“Kedudukan Rekaman CCTV dalam Pembuktian Tindak Pidana Penggelapan (Studi Putusan Pengadilan Negeri No.94 Pid.B 2015 PN.Mdn dan Putusan Pengadilan Tinggi No.342 PID 2015 PT-MDN)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Zaman sekarang ini perkembangan teknologi informasi sangat mempunyai
andil yang besar dalam setiap aspek kehidupan. Perkembangan yang begitu cepat
tersebut telah membawa era yang lebih cepat dari yang pernah dibayangkan
sebelumnya. Semua perkembangan teknologi informasi dan dengan cepatnya
informasi didapatkan itu semua tidak terlepas dan tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan masyarakat Indonesia saat ini. Perkembangan tersebut seakan
merangsang umat manusia untuk selalu menerima dan mengikutinya. Ditinjau dari
berbagai sudut pandang, perkembangan teknologi informasi memberikan dampak
positif maupun negatif dalam berbagai aspek kehidupan. Hal tersebut tentu saja
tidak dapat dihindari sebagai konsekuensi akan tingkat perubahan atmosfir
pergaulan kehidupan yang kini telah berubah dan lebih banyak mengarah kepada
munculnya berbagai tingkat kejahatan dalam rangka mewujudkan pencapaian
yang ingin diraih oleh masing–masing individu yang dihadapkan pada perbedaan
tingkat kualitas dan kuantitas kehidupan yang dimiliki.1
Kejahatan merupakan entitas yang selalu lekat dengan dinamika
perkembangan peradaban umat manusia. Kejahatan yang disebut perilaku
menyimpang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk-bentuk masyarakat, tidak

ada masyarakat yang sepi dari kejahatan, oleh karena itu upaya penanggulangan
1

Eko Hari Atmoko,Membuat Sendiri CCTV Berkelas Enterprise Dengan Biaya
Murah(Jakarta:Andi Publisher,2012),hlm.9

1
Universitas Sumatera Utara

kejahatan

sesungguhnya

merupakan

upaya

yang

terus


menerus

dan

berkesinambungan. Kejahatan merupakan bagian dari kehidupan masyarakat dan
merupakan peristiwa sehari-hari. Seorang filsuf bernama Cicero mengatakan Ubi
Societas, Ibi Ius, Ibi Crime yang artinya ada masyarakat, ada hukum dan ada
kejahatan. Masyarakat saling menilai, berkomunikasi dan menjalin interaksi,
sehingga tidak jarang menimbulkan konflik atau perikatan. Satu kelompok akan
menganggap kelompok lainnya memiliki perilaku yang menyimpang apabila
perilaku kelompok lain tersebut tidak sesuai dengan perilaku kelompoknya.
Perilaku menyimpang ini seringkali dianggap sebagai perilaku yang jahat.
Batasan kejahatan dari sudut pandang masyarakat adalah setiap perbuatan
yang melanggar kaidah-kaidah yang hidup di dalam masyarakat. Kejahatan dapat
dibedakan atas dua sudut pandang yakni kejahatan dari sudut pandang yuridis dan
dari sudut pandang sosiologis. Dari sudut pandang yuridis yakni kejahatan adalah
suatu perbuatan yang tingkah lakunya bertentangan dengan kaidah-kaidah dalam
undang-undang. Lalu kejahatan dari sudut pandang sosiologis, memiliki arti
perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita juga merugikan

masyarakat,

yaitu

berupa

hilangnya

keseimbangan,

ketentraman

dan

ketertiban, hal ini dimaksudkan bahwa setiap upaya penanggulangan kejahatan
tidak dapat menjanjikan dengan pasti bahwa kejahatan itu tidak akan terulang atau
tidak akan memunculkan kejahatan baru. Namun demikian, upaya itu tetap harus
dilakukan untuk lebih menjamin perlindungan dan kesejahteran manusia.
Dalam pergaulan masyarakat terdapat aneka macam hubungan antar
anggota masyarakat, yakni hubungan yang ditimbulkan oleh kepentingan anggota


2
Universitas Sumatera Utara

masyarakat. Dengan aneka ragamnya hubungan itu, para anggota masyarakat
memerlukan aturan-aturan yang dapat menjamin keseimbangan agar dalam
hubungan-hubungan itu tidak terjadi kekacauan dalam masyarakat. Peraturanperaturan hukum yang bersifat mengatur dan memaksa anggota masyarakat untuk
patuh menaatinya, menyebabkan terdapat keseimbangan dalam tiap perhubungan
dalam masyarakat. Setiap hubungan kemasyarakatan tidak boleh bertentangan
dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan hukum yang ada dan berlaku dalam
masyarakat. Untuk menjaga agar peraturan-peraturan hukum itu dapat
berlangsung terus dan diterima oleh seluruh anggota masyarakat, maka peraturan
hukum yang ada harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan asas-asas
keadilan dari masyarakat tersebut.2
Hukum adalah suatu sistem yang dibuat manusia untuk membatasi tingkah
laku manusia agar tingkah laku manusia dapat terkontrol, hukum adalah aspek
terpenting

dalam


pelaksanaan

atas

rangkaian

kekuasaan

kelembagaan,

hukum mempunyai tugas untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam
masyarakat. Hukum juga sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas
rangkaian kekuasaan kelembagaan dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam
bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak,
sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap
kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara negara
dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi

2


C.S.T Kansil dan Christine Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia,(Jakarta:Rineka
Cipta,2011),hlm.36

3
Universitas Sumatera Utara

penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan
politik serta cara perwakilan di mana mereka yang akan dipilih. Administratif
hukum digunakan untuk meninjau kembali keputusan dari pemerintah.
Peningkatan kesadaran hukum masyarakat untuk menjadi anggota
masyarakat mengetahui apa hak yang diberikan hukum atau undang-undang
kepadanya serta apa kewajiban yang dibebankan hukum kepada dirinya. Apabila
setiap orang telah mengahayati hak dan kewajiban yang telah ditentukan hukum
kepada mereka, masing-masing akan berdiri diatas hak yang diberikan hukum
tersebut, serta menaati setiap kewajiban yang hukum yang dibebankan kepada
mereka. Jika demikian rupa penghayatan hak dan kewajiban, akan tercipta suatu
wujud lalu lintas pergaulan masyarakat yang tertib dan tenteram, karena setiap
orang mengerti batas-batas kebebasan dan tanggung jawabnya . Mereka akan
berhenti dan menahan diri pada batas-batas kebebasan yang digariskan hukum
serta akan bertanggung jawab sepanjang apa yang diberikan hukum kepadanya.3

KUHP tentang peraturan umum terdapat dalam pasal-pasal yang hanya
berlaku untuk kejahatan misalnya tentang percobaan dan kejahatan dalam buku
kedua yang pada umumnya diancam dengan hukuman atau pidana yang berat, dan
penyertaan lain-lain tidak berlaku bagi buku ketiga “pelanggaran” yang ancaman
hukumannya masih lebih ringan. Namun ringan dan beratnya setiap ancaman
hukuman menjadi penghalang seseorang untuk tidak melakukan kejahatan
ataupun pelanggaran. Hal ini menjadi masalah dimana arti sebuah aturan hukum
jika kejahatan yang dilakukan oleh masyarakat tidak dapat diikuti oleh aturan
3

M.Yahya Harahap, Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP,Penyidikan dan
Penuntutan,(Jakarta:Sinar Grafika,2009),hlm.59

4
Universitas Sumatera Utara

hukum, seperti kejahatan dengan cara penggelapan adalah salah satu dari jenis
kejahatan terhadap harta kekayaan manusia yang diatur dalam Pasal 372 KUHP,
yang merupakan kejahatan yang tidak ada habis-habisnya dan dapat terjadi
disegala bidang dan bahkan pelakunya diberbagai lapisan masyarakat, baik dari

lapisan bawah sampai masyarakat lapisan atas pun dapat melakukan tindak pidana
penggelapan yang merupakan kejahatan yang berawal dari adanya suatu
kepercayaan pada orang lain, karena lemahnya suatu kejujuran.4
Semakin

majunya

peradaban

manusia,

sebagai

implikasi

dari

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dapat dilihat dengan munculnya
berbagai jenis kejahatan yang berdimensi baru. Sejalan dengan itu diperlukannya
upaya penanggulangan untuk menjamin ketertiban dalam masyarakat. Dalam

perspektif hukum, upaya ini direalisasikan dengan hukum pidana. Hukum pidana
diharapkan mampu memenuhi cita ketertiban masyarakat.
Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses
pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa.
Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang
tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa
dibebaskan dari hukuman. Selain pembuktian yang juga merupakan titik sentral
pemeriksaan perkara di sidang pengadilan. Pembuktian adalah ketentuanketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang
4

http://www.academia.edu/28971474/Tindak_Pidana_Penggelapan_Menurut_Pasal_372_
Kitab_Undang_Undang_Hukum_Pidana , M.Usrin, diakses pada tanggal 8 Agustus 2017 pukul
20.12 wib

5
Universitas Sumatera Utara

dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada
terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti
yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan

kesalahan yang didakwakan. Persidangan pengadilan tidak sesuka hati dan
semena-mena membuktika kesalahan terdakwa.5
Dengan demikian nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan
dalam persengketaan atau perkara di muka hakim atau pengadilan, dan tujuan
sistem pembuktian adalah untuk mengetahui, bagaimana cara meletakkan hasil
pembuktian terhadap perkara pidana yang sedang dalam pemeriksaan, dimana
kekuatan pembuktian yang dapat dianggap cukup memadai membuktikan
kesalahan terdakwa melalui alat-alat bukti, dan keyakinan hakim, maka sistem
pembuktian perlu diketahui dalam upaya memahami sistem pembuktian
sebagaimana yang diatur dalam KUHAP.
Indonesia sebagai negara yang berkembang menempatkan penggunaan
CCTV menjadi sebuah komponen penting dalam segala aspek kehidupan
tentunya. Tidak hanya sebagai aksesoris semata untuk memenuhi standar sebuah
perusahaan ataupun instansi, tetapi penggunaan CCTV ini pun dipandang menjadi
suatu faktor penting dalam suatu tatanan hukum positif di Indonesia berkenaan
dengan pembuktian di dalam acara hukum pidana. Ketika seseorang mengalami
dan menjadi korban dari suatu kasus tindak pidana, akan menimbulkan banyak
spekulasi untuk memecahkan dan menemukan pelaku dari kasus tersebut.
5


M.Yahya Harahap, Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP Pemeriksaan
SidangPengadilan,Banding,Kasasi,dan Peninjauan Kembali,(Jakarta:Sinar Grafika,2009),hlm.273

6
Universitas Sumatera Utara

Keterangan saksi tentunya menjadi salah satu jalan yang ditempuh untuk
menemukan suatu kebenaran kasus tersebut, selain itu CCTV juga mempunyai
peranan penting dalam penemuan kebenaran dari suatu kasus pencurian tersebut.
Dalam sebuah rekaman CCTV akan memperlihatkan secara jelas dan detail
mengenai apa saja yang terjadi dalam tempat kejadian perkara tanpa adanya
rekayasa. Hal ini menggambarkan bahwa pemanfaatan CCTV tidak hanya untuk
mengontrol dan mengawasi suatu tempat melalui rekaman yang dihasilkan, akan
tetapi juga dapat menjadi suatu alat bukti dalam sebuah kasus tindak pidana
penggelapan. Realita kehidupan saat ini, tidak dapat diindahkan dari sebuah
kejahatan kasus tindak pidana penggelapan seperti yang akan diurai dalam skripsi
ini, hal ini memicu semakin ketatnya tingkat kewaspadaan masyarakat terhadap
pencegahan menjadi korban dari tindakan kasus-kasus kejahatan tersebut.
Pemerintah Indonesia telah mengesahkan beberapa peraturan perundangundangan yang disesuaikan dengan perkembangan kejahatan di era teknologi
informasi dewasa ini. Salah satunya dengan pengakuan alat bukti elektronik
didalam hukum pidana Indonesia sesuai dengan asas Lex Specialis Derogat Legi
Generalis dimungkinkan walaupun alat bukti elektronik belum terdapat
pengaturannya pada hukum acara pidana Indonesia tetapi terdapat pada beberapa
Undang-Undang yang menyinggung alat bukti elektronik ini dalam proses acara
pidana.
Beberapa perluasan alat bukti yang diatur dalam KUHAP yang sudah
diatur dalam berbagai peraturan perundang-undagan secara tersebar yaitu
Undang-Undang No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan, Undang-

7
Universitas Sumatera Utara

Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No.
15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
,Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang dan UndangUndang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang.6
Meninjau maraknya kasus-kasus kejahatan dan pelanggaran yang terjadi,
maka banyaknya perusahaan, instansi, bahkan sekolah yang mulai menggunakan
CCTV dalam rangka mengontrol, mengawasi maupun menjadi sumber informasi
bagi pihak yang berwenang dalam menangani suatu tindak pidana. Mengenai
CCTV ini menjadi penting jika dikaitkan dengan pembuktian perkara pidana dan
hukum acara pidana Indonesia.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas menimbulkan ketertarikan
menulis

skripsi

dengan

judul

“Kedudukan

Rekaman

CCTV

dalam

Pembuktian Tindak Pidana Penggelapan (Studi Putusan Pengadilan Negeri
No.94/Pid.B/2015/PN.Mdn

dan

Putusan

Pengadilan

Tinggi

No.342/PID/2015/PT-MDN)”
B.Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang pemilihan judul yang telah diuraikan
diatas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah :
1.

Bagaimana pengaturan alat bukti menurut hukum acara pidana di Indonesia?
6

http://m.hukumonline.com/klinik/detail/cl5461/syarat-dan-kekuatan hukum-alat-bukti
elektronik Josua Sitompul,diakses pada tanggal 30 Mei 2017 pukul 20:02 wib

8
Universitas Sumatera Utara

2.

Bagaimanakah kedudukan hukum rekaman cctv dalam pembuktian tindak
pidana

penggelapan

dalam

putusan

Pengadilan

Negeri

dan

Putusan

Pengadilan

Tinggi

No.94/Pid.B/2015/PN.Mdn
No.342/PID/2015/PT-MDN ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini adalah :
a. Untuk mengetahui pengaturan alat bukti menurut hukum acara pidana di
Indonesia.
b. Untuk mengetahui kedudukan CCTV dalam pembuktian tindak pidana
penggelapan dalam putusan Pengadilan Negeri No.94/Pid.B/2015/PN.Mdn dan
Putusan Pengadilan Tinggi No.342/PID/2015/PT-MDN.
2. Manfaat Penulisan
Disamping tujuan yang hendak dicapai sebagaimana yang dikemukakan
diatas, maka penulisan skripsi ini juga bermanfaat untuk:
a. Manfaat Teoritis
Skripsi ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran bagi kalangan
akademis dan masyarakat khususnya tentang kedudukan CCTV dalam Hukum
Acara Pidana di Indonesia.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis diharapkan dapat memberikan bahan masukan bagi masyarakat
umum dan penegak hukum dalam menilai penanganan kasus tindak pidana
Penggelapan yang berkaitan dengan CCTV.

9
Universitas Sumatera Utara

D.Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi ini diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan
memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar sarjana. Penulis dalam membuat
dan memilih judul skripsi ini berdasarkan penelitian penulis sendiri. “Kedudukan
Rekaman CCTV dalam Pembuktian Tindak Pidana Penggelapan (Studi Putusan
Pengadilan Negeri No.94/Pid.B/2015/PN.Mdn dan Putusan Pengadilan Tinggi
No.342/PID/2015/PT-MDN)” yang diangkat menjadi judul skripsi ini telah
diperiksa dan diteliti secara administratif dan judul tersebut belum pernah ditulis
di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini merupakan hasil karya
sendiri dari penulis dan ditulis sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur,
rasional, objektif dan terbuka. Skripsi ini juga didasarkan pada referensi dari
buku-buku dan informasi dari media elektronik seperti dari internet. Semua ini
merupakan implikasi ciri dan proses menemukan kebenaran ilmiah, sehingga
pengangkatan judul di atas dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Bila
dikemudian hari ternyata terdapat judul yang sama atau telah ditulis oleh orang
lain dalam bentuk skripsi sebelum skripsi ini dibuat, maka hal itu dapat
dimintakan pertanggungjawabannya.
D.Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Rekaman CCTV (Closed Circuit Television)
Salah satu jenis barang bukti yang sering diterima untuk dianalisis lebih
lanjut secara digital forensic adalah barang bukti berupa rekaman video. Rekaman
video tersebut bisa berasal dari kamera Closed Circuit Television (CCTV),
handycam, kamera digital yang memiliki fitur video dan handphone. Seiring

10
Universitas Sumatera Utara

dengan banyaknya peralatan teknologi tinggi tersebut yang dimiliki oleh
masyarakat, maka sangat memungkinkan jenis barang bukti tersebut akan diterima
oleh para analis digital forensic untuk diperiksa dan dianalisis lebih lanjut secara
digital forensic. Masyarakat biasanya menggunakan video recorder (misalnya
handycam, handphone ,atau kamera digital) untuk mengabadikan momen-momen
yang dianggap berharga bagi mereka atau bisa juga menggunakan kamera CCTV
untuk kepentingan perlindungan keamanan bisnis mereka.7
Closed Circuit Televicion (CCTV) adalah alat perekaman yang
menggunakan satu atau lebih kamera video dan menghasilkan data video atau
audio. Closed Circuit Television (CCTV) memiliki manfaat sebagai alat untuk
dapat merekam segala aktifitas dari jarak jauh tanpa batasan jarak, serta dapat
memantau dan merekam segala bentuk aktifitas yang terjadi dilokasi pengamatan
dengan menggunakan laptop secara real time dari mana saja, disamping itu juga
dapat merekam seluruh kejadian secara jam, atau dapat merekam ketika terjadi
gerakan dari daerah yang terpantau.8
CCTV dalam kasus tertentu memiliki peranan yang sangat penting untuk
mengungkap kasus atau menunjukan keterlibatan seseorang dengan kasus yang
diinvestigasi. Dari CCTV, perilaku orang dapat terlihat melalui kamera CCTV
selama 24 jam. Dengan prosedur penanganan barang bukti CCTV yang benar
kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan dan analisis hash, istilah ini digunakan
untuk merujuk penggunaan istilah sidik jari dalam dunia olah TKP (Tempat
7

Muhammad Nur Al-Azhar, Digital Forensic: Panduan Praktis Investigasi Komputer.
(Jakarta:Salemba Infotek,2012),hlm. 17.
8
http://www.ras-eko.com/2013/04/pengertian-closed-circuit-television.html di akses
pada tanggal 30 Mei 2017 pukul 19.15 wib.

11
Universitas Sumatera Utara

Kejadian Perkara) yang sebenarnya. Selanjutnya menggunakan analisis metadata,
didefinisikan sebagai “data mengenai data”, artinya data kecil yang di-encoded
sedemikian rupa yang berisikan data besar yang lengkap tentang sesuatu.
Dilanjutkan dengan teknik pembesaran, yang diimplementasikan ketika digital
forensic analyst berhubungan dengan rekaman video yang berasal dari kamera
CCTV. Proses pembesaran yang dilakukan terhadap objek yang ada di dalam
rekaman CCTV yang dipengaruhi oleh dimensi objek, jarak objek dengan kamera
CCTV, intensitas cahaya, dan resolusi kamera, maka pembesaran terhadap objek
yang ada didalam rekaman kamera CCTV tersebut dapat dilakukan secara
maksimal. Jika keempat syarat terpenuhi, maka pembesaran terhadap objek yang
ada didalam rekaman kamera CCTV tersebut dapat dilakukan secara maksimal,
proses pembesaran objek, rekaman video harus memiliki kualitas yang bagus. Jika
rekaman tersebut masih kurang cahaya, sedikit jelas (blurred) dan sedikit tidak
stabil, maka rekaman tersebut harus dipertinggi kualitasnya (enhancement). Ada
banyak cara untuk meningkatkan suatu kualitas rekaman, ada salah satu
menggunakan aplikasi V Reveal yang dikembangkan MotionSP, dengan aplikasi
ini suatu rekaman video dapat diproses dengan mudah untuk meningkatkan
kualitasnya mulai dari deinterlace (proses menghilangkan garis-garis gambar
yang bersifat tidak linear), sharpen (memperjelas titik-titik gambar yang blurred,
auto white balance),(merapikan warna-warna yang bersifat tidak natural), fill light
(menambah intensitas cahaya lingkungan), stabilize (membuat video yang
bergoyang menjadi stabil), clean (menghilangkan noise artifacts seperti
grain/butiran, pellation, jagged edges, dll), atau auto contrast (meningkatkan

12
Universitas Sumatera Utara

tingkat kontras rekaman, vivid colors (meningkatkan tingkat pewarnaan) dan lainlain.9
2. Pengertian Tindak Pidana dan Tindak Pidana Penggelapan
a. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana adalah merupakan kompleksitas unsur-unsur, yang antara
satu dengan yang lain saling berhubungan, dan tidak terpisahkan. Sehingga
membentuk suatu pengertian hukum. Dalam hal sifat melawan hukum
dicantumkan dalam rumusan,menjadi salah satu bagian tindak pidana yang
diartikan sebagai celaan atau larangan hukum.10
Arti luas dari pengertian tindak pidana itu sendiri yakni perbuatan yang
dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang
berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Dapat juga
dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan
hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa
larangan ditujukan kepada perbuatan.11
Mengenai peristilahan ini, mereka yang memakai istilah:peristiwa pidana,
tindak pidana, dan sebagainya, karena tidak ada keterangan apa-apa, menyamakan
maknanya dengan istilah Belanda straafbar feit, untuk melihat apakah istilah

9

Muhammad Nur Al-Azhar,Op.Cit,hlm. 178-192.
Adami Chazawi dan Ardi Ferdinan, Tindak Pidana Informasi dan Transaksi
Elektronik, (Malang:Media Nusa Creative,2015),hlm.25
11
Moeljatno,Asas-asas Hukum Pidana(Jakarta:Rineka Cipta,2008),hlm 59
10

13
Universitas Sumatera Utara

perbuatan pidana dapat disamakan dengan istilah strafbaarfeit perlu diketahui apa
arti strafbaarfeit itu sendiri.12
Menurut Simons, strafbaarfeit dapat diartikan sebagai kelakuan yang
diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan
kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertnggung jawab.
Sementara menurut Van Hammel, strafbaarfeit adalah kelakuan yang dirumuskan
dalam wet yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan
dengan kesalahan, yang dapat disimpulkan sebagai berikut :
a.

Bahwa kata feit dalam istilah strafbaarfeit mengandung arti kelakuan atau
tingkah laku.

b. Bahwa pengertian strafbaarfeit dihubungkan dengan kesalahan orang yang
mengadakan kelakuan tersebut.
Menurut Pompe dalam hukum positif strafbaarfeit tidak lain adalah feit
(tindakan) yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang, namun Pompe
juga mengatakan bahwa dalam hukum positif, sifat melawan hukum dan
kesalahan bukanlah syarat mutlak untuk adanya tindak pidana.13
Van Hammel merumuskan sebagai berikut: strafbaarfeit adalah kelakuan
orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan
hukum yang patut untuk dipidana (strafwarding) dan dilakukan dengan kesalahan.
Namun tindak pidana itu sendiri harus dibedakan dengan pengertian perbuatan

12

Ibid, hlm.61
Tongat,
Dasar-Dasar
Hukum
pembaharuan,(Malang:UMM Press),hlm.103
13

Pidana

Indonesia

Dalam

Perspektif

14
Universitas Sumatera Utara

pidana. Perbuatan adalah kelakuan ditambah dengan kejadian yang ditimbulkan
oleh kelakuan atau kelakuan dengan akibat yang bukan kelakuan saja. Simons
juga mengatakan bahwa strafbaarfeit bukan hanya kelakuan saja pada waktu
tindakan pidana itu membicarakan tempat, beliau berkata strafbaarfeit itu terdiri
atas handeling dan gevolg (kelakuan dan akibat). Adapun mengenai yang kedua,
hal itu berbeda juga dengan perbuatan pidana sebab tidak dihubungkan dengan
kesalahan yang merupakan pertanggungjawaban pidana bagi orang yang
melakukan perbuatan pidana. Perbuatan pidana hanya menunjuk pada sifat
perbuatannya saja, lain halnya dengan tindak pidana atau strafbaarfeit disitu
dicakup perbuatan pidana dan kesalahan. Bahwa untuk pertanggungjawaban
pidana tidak cukup dengan dilakukannya perbuatan pidana saja, akan tetapi
disamping itu harus ada kesalahan, atau sikap batin yang dapat dicela sehingga
pengertian dari tidak pidana tadi atau strafbaarfeit menjadi sempurna, dimana
seperti pada asas hukum yang tidak tertulis menyatakan bahwa geen straf zonder
schuld, ohne schuld keine strafe yang artinya tidak dapat dipidana jika tidak ada
kesalahan.14
Adapun unsur yang terdapat dalam suatu tindak pidana sebagai berikut :
a. Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah :
1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa)
2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang
dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP;

14

Moeljatno,Op Cit,hlm.62

15
Universitas Sumatera Utara

3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya
didalam kejahatan-kejahatan pencurian, pemerasan, pemalsuan, dan lainlain;
4. Merencanakan terlebih dahulu atau vorbedachte raad seperti yang
misalnya yang terdapat dalam kejahatan pembunuhan pasal 340 KUHP;
5. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam
rumusan tindak pidana menurut pasal 308 KUHP.
b. Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana itu adalah:
1. Sifat melanggar hukum wederrechtelijkheid;
2. Kualitas dari sipelaku misalnya “keadaan sebagai seorang pegawai negeri”
di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau “keadaan
sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas” didalam
kejahatan menurut Pasal 398 KUHP.
3. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab
dengan sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesautu kenyataan
sebagai akibat.15
b. Tindak Pidana Penggelapan
Delik penggelapan diatur dalam Pasal 372, Pasal 373, Pasal 374 dan Pasal
375. Pasal 376 mengenai penggelapan antarkeluarga, yang berlaku sama dengan
Pasal 367 KUHP (delik pencurian). Pasal 377 KUHP mengenai pidana tambahan
berupa pengumuman putusan hakim dan pencabutan hak dapat dikenakan bagi
penggelapan Pasal 372 , Pasal 374 dan Pasal 375 KUHP. Menurut Cleiren inti

15

Adami Chazawi,Pelajaran Hukum Pidana I,(Jakarta:PT.Raja Grafindo,2008),hlm.78

16
Universitas Sumatera Utara

delik penggelapan ialah penyalahgunaan kepercayaan. Selalu menyangkut secara
melawan hukum memiliki suatu barang yang dipercayakan kepada orang yang
menggelapkan itu. Batas klasik antara pencurian dan penggelapan ialah pada
pencurian mengambil (wegnemen) barang yang belum ada padanya, sedangkan
pada penggelapan barang itu sudah ada didalam kekuasaannya. Delik penggelapan
barang itu sudah ada di dalam kekuasaannya. Delik penggelapan adalah delik
dengan berbuat (gedragsdelicten) atau delik komisi. Waktu dan tempat terjadinya
penggelapan ialah waktu dan tempat dilaksanakan kehendak yang sudah nyata.
Jadi misalnya barang yang sudah ada di tangannya bukan karena kejahatan, itu
dijual atau dihibahkan, maka waktu dan tempat penjualan atau penghibahan itu
lah tempus dan locus delicti dari perbuatan tersebut.16
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 372 KUHPidana yang berbunyi
sebagai berikut:
“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang
seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam
kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan
pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak
sembilan ratus rupiah”
Delik yang tercantum di dalam Pasal 372 KUHP adalah delik pokok.
Artinya, semua jenis penggelapan harus memenuhi bagian inti delik Pasal 372

16

Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu (special delicten) di dalam KUHP,(Jakarta:Sinar
Grafika,2014),hlm.97

17
Universitas Sumatera Utara

ditambah bagian inti lain. Pada delik penggelapan ada delik berkualifikasi jika
dilakukan sebagai beroep (profesi).17
Tindak pidana penggelapan dalam bentuk pokok mempunyai unsur
sebagai berikut:
a.Unsur-unsur objektif yang terdiri dari:
1.Mengaku sebagai milik sendiri
2.Sesuatu barang
3.Seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain
4.Yang berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan
b.Unsur Subjektif
1.Unsur Kesengajaan
2.Unsur Melawan Hukum18
3. Pengertian Pembuktian dan Sistem Pembuktian menurut Hukum Acara
Pidana di Indonesia
A. Pengertian Pembuktian
Dikaji dari perspektif Sistem Peradilan Pidana pada umumnya dan hukum
acara pidana pada khususnya, aspek pembuktian memegang peranan penting
untuk menentukan dan menyatakan kesalahan seseorang sehingga dijatuhkan
pidana oleh hakim. Apabila dilihat dari visi letaknya dalam kerangka yuridis

17

Ibid,hlm.98
R.Soesilo,Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta komentar-komentarnya lengkap
pasal demi pasal, (Bandung:PT.Karya Nusantara,1986),hlm.258
18

18
Universitas Sumatera Utara

aspek pembuktian dapat diklasifikasikan dalam kelompok hukum pidana formil
dan hukum pidana materil.19
Dalam perkara pidana, pembuktian selalu menjadi hal yang krusial.
Terkadang dalam menangani suatu kasus, saksi-saksi, para korban dan pelaku
diam yang dalam pengertian tidak mau memberikan keterangan, sehingga
membuat pembuktian menjadi hal yang penting. Pembuktian memberikan
landasan dan argumen yang kuat kepada penuntut umum untuk mengajukan
tuntutan. Pembuktian dipandang sebagai sesuatu yang tidak memihak, objektif,
dan memberikan informasi kepada hakim untuk mengambil kesimpulan suatu
kasus yang sedang disidangkan. Terlebih dalam perkara pidana, pembuktian
sangatlah esensial karena yang dicari dalam perkara pidana sudah dimulai dari
tahap pendahuluan tersebut, tata caranya jauh lebih rumit bila dibandingkan
dengan hukum acara lainnya. Penyelesaian perkara pidana meliputi beberapa
tahap, yakni tahap penyelidikan dan penyidikan di tingkat kepolisian, tahap
penuntutan di kejaksaan, tahap pemeriksaan perkara di tingkat pertama di
pengadilan negeri, tahap upaya hukum di pengadilan tinggi serta Mahkamah
Agung, kemudian tahap eksekusi oleh eksekutor jaksa penuntut umum. Dengan
demikian, pembuktian dalam perkara pidana menyangkut beberapa institusi yakni
kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.20
Secara umum, kata pembuktian berasal dari kata “bukti” yang berarti suatu
hal (peristiwa dan sebagainya) yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran suatu
19

Lilik
Mulyadi,
Pembalikan
Beban
Pembuktian
Tindak
Pidana
Korupsi,(Bandung;PT.Alumni,2007),hlm.83
20
Eddy O.S Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian,(Jakarta:Erlangga,2015),hlm.96

19
Universitas Sumatera Utara

hal

(peristiwa

tersebut).

Pembuktian

adalah

perbuatan

membuktikan.

Membuktikan sama dengan memberi (memperlihatkan) bukti, melakukan sesuatu
sebagai kebenaran, melaksanakan, menandakan, menyaksikan dan meyakinkan
dalam usaha menunjukkan atau salahnya si terdakwa dalam sidang pengadilan.21
Selain itu, Sudikno Mertokusumo menggunakan istilah membuktikan
dengan memberikan pengertian sebagai berikut:22
1.

Kata membuktikan dalam arti logis, artinya memberi kepastian yang bersifat
mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya
bukti-bukti lain.

2.

Kata membuktikan dalam arti konvensional, yaitu pembuktian yang
memberikan kepastian, hanya saja bukan kepastian mutlak melainkan
kepastian yang nisbi atau relatif, sifatnya yang mempunyai tingkatantingkatan:
a. Kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka, maka kepastian ini
bersifat intuitif dan disebut conviction intime
b. Kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal, maka disebut
conviction raisonne.

3.

Kata membuktikan dalam arti yuridis, yaitu pembuktian yang memberi
kepastian kepada hakim tentang kebenaran suatu peristiwa yang terjadi

21
22

Lilik Mulyadi ,Op Cit,hlm.84
Eddy O.S Hiariej,Op Cit,hlm.97

20
Universitas Sumatera Utara

Pembuktian dalam perkara pidana berbeda dengan pembuktian dalam
perkara perdata, sebab di dalam pembuktian perkara pidana (hukum acara pidana)
adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiel, yaitu kebenaran sejati atau
yang sesungguhnya, yang dalam proses acara pidana hakim dalam mencari
kebenaran materiel suatu peristiwa tersebut harus terbukti (beyond reasonable
doubt). Demikian pula dalam persidangan, hakim dalam perkara pidana adalah
aktif, artinya hakim berkewajiban untuk mendapatkan bukti yang cukup untuk
membuktikan tuduhan kepada tertuduh.23
Masalah pembuktian adalah yang sangat penting dan utama, sebagaimana
menurut pasal 6 ayat (2) KUHAP, bahwa “tidak seorang pun dapat dijatuhi
pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut
undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat
bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan terhadap
dirinya.24
Aspek hukum pembuktian asasnya sudah dimulai sejak tahap penyelidikan
perkara pidana. Pada tahap penyelidikan ketika tindakan penyelidik untuk mencari
dan menemukan sesuatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna dapat
atau tidaknya dilakukan penyidikan, di sini sudah ada tahapan pembuktian. Begitu
pula halnya dengan penyidikan, ditentukan dengan adanya tindakan penyidik
untuk mencari serta mengumpulkan bukti dan dengan bukti tersebut membuat
terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Oleh karena
23

Andi Sofyan dan Abdul Asis,
(Jakarta:Prenadamedia Group,2014),hlm.229
24
Ibid,hlm.230

Hukum

Acara

Pidana

Suatu

Pengantar,

21
Universitas Sumatera Utara

itu, ketentuan Pasal 1 angka 2 dan angka 5 KUHAP menegaskan bahwa untuk
dapat dilakukan tindakan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang
pengadilan bermula dilakukan penyelidikan dan penyidikan sehingga sejak tahap
awal diperlukan adanya pembuktian dan alat-alat bukti. Konkretnya, pembuktian
berawal dari penyelidikan dan berakhir sampai adanya penjatuhan pidana (vonnis)
oleh hakim di depan sidang pengadilan baik ditingkat Pengadilan Negeri atau
Pengadilan Tinggi jikalau perkara tersebut dilakukan upaya hukum banding.25
B. Sistem Pembuktian menurut Hukum Acara Pidana di Indonesia
Pembuktian merupakan hal yang terpenting dalam acara pidana.
Pembuktian perlu dilakukan untuk membuktikan bersalah atau tidaknya seseorang
terdakwa melewati pemeriksaan yang dilakukan didepan sidang pengadilan, untuk
melaksanakan suatu pembuktian, haruslah terdapat alat-alat bukti yang sah. Alatalat bukti pada akhirnya akan meyakinkan hakim dalam menemukan kebenaran
materiil. Dalam sistem atau teori pembuktian terbagi atas empat sistem
pembuktian, sebagai berikut :26
1. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang
Secara Positif (Positive Wettelijk Bewijstheorie) Dikatakan secara positif,
karena hanya didasarkan kepada undang-undang melulu . Artinya jika telah
terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh
undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem
ini juga disebut dengan sistem formal. Teori ini sudah tidak mendapat penganut

25
26

Lilik Mulyadi, Op Cit,hlm.85
Andi Sofyan dan Abdul Asis,Op Cit,hlm.232-235

22
Universitas Sumatera Utara

lagi, dikarenakan terlalu banyak mengandalkan kekuatan pembuktian yang
disebut dengan undang-undang.
2. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu
Teori ini juga disebut dengan conviction intime. Teori tersebut didasarkan pada
keyakinan hati nuraninya sendiri ditetapkan bahwa terdakwa telah melakukan
perbuatan yang didakwakan. Dengan sistem ini, pemidanaan dimungkinkan
tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undang-undang. Sistem ini
dianut oleh peradilan di Prancis. Sistem ini memberikan kebebasan kepada
hakin terlalu besar, sehingga sulit diawasi. Disamping itu, terdakwa atau
penasihat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan.
3. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan yang
Logis (Laconviction Raisonne).
Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seorang bersalah berdasarkan
keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian
disertai dengan suatu kesimpulan yang berlandaskan kepada peraturanperaturan pembuktian tertentu. Jadi, putusan hakim dijatuhkan dengan suatu
motivasi. Teori ini juga disebut dengan pembuktian bebas untuk menyebutkan
alsan-alasan keyakinannya. Teori tersebut terpecah menjadi dua, yaitu
pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis dan yang kedua
adalah teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif.
Persamaan antara keduanya yaitu sama-sama berdasar atas keyakinan hakim,
artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim
bahwa ia bersalah. Perbedaannya yaitu pertama berpangkal tolak pada

23
Universitas Sumatera Utara

keyakinan hakim, tetapi keyakinan itu harus didasarkan kepada suatu
kesimpulan yang logis, yang tidak didasarkan pada undang-undang tetapi
berdasarkan pada ilmu pengetahuan hakim sendiri. Sedangkan yang kedua
yaitu berpangkal pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara
limitatif oleh undang-undang, tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan
hakim.
4. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif (Negatief
Wettelijk) 27
Teori pembuktian menurut undang-undang secara negative merupakan teori
antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan
sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time. Sistem
pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan keseimbangan
antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrem. Dari
keseimbangan tersebut, sistem pembuktian menurut undang-undang secara
negative

“menggabungkan”

kedalam

dirinya

secara

terpadu

sistem

pembuktian menurut keyakinan dengan sistem pembuktian menurut undangundang secara positif. Dari hasil penggabungan kedua sistem dari yang saling
bertolak belakang itu, terwujudlah suatu sistem “sistem pembuktian menurut
undang-undang secara negatif” yang rumusannya berbunyi : salah tidaknya
seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada
cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

27

M.Yahya Harahap, Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP Pemeriksaan
Sidang Pengadilan,…,op cit, hlm.279

24
Universitas Sumatera Utara

Setelah

dijelaskan

beberapa

sistem

pembuktian

sebagai

bahan

perbandingan, selanjutnya pembahasan menuju pada sistem pembuktian yang
dianut dan diatur dalam KUHAP. Pada Pasal 183 KUHAP, yang berbunyi :
“hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya”. Kalau dibandingkan bunyi Pasal 183 KUHAP dengan Pasal 294
HIR, hampir bersamaan bunyi dan maksud yang terkandung di dalamnya, yang
berbunyi : “Tidak akan dijatuhkan hukuman kepada seorang pun jika hakim tidak
yakin kesalahan terdakwa dengan upaya bukti menurut undang-undang bahwa
benar telah terjadi perbuatan pidana dan bahwa tertuduhlah yang salah melakukan
perbuatan itu”. Perbedaan diantara keduanya hanya pada penekanan saja.28
Menurut Wirjono Prodjodikoro bahwa: sistem pembuktian berdasar
undang-undang secara negative (negatief wettelijk) sebaiknya dipertahankan
berdasarkan dua alasan :
1. Memang selayaknya harus ada keyakinan tentang kesalahan terdakwa
untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa
memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa;
2. Berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun
keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus di turut oleh
hakim dalam melakukan peradilan.29
F.

Metode Penulisan
28
29

Ibid,hlm.280
Andi Sofyan dan Abdul Asis,Op Cit,hlm.237

25
Universitas Sumatera Utara

1. Jenis Penelitian
Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian
hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif atau metode penelitian
hukum kepustakaan adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.30
Sehingga dalam penelitian hukum normatif ini mencakup terhadap
beberapa hal yaitu :
a. Penelitian terhadap azas –azas hukum;
b. Penelitian terhadap sistematika hukum;
c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum;
d. Penelitian sejarah hukum;31
2. Data dan Sumber Data
Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari bahan
hukum primer, sekunder dan tersier.
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang terdiri dari peraturan
Perundang-undangan di bidang hukum yang mengikat, antara lain Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana(KUHAP), Undang-Undang No 11 tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Eleketronik, Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dan keseluruhan Peraturan Perundang-undangan yang
berkaitan dengan penulisan skripsi ini.
30

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,(Jakarta:Universitas Indonesia (UI
Press),1986),hlm 10.
31
Ibid,hlm.12

26
Universitas Sumatera Utara

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer, yaitu hasil karya para ahli hukum berupa bukubuku, pendapat-pendapat para sarjana yang dimuatkan dalam artikel yang
berhubungan dengan skripsi ini.
c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum penunjang, yaitu bahan hukum yang
memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer
dan/atau hukum sekunder, yaitu kamus hukum dan lain-lain.32
3. Teknik pengumpulan data
Untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar tujuan dapat lebih terarah dan
dapat dipertanggungjawabkan digunakan metode penelitian hukum normative
yakni dengan menggunakan suatu penelitian kepustakaan (Library Reseach).
Dalam hal ini penelitian hukum dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan
atau disebut dengan penelitian normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan
cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka yang lebih dikenal
dengan nama bahan acuan dalam bidang hukum atau rujukan bidang hukum.33
Metode library research adalah mempelajari sumber-sumber atau bahanbahan tertulis yang dapat dijadikan bahan dalam penulisan skripsi ini. Berupa
rujukan beberapa buku, wacana yang dikemukakan oleh pendapat para sarjana
hukum yang sudah mempunyai nama besar dibidangnya, koran dan majalah.34
4. Analisis data

32

Burhan Bungin, analisis data dan penelitian kualitatif; pemahaman filosofis dan
metodologis ke arah model aplikasi,(Jakarta,PT.Raja Grafindo Persada,2003),hlm, 68-69
33

Ronny
Hanitijo
Soemitro,
Metodologi
Penelitian
Hukum,(Jakarta:Ghalia
Indonesia,1983),hlm.24.
34
Bambang Sunggono, Metode penelitian hukum,(Jakarta:PT.Raja Grafindo,1997),hlm41.

27
Universitas Sumatera Utara

Pengolahan data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk melakukan
analisa terhadap permasalahan yang akan di bahas. Analisis data dilakukan
dengan:
a. Mengumpulkan bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan yang
di teliti.
b. Memilih kaidah-kaidah hukum atau doktrin yang sesuai dengan penelitian.
c. Mensistematiskan kaidah-kaidah hukum, azas atau doktrin.
d. Menjelaskan hubungan-hubungan antara berbagai konsep, pasal atau doktrin
yang ada.
e. Menarik kesimpulan dengan pendekatan dedukatif sehingga akan dapat
merangkum dari jawaban terhadap permasalahan yang telah disusun35
Data sekunder yang telah diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif
untuk menjawab rumusan masalah yang diangkat dalam skripsi ini.

H.Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah penulisan dan penjabaran penulisan, maka diperlukan
adanya sistematika penulisan yang teratur yang terbagi dalam bab perbab yang
saling berangkaian satu dengan lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini
adalah :
BAB I:

PENDAHULUAN

35

Winarno Surachmad, Dasar dan Teknik Research (Pengantar Metodologi Ilmiah),
(Bandung:Tarsito,1982), hlm.131.

28
Universitas Sumatera Utara

Pada bab ini penulis menguraikan tentang latar belakang, rumusan
permasalahan, keaslian penulisan, tujuan penulisan, manfaat
penulisan,

tinjauan

kepustakaan,

metode

penelitian,

dan

sistematika penulisan.
BAB II:

PENGATURAN ALAT BUKTI MENURUT HUKUM ACARA
PIDANA DI INDONESIA
Pada bab ini penulis menguraikan tentang apa yang dimaksud
dengan rekaman CCTV, dan penjelasan mengenai arti tindak
pidana beserta tindak pidana penggelapan. Penulis dalam bab ini
juga akan membahas mengenai pembuktian dan sistem pembuktian
menurut hukum acara pidana di Indonesia

BAB III:

KEDUDUKAN

HUKUM

REKAMAN

CCTV

DALAM

PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DALAM
PUTUSAN PENGADILAN NEGERI No.94/Pid.B/2015/PN.MDN
DAN PUTUSAN PENGADILA TINGGI No.342/PID/2015/PTMDN)
Bab ini menjelaskan tentang apa yang dimaksud mengenai analisa
kasus

terhadap

putusan

hakimm

No.94/Pid.B/2015/PN.MDN

dan

no.342/PID/2015/PT-MDN,

tentang

dalam

putusan

perkara
pengadilan

hal-hal

yang

pidana
tinggi
terjadi

dipersidangan.
Baik kronologis kasus, dakwaan, fakta hukum, tuntutan pidana,
pertimbangan hakim, putusan. Hal-hal tersebut diatas akan

29
Universitas Sumatera Utara

dianalisis oleh penulis untuk mendapatkan data yang valid
mengenai putusan yang tepat dalam perkara ini.
BAB IV:

KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini berisi kesimpulan dan saran-saran atas bagaimana
seharusnya kedudukan rekaman CCTV dapat memberikan
pembuktian dan pertimbangan bagi hakim dalam menjatuhkan
putusan bagi pelaku tindak pidana, dan dalam bab ini juga saran
yang disampaikan oleh penulis mengenai sistem pembuktian acara
pidana di Indonesia sebagai media utama dalam pembuktian
perbuatan tindak pidana tersebut yang dimana kesimpulan dan
saran-saran itu melihat dari uraian yang ada pada bab-bab
sebelumnya.

30
Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Hukum Tidak Tertulis Sebagai Sumber Hukum untuk Putusan Pengadilan Perkara Pidana

7 92 392

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Analisa Hukum Pidana Terhadap Putusan Banding Pengadilan Tinggi Medan Tentang Membantu Melakukan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Analisa Putusan Pengadilan Tinggi Medan No :743/pid/2008/PT-Mdn)

0 71 97

Suatu Telaah Terhadap Proses Pengajuan Grasi Terhadap Putusan Pidana Mati Berdasarkan UU RI No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi (Studi Kasus PUTUSAN Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No.513/PID. B/1997/PN. LP)

0 64 77

Analisis Kasus Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan Dalam Menggandakan Rekening Bank (Studi Kasus : No.1945 / Pid.B / 2005 / PN-MDN)

2 61 120

Asas Ne Bis In Idem Dalam Hukum Pidana (Pendekatan Kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 1384 / Pid.B / Pn. Mdn / 2004 Jo Putusan Pengadilannegeri Medan No. 3259 / Pid.B / Pn. Mdn / 2008)

2 49 163

“Kedudukan Rekaman CCTV dalam Pembuktian Tindak Pidana Penggelapan (Studi Putusan Pengadilan Negeri No.94 Pid.B 2015 PN.Mdn dan Putusan Pengadilan Tinggi No.342 PID 2015 PT-MDN)

0 1 4

“Kedudukan Rekaman CCTV dalam Pembuktian Tindak Pidana Penggelapan (Studi Putusan Pengadilan Negeri No.94 Pid.B 2015 PN.Mdn dan Putusan Pengadilan Tinggi No.342 PID 2015 PT-MDN)

0 0 36

“Kedudukan Rekaman CCTV dalam Pembuktian Tindak Pidana Penggelapan (Studi Putusan Pengadilan Negeri No.94 Pid.B 2015 PN.Mdn dan Putusan Pengadilan Tinggi No.342 PID 2015 PT-MDN)

0 0 1

“Kedudukan Rekaman CCTV dalam Pembuktian Tindak Pidana Penggelapan (Studi Putusan Pengadilan Negeri No.94 Pid.B 2015 PN.Mdn dan Putusan Pengadilan Tinggi No.342 PID 2015 PT-MDN)

0 0 9