Dukungan Keluarga dalam Pencegahan Sekunder pada Pasien dengan Penyakit Jantung Koroner Terpasang Stentdi RSUP H. Adam Malik Medan

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1Konsep Penyakit Jantung Koroner
2.1.1 Definisi
Penyakit Jantung Koroner (PJK) adalah suatu penyakit pada jantung yang
terjadi karena adanya kelainan pada pembuluh darah koroner. Kelainan Pembuluh
darah koroner ini berupa penyempitan pembuluh darah sebagai akibat proses
artherosclerosis.Arterosklerosis adalah pengerasan dinding pembuluh darah,
terjadi akibat penimbunan kolesterol, lemak, kalsium, sel-sel radang, dan material
pembekuan darah (fibrin) pada dinding arteri secara bertahap dan menumpuk pada
dinding arteri. Arterosklerosis mengakibatkan perubahan struktur dan fungsi arteri
serta penurunan aliran darah ke jantung. Lumen arteri akan menyempit
mengakibatkan

suplai

darah

tidak


adekuat

(iskemia)

sehingga

terjadi

ketidakseimbangan antara kebutuhan otot jantung atas oksigen dengan persediaan
oksigen yang diberikan oleh arteri koroner (Sumiati dkk., 2010).
Menurut Garko (2012) penyakit jantung koroner atau penyakit arteri
koroner adalah sebuah penyakit jantung di mana dinding endotel bagian dalam
pada satu atau lebih arteri koroner yang akan mempersempit lumen arteri koroner
baik sebagian ataupun total akibat akumulasi kronis dari plak ateromatous yang
mengurangi aliran darah yang kaya nutrisi dan oksigen dari paru-paru ke otot
jantung sehingga merusak struktur dan fungsi dari jantung, dan meningkatkan
resiko dari berbagai kejadian pada jantung seperti nyeri dada dan serangan
jantung.
9
Universitas Sumatera Utara


10

Menurut Riskesdas (2013) didefinisikan sebagai PJK jika pernah
didiagnosis menderita PJK (angina pektoris dan /atau infark miokard) atau belum
pernah didiagnosis tetapi pernah mengalami gejala atau riwayat PJK. Gejala PJK
dapat disembuhkan sama sekali, tetapi penyakit penyebabnya yaitu arterosklerosis
tidak dapat disembuhkan (Chung, 2010).

2.1.2 Patofisiologi
Aterosklerosis pembuluh koroner merupakan penyebab penyakit arteri
koronaria.

Perjalanan

proses

aterosklerosis

(initiation,


progression

dan

complication) terjadi secara bertahap sejak usia muda bahkan dikatakan sejak usia
anak-anak sudah terbentuk bercak-bercak garis lemak (fatty streaks) pada
permukaan lapis dalam pembuluh darah, dan lambat-laun pada usia tua dapat
berkembang menjadi bercak sklerosis (plak atau kerak pada pembuluh darah)
sehingga terjadinya penyempitan dan/atau penyumbatan pembuluh darah
(Smeltzer & Bare, 2008).
Aterosklerosis diinisiasi oleh cedera atau disfungsi endotel, merupakan
hipotesis mengenai patogenesis yang paling banyak diterima. Adanya faktor
resiko menyebabkan disfungsi endotel yang memacu adhesi monosit yaitu sel
darah putih yang tertimbun di bawah lapisan monolayer endotel, dan menjadi
makrofag. Makrofag dalam keadaan normal bekerja sebagai sel pengangkut untuk
mengangkut sel mati dan benda asing, juga melepaskan sitokinin dan faktor
pertumbuhan untuk memacu penyembuhan sebagai respon tubuh selama
inflamasi. Namun makrofag dalam dinding arteri dapat teraktivasi secara


Universitas Sumatera Utara

11

abnormal, menyebabkan suatu tipe reaksi inflamasi lambat, yang akhirnya
menyebabkan plak lanjut dan berbahaya secara klinis. Selubung fibrosa pada lesi
arterosklerotik menjadi tebal dan menyebabkan stenosis atau penyempitan lumen
vaskular, yang secara bertahap menyebabkan iskemia jantung, terutama saat
kebutuhan oksigen meningkat (Aaronson & Ward, 2007).
TimbunanAteroma atau plak akan mengganggu absorbsi nutrien oleh selsel endotel. Endotel pembuluh darah yang terkena akan mengalami nekrotik dan
menjadi jaringan parut, selanjutnya lumen menjadi semakin sempit dan aliran
darah terhambat. Pada lumen yang menyempit dan berdinding kasar akan
cenderung terjadi pembekuan darah. Trombus akan terbentuk pada permukaan
plak, dan penimbunan lipid terus menerus (Sumiati dkk., 2010).
Lesi yang kaya lipid dan sel busa biasanya tidak stabil dan cenderung
robek serta terbuka. Bila fibrosa pembungkusplak pecah (ruptur plak), maka
debris lipid akan terhanyut dalam aliran darah dan menyumbat arteri dan kapiler
di sebelah distal plak yang pecah. Akibatnya otot jantung di daerah tersebut
kekurangan aliran darah dan dapat menimbulkan berbagai akibat yang cukup
serius yaitu Angina Pektoris sampai Infark Jantung (Aaronson & Ward, 2007).


2.1.3 Faktor Resiko Penyakit Jantung Koroner
Menurut Sumiati, dkk (2010) faktor resiko PJK dapat dibagi dua. Pertama,
faktor resiko yang tidak dapat diubah (non-modifiable) yaitu : usia, jenis kelamin,
dan riwayat keluarga (genetik). Kedua, faktor resiko yang dapat diubah

Universitas Sumatera Utara

12

(modifiable) yaitu : hipertensi, hiperkolesterolemia, diabetes melitus, merokok,
obesitas, stress, dan kurang aktifitas fisik.
Faktor yang tidak bisa diubah:
1. Usia
Sebagian besar kasus kematian terjadi pada laki-laki umur 35-44 tahun dan
meningkat seiring dengan bertambahnya umur, terutama setelah umur 40 tahun.
Kadar kolesterol pada laki-laki dan perempuan mulai meningkat umur 20 tahun.
Kadar kolesterol perempuan sebelum menopause lebih rendah dari laki-laki
dengan umur yang sama. Setelah menopause kadar kolesterol perempuan biasanya
akan meningkat menjadi lebih tinggi daripada laki-laki. Semakin tua umur maka

semakin besar kemungkinan timbulnya plak yang menempel di dinding arteri
koroner.
2. Jenis Kelamin
Gejala PJK akibat aterosklerosis di Amerika Serikat sebelum umur 60
tahun didapatkan pada 1 dari 5 laki-laki dan 1 dari 17 wanita. Ini berarti bahwa
laki- laki mempunyai resiko Penyakit Jantung Koroner 2-3 kali lebih besar dari
perempuan. Perbedaan kemungkinan karena efek protektif dari estrogen, dan
secara progresif menghilang setelah menopause.
3. Riwayat keluarga
Anak dari orang tua yang menderita PJK mempunyai kemungkinan
terserang penyakit ini. Jika seorang ayah kena serangan jantung sebelum usia 60
tahun atau ibu terkena sebelum 65 tahun, keturunannya akan beresiko tinggi

Universitas Sumatera Utara

13

terkena PJK. Faktor keturunan terbukti mempunyai peranan dalam memicu
penyakit jantung, namun bisa dihindari dengan menerapkan pola hidup sehat.


Faktor yang dapat diubah (dikendalikan):
1. Hipertensi
Merupakan salah satu faktor resiko utama penyebab terjadinya penyakit
jantung koroner. Tekanan darah tinggi secara terus menerus menyebabkan
kerusakan sistem pembuluh darah dengan perlahan-lahan. Komplikasi yang
terjadi pada hipertensi esensial biasanya akibat perubahan struktur arteri dan
arterial sistemik, terutama terjadi pada kasus yang tidak diobati. Mula-mula akan
terjadi hipertropi dari tunika media diikuti dengan hialinisasi setempat dan
penebalan fibrosis dari tunika intima dan akhirnya akan terjadi penyempitan
pembuluh darah.
2. Hiperkolesterolemia
Kolesterol sebenarnya diperlukan oleh tubuh, namun jika berlebihan akan
menimbulkan penyakit jantung koroner. Hiperkolesterolemia merupakan
masalah yang cukup penting karena termasuk faktor resiko utama penyakit
jantung koroner. Kadar kolesterol darah dipengaruhi oleh susunan makanan
sehari-hari yang masuk dalam tubuh (diet). Peningkatan kadar kolesterol
terutama kolesterol yang jahat (LDL), menyebabkan resiko terserang PJK 3,5
kali lebih tinggi dibandingkan dengan kadar kolesterol dalam batas normal.
Timbunan kolesterol yang disebut dengan plak akan terbentuk pada dinding
pembuluh darah. Lumen pembuluh darah akan semakin sempit sehingga


Universitas Sumatera Utara

14

menghambat aliran darah. Jika plak pecah, terbentuklah gumpalan darah pada
daerah yang terkena atau terhambat darah ke bagian otot jantung yang
menyebabkan serangan jantung.
3. Penyakit Diabetes Melitus
Diabetes dapat meningkatkan resiko gangguan dalam peredaran darah,
termasuk PJK. Penyebabnya adalah kekurangan atau resistensi terhadap hormon
insulin yang mengontrol penyebaran glukosa ke sel-sel di seluruh tubuh melalui
aliran darah. Diabetes dapat meningkatkan kadar lemak dalam darah, termasuk
kolesterol tinggi. Pada diabetes melitus timbul proses penebalan membran
kapiler dan arteri koronaria, sehingga terjadi penyempitan aliran darah ke
jantung. Penelitian menunjukkan laki-laki yang menderita Diabetes Melitus
resiko penyakit jantung koroner 50% lebih tinggi dari pada orang normal,
sedangkan pada perempuan resikonya menjadi dua kali lipat.
4. Merokok
Efek rokok adalah menyebabkan beban miokard bertambah karena

rangsangan oleh katekolamin dan menurunnya konsumsi oksigen akibat inhalasi
karbondioksida,

menyebabkan

darah(elastisitas pembuluh

darah

takikardi,
berkurang

vasokonstruksi
sehingga

pembuluh

meningkatkan

pengerasan pembuluh darah arteri), dan membuat sel-sel darah yang disebut

platelet menjadi lebih lengket sehingga mempermudah terbentuknya gumpalan.
Orang yang merokok >20 batang perhari dapat mempengaruhi atau memperkuat
efek dari hipertensi dan hiperkolesterolemia.

Universitas Sumatera Utara

15

5. Obesitas
Obesitas adalah kelebihan jumlah lemak tubuh >19% pada laki-laki dan
>21% pada perempuan. Obesitas sering didapat bersama-sama dengan
hipertensi, dan Diabetes Melitus. Obesitas juga dapat meningkatkan kadar
kolesterol dan LDL (Low Density Lipoprotein) kolesterol. Resiko penyakit
jantung koroner akan jelas meningkat bila berat badan mulai melebihi 20% dari
berat badan ideal. Penderita gemuk dengan kadar kolesterol tinggi dapat
menurunkan kolesterolnya dengan mengurangi berat badan melalui diet ataupun
menambah exercise.
6. Stres
Penelitian membuktikan bahwa ada hubungan antara faktor stres
psikologik dengan kejadian penyakit jantung. Stres yang terus-menerus

berlangsung lama akan meninggikan kadar katekolamin dan tekanan darah,
sehingga mengakibatkan penyempitan pembuluh darah arteri koroner.
7. Kurang aktifitas fisik
Latihan fisik (exercise) dapat meningkatkan kadar HDL (High Density
Lipoprotein) kolesterol dan memperbaiki kolaterol koroner sehingga resiko
penyakit jantung koroner dapat dikurangi. Exercise bermanfaat karena
memperbaiki fungsi paru dan pemberian oksigen menurunkan berat badan
sehingga lemak tubuh yang berlebihan berkurang bersama-sama dengan
menurunkan LDL (Low Density Lipoprotein) kolesterol, membantu menurunkan
tekanan darah, dan meningkatkan kesegaran jasmani.

Universitas Sumatera Utara

16

2.1.4 Manifestasi Klinis
Meski kebanyakan penderita PJK mempunyai masalah pokok yang sama
yaitu penyempitan arteri koronaria, namun gejala yang timbul tidak selalu sama.
Gejala PJK akan timbul apabila terjadi penyempitan sebesar 75% atau lebih pada
lumen arteri koroner. Tanda dan gejala yang timbul akibat arterosklerosis sangat
bergantung pada lokasi dan derajat sumbatan yang terjadi. Beberapa menderita
angina, adapula yang terkena serangan jantung. Sebagian kecil mengalami
kegagalan jantung tanpa ada gejala sebelumnya (Davidson, 2003).
Manifestasi

utama

akibat

suplai

darah

yang

tidak

adekuat

(iskemiamiocardium) adalah Angina. Angina pektoris adalah nyeri dada yang
hilang timbul, tidak disertai kerusakan irreversibel sel-sel jantung. Berbagai gejala
angina bisa sangat berbeda pada beberapa orang, mungkin ringan, sedang atau
berat. Gejala klinis khas pada angina, yaitu seperti ditekan atau terasa berat di
dada, beberapa merasakan seperti sebuah obyek besar menimpa dada. Terkadang
rasa sakit menjalar ke bahu kiri, punggung, leher, rahang, dan lengan kiri. Dapat
berlangsung sekitar 30 menit atau lebih. Timbulnya rasa sakit dapat terjadi saat
istirahat maupun pada saat melakukan aktivitas fisik. Gejala penyertanya adalah
cemas atau gelisah, pucat, keringat dingin, sesak nafas, mual, dan muntah,
pernafasan cepat, palpitasi (denyut jantung cepat yang tidak normal) lebih suka
duduk dari pada berbaring (Sumiati dkk., 2010). Angina sering dipicu oleh makan
terlalu banyak, keterlibatan olah raga berat tiba-tiba, atau oleh rasa gembira,
stress, atau sedang marah (Chung, 2003).

Universitas Sumatera Utara

17

Iskemia yang lebih berat disertai kerusakan sel dinamakan infark
miokardium. Serangan jantung (infark miokardium) terjadi ketika pembuluh darah
koroner menyempit atau mendadak tertutup sama sekali oleh bekuan darah yang
mengalir di dalamnya sehingga sebagian jantung tidak bekerja. Gejala serangan
jantung untuk setiap orang bisa berbeda. Sebuah serangan jantung mungkin
dimulai dengan rasa sakit yang tidak jelas, rasa tidak nyaman yang samar, atau
rasa sesak di bagian tengah dada. Terkadang hanya menimbulkan rasa tidak
nyaman yang ringan sekali sehingga sering disalahartikan sebagai gangguan
pencernaan, atau bahkan lepas dari perhatian. Gejala di pihak lain, serangan
jantung menghadirkan rasa nyeri paling buruk yang pernah dialami, rasa sesak
yang luar biasa atau rasa terjepit pada dada, tenggorokan atau perut. Gejala juga
bisa berupa keringat panas atau dingin, kaki terasa sakit sekali dan rasa ketakutan
bahwa ajal sudak mendekat. Gejala lain yang mungkin dirasakan seperti lebih
nyaman duduk dibanding berbaring, nafas begitu sesak sehingga tidak bisa santai,
rasa mual dan pusing sampai muntah, bahkan dapat terjadi kolaps atau pingsan
(Sumiati dkk., 2010). Manifestasi klinis lain penyakit arteri koroner dapat berupa
perubahan pola elektrokardiogram (EKG), aneurisma ventrikel, disritmia, dan
kematian mendadak (Brunner & Suddarth, 2011).

2.2 Konsep Stent Jantung
2.2.1 Definisi
Stent jantung (Coronary stent) adalah sebuah pipa berlubang dari logam
yang dapat dikembangkan dalam revaskularisasi untuk membuka arteri koroner

Universitas Sumatera Utara

18

yang menyempit (stenotik) atau tersumbat. Tujuan revaskularisasi adalah
meningkatkan survival atau mencegah infark ataupun untuk menghilangkan gejala
(Chung, 2010). Menurut Aaronson & Ward (2007) Stent adalah jaring-jaring
logam berbentuk silindris (misalnya stainless steel, platinum) atau selang berslot
yang ditanam ke dalam arteri pada lokasi ekspansi balon setelah angioplasti. Stent
terutama digunakan pada pembuluh dengan diameter >3 mm dan dirancang agar
dapat melebar sendiri, atau dilebarkan oleh balon kateter sehingga stent menekan
dinding dalam arteri koroner dan menjaganya tetap terbuka.
Stent jantung adalah semacam kerangka metal yang berfungsi sebagai
penyangga supaya pembuluh darah tetap terbuka dengan obat pencegah timbulnya
jaringan baru, seperti Sirolimus dan Paclitaxel(Sumiati dkk., 2010). Stent
menurunkan insidensi restenosis lanjut seperti penutupan mendadak pembuluh
darah, infark miokard akut, kematian mendadak dan kebutuhan CABG darurat
(Gray,

et

al.,

2002).

Menurut

American

College

of

Chest

Physicians(2012)Stentmerupakan tabung logam yang disisipkan secara permanen
ke dalam arteri koroner terpasang untuk menjaga arteri terbuka. Beberapa stent
adalah logam sederhana (bare stent) dan beberapa yang dilapisi dengan obat yaitu
pengencer darah antiplatelet seperti clopidogrel untuk mencegah pembekuan
darah di atau sekitar stent.
Penggunaan stent telah meningkatkan penggunaan IKP pada pasien
dengan multi-pembuluh darah, lesi panjang (satu atau dua lesi), sedangkan pasien
dengan penyakit tiga lesi pembuluh darah diterapi dengan tandur alih pintas
koroner (Coronary artery bypass grafting/ CABG). Penyempitan yang terjadi di

Universitas Sumatera Utara

19

banyak arteri kecil atau pada ketiga arteri koronaria, tindakan pembedahan bypass
lebih baik untuk jangka panjang ( Chung, 2010).

2.2.2 Prosedur Tindakan Pemasangan Stent
Sebelum tindakan, pasien PJK tidak makan atau minum apa pun setelah
tengah malam sekurang-kurangnya 6-8 jam sebelum prosedur. Sebelum prosedur,
setelah pemeriksaan darah rutin akan dilakukan elektrokardiogram (EKG) dan
melakukan x-ray pada dada. Arteri femoral lebih sering digunakan sebagai akses
kateter pada tindakan IKP karena memiliki diameter lebih besar serta lokasinya
mudah.Area pangkal paha akan dibersihkan dan dilakukan pencukuran. Dalam
melaksanakan tindakan tidak diperlukan anastesi, walaupun pasien diberi obat
pereda nyeri/sedatif, namun jika perlu menggunakan anastetik lokal (Chung,
2010).
Sebuah pipa kecil (kateter) yang berisi kamera optik fiber akan
dimasukkan dan diarahkan ke arteri koroner yang menyempit atau tersumbat.
Jantung agak berdebar jika tabung telah masuk. Jika tabung telah berada di arteri
koronaria, zat pewarna akan disuntikkan dan mengambil gambar dari berbagai
sudut. Pasien diminta untuk menahan napas selama 5-10 detik. Sinar X khusus
dilakukan pada arteri koronariayang disebut angiogram. Sinar X memperlihatkan
zat berwarna yang disuntikkan langsung ke dalam arteri koronaria dan direkam
pada film-cine atau video. Zat pewarna nantinya akan keluar melalui urin
(Davidson, 2003)

Universitas Sumatera Utara

20

Kateter kemudian didorong kedepan sampai balon berada di dalam
blokade. Balon dikembangkan dan balon akan mengkompresi ateromatous plak
dan menekan arteri sehingga mengembang. Jika stent ada pada balon, stent akan
berkembang dan akan menekan dinding pembuluh darah bagian dalam. Stent
diimplantkan atau ditinggalkan pada tubuh untuk mendukung arteri dari dalam
agar tetap mengembang.Setelah balon dikempiskan, pembuluh darah tetap terbuka
dan stent tetap dipertahankan. Stent jantung secara permanen tinggal di tempat
untuk mendukung struktur pembuluh darah koroner dalam mencegah resiko
penutupan pembuluh darah kembali(Chung, 2010).
Pemasangan stent melalui angiogram koroner dilakukan dalam waktu
semalaman.Setelah kateter dilepas, teknisi atau perawat akan memberikan tekanan
pada tempat pemasangan lapisan plastik. Pasien diminta berbaring lurus terlentang
selama 1-6 jam setelah tindakan untuk menghindari perdarahan serius dan
membantu pemulihan arteri. Dapat makan dan minum kembali setelah tindakan
selesai. Lamanya berada di rumah sakit sangat bergantung pada kondisi tubuh.
Pasien dapat langsung pulang pada hari yang sama, atau dirawat selama satu
malam atau lebih lama (Chung, 2010).

2.2.3 Jenis Stent
Stent terbuat dari baja antikarat dan tersedia dalam berbagai ukuran.
Diameter mulai dari 2,25mm hingga 4mm, sedangkan panjangnya dapat mencapai
33mm. Pada masa kini terdapat paten lebih dari 100 jenis stent yang diproduksi
berbagai perusahaan, masing-masing dengan desain, ukuran diameter, panjang,

Universitas Sumatera Utara

21

serta karakteristik fisiknya. Model stent mirip spiral atau seperti sangkar (Bali
Cardiologi Update, 2016).
Generasi pertama stent dibuat dari bahan bare metal (stent sederhana).
Stent yang paling umum digunakan sampai saat ini adalah Palmaz-Schatz
stentatau Bare Metal Stent. BMS merupakan sebuah pipa stainless-steel berukuran
kecil dan berlubang, dengan panjang kira-kira setengah inci, ringan seperti jarum
pentul, dan kecil seperti sepotong mi yang tipis. Walaupun BMS mampu
mengeliminasi risiko kolapsnya pembuluh darah koroner, namun kurang mampu
mencegah restenosis. Kira-kira 25% dari pembuluh darah koroner yang diobati
dengan Bare-Metal Stents kembali mengalami penyempitan, biasanya dalam
waktu 3-6 bulan (Bali Cardiologi Update, 2016).
Jenis stent yang dilapisi dengan obat mulai dikembangkan disebut sebagai
Drug-Eluting Stents (DES). DES merupakan penyempurnaan IKP dan terbukti
kejadian restenosisberkurang sampai dibawah 10%. Hasil yang dicapai dengan
pemasangan DES dapat dinikmati pasien dalam waktu lama.Rendahnya
angkarestenosis, salah satunya dikarenakan obat yang terdapat pada stent.
Terdapat banyak macam DES dengan berbagai jenis obat yang dipakai seperti
misalnya sirolimus, biolimus, everolimus, paclitaxel, dan lain-lain (Bali
Cardiologi Update, 2016).
Penggunaan DES dapat digunakan pada segala jenis kondisi klinis
termasuk yang amat kompleks sekalipun; seperti misalnya penderita diabetes,
infark jantung akut, penderita buntu total pembuluh koroner, penderita dengan
kelainan pada banyak pembuluh koroner, sampai penderita amat tua (80 atau 90

Universitas Sumatera Utara

22

tahun), pasca operasi by-pass yang mengalami kegagalan atau menyempit
kembali, atau penderita yang sama sekali sudah tidak menjalani operasi bypass
pada pembuluh koroner. Metode DES juga cocok untuk penderita pasca IKP yang
pembuluh koronernya menyempit kembali(Medistra, 2008). Jenis stent DES lebih
mahal daripada stent biasa sehingga penggunaannya di negara berkembang masih
terbatas dan empat kali lebih mahal dari stent biasa (Hasan, 2007).
Dibandingkan dengan BMS, pemakaian DES dapat mengurangi restenosis
(Majid, 2007). Drug Eluting Stent (DES) menunjukkan penurunan angka
restenosis yang signifikan dibandingkan stent biasa, yaitu48 bulan ke atas setelah
Primary PCI (JACC journals, 2014).

2.2.4Restenosis
Tindakan IKPtelah menjadi solusi dibandingkan tindakan pembedahan
seperti CABG, karena IKP adalah intervensi tanpa melakukan tindakan
pembedahan dan lebih aman dibanding operasi pintas koroner (by pass - CABG).
Namun pemasangan stent bukan jaminan pembuluh darah tidak tersumbat
lagi.Restenosis masih menjadi kekhawatiranjangka panjang pasca IKP (Chung,
2010).
Restenosis adalah proses menyempitnya kembali arteri di lokasi yang
awalnya telah berhasil dilakukan intervensi sehingga muncul gejala klinis, bahkan
kematian,infark non-fatal atau kebutuhan untuk mengulangrevaskularisasi untuk
menindaklanjutipenyempitan kembali (Sharma, et al., 2003). Identifikasi
patogenesis dari restenosis merupakan proses yang kompleks dan tidak

Universitas Sumatera Utara

23

sepenuhnya diketahui. Restenosis atau pengurangan diameter lumen awalnya
merupakan repon penyembuhan terhadap kerusakan mekanik akibat cedera
dinding pembuluh darah arteri. Restenosis terdiri dari dua proses utama yaitu: (1)
Neo Intimal Hyperplasia (NIH) berupa migrasi dan poloferasi Smooth
MuscleCells (SMCs) serta deposit Extra Cellular Matrix (ECM) dan (2) Vessel
Shrinkage yaitu pengerutan dinding pembuluh darah akibat elastic recoil atau
negative remodeling(Wihanda, 2014).
IKP dengan pemasangan stentlebih banyak meninggalkan lesi akibat
gesekan pada arteri dibandingkan dengan PTCA-balonisasi (Sharma, et al., 2003).
Pada arteri yang dilakukan pemasangan stent, terdapat keterlibatan makrofag yang
berlebihan dalam neointima, sementara pada arteri yang dilakukan angioplasti
balonisasi tidak dijumpai keterlibatan makrofag. Akumulasi makrofag dan
neovaskularisasi terdeteksi dalam jaringan neointimaldapat menjadi nidusdalam
pembentukan trombus,fibrin, dan presentasi akut berikutnyadengan hasil yang
buruk (Moulias & Alexopoulos, 2011).Trombus pada intrakoronaria merupakan
salah satu kemungkinan yang dapat timbul di belakang hari pasca prosedur IKP
akibat gesekan IKP pada permukaan endotelium. Aktifasi trombin merupakan
resiko besar untuk terjadinya komplikasi pembentukan trombus baru dan stenosis
berulang setelah tindakan IKP. Hal ini sering terjadi pada IKP yang dilakukan
umumnya pada pasien yang mengalami angina pektoris tidak stabil (unstable
angina) (Handayani, Hariman & Akbar, 2012).
In-Stent Restenosis (ISR)dan Stent Thrombosis (ST) adalah masalah
setelah tindakan IKP.In-Stent Restenosis (ISR) merupakan restenosis yang terjadi

Universitas Sumatera Utara

24

di dalam stent.ISR terbentuk akibat reaksi inflamasi akan mencetuskan
pertumbuhan Neo Intima Hyperplasia (NIH). Reaksi inflamasi ini sendiri dapat
terjadi tanpa cedera arteri akibat respon tubuh terdapat benda asing yaitu metal
alur stent. Cedera arteri yang disertai dengan reaksi inflamasi memiliki
pertumbuhan NIH lebih besar dibanding cedera arteri atau inflamasi saja
(Wihanda, 2014).ISR terjadi terutama untuk Bare Metal Stent(BMS) dengan
laporan restenosispada 20%-30%dan 10% -15%. ISR juga dapat terjadi pada
DES,tetapisecara signifikan mengurangi angka kejadian ISR(Moulias &
Alexopoulos, 2011).
Gejala ISR tersering adalah angina stabil, gejala pertama infark miokard
sangat jarang terjadi, dan 30% pasien tidak merasakan gejala (asymptomatic). Di
antara faktor resiko angina tidak stabil, diabetes, merokok dan dislipidemia,
menjadi prediksi yang lebih tinggi terjadinya restenosis. Faktor anatomi terjadi
restenosis di antaranya seperti diameter pembuluh darah (< 3,0 mm), panjangnya
lesi, saphenous vein graft disease, oklusi total yang kronis, kalsifikasi ostial, dan
bifurkasi stenosis (>50% sampai dengan 70%) dapat menjadi prediksi tinggirisiko
restenosis karena beban plak yang berlebihan ataukekuatan dilatasi balon yang
berlebihan untuk mendapatkan hasil angiografi yang maksimal (Sharma, et al,
2003). Pertumbuhanaterosklerosis di luar segmen koroner dipasang stentjuga
dapat terjadi, manifestasi stenosis yang terjadi adalah angina stabil atau jika plak
ruptur dan adanya pembentukan trombus, dimanifestasikan dengan sindrom akut
koroner dan termasuk kematian (Moulias & Alexopoulos, 2011).

Universitas Sumatera Utara

25

Menurut Prabu, et al (2014), tidak ada perbedaan bermakna antara
penggunaan DES dengan BMS dalam menurunkan rekurensi serangan infark
miokard dan restenosis tetap masih dapat terjadi. Joner (dalam Wihanda, 2014)
mendapatkan peningkatan jumlah eosinofil di sekitar alur stent pasca IKP dengan
DES dibanding BMS, akan tetapi reaksi inflamasi pada kedua jenis stent tidak
berbeda makna. Restenosis menyebabkan iskemia jantung dan angina timbul
kembali, sehingga PCI diulang atau dilakukan CABG (Aaronson & Ward, 2007).

2.3 Konsep Pencegahan Penyakit Jantung Koroner
Pada penyakit jantung koroner (PJK) dikenal adanya pencegahan primer dan
sekunder (Soeharto, 2004).
2.3.1 Pencegahan primer
Pencegahan primer adalah upaya awal pencegahan yang dilakukan
sebelum terjadi penyakit PJKdan menjaga seseorang tidak menderita PJK.
Pencegahan primer ditujukan kepada pencegahan terhadap berkembangnya proses
aterosklerosis secara dini, dan bertujuan untuk meningkatkan kesehatan dan
menurunkan faktor resiko. Pencegahan primer yang mendasar adalah mengurangi
faktor resiko PJK, menghindari terbentuknya plak di arteri koroner bahkan
menghindari plak terjadi pada tingkat lanjut (Soeharto, 2004).

2.3.2 Pencegahan Sekunder
Meskipun tindakan IKP berhasil, tidak berarti penyakit ini akan hilang
untuk selamanya karena penyakit ini sewaktu-waktu bisa saja kambuh. Tindakan

Universitas Sumatera Utara

26

pencegahan agar pembuluh darah tidak bertambah buruk harus tetap dilakukan,
baik dengan mengubah gaya hidup, seperti berhenti merokok, atau dengan obatobatan penurun kolestrol atau keduanya (Chung, 2010). Pasien yang telah terbukti
menderita PJK mempunyai risiko 5-7 kali lebih besar mendapatkan infark
miokardium lanjutan (Smith,et al., 2001 dalam Harianja, 2010).
Pencegahan sekunder adalah tindakan yang dilakukan untuk mengurangi
faktor resiko bagi mereka yang nyata-nyata mengidap penyakit PJK, atau telah
mengalami serangan jantung atau stroke. Pencegahan sekunder merupakan
strategi yang sangat berpengaruh untuk mengurangi kematian pada penyakit
kardiovaskular. Program rehabilitasi adalah satu contoh dari pencegahan
sekunder. Pasien dengan riwayat serangan jantung dianjurkan untuk menjalani
proses rehabilitasi kemudian dilanjutkan dengan fase pemeliharaan saat rawat
jalan. Latihan yang diberikan sama dengan pencegahan primer dengan
memperhatikan beberapa hal terutama kemungkinan adanya komplikasi dan target
yang akan dicapai. Pasien dilatih olahraga dan diberi penyuluhan yang diperlukan,
di samping pemeriksaan profil lemak dan lain-lain (Soeharto, 2004).
Pencegahan sekunder adalah upaya pencegahan pada penderita yang
sudahtekena PJK agar tidak berulang atau menjadi lebih berat. Diperlukan
perubahan pola hidup terhadap faktor-faktor yang dapat dikendalikan dan
kepatuhan berobat bagi mereka yang sudah menderita PJK. Pencegahan tingkat
ini ditujukan untuk mempertahankan nilai prognostik yang lebih baik dan
menurunkan mortalitas (Bustam, 2007).

Universitas Sumatera Utara

27

Menurut American College of Chest Physicians(2012) pencegahan
sekunder bertujuan untuk mencegah pembentukan gumpalan darah lagi yang akan
mempersempit arteri. Salah satunya dengan obat pengencer darahseperti
antiplatelet seperti clopidogrel untuk menjaga stentyang terpasang dengan
terhindar dari pembekuan darah di atau sekitar stent.Pemilihan obat pengencer
darah sesuai rekomendasi medis terhadap setiap individu yang telah dipasang
stent. Pemilihan obat pengencer darah dan durasi dapat berubah dari waktu ke
waktu sesuai kebutuhan pasien dalam terapi.
Menurut ACCF/AHA (2011)

dalam pedoman

untuk pencegahan

sekunderdan terapi pengurangan risiko untuk pasien dengan PJK dan penyakit
akibat aterosklerotik vaskular lainnya, mengakui bahwa manfaat dari pengurangan
risiko PJK mengurangi, mencegah, atau menunda perkembangan penyakit
pembuluh darah aterosklerosis di seluruh tubuh terutama penyakit yang
menyebabkan peristiwa klinis utama seperti MI, stroke, atau iskemia yang kritis.
Dengan mencegah peristiwa ini, tidak hanya umur panjang cenderung meningkat,
tetapi kualitas hidup (QOL) dan biaya perawatan kesehatan tahunan yang
cenderung menurun. Pencegahan sekunder juga peningkatkan potensi melakukan
aktivitas sehari-hari dengan demikianmempertahankan kemandirian si penderita.
Pedoman pencegahan sekunder penyakit jantung koroner menurut
National CAD Practice Guidelines (2014), yaitu:
1.Kepatuhan minum obat
Mengkonsumsi obat-obatan sesuai yang diresepkan dokter pada saat
Check-up medis dan tidak menghentikan penggunaannya tanpa seizin dokter.

Universitas Sumatera Utara

28

Misalnya: menggunakan aspirin 75-162 mg/hari dengan durasi tak terbatas jika
tidak ada kontraindikasi, lanjutkan clopidogrel 75 mg/hari dikombinasi dengan
aspirin selama 1 tahun pada pasien setelah IKP-stent. Menggunakan 2 obat
antihipertensi,

atau

menggunakan

angiotensinconverting

enzyme

inhibitor.atauß-blockers setelah infark miokardium, sindrom koroner akut
(SAK), disfungsi ventrikular kiri dengan atau tanpa gejala gagal jantung,
kecuali terdapat kontraindikasi (Gupta & Ahuja, 2014). Keluarga berperan
penting untuk selalu mengingatkan minum obat rutin secara terus-menerus
sebagai penatalaksanaan jangka panjang, dan mengingatkan untuk selalu
membawanyaketika anggota keluarga yang menderita PJK akan melakukan
perjalanan (Davidson,2003).
2. Nutrisi
Nutrisi yang dimaksud adalah diet yang sehat. Mengubah konsumsi
jenis makanan menjadi bervariasi,

asupan

energi disesuaikan untuk

menghindari kelebihan berat badan, menyarankan konsumsi buah-buahan,
sayuran, sereal gandum utuh, ikan, daging tanpa lemak, produk rendah lemak,
mengganti lemak jenuh dengan tidak jenuh, pasien dengan hipertensi harus
mengurangi asupan garam(National Clinical Practice Guidelines, 2014).
Lemak jenuh banyak mengandung kolesterol ditemukan paling banyak dalam
makanan yang berasal dari daging hewan, produk minyak topikal, kuning telur,
mentega, susu murni, keju, produk kue, dan es krim. Lemak tidak jenuh paling
banyak berasal dari tumbuhan. Ikan memang mengandung kolesterol, tetapi
sangat rendah dan jauh lebih baik dari pada daging hewan. Asam lemak

Universitas Sumatera Utara

29

omega-3 pada ikan bisa menjadi pelindung dan mengurangi faktor resiko
koroner. Untuk diet yang rendah kolesterol, ikan lebih baik daripada daging
merah tanpa lemak. Keluarga berperan dalam menyeleksi makanan yang
mengandung lemak kurang jenuh serta pengurangan konsumsi makanan yang
kaya kolesterol lebih (Chung, 2010).
3.Pengaturan berat badan
Tujuan awal dari terapi penurunan berat badan harus mengurangi berat
badan sekitar 5% sampai 10%.Pengurangan berat badan diseimbangkan dari
aktivitas fisik, gaya hidup, olahraga terstruktur, asupan kalori, dan program
yang telah disusun untuk mempertahankan atau mencapai indeks massa tubuh
(BMI) 18,5 – 24,9 kg/m² dan lingkar pinggang pada pria < 90 cm, wanita < 80
cm. Berat badan ideal dapat dicapai dengan berolah raga, dan diet menurunkan
berat badan (Gupta & Ahuja, 2014). Mengubah jenis makanan yang biasa
dimakan tidaklah mudah, namun penting untuk mengurangi risiko terulangnya
serangan jantung. Makanan yang sehat bukan berarti berpantang semua
makanan yang disukai dan hanya makan sayuran mentah. Namun mengurangi
adalah bonus yang sehat bagi seluruh anggota keluarga terkhusus bagi anggota
keluarga yang sakit (Davidson, 2003).
4. Berhenti merokok
Berhenti merokok secara total dan tidak terpapar dengan lingkungan
perokok. Manfaat menghentikan kebiasaan merokok sungguh besar, risiko
terulangnya serangan jantung berkurang hingga setengahnya (Davidson, 2003).
Merokok mungkin lebih mudah dihentikan ketika di rawat rumah sakit, namun

Universitas Sumatera Utara

30

agak sulit mempertahankannya bila pulang ke rumah. Inilah kesempatan
seluruh keluarga untuk membantu pengontrolan diri si pasien, sebab kebiasaan
merokok sulit untuk dihilangkan akibat kecanduan psikologis (McGowan &
Castelli, 2001).
5. Aktivitas fisik
Latihan fisik dilakukan selama 30-60 menit/hari, bila memungkinkan
setiap hari per minggu (minimal 5 kali dalam seminggu) dengan intensitas
sedang tanpa kelelahan. Jenis olahraga yang dipilih adalah keputusan pribadi,
dan merupakan program latihan yang telah dikonsultasikan oleh dokter
sebelum memulai program olahraga untuk mengurangi risiko cedera, atau
komplikasi (Cleveland Clinic, 2016). Sangat direkomendasikan terlibat dalam
program olahraga yang memadai seumur hidup. Olahraga yang disarankan
seperti berjalan cepat, jogging, bersepeda atau berenang, golf dan tenis namun
bukan pertandingan (Chung, 2010). Menambah aktivitas harian lainnya seperti
berjalan menuju tempat kerja, berkebun, dan melakukan pekerjaan rumah
tangga (Gupta & Ahuja, 2014). Energi yang dilepaskan pada saat berolahraga
juga akan menstimulus tubuh untuk memproduksi lebih banyak endorphin
yang membuat rasa bahagia. Olahraga juga adalah cara yang bagus untuk
melihat alam, menjelajahi tempat-tempat baru dan bersenang-senang sehat
dengan keluarga (Chung, 2010). Menghindari pengerahan tenaga berlebih juga
perlu diperhatikan. European Heart Journal (2011) menyebutkan, orang yang
memiliki waktu tidur yang kurang memiliki risiko penyakit jantung koroner
sampai 48% dalam waktu 7 hingga 25 tahun. Waktu tidur berlebih juga tidak

Universitas Sumatera Utara

31

baik dapat menimbulkan risiko penyakit jantung koroner 38% dan 65% terkena
stroke. Sehingga bagi penderita PJK perlu mengistirahatkan tubuh sesuai
dengan waktu tidur yang ideal sesuai dengan usia.
6. Kontrol tekanan darah
Perlu diberitahu dan dimotivasi untuk modifikasi gaya hidup dengan
pengendalian berat badan, peningkatan aktivitas fisik,batasi konsumsi alkohol,
pengurangan sodium, dan peningkatan konsumsi buah-buahan segar, sayuran,
danproduk rendah lemak. Menurunkan tekanan darah hingga kurang dari
140/90 mmHg atau 135/85 mmHg bila juga terdapat diabetes atau gagal ginjal
kronik. Mengkonsumsi obat antihipertensi diperbolehkan namun sesuai dengan
terapi yang dianjurkan dan memeriksakan tekanan darah secara teratur (Gupta
& Ahuja, 2014).
7. Kontrol kolesterol
Menurunkan kolesterol LDL hingga kurang dari 100 mg/dL dan kadar
non-HDL kurang dari 130 mg/dL. Pasien yang memiliki trigliserida
≥200
mg/dl harus ditangani dengan statin untuk menurunkan LDL-C, namun terapi
statin harus ditentukan olehdokter yang menangani tidak adanya kontraindikasi
atauefek samping.Terapi diet termasuk mengurangi asupan lemak jenuh (7%
dari total kalori), lemak transasam, dan kolesterol (Gupta & Ahuja, 2014).
Keluarga perlu dengan cermat memilih dan menyediakan makanan yang
tingkat lipid atau kolesterolnya rendah.

Universitas Sumatera Utara

32

8. Pengelolaan Diabetes Mellitus
Pencegahan komplikasi kardiovaskular dengan modifikasi gaya hidup
termasuk aktivitas fisik sehari-hari, manajemen berat badan, mengontrol
tekanan darah, dan pengelolaanlipid direkomendasikan untuk semua pasien
dengan diabetes. KGD puasa (