Pertanggung Jawaban Hukum Kasir (Teller) Akibat Kelalaian Dalam Transaksi Keuangan Nasabah (Studi Pada PT. BNI KCU USU Medan)
27
BAB II
HAK DAN KEWAJIBAN KASIR (TELLER) DALAM PERJANJIAN KERJA
ANTARA KASIR (TELLER) DENGAN PT. BANK NEGARA INDONESIA
(PERSERO) TBK
A. Perjanjian Kerja pada PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk
1. Pengertian Perjanjian Kerja
Manusia sejak lahir hingga meninggal dunia hidup bersama-sama dengan
manusia lain atau dengan kata lain manusia tidak dapat hidup menyendiri, terpisah
dari kelompok manusia lainnya. Manusia harus hidup bermasyarakat, sebab ia lahir,
hidup berkembang, dan meninggal dunia di dalam masyarakat. Sebagai individu,
manusia tidak dapat hidup untuk mencapai segala sesuatu yang diinginkannya dengan
mudah tanpa bantuan orang lain atau harus ada kontak di antara individu dengan
individu lainnya agar dapat memenuhi kebutuhan mereka. Kontak di antara individu
ini terjadi setelah ada kesepakatan atau perjanjian di antara mereka untuk melakukan
suatu perbuatan.
Perjanjian berdasarkan definisi yang diberikan dalam Pasal 1313 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) adalah suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Abdul
Kadir Muhammad merumuskan definisi Pasal 1313 KUHPerdata sebagai berikut,
bahwa yang disebut perjanjian adalah “suatu persetujuan di mana dua orang atau
lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta
kekayaan” 72.
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada
seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu
hal. 73 Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang
dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang
yang membuatnya. Perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang
mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Pada
umumnya perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu, dapat dibuat secara
lisan dan andaikata dibuat secara tertulis maka ini bersifat sebagai alat bukti apabila
terjadi perselisihan.
Demikian juga dalam bidang pekerjaan, orang melakukan perjanjian kerja
sehingga menimbulkan perikatan. Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian di mana
pihak kesatu buruh, mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada
pihak lain yakni majikan, dan majikan mengikatkan diri untuk mempekerjakan buruh
dengan membayar upah. 74
Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dan pekerja/buruh
berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah. 75
72
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Op.Cit., hlm. 78.
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT Intermasa, 1987), hlm. 1.
74
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Mataram: Grafindo Persada,
2003), hlm. 40.
75
Lihat Pasal 1 angka (15) jo Pasal 50 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
73
Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan
pekerja/buruh. Dimana pekerja selaku pencari kerja dan pengusaha selaku pemberi
kerja, merupakan pihak atau subyek yang membuat perjanjian kerja, dan merupakan
pemenuhan syarat subyektif, selanjutnya syarat obyektifnya akan ditentukan dengan
adanya syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Setiap hubungan kerja yang tercipta, baik formal maupun informal, pada
dasarnya selalu didahului dengan adanya perjanjian kerja. Untuk pekerjaan informal,
perjanjian kerja antara pemberi pekerjaan dengan penerima pekerjaan biasanya
dilakukan secara lisan sedangkan pekerjaan-pekerjaan yang formal, seperti di pabrik
atau perusahaan, perjanjian kerja pada umumnya dibuat secara tertulis.
Dalam hukum perikatan dikenal tiga asas penting, yaitu 76:
a.Asas Konsensualisme
Asas ini dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi :
”Lahirnya perjanjian adalah pada saat tercapainya kesepakatan dan saat itulah
adanya hak dan kewajiban para pihak”.
b.Asas Pacta Sunt Servanda
Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Hal ini dapat disimpulkan dalam
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi : “Perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
c.Asas Kebebasan Berkontrak
Berupa asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat atau
tidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan siapaun, menentukan isi
perjanjian, pelaksana, persyaratanya, dan menentukan bentuk perjanjian yang
tertulis atau tidak tertulis.
76
157.
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2002) hlm.
2. Syarat-Syarat Perjanjian Kerja
Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, untuk sahnya suatu perjanjian para
pihak harus memenuhi syarat-syarat tersebut di bawah ini:
a. Kesepakatan atau persetujuan para pihak;
Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau
lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai itu adalah pernyataannya, karena kehendak
itu tidak dapat dilihat/diketahui orang lain. Kesepakatan para pihak merupakan unsur
mutlak untuk terjadinya suatu kontrak. Para pihak yang terlibat dalam perjanjian
harus sepakat atau setuju mengenai hal-hal pokok dari perjanjian tersebut. 77
Kesepakatan dapat terjadi dengan berbagai cara, namun yang paling penting
adalah adanya penawaran dan penerimaan atas penawaran tersebut. 78 Pasal 1321
KUHPerdata menentukan bahwa kata sepakat tidak sah apabila diberikan karena
kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.
b. Kecakapan para pihak dalam membuat suatu perjanjian;
Seseorang adalah cakap apabila ia pada umumnya berdasarkan ketentuan
undang-undang mampu membuat sendiri perjanjian-perjanjian dengan akibat-akibat
hukum yang sempurna. 79 Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah
orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan
hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang.
77
P.N.H Simanjuntak, Op.Cit., hlm. 334.
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontak, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2010), hlm. 13.
79
Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Putra Abardin, 1999), hlm. 61.
78
Orang tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah 80:
1)
Orang yang belum dewasa,
2)
Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan,
3) Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang; dan
pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang
membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Khusus poin “(3)” di atas mengenai perempuan dalam hal yang ditetapkan
dalam undang-undang sekarang ini tidak dipatuhi lagi karena hak perempuan dan
laki-laki telah disamakan dalam hal membuat perjanjian.
c. Suatu hal tertentu;
Suatu hal tertentu mengarah kepada barang yang menjadi objek suatu
perjanjian. Menurut Pasal 1333 KUHPerdata, barang yang menjadi objek suatu
perjanjian ini harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya, sedangkan
jumlahnya tidak perlu ditentukan asalkan saja kemudian dapat ditentukan atau
diperhitungkan 81.
Apapun jenis perikatannya, baik itu perikatan untuk memberikan sesuatu,
berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu, KUHPerdata hendak menjelaskan,
bahwa semua jenis perikatan tersebut pasti melibatkan keberadaan atau eksistensi dari
suatu kebendaan yang tertentu. Objek perjanjian berupa benda/barang dan jasa.
80
Lihat Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: Alumni, 2004),
81
hlm. 209.
Benda (zaak) adalah tiap-tiap kebendaan adalah bertubuh atau tak bertubuh 82
dan tiap kebendaan adalah bergerak atau tak bergerak 83 ada benda berwujud dan tidak
berwujud dan ada yang bergerak dan tidak bergerak. Tiap-tiap kebendaan bergerak
adalah dapat dihabiskan atau tak dapat dihabiskan. Kebendaan dikatakan dapat
dihabiskan bilamana karena dipakai, menjadi habis. 84
d. Suatu causa atau sebab yang halal;
Adanya sebab yang halal ini adalah menyangkut isi perjanjian yang tidak
bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan undang-undang. Pasal 1337
KUHPerdata menyatakan bahwa “suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh
undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban
umum. Dengan demikian, undang-undang tidak memperdulikan apa yang menjadi
sebab orang mengadakan suatu perjajian. Yang diperhatikan oleh undang-undang
adalah isi dari perjanjian tersebut yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai 85.
Kesepakatan atau persetujuan para pihak dan kecakapan para pihak dalam
membuat suatu perjanjian disebut sebagai syarat subyektif sedangkan suatu hal
tertentu dan suatu causa atau sebab yang halal disebut syarat obyektif. Suatu
perjanjian yang mengandung cacat pada syarat subyektif akan memiliki konsekuensi
untuk dapat dibatalkan (vernietigbaar). Dengan demikian selama perjanjian yang
mengandung cacat subyektif ini belum dibatalkan, maka ia tetap mengikat para pihak
layaknya perjanjian yang sah. Sedangkan perjanjian yang memiliki syarat objektif
secara tegas dinyatakan batal demi hukum. 86
82
Lihat Pasal 503 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Lihat Pasal 504 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
84
Lihat Pasal 505 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
85
Kartini Muljadi dan Gunawan Wdjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2003), hlm. 127.
86
Komariah, Hukum Perdata, (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2002), hlm. 175.
83
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga
mensyaratkan perjanjian kerja dibuat atas dasar 87 :
a. Kesepakatan kedua belah pihak;
b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
d. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Isi Perjanjian Kerja
Hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada
masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak
melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Maksudnya di sini para pihak yang
mengadakan perjanjian diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam
perjanjian yang telah mereka sepakati dan para pihak yang terikat dalam perjanjian
harus melaksanakan isi perjanjian sebagaimana semestinya. 88
Etika kerja merupakan rumusan penerapan nilai–nilai etika yang berlangsung
di lingkungannya, dengan tujuan untuk mengatur tata krama aktivitas para
karyawannya agar mencapai tingkat efesiensi dan produktivitas yang maksimal. Etika
perusahaan menyangkut tentang hubungan perusahaan dan karyawannya sebagai satu
kesatuan dalam lingkungannya, etika kerja menyangkut hubungan kerja antara
perusahaan dan karyawan. 89
Perjanjian kerja dapat dikatakan sebagai fundamental legal institution dalam
hukum ketenagakerjaan. 90 Perjanjian kerja merupakan satu hal yang paling esensial
87
Lihat Pasal 52 angka (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Ibid, hlm. 9.
89
Erni R. Ernawan, Business Ethics ,(Bandung: Alfabeta, 2007), hlm. 69.
90
Simon Deakin, The many Futures of the Contract of Employment, dlm. Joane Conaghan et.
al. (Ed.), Labour Law in an Era of Globalization, (Oxford: Oxford University Press, 2005), hlm. 178.
88
dalam hukum ketenagakerjaan karena perjanjian kerja telah melahirkan adanya
hubungan hukum, yakni hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha.
Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan
pekerja/buruh. 91 Pada perjanjian kerja akan ditetapkan hak dan kewajiban masingmasing pihak. Pekerja/buruh dan pengusaha akan terikat dalam hubungan kerja
tersebut untuk melaksanakan hak dan kewajibannya masing-masing. Jelas disebutkan
bahwa perjanjian kerja adalah dasar dari terbentuknya hubungan hukum antara
pengusaha dan pekerja/buruh. Pengertian perjanjian kerja adalah perjanjian antara
pekerja/buruh dan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban
kedua belah pihak. 92
Suatu perjanjian dapat disebut sebagai perjanjian kerja jika isi perjanjian
tersebut telah mengatur tiga unsur, yaitu pekerjaan, upah, dan perintah. Unsur
pekerjaan menunjuk pada apa yang harus dikerjakan. Hal tersebut ditunjukkan oleh
adanya jabatan (job title) atau jenis pekerjaan yang diperjanjikan. Unsur upah
ditunjukkan oleh berapa jumlah upah yang diterima dan kapan upah tersebut akan
dibayarkan setiap periodenya. Sedangkan unsur perintah ditunjukkan oleh adanya
deskripsi kerja (job description), kewajiban pekerja/buruh mematuhi tata tertib
perusahaan dan hak pengusaha untuk mengenakan tindakan disiplin terhadap
pekerja/buruh. 93
Menurut Abdul Rachmad Budiono, ketiga unsur perjanjian kerja, yakni
berupa upah, perintah, dan pekerjaan tersebut bersifat kumulatif. Artinya, ketiadaan
salah satu unsur mengakibatkan tidak terjadinya perjanjian kerja. 94 Tujuan pembuatan
91
Lihat Pasal 50 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Lihat Pasal 1 angka (14) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
93
Erni R. Ernawan, Business Ethics ,Op.Cit., hlm. 76.
94
Abdul Rachmad Budiono, Hukum Perburuhan, (Jakarta: Indeks, 2009), hlm. 23.
92
perjanjian secara tertulis adalah agar memberikan kepastian hukum bagi para pihak
dan sebagai alat bukti yang sempurna, di kala timbul sengketa di kemudian hari.
Setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (UUKK), maka keberadaan perjanjian kerja sebagai pegangan
yuridis dalam hubungan kerja, telah mempunyai landasan yang tegas dan kuat.
Walaupun di dalam undang-undang tersebut hanya diatur secara parsial tentang
perjanjian kerja, tetapi paling tidak keberadaan perjanjian kerja, telah diatur tersendiri
di dalam undang-undang tersebut, yaitu dalam Bab IX yang mengatur tentang
hubungan kerja.
Pada dasarnya baik tertulis maupun tidak, perjanjian kerja tersebut sama-sama
mempunyai kekuatan yang mengikat kedua belah pihak. Demikian pula dalam
perjanjian kerja, seorang buruh mengadakan perjanjian kerja dengan perusahaan atau
majikan dengan mengikatkan dirinya dalam perjanjian itu dengan maksud untuk
memperoleh haknya itu harus memberikan sesuatu kepada majikannya berupa
pengarahan jasa-jasanya sebagaimana kewajiban yang harus dipenuhi dan tidak boleh
dilalaikan. 95
Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat 96 :
a. Nama, alamat perusahaan dan jenis usaha.
b. Nama, jenis kelamin, umur dan alamat pekerja/buruh.
c. Jabatan atau jenis pekerjaan.
d. Tempat Pekerjaan.
e. Besarnya upah dan cara pembayarannya.
f. Syarat-syarat kerja (memuat hak-hak dan kewajiban-kewajiban para pihak).
g. Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja.
h. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat.
i. Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
4. Jenis-Jenis Perjanjian Kerja
95
96
G. Kartas Poetra, Pokok-Pokok Hukum Perburuhan, (Bandung: Armico, 1985), hlm. 73.
Lihat Pasal 54 angka (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dalam suatu perjanjian kerja terdapat jenis-jenis perjanjian kerja, ada 2 (dua)
jenis perjanjian kerja diantaranya :
a. Menurut Bentuknya
Perjanjian kerja menurut bentuknya terbagi menjadi 2 (dua) yaitu 97 :
1) Perjanjian lisan, terbagi 2 (dua) yaitu :
a) Perjanjian konsensual, adalah perjanjian dimana adanya kata sepakat antara
para pihak saja sudah cukup untuk timbulnya perjanjian yang
bersangkutan.
b) Perjanjian riil, adalah perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadinya
penyerahan barang atau kata sepakat bersamaan dengan penyerahan
barangnya. Misalnya : perjanjian penitipan barang.
2) Perjanjian tertulis, terbagi 2 (dua) yaitu :
a) Perjanjian baku, adalah perjanjian yang berbentuk tertulis berupa formulir
yang isinya telah dibakukan terlebih dahulu secara sepihak oleh produsen
tanpa mempertimbangkan kondisi konsumen.
b) Perjanjian formal, adalah perjanjian yang telah ditetapkan dengan
formalitas tertentu, misalnya : perjanjian hibah harus dibuat dengan akta
notaris.
b. Menurut Waktu Berakhirnya
Berakhirnya suatu perjanjian kerja terdapat dua macam bentuk
berakhirnya suatu perjanjian kerja, diantaranya :
1) Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)
PKWTT adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha untuk
mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap dan disebut karyawan tetap.
PKWTT bisa dibuat secara lisan maupun tulisan, dan jika dibuat secara lisan
maka perusahaan wajib membuat surat pengangkatan kerja bagi pekerja yang
bersangkutan dan PKWTT dapat mensyaratkan adanya masa percobaan selama
97
65
Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, (Yogyakarta: Andi Offset, 2009), hlm. 64-
tiga bulan, dalam tiga bulan tersebut perusahaan wajib membayar upah sesuai
dengan upah minimum yang berlaku. 98
2) Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu adalah perjanjian kerja yang di
dalamnya memuat batas waktu hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha.
Perjanjian kerja ini biasanya digunakan untuk pekerja tidak tetap atau kontrak
dan didasarkan pada dua hal yaitu jangka waktu tertentu dan selesainya suatu
pekerjaan. 99
Perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan
tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai
dalam waktu tertentu, yaitu 100 :
a) Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
Pola hubungan kerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu dapat dilakukan
untuk pekerja yang didasarkan atas selesainya pekerja tertentu untuk waktu
paling lama 3 (tiga) tahun.
b) Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu
lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
Pola hubungan kerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu dapat dilakukan
untuk pekerja yang dipekirakan penyelesaianya dalam waktu tidak terlalu
lama dan paling lama 3 (tiga) tahun. Dalam hal perkerjaan tertentu yang
diperjanjikan berakhir maka perjanjian kerja waktu tertentu tersebut putus
demi hukum.
c) Pekerjaan yang bersifat musiman; atau
Pekerja yang bersifat musiman adalah pekerja yang pelaksanaanya tergantung
pada musim atau cuaca. PKWT yang dilakukan untuk pekerja yang musiman
hanya dapat dilakukan satu jenis pekerjaan waktu tertentu.
98
Zainal Asikin, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2012), hlm. 52.
99
Ibid., hlm. 54.
100
Lihat Pasal 59 angka (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
d) Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk
tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan;
Pola hubungan kerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu dapat digunakan
untuk melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan
baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Untuk ini perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat dilakukan untuk jangka
waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang untuk satu kali paling
lama 1 (satu) tahun dan tidak dapat dilakukan perubahan.
Perjanjian kerja terdiri dari perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau
untuk waktu tidak tertentu, diantara kedua jenis perjanjian kerja tersebut akan
membawa konsekuensi yuridis tertentu baik bagi pekerja maupun pengusaha, baik
sebelum, sesaat maupun setelah hubungan kerja tersebut berakhir 101. Di dalam
UUKK tersebut juga ditegaskan bahwa, perjanjian kerja untuk waktu tertentu
didasarkan atas jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu.
Pengusaha memakai landasan hukum dalam melakukan hubungan kerja,
dengan berdasarkan atas perjanjian kerja untuk waktu tertentu, kecenderungan
demikian umumnya untuk menghindari apabila terjadi pemutusan hubungan kerja
terutama yang dilakukan secara sepihak dari pengusaha, dihubungkan dengan
kewajiban-kewajiban untuk meminta izin terlebih dahulu, permohonan penetapan
pemutusan hubungan kerja yang memakan waktu panjang dan berbelit-belit disertai
dengan pembebanan kewajiban-kewajiban yang memberatkan bagi pihak pengusaha,
seperti pembebanan kewajiban pemberian uang pesangon, penghargaan masa
kerja/jasa maupun ganti kerugian yang menjadi kewajiban pengusaha, sebaliknya
menjadi hak bagi pekerja.
101
Lihat Pasal 56 angka (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Perjanjian kerja dapat diakhiri bilamana 102 :
a. Pekerja meninggal dunia.
b. Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
c. Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap.
d. Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan
berakhirnya hubungan kerja.
5. Perjanjian Kerja Antara Kasir (Teller) Dengan PT. Bank Negara Indonesia
(Persero) Tbk
Seseorang yang sudah dinyatakan lulus seleksi untuk menjadi seorang petugas
kasir (teller) PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk sebelum dia mulai bekerja, ia
harus terlebih dahulu mengikatkan dirinya melalui perjanjian kerja dengan PT. Bank
Negara Indonesia (Persero) Tbk. Hal ini ditandai dengan petugas kasir (teller)
menandatangani surat perjanjian kerja tersebut. Surat perjanjian kerja tersebut
dinamakan Perjanjian Kerja Asisten pada PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk.
Dengan demikian kasir (teller) dan PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk samasama mengikatkan diri dan tunduk terhadap isi perjanjian kerja tersebut.
Di dalam perjanjian kerja tersebut tercantum :
102
Lihat Pasal 61 angka (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Dalam surat perjanjian kerja tersebut terdapat dua pihak yaitu :
1) Pihak Pertama adalah PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk yang
diwakilkan oleh Pemimpin PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Kantor
wilayah Medan.
2.) Pihak Kedua adalah nama pegawai kasir (teller) PT. Bank Negara Indonesia
(Persero) Tbk lengkap dengan Kartu Tanda Penduduk.
Kedua pihak tersebut sepakat untuk mengikatkan dirinya dalam sebuah
perjanjian kerja tanpa adanya paksaan, penipuan atau kekhilafan. Perjanjian kerja
kasir (teller) dengan PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk bersifat tertulis dan
baku. Perjanjian kerja tersebut bersifat tertulis, diketik, ditulis dalam bahasa
Indonesia dan terdiri dari 15 Pasal.
Perjanjian baku merupakan suatu bentuk perjanjian yang berisikan hak dan
kewajiban kedua belah pihak yang diwujudkan dalam bentuk tulisan yang sudah
dibakukan. Salah satu pihak dalam perjanjian itu, yaitu pihak yang secara ekonomis
kuat, biasanya menetapkan syarat-syarat baku secara sepihak. “Perjanjian baku itu
pada prinsipnya ditetapkan sepihak tanpa lebih dahulu merundingkannya dengan
pihak yang lainnya”. 103
Istilah perjanjian baku dalam bahasa Belanda dikenal dengan standard voor
vaardeen, dalam hukum Inggris di kenal dengan standart contrac. “Standar kontrak
merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan telah dituangkan dalam bentuk
103
Ari Purwadi, Hukum dan Pembangunan, (Jakarta: Majalah Hukum, No 1 Tahun XXV,
1995), hlm. 58.
formulir, kontrak ini ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak, terutama pihak
ekonomi kuat terhadap pihak ekonomi lemah”. 104
Baku berarti ukuran dan acuan. Jika bahasa hukum dibakukan berarti bahasa
hukum itu ditentukan ukurannya, standarnya, sehingga memiliki arti tetap, yang dapat
menjadi pegangan umum. 105 Sutan Remy Sjahdeni merumuskan perjanjian baku
adalah perjanjian yang hampir seluruh klausula-klausulanya sudah dibakukan oleh
pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk
merundingkan atau meminta perubahan. 106
Hal ini terlihat dalam bentuk perjanjian di mana perjanjian tersebut konsepnya
telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh salah satu pihak yaitu pihak pertama dan
perjanjian ini disamping memuat aturan-aturan umumnya biasa tercantum dalam
suatu perjanjian, memuat pula persyaratan khusus baik berkenaan dengan
pelaksanaan perjanjian, menyangkut hal-hal tertentu dan atau berakhirnya perjanjian
itu.
Hal-hal baku yang diatur dalam perjanjian kerja ini antara lain :
1) Penghasilan kasir (teller) per bulan, Ongkos perjalanan Cuti Tahunan (OPCT),
Tunjangan Hari Raya (THR),
2) Cuti tahunan yang diberikan kepada kasir (teller) yaitu 12 (dua belas) hari kerja,
104
Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata, (Jakarta: PT.Raja
Grafindo Perkasa, 2006), hlm. 145.
105
Johannes Ibrahim, Pengimpasan Pinjaman (Kompensasi) dan Asas Kebebasan Berkontrak
dalam Perjanjian Kredit Bank, (Bandung: CV Utomo, 2003), hlm. 52.
106
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi
Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993),
hlm. 66.
3) Lama Waktu untuk In-Class Training, On Job Training dan Inservice Training),
4) Daerah penempatan kerja kasir (teller),
5) Ketentuan mengenai fasilitas kesehatan seperti Jamsostek, Bantuan Rawat Jalan
dan Bantuan Rawat Inap,
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh
undang-undang tidak dinyatakan tak cakap. 107 Pihak Pertama dan Pihak Kedua dalam
perjanjian kerja tersebut adalah termasuk ke dalam setiap orang yang cakap untuk
membuat perikatan karena bukan termasuk 108 :
1) Orang-orang yang belum dewasa;
2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
3) Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan
pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang
membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
c. Suatu hal tertentu
Objek perjanjian kerja berupa jasa. Kasir (teller) memberikan jasa yaitu untuk
melakukan dan melaksanakan tugas-tugasnya sebagai asisten pelayanan uang tunai
pada PT BNI KCU USU Medan. Jasa di sini berupa pelayanan yang jujur, tulus,
ikhlas dan ramah sesuai dengan prinsip standar layanan PT. Bank Negara Indonesia
(Persero) Tbk.
107
Lihat Pasal 1329 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Lihat Pasal 1329 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
108
d. Suatu sebab yang halal
Suatu sebab yang terkandung dalam perjanjian tersebut adalah yang halal.
Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila
berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum 109. Hal-hal yang ada dalam
perjanjian ini tidak bertentangan dengan norma kesusilaan, kesopanan dan ketertiban
umum.
4 (empat) syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur di dalam Pasal 1320
KUHPerdata telah terkandung di dalam Perjanjian Kerja Asisten pada PT. Bank
Negara Indonesia (Persero) Tbk dan perjanjian kerja tersebut juga telah memenuhi
dasar-dasar perjanjian kerja menurut Pasal 52 angka (1) Undang-Undang Nomor 13
tanhun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
B. Hak dan Kewajiban Kasir (Teller) dalam Perjanjian Kerja antara Kasir
(Teller) dengan PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk
1. Pengertian Hak
Hak dan kewajiban melekat pada setiap manusia baik sebagai individu yang
menjadi bagian dari sebuah komunitas, individu bagian dari sebuah lingkungan dan
negara. Hak adalah sesuatu hal yang benar, milik, kepunyaan, kewenangan,
kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh undang-undang,
aturan, dsb), kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu, derajat
109
Lihat Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
atau martabat 110. Tidak seorangpun manusia yang tidak mempunyai hak, tetapi
konsekuensinya bahwa orang lain pun memiliki hak yang sama dengannya. Jadi hak
pada pihak yang satu berakibat timbulnya kewajiban pada pihak yang lain.
Orang yang mempunyai hak bisa menuntut (dan bukan saja mengharapkan
atau menganjurkan) bahwa orang lain akan memenuhi dan menghormati hak itu.
Tetapi bila dikatakan demikian, segera harus ditambah sesuatu yang amat penting
bahwa hak adalah klaim yang sah atau klaim yang dapat dibenarkan. 111
Selain itu, hak juga dapat diartikan sebagai kuasa untuk menerima atau
melakukan suatu yang semestinya diterima atau dilakukan melulu oleh pihak tertentu
dan tidak dapat oleh pihak lain manapun juga yang pada prinsipnya dapat dituntut
secara paksa olehnya. 112
Oleh karena itu implikasi dari definisi tentang hak tersebut antara lain 113 :
a. Hak adalah suatu kekuasaan, yaitu suatu kemampuan untuk memodifikasi
keadaan.
b. Hak merupakan jaminan yang diberikan oleh hukum.
c. Penggunaan hak menghasilkan suatu keadaan yang berkaitan langsung dengan
kepentingan pemilik hak.
110
Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, Op.Cit., hlm. 1.
K. Bertens, Etika (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 1992), hlm. 178-179.
112
Ibid, hlm. 180.
113
Ali,Achmad, Menguak Tabir Hukum, (Jakarta; Candra Pratama, 1996), hlm. 242.
111
Sedangkan dilihat dari sudut kewenangan, maka pengertian hak berintikan
kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu berkenaan dengan sesuatu
atau terhadap subjek hukum tertentu atau semua subjek hukum tanpa halangan atau
gangguan dari pihak manapun, dan kebebasan tersebut memiliki kewenang-wenangan
untuk melakukan perbuatan tertentu, termasuk menuntut sesuatu. 114
Menurut Satjipto Rahardjo bahwa suatu kepentingan merupakan sasaran dari
dan bukan hanya karena ia dilindungi oleh hukum, tetapi juga karena pengakuan
terhadapnya. Hak ternyata tidak hanya mengandung unsur perlindungan dan
kepentingan, melainkan juga kehendak. 115
Hak dapat timbul pada subjek hukum disebabkan oleh beberapa hal yaitu 116 :
a. Adanya subjek hukum baru, baik orang maupun badan hukum.
b. Terjadi perjanjian yang disepakati oleh para pihak yang melakukan perjanjian.
c. Terjadi kerugian yang diderita oleh seseorang akibat kesalahan atau kelalaian orang
lain.
d. Karena seseorang telah melakukan kewajiban yang merupakan syarat memperoleh
hak.
e. Terjadinya daluarsa (verjaring). 117
Hapusnya suatu hak menurut hukum dapat disebabkan oleh empat hal yaitu 118
:
a. Apabila pemegang hak meninggal dunia dan tidak ada pengganti atau ahli waris
yang ditunjuk, baik oleh pemegang hak maupun ditunjuk oleh hukum.
b. Masa berlakunya hak telah habis dan tidak dapat diperpanjang lagi.
114
Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum (Buku I),
(Bandung: Alumni, 2000), hlm. 90.
115
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Op.Cit., hlm. 53.
116
Ibid., hlm. 57.
117
Daluarsa adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau membebaskan dari suatu
perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan dalam UndangUndang. Pasal 1946 KUHPerdata.
118
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Op.Cit., hlm. 59.
c. Telah diterimanya suatu benda yang menjadi objek hak.
d. Karena daluarsa (verjaring).
2. Pengertian Kewajiban
Kewajiban adalah suatu beban atau tanggungan yang bersifat kontraktual.
Dengan kata lain kewajiban adalah sesuatu yang sepatutnya diberikan. Contoh
kewajiban yaitu dalam jual beli, bila kita membeli suatu barang, maka kita wajib
membayar barang tersebut. 119
Wajib adalah beban untuk memberikan sesuatu yang semestinya dibiarkan
atau diberikan melulu oleh pihak tertentu tidak dapat oleh pihak lain manapun yang
pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa oleh yang berkepentingan . Sehingga
kewajiban adalah sesuatu yang harus dilakukan. 120 Tanggung jawab adalah beban
yang bersifat moral. Pada dasarnya, sejak lahirnya kewajiban sudah lahir pula
tanggung jawab. 121
Lahir dan timbulnya suatu kewajiban, disebabkan oleh hal sebagai berikut 122 :
a. Karena diperoleh suatu hak yang membebani syarat untuk memenuhi kewajiban.
b. Berdasarkan suatu perjanjian yang telah disepakati.
c. Adanya kesalahan atau kelalaian seseorang yg menimbulkan kerugian bagi orang
lain, sehingga ia wajib membayar ganti rugi.
119
Burhanuddin Salam, Etika Sosial Asas Moral dalam Kehidupan Manusia (Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 1997), hlm. 14-16.
120
Erni R. Ernawan, Op.Cit., hlm. 69.
121
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2010),
hlm. 58.
122
Ibid., hlm. 65.
d.Karena telah menikmati hak tertentu yg harus diimbangi dengan kewajiban tertentu.
e. Karena daluarsa (verjaring).Contoh : denda.
Hapusnya suatu kewajiban karena hal-hal sebagai berikut 123 :
a. Karena meninggalnya orang yg mempunyai kewajiban, tanpa ada penggantinya,
baik ahli waris maupun orang lain atau badan hukum yang ditunjuk oleh hukum.
b. Masa berlakunya telah habis dan tidak diperpanjang.
c. Kewajiban telah dipenuhi oleh yang bersangkutan.
d. Hak yg melahirkan kewajiban telah dihapus
e. Daluarsa (verjaring).
f. Ketentuan undang-undang.
g. Kewajiban telah beralih atau dialihkan kepada orang lain.
h. Terjadi suatu sebab di luar kemampuan manusia, sehingga tidak dapat dipenuhi
kewajiban itu.
Hak dan kewajiban semestinya dilaksanakan secara bersamaan. Apabila tidak
dilaksanakan secara bersamaan maka hak dan kewajiban menjadi timpang alias tidak
seimbang. Untuk terjadinya “hak dan kewajiban”, diperlukan suatu “peristiwa” yang
oleh hukum dihubungkan sebagai suatu akibat. Artinya, hak seseorang terhadap
sesuatu benda mengakibatkan timbulnya kewajiban pada orang lain, yaitu
menghormati dan tidak boleh mengganggu hak tersebut.
Hak dan kewajiban itu timbul apabila terjadi hubungan hukum antara dua
pihak yang didasarkan pada suatu kontrak atau perjanjian. Jadi, selama hubungan
hukum yang lahir dari perjanjian itu belum berakhir, maka pada salah satu pihak ada
beban kontraktual, ada keharusan atau kewajiban untuk memenuhinya.
123
Ibid., hlm, 71.
3. Hak Dan Kewajiban Kasir (Teller) Dalam Perjanjian Kerja Antara Kasir
(Teller) Dengan PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk
Di dalam Perjanjian Kerja Asisten Pada PT Bank Negara Indonesia (Persero)
Tbk ditulis dengan jelas hak dan kewajiban pihak pertama dan pihak kedua. Hak dan
Fasilitas Pihak Kedua yaitu kasir (teller) adalah sebagai berikut 124 :
a. Penghasilan Pihak Kedua diatur sebagai berikut :
1) Selama masa pembekalan (in-class training, OJT, IST) sebesar Rp. 1.921.199,per bulan.
2) Selama masa evaluasi lapangan sebesar Rp. 2.177.358,- per bulan.
b. Fasilitas yang diberikan kepada Pihak Kedua adalah sebagai berikut :
1) Bantuan Uang Makan berdasarkan kehadiran Pihak Kedua pada hari kerja
sesuai ketentuan yang berlaku di Pihak Pertama.
2) Jamsostek sesuai ketetuan di Pihak Pertama.
3) Bantuan Rawat Jalan sesuai fasilitas untuk jenjang jabatan Asisten pada Pihak
Pertama.
4) Bantuan Rawat Inap sesuai dengan fasilitas kesehatan yang diattur di Pihak
Pertama.
5) Cuti Tahunan selama 12 (dua belas) hari kerja untuk masa kontrak 12 (dua
belas), yang dapat diajukan setelah menjalani paling sedikit 6 (enam) bulan
masa kontrak dan diberikan proporsional sesuai dengan masa kontrak yang
telah dijalani. Pelaksanaan cuti mengacu pada ketentuan yang berlaku di Pihak
Pertama.
6) Ongkos Perjalanan Cuti Tahunan (OPCT) sebesar 1 (satu) bulan Penghasilan,
dibayarkan pada akhir masa kotrak 12 (dua belas) bulan yang pembayarannya
mengacu pada ketentuan Pihak Pertama.
7) Tunjangan Hari Raya (THR) sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Pihak
Pertama
8) Tunjangan Pajak sesuai tarif pajak penghasilan untuk Wajib Pajak yang
memiliki NPWP pribadi atas penghasilan dan fasilitas yang menjadi objek
pajak penghasilan.
9) Bonus atau Jasa Produksi atau Insentif (apabila ada) sesuai dengan ketentuan
Pihak Pertama.
124
Lihat Pasal 5 Perjanjian Kerja Asisten Pada PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk.
Sedangkan mengenai kewajiban kasir (teller) juga telah diatur dalam
perjanjian ini. Kewajiban dan Larangan Pihak Kedua yaitu kasir (teller) adalah
sebagai berikut 125 :
a. Pihak Kedua wajib melaksanakan dan menyelesaikan pekerjaan yang ditugaskan
oleh Pihak Pertama sebagai asisten pada Masa Evaluasi Lapangan sesuai dengan
Key Performance Indicator (KPI) dan target sebagimana yang ditetapkan oleh
Pihak Pertama.
b. Pihak Pertama dapat melakukan penyesuaian dari pekerjaan yang ditugaskan
sebagaimana ayat (1) sesuai dengan tuntutan perusahaan dan kompetensi Pihak
Kedua. Dengan demikian apabila terdapat perubahan Key Performance Indicator
(KPI) maka tanggung jawab utama Pihak Kedua menyesuaikan dengan yang baru,
dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjanjian serta tidak perlu
dituangkan dalam bentuk Addendum Perjanjian.
c. Pihak Kedua bertanggung jawab sepenuhnya atas pelaksanaan pekerjaan
sebagaimana ayat (1) dan (2) serta wajib membuat laporan kepada pemimpin unit
per 4 (empat) bulan atau sesuai waktu yang ditetapkan Pihak Pertama perihal
pencapaian hasil sasaran dan target yang ditetapkan Pihak Pertama sebagaimana
Key Performance Indicator (KPI) terlampir, sebagai bahan untuk melakukan
evaluasi terhadap performance/kinerja Pihak Kedua.
d. Pihak Kedua wajib menjaga Rahasia Jabatan dan Rahasia Bank, dan oleh
karenanya Pihak Kedua tidak diperkenankan memberitahukan/membocorkan
dengan cara dan bentuk apapun kepada pihak lain tentang hal-hal yang
berhubungan dengan Rahasia Bank dan atau Rahasia Jabatan, baik secara langsung
maupun tidak langsung selama berhuubungan kerja berlangsung maupun setelah
hubungan kerja berakhir.
e. Pihak Kedua wajib melaksanakan pekerjaan yang diberikan oleh Pihak Pertama
dengan sebaik-baiknya, teliti, terampil, jujur, sopan, dan bertanggung jawab.
f. Pihak Kedua wajib mentaati segala ketentuan yang berlaku di Pihak Pertama, baik
yang ditetapkan dalam perjanjian maupun ketentuan intern lainnya yang
dinyatakan berlaku bagi Pihak Kedua.
g. Pihak Kedua wajib menandatangani Komitmen Integritas dan Perjanjian
Kerahasiaan sesuai dengan format yang telah ditentukan oleh Pihak Pertama.
h. Pihak Kedua dilarang melakukan pekerjaan untuk pihak ketiga atau terikat
hubungan kerja, menerima beasiswa dari atau terikat ikatan dinas dengan
perusahaan atau instansi lain.
i. Pihak Kedua dilarang melibatkan diri atau melakukan tindakan bisnis yang
menimbulkan konflik kepentingan, atau melakukan pekerjaan/bisnis yang dapat
125
Lihat Pasal 7 Perjanjian Kerja Asisten Pada PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk.
mengganggu pelaksanaan tugas/pekerjaan di Pihak Pertama kecuali mendapatkan
izin tertulis sebelumnya dari Pihak Kedua.
j. Pihak Kedua baru dapat melangsungkan pernikahan setelah memasuki masa
kontrak tahun kedua, dengan memperhatikan jangka waktu perjanjian
sebagaimana dimaksud pasal 3 ayat (1).
k. Pihak Kedua dilarang melakukan perbuatan yang secara langsung atau tidak
langsung dapat merusak nama baik, martabat atau citra Pihak Pertama.
l. Pihak Kedua dilarang melakukan tindak pidana atau perbuatan yang menjurus ke
arah tindak pidana, baik menyangkut maupun tidak menyangkut kepentingan
Pihak Pertama.
Kewajiban kasir (teller) secara lebih terperinci yaitu 126 :
a. Melayani semua jenis transaksi kas/tunai, pemindahan, setoran kliring dalam
rangka memberikan pelayanan transaksi keuangan (IDR dan Valas) :
1) Melaksanakan setoran dan pembayaran semua jenis transaksi.
2) Melakukan penutupan rekening giro/tabungan/deposito atas permintaan Unit
Pelayanan Nasabah.
3) Melakukan transaksi kiriman uang (KU) dalam negeri.
4) Memproses (upload) pembayaran gaji melalui sistem Payroll (Pembayaran
Gaji) baik secara otomatis maupun manual.
5) Melakukan verifikasi tanda tangan dan posisi saldo rekening nasabah.
6) Melakukan verifikasi dan validasi slip transaksi.
7) Melakukan jual-beli Cek Multi Guna (CMG).
8) Meminta persetujuan pejabat yang berwenang atas jumlah pembayaran di atas
batas kewenangannya.
9) Menjalankan setiap transaksi sesuai dengan standar layanan BNI.
10) Memastikan akurasi setiap transaksi.
b. Melayani kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan produk jasa luar negeri, antara
lain :
1) Melakukan transaksi Out Going Transfer (OTR) baik secara tunai, pemindahan
maupun kliring.
2) Melakukan pembayaran Incoming Transfer (ITR) baik secara tunai,
pemindahan maupun kliring.
3) Menerima setoran komisi L/C ekspor, setoran MD atas penerbitan L/C impor,
biaya pembukaan L/C, amandemen L/C dll.
4) Menerima setoran atas komisi advising SKBDN masuk, setoran fee SKBDN,
fee amandemen SKBDN dan biaya penerbitan SKBDN.
5) Melayani pembayaran inward collection baik secara tunai, pemindahan maupun
kliring.
126
Lihat Lampiran Petunjuk Pelaksanaan Uraian Jabatan Kantor Cabang.
6) Menerima setoran outward collection baik secara tunai maupun pemindahan.
7) Melayani transaksi jual beli note, non fisik, draft dan TC.
c. Melaksanakan Prinsip Mengenal Nasabah (PMN) / Know Your Customer (KYC)
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
d. Menjaga peralatan yang menjadi tanggung jawabnya, antara lain :
1) Mesin hitung uang kertas, mesin kalkulator dan alat penyidik (lampu ultra
violet, neon light box dan sejenisnya).
2) Terminal komputer, printer passbook, KCT dan perlengkapan lainnya.
e. Berpartisipasi aktif melaksanakan gugus tugas khusus yang dibentuk oleh Komite
Manajemen Kantor Cabang Utama dan Layanan.
f. Melaksanakan perbaikan/penyempurnaan hasil temuan audit/SPI.
g. Menyelesaikan transaksi daftar pos terbuka (DPT) sesuai dan atau menjadi
kewenangannya.
Hak dan kewajiban kasir (teller) hapus apabila Perjanjian Kerja Asisten pada
PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk berakhir yang disebabkan 127 :
a. Kasir (teller) mengundurkan diri dari jabatannya sebagai kasir (teller) pada PT.
Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk.
b. Kasir (teller) diberhentikan dari jabatannya sebagai kasir (teller) pada PT. Bank
Negara Indonesia (Persero) Tbk.
c. Kasir (teller) meninggal dunia.
d. Kasir (teller) di tempatkan pada posisi jabatan lain pada PT. Bank Negara
Indonesia (Persero) Tbk
127
Lihat Pasal 14 Perjanjian Kerja Asisten Pada PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk.
BAB II
HAK DAN KEWAJIBAN KASIR (TELLER) DALAM PERJANJIAN KERJA
ANTARA KASIR (TELLER) DENGAN PT. BANK NEGARA INDONESIA
(PERSERO) TBK
A. Perjanjian Kerja pada PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk
1. Pengertian Perjanjian Kerja
Manusia sejak lahir hingga meninggal dunia hidup bersama-sama dengan
manusia lain atau dengan kata lain manusia tidak dapat hidup menyendiri, terpisah
dari kelompok manusia lainnya. Manusia harus hidup bermasyarakat, sebab ia lahir,
hidup berkembang, dan meninggal dunia di dalam masyarakat. Sebagai individu,
manusia tidak dapat hidup untuk mencapai segala sesuatu yang diinginkannya dengan
mudah tanpa bantuan orang lain atau harus ada kontak di antara individu dengan
individu lainnya agar dapat memenuhi kebutuhan mereka. Kontak di antara individu
ini terjadi setelah ada kesepakatan atau perjanjian di antara mereka untuk melakukan
suatu perbuatan.
Perjanjian berdasarkan definisi yang diberikan dalam Pasal 1313 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) adalah suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Abdul
Kadir Muhammad merumuskan definisi Pasal 1313 KUHPerdata sebagai berikut,
bahwa yang disebut perjanjian adalah “suatu persetujuan di mana dua orang atau
lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta
kekayaan” 72.
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada
seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu
hal. 73 Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang
dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang
yang membuatnya. Perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang
mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Pada
umumnya perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu, dapat dibuat secara
lisan dan andaikata dibuat secara tertulis maka ini bersifat sebagai alat bukti apabila
terjadi perselisihan.
Demikian juga dalam bidang pekerjaan, orang melakukan perjanjian kerja
sehingga menimbulkan perikatan. Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian di mana
pihak kesatu buruh, mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada
pihak lain yakni majikan, dan majikan mengikatkan diri untuk mempekerjakan buruh
dengan membayar upah. 74
Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dan pekerja/buruh
berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah. 75
72
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Op.Cit., hlm. 78.
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT Intermasa, 1987), hlm. 1.
74
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Mataram: Grafindo Persada,
2003), hlm. 40.
75
Lihat Pasal 1 angka (15) jo Pasal 50 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
73
Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan
pekerja/buruh. Dimana pekerja selaku pencari kerja dan pengusaha selaku pemberi
kerja, merupakan pihak atau subyek yang membuat perjanjian kerja, dan merupakan
pemenuhan syarat subyektif, selanjutnya syarat obyektifnya akan ditentukan dengan
adanya syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Setiap hubungan kerja yang tercipta, baik formal maupun informal, pada
dasarnya selalu didahului dengan adanya perjanjian kerja. Untuk pekerjaan informal,
perjanjian kerja antara pemberi pekerjaan dengan penerima pekerjaan biasanya
dilakukan secara lisan sedangkan pekerjaan-pekerjaan yang formal, seperti di pabrik
atau perusahaan, perjanjian kerja pada umumnya dibuat secara tertulis.
Dalam hukum perikatan dikenal tiga asas penting, yaitu 76:
a.Asas Konsensualisme
Asas ini dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi :
”Lahirnya perjanjian adalah pada saat tercapainya kesepakatan dan saat itulah
adanya hak dan kewajiban para pihak”.
b.Asas Pacta Sunt Servanda
Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Hal ini dapat disimpulkan dalam
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi : “Perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
c.Asas Kebebasan Berkontrak
Berupa asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat atau
tidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan siapaun, menentukan isi
perjanjian, pelaksana, persyaratanya, dan menentukan bentuk perjanjian yang
tertulis atau tidak tertulis.
76
157.
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2002) hlm.
2. Syarat-Syarat Perjanjian Kerja
Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, untuk sahnya suatu perjanjian para
pihak harus memenuhi syarat-syarat tersebut di bawah ini:
a. Kesepakatan atau persetujuan para pihak;
Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau
lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai itu adalah pernyataannya, karena kehendak
itu tidak dapat dilihat/diketahui orang lain. Kesepakatan para pihak merupakan unsur
mutlak untuk terjadinya suatu kontrak. Para pihak yang terlibat dalam perjanjian
harus sepakat atau setuju mengenai hal-hal pokok dari perjanjian tersebut. 77
Kesepakatan dapat terjadi dengan berbagai cara, namun yang paling penting
adalah adanya penawaran dan penerimaan atas penawaran tersebut. 78 Pasal 1321
KUHPerdata menentukan bahwa kata sepakat tidak sah apabila diberikan karena
kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.
b. Kecakapan para pihak dalam membuat suatu perjanjian;
Seseorang adalah cakap apabila ia pada umumnya berdasarkan ketentuan
undang-undang mampu membuat sendiri perjanjian-perjanjian dengan akibat-akibat
hukum yang sempurna. 79 Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah
orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan
hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang.
77
P.N.H Simanjuntak, Op.Cit., hlm. 334.
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontak, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2010), hlm. 13.
79
Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Putra Abardin, 1999), hlm. 61.
78
Orang tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah 80:
1)
Orang yang belum dewasa,
2)
Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan,
3) Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang; dan
pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang
membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Khusus poin “(3)” di atas mengenai perempuan dalam hal yang ditetapkan
dalam undang-undang sekarang ini tidak dipatuhi lagi karena hak perempuan dan
laki-laki telah disamakan dalam hal membuat perjanjian.
c. Suatu hal tertentu;
Suatu hal tertentu mengarah kepada barang yang menjadi objek suatu
perjanjian. Menurut Pasal 1333 KUHPerdata, barang yang menjadi objek suatu
perjanjian ini harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya, sedangkan
jumlahnya tidak perlu ditentukan asalkan saja kemudian dapat ditentukan atau
diperhitungkan 81.
Apapun jenis perikatannya, baik itu perikatan untuk memberikan sesuatu,
berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu, KUHPerdata hendak menjelaskan,
bahwa semua jenis perikatan tersebut pasti melibatkan keberadaan atau eksistensi dari
suatu kebendaan yang tertentu. Objek perjanjian berupa benda/barang dan jasa.
80
Lihat Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: Alumni, 2004),
81
hlm. 209.
Benda (zaak) adalah tiap-tiap kebendaan adalah bertubuh atau tak bertubuh 82
dan tiap kebendaan adalah bergerak atau tak bergerak 83 ada benda berwujud dan tidak
berwujud dan ada yang bergerak dan tidak bergerak. Tiap-tiap kebendaan bergerak
adalah dapat dihabiskan atau tak dapat dihabiskan. Kebendaan dikatakan dapat
dihabiskan bilamana karena dipakai, menjadi habis. 84
d. Suatu causa atau sebab yang halal;
Adanya sebab yang halal ini adalah menyangkut isi perjanjian yang tidak
bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan undang-undang. Pasal 1337
KUHPerdata menyatakan bahwa “suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh
undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban
umum. Dengan demikian, undang-undang tidak memperdulikan apa yang menjadi
sebab orang mengadakan suatu perjajian. Yang diperhatikan oleh undang-undang
adalah isi dari perjanjian tersebut yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai 85.
Kesepakatan atau persetujuan para pihak dan kecakapan para pihak dalam
membuat suatu perjanjian disebut sebagai syarat subyektif sedangkan suatu hal
tertentu dan suatu causa atau sebab yang halal disebut syarat obyektif. Suatu
perjanjian yang mengandung cacat pada syarat subyektif akan memiliki konsekuensi
untuk dapat dibatalkan (vernietigbaar). Dengan demikian selama perjanjian yang
mengandung cacat subyektif ini belum dibatalkan, maka ia tetap mengikat para pihak
layaknya perjanjian yang sah. Sedangkan perjanjian yang memiliki syarat objektif
secara tegas dinyatakan batal demi hukum. 86
82
Lihat Pasal 503 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Lihat Pasal 504 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
84
Lihat Pasal 505 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
85
Kartini Muljadi dan Gunawan Wdjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2003), hlm. 127.
86
Komariah, Hukum Perdata, (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2002), hlm. 175.
83
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga
mensyaratkan perjanjian kerja dibuat atas dasar 87 :
a. Kesepakatan kedua belah pihak;
b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
d. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Isi Perjanjian Kerja
Hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada
masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak
melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Maksudnya di sini para pihak yang
mengadakan perjanjian diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam
perjanjian yang telah mereka sepakati dan para pihak yang terikat dalam perjanjian
harus melaksanakan isi perjanjian sebagaimana semestinya. 88
Etika kerja merupakan rumusan penerapan nilai–nilai etika yang berlangsung
di lingkungannya, dengan tujuan untuk mengatur tata krama aktivitas para
karyawannya agar mencapai tingkat efesiensi dan produktivitas yang maksimal. Etika
perusahaan menyangkut tentang hubungan perusahaan dan karyawannya sebagai satu
kesatuan dalam lingkungannya, etika kerja menyangkut hubungan kerja antara
perusahaan dan karyawan. 89
Perjanjian kerja dapat dikatakan sebagai fundamental legal institution dalam
hukum ketenagakerjaan. 90 Perjanjian kerja merupakan satu hal yang paling esensial
87
Lihat Pasal 52 angka (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Ibid, hlm. 9.
89
Erni R. Ernawan, Business Ethics ,(Bandung: Alfabeta, 2007), hlm. 69.
90
Simon Deakin, The many Futures of the Contract of Employment, dlm. Joane Conaghan et.
al. (Ed.), Labour Law in an Era of Globalization, (Oxford: Oxford University Press, 2005), hlm. 178.
88
dalam hukum ketenagakerjaan karena perjanjian kerja telah melahirkan adanya
hubungan hukum, yakni hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha.
Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan
pekerja/buruh. 91 Pada perjanjian kerja akan ditetapkan hak dan kewajiban masingmasing pihak. Pekerja/buruh dan pengusaha akan terikat dalam hubungan kerja
tersebut untuk melaksanakan hak dan kewajibannya masing-masing. Jelas disebutkan
bahwa perjanjian kerja adalah dasar dari terbentuknya hubungan hukum antara
pengusaha dan pekerja/buruh. Pengertian perjanjian kerja adalah perjanjian antara
pekerja/buruh dan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban
kedua belah pihak. 92
Suatu perjanjian dapat disebut sebagai perjanjian kerja jika isi perjanjian
tersebut telah mengatur tiga unsur, yaitu pekerjaan, upah, dan perintah. Unsur
pekerjaan menunjuk pada apa yang harus dikerjakan. Hal tersebut ditunjukkan oleh
adanya jabatan (job title) atau jenis pekerjaan yang diperjanjikan. Unsur upah
ditunjukkan oleh berapa jumlah upah yang diterima dan kapan upah tersebut akan
dibayarkan setiap periodenya. Sedangkan unsur perintah ditunjukkan oleh adanya
deskripsi kerja (job description), kewajiban pekerja/buruh mematuhi tata tertib
perusahaan dan hak pengusaha untuk mengenakan tindakan disiplin terhadap
pekerja/buruh. 93
Menurut Abdul Rachmad Budiono, ketiga unsur perjanjian kerja, yakni
berupa upah, perintah, dan pekerjaan tersebut bersifat kumulatif. Artinya, ketiadaan
salah satu unsur mengakibatkan tidak terjadinya perjanjian kerja. 94 Tujuan pembuatan
91
Lihat Pasal 50 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Lihat Pasal 1 angka (14) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
93
Erni R. Ernawan, Business Ethics ,Op.Cit., hlm. 76.
94
Abdul Rachmad Budiono, Hukum Perburuhan, (Jakarta: Indeks, 2009), hlm. 23.
92
perjanjian secara tertulis adalah agar memberikan kepastian hukum bagi para pihak
dan sebagai alat bukti yang sempurna, di kala timbul sengketa di kemudian hari.
Setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (UUKK), maka keberadaan perjanjian kerja sebagai pegangan
yuridis dalam hubungan kerja, telah mempunyai landasan yang tegas dan kuat.
Walaupun di dalam undang-undang tersebut hanya diatur secara parsial tentang
perjanjian kerja, tetapi paling tidak keberadaan perjanjian kerja, telah diatur tersendiri
di dalam undang-undang tersebut, yaitu dalam Bab IX yang mengatur tentang
hubungan kerja.
Pada dasarnya baik tertulis maupun tidak, perjanjian kerja tersebut sama-sama
mempunyai kekuatan yang mengikat kedua belah pihak. Demikian pula dalam
perjanjian kerja, seorang buruh mengadakan perjanjian kerja dengan perusahaan atau
majikan dengan mengikatkan dirinya dalam perjanjian itu dengan maksud untuk
memperoleh haknya itu harus memberikan sesuatu kepada majikannya berupa
pengarahan jasa-jasanya sebagaimana kewajiban yang harus dipenuhi dan tidak boleh
dilalaikan. 95
Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat 96 :
a. Nama, alamat perusahaan dan jenis usaha.
b. Nama, jenis kelamin, umur dan alamat pekerja/buruh.
c. Jabatan atau jenis pekerjaan.
d. Tempat Pekerjaan.
e. Besarnya upah dan cara pembayarannya.
f. Syarat-syarat kerja (memuat hak-hak dan kewajiban-kewajiban para pihak).
g. Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja.
h. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat.
i. Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
4. Jenis-Jenis Perjanjian Kerja
95
96
G. Kartas Poetra, Pokok-Pokok Hukum Perburuhan, (Bandung: Armico, 1985), hlm. 73.
Lihat Pasal 54 angka (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dalam suatu perjanjian kerja terdapat jenis-jenis perjanjian kerja, ada 2 (dua)
jenis perjanjian kerja diantaranya :
a. Menurut Bentuknya
Perjanjian kerja menurut bentuknya terbagi menjadi 2 (dua) yaitu 97 :
1) Perjanjian lisan, terbagi 2 (dua) yaitu :
a) Perjanjian konsensual, adalah perjanjian dimana adanya kata sepakat antara
para pihak saja sudah cukup untuk timbulnya perjanjian yang
bersangkutan.
b) Perjanjian riil, adalah perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadinya
penyerahan barang atau kata sepakat bersamaan dengan penyerahan
barangnya. Misalnya : perjanjian penitipan barang.
2) Perjanjian tertulis, terbagi 2 (dua) yaitu :
a) Perjanjian baku, adalah perjanjian yang berbentuk tertulis berupa formulir
yang isinya telah dibakukan terlebih dahulu secara sepihak oleh produsen
tanpa mempertimbangkan kondisi konsumen.
b) Perjanjian formal, adalah perjanjian yang telah ditetapkan dengan
formalitas tertentu, misalnya : perjanjian hibah harus dibuat dengan akta
notaris.
b. Menurut Waktu Berakhirnya
Berakhirnya suatu perjanjian kerja terdapat dua macam bentuk
berakhirnya suatu perjanjian kerja, diantaranya :
1) Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)
PKWTT adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha untuk
mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap dan disebut karyawan tetap.
PKWTT bisa dibuat secara lisan maupun tulisan, dan jika dibuat secara lisan
maka perusahaan wajib membuat surat pengangkatan kerja bagi pekerja yang
bersangkutan dan PKWTT dapat mensyaratkan adanya masa percobaan selama
97
65
Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, (Yogyakarta: Andi Offset, 2009), hlm. 64-
tiga bulan, dalam tiga bulan tersebut perusahaan wajib membayar upah sesuai
dengan upah minimum yang berlaku. 98
2) Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu adalah perjanjian kerja yang di
dalamnya memuat batas waktu hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha.
Perjanjian kerja ini biasanya digunakan untuk pekerja tidak tetap atau kontrak
dan didasarkan pada dua hal yaitu jangka waktu tertentu dan selesainya suatu
pekerjaan. 99
Perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan
tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai
dalam waktu tertentu, yaitu 100 :
a) Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
Pola hubungan kerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu dapat dilakukan
untuk pekerja yang didasarkan atas selesainya pekerja tertentu untuk waktu
paling lama 3 (tiga) tahun.
b) Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu
lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
Pola hubungan kerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu dapat dilakukan
untuk pekerja yang dipekirakan penyelesaianya dalam waktu tidak terlalu
lama dan paling lama 3 (tiga) tahun. Dalam hal perkerjaan tertentu yang
diperjanjikan berakhir maka perjanjian kerja waktu tertentu tersebut putus
demi hukum.
c) Pekerjaan yang bersifat musiman; atau
Pekerja yang bersifat musiman adalah pekerja yang pelaksanaanya tergantung
pada musim atau cuaca. PKWT yang dilakukan untuk pekerja yang musiman
hanya dapat dilakukan satu jenis pekerjaan waktu tertentu.
98
Zainal Asikin, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2012), hlm. 52.
99
Ibid., hlm. 54.
100
Lihat Pasal 59 angka (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
d) Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk
tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan;
Pola hubungan kerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu dapat digunakan
untuk melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan
baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Untuk ini perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat dilakukan untuk jangka
waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang untuk satu kali paling
lama 1 (satu) tahun dan tidak dapat dilakukan perubahan.
Perjanjian kerja terdiri dari perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau
untuk waktu tidak tertentu, diantara kedua jenis perjanjian kerja tersebut akan
membawa konsekuensi yuridis tertentu baik bagi pekerja maupun pengusaha, baik
sebelum, sesaat maupun setelah hubungan kerja tersebut berakhir 101. Di dalam
UUKK tersebut juga ditegaskan bahwa, perjanjian kerja untuk waktu tertentu
didasarkan atas jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu.
Pengusaha memakai landasan hukum dalam melakukan hubungan kerja,
dengan berdasarkan atas perjanjian kerja untuk waktu tertentu, kecenderungan
demikian umumnya untuk menghindari apabila terjadi pemutusan hubungan kerja
terutama yang dilakukan secara sepihak dari pengusaha, dihubungkan dengan
kewajiban-kewajiban untuk meminta izin terlebih dahulu, permohonan penetapan
pemutusan hubungan kerja yang memakan waktu panjang dan berbelit-belit disertai
dengan pembebanan kewajiban-kewajiban yang memberatkan bagi pihak pengusaha,
seperti pembebanan kewajiban pemberian uang pesangon, penghargaan masa
kerja/jasa maupun ganti kerugian yang menjadi kewajiban pengusaha, sebaliknya
menjadi hak bagi pekerja.
101
Lihat Pasal 56 angka (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Perjanjian kerja dapat diakhiri bilamana 102 :
a. Pekerja meninggal dunia.
b. Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
c. Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap.
d. Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan
berakhirnya hubungan kerja.
5. Perjanjian Kerja Antara Kasir (Teller) Dengan PT. Bank Negara Indonesia
(Persero) Tbk
Seseorang yang sudah dinyatakan lulus seleksi untuk menjadi seorang petugas
kasir (teller) PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk sebelum dia mulai bekerja, ia
harus terlebih dahulu mengikatkan dirinya melalui perjanjian kerja dengan PT. Bank
Negara Indonesia (Persero) Tbk. Hal ini ditandai dengan petugas kasir (teller)
menandatangani surat perjanjian kerja tersebut. Surat perjanjian kerja tersebut
dinamakan Perjanjian Kerja Asisten pada PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk.
Dengan demikian kasir (teller) dan PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk samasama mengikatkan diri dan tunduk terhadap isi perjanjian kerja tersebut.
Di dalam perjanjian kerja tersebut tercantum :
102
Lihat Pasal 61 angka (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Dalam surat perjanjian kerja tersebut terdapat dua pihak yaitu :
1) Pihak Pertama adalah PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk yang
diwakilkan oleh Pemimpin PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Kantor
wilayah Medan.
2.) Pihak Kedua adalah nama pegawai kasir (teller) PT. Bank Negara Indonesia
(Persero) Tbk lengkap dengan Kartu Tanda Penduduk.
Kedua pihak tersebut sepakat untuk mengikatkan dirinya dalam sebuah
perjanjian kerja tanpa adanya paksaan, penipuan atau kekhilafan. Perjanjian kerja
kasir (teller) dengan PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk bersifat tertulis dan
baku. Perjanjian kerja tersebut bersifat tertulis, diketik, ditulis dalam bahasa
Indonesia dan terdiri dari 15 Pasal.
Perjanjian baku merupakan suatu bentuk perjanjian yang berisikan hak dan
kewajiban kedua belah pihak yang diwujudkan dalam bentuk tulisan yang sudah
dibakukan. Salah satu pihak dalam perjanjian itu, yaitu pihak yang secara ekonomis
kuat, biasanya menetapkan syarat-syarat baku secara sepihak. “Perjanjian baku itu
pada prinsipnya ditetapkan sepihak tanpa lebih dahulu merundingkannya dengan
pihak yang lainnya”. 103
Istilah perjanjian baku dalam bahasa Belanda dikenal dengan standard voor
vaardeen, dalam hukum Inggris di kenal dengan standart contrac. “Standar kontrak
merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan telah dituangkan dalam bentuk
103
Ari Purwadi, Hukum dan Pembangunan, (Jakarta: Majalah Hukum, No 1 Tahun XXV,
1995), hlm. 58.
formulir, kontrak ini ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak, terutama pihak
ekonomi kuat terhadap pihak ekonomi lemah”. 104
Baku berarti ukuran dan acuan. Jika bahasa hukum dibakukan berarti bahasa
hukum itu ditentukan ukurannya, standarnya, sehingga memiliki arti tetap, yang dapat
menjadi pegangan umum. 105 Sutan Remy Sjahdeni merumuskan perjanjian baku
adalah perjanjian yang hampir seluruh klausula-klausulanya sudah dibakukan oleh
pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk
merundingkan atau meminta perubahan. 106
Hal ini terlihat dalam bentuk perjanjian di mana perjanjian tersebut konsepnya
telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh salah satu pihak yaitu pihak pertama dan
perjanjian ini disamping memuat aturan-aturan umumnya biasa tercantum dalam
suatu perjanjian, memuat pula persyaratan khusus baik berkenaan dengan
pelaksanaan perjanjian, menyangkut hal-hal tertentu dan atau berakhirnya perjanjian
itu.
Hal-hal baku yang diatur dalam perjanjian kerja ini antara lain :
1) Penghasilan kasir (teller) per bulan, Ongkos perjalanan Cuti Tahunan (OPCT),
Tunjangan Hari Raya (THR),
2) Cuti tahunan yang diberikan kepada kasir (teller) yaitu 12 (dua belas) hari kerja,
104
Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata, (Jakarta: PT.Raja
Grafindo Perkasa, 2006), hlm. 145.
105
Johannes Ibrahim, Pengimpasan Pinjaman (Kompensasi) dan Asas Kebebasan Berkontrak
dalam Perjanjian Kredit Bank, (Bandung: CV Utomo, 2003), hlm. 52.
106
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi
Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993),
hlm. 66.
3) Lama Waktu untuk In-Class Training, On Job Training dan Inservice Training),
4) Daerah penempatan kerja kasir (teller),
5) Ketentuan mengenai fasilitas kesehatan seperti Jamsostek, Bantuan Rawat Jalan
dan Bantuan Rawat Inap,
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh
undang-undang tidak dinyatakan tak cakap. 107 Pihak Pertama dan Pihak Kedua dalam
perjanjian kerja tersebut adalah termasuk ke dalam setiap orang yang cakap untuk
membuat perikatan karena bukan termasuk 108 :
1) Orang-orang yang belum dewasa;
2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
3) Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan
pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang
membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
c. Suatu hal tertentu
Objek perjanjian kerja berupa jasa. Kasir (teller) memberikan jasa yaitu untuk
melakukan dan melaksanakan tugas-tugasnya sebagai asisten pelayanan uang tunai
pada PT BNI KCU USU Medan. Jasa di sini berupa pelayanan yang jujur, tulus,
ikhlas dan ramah sesuai dengan prinsip standar layanan PT. Bank Negara Indonesia
(Persero) Tbk.
107
Lihat Pasal 1329 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Lihat Pasal 1329 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
108
d. Suatu sebab yang halal
Suatu sebab yang terkandung dalam perjanjian tersebut adalah yang halal.
Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila
berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum 109. Hal-hal yang ada dalam
perjanjian ini tidak bertentangan dengan norma kesusilaan, kesopanan dan ketertiban
umum.
4 (empat) syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur di dalam Pasal 1320
KUHPerdata telah terkandung di dalam Perjanjian Kerja Asisten pada PT. Bank
Negara Indonesia (Persero) Tbk dan perjanjian kerja tersebut juga telah memenuhi
dasar-dasar perjanjian kerja menurut Pasal 52 angka (1) Undang-Undang Nomor 13
tanhun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
B. Hak dan Kewajiban Kasir (Teller) dalam Perjanjian Kerja antara Kasir
(Teller) dengan PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk
1. Pengertian Hak
Hak dan kewajiban melekat pada setiap manusia baik sebagai individu yang
menjadi bagian dari sebuah komunitas, individu bagian dari sebuah lingkungan dan
negara. Hak adalah sesuatu hal yang benar, milik, kepunyaan, kewenangan,
kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh undang-undang,
aturan, dsb), kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu, derajat
109
Lihat Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
atau martabat 110. Tidak seorangpun manusia yang tidak mempunyai hak, tetapi
konsekuensinya bahwa orang lain pun memiliki hak yang sama dengannya. Jadi hak
pada pihak yang satu berakibat timbulnya kewajiban pada pihak yang lain.
Orang yang mempunyai hak bisa menuntut (dan bukan saja mengharapkan
atau menganjurkan) bahwa orang lain akan memenuhi dan menghormati hak itu.
Tetapi bila dikatakan demikian, segera harus ditambah sesuatu yang amat penting
bahwa hak adalah klaim yang sah atau klaim yang dapat dibenarkan. 111
Selain itu, hak juga dapat diartikan sebagai kuasa untuk menerima atau
melakukan suatu yang semestinya diterima atau dilakukan melulu oleh pihak tertentu
dan tidak dapat oleh pihak lain manapun juga yang pada prinsipnya dapat dituntut
secara paksa olehnya. 112
Oleh karena itu implikasi dari definisi tentang hak tersebut antara lain 113 :
a. Hak adalah suatu kekuasaan, yaitu suatu kemampuan untuk memodifikasi
keadaan.
b. Hak merupakan jaminan yang diberikan oleh hukum.
c. Penggunaan hak menghasilkan suatu keadaan yang berkaitan langsung dengan
kepentingan pemilik hak.
110
Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, Op.Cit., hlm. 1.
K. Bertens, Etika (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 1992), hlm. 178-179.
112
Ibid, hlm. 180.
113
Ali,Achmad, Menguak Tabir Hukum, (Jakarta; Candra Pratama, 1996), hlm. 242.
111
Sedangkan dilihat dari sudut kewenangan, maka pengertian hak berintikan
kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu berkenaan dengan sesuatu
atau terhadap subjek hukum tertentu atau semua subjek hukum tanpa halangan atau
gangguan dari pihak manapun, dan kebebasan tersebut memiliki kewenang-wenangan
untuk melakukan perbuatan tertentu, termasuk menuntut sesuatu. 114
Menurut Satjipto Rahardjo bahwa suatu kepentingan merupakan sasaran dari
dan bukan hanya karena ia dilindungi oleh hukum, tetapi juga karena pengakuan
terhadapnya. Hak ternyata tidak hanya mengandung unsur perlindungan dan
kepentingan, melainkan juga kehendak. 115
Hak dapat timbul pada subjek hukum disebabkan oleh beberapa hal yaitu 116 :
a. Adanya subjek hukum baru, baik orang maupun badan hukum.
b. Terjadi perjanjian yang disepakati oleh para pihak yang melakukan perjanjian.
c. Terjadi kerugian yang diderita oleh seseorang akibat kesalahan atau kelalaian orang
lain.
d. Karena seseorang telah melakukan kewajiban yang merupakan syarat memperoleh
hak.
e. Terjadinya daluarsa (verjaring). 117
Hapusnya suatu hak menurut hukum dapat disebabkan oleh empat hal yaitu 118
:
a. Apabila pemegang hak meninggal dunia dan tidak ada pengganti atau ahli waris
yang ditunjuk, baik oleh pemegang hak maupun ditunjuk oleh hukum.
b. Masa berlakunya hak telah habis dan tidak dapat diperpanjang lagi.
114
Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum (Buku I),
(Bandung: Alumni, 2000), hlm. 90.
115
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Op.Cit., hlm. 53.
116
Ibid., hlm. 57.
117
Daluarsa adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau membebaskan dari suatu
perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan dalam UndangUndang. Pasal 1946 KUHPerdata.
118
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Op.Cit., hlm. 59.
c. Telah diterimanya suatu benda yang menjadi objek hak.
d. Karena daluarsa (verjaring).
2. Pengertian Kewajiban
Kewajiban adalah suatu beban atau tanggungan yang bersifat kontraktual.
Dengan kata lain kewajiban adalah sesuatu yang sepatutnya diberikan. Contoh
kewajiban yaitu dalam jual beli, bila kita membeli suatu barang, maka kita wajib
membayar barang tersebut. 119
Wajib adalah beban untuk memberikan sesuatu yang semestinya dibiarkan
atau diberikan melulu oleh pihak tertentu tidak dapat oleh pihak lain manapun yang
pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa oleh yang berkepentingan . Sehingga
kewajiban adalah sesuatu yang harus dilakukan. 120 Tanggung jawab adalah beban
yang bersifat moral. Pada dasarnya, sejak lahirnya kewajiban sudah lahir pula
tanggung jawab. 121
Lahir dan timbulnya suatu kewajiban, disebabkan oleh hal sebagai berikut 122 :
a. Karena diperoleh suatu hak yang membebani syarat untuk memenuhi kewajiban.
b. Berdasarkan suatu perjanjian yang telah disepakati.
c. Adanya kesalahan atau kelalaian seseorang yg menimbulkan kerugian bagi orang
lain, sehingga ia wajib membayar ganti rugi.
119
Burhanuddin Salam, Etika Sosial Asas Moral dalam Kehidupan Manusia (Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 1997), hlm. 14-16.
120
Erni R. Ernawan, Op.Cit., hlm. 69.
121
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2010),
hlm. 58.
122
Ibid., hlm. 65.
d.Karena telah menikmati hak tertentu yg harus diimbangi dengan kewajiban tertentu.
e. Karena daluarsa (verjaring).Contoh : denda.
Hapusnya suatu kewajiban karena hal-hal sebagai berikut 123 :
a. Karena meninggalnya orang yg mempunyai kewajiban, tanpa ada penggantinya,
baik ahli waris maupun orang lain atau badan hukum yang ditunjuk oleh hukum.
b. Masa berlakunya telah habis dan tidak diperpanjang.
c. Kewajiban telah dipenuhi oleh yang bersangkutan.
d. Hak yg melahirkan kewajiban telah dihapus
e. Daluarsa (verjaring).
f. Ketentuan undang-undang.
g. Kewajiban telah beralih atau dialihkan kepada orang lain.
h. Terjadi suatu sebab di luar kemampuan manusia, sehingga tidak dapat dipenuhi
kewajiban itu.
Hak dan kewajiban semestinya dilaksanakan secara bersamaan. Apabila tidak
dilaksanakan secara bersamaan maka hak dan kewajiban menjadi timpang alias tidak
seimbang. Untuk terjadinya “hak dan kewajiban”, diperlukan suatu “peristiwa” yang
oleh hukum dihubungkan sebagai suatu akibat. Artinya, hak seseorang terhadap
sesuatu benda mengakibatkan timbulnya kewajiban pada orang lain, yaitu
menghormati dan tidak boleh mengganggu hak tersebut.
Hak dan kewajiban itu timbul apabila terjadi hubungan hukum antara dua
pihak yang didasarkan pada suatu kontrak atau perjanjian. Jadi, selama hubungan
hukum yang lahir dari perjanjian itu belum berakhir, maka pada salah satu pihak ada
beban kontraktual, ada keharusan atau kewajiban untuk memenuhinya.
123
Ibid., hlm, 71.
3. Hak Dan Kewajiban Kasir (Teller) Dalam Perjanjian Kerja Antara Kasir
(Teller) Dengan PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk
Di dalam Perjanjian Kerja Asisten Pada PT Bank Negara Indonesia (Persero)
Tbk ditulis dengan jelas hak dan kewajiban pihak pertama dan pihak kedua. Hak dan
Fasilitas Pihak Kedua yaitu kasir (teller) adalah sebagai berikut 124 :
a. Penghasilan Pihak Kedua diatur sebagai berikut :
1) Selama masa pembekalan (in-class training, OJT, IST) sebesar Rp. 1.921.199,per bulan.
2) Selama masa evaluasi lapangan sebesar Rp. 2.177.358,- per bulan.
b. Fasilitas yang diberikan kepada Pihak Kedua adalah sebagai berikut :
1) Bantuan Uang Makan berdasarkan kehadiran Pihak Kedua pada hari kerja
sesuai ketentuan yang berlaku di Pihak Pertama.
2) Jamsostek sesuai ketetuan di Pihak Pertama.
3) Bantuan Rawat Jalan sesuai fasilitas untuk jenjang jabatan Asisten pada Pihak
Pertama.
4) Bantuan Rawat Inap sesuai dengan fasilitas kesehatan yang diattur di Pihak
Pertama.
5) Cuti Tahunan selama 12 (dua belas) hari kerja untuk masa kontrak 12 (dua
belas), yang dapat diajukan setelah menjalani paling sedikit 6 (enam) bulan
masa kontrak dan diberikan proporsional sesuai dengan masa kontrak yang
telah dijalani. Pelaksanaan cuti mengacu pada ketentuan yang berlaku di Pihak
Pertama.
6) Ongkos Perjalanan Cuti Tahunan (OPCT) sebesar 1 (satu) bulan Penghasilan,
dibayarkan pada akhir masa kotrak 12 (dua belas) bulan yang pembayarannya
mengacu pada ketentuan Pihak Pertama.
7) Tunjangan Hari Raya (THR) sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Pihak
Pertama
8) Tunjangan Pajak sesuai tarif pajak penghasilan untuk Wajib Pajak yang
memiliki NPWP pribadi atas penghasilan dan fasilitas yang menjadi objek
pajak penghasilan.
9) Bonus atau Jasa Produksi atau Insentif (apabila ada) sesuai dengan ketentuan
Pihak Pertama.
124
Lihat Pasal 5 Perjanjian Kerja Asisten Pada PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk.
Sedangkan mengenai kewajiban kasir (teller) juga telah diatur dalam
perjanjian ini. Kewajiban dan Larangan Pihak Kedua yaitu kasir (teller) adalah
sebagai berikut 125 :
a. Pihak Kedua wajib melaksanakan dan menyelesaikan pekerjaan yang ditugaskan
oleh Pihak Pertama sebagai asisten pada Masa Evaluasi Lapangan sesuai dengan
Key Performance Indicator (KPI) dan target sebagimana yang ditetapkan oleh
Pihak Pertama.
b. Pihak Pertama dapat melakukan penyesuaian dari pekerjaan yang ditugaskan
sebagaimana ayat (1) sesuai dengan tuntutan perusahaan dan kompetensi Pihak
Kedua. Dengan demikian apabila terdapat perubahan Key Performance Indicator
(KPI) maka tanggung jawab utama Pihak Kedua menyesuaikan dengan yang baru,
dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjanjian serta tidak perlu
dituangkan dalam bentuk Addendum Perjanjian.
c. Pihak Kedua bertanggung jawab sepenuhnya atas pelaksanaan pekerjaan
sebagaimana ayat (1) dan (2) serta wajib membuat laporan kepada pemimpin unit
per 4 (empat) bulan atau sesuai waktu yang ditetapkan Pihak Pertama perihal
pencapaian hasil sasaran dan target yang ditetapkan Pihak Pertama sebagaimana
Key Performance Indicator (KPI) terlampir, sebagai bahan untuk melakukan
evaluasi terhadap performance/kinerja Pihak Kedua.
d. Pihak Kedua wajib menjaga Rahasia Jabatan dan Rahasia Bank, dan oleh
karenanya Pihak Kedua tidak diperkenankan memberitahukan/membocorkan
dengan cara dan bentuk apapun kepada pihak lain tentang hal-hal yang
berhubungan dengan Rahasia Bank dan atau Rahasia Jabatan, baik secara langsung
maupun tidak langsung selama berhuubungan kerja berlangsung maupun setelah
hubungan kerja berakhir.
e. Pihak Kedua wajib melaksanakan pekerjaan yang diberikan oleh Pihak Pertama
dengan sebaik-baiknya, teliti, terampil, jujur, sopan, dan bertanggung jawab.
f. Pihak Kedua wajib mentaati segala ketentuan yang berlaku di Pihak Pertama, baik
yang ditetapkan dalam perjanjian maupun ketentuan intern lainnya yang
dinyatakan berlaku bagi Pihak Kedua.
g. Pihak Kedua wajib menandatangani Komitmen Integritas dan Perjanjian
Kerahasiaan sesuai dengan format yang telah ditentukan oleh Pihak Pertama.
h. Pihak Kedua dilarang melakukan pekerjaan untuk pihak ketiga atau terikat
hubungan kerja, menerima beasiswa dari atau terikat ikatan dinas dengan
perusahaan atau instansi lain.
i. Pihak Kedua dilarang melibatkan diri atau melakukan tindakan bisnis yang
menimbulkan konflik kepentingan, atau melakukan pekerjaan/bisnis yang dapat
125
Lihat Pasal 7 Perjanjian Kerja Asisten Pada PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk.
mengganggu pelaksanaan tugas/pekerjaan di Pihak Pertama kecuali mendapatkan
izin tertulis sebelumnya dari Pihak Kedua.
j. Pihak Kedua baru dapat melangsungkan pernikahan setelah memasuki masa
kontrak tahun kedua, dengan memperhatikan jangka waktu perjanjian
sebagaimana dimaksud pasal 3 ayat (1).
k. Pihak Kedua dilarang melakukan perbuatan yang secara langsung atau tidak
langsung dapat merusak nama baik, martabat atau citra Pihak Pertama.
l. Pihak Kedua dilarang melakukan tindak pidana atau perbuatan yang menjurus ke
arah tindak pidana, baik menyangkut maupun tidak menyangkut kepentingan
Pihak Pertama.
Kewajiban kasir (teller) secara lebih terperinci yaitu 126 :
a. Melayani semua jenis transaksi kas/tunai, pemindahan, setoran kliring dalam
rangka memberikan pelayanan transaksi keuangan (IDR dan Valas) :
1) Melaksanakan setoran dan pembayaran semua jenis transaksi.
2) Melakukan penutupan rekening giro/tabungan/deposito atas permintaan Unit
Pelayanan Nasabah.
3) Melakukan transaksi kiriman uang (KU) dalam negeri.
4) Memproses (upload) pembayaran gaji melalui sistem Payroll (Pembayaran
Gaji) baik secara otomatis maupun manual.
5) Melakukan verifikasi tanda tangan dan posisi saldo rekening nasabah.
6) Melakukan verifikasi dan validasi slip transaksi.
7) Melakukan jual-beli Cek Multi Guna (CMG).
8) Meminta persetujuan pejabat yang berwenang atas jumlah pembayaran di atas
batas kewenangannya.
9) Menjalankan setiap transaksi sesuai dengan standar layanan BNI.
10) Memastikan akurasi setiap transaksi.
b. Melayani kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan produk jasa luar negeri, antara
lain :
1) Melakukan transaksi Out Going Transfer (OTR) baik secara tunai, pemindahan
maupun kliring.
2) Melakukan pembayaran Incoming Transfer (ITR) baik secara tunai,
pemindahan maupun kliring.
3) Menerima setoran komisi L/C ekspor, setoran MD atas penerbitan L/C impor,
biaya pembukaan L/C, amandemen L/C dll.
4) Menerima setoran atas komisi advising SKBDN masuk, setoran fee SKBDN,
fee amandemen SKBDN dan biaya penerbitan SKBDN.
5) Melayani pembayaran inward collection baik secara tunai, pemindahan maupun
kliring.
126
Lihat Lampiran Petunjuk Pelaksanaan Uraian Jabatan Kantor Cabang.
6) Menerima setoran outward collection baik secara tunai maupun pemindahan.
7) Melayani transaksi jual beli note, non fisik, draft dan TC.
c. Melaksanakan Prinsip Mengenal Nasabah (PMN) / Know Your Customer (KYC)
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
d. Menjaga peralatan yang menjadi tanggung jawabnya, antara lain :
1) Mesin hitung uang kertas, mesin kalkulator dan alat penyidik (lampu ultra
violet, neon light box dan sejenisnya).
2) Terminal komputer, printer passbook, KCT dan perlengkapan lainnya.
e. Berpartisipasi aktif melaksanakan gugus tugas khusus yang dibentuk oleh Komite
Manajemen Kantor Cabang Utama dan Layanan.
f. Melaksanakan perbaikan/penyempurnaan hasil temuan audit/SPI.
g. Menyelesaikan transaksi daftar pos terbuka (DPT) sesuai dan atau menjadi
kewenangannya.
Hak dan kewajiban kasir (teller) hapus apabila Perjanjian Kerja Asisten pada
PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk berakhir yang disebabkan 127 :
a. Kasir (teller) mengundurkan diri dari jabatannya sebagai kasir (teller) pada PT.
Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk.
b. Kasir (teller) diberhentikan dari jabatannya sebagai kasir (teller) pada PT. Bank
Negara Indonesia (Persero) Tbk.
c. Kasir (teller) meninggal dunia.
d. Kasir (teller) di tempatkan pada posisi jabatan lain pada PT. Bank Negara
Indonesia (Persero) Tbk
127
Lihat Pasal 14 Perjanjian Kerja Asisten Pada PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk.