“Kedudukan Rekaman CCTV dalam Pembuktian Tindak Pidana Penggelapan (Studi Putusan Pengadilan Negeri No.94 Pid.B 2015 PN.Mdn dan Putusan Pengadilan Tinggi No.342 PID 2015 PT-MDN)

BAB II
PENGATURAN ALAT BUKTI MENURUT HUKUM ACARA PIDANA
DI INDONESIA

A. Alat Bukti Menurut Hukum Acara Pidana Indonesia
Untuk menentukan suatu kebenaran yang obyektif, harus menggunakan
alat bukti. Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu
perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat digunakan sebagai bahan
pembuktian guna menimbulkan keyakinanhakim atas kebenaran adanya suatu
tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.36
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, maka dinilai sebagai alat bukti dan yang
dibenarkan mempunyai “kekuatan hukum”, hanya terbatas pada alat bukti yang
tercantum dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Dengan kata lain, sifat dari alat
bukti menurut KUHAP adalah limitatif atau terbatas pada yang ditentukan saja.
Kekuatan Pasal 183 KUHAP yang juga mengandung asas unus testis nullus testis
yang artinya “keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan kesalahan
terdakwa” dapat kita temukan di Pasal 183 KUHAP yakni sebagai berikut:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah

melakukannya”

36

Alfitra, Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di
Indonesia. (Jakarta: Raih Asa Sukses,2011),hlm. 23.

31
Universitas Sumatera Utara

32

Proses pemeriksaan pada acara pidana diperlukan ketentuan-ketentuan
dalam hukum acara pidana yang terlihat dalam acara pemeriksaan biasa yang
terkesan sulit pembuktiannya dan membutuhkan penerapan hukum yang benar
dan pembuktian yang obyektif serta terhindar dari rekayasa para pelaksana
persidangan. Untuk menemukan suatu kebenaran yang obyektif maka
diperlukannya alat bukti. Alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang diatur
dalam pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 terdiri dari:37
a. Keterangan Saksi;

b. Keterangan Ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan Terdakwa.

Ad. a. Keterangan Saksi
Dalam pengertian tentang keterangan saksi, terdapat beberapa pengertian
lainnya yang perlu dikemukakan, yaitu pengertian saksi dan kesaksian, sebagai
berikut :
1.

Saksi
Dalam pengertian saksi,

terdapat

beberapa pengertian yang

dapat


dikemukakan, yaitu :38
a) Seseorang yang mempunyai informasi tangan pertama mengenai suatu
kejahatan atau kejadian dramatis melalui indra mereka (misal penglihatan,
37
38

Andi Hamzah,Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta:Sinar Grafika,,2010),hlm.259
Andi Sofyan dan Abdul Asis,Op Cit,hlm.238

Universitas Sumatera Utara

33

pendengaran, penciuman , sentuhan) dan dapat menolong memastikan
pertimbangan-pertimbangan penting dalam suatu kejahatan atau kejadian.
Seorang saksi yang melihat kejadian secara langsung dikenal juga sebagai
saksi mata.
b) Pasal 1 angka 26 KUHAP menjelaskan : saksi adalah orang yang dapat
memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan
peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri,

dan ia alami sendiri.
c) Rancangan Undang-Undang Perlindugan Saksi pada Pasal 1 ayat (1) nya
berbunyi : Saksi adalah seseorang yang menyampaikan laporan dan atau
orang yang dapat memberikan keterangan dalam proses penyelesaian tindak
pidana berkenaan dengan peristiwa hukum yang ia dengar, lihat dan alami
sendiri dan atau orang yang memiliki keahlian khusus tentang pengetahuan
tertentu guna kepentingan penyelesaian tindak pidana.
2.

Kesaksian
Dalam pengertian kesaksian, terdapat beberapa pengertian yang dapat
dikemukakan, yaitu :

a) Menurut R.Soesilo, kesaksian adalah suatu keterangan di muka hakim dengan
sumpah, tentang hal-hal mengenai kejadian tertentu, yang ia dengar, lihat dan
alami sendiri.
b) Menurut Sudikno Mertokusumo, kesaksian adalah kepastian yang diberikan
kepada

hakim


di

persidangan

tentang

peristiwa

dengan

jalan

Universitas Sumatera Utara

34

pemberitahuannya secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan dilarang
atau tidak diperbolehkan oleh undang-undang yang dipanggil di pengadilan.
3.


Keterangan Saksi
Yang dimaksud dengan keterangan saksi menurut Pasal 1 angka 27 KUHAP
adalah “salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan
dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuan itu.
Didalam keterangan saksi agar dapat dipakai sebagai alat bukti maka harus

memenuhi dua syarat, yaitu :39
a.

Syarat Formil
Bahwa keterangan saksi hanya dapat dianggap sah apabila diberikan
memenuhi syarat formil, yaitu saksi yang memberikan keterangan di bawah
sumpah, sehingga keterangan saksi yang tidak disumpah hanya boleh
digunakan sebagai penambahan penyaksian yang sah lainnya.

b.

Syarat Materiel

Bahwa keterangan seorang atau satu saksi tidak dapat dianggap sah sebagai
alat pembuktian ( unus testis nulus testis) karena tidak memenuhi syarat
materiel, akan tetapi keterangan seorang atau satu orang saksi, adalah cukup
untuk alat pembuktian salah satu unsur kejahatan yang dituduhkan.
Untuk suatu penilaian keterangan saksi sebagaimana menurut Pasal 185

KUHAP, bahwa :

39

Ibid,hlm.239

Universitas Sumatera Utara

35

(1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang
pengadilan.
(2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa
terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai
dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
(4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian
atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila
keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa,
sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.
(5) Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan
merupakan keterangan saksi.
(6) Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan
sungguh-sungguh memperhatikan :
a. persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
b. persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang
tertentu;
d. cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat
mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
(7) Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang
lain tidak merupakan alat bukti namun apabila keterangan itu sesuai dengan

Universitas Sumatera Utara


36

keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan
alat bukti sah yang lain.
Konsepsi saksi, khususnya pasca putusan Mahkamah Konstitutusi nomor
65/PUU-VIII/2010 yang perlu untuk diketahui adalah seperti yang diatur di dalam
Pasal 1 angka 26 KUHAP saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan
guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara
pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Dengan
demikian keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang
berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari
pengetahuannya itu yang jelas terdapat dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP. Menurut
Mahkamah Konstitusi pengertian saksi dalam KUHAP menimbulkan pengertian
yang multitafsir dan melanggar asas lex certa serta asas lex stricta sebagai asas
umum dalam pembentukan perundang-undangan pidana. Ketentuan yang
multitafsir dalam hukum acara pidana dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum
bagi warga negara, karena dalam hukum acara pidana berhadapan antara,
penyidik, penuntut umum, dan hakim yang memiliki kewenangan untuk

memeriksa

tersangka

atau

terdakwa

yang

berhak

untuk

mendapatkan

perlindungan hukum.40
Dengan pendefenisian saksi dan keterangan saksi yang demikian itu
apabila diabaikan akan mendapat kelemahan yang berbahaya. Bagaimana jika ada


40

Risalah Sidang Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 65/PUU-VIII/2010 Perihal
pengujian undang-undang nomor 8/1981 tentang hukum acara pidana terhadap undang-undang
dasar negara Republik Indonesia tahun 1945,hlm 11

Universitas Sumatera Utara

37

orang yang memiliki pengetahuan relevan terkait tindak pidana atau tuduhan
tindak pidana, namun ia tidak mendengar, melihat, dan merasakan secara
langsung tindak pidana tersebut ? Hal ini yang pertama kali disadari oleh Yusril
Ihza Mahendra yang mana merupakan pemohon pengujian pasal tersebut yang
bertentangan dengan pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28 D ayat (1) UUD Negara
Republik Indonesia 1945 yang dalam legal standing nya menyatakan bahwa Pasal
1 angka 26 KUHAP telah memberikan pembatasan, bahkan menghilangkan
kesempatan bagi tersangka aau terdakwa untuk mengajukan saksi yang
menguntungkan atau saksi alibi karena hanya saksi fakta yang bisa diajukan
sebagai saksi yang menguntungkan, permohonan Yusril Ihza Mahendra saat itu
diterima dan dengan demikian sekarang dapat diketahui bahwa yang disebut saksi
dalam perkara pidana tidak hanya orang yang mendengar, melihat, dan merasakan
sendiri terjadinya tindak pidana. Orang yang tidak mendengar, melihat, dan
merasakan terjadinya tindak pidana pun dapat menjadi saksi selama ia memiliki
pengetahuan yang relevan terkait tindak pidana atau tuduhan tindak pidana yang
diperkarakan.41
Pengecualian terhadap orang yang dapat menjadi saksi didalam
persidangan diatur di dalam pasal 186 KUHAP, sebagai berikut :42
a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah
sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai
terdakwa;

41

http://www.calonsh.com/2016/10/16/konsepsi-saksi-dalam-perkara-pidana-pascaputusan-mk-nomor-65puu-viii2010 di akses pada tanggal 31 Juli 2017 pukul 20.15 wib
42

Andi Hamzah,Hukum Acara Pidana Indonesia,Op Cit, hlm.268

Universitas Sumatera Utara

38

b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu
atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena
perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;
c. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama
sebagai terdakwa.
Disamping mengenai karena adanya hubungan kekeluargaan (sedarah atau
semenda), ditentukan dalam pasal 170 KUHAP bahwa mereka, yang karena
pekerjaan, harkat, martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat
diminta dibebaskan dari kewajiban untuk menyimpan rahasia ditentukan oleh
peraturan perundang-undangan. Jika terhadap hal tersebut tidak diatur maka
hakim yang menentukan sah atau tidaknya alasan yang dikemukakan untuk
mendapatkan kebebasan tersebut. Dalam pasal 171 KUHAP ditambahkan
pengecualian untuk memberi kesaksian dibawah sumpah ialah :
1) Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin;
2) Orang sakit ingatan dan sakit jiwa meskipun ingatannya baik kembali.43
Hal kewajiban saksi mengucapkan sumpah atau janji KUHAP masih
mengikuti peraturan lama (HIR), dimana ditentukan pengucapan sumpah
merupakan syarat mutlak suatu kesaksian sebagai alat bukti. Agar keterangan
saksi dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah dan kuat maka sebelumnya saksi
memberikan keterangan terlebih dahulu wajib mengucapkan sumpah atau janji

43

Ibid, hlm.270

Universitas Sumatera Utara

39

menurut cara agamanya masing-masing, hal ini tercantum dalam Pasal 160 ayat
(3) KUHAP.44
Saksi menurut sifatnya dapat dibagi atas dua bagian, yaitu:
a) Saksi A Charge (Saksi yang memberatkan terdakwa)
Saksi ini adalah saksi yang telah dipilih dan diajukan oleh penuntut umum,
dengan keterangan atau kesaksian yang diberikan akan memberatkan
terdakwa, demikian menurut Pasal 160 ayat (1) huruf c KUHAP, bahwa
“Dalam hal ada saksi baik yang menguntungkan maupun yang
memberatkan terdakwa yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara
dan atau yang diminta oleh terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut
umum selama berlangsungnya sidang atau sebelum dijatuhkannya putusan,
hakim ketua sidang wajib mendengar keterangan saksi tersebut”
b) Saksi A De Charge (Saksi yang meringankan atau menguntungkan
terdakwa)
Saksi ini dipilih atau diajukan oleh penuntut umum atau terdakwa atau
penasihat hukum, yang mana keterangan atau kesaksian yang diberikan
akan meringankan atau menguntungkan terdakwa, demikian menurut Pasal
65

KUHAP,

bahwa

“Tersangka

atau

terdakwa

berhak

untuk

mengusahakan diri mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki
keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi
dirinya.”

44

Ibid, hlm.271

Universitas Sumatera Utara

40

Mengenai saksi yang dapat juga ditemukan sebagai saksi mahkota
memang tidak diatur di dalam KUHAP namun istilah ini dapat ditemui dalam
alasan yang tertuang pada memori kasasi yang diajukan oleh kejaksaan dalam
Putusan Mahkamah Agung no.2374 K/Pid.sus/2011 yang menerangkan bahwa
“Walaupun tidak diberikan suatu definisi otentik dalam KUHAP mengenai saksi
mahkota (kroongetuide), namun berdasarkan perspekstif empirik maka saksi
mahkota didefiniskan sebagai saksi yang berasal atau diambil dari salah seorang
tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana
dan dalam hal mana kepada saksi tersebut diberikan mahkota. Adapun mahkota
yang diberikan kepada saksi yang berstatus terdakwa tersebut adalah dalam
bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikannya suatu
tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke pengadilan atau
dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan.”45
Dalam meminta keterangan dari saksi mahkota ini, berkas perkara dari
terdakwa tersebut dipisah (splitsing). Splitsing dilakukan karena kurangnya saksi
untuk menguatkan dakwaan penuntut umum, sehingga harus ditempuh cara
mengajukan sesama tersangka yang lain. Namun kelemahan dari pemeriksaan
seperti ini sering mengakibatkan terjadinya keterangan saksi palsu, sehingga
kemungkinan saksi diancam atau dikenakan dengan Pasal 224 KUHP yang berisi
“barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undangundang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang
yang harus dipenuhinya, diancam: dalam perkara pidana, dengan pidana penjara
45

http://www.hukumonline.com//saksi-memberatkan-meringankan-mahkota-dan-alibi
diakses pada tanggal 10 agustus 2017 pukul 12.15 wib

Universitas Sumatera Utara

41

paling lama sembilan bulan dan dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling
lama enam bulan.” Kemungkinan yang timbul adalah bahwa para terdakwa yang
diperiksa seperti ini akan saling memberikan atau meringankan satu sama lain.46
Ad. b Keterangan Ahli
Esensi keterangan ahli atau verklaringen van een deskundige/expect
testimony adalah keterangan yang diberikan oleh seseorag yang memiliki keahlian
khusus tentang yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna
kepentingan pemeriksaan seperti yang terdapat pada Pasal 1 butir 28 KUHAP
merumuskan bahwa:47
“Keterangan Ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat
terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaaan.”
Mengenai keterangan ahli juga dapat dilihat pada Pasal 186 KUHAP yang
bunyinya sebagai berikut :
“Keterangan ahli ini juga dapat sudah diberikan pada waktu pemeriksaan
oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam sautu bentuk
laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah diwaktu ia menerima
jabatan atau pekerjaan”
Keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang hanya
diatur dalam satu pasal saja pada Bagian keempat, Bab XVI sebagaimana yang
dirumuskan dalam Pasal 186 KUHAP. Akibatnya kalau hanya bertitik tolak pada

46

Hari sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana
(Bandung:Mandar Maju,2003) hlm. 52
47
Lilik Mulyadi,Op Cit,hlm 109

Universitas Sumatera Utara

42

pasal dan penjelasan Pasal 186 KUHAP saja, sama sekali tidak memberi
pengertian mengenai keterangan ahli tersebut. Untuk mencari dan menemukan
pengertian yang lebih luas, tidak dapat hanya bertumpu dan berlandaskan pasal
dan penjelasan Pasal 186 KUHAP, maka pada pencarian pengertian yang lebih
luas ini pasal ini harus dihubungkan dengan ketentuan dan pasal-pasal yang
terpencar di dalam KUHAP, mulai dari Pasal 1 angka 28, Pasal 120, Pasal 133,
Pasal 179 dan Pasal 180 KUHAP. Dengan jalan merangkai pasal-pasal tersebut
baru jelas arti dan seluk-beluk pemeriksaan keterangan ahli. Hal ini sudah
diterangkan satu persatu pada saat menguraikan hal yang bersangkutan dengan
pasal-pasal tersebut. Sedang apa yang dirumuskan pada Pasal 186 KUHAP
khusus mengatur masalah keterangan ahli ditinjau dari segi alat bukti dan
pembuktian. Akan tetapi nyatanya harus diakui Pasal 186 KUHAP itu sendiri
sebagai pasal yang mengatur keterangan ahli sebagai alat bukti dan pembuktian,
tidak mampu menjelaskan masalah yang dikandungnya sekalipun pasal tunggal
ini dihubungkan dengan penjelasannya. Dari sudut pengertian dan tujuan
keterangan ahli inilah ditinjau makna keterangan ahli sebagai alat bukti. Manfaat
yang dituju oleh pemeriksaan keterangan ahli guna kepentingan pembuktian.
Seandainya hakim kurang memahami pengertian tentang suatu keadaan, dan
penjelasan hanya dapat diberikan oleh orang yang memiliki keahlian khusus
dalam masalah yang hendak dijernihkan. Oleh karena itu, disamping orang yang
diminta keterangannya benar-benar ahli dan memiliki keahlian khusus dalam
masalah yang hendak dibuat menjadi jelas dan terang, pemeriksaan itu harus

Universitas Sumatera Utara

43

bertitik tolak dari tujuan pemeriksaan ahli tadi, yaitu “untuk membuat terang”
perkara pidana yang sedang diperiksa.48
Dalam Pasal 120 KUHAP kembali lagi ditegaskan yang dimaksud dengan
keterangan ahli ialah orang yang memiliki “keahlian khusus”, yang akan
memberikan

keterangan

menurut

pengetahuannya

yang

sebaik-baiknya.

Pengertian inilah yang dapat disarikan dari ketentuan Pasal 120 KUHAP, jika
pengertian ahli dikaitkan dengan alat bukti dan pembuktian. Dengan demikian
Pasal 120 KUHAP semakin mempertegas pengertian keterangan ahli yang ditinjau
dari segi alat bukti dan pembuktian, yakni:
i. Secara umum yang dimaksud dengan keterangan ahli yang dapat dianggap
bernilai sebagai alat bukti yang sah ialah keterangan seorang ahli yang
memiliki keahlian khusus tentang suatu hal.
ii. Dan keterangan yang diberikannya sebagai ahli yang memiliki keahlian khusus
dalam bidangnya, berupa keterangan “menurut pengetahuannya”
Dalam Pasal 133 KUHAP lebih menitikberatkan masalahnya kepada
keterangan ahli kedokteran kehakiman, dan menghubungkannya dengan tindak
pidana yang berkaitan dengan kejahatan, penganiayaan dan pembunuhan.
Kalau Pasal 133 dihubungkan dengan Pasal 1 angka 28 dan Pasal 120 KUHAP
pada satu pihak, tampak seolah undang-undang mengelompokkan ahli pada dua
kelompok, yakni:49

48

M.Yahya Harahap, Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP ,Pemeriksaan
Sidang Pengadilan,…,op cit, hlm.298
49

Ibid,hlm.299

Universitas Sumatera Utara

44

1) Ahli secara umum seperti yang diatur pada Pasal 1 angka 28 dan Pasal 120,
yakni orang-orang yang memiliki keahlian khusus dalam bidang tertentu,
seperti ahli jiwa, akuntan, ahli kimia, ahli mesin, ahli pertambangan, dan
sebagainya.
2) Ahli kedokteran kehakiman seperti yang disebut dalam Pasal 133 KUHAP,
ahli yang khusus dalam bidang kedokteran kehakiman yang berhubungan
dengan bedah mayat dan forensic.
Sebenarnya ahli dalam bidang kedokteran kehakiman yang berhubungan
dengan kejahataan tindak pidana penganiayaan, pembunuhan dan sebagainya pada
hakikatnya adalah ahli yang memiliki keahlian khusus. Atau dengan kata lain, ahli
kedokteran kehakiman ialah ahli yang khusus yang memiliki keahlian yang
berhubungan dengan korban yang mengalami luka, keracunan ataupun mati yang
diduga diakibatkan peristiwa pidana. Oleh karena itu khusus mengenai keterangan
korban yang mengalami luka, keracunan atau pembunuhan, hanya dapat diminta
dari ahli kedokteran kehakiman, agar keterangan tersebut dapat bernilai sebagai
alat bukti yang sah. Keterangan yang diberikan oleh dokter yang bukan ahli
kedokteran kehakiman, bukan merupakan alat bukti yang sah. Keterangan mereka
hanya bernilai sebagaimana ditegaskan penjelasan Pasal 133 ayat (2) KUHAP.
Dan kalau nilai keterangan dokter yang bukan ahli dokter kehakiman hanya
dianggap undang-undang sebagai keterangan saja maka keterangan itu:
a) Tidak mempunyai nilai pembuktian
b) Dan hanya dapat dipergunakan hakim menjadi pendapatnya sendiri jika
keterangan itu dianggapnya benar. Atau barangkali “konsisten” dengan

Universitas Sumatera Utara

45

ketentuan Pasal 161 ayat (2) KUHAP. Keterangan tersebut dapat
dipergunakan hakim untuk “menguatkan keyakinannya”
Dalam Pasal 179 KUHAP, ditinjau dari segi alat bukti dan pembuktian,
tampaknya pasal ini lebih mempertegas pendapat akan hal-hal yang telah
diuraikan di atas, yakni :
(1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakirnan
atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi
keadilan.
(2) Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang
memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan
sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan
yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.50
Ad. c. Surat
Jenis surat yang dapat diterima sebagai alat bukti dicantumkan dalam
Pasal 187 KUHAP. Surat tersebut dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan
dengan sumpah. Jenis surat yang dimaksud adalah: pertama berita acara dan surat
lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau
yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau
keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri, disertai dengan alasan
yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu.51

50
51

Ibid,hlm.300
Eddy O.S Hiariej,Op Cit,hlm.108

Universitas Sumatera Utara

46

Sebagai contoh, akta perjanjian yang dibuat oleh para pihak di hadapan
notaris. Demikian pula akta yang dibuat oleh pejabat umum seperti lurah, camat
dan lain sebagainya. Menurut Wirjono Prodjodikoro, suatu akta autentik yang
dijadikan alat bukti pada perkara perdata bersifat mengikat hakim, kecuali jika ada
bukti sebaliknya, namun hal tersebut berbeda dengan perkara pidana. Dalam
perkara pidana, tidak ada satu bukti pun yang mengikat hakim perihal kekuatan
pembuktian. Hakim pidana harus selalu memikirkan apa ia yakin atas kesalahan
terdakwa. Jika ada suatu akta autentik yang diajukan dalam perkara pidana, hakim
untuk mempunyai keyakinan tentang ketiadaan kesalahan terdakwa, tidak
memerlukan bukti berlawanan, seperti halnya dengan hakim perdata. Hal ini
mengingat pembuktian dalam perkara pidana di Indonesia menganut pembuktian
bebas. Artinya, hakim bebas untuk meyakini atau tidak alat-alat bukti yagn sah.
Kedua, surat yang dibuat menurut ketentuan perundang-undangan atau surat yang
dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi
tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau
sesuatu keadaan. Contohnya, untuk membuktikan adanya perkawinan, ada surat
nikah. Untuk membuktikan adanya kematian, ada akta kematiaan dan untuk
membuktikan tempat tinggal seseorang ada kartu tanda penduduk (KTP). Ketiga,
surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai suatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi
dari padanya. Misalnya adalah hasil visum et repertum yang dikeluarkan oleh
seorang dokter. Visum tersebut dapat dibuat berdasarkan permintaan korban atau
permintaan aparat penegak hukum untuk kepentingan penyidikan, penuntutan

Universitas Sumatera Utara

47

ataupun persidangan. Keempat, surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada
hubungannya mengandung nilai pembuktian apabila isi surat tersebut ada
hubungannya dengan alat bukti lain. Berdasarkan Undang-Undang nomor 1 tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, informasi elektronik dan atau
dokumen elektronik dan atau hasil cetakannya merupakan alat bukti hukum yang
sah. Informasi elektronik dan atau dokumen berikut hasil cetakannya adalah
perluasan dari alat bukti yang sah menurut hukum acara. Dokumen elektronik
tidaklah dapat dijadikan alat bukti jika terhadap suatu surat, undang-undang
menentukan harus dibuat dalam bentuk tertulis, termasuk pula akta notaris atau
akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. Dalam hal surat-surat tidak
memenuhi persyaratan untuk dinyatakan sebagai bukti surat.surat-surat tersebut
dapat dipergunakan sebagai petunjuk. Akan tetapi, mengenai semuanya
diserahkan kepada pertimbangan hakim.52
1) Menurut Sudikno Merto Kusumo :
Surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan
untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang
dan dipergunakan sebagai pembuktian. Dengan demikian segala sesuatu yang
tidak memuat tanda-tanda bacaan, atau meskipun memuat tanda-tanda bacaan,
akan tetapi tidak mengandung buah pikiran, tidaklah termasuk dalam
pengertian alat bukti tertulis atau surat.
2) Menurut Asser-Anema

52

Ibid,hlm.109

Universitas Sumatera Utara

48

Surat adalah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat
dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran.
3) Menurut Mahkamah Agung
Dalam suratnya kepada Menteri Kehakiman RI pada tanggal 14 Januari 1988.
Nomor 39/TU/88/102/Pid, berpendapat bahwa microfilm atau microfiche dapat
dipergunakan53 sebagai alat bukti.
Ad.d. Petunjuk
Pengertian petunjuk terdapat dalam Pasal 188 KUHAP yang merumuskan
bahwa: “Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena
persesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana
itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa
pelakunya.”
Petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan
keterangan terdakwa. Terlebih jika diperhatikan pada Pasal 188 ayat (1) KUHAP
yang mengatakan bahwa penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk
dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana,
setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan
berdasarkan hati nuraninya. Apabila kita bandingkan dengan 4 (empat) alat bukti
yang lain dalam pasal 184 KUHAP, maka alat bukti petunjuk ini bukanlah suatu
alat bukti yang bulat dan berdiri sendiri, melainkan suatu bukti bentukan hakim.
Alat bukti petunjuk sebenarnya merupakan rekonstruksi perbuatan, kejadian, atau
keadaan yang diperoleh dari keteranngan saksi , surat dan keterangan terdakwa
53

Surat edaran kementrian kehakiman RI nomor.39/TU/88/102/Pid. yang dikeluarkan
pada tanggal 14 Januari 1988

Universitas Sumatera Utara

49

yang bersesuaian sehingga memberikan gambaran mengenai terjadinya tindak
pidana dan siapa pelakunya.54
Hal ini dapat dilihat dari pasal 184 ayat (1) KUHAP yang menyatakan
bahwa “petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena
persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak
pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa
pelakunya”. Petunjuk yang dimaksud hanya dapat diperoleh dari :55
a. Keterangan Saksi
b. Surat
c. Keterangan Terdakwa
Keberadaan dan bekerjanya alat bukti petunjuk ini cenderung merupakan
penilaian terhadap hubungan atau persesuaian antara isi dari beberapa alat bukti
lainnya, dan bukanlah alat bukti yang berdiri sendiri, maka dapat dimaklumi
apabila sebagian ahli menaruh sangat keberatan atas keberadaannya menjadi
bagian dalam hukum pembuktian perkara pidana. Misalnya, Van Bemmelen yang
mengatakan bahwa kesalahan utama ialah petunjuk-petunjuk dipandang sebagai
alat bukti padahal hakikatnya tidak ada. Karena sifat yang demikian, maka
Wirdjono Prodjidikoro menyarankan agar alat bukti petunjuk dilenyapkan dari
penyebutan sebagai alat bukti. Selanjutnya, penggantinya adalah pada pengalaman

54

Al.Wisnubroto dan G.Widiartana, Pembaharuan Hukum Acara Pidana Indonesia,
(Bandung:PT.Citra Aditya Bakti,2005) hlm.102
55
HMA Kuffal,Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, (Malang:UMM Press,2008),
hlm.22

Universitas Sumatera Utara

50

hakim dalam sidang dan pada keterangan terdakwa dimuka hakim tidak
mengandung pengakuan salah seluruhnya dari terdakwa.56
Alat bukti petunjuk adalah berupa pemikiran atau pendapat hakim yang
dibentuk dari hubungan dan persesuaian alat bukti yang ada dan yang
dipergunakan dalam sidang, maka sifat subyektifitas hakim lebih dominan. Oleh
karena itu, Pasal 188 ayat (3) KUHAP mengingatkan hakim agar dalam menilai
kekuatan alat bukti petunjuk dalam setiap keadaan tertentu harus dilakukan
dengan arif dan bijaksana, setelah hakim memeriksa dengan cermat dan seksama
yang didasarkan hati nuraninya. Berkaitan dengan hal tersebut maka ada
pemikiran dalam KUHAP kedepan alat bukti petunjuk diganti dengan alat bukti
pengamatan hakim.57
Ad . e. Keterangan Terdakwa
Menurut Pasal 189 KUHAP, bahwa yang dimaksud dengan alat butki
berupa keterangan terdakwa, adalah:
(1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang
perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
(2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk
membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh
suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan
kepadanya.
(3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
56

Wirdjono Prodjodikoro, Hukum Atjara Pidana di Indonesia,(Jakarta:Bulak
Sumur,1967),hlm.129
57
Al.Wisnubroto dan G.Widiartana, op cit hlm.103

Universitas Sumatera Utara

51

(4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah
melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai
dengan alat bukti yang lain.
Jadi berdasarkan Pasal 189 KUHAP diatas, bahwa keterangan terdakwa
harus diberikan di depan sidang saja, sedangkan di luar sidang hanya dapat
dipergunakan untuk menemukan bukti sidang saja. Demikian pula apabila
terdakwa lebih dari satu orang, maka keterangan dari masing-masing terdakwa
utnuk dirinya sendiri, artinya keterangan terdakwa satu dengan keterangan
terdakwa lainnya tidak boleh dijadikan alat bukti terdakwa lainnya. Dalam hal
keterangan terdakwa saja di dalam sidang, tidak cukup untuk membuktikan,
bahwa terdakwa telah bersalah melakukan suatu tindak pidana, tanpa didukung
oleh alat bukti-bukti lainnya.58
B. Perkembangan tentang Alat Bukti menurut peraturan diluar KUHAP
Kesulitan

pembuktian

terhadap

tindak

pidana

terkait

dengan

penyalahgunaan teknologi informasi terutama apabila hanya terpaku pada alatalat bukti konvensional sebagaimana diatur dalam undang-undang nomor 8 tahun
1981 tentang kitab undang-undang hukum acara pidana. Permasalahan yang
kemudian muncul, bagaimana hukum mengantisipasi kesulitan pembuktian
terkait dengan perkembangan teknologi informasi tersebut dan bagaimana pula
pemanfaatan teknologi informasi dalam pembuktian perkara pidana, tidak saja
tindak pidana terkait dengan teknologi informasi , atau pun bukti elektronik akan
tetapi juga terhadap pembuktian tindak pidana lainnya. Pada masa yang akan

58

Andi Sofyan dan Abdul Asis, Op Cit,hlm.265

Universitas Sumatera Utara

52

datang perkembangan hukum selanjutnya atau dinyatakan dalam pembaharuan
KUHAP bisa saja alat bukti elektonik akan menjadi alat bukti yang sah untuk
tindak pidana umum, tetapi pada saat ini alat bukti elektronik bukanlah alat bukti
yang sah dalam pidana umum menurut hukum dan perundang-undangan yang
berlaku. Berikut beberapa pengaturan mengenai perkembangan alat bukti yang
diatur diluar KUHAP :
1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik.
Sebagaimana yang diatur pada Pasal 5 ayat (1) UU ITE: “Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan
alat bukti hukum yang sah”, kemudian diperjelas lagi dalam Pasal 5 ayat (2)
UU ITE : “Informasi elektronik da/atau dokumen elektronik dan/atau hasil
cetaknya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan perluasan dari alat
bukti yang sah dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia”.
Perkembangan teknologi dan informasi dengan segala dampak negatif
termasuk pula penyalahgunaannya yang menimbulkan kerugian dan menjelma
menjadi tindak pidana telah menimbulkan kesulitan tersendiri tidak saja pada
penyidik, penuntut umum maupun hakim terkait dengan pembuktiannya,
apabila terpaku pada alat-alat bukti sebagaimana diatur dalam undang-undang
hukum acara pidana yang berlaku. Seperti Undang-Undang nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah mengatur bahwa
mengatasi kesulitan tersebut, sehingga terkait dengan tindak pidana di bidang
informasi dan transaksi elektronik alat-alat bukti yang dapat digunakan untuk

Universitas Sumatera Utara

53

membuktikan dugaan tindak pidana tidak saja dengan alat-alat bukti yang
selama dikenal ternyata memasukkan juga informasi elektronik dan dokumen
elektronik dan atau hasil cetakkannya merupakan alat bukti yang sah.59
Dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Infromasi dan Transaksi Elektronik menyebutkan bahwa informasi elektronik
dan atau dokumen elektronik dan atau hasil cetakkannya merupakan alat bukti
hukum yang sah. Dalam ayat (2) nya menyebutkan bahwa informasi elektronik
dan dokumen elektronik tersebut merupakan perluasan dari alat bukti yang sah.
Lebih lanjut dalam dalam Pasal 44 nya, menyebutkan bahwa informasi
elektronik dan dokumen elektronik yang menempatkannya sebagai alat bukti
tersendiri disamping alat bukti yang dikenal selama ini, sehingga yang
dimaksud perluasan dari alat bukti yang sah adalah menambah jenis alat-alat
bukti menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana.60
Mengacu kepada KUHAP maka informasi dan dokumen elektronik
bukan termasuk alat-alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP.
Dalam hal terdapat informasi elektronik dan atau dokumen elektronik selama
ini seringkali meskipun diajukan di persidangan (ataupun pembuktian di
penyidikan maupun penuntutan) hanya berkekuatan pembuktian sebagai
barang bukti. Hal ini tentu akan menimbulkan konsekuensi hukum yang tidak
mudah, terutama terhadap tindak pidana umum sedangkan begitu besar dan
Jurnal Legislasi Indonesia “Sekelumit Mengenai Undang-Undang nomor 11 tahun 2008
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik”(Jakarta:Direktorat Jenderal Perundang-undangan
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI,2006),hlm.28
59

60

Ibid,hlm.29

Universitas Sumatera Utara

54

pentingnya peranan informasi teknologi dan atau dokumen elektronik dalam
pembuktian perkara pidana, sedangkan alat- alat bukti lainnya akan sulit untuk
dapat membuat terang suatu tindak pidana. Hal tersebut ternyata dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana melihat keperluan dan peranan
pembuktian perkara pidana secara keseluruhan (tidak semata tindak pidana
yang mengatur secara khusus penggunaan alat bukti tersebut) terkait dengan
perkembangan teknologi dan informasi, dalam Pasal 175 ayat (1) menyebutkan
bahwa “salah satu alat bukti yang sah untuk pembuktian perkara pidana adalah
bukti elektronik.” Dalam Pasal 178 nya menyebutkan bahwa “yang dimaksud
bukti elektronik adalah sekalian bukti dilakukannya tindak pidana berupa
sarana yang memakai elektronik.”Dari pengertian

tersebut dapat ditarik

kesimpulan bahwa informasi elektronik dan atau dokumen elektronik
sebagaimana dimaksud dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik adalah
termasuk dalam pengertian bukti elektronik sebagai salah satu alat bukti
menurut KUHAP tersebut.61
Melihat semakin pentingnya peranan informasi elektronik dan atau
dokumen elektronik di atas, termasuk kedudukannya dalam pembuktian
perkara pidana, yang tidak lagi hanya menjadi perluasan alat bukti petunjuk
akan tetapi merupakan salah satu jenis alat bukti yang sah. Kedudukan tersebut
semakin jelas sebagai salah satu jenis alat bukti yang sah, dengan berbagai
karakteristiknya,

maka

bukti

elektronik

di

persidangan

memerlukan

pengetahuan tidak saja pada penyidik, penuntut umum maupun hakim, karena

61

Ibid,hlm 30

Universitas Sumatera Utara

55

tentu selain dari segi formalitasnya (cara memperoleh) maupun dari segi
materiilnya (melihat nilai pembuktiannya). Bukti elektronik tentu berbeda
dengan alat-alat bukti lainnya, semisal surat ataupun saksi, yang dapat dengan
mudah dilihat, dibaca dan dinilai kekuatannya pembuktian secara langsung,
tentu akan berbeda jika hal tersebut terjadi pada alat bukti yang bernama bukti
elektronik tersebut. Pengetahuan (minimal dasar) dari bukti elektronik tersebut
mutlak diperlukan karena karakteristiknya, sehingga bukti elektronik tersebut,
selain

diperkenankan

juga reability (dapat

dipertanggungjawabkan

keabsahannya),necessity (diperlukan untuk pembuktian) dan relevance (relevan
dengan pembuktian).62
2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
Pasal 44 ayat (2) dalam undang-undang ini jelas dinyatakan bahwa: “Bukti
permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurangkurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau
data yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan baik secara biasa
maupun elektronik atau optik”
3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme
Pasal 27 huruf b menyatakan: “alat bukti lain berupa informasi yang
diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat
optik atau yang serupa dengan itu” dan huruf c: “data, rekaman, atau informasi
yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan

62

Ibid

Universitas Sumatera Utara

56

atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik
apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak
terbatas pada:
a) Tulisan, suara atau gambar
b) Peta, rancangan, foto, atau sejenisnya
c) Huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat
dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya”
4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang
Pada Pasal 73 berbunyi “Alat bukti yang sah dalam pembuktin tindak
pidana pencucian yang ialah :
a. Alat bukti yang sebagaimana dimaksud dalam hukum acara pidana;
dan/atau;
b. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima,
atau disimpan secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa optic
dan dokumen”63
C. Kekuatan Pembuktian dalam Alat Bukti
Pembuktian menurut subekti adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran
dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengkataan.64
Hukum acara pidana menganggap bahwa pembuktian merupakan suatu hal
yang essensial untuk menentukan nasib seseorang terdakwa. Bersalah atau
63

http://www.radarbanjarmasinnews.com/2015/08/16/alat-bukti-elektronik-dalam pidana
diakses pada tanggal 1 Agustus 2017 pukul 11.00 wib.
64
Subekti,Hukum Pembuktian, (Jakarta:Pradnya Paramita,1983) hlm.7

Universitas Sumatera Utara

57

tidaknya seorang terdakwa sebagaimana yang didakwakan kepadanya dalam surat
dakwaan ditentukan pada proses pembuktiannya. Atau dengan kata lain perkataan
pembuktian merupakan suatu upaya untuk membuktikan kebenaran isi surat
dakwaan yang disampaikan oleh jaksa penuntut umum, yang kegunaanya adalah
untuk memperoleh kebenaran sejati (materiil) terhadap :65
1.

Perbuatan-perbuatan manakah yang dianggap terbukti menurut pemeriksaan
persidangan.

2. Apakah telah terbukti bahwa terdakwa bersalah atas perbuatan-perbuatan yang
didakwakan kepadanya.
3. Tindak pidana apakah yang dilakukan sehubungan dengan perbuatan itu.
4. Hukum apakah yang harus dijatuhkan kepada terdakwa bukanlah pekerjaan
yang mudah.
Dalam rangka mencegah kesewenang-wenangan penetapan seseorang
sebagai tersangka ataupun penangkapan dan penahanan, setiap bukti permulaan
haruslah dikonfrontasi antara satu dengan lainnya, termasuk pula dengan calon
tersangka. Mengenai hal terakhir ini, dalam KUHAP kita tidak mewajibkan
penyidik untuk memperlihatkan bukti yang ada padanya kepada si tersangka,
tetapi berdasarkan doktrin, hal ini dibutuhkan untuk mencegah apa yang disebut
dengan istilah unfair prejudice atau persangkaan yang tidak wajar.66
Untuk mengetahui suatu kebenaran atas suatu peristiwa yang terjadi
diperlukan suatu proses kegiatan yang sistematis dengan menggunakan ukuran

65

Martiman Projohamidjojo,Pembaharuan Hukum Acara Pidana dalam teori dan praktek
cetakan I (Jakarta:Pradnya Paramita,1989), hlm 133
66
Eddy O.S Hiariej, Op Cit, hlm.98

Universitas Sumatera Utara

58

dan pemikiran yang layak dan rasional. Kegiatan pembuktian dalam hukum acara
pidana pada dasarnya diharapkan untuk memperoleh suatu kebenaran, yakni
kebenaran dalam batasan-batasan yuridis bukan dalam batasan yang mutlak
karena kebenaran yang mutlak yang sukar untuk diperoleh. Pembuktian dalam
hukum acara pidana dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk mendapatkan
keterangan melalui alat-alat bukti dan barang bukti guna memperoleh suatu
keyakinan atas benar atau tidaknya perbuatan pidana yang didakwakan serta dapat
mengetahui ada tidaknya kesalahan pada diri terdakwa.
Adapun nilai kekuatan tiap-tiap pembuktian dapat dijelaskan sebagai
berikut :
1.

Nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi
Tentang nilai kekuatan pembuktian saksi ada baiknya kembali melihat

masalah yang berhubungan dengan keterangan saksi ditinjau dari sah atau
tidaknya keterangan saksi sebagai alat bukti. Ditinjau dari segi ini, keterangan
saksi yang diberikan dalam sidang pengadilan di kelompokkan pada dua jenis:67
a) Keterangan saksi menolak bersumpah, tentang kemungkinan penolakan saksi
bersumpah telah diatur dalam Pasal 161 KUHAP. Sekalipun penolakan itu
tanpa alasan yang sah dan walaupun saksi telah disandera, namun saksi tetap
menolak untuk mengucapkan sumpah atau janji. Dalam keadaan seperti ini
menurut Pasal 161 ayat (2) KUHAP, nilai keterangan saksi yang demikian
dapat menguatkan keyakinan hakim. Memang, keterangan yang diberikan

67

C.Djismin Samosir, Segenggam Tentang Hukum Acara Pidana,(Jakarta:Nuansa
Aulia,2013),hlm 59

Universitas Sumatera Utara

59

tanpa sumpah atau janji, bukan merupakan alat bukti, namun Pasal 161 ayat (2)
KUHAP menilai kekuatan pembuktian keterangan tersebut “dapat menguatkan
keyakinan hakim” apabila pembuktian yang telah ada telah memenuhi batas
minimum pembuktian.
b) Keterangan yang diberikan tanpa sumpah,
Hal ini bisa terjadi seperti yang diatur dalam Pasal 161 KUHAP, yakni saksi
yang telah memberikan keterangan dalam pemeriksaan penyidikan dengan
tidak disumpah, ternyata “tidak dapat dihadirkan” dalam pemeriksaan sidang
pengadilan. Keterangan saksi yang terdapat dalam berita acara penyidikan
dibacakan di sidang pengadilan, dalam hal ini undang-undang tidak mengatur
secara tegas nilai pembuktian yang dapat ditarik keterangan kesaksian yang
dibacakan di sidang pengadilan. Namun demikian, kalau bertitik tolak dari
ketentuan Pasal 161 ayat (2) KUHAP di hubungkan dengan Pasal 185 ayat (7)
KUHAP nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada keterangan saksi yang
dibacakan disidang pengadilan, sekurang-kurangnya dapat “dipersamakan”
dengan keterangan saksi yang diberikan di persidangan tanpa sumpah. Jadi,
sifatnya tetap tidak merupakan alat bukti, tetapi nilai kekuatan pembuktian
yang melekat padanya yang berfungsi:
i. Dapat dipergunakan “menguatkan keyakinan” hakim.
ii. Atau dapat bernilai dan dipergunakan sebagai “tambahan alat bukti” yang
sah lainnya.
c) karena hubungan kekeluargaan.

Universitas Sumatera Utara

60

Seperti yang sudah dijelaskan, seorang saksi yang mempunyai pertalian
keluarga tentu dengan terdakwa tidak dapat memberikan keterangan dengan
sumpah. Barangkali untuk mengetahui nilai keterangan mereka yang tergolong
pada Pasal 168 KUHAP yang sudah tertulis diatas, harus kembali menoleh
pada Pasal 161 ayat (2) dan Pasal 185 ayat (7) KUHAP yakni:
i. Keterangan mereka tidak dapat dinilai sebagai alat bukti,
ii. Tetapi dapat dipergunakan menguatkan hakim,
iii. Atau dapat bernilai dan dipergunakan sebagai tambahan menguatkan alat
bukti yang sah lainya sepanjang keterangan tersebut mempunyai persesuaian
dengan alat bukti yang sah itu, dan alat bukti yang sah itu telah memenuhi
batas minimum pembuktian.
d) saksi termasuk golongan yang disebut Pasal 171 KUHAP yang berbunyi “anak
yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin atau
orang yang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang baik
kembali, boleh diperiksa memberi keterangan “tanpa sumpah” disidang
pengadilan”. Titik tolak untuk mengambil kesimpulan umum dalam hal ini
ialah Pasal 185 ayat (7) KUHAP tanpa mengurangi ketentuan lain yang diatur
dalam Pasal 161 ayat (2), maupun Pasal 169 ayat 2 dan penjelasan Pasal 171. 68
Melihat penjelasan ketentuan-ketentuan tersebut, secara umum dapat
disimpulkan:69
i.

Semua keterangan saksi yang diberikan tanpa sumpah dinilai “bukan
merupakan alat bukti yang sah” walaupun keterangan yang diberikan tanpa
68

Ibid,hlm.78
Syaiful Bakhri,Hukum Pembuktian Dalam Praktik PeradilanPidana,(Yogyakarta:Total
Media,2010),hlm 86
69

Universitas Sumatera Utara

61

sumpah bersesuaian dengan yang lain, sifatnya tetap “bukan merupakan alat
bukti”
ii. Tidak mempunyai kekuatan alat pembuktian.
iii. Akan tetapi “dapat” dipergunakan “sebagai tambahan” menyempurnakan
kekuatan pembuktian yang sah.
Nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi yang disumpah sebenarnya
bukan hanya unsur sumpah yang harus melekat pada keterangan saksi agar
keterangan itu bersifat alat bukti yang sah, tetapi harus dipenuhi beberapa
persyaratan yang ditentukan undang-undang. Keterangan saksi sebagai alat bukti
yang sah maupun nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi dapat diikuti
penjelasan berikut :
a. Mempunyai kekuatan pembuktian bebas.
b. Nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada penilaian hakim.
2.

Nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli
M. Yahya Harahap menulis mengenai masalah kekuatan pembuktian dari

keterangan ahli sebagai berikut,70 nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada
alat bukti keterangan ahli mempunyai nilai kekuatan pembuktian “bebas” atau vrij
bewijskracht. Di dalam dirinya tidak ada melekat nilai kekuatan pembuktian yang
sempurna dan menentukan. Terserah pada penilaian Hakim. Hakim bebas
menilainya dan tidak terikat kepadanya. Tidak ada keharusan bagi Hakim untuk
mesti menerima kebenaran keterangan ahli dimaksud. Keterangan ahli,
sebagaimana

dikemukakan

oleh

M.Yahya

Harahap,

memiliki

kekuatan

70

M.Yahya Harahap, Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP ,Pemeriksaan
Sidang Pengadilan,…,op cit, hlm.295

Universitas Sumatera Utara

62

pembuktian bebas (vrij bewijskracht), artinya tidak mengikat hakim melainkan
diserahkan kepada penilaian hakim. Pendapat M.Yahya Harahap ini sejalan
dengan sistem pembuktian negatief-wettelijk yang dianut dalam Pasal 183
KUHAP, di mana alat-alat bukti memiliki kedudukan sebagai dasar yang dapat
menimbulkan keyakinan pada hakim. Jadi, kekuatan suatu alat bukti pada
dasarnya masih tergantung pada keyakinan Hakim. Berbeda halnya dengan sifat
positief-wettelijk di mana keyakinan Hakim tidak mendapat tempat, sehingga
keyakinan Hakim tidak diperhitungkan dalam menjatuhkan putusan. Walaupun
demikian, yaitu sekalipun hanya memiliki kekuatan pembuktian bebas (vrij
bewijskracht) saja, ini tidaklah berarti bahwa keterangan ahli merupakan alat bukti
yang dapat diabaikan atau dikesampingkan dengan mudah. Keterangan saksi ahli
(expert witness) memiliki sifat yang berbeda dengan keterangan saksi biasa
(ordinary witness).
Dengan adanya lebih dari satu pemberi keterangan ahli maka hakim dapat
membuat perbandingan untuk pada akhirnya menarik kesimpulan, hal ini juga
sudah diatur dalam Pasal 180 ayat (2) KUHAP yang menentukan bahwa dalam
hal timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasihat hukum terhadap
hasil keterangan ahli hakim memerintahkan agar hal itu dilakukan penelitian
ulang. Apabila semua ahli memberikan keterangan yang sama, tidak ada alasan
bagi hakim untuk tidak menggunakan keterangan yang diberikan oleh para ahli
tersebut.
3.

Nilai kekuatan pembuktian surat

Universitas Sumatera Utara

63

Pada asasnya, semua bukti tulisan itu merugikan atau memberatkan bagi
orang yang menulisnya atau si pembuat. Pengecualian terhadap asas ini terdapat
dalam Pasal 7 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang mengatakan “hakim
adalah bebas untuk kepentingan masing-masing akan memberikan kekuatan bukti
sedemikian rupa kepada pemegang buku setiap pengusaha, sebagaimana menurut
pendapatnya dalam tiap-tiap kejadian khusus harus diberikannya”. Ketentuan ini
juga terdapat dalam pasal 167 HIR. Atau dengan kata lain, ada kemungkian
bahwa pemegangan buku itu menguntungkan pembuatnya. Surat sebagai alat
bukti tertulis dapat dibagi kedalam dua golongan: akte dan surat-surat lain bukan
akte. Sedangkan akte dapat dibagi dalam akte otentik dan akte dibawah tangan.
Akte adalah surat yang diberi tanda tangan, memuat peristiwa yang menjadi dasar
dari suatu hak atau perkataan yang dibuat sejak semula sengaja untuk pembuktian.
Keharusan tanda tangan pada surat untuk dapat disebut sebagai akte ternyata dari
Pasal 1869 KUHPerdata (BW). Dengan demikian, karcis kereta api, tiket resi
bukan termasuk akte. Akte Otentik adalah suatu akte yang di dalam bentuk
ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan seorang pegawai
umum yang berwenang untuk itu di tempat akte itu dibuat, ketentuan ini diatur
pada Pasal 1868 BW, Pasal 165 HIR, atau Pasal 285 Rbg.71
Dalam akte otentik tidak menjadi persoalan mengenai tanda tangan, tetapi
akte dibawah tangan, pemeriksa

Dokumen yang terkait

Hukum Tidak Tertulis Sebagai Sumber Hukum untuk Putusan Pengadilan Perkara Pidana

7 92 392

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Analisa Hukum Pidana Terhadap Putusan Banding Pengadilan Tinggi Medan Tentang Membantu Melakukan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Analisa Putusan Pengadilan Tinggi Medan No :743/pid/2008/PT-Mdn)

0 71 97

Suatu Telaah Terhadap Proses Pengajuan Grasi Terhadap Putusan Pidana Mati Berdasarkan UU RI No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi (Studi Kasus PUTUSAN Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No.513/PID. B/1997/PN. LP)

0 64 77

Analisis Kasus Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan Dalam Menggandakan Rekening Bank (Studi Kasus : No.1945 / Pid.B / 2005 / PN-MDN)

2 61 120

Asas Ne Bis In Idem Dalam Hukum Pidana (Pendekatan Kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 1384 / Pid.B / Pn. Mdn / 2004 Jo Putusan Pengadilannegeri Medan No. 3259 / Pid.B / Pn. Mdn / 2008)

2 49 163

“Kedudukan Rekaman CCTV dalam Pembuktian Tindak Pidana Penggelapan (Studi Putusan Pengadilan Negeri No.94 Pid.B 2015 PN.Mdn dan Putusan Pengadilan Tinggi No.342 PID 2015 PT-MDN)

0 1 4

“Kedudukan Rekaman CCTV dalam Pembuktian Tindak Pidana Penggelapan (Studi Putusan Pengadilan Negeri No.94 Pid.B 2015 PN.Mdn dan Putusan Pengadilan Tinggi No.342 PID 2015 PT-MDN)

0 0 30

“Kedudukan Rekaman CCTV dalam Pembuktian Tindak Pidana Penggelapan (Studi Putusan Pengadilan Negeri No.94 Pid.B 2015 PN.Mdn dan Putusan Pengadilan Tinggi No.342 PID 2015 PT-MDN)

0 0 1

“Kedudukan Rekaman CCTV dalam Pembuktian Tindak Pidana Penggelapan (Studi Putusan Pengadilan Negeri No.94 Pid.B 2015 PN.Mdn dan Putusan Pengadilan Tinggi No.342 PID 2015 PT-MDN)

0 0 9