga yang baik dan bersusila.
Negara hukum Indonesia sudah berdiri sejak lebih dari enam puluh tahun
lamanya. Kualifikasinya sebagai Negara hukum pada tahun 1945 terbaca dalam

Penjelasan

Undang-Undang

Dasar.

Dalam

penjelasan

mengenai

“Sistem

Pemerintahan Negara” dikatakan “Indonesia ialah Negara yang Berdasar atas Hukum
(Rechtsstaat)”. Selanjutnya di bawahnya dijelaskan “Negara Indonesia berdasar atas
hukum (Rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat)”.
Ni’matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi & Judicial Review, UII Press, Yogyakarta, 2005,
Halaman 1-2.


1

1

2

Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menyatakan bahwa “Negara Indonesia merupakan negara hukum”.
Dimana ketentuan hukum tersebut mengikat dan berlaku terhadap semua warga
negara Indonesia tanpa terkecuali. Sebagai konsekuensi negara hukum maka, seluruh
masyarakat/warga negara harus taat dan mematuhi peraturan yang dibuat oleh
pemerintah.
Untuk memenuhi unsur tersebut maka dibentuklah Penegakan hukum,
sebagaimana dirumuskan secara sederhana oleh Satjipto Rahardjo, merupakan suatu
proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan2.
Keinginan-keinginan hukum yang dimaksudkan di sini yaitu merupakan pikiranpikiran badan pembentuk undang-undang yang dirumuskan dalam peraturanperaturan hukum itu. Perumusan pikiran pembuat hukum yang dituangkan dalam
peraturan hukum, turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan.
Pada dasarnya hukum membatasi seseorang agar tidak melakukan hal ataupun
perilaku secara sewenang-wenang, dengan adanya hukum menjadikan lingkungan
masyarakat di suatu negara terlindungi dari ancaman yang dapat merugikan,

membahayakan, atau bahkan sampai merampas hak asasinya. Masalah yang terjadi di
Indonesia

selalu

mengalami

perubahan

dan

berkembang

seiring

dengan

perkembangan zaman. Dengan berbagai permasalahan yang muncul dalam kehidupan
menjadikan pemerintah mau tidak mau harus membuat suatu peraturan perundang-


2

Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru, Bandung, 1983, Halaman 24.

2

3

undangan yang bertujuan untuk menanggulangi berbagai permasalahan yang muncul
dalam ruang lingkup masyarakat.
Dengan semakin banyaknya masyarakat yang ada dalam suatu negara, maka
rentan akan menimbulkan suatu konflik ditimbulkan karena semakin meningkatnya
kebutuhan pokok dalam masyarakat. Oleh karena itu dibutuhkan suatu peraturan
perundang-undang yang diharapkan dapat membatasi perilaku masyarakat khususnya
individu dalam melakukan kegiatannya. Dengan hal tersebut maka akan muncul
perilaku masyarakat yang taat pada hukum.
Banyaknya gangguan yang terjadi di lingkungan masyarakat, salah satunya
adalah tindak pidana pencurian. Berbagai ragam tindak pidana pencurian yang dapat
terjadi dan sering ditemui di masyarakat pada setiap saat maupun pada semua tempat.
Para pelaku selalu berusaha memanfaatkan waktu yang luang untuk mengincar

korban pada saat korban lengah dan mencari tempat yang memungkinkan untuk
menjalankan aksi kejahatan. Tujuan yang diinginkan oleh pelaku kejahatan tersebut
yaitu untuk memperoleh hasil, salah satunya berwujud barang berupa benda maupun
uang, dengan berbagai alasan serta motif tertentu. Suatu kejahatan atau tindak pidana,
pada umumnya di lakukan oleh pelaku kejahatan karena ada tujuan atau di motivasi
oleh dorongan pemenuhan kebutuhan hidup yang relatif sulit di penuhi. Sebagai salah
satu perbuatan manusia yang menyimpang dari norma pegaulan hidup manusia,
tindak pidana pencurian merupakan masalah sosial, yaitu masalah-masalah ditengah
masyarakat, sebab pelaku dan korbannya adalah anggota masyarakat juga.

3

4

Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) dikenal dengan istilah stratbaar feit dan dalam kepustakaan tentang hukum
pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang
merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau
perbuatan pidana atau tindak pidana. Tindak pidana merupakan suatu istilah yang
mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk

dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana.
Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa
yang kongkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah
diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat
memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat3.
Seperti yang diungkapkan oleh Moeljatno, yang berpendapat bahwa
pengertian tindak pidana yang menurut istilah beliau yakni perbuatan pidana adalah :
”Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman
(sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan
tersebut”4.
Akan tetapi dalam penerapannya, prinsip penegakan hukum belum tentu
sesuai dengan yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan. Sebab semua kasus
tindak pidana tidak harus diselesaikan melalui ranah hukum melainkan dapat
diselesaikan secara damai, atau dalam kata lain dapat diselesaikan dengan system

3
4

Kartonegoro, Diktat Kuliah Hukum Pidana, Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta, Halaman 62.
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1987, Halaman 54.


4

5

musyawarah, karena sebagian besar masyarakat menganggap cara tersebut lebih baik
dan lebih efektif.
Ketika berbicara tentang kejahatan maka sering kali yang muncul dalam
benak kita adalah pelaku kejahatan. Kita dapat menyebut mereka penjahat, kriminal,
atau lebih buruk lagi. Masyarakat sudah biasa atau bahkan sudah dibiasakan
memandang pelaku sebagai faktor dalam kejahatan. Tidak mengherankan apabila
upaya penanganan kejahatan masih terfokus hanya pada tindakan penghukuman
terhadap pelaku. Memberikan hukuman terhadap pelaku masih dianggap obat yang
manjur untuk menyembuhkan baik luka maupun derita dari korban.
Namun dalam faktanya, banyak ditemukan kekerasan dan penyalahgunaan
yang menyebabkan viktimisasi terhadap para terpidana. Dengan hal tersebut maka
dalam menyelesaikan masalah kejahatan, khususnya tindak kejahatan dimana
kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan kepada korban dan masyarakat masih bisa
direstorasi sehingga kondisi yang telah rusak/rugi dapat dikembalikan seperti keadaan
semula, sekaligus menghilangkan dampak terburuk yaitu penjara.

Untuk menyikapi tindak kejahatan yang dianggap dapat direstorasi kembali,
dikenal suatu paradigma penghukuman yang disebut sebagai restorative justice,
dimana pelaku dituntut untuk memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkan terhadap
korban, keluarga, serta masyarakat. Keadilan yang dilandasi perdamaian (peace)
antara pelaku, korban, dan masyarakat itulah yang menjadi moral etik restorative
justice, oleh karena itu keadilan dikatakan sebagai Just Peace Principle. Prinsip

5

6

tersebut mengingatkan bahwa suatu keadilan dan perdamaian pada dasarnya tidak
dapat dipisahkan. Perdamaian tanpa keadilan adalah penindasan, keadilan tanpa
perdamaian adalah bentuk baru penganiayaan/tekanan. Dikatakan sebagai Just Peace
Prinsiple atau Just Peace Ethics karena pendekatan terhadap kejahatan dalam

Restorative Justice bertujuan untuk memulihkan kerusakan dan kerugian akibat
kejahatan (it is an attempt to recovery justice), upaya ini dilakukan dengan
mempertemukan pihak korban, pelaku/tersangka, dan warga masyarakat serta pihak
kepolisian5.

Sebagai makhluk sosial, orang tidak akan hidup sendiri tanpa bantuan orang
lain, dengan kata lain maka seseorang tidak akan lepas dari interaksi di lingkungan
masyarakat. Oleh karena itu dilihat dari sisi sosial, dalam penegakan hukum tidak
harus berpatokan penuh pada Undang-Undang, karena untuk menyelesaikan masalah
dengan musyawarah demi mencapai mufakat akan lebih baik untuk menjaga
perdamaian.
Dalam hal ini untuk menyelesaikan tindak pidana akan dibahas tentang
penyelesaian pidana dengan jalan perdamaian. Berkaitan dengan tindak pidana
penulis akan membahas tentang penanganan tindak pidana dengan subtansi
restorative justice seperti yang dikemukakan oleh Bagir Manan, mengemukakan

bahwa prinsip dari restorative justiceantara lain: ”Membangun partisipasi bersama
antara pelaku, korban, dan kelompok masyarakat menyelesaikan suatu peristiwa

5

Restorative Justice and The Active Victim : Exploring The Concept of Empowerment, Journal
TEMIDA, Mart 2009; hlm. 8-9

6


7

atau tindak pidana. Menempatkan pelaku, korban, dan masyarakat sebagai

”stakeholders” yang bekerja bersama dan langsung berusaha menemukan
penyelesaian yang dipandang adil bagi semua pihak (win-win solutions)”6. Terhadap

kasus tindak pidana yang di lakukan oleh seseorang, maka restorative justice
setidaknya bertujuan untuk memperbaiki atau memulihkan (to restore) perbuatan
kriminal yang dilakukan seseorang dengan tindakan yang bermanfaat bagi pelaku,
korban dan lingkungannya yang melibatkan mereka secara langsung (reintegrasi dan
rehabilitasi) dalam penyelesaian masalah, menurut Barda Nawawi Arief tujuan
pemidanaan

bertitik

tolak

kepada


“perlindungan

masyarakat”

dan

“perlindungan/pembinaan individu pelaku tindak pidana”7.
Soekanto, menyebut dua kutub citra keadilan yang harus melekat dalam setiap
tindakan yang hendak dikatakan sebagai tindakan adil. Pertama, Naminem Laedere,
yakni "jangan merugikan orang lain", secara luas azas ini berarti " Apa yang anda
tidak ingin alami, janganlah menyebabkan orang lain mengalaminya". Kedua, Suum
Cuique Tribuere, yakni "bertindaklah sebanding"8. Dengan demikian dapat dijelaskan

bahwa secara luas pengertian azas ini berarti "Apa yang boleh anda dapat, biarkanlah
orang lain berusaha mendapatkannya". Azas pertama merupakan sendi equality yang
ditujukan kepada umum sebagai azas pergaulan hidup. Sedangkan azas kedua
merupakan azas equity yang diarahkan pada penyamaan apa yang tidak berbeda dan
membedakan apa yang memang tidak sama. Untuk menanggulangi tindak pidana
6

Eva Achjani Zulfa, Mendefinisikan Keadilan Restoratif, Eva Achjani Zulfa, http://evacentre.blog
spot.com/2009/11/definisi-keadilan-restoratif.html (diakses 29 april 2011).
7
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana , (Jakarta: PT. Kencana Prenada
Media Group, 2008), hal. 98.
8
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, Op.Cit., Halaman 51.

7

8

dengan menggunakan sistem restorasi keadilan atau restorative justice yang
tercantum dalam RUU KUHP dibutuhkan kebijakan penindakan dan antisipasi yang
menyeluruh. Diharapkan dengan sistem tersebut dapat membuat efek jera terhadap
pelaku tanpa harus di lanjutkan ke ranah hukum. Penegakan hukum terhadap
ketentuan RUU KUHP tujuannya untuk mendukung kesejahteraan masyarakat
dengan meminimalisir semaksimal mungkin adanya pelanggaran hukum dan tindak
pidana yang merugikan masyarakat, baik moril maupun materiil dalam jiwa
seseorang.
Dikaitkan dengan hal tersebut peran penegak hukum polri juga berperan
penting dalam peranan keadilan restorasi karena polri juga memiliki dan tanggung
jawab untuk memberikan rasa aman kepada negara, masyarakat, harta benda dari
tindakan kriminalitas dan bencana alam. Polisi merupakan aparat negara yang
mempunyai tugas utama menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Di Indonesia,
keberadaan kepolisian secara kontitusi diatur dalam pasal 30 ayat 4 UUD 1945. Di
sana dinyatakan: “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang
menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi,
melayani masyarakat serta menegakkan hukum”. Dalam Pasal 1 Undang-Undang No.
2 Tahun 2002 menjelaskan bahwa Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan
dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan9.
Polri merupakan institusi pemerintah yang memiliki tugas dan tanggung jawab
menegakan keamanan dan ketertiban masyarakat sipil di Indonesia.

9

Undang-Undang Kepolisian Negara (UU RI NO. 2 Tahun 2002), Penerbit Sinar Grafika, Halaman 3.

8

9

Dalam Undang-undang RI No 2 tahun 2002 (Pasal 13), tugas pokok
kepolisian Negara republik Indonesia adalah :


Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,



Menegakkan hukum, dan



Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam peranannya polisi bertugas dalam mengatasi tindak pidana yang terjadi

di Indonesia. Pengertian Tindak Pidana menurut istilah secara umum "strafbaar feit"
dalam bahasa Belanda. Menurut Wirjono Prodjodikoro, “tindak pidana berarti suatu
perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana”10.
Selanjutnya Peraturan Desa (Perdes) Lengkong Nomor 2 tahun 2011 Tentang
Keamanan dan Ketertiban Pasal 9 angka 2 Tentang Sanksi Tindak Pidana Pencurian
yang disahkan pada tanggal 9 januari 2011 mengatur tentang ketentuan sanksi tindak
pidana pencurian di lahan pertanian maupun perkebunan milik warga akan ditindak
tegas, dan akan dikenai denda dua kali lipat dari nominal barang apabila barang
tersebut

telah

rusak/hilang/dimanfaatkan

untuk

memperoleh

keuntungan11.

Sedangkan menurut Pasal 10 angka 1 yang mengatur tentang sistem musyawarah
dalam menyelesaikan permasalahan tindak pidana pencurian dengan negosiasi antara
pihak korban dan pelaku serta perangkat desa dan warga sebagai saksi dan penegak

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Jakarta – Bandung : Eresco, 1981),
cetakan ke-3, Halaman 50.
11
Peraturan Desa (Perdes) Lengkong Nomor 2 tahun 2011 Pasal 9 angka 2 Tentang Sanksi Tindak
Pidana Pencurian, Halaman 07.

10

9

10

hukum12. Perdes ini didasarkan pada hukum adat/hukum yang tidak tertulis kemudian
dituangkan dalan suatu peraturan yang tertulis bertujuan agar bisa lebih ditaati oleh
warga masyarakat desa setempat.
Penulis mengkaji tindak pidana pencurian ringan di Desa Lengkong karena di
beberapa desa di Kecamatan Garung tidak memiliki peraturan desa tertulis, dan yang
memiliki peraturan desa tertulis hanya di Desa Lengkong. Maka dari itu kasus yang
dimasukkan dan dianalisis adalah dari wilayah Desa Lengkong sesuai dengan
peraturan yang berlaku di desa tersebut.
Kompleksnya perkembangan zaman serta perubahan pandangan hidup yang
terjadi di segala sendi kehidupan di era globalisasi seperti sekarang, secara tidak
langsung memunculkan berbagai hal dalam kehidupan tersebut. Mulai dari hal yang
positif dan negatif, serta munculnya berbagai pelanggaran bahkan kejahatan dalam
masyarakat tersebut. Hal ini merupakan masalah yang harus segera mungkin untuk
diselesaikan, agar ketentraman dan keamanan dalam masyarakat tetap terjaga dan
terpelihara.
Di dalam pergaulan masyarakat, setiap hari terjadi hubungan antara anggotaanggota masyarakat yang satu dengan lainnya. Pergaulan tersebut menimbulkan
berbagai peristiwa atau kejadian yang dapat menggerakkan peristiwa hukum.
Hal ini pula yang kemudian mempengaruhi semakin beragamnya motif
kejahatan dan tindak pidana yang terjadi saat ini. Dari sekian banyak motif kejahatan,
12

Peraturan Desa (Perdes) Lengkong Nomor 2 tahun 2011 Pasal 10 angka 1 yang mengatur tentang
sistem musyawarah dalam menyelesaikan permasalahan tindak pidana pencurian, Halaman 08.

10

11

salah satu yang cukup banyak menarik perhatian adalah tindak pidana pencurian
ringan.
Sebagai salah satu perbuatan manusia yang menyimpang dari norma pegaulan
hidup manusia, kejahatan adalah merupakan masalah sosial, yaitu masalah-masalah
ditengah masyarakat, sebab pelaku dan korbannya adalah anggota masyarakat juga.
Menurut R. Soesilo pengertian kejahatan dibedakan menjadi dua sudut pandang yakni
sudut pandang secara yuridis sudut pandang sosiologis. Dilihat dari sudut pandang
yuridis, pengertian kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan
dengan undang-undang, sedangkan dari sudut pandang sosiologis, pengertian
kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita, juga
sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan
ketertiban13.
Kejahatan akan terus bertambah dengan cara yang berbeda-beda bahkan
dengan peralatan yang semakin canggih dan modern sehingga kejahatan akan
semakin meresahkan masyarakat saat ini. Masalah kejahatan merupakan masalah
abadi dalam kehidupan umat manusia, karena kejahatan berkembang seiring dan
sejalan dengan berkembangnya tingkat peradaban umat manusia yang semakin
kompleks.
Pencurian adalah pengambilan barang milik orang lain secara tidak sah atau
tanpa seizin pemilik. Tindak Pidana Pencurian yang ada dalam KUHP (Kitab
Undang-undang Hukum Pidana) juga dibagi menjadi beberapa macam, antara lain
13

R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politeia, 1985.

11

12

tindak pidana pencurian sesuai dengan ketentuan Pasal 362 KUHP atau pencurian
biasa, tindak pidana pencurian dengan pemberatan sesuai yang diatur dengan Pasal
363 KUHP, tindak pidana pencurian ringan seperti yang ditentukan dalam pasal 364
KUHP, tindak pidana pencurian dalam keluarga serta tindak pidana pencurian dengan
kekerasan. Tindak pidana pencurian dengan kekerasan sesuai dengan ketentuan pasal
365 ditambah dengan tindak pidana pecurian dengan pemberatan sesuai ketentuan
pasal 365 KUHP, dimasukkan kedalam pencurian yang dikualifikasikan oleh
akibatnya14.
Di dalam penelitian ini, penulis mengkaji ketentuan tindak pidana pencurian
ringan salah satunya diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (“Perma”) No. 2
Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda
Dalam KUHP (“Perma No. 2 Tahun 2012”), dikeluarkan oleh Mahkamah Agung
untuk menyelesaikan polemik mengenai batasan nilai kerugian dalam suatu tindak
pidana ringan, yang ditetapkan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”)
pada waktu dulu dan bagaimana penerapannya pada masa kini. Misalnya, dalam
tindak pidana pencurian ringan (Pasal 364 KUHP), penggelapan ringan (Pasal 373
KUHP), penipuan ringan (Pasal 379 KUHP), dan lain-lain, yang semula nilai
kerugiannya tidak lebih dari dua puluh lima rupiah dan penyesuaian maksimum
penjatuhan pidana denda, yang dahulu sebesar dua ratus lima puluh rupiah, kini
dilipatkangandakan menjadi 1000 (seribu) kali (Vide: Pasal 3 Perma No. 2 Tahun
2012).

14

Jur . Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) di dalam KUHP, Sinar Grafika.

12

13

Penyesuaian tersebut dilakukan dengan memperhatikan nilai emas pada saat
KUHP peninggalan belanda, yang sebelumnya disesuaikan dengan Undang-Undang
No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dengan nilai emas pada saat ini.
Sehingga dengan adanya penyesuaian tersebut, maka nilai barang atau kerugian
dalam tindak pidana ringan, yang semula ditetapkan tidak lebih dari dua puluh lima
puluh rupiah sekarang ditetapkan menjadi tidak lebih dari dua juta lima ratus ribu
rupiah (Pasal 2 ayat [1] Perma No. 2 Tahun 2012).
Dalam menangani kasus tindak pidana pencurian ringan masyarakat selalu
menerapkan prinsip hukum didaerah setempat juga denda sebagai ganti rugi pelaku
terhadap kerugian yang diderita korban, hal ini dimaksudkan untuk membuat efek
jera pada pelaku15. Seperti salah satu kasus yang terjadi di Desa Lengkong,
Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo. Untuk memberi efek jera, warga
memberikan sanksi berupa denda serta dengan hukum daerah setempat yang berlaku.
Data pencurian di Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo tercatat ada 54
kasus pada tahun 2013, 67 pada tahun 2014, dan 43 pada tahun 2015, menurut
presentasi tingkat pencurian tersebut tergolong naik di tahun 2014 dan turun di tahun
2015, sebagian kasus pencurian tersebut ada yang disidik di kantor polisi, ada yang di
tindak damai, ada juga yang tidak dilaporkan masyarakat.
Dari kasus pencurian tersebut banyak yang disidik dari pada yang ditindak
damai dan yang tidak dilaporkan oleh masyarakat. Dari beberapa presentase kasus
15

Hasil wawancara dengan pihak perangkat desa beserta warga Dusun Bulu, Desa Lengkong,
Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo, Minggu 06 Maret 2016, dan dari pihak Kepolisian Kasat
Humas Aiptu Dalijan, Senin 07 Maret 2016.

13

14

pencurian di Kecamatan Garung pada tahun 2013 beberapa kasus yang disidik ada 43
perkara, 9 kasus ditindak damai, 2 kasus yang tidak dilaporkan oleh pihak masyarakat
dan diselesikan masyarakat. Di tahun 2014 kasus yang disidik ada 41 perkara, 19
kasus ditindak damai, 7 kasus yang tidak dilaporkan oleh pihak masyarakat tapi
diselesaikan masyarakat. Kemudian di tahun 2015 kasus yang disidik ada 29 perkara,
15 kasus ditindaklanjuti penyidik ke sistem peradilan pidana, 14 kasus yang ditindak
damai, sedangkan kasus yang tidak dilaporkan oleh masyarakat pada tahun tersebut
tidak ada16. Maksud dari kasus yang tidak dilaporkan adalah kasus tindak pidana
yang tidak dilaporkan kepada pihak kepolisian dan hanya diselesaikan oleh Desa
setempat.
Dari presentase kasus pencurian Di Kecamatan Garung, penulis akan
mengkaji 3 kasus pencurian komoditas sayur di Desa Lengkong dari tahun 2013-2015
yang diselesaikan secara damai serta melibatkan pihak kepolisian dengan metode
restorative justice, alasan penulis mengapa memilih Desa Lengkong untuk dianalisis
karena dari sekian desa di Kecamatan Garung hanya ada satu desa yang mempunyai
aturan tertulis atau peraturan desa yaitu Desa Lengkong.
Selanjutnya penulis akan menjelaskan tentang pembahasan kasus pencurian
komuditas sayur di Desa Lengkong Kecamatan Garung, dari data yang di dapat
bahwa kasus pencurian komoditas sayur khusus di Desa Lengkong tersebut 3 tahun
terakhir dari tahun 2013-2015 ada 11 kasus, dan diantaranya ada 3 kasus yang

Jum’at 23 Desember 2016, Atas nama Aiptu Dalijan, Sebagai Kasat Humas di Kapolsek Garung,
Kecamatan Garung.
16

14

15

ditindak damai dan 8 kasus lainnya ditindak melalui jalur hukum yang berlaku sesuai
yang peraturan perundang-undangan yang diatur dalam KUHP, dengan alasan 8 kasus
tersebut merupakan tindak pidana yang masuk dalam tindak pidana pencurian dengan
pemberatan yang diatur dalam pasal 363 KUHP ayat 1 alenia ke-1 2 kasus merupakan
pencurian ternak, pasal 363 KUHP ayat 1 alenia ke-2 5 kasus pencurian waktu malam
dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, selanjutnya pasal
363 KUHP ayat 1 alenia ke-5 1 kasus pencurian yang untuk masuk ketempat
melakukan kejahatan atau untuk sampai kebarang yang diambilnya, dilakukan dengan
merusak barang tersebut. Oleh karena itu penulis hanya mengkaji data tindak pidana
pencurian yang diselesaikan dengan metode restorative justice saja.
Dari sekian kasus pencurian di Kecamatan Garung penulis hanya meneliti di
Desa Lengkong karena yang punya Peraturan Desa (Perdes) tentang tindak pidana
pencurian hanya ada di Desa Lengkong. Peraturan tersebut tertuang dalam Peraturan
Desa (Perdes) Lengkong Nomor 2 tahun 2011.
Dalam penanganan kasus tindak pidana, dalam suatu desa ada beberapa
lembaga inti dan lembaga organisasi kemitraan di dalam masyarakat, yang di maksud
lembaga organisasi inti yaitu Perangkat desa seperti Kepala Desa, Kepala Dusun, dan
pihak terkait seperti ketua RT dan Ketua RW. Sedangkan yang dimaksud dengan
organisasi kemitraan adalah Karang Taruna seperti organisasi pemuda.

15

16

Berdasarkan data yang diperoleh penulis dari Polsek Garung17 beserta
penduduk setempat, hasil pencurian tersebut yang tertangkap akan disita dan akan
dikembalikan kepada pihak korban, apabila terjadi kerusakan atau bahkan hilangnya
benda yang diambil tersangka maka tersangka dikenai denda dua kali lipat sesuai
dengan harga nominal barang, selanjutnya tersangka diberi penyuluhan dan
pembinaan dari humas polri untuk membuat efek jera dan tidak mengulangi hal
tersebut.
Warga lebih mengedepankan sikap toleransi kepada pelaku, karena pencurian
dilakukan pasti ada sebab dan alasannya. Apalagi kasus pencurian ini masih di
kategorikan sebagai kasus pencurian ringan dan hanya mengakibatkan kerugian
secara materiil saja dan tidak menimbulkan korban18.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji
permasalahan tersebut dengan judul “Penanganan Tindak Pidana Pencurian
Dengan Pendekatan Restorative Justice” (Studi Kasus Di Desa Lengkong,
Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo)”.

17
18

Ibid.
Ibid.

16

17

B.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut :
Bagaimana tindakan masyarakat Desa Lengkong dan tindakan kepolisian
Polsek Garung dalam penanganan tindak pidana pencurian dengan pendekatan
restorative justice ?
C.

Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah :
Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana tindakan masyarakat Desa

Lengkong dan tindakan kepolisian Polsek Garung dalam penanganan tindak pidana
pencurian dengan pendekatan restorative justice di Desa Lengkong, Kecamatan
Garung.
D.

Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapakan mempunyai manfaat sebagai berikut :
a. Memberikan sumbangsih pemikiran di bidang hukum pada umumnya dan
dalam bidang hukum pidana pada khususnya, serta diharapkan dapat
memberikan kontribusi pemikiran atau memberikan solusi dalam bidang
hukum pidana terkait dengan tindak pidana pencurian.

17

18

b. Sebagai bahan masukan bagi para pembaca untuk mengetahui dan
mengkaji lebih dalam berkaitan dengan penegakan hukum yang tertulis
diatas.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapakan mempunyai manfaat sebagai berikut :
Dari hasil penelitian dan penulisan diharapkan dapat memberikan
informasi kepada pihak terkait serta referensi untuk meningkatkan sistem
penegakan hukum pidana dan meminimalisir terjadinya tindak pidana
pencurian ringan serta memberikan efek jera kepada pelaku.
E.

Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian yang dilakukan adalah deskriptif, pencarian fakta
dengan interpretasi yang tepat. Penelitian deskriptif mempelajarai masalahmasalah dalam masyarakat serta tatacara yang berlaku dalam masyarakat serta
situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikapsikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung
dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena.
2. Pendekatan Masalah
Sehubungan dengan jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian
tersebut adalah yuridis empiris maka pendekatan masalah yang digunakan
adalah sosio legal yang berarti menyelidiki suatu permasalahan, secara

18

19

sistematis dengan metode ilmiah untuk dapat mendeskripsikan permasalah
tersebut, memberikan penyelesaialan/solusi atas permasalahan. Metode
Penelitian Sosio Legal yaitu metode penelitian yang mendekati suatu
permasalahan melalui penggabungan antara analisa normatif dengan
pendekatan ilmu non-hukum dalam melihat hukum
Penelitian sosio-legal, merupakan penelitian yang mengkaji ilmu
hukum dengan memasukkan faktor sosial dengan tetap dalam batasan
penulisan hukum. Penelitian Sosio Legal tetap mendahulukan pembahasan
norma-norma hukum,

kemudian mengupasnya dengan komprehensif dari

kajian ilmu non-hukum/faktor-faktor diluar hukum, seperti sejarah, ekonomi,
social, politik, budaya dan lainnya.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data akan semakin lengkap apabila gambaran
penelitian menjadi jelas dan arah pandangannya ditunjang oleh alat-alat yang
tersedia. Data merupakan perwujudan dari infomasi untuk dikumpulkan guna
mendeskripsikan suatu objek, oleh karenanya diperlukan teknik untuk
mengumpulkan data tersebut. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan
data dalam penelitian ini, yaitu antara lain :
a. Studi Kepustakaan yaitu : Penelitian yang dilakukan dengan cara
mengumpulkan

data

yang terdapat

dalam

buku-buku, literature,

perundang-undangan, majalah serta makalah yang berhubungan dengan

19

20

objek yang diteliti. Bahan hukum dalam penelitian ini dibagi menjadi 2
(dua) kelompok, yaitu :
1). Bahan Hukum Primer yaitu berkaitan dengan Peraturan Perundangundangan antara lain :
a). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun (UUD)
1945.
b). Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
c). RUU KUHP.
d). Perma No. 2 Tahun 2012 Tentang Penyelesaian Batasan Tindak
Pidana Ringan (Tipiring) dan Jumlah Denda dalam KUHP.
e). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002
Tentang Kepolisian Republik Indonesia.
f). Peraturan Desa Lengkong Nomor 2 tahun 2011 Tentang
Keamanan dan Ketertiban.
2). Bahan Hukum Sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer seperti buku-buku teks yang ditulis oleh para ahli
hukum yang berpengaruh pada jurnal-jurnal hukum, pendapat para
sarjana,

yurisprudensi

dan

hasil-hasil

kumpulan

beberapa

pendapat/simposium mutakhir atau majalah hukum yang berkaitan
dengan permasalahan dalam penelitian ini. Bahan hukum sekunder
yang digunakan dalam penelitian ini terkait dengan permasalahan yang
dikaji yaitu berasal dari penjelasan Undang-undang, buku-buku

20

21

literatur, artikel, internet, pendapat para ahli serta wawancara dengan
pihak terkait.
b. Penelitian Lapangan yaitu penelitian yang dilakukan dengan langsung
terjun ke pihak yang terkait dengan masalah yang diteliti. Penelitian ini
dilakukan dengan menentukan :
1). Lokasi Penelitian : Lokasi penelitian berada di Kecamatan Garung,
Kabupaten Wonosobo beserta Polsek Kecamatan Garung, Kabupaten
Wonosobo.
2). Wawancara : Wawancara dilakukan dengan pihak kepolisian Polsek
Garung,

dengan

Perangkat

Desa

Lengkong,

serta

lembaga

kemasyarakatan yakni dari pihak kepala dusun, RT, RW, karang
taruna/pemuda, petani, pihak pelaku, pihak korban, beserta warga
masyarakat setempat Desa Lengkong.
4. Teknik Analisis Data
Penelitian dilakukan dengan analisa data kualitatif.
5. Unit Amatan
Dasar hukum berikutnya adalah KUHP, Perma No. 2 Tahun 2012
Tentang Penyelesaian Batasan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) dan Jumlah
Denda Dalam KUHP, UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik
Indonesia, serta Peraturan Desa Lengkong Nomor 2 tahun 2011 Tentang
Keamanan dan Ketertiban, berkaitan dengan penanganan tindak pidana
pencurian di Desa Lengkong, Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo.
6. Unit Analisis
21

22

Penanganan hukum terhadap tindak pidana pencurian sayur di Desa
Lengkong, Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo oleh pihak kepolisian
Polsek Garung dengan metode restorative justice.
F.

Sistematika Penulisan
Susunan skripsi ini terdiri dari beberapa bagian yang masing-masing

diuraikan sebagai berikut :
1. Pada bagian awal penulisan skripsi terdiri dari: Sampul, Lembar Persetujuan,
Lembar Pengujian, Daftar Isi, Ucapan Terima Kasih, Pendahuluan, Daftar
Peraturan Beserta Kasusnya, Daftar Tabel, Daftar Singkatan, dan Daftar
lampiran, Kata Pengantar, Abstrak.
2. Bagian kedua merupakan isi/inti dari bagian pokok dalam penulisan skripsi,
susunannya terdiri dari 3 bab antara lain :
a. Bab I : Isi dari bab ini berupa uraian orientasi tentang penelitian yang akan
dilakukan meliputi : (A) Latar Belakang Masalah; (B) Rumusan Masalah;
(C) Tujuan Penelitian; (D) Manfaat Penelitian; (E) Metode Penelitian; (F)
Sistematika Penulisan.
b. Bab II : Isi dari bab ini menguraian teori, pembahasan, dan menganalisis
permasalahan pada penelitian.
c. Bab III: Isi dari bab ini merupakan pernyataan dari kesimpulan dan saran.
3. Terdiri dari daftar baca dan lampiran
22

23

4. Bagian akhir dari penulisan skripsi ini berisi daftar pustaka yang digunakan
sebagai acuan, dan lampiran-lampiran yang melengkapi uraian pada bagian
isi.

23