Gambaran Pencemaran Soil Transmitted Helminthes pada Sayuran di Pasar Tradisional dan Modern di Kota Medan Bagian Selatan

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pencemaran Soil Transmitted Helminths (STH)
Keberadan dan penyebaran suatu parasit di suatu daerah tergantung pada
berbagai hal, yaitu adanya hospes yang peka, dan terdapatnya lingkungan yang
sesuai bagi kehidupan parasit. Faktor sosial ekonomi hospes, terutama manusia,
sangat mempengaruhi penyebaran parasit. Daerah pertanian, peternakan,
kebiasaan menggunakan tinja untuk pupuk, kebersihan lingkungan, higiene
perorangan yang buruk, dan kemiskinan merupakan faktor – faktor yang
meningkatkan penyebaran penyakti parasit (Soedarto, 2011).
Daerah tropis yang basah dan temperaturnya yang optimal bagi kehidupan
parasit merupakan tempat ideal bagi kehidupan parasit yang hidup pada manusia.
salah satu di antaranya adalah penyakit cacing yang ditularkan melalui tanah (Soil
Transmitted Helminths) seperti askariasis, trichuriasis dan infeksi cacing tambang

(Soedarto, 2011). Menurut CDC (2013), Cacing STH hidup di usus dan telur
keluar bersamaan dengan tinja orang yang terinfeksi. Jika orang yang terinfeksi
buang air besar di luar (dekat semak – semak, di taman, di lapangan) atau jika
tinja orang yang terinfeksi digunakan sebagai pupuk, telur akan tersimpan di
dalam tanah.

Telur Trichiuris trichiura

dapat tumbuh di tanah liat, lembab dan teduh

dengan suhu optimum 30˚C. Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva Necator
americanus yaitu 28˚C - 32˚C, sedangkan untuk larva Ancylostoma duodenale

lebih rendah yaitu 23˚C - 25˚C dan pada umumnya A. duodenale lebih kuat dan
tanah yang baik untuk pertumbuhan larva ialah tanah gembur (pasir, humus).
Tanah liat, kelembapan tinggi dan suhu 25˚C - 30˚C merupakan kondisi yang
sangat baik untuk berkembangnya telur Ascaris lumbricoides menjadi bentuk
infektif (Supali dan Margono, 2008).

2.2 Sayuran Mentah (Lalapan)
Sayuran pada dasarnya mengandung banyak serat yang melancarkan
pencernaan. Sayuran mempunyai banyak macamnya dengan khasiat yang
beragam juga. Selain dikonsumsi sebagai sayuran yang dimasak, ada juga jenis
sayuran yang dikonsumsi dalam keadaan mentah atau disebut lalapan. Sayuran
lalapan merupakan jenis sayuran yang dikonsumsi secara mentah, karena dilihat
dari tekstur dan organoleptik sayuran lalapan ini memungkinkan untuk

dikonsumsi secara mentah (Sudjana, 1991; Purba et al, 2012).
Masyarakat Indonesia mempunyai kebiasaan untuk mengkonsumsi lalapan.
Kelebihan sayuran lalapan ketika dikonsumsi zat – zat gizi yang terkandung
didalamnya tidak mengalami perubahan, sedangkan pada sayuran yang dilakukan
pengolahan seperti pemasakan (di masak) terlebih dahulu zat – zat gizinya akan
berubah sehingga kualitas ataupun mutunya lebih rendah daripada bahan
mentahnya (Sudjana, 1991; Purba et al, 2012).
Menurut Hadi (2012) beberapa jenis sayuran lalapan yang dipakai secara
umum adalah selada, kenikir, pegagan, kemangi, kacang panjang, kol atau kubis,
mentimun, labu siam. Di samping manfaatnya, masyarakat perlu hati – hati ketika
mengkonsumsi lalapan sebab adanya kontaminasi cacing yang berbahaya. Hal ini
dapat terjadi disebabkan karena para petani untuk meningkatkan kesuburan lahan
pertanian sebagai media tempat tumbuhnya sayuran, sering menggunakan pupuk
organik berupa humus atau kotoran ternak dan kebiasaan petani membuang hajat
(buang air besar) di lahan pertanian, ikut memperparah kemungkinan kontaminasi
(Astawan, 2004; Purba et al, 2012).

2.3 Penyakit Kecacingan
Infeksi dan penyakit kecacingan yang disebabkan oleh kelompok cacing yang
penting bagi manusia seringkali mempunyai dampak serius pada penderita

maupun masyarakat dan ditemukan luas sekali di seluruh dunia yang pada
umumnya daerah tropis. Penyebab penyakit ini termasuk golongan cacing yang
ditularkan melalui tanah atau disebut juga Soil Transmitted Helminthes (STH) .
Cacing yang terpenting bagi manusia dalah Ascaris lumbricoides, Necator

americanus, Ancylostoma duodenale, dan Trichuris trichiura (Hadidjaja dan

Margono, 2011).

2.3.1. Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)
Ascaris lumbricoides dikenal juga sebagai cacing gelang dan penyakit yang

disebabkannya disebut askariasis. Ascaris lumbricoides tersebar luas di seluruh
dunia dengan cuaca hangat, iklim lembab, padat dan tempat dimana feses manusia
digunakan sebagai pupuk, infeksi paling umum terutama di daerah tropis dan
subtropis di mana sanitasi dan kebersihan yang buruk (CDC, 2013). Telur ascaris
memerlukan waktu inkubasi sebelum menjadi infektif, tergantung pada kondisi
lingkungan misalnya temperatur, sinar matahari, kelembapan dan tanah liat. Telur
akan mengalami kerusakan karena pengaruh bahan kimia, sinar matahari langsung
dan pemanasan 70˚C (Ideham dan Pusarawati, 2007).

Distribusi penyebarannya paling luas dibanding infeksi helminthes yang lain,
hal ini terkait dengan kemampuan cacing betina dewasa menghasilkan telur dalam
jumlah banyak dan relatif tahan terhadap kekeringan atau temperature yang panas
(Ideham dan Pusarawati, 2007).
Cacing ini adalah cacing berukuran besar, berwarna putih kecoklatan atau
kuning pucat. Cacing jantan berukuran panjang antara 10-31 cm, sedangkan
cacing betina panjang badannya antara 22-35 cm. Kutikula yang halus bergaris –
garis tipis menutupi seluruh permukaan badan cacing. A. lumbricoides
mempunyai mulut dengan tiga buah bibir, yang terletak sebuah di dorsal dan dua
bibir lainnya terletak subventral. Selain ukuran cacing jantan lebih kecil dari
betina, cacing jantan mempunyai ujung posterior yang runcing, dengan ekor
melengkung ke arah ventral. Di bagian posterior terdapat 2 buah spikulum yang
ukuran panjangnya sekitar 2 mm, sedangkan di bagian ujung posterior cacing
terdapat juga banyak papil – papil yang berukuran kecil. Bentuk tubuh cacing
betina membulat (conical) dengan ukuran badan yang lebih besar dan lebih
panjang dari pada cacing jantan dan bagian ekor yang lurus, tidak melengkung
(Soedarto, 2011).

Telur ascaris ditemukan dalam dua bentuk, yaitu yang dibuahi ( fertilized) dan
tidak dibuahi (unfertilized).

a.

Telur dibuahi (fertilized)
Bentuk telur bulat dan lonjong dengan ukuran panjang 45 – 75 mikron dan

lebarnya 35 -50 mikron. Dan berdinding tebal yang terdiri dari tiga lapis yaitu,
lapisan dalam dari bahan lipoid (tidak ada pada telur unfertile), lapisan tengah dari
bahan glikogen, lapisan paling luar dari bahan albumin, tidak rata, bergerigi,
berwarna coklat keemasan yang berasal dari warna pigmen empedu. Telur bagian
dalam tidak bersegmen berisi kumpulan granula lesitin yang kasar (Ideham dan
Pusarawati, 2007).

Gambar 2.1 Telur Ascaris lumbricoides fertilized

b.

Telur tidak dibuahi (unfertilized)
Bentuknya panjang yaitu 88 – 94 mikron dan lebarnya 44 mikron, telur

unfertilized dikeluarkan oleh cacing betina yang belum mengalami fertilisasi atau

pada periode awal pelepasan telur oleh cacing betina fertil. Kadang – kadang telur
yang dibuahi, lapisan albuminnya terkelupas dikenal sebagai decorticated eggs
(Ideham dan Pusarawati, 2007).

Gambar 2.2 Telur Ascaris lumbricoides unfertilized

Cacing dewasa hidup dalam lumen usus kecil. Cacing betina dapat
menghasilkan sekitar 200.000 telur per hari, yang dapat keluar melalui kotoran.
Telur yang tidak dibuahi dapat dicerna namun tidak infektif. Telur yang dibuahi
dapat menjadi infektif setelah 18 hari sampai beberapa minggu, tergantung pada
kondisi lingkungan (optimum: lembab, hangat, tanah yang terlindung). Setelah
telur infektif yang tertelan menetas larva menyerang mukosa usus, dan dibawa
melalui portal, kemudian ke sistem sirkulasi dan paru-paru. Larva dewasa hidup
dalam paru-paru (10 sampai 14 hari), menembus dinding alveolar, naik ke
bronkial kemudian ke tenggorokan, dan tertelan. Setelah mencapai usus kecil, A.
lumbricoides berkembang menjadi cacing dewasa. Waktu yang dibutuhkan 2 dan

3 bulan dari telur matang tertelan sampai cacing dewasa bertelur. Cacing dewasa
dapat hidup 1 sampai 2 tahun (CDC, 2015).
Gejala yang ditimbulkan pada penderita dapat disebabkan oleh cacing dewasa

dan larva cacing. Gangguan karena larva terjadi pada saat berada di paru, terjadi
perdarahan kecil di dinding alveolus dan timbul gangguan pada paru yang disertai
batuk, demam dan eosinofilia dan pada foto toraks tampak infiltrate yang
menghilang dalam waktu 3 minggu. Keadaan tersebut disebut juga dengan
Loeffler syndrome . Gangguan yang disebabkan cacing dewasa biasanya ringan,

penderita mengalami gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang,
diare dan konstipasi. Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi
malabsorbsi sehingga memperberat keadaan malnutrisi. Efek yang serius terjadi

bila cacing menggumpal dalam usus sehingga terjadi obstruksi usus (ileus) (Supali
et al, 2008).

Diagnosa A.lumbricoides harus dilakukan pemeriksaan makroskopi terhadap
tinja dan muntahan penderita untuk menemukan cacing dewasa. Pada
pemeriksaan mikroskopis atas tinja penderita dapat ditemukan telur cacing yang
khas bentuknya di dalam tinja atau cairan empedu penderita (Soedarto, 2011).

2.3.2. Cacing Cambuk (Trichuris trichiura )
Trichiuris trichiura disebut juga sebagai cacing cambuk dan merupakan yang


paling umum nomor ketiga pada manusia. Cacing cambuk menyebabkan infeksi
yang disebut trichuriasis dan sering terjadi di daerah tropis, sanitasi yang buruk,
kotoran manusia digunakan sebagai pupuk dan buang air besar di tanah. Cacing
tersebar dari orang ke orang melalui transmisi fecal-oral atau melalui makanan
yang terkontaminasi (CDC, 2013).
Bentuk tubuh cacing dewasa sangat khas, mirip cambuk, dengan tiga per lima
bagian anterior kecil seperti cambuk, dan dilalui oleh esofagus, sedangkan dua per
lima bagian tubuh posterior lebih tebal. Panjang cacing jantan sekitar 4 cm
sedangkan panjang cacing betina sekitar 5 cm. ekor jantan melengkung ke arah
ventral, mempunyai satu spikulum retraktil yang berselubung. Badan bagian
kaudal cacing betina membulat, tumpul berbentuk seperti koma. Bentuk telur T.
trichiura mirip biji melon atau tong anggur, berwarna coklat, dan berukuran

sekitar 50 x 25 mikron dan mempunyai dua kutub jernih yang menonjol
(Soedarto, 2011).

Gambar 2.3 Telur Trichuris trichiura

Telur cacing mengalami pematangan dan menjadi infektif di tanah dalam

waktu 3 – 4 minggu. Jika manusia tertelan telur cacing yang infektif, maka di
dalam usus halus dinding telur pecah dan larva ke luar menuju sekum lalu
berkembang menjadi cacing dewasa. Dalam waktu satu bulan sejak masuknya
telur infektif ke dalam mulut, cacing telah menjadi dewasa dan cacing betina
sudah mulai mampu bertelur. Cacing betina dapat bertelur antara 3.000 – 20.000
telur perhari. T. trichiura dewasa dapat hidup beberapa tahun lamanya di dalam
usus manusia (Soedarto, 2011).
T. trichiura dewasa melekat pada usus dengan cara menembus dinding usus,

maka dapat menyebabkan timbulnya trauma dan kerusakan pada jaringan usus
dan juga dapat menghasilakn toksin yang menyebabkan iritasi dan keradangan
usus. Infeksi ringan beberapa ekor cacing umumnya tidak menimbulkan keluhan
bagi penderita akan mengalami gejala dan keluhan berupa anemia berat dengan
hemoglobin yang dapat kurang dari tiga persen, diare yang berdarah, nyeri perut,
mual dan muntah dan berat badan yang menurun, dan dapat terjadi prolaps rectum
dengan melalui pemeriksaan protoskopi dapat dilihat adanya cacing – cacing
dewasa pada kolon atau rectum penderita. Pada pemeriksaan darah terlihat adanya
gambaran eosinofilia dengan eosinofil lebih dari 3%. Diagnosa pasti pada
pemeriksaan tinja ditemukan telur T. trichiura (Soedarto, 2011).


2.3.3. Cacing Tambang/Hookworm (Necator americanus dan Ancylostoma
duodenale)

Cacing tambang adalah salah satu cacing yang paling umum dari manusia.
infeksi ini disebabkan oleh parasit Necator americanus dan Ancylostoma
duodenale. Infeksi cacing tambang sering terjadi di daerah di mana kotoran

manusia digunakan sebagai pupuk atau buang air besar ke tanah. Hookworm
tersebar di seluruh dunia di daerah dengan suhu hangat, iklim lembab dan padat.
(CDC, 2013).
Cacing tambang dewasa berbentuk silindris berwarna putih keabuan. Ukuran
panjang cacing betina antara 9 sampai 13 mm, sedangkan cacing jantan berukuran
antara 5 dan 11 mm. Ujung posterior tubuh cacing jantan terdapat bursa

kopulatriks yaitu suatu alat bantu kopulasi. Tubuh A. duodenale dewasa mirip

huruf C. Rongga mulutnya memiliki dua pasang gigi dan satu pasang tonjolan.
Cacing betina mempunyai spina kaudal. Tubuh N. americanus dewasa lebih kecil
dan lebih langsing dibanding badan A. duodenale. Tubuh bagian anterior cacing
melengkung berlawanan dengan lengkungan bagian tubuh lainnya sehingga

bentuk tubuh mirip hurus S. Di bagian rongga mulut terdapat 2 pasang alat
pemotong (cutting plate ). Dan badan cacing betina tidak terdapat spina kaudal
(Soedarto, 2011).
Telur cacing tambang pada pemeriksaan tinja di bawah mikroskop sinar, dan
bentuk telur berbagai spesies cacing tambang mirip satu dengan lainnya, sehingga
sukar dibedakan. Telur cacing tambang berbentuk lonjong, tidak berwarna,
berukuran sekitar 65 x 40 mikron. Telur cacing tambang yang berdinding tipis dan
tembus sinar ini mengandung embrio yang mempunyai empat blastomer
(Soedarto, 2011).

Gambar 2.4. Telur dan Larva Hookworm

Daur hidup cacing tambang hanya membutuhkan satu jenis hospes definitife
yaitu manusia. sesudah keluar dari usus penderita, telur cacing tambang yang
jatuh di tanah dalam waktu dua hari akan tumbuh menjadi larva rabditiform yang
tidak infektif karena dapat hidup bebas di tanah. Dalam waktu seminggu akan
berkembang menjadi larva filariform yang infektif. Kemudian larva filariform
akan menginfeksi kulit manusia, menembus pembuluh darah dan limfe
selanjutnya masuk ke dalam darah dan mengikuti aliran darah menuju ke jantung

kanan, lalu masuk ke dalam kapiler paru. Kemudian larva filariform menembus
dinding kapiler masuk ke dalam alveoli dan migrasi ke bronki, trakea, laring dan
faring dan tertelan masuk ke dalam saluran esofagus. Migrasi ini berlangsung
sekitar sepuluh hari. Dari esophagus larva masuk ke usus halus, dan tumbuh
menjadi cacing dewasa jantan dan betina. Dalam waktu satu bulan, cacing betina
sudah mampu bertelur (Soedarto, 2011).
Cacing dewasa yang berada di dalam usus terus menerus mengisap darah
penderita. Cacing dewasa N. americanus dapat menyebabkan hilangnya darah
penderita sampai 0,1 cc per hari, sedangkan seekor cacing A. duodenale dapat
menimbulkan kehilangan darah sampai 0,34 cc per hari. Pada waktu menembus
kulit penderita larva cacing menimbulkan dermatitis dengan gatal – gatal yang
hebat (ground itch). Sedangkan larva cacing tambang yang beredar di dalam darah
akan menimbulkan bronchitis dan reaksi alergi yang ringan. Untuk menentukan
diagnosis pasti infeksi cacing tambang harus dilakukan pemeriksaan mikroskopis
atas tinja untuk menemukan telur cacing (Soedarto, 2011).

2.4 Pasar
Pasar adalah area tempat jual beli barang/jasa dengan penjual lebih dari satu
orang yang di dalamnya terjadi proses transaksi antara permintaan (pembeli) dan
penawaran (penjual) sehingga menetapkan harga dan jumlah yang disepakati oleh
penjual dan pembeli. Pasar berfungsi sebagai tempat atau wadah untuk pelayanan
bagi masyarakat

yang dapat dilihat dari segi ekonomi, sosial budaya, dan

arsitektur. Pasar ditinjau dari kegiatannya ada pasar tradisional dan pasar modern
(Devi NMWR, 2013).
Pasar tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah, Swasta, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik
Daerah termasuk kerjasama dengan swasta dengan tempat usaha berupa toko,
kios, los dan tenda yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil, menengah,
swadaya msyarakat atau koperasi dengan usaha skala kecil, modal kecil, dan
dengan proses jual beli barang dagangan melalui tawar menawar (PP No.12,
2007).

Pasar modern merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli dan
ditandai dengan adanya transaksi jual beli secara tidak langsung. Pembeli
melayani kebutuhannya sendiri dengan mengambil di rak – rak yang sudah ditata
sebelumnya. Harga barang sudah tercantum pada tabel – tabel yang pada rak –
tempat barang tersebut diletakkan dan merupakan harga pasti tidak dapat ditawar.
(PERDA YOGYAKARTA, 2001; Devi NMWR, 2013).
Pasar dapat di kategorikan dalam beberapa hal. Yaitu jika ditinjau dari segi
waktunya (Saraswati dan Widaningsih, 2008) ;
a.

Pasar harian adalah pasar yang aktivitasnya berlangsung setiap hari dan
sebagian barang yang diperjualbelikan adalah barang kebutuhan sehari – hari.

b.

Pasar mingguan adalah pasar yang aktivitasnya berlangsung seminggu sekali.

c.

Pasar bulanan adalah pasar yang aktivitasnya berlangsung sebulan sekali.

d.

Pasar tahunan adalah pasar yang aktivitasnya berlangsung setahun sekali.
Pasar yang jika ditinjau dari segi fisiknya (Saraswati dan Widaningsih, 2008) ;

a.

Pasar konkret (pasar nyata) adalah tempat pertemuan antara pembeli dan
penjual melakukan transaksi secara langsung. Barang yang diperjualbelikan
juga tersedia di pasar.

b.

Pasar abstrak (pasar tidak nyata) adalah terjadinya transaksi antara penjual
dan pembeli hanya melalui telepon, internet, dan lain – lain berdasarkan
contoh barang.
Pasar yang jika ditinjau dari barang yang diperjualbelikan (Saraswati dan

Widaningsih, 2008) :
a.

Pasar barang konsumsi adalah pasar yang memperjualbelikan barang –
barang konsumsi untuk memenuhi kebutuhan manusia.

b.

Pasar sumber daya produksi adalah pasar yang memperjualbelikan faktor –
faktor produksi, seperti tenaga kerja, tenaga ahli, mesin – mesin, dan tanah.
Pasar yang jika ditinjau dari luas kegiatannya (Saraswati dan Widaningsih,

2008) ;
a.

Pasar setempat adalah pasar yang penjual dan pembelinya hanya penduduk
setempat.

b.

Pasar daerah atau pasar lokal adalah pasar disetiap daerah yang
memperjualbelikan barang – barang yang diperlukan penduduk daerah
tersebut.

c.

Pasar nasional adalah pasar yang melakukan transaksi jual beli barang yang
mencakup satu negara.

d.

Pasar internasional adalah pasar yang melakukan transaksi jual beli barang –
barang keperluan masyarakat internasional.
Pengertian pasar menurut fisik bangunannya (Mayasari, 2011) :

1.

Pasar Kelas IA, yaitu pasar yang bangunannya permanen dan mempunyai
fasilitas yang baik seperti escalator, tempat parkir, kamar mandi/WC dan
aliran listrik.

2.

Pasar Kelas I, yaitu pasar yang bangunannya permanen maupun semi
permanen dan mempunyai fasilitas yang cukup seperti tempat parkir, kamar
mandi/WC dan aliran listrik.

3.

Pasar Kelas II, yaitu pasar yang bangunannya semi permanen dan memiliki
fasilitas yang belum memadai.

4.

Pasar Kelas III, yaitu pasar yang bangunannya merupakan bangunan darurat
yang belum mempunyai fasilitas yang layak.

5.

Pasar Kelas IV, yaitu pasar yang mempergunakan lapangan sebagai tempat
berjualan tanpa bangunan.

Pasar menurut jenis kegiatannya (Devi NMWR, 2013) :
1.

Pasar Eceran yaitu pasar dimana terdapat permintaan dan penawaran barang
secara eceran.

2.

Pasar Grosir yaitu pasar dimana terdapat permintaan dan penawaran dalam
jumlah besar.

3.

Pasar Induk yaitu pasar yang lebih besar dari pasar grosir, merupakan pusat
pengumpulan dan penyimpanan bahan – bahan pangan untuk disalurkan ke
grosir – grosir dan pusat pembelian.

Menurut lokasi dan kemampuan pelayanannya, pasar digolongkan menjadi lima
jenis (Devi NMWR, 2013) :
1.

Pasar Regional

Yaitu pasar yang terletak di lokasi strategis dan luas, bangunan permanen,
dan mempunyai kemampuan pelayanan meliputi seluruh wilayah kota bahkan
sampai keluar kota, serta barang yang diperjual belikan lengkap dan dapat
memenuhi kebutuhan masyarakatnya.
2.

Pasar Kota
Yaitu pasar yang terletak di lokasi strategis dan luas, bangunan permanen,

dan mempunyai kemampuan pelayanan meliputi seluruh wilayah kota, serta
barang yang diperjual belikan lengkap. Melayani 200.000 – 220.00 penduduk.
Yang termasuk pasar ini adalah pasar induk dan pasar grosir.
3.

Pasar Wilayah (Distrik)
Yaitu pasar yang terletak di lokasi yang cukup strategis dan luas, bangunan

permanen, dan mempunyai kemampuan pelayanan meliputi seluruh wilayah kota,
serta barang yang diperjual belikan cukup lengkap. Melayani 10.000 – 15.000
penduduk. Yang termasuk pasar ini adalah pasar eceran.
4. Pasar Lingkungan
Yaitu pasar yang terletak di lokasi strategis, bangunan permanen/semi
permanen, dan mempunyai pelayanan meliputi permukiman saja, serta barang
yang dieprjual belikan kurang lengkap. Melayani 10.000 – 15.000 penduduk
saja.yang termasuk pasar ini adalah pasar eceran.
5. Pasar Khusus
Yaitu pasar yang terletak di lokasi strategis, bangunan permanen/semi
permanen, dan mempunyai kemampuan pelayanan meliputi wilayah kota, serta
barang yang diperjual belikan terdiri dari satu macam barang khusus seperti pasar
bunga, pasar burung, atau pasar hewan.
Menurut Karuppiah (2010) dalam Lilananda (2009) beberapa pasar
tradisional di Kota Medan :
a)

Pusat Pasar merupakan salah satu pasar tradisional tua di Medan yang sudah
ada sejak zaman kolonial. Menyediakan beragam kebutuhan pokok dan sayur
– mayur.

b)

Pasar Petisah menjadi acuan berbelanja yang murah dan berkualitas.

c)

Pasar Beruang yang terletak di Jalan Beruang.

d)

Pasar Simpang Limun merupakan salah satu pasar tradisional yang cukup tua
dan menjadi trade mark Kota Medan. Terletak di persimpangan Jalan
Sisingamangaraja dan Jalan Sakti Lubis.

e)

Pasar Ramai yang terletak di Jalan Thamrin yang bersebelahan dengan
Thamrin Plaza.

f)

Pasar Simpang Melati merupakan pasar yang terkenal sebagai tempat
perdagangan pakaian bekas dan menjadi lokasi favorit baru para pemburu
pakaian bekas setelah Pasar Simalingkar dan Jalan Pancing.
Beberapa pasar modern di Kota medan menurut Karuppiah (2010) dalam

Lilananda (2009) :
a)

Brastagi plaza

b)

Hypermarket

c)

Swalayan

d)

Carrefour

e)

Supermarket

Berdasarkan data dari Pemerintah Kota Medan (2013) dicatatkan 24
mall/plaza , 44 swalayan, 61 Pasar Tradisional.