Tradisi Musik Keroncong Tugu Sebagai Identitas Bnudaya Masyarakat Kampung Tugu, Tugu Utara Koja, Jakarta Utara

(1)

2 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Wilayah Indonesia tergolong dalam Negara kepulauan serta memiliki wilayah yang sangat luas. Hal ini membuat Negara Indonesia sebagai negara yang melimpah dan kaya akan hasil alamnya. Namun luasnya wilayah Indonesia, tidak hanya membuat negara Indonesia menjadi negara yang kaya akan hasil buminya, akan tetapi hal ini membuat Indonesia menjadi sangat kaya juga akan keberagaman kebudayaan serta suku-suku yang tersebar luas di seluruh wilayah Indonesia.

Keseluruhan suku bangsa yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia kurang lebih ada sebanyak delapan ratus suku. Semua suku ini menempati wilayah mereka dengan melakukan kebiasaan masing-masing sesuai dengan norma adat serta aturan-aturan yang berlaku. Dari setiap kelompok suku yang tersebar di wilayah Indonesia menciptakan budaya yang telah mereka hidupi secara turun temurun sebagai kebiasaan dan media untuk mengekspresikan kehidupan mereka di dalam kehidupan bermasyarakat.

Melalui cara mereka hidup di dalam kelompok masyarakat, kemudian dikenalah sebuah konsep yang disebut sebagai kosep budaya. Kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta buddhayah kata buddhaya adalah bentuk jamak dari buddhi yang berarti “ budi” atau “akal”. Secara etimologis, kata “kebudayaan” berarti hal-hal yang yang berkaitan bengan “akal”. Namun ada pula anggapan bahwa kata “budaya” berasal dari kata majemuk budidaya yang


(2)

3

berarti “daya dari budi” atau “daya dari akal” yang berupa cipta, karsa dan rasa. Kata “kebudayaan” itu sepadan dengan kata culture dalam bahasa Inggris. Kata culture itu sendiri berasal dari bahasa Latin colere yang berarti merawat, memelihara, menjaga, mengolah, terutama mengelolah tanah atau bertani.

Kebudayaan menurut Sir Edward B. Tylor (1871) seorang pakar antropologi Inggris, mengunakan kata culture untuk menunjukan “keseluruhan kompleks dari ide dan segala sesuatu yang dihasilkan manusia dalam pengalaman historisnya”. Termasuk di sini ialah “pengetahuan, kepercayaan, seni, moral hukum, kebiasaan, kemampuan, serta perilaku lainya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat”.

Kebudayaan suatu kelompok masyarakat tentu berbeda dengan kebudayaan yang ada di daerah lain. Sekalipun ada sedikit persamaan, hal itu mungkin saja dipengaruhi oleh kondisi keadaan alam, pengaruh sejarah, agama, atau wilayah yang berdekatan serta faktor-faktor lainnya. Akan tetapi sekalipun memiliki persamaan tentu ada hal yang membedakan suatu kebudayaan itu dengan kebudayaan lain dan perbedaan itu membuat kita dapat dengan mudah mengenali kebudayaan yang satu dengan yang lainnya.

Seperti apa yang sudah tertulis di atas, bahwa di dalam sebuah kebudayaan banyak hal yang terkandung, di antaranya pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, kebiasaan, kemampuan, serta prilaku lainnya yan diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Artinya, hal-hal yang terkandung dalam suatu budaya itu dapat menjadi alat agar dapat dikenal dan dibedakan dengan kebudayaan lain.


(3)

4

Pada tulisan ini, penulis akan membahas tentang kelompok masyarakat Kampung Tugu, yang bermukim di wilayah Tugu kota Jakarta, tepatnya di wilayah Koja Jakarta Utara. Sama halnya dengan kelompok masyarakat lain yang memiliki tradisi budaya, masyarakat Kampung Tugu juga memiliki tradisi budaya yang telah mereka hidupi selama ratusan tahun dan terus mereka jaga hingga saat ini.

Penulis memiliki ketertarikan untuk mengkaji tradisi musik keroncong pada masyarakat Kampung Tugu karena penulis melihat ada banyak sekali fenomena yang terjadi terhadap proses terbentuknya dan berlangsungnya tradisi musik keroncong tugu pada masyarakat Kampung Tugu, sehingga penulis berasumsi bahwa tradisi musik keroncong tugu pada masyarakat Kampung Tugu memiliki kekayaan nilai yang perlu dikaji lebih dalam supaya kekayaan nilai dari kebudayaan itu dapat diketahui.

Untuk memenuhi rasa ketertarikan penulis terhadap tradisi musik keroncong, penulis kemudian membuka wawasan untuk mulai mencari tahu tentang tradisi keroncong tugu dengan membaca buku-buku serta media lain yang memberikan informasi tentang tradisi musik keroncong tugu. Rasa ingin tahu penulis semakin besar setelah penulis membaca beberapa refrensi, karena dari situ penulis dapat melihat tradisi musik keroncong tugu memiliki nilai sejarah yang tinggi, yaitu kehadiran tradisi musik keroncong tugu di Indonesia karena adanya kontak dengan kebudayaan asing, yaitu bangsa Portugis ketika mereka datang ke Indonesia dalam rangka melakukan perdagangan dan mencari rempah-rempah.


(4)

5

Sedikit penulis ceritakan bahwa tradisi musik keroncong tugu berawal dari tradisi musik yang dibawa oleh orang-orang Portugis bersama dengan para tawanan mereka yang merupakan orang Benggali dan Coromandel asal India pada abad ke lima belas dalam perjalanan pelayaran mereka dari Melaka menuju Maluku yang singgah di pelabuhan Sunda Kelapa. Persinggahan mereka di Sunda Kelapa juga melahirkan sebuah wilayah pemukiman baru di wilayah sekitaran pelabuhan. Di wilayah ini banyak orang Portugis yang memilih menikahi wanita pribumi Indonesia, dan keturunan dari peranakan campuran ini disebut dengan mestizo.

Pada masa itu Portugis juga berhasil menguasai Melaka, yang merupakan daerah strategis untuk melakukan pelayaran ke Timur dan juga merupakan daerah penting di Asia sebagai pusat perdagangan dan kota pelabuhan. keberhasilan Portugis menguasai Melaka juga terbukti dengan dibangunnya sebuah benteng A Famosa yang pada waktu itu dipimpin oleh Alfonso de Albuquerque. Akan tetapi, pada tahun 1641 VOC berhasil merebut kekuasaan Portugis di Melaka dan membawa serta para tawanan Portugis ke Batavia (sekarang kota Jakarta). Para tawanan Portugis ini kemudian dijadikan budak oleh VOC, dan tidak memperbolehkan mereka menganut agama mereka yakni Katolik. Akan tetapi kemudian VOC memberikan sebuah tawaran kebebasan bagi mereka apabila mereka menyetujui persyaratan yang ditawarkan oleh VOC, yaitu bersedia berpindah agama dengan menganut agama Kristen Protestan. Bagi mereka yang bersedia berpindah agama, dibebaskan dari perbudakan dan


(5)

6

diwajibkan untuk membayar pajak. Tawanan Portugis yang mendapat kebebasan ini disebut dengan kelompok mardijkers yang berarti pembebasan pajak.

Setelah Gubernur Jenderal Jan Pieter Soen Coen memberlakukan pembersihan etnis oleh militer Belanda di Pulau Banda selama tahun 1620, pelaut Portugis Goa kemudian melarikan diri dari Bandaneira. Para pelaut Goa membuat pelabuhan darurat ketika kapal mereka karam di teluk Batavia. Di bawah intervensi Batavia Portugis Church (Portugeesche Binnenkerk), pada tahun 1661 oleh Belanda dibebaskan dan dikirim para pelaut ini ke desa Tugu bersama dengan keluarga mereka asal Bandaneira yang berjumlah sekitar 23 kepala keluarga.

Desa Tugu ini sendiri merupakan daerah terpencil, kawasan hutan lebat, banyak rawa sehingga menjadi menjadi tempat bersarangnya nyamuk malaria. Di sini Mereka tinggal secara eksklusif, mempertahankan budaya Portugis dengan menggunakan bahasa Portugis Cristao lisan sebagai bahasa kesehariannya. Terisolasi dan jauh dari kehidupan perkotaan tentu menjadi sebuah tantangan bagi komunitas Tugu. Dengan keadaan alam yang mereka hadapi seperti ini mengharuskan mereka untuk dapat bertahan hidup dengan memanfaatkannya sebagai lahan untuk bercocok tanam, dan sebahagian memilih untuk menjadi nelayan.

Orang-orang Portugis memang dikenal memiliki kecintaan terhadap musik, hal itu dibuktikan dengan sebuah alat yang bernama cavaquinho yang mereka bawa dalam perjalanan mereka selama melakukan pelayaran.


(6)

7

Cavaquinho sendiri adalah sebuah gitar kecil yang berdawai 4, memiliki bentuk yang sama dengan yang sekarang kita kenal yaitu ukulele.

Menurut naskah pregrinacao tentang petualangan pelaut Portugis, Fernao Mendes Pinto pada tahun 1555 bersama rekannya de Meirelez, vokalis dan pemusik yang handal turut membawa cavaquinho, gitar kecil Portugis dalam pelayaran mereka ke Cina, Naskah itu juga memuat laporan Philipe de Caverel pada tahun 1582 yang menyebutkan tentang pelayaran sepuluh ribu gitar cavaquinho, yang berangkat bersama para pelaut Portugis ke Maroko (Victor Ganap dalam Krontjong Toegoe 2011:4)

Kecintaan mereka terhadap musik serta didorong oleh sebuah kebutuhan yaitu hiburan, membuat mereka tetap melakukan tradisi bermusiknya meskipun mereka hidup terisolasi , jauh dari kondisi nyaman dan kehidupan perkotaan Batavia. Keadaan alam yang merupakan hutan lebat serta ditumbuhi banyak pohon kayu mereka manfaatkan untuk mengekspresikan kecintaan mereka terhadap tradisi musik Portugis, dengan cara membuat kembali sebuah alat musik seperti cavaquinho yang pernah mereka mainkan sebelumnya. Instrumen ini digunakan selepas melakukan aktivitas siang hari oleh pemuda-pemuda tugu sambil berkumpul bersama anggota keluarga lain untuk bermain musik, bernyanyi dan menghibur hati. Karena suara yang dihasilkan oleh instrumen ini “crong-crong” maka akhirnya dibuatlah nama alat musik ini dengan sebutan keroncong.

Tradisi musik yang dibawa oleh orang-orang Portugis ke desa Tugu tidak hanya menjadi suatu media bagi mereka untuk membuang kelelahan dan


(7)

8

kejenuhan, jauh lebih penting dari itu tradisi musik di Desa Tugu ini justru menarik perhatian dari banyak pihak dan masyarakat umum sehingga musik ini tidak hanya dinikmati oleh masyarakat yang bermukim di desa Tugu, namun hampir seluruh wilayah Jawa.

Dalam perkembangannya, alat musik cavaquinho (sekarang disebut dengan keroncong) para pengrajin Tugu kemudian membuatnya ke dalam tiga ukuran yaitu, Macina (kecil), Frunga (menengah), dan Jitera (besar). Dalam perkembangan selanjutnya, keroncong menjadi cuk (ukulele pertama tiga senar), cak (ukulele kedua empat senar) dan gitar enam senar sebagai adaptasi dari mandolin yang berfungsi sebagai melodi berjalan.

Di pergantian abad ke 19, Keroncong Tugu berkembang menjadi seni akulturasi yang ditiru oleh masyarakat Hindia di Batavia, dan memunculkan gaya seperti keroncong Kemayoran oleh De Krokodilen kelompok di Kemayoran yang terkenal dengan buaya keroncongnya, Lief Java oleh musisi lokal Jawa, dan Langgam Keroncong dalam gaya gelijkgesteld dari Tin Pan Alley di Amerika oleh musisi Indonesia Timur, sebelum keroncong menyebar ke kota-kota lain di Jawa, termasuk Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surakarta dan Surabaya.

Oleh karena kehadiran tradisi musik Keroncong Tugu di Indonesia tidak dilatarbelakangi unsur agama seperti halnya musik Barat pada umumnya, membuat tradisi musik Keroncong Tugu menjadi sangat popular bahkan hampir di seluruh wilayah Indonesia. Melihat keadaan ini seorang putra Tugu keturunan Portugis yang bernama Joseph Quiko akhirnya berinisiatif membuat sebuah


(8)

9

organisasi sebagai wadah agar musik Keroncong Tugu dapat diorganisir dengan baik.

Organisasi itu diberi nama Orkes Poesaka Krontjong Moresco Toegoe - anno 1661. Mereka menyanyikan lagu-lagu berbahasa kreol Portugis, Melayu, dan lagu berbahasa Belanda. Lagu Moresco sendiri pertama kali dipopulerkan di Kampung Tugu yang kemudian dijadikan dasar lagu-lagu keroncong yang tercipta sekarang. Tercatat juga ada 4 lagu berbahasa kreol Portugis yang masih dinyanyikan hingga sekarang: Nina Bobo yaitu lagu kebiasaan untuk menimang anak agar tertidur, Gatu Matu, Cafrinho, dan Yan Kaga Leti.

Kini, tradisi musik Keroncong Tugu sudah ada kurang lebih selama 3,5 abad. Meskipun dalam sepanjang perjalanannya banyak perkembangan yang terjadi, namun tradisi musik Keroncong Tugu tetap mempertahankan nilai dan jati diri keportugisan mereka. Lebih penting lagi untuk diketahui bahwa tradisi musik Keroncong Tugu ini menjadi identitas bagi mereka. Dengan memainkan lagu-lagu mereka khususnya lagu yang masih menggunakan bahasa kreol Portugis serta penggunaan intrumen cavaquinho (keroncong) mereka mampu menunjukkan jati diri keportugisannya dan dengan cara`itu jugalah masyarakat luas dapat melihat mereka sebagai orang-orang keturunan Portugis.

Melihat fenomena ini jelaslah bahwa identitas memegang peranan penting dalam keberlangsungan suatu kebudayaan. Selain untuk menunjukkan jati dirinya agar mendapat pengakuan dari kelompok budaya yang lain, identitas juga berfungsi sebagai salah satu cara untuk mempertahankan agar kebudayaan itu dapat terus bertahan dan berlangsung.


(9)

10

Ini membuktikan bahwa pernyataan dari Bruno Nettl yang menyebutkan bahwa banyak orang tidak lagi merasa puas menunjukkan keunikan kulturalnya melalui pakaian, struktur masyarakat, kebudayaan material, ataupun lokasi tempat tinggalnya, bahasanya atau agamanya. Sebaliknya orang lebih memilih musik sebagai etnisitasnya (Netll, 1985:165) sangat selaras dengan apa yang terjadi pada kebudayaan masyarakat di Kampung Tugu.

Pentingnya suatu identitas dalam sebuah kebudayaan mendorong penulis untuk mengkaji lebih dalam, melihat proses apa saja yang terjadi dalam pembentukan identitas itu sendiri. Keroncong Tugu merupakan tradisi musik yang merupakan salah satu contoh kasus, di mana menurut penulis memiliki keunikan dalam menunjukkan identitasnya, yakni dengan musiknya sehingga kebudayan mereka dikenal dan dapat bertahan lebih dari 3,5 abad. Oleh karena itu, penulis memutuskan untuk menulis sebuah tulisan ilmiah berupa skripsi yaitu Tradisi Musik Keroncong Tugu Cafrinho, Sebagai Identitas Budaya

Masyarakat Kampung Tugu, Tugu Utara Koja, Jakarta Utara.

1.2 Pokok Permasalahan

Pokok permasalahan yang penulis angkat dalam penulisan ini adalah:

1. Kenapa masyarakat Kampung Tugu memilih musik keroncong tugu sebagai media untuk menunjukkan identitas budayanya?

2. Upaya apa saja yang dilakukan masyarakat Kampung Tugu terhadap musik keroncong tugu sehingga identitas budayanya dapat bertahan lebih dari 3,5 abad?


(10)

11 1.1 Tujuan dan Manfaat

Tujuan dari tulisan ini adalah:

1. Untuk dapat mengetahui hal apa yang membuat tradisi musik Keroncong Tugu dijadikan sebagai identitas bagi kebudayaan masyarakat Kampung Tugu.

2. Untuk dapat mengetahui bagaimana upaya mereka mempertahankan tradisi musik Keroncong Tugu yang dijadikan sebagai identitas mereka.

Selanjutnya, manfaat tulisan ini adalah:

1. Menambah wawasan dan pengetahuan tentang sejarah, perkembangan dan keberadaan tradisi musik keroncong Tugu serta mengetahui upaya-upaya dalam pelestarian tradisi musik keroncong Tugu yang dijadikan sebagai identitas budaya masyarakat Kampung Tugu.

2. Sebagai dokumentasi yang bermanfaat sebagai refrensi di masa mendatang. 3. Menambah wawasan dan pengetahuan penulis dalam mengaplikasikan ilmu

yang didapat selama masa studi di jurusan Etnomusikologi.

1.4 Konsep dan Teori 1.4.1 Konsep

Konsep-konsep berikut ini perlu dipahami di dalam tulisan ini, antara lain: (a) tradisi, (b) budaya, (c) identitas, (d) identitas budaya, (e) musik keroncong Tugu. Tujuan memahami konsep tersebut adalah agar para pembaca mendapatkan kepastian mengenai konsep yang digunakan dalam penulisan skripsi ini.


(11)

12

Tradisi adalah suatu struktur kreativitas yang sudah establish (Joiner dalam Coplan 1993:40), yang memberikan gambaran mentalitas, prinsip-prinsip ekspresif, dan nilai-nilai estetik. Tradisi, walaupun mempresentasikan kekinian tetapi tidak terpisahkan dengan masa lalu (Beisele dalam Coplan 1993:40). Atau sebaliknya, tradisi adalah sesuatu yang menghadirkan masa lalu pada masa kini (Coplan 1993:47).

Tradisi menurut KBBI adalah (1) adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat; (2) penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar.

Budaya menurut Barnouw, (1985) bahwa “budaya adalah sebagai sekumpulan sikap, nilai, keyakinan, dan perilaku yang di miliki bersama oleh sekelompuk orang, yang dikomunikasikan dari generasi ke generasi berikutnya lewat bahasa atau beberapa sarana komunikasi lain.

Identitas berarti ciri-ciri, sifat-sifat khas yang melekat pada suatu hal sehingga menunjukkan suatu keunikannya serta membedakannya dengan hal-hal lain. Identitas budaya adalah rincian karakteristik atau ciri-ciri sebuah kebudayaan yang dimiliki oleh sekelompok orang yang kita ketahui batas-batasnya tatkala dibandingkan dengan karakteristik atau ciri-ciri kebudayaan orang lain (Liliweri 2003: 72).

Musik Keroncong Tugu adalah Musik Tradisi Masyarakat Keturunan Portugis yang tinggal di Kampung Tugu, yang secara bertahap mengalami perkembangan hingga dikenal luas dengan istilah Musik Keroncong tugu.


(12)

13

Keroncong Tugu sendiri pada awalnya adalah sebutan untuk alat musik yang dibuat di Tugu bernama Macina, yang jika dibunyikan menghasilkan suara crong, crong, crong. Pada gilirannya Keroncong Tugu meluas dan memiliki 3 pengertian, yaitu:

1. Alat musik, 2. Genre musik, dan 3. Pakem Lagu.

Dari penjelasan-penjelasan di atas, penulis menarik sebuah kesimpulan bahwa konsep yang dimaksud penulis dalam tulisan ini yaitu, tradisi musik Keroncong Tugu adalah sebuah tradisi yang menggambarkan prinsip hidup dan nilai estetik masyarakat di Kampung Tugu yang diekspresikan lewat musik yaitu musik keroncong tugu yang mana kemudian musik keroncong tugu ini dijadikan sebagai identitas kebudayan mereka karena memiliki tiga unsur penting yang menjadi bagian dari musik itu sendiri yaikni alat musik, genre musik dan pakem lagu yang dijaga dan terus dipertahankan keasliaannya selama 3,5 abad lebih.

1.4.2 Teori

Dalam memahami tulisan ini ada dua aspek yang penting diketahui, yang pertama adalah aspek sosial dan kedua aspek musikal. Aspek yang terkait dengan aspek sosial dalam tulisan adalah identitas budaya.

Berbicara tentang kebudayaan sekelompok masyarakat, tentunya banyak hal yang dapat dilihat dan dikaji karena sebuah kebudayaan memiliki kekayaan yang tak ternilai. Kekayaan itu hidup dan menyatu di dalam kebiasaan atau


(13)

14

tradisi dalam sekelompok masyarakat tertentu yang terwujud dalam aktivitas serta diatur oleh norma adat. Dari tradisi atau kebiasaan itulah kita dapat mengenali dan membedakan antara sebuah kebudayaan dengan kebudayaan lain.

Tradisi adalah suatu struktur kreativitas yang sudah establish (Joiner dalam Coplan 1993:40), yang memberikan gambaran mentalitas, prinsip-prinsip ekspresif dan nilai-nilai estetik. Tradisi walaupun mempresentasikan kekinian tetapi tidak terpisahkan dengan masa lalu (Beisele dalam Coplan 1993:40). Atau sebaliknya, tradisi adalah sesuatu yang menghadirkan masa lalu pada masa kini (Coplan 1993:47).

Identitas budaya adalah rincian karakteristik atau ciri-ciri sebuah kebudayaan yang dimiliki oleh sekelompok orang yang kita ketahui batas-batasnya tatkala dibandingkan dengan karakteristik atau ciri-ciri kebudayaan orang lain (Liliweri, 2003: 72).

Kebudayaan menurut Edward B. Taylor (1871) menggunakan kata kebudayaan untuk menunjukkan “keseluruhan kompleks dari ide dan segala sesuatu yang dihasilkan manusia dalam pengalaman historisnya”. Termasuk di sini adalah pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, kebiasaan dan kemampuan serta prilaku lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Dari pendapat Edward B. Taylor di atas jelas kita lihat bahwa seni, yang dalam hal ini adalah musik menjadi salah satu aspek yang menyatu di dalam budaya. Oleh karena itu penulis berpendapat bahwa musik dapat dijadikan


(14)

15

sebagai salah satu cara untuk menunjukkan jati diri sebuah kebudayaan atau dengan kata lain dijadikan sebagai identitas sebuah budaya.

Dalam teorinya cultural identity theory, Mary Jane Collier, menyatakan bahwa “cultural identities are negotiated, co created, reinforced and challenged through comunication”(identitas kebudayaan itu dapat diubah, dibentuk, ataupun ditentang melalui komunikasi).

Dengan kata lain, hal ini berarti bahwa suatu identitas kebudayaan bersifat fleksibel. Mengapa demikian? Karena sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Collier bahwa kebudayaan itu dapat dinegosiasikan. Selain itu identitas kebudayaan itu juga dapat dikreasikan kembali sehingga identitas itu tetap relevan untuk dipertahankan meskipun pada akhirnya menciptakan perubahan terhadap identitas budaya itu sendiri. Akan tetapi, dari hal ini penulis melihat sifat fleksibel tehadap kebudayaan justru memperkaya nilai yang sudah ada di dalam kebudayaan itu sendiri. Sifat-sifat tersebut kemudian mendukung suatu identitas kebudayaan untuk dapat beradaptasi dengan zamannya namun tetap harus bertahan mengahadapi tantangan itu sehingga kebudayaan itu sendiri tidak kehilangan karakteristiknya.

Pendapat lain disampaikan oleh Bruno Nettl yang adalah seorang etnomusikolog, yang mana dia menegaskan bahwa bahwa banyak orang tidak lagi merasa puas menunjukkan keunikan kulturalnya melalui pakaian, struktur masyarakat, kebudayaan material, ataupun lokasi tempat tinggalnya, bahasanya atau agamanya. Sebaliknya orang lebih memilih musik sebagai etnisitasnya. (Netll 1985:165)


(15)

16

Kedua teori di atas menjadi landasan bagi penulis untuk melakukan penelitian lebih dalam tentang bagaimana tradisi musik kerooncong tugu dijadikan masyarakat Kampung Tugu sebagai identitas kebudyaan mereka.

Selain itu, kedua teori ini juga bagi membuka wawasan penulis bahwa identitas merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari sebuah kebudayaan. Dengan adanya identitas, tentu mudah bagi kita dapat mengenali keberagaman budaya yang ada, khususnya di Indonesia. Selain itu pernyataan Bruno Nettl di atas menjadi pondasi bagi penulis untuk semakin terfokus dan yakin bahwa musik merupakan pilihan yang tepat untuk dijadikan sebuah alasan bagi suatu kebudayaan untuk dijadikan sebagai identitasnya.

Selain itu musik sendiri juga memiliki karakteristik sehingga dapat dibedakan dengan jenis musik-musik yang lainnya. Hal ini tentu memperkuat keberadaan musik untuk dijadikan sebagai identitas bagi suatu kebudayaan. Hal ini disampaikan Bruno Netlle sebagai berikut:

... by style we mean the aggregate of characteristics which a composition has, and which it shares with others in its cultural complex. When speaking of an individual culture or a single, unfield corpus of music, we may have no particular occasion to distinguish between the composition and the style as a whole. Of course, a musical composition cannot exist without having certain characteristics of scalae, melody, rhythm, and form. And this characteristics, again, are only abstraction which must ride, as it were, on the backs of the concrete musical items, of the musical content (1964:100).

Dari kutipan di atas berarti bahwa karakteristik atau style (gaya) dan komposisi dari sebuah musik dapat diketahui dan dapat dibedakan namun tidak ada wadah yang khusus untuk membedakannya secara jelas antara komposisi


(16)

17

musiknya dan juga gaya musiknya secara keseluruhan. Tentu saja sebuah komposisi musik tidak akan eksis tanpa adanya tangga nada, melodi, ritem, dan bentuk musiknya. Dan karakteristik ini, sekali lagi hanya sebuah keabstrakan yang harus dimainkan sebagaimana mestinya, menjadi bagian musik yang nyata dari konten musik itu sendiri.

1.5 Metode Penelitian

Pada penelitian guna mengumpulkan data, penulis menggunakan metode penelitian deskritif. Metode deskriftif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antarfenomena yang diselidiki (Moh. Nasir 1988).

Selain itu penulis juga melakukan observasi lapangan dengan cara hadir dan melihat langsung proses latihan rutin yang mereka lakukan dan juga menyaksikan secara langsung pertunjukan-pertunjukan yang mereka lakukan sehingga penulis dapat melihat lebih dekat bagaimana kegiatan kelompok ini berlangsung sehari-harinya.

1.5.1 Studi Kepustakaan

Untuk mendukung kelengkapan serta keakuratan data yang penulis peroleh, penulis juga mencari buku-buku yang relevan dan dapat mendukung


(17)

18

tulisan ini. Hal itu dilakukan penulis dengan pergi ke perpustakaan untuk meminjam buku atau jurnal yang bisa mendukung tulisan yang penulis buat. Beberapa tulisan ilmiah dan jurnal juga didapat penulis dengan cara mencarinya di internet. Selain itu penulis juga banyak mendengar lagu-lagu dan pertunjukan tentang keroncong di situs Youtube juga membeli cd rekaman Keroncong Tugu Cafrinho untuk menambah sebanyak mungkin refrensi data yang dibutuhkan penulis.

1.5.2 Wawancara

Salah satu teknik pengumpulan data yang dilakukan penulis adalah dengan wawancara. Wawancara merupakan salah satu teknik pengumpulan data atau informasi yang tidak dapat diamati secara langsung. Menurut Koentjaraningrat ada tiga macam cara wawancara, yaitu: (1) wawancara berfokus (focused Interview), (2) wawancara bebas (free interview), (3) wawancara sambil lalu (casual Interview).

Wawancara ini dilakukan penulis minimal sebanyak 4 kali dalam seminggu selama penulis melakukan penelitian lapangan yang berlangsung sekitar 2 bulan. Biasanya sebelum memulai wawancara, penulis mempersipakan garis-garis besar pertanyaan yang mengarah kepada satu pokok permasalahan tertentu yang ingin penulis ketahui. Namun begitupun penulis tetap berusaha mengembangkan pertanyaan kepada hal lain yang masih terkait dengan permasalahan dan jawaban informan guna mengurasi rasa kaku dan kejenuhan informan. Dalam merekam wawancara, penulis menggunakan kamera SLR milik


(18)

19

inventaris departemen Etnomusikologi dan menggunakan handphone untuk merekam wawancara yang penulis lakukan.

1.5.3 Penelitian Lapangan

Penulis melakukan penelitian lapangan secara intensif dimulai dari pertengahan bulan Juli sampai awal September tahun 2013 di wilayah utara Jakarta. Selama penulis di lokasi penelitian penulis melakukan wawancara rutin sebanyak empat kali dalam seminggu. Sebagai informan kunci penulis memilih Bapak Guido Quiko yang merupakan generasi ke empat sejak terbentuknya kelompok Keroncong Tugu dan sekaligus juga sebagai pimpinan Kelompok Keroncong Tugu Cafrinho sejak orang tuanya Samuel Quicko meninggal dunia. Selain melakukan wawancara dengan informan kunci, penulis juga melakukan wawancara dengan anggota dari kelompok Keroncong Tugu Cafrinho untuk memperkaya informasi yang penulis butuhkan.

1.5.4 Kerja Laboratorium

Setelah mengumpulkan data dari lapangan, maka penulis melanjutkan ke tahap pengolahan data di laboratorium. Penulis melakukan proses seleksi data, analisa data, dan mengklasifikasikan data berdasarkan kelompoknya sesuai dengan informasi yang penulis harapkan.

Untuk data yang bersifat audio (rekaman yang bersifat musikal), penulis melakukan transkripsi dan analisa dengan jalan mengubah data audio tadi dalam bentuk tertulis di atas kertas dengan bentuk notasi. Dalam melakukan


(19)

20

transkripsi ini penulis berpegangan dengan ketentuan yang ditawarkan oleh Nettl (1964:99) yaitu pendekatan preskriptif (pencatatan terhadap hal-hal/ bagian yang menonjol yang biasa dipahami oleh sesama pemusik saja) dan pendekatan deskriptif (pencatatan secara lengkap detail-detail yang ada pada lagu).

Proses yang penulis lakukan dalam mentranskripsi adalah dengan mendengar potongan-potongan melodi dari lagu yang akan ditranskripsi dan berusaha mengahafal melodi serta pola ritemnya. Penulis menggunakan software Sibelius untuk membantu penulis agar lebih mudah dalam proses pengerjaan trasnkripsi. Potongan-potongan yang penulis hafalkan kemudian penulis pindahkan ke dalam program Sibelius. Satu persatu potongan melodi penulis pindahakan ke dalam program Sibelius, dan setelah selsesai penulis penulis cetak dengan menggunakan mesin printer.

1.5.5 Lokasi Penelitian

Dalam menentukan lokasi penelitian, penulis memilih Keroncong Tugu sebagai objek penelitian. Keroncong Tugu Cafrinho beralamat di Jalan Raya Tugu No 28 RT 003/ RW 014 Tuggu Utara Koja, Jakarta Utara.

1.5.6 Tinjauan Pustaka

Pada sebuah penelitian ilmiah, tinjauan pustaka menjadi sesuatu hal yang sangat penting dan sangat menentukan hasil akhir dari tulisan tersebut. Tinjauan pustaka pada sebuah tulisan ilmiah dapat berfungsi sebagai pengontrol pembahasan yang akan dieksplorasi oleh penulis, sehingga penulis memiliki


(20)

21

batasan-batasan sejauh mana dan hal-hal apa saja yang perlu dimuat dan dibahas pada tulisan ilmiah tersebut. Selain itu tinjauan pustaka juga akan memuat uraian yang sistematis tentang informasi yang didapat penulis dari hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya yang relevan dan berkaitan tentang pembahasan yang ditulis oleh penulis.

Manfaat lain dari dimuatnya tinjauan pustaka pada sebuah tulisan ilmiah adalah, di dalam tinjauan pustaka juga akan dimuat tentang kelebihan dan kekurangan yang mungkin ada pada penelitian terdahulu yang dapat dijadikan sebagai argumen bahwa tulisan yang akan ditulis mengenenai penelitian yang akan dilakukan adalah bersifat menyempurnakan atau juga mengembangkan penelitian terdahulu. Selain itu tinjauan pustaka juga akan memuat landasan teori yang berupa rangkuman dari teori-teori yang akan menjadi pedoman dan juga tentunya teori-teori lain yang masih berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan penulis.

Adapun selama pengamatan penulis, topik yang membahas tentang tradisi keroncong tugu sebagai identitas bagi masyarakat Kampung Tugu belum pernah ada. Dengan demikian topik penelitian ini baru pertama kali dilakukan. Meskipun sudah ada beberapa tulisan yang membahas tentang musik keroncong dan keroncong tugu, namun bukan membahas tentang musik keroncong tugu yang dijadikan sebgai identitas budaya bagi masyarakat Kampung Tugu. Dengan demikian penulis menyatakan bahwa penelitian ini orisinil karena belum pernah dilakukan sebelumnya.


(21)

22

Berikut ini beberapa tinjauan pustaka yang akan digunakan untuk menjawab permasalahan topik tersebut di atas.

1. Buku yang berjudul Diseminasi musik Barat di Timur: Studi Historis Penyebaran Musik Barat di Indonesia dan Jepang Lewat Aktivitas Misionaris Pada Abad Ke-16 yang ditulis oleh Triono Bramantyo membahas tentang bagaimana proses penyebaran musik Barat di Indonesia, dan di dalam salah satu bab dalam buku itu dia membahas tentang musik keroncong tugu yang keberadaannya dipengaruhi oleh bangsa Portugis. Buku ini memberikan banyak infromasi kepada penulis tentang sejarah musik keroncong tugu serta perkembangannya, namun dalam buku ini tidak dibahas mengenai musik keroncong tugu yang digunakan sebagai identitas bagi masyarakat Kampung Tugu.

2. Buku yang berjudul Krontjong Toegoe yang ditulis oleh Victor Ganap. Dalam bukunya ini, Victor Ganap membahas cukup detail tentang musik keroncong tugu, baik secara historisnya, maupun diskusi musiknya yang memberikan wawasan baru bagi penulis khususnya tentang musik keroncong tugu. Akan tetapi dalam buku ini penukis tidak mendapati ada sebuah pembahasan khusus mengenai musik keroncong tugu dijadikan sebgai identitas budaya.

3. Tulisan Philip Yampolsky dalam buku Musik Populer yang membahas tentang perjalanan musik keroncong dan perkembangannya dalam beberapa dekade yang diawali dari zaman kolonial hingga tahun 1950-an. Dalam tulisan ini dia hanya membahas sedikit tentang musik keroncong tugu, yaitu


(22)

23

hanya membahas tentang musik keroncong tugu yang merupakan tradisi musikal mardijekrs dan keturunannya yang bermukim di Kampung Tugu. Tentu saja tulisan ini juga sangat bermanfaat bagi penulis sebagai refrensi, namun tulisan ini tidak membahas tradisi itu dijadikan sebgai identitas bagi masyarakat Kampung Tugu.

4. R. Agoes Sri Widjajadi membuat sebuah tulisan yaitu “Menelusuri Sarana Peyebaran Musik Keroncong” yang dimuat dalam jurnal Humaniora: Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni. Fokus pembahasan tulisan ini lebih mengarah kepada sarana yang digunakan dalam penyebaran musik keroncong sehingga musik keroncong tetap eksis khususnya di dunia seni pertunjukan. Meskipun memberikan informasi baru kepada penulis tentang musik keroncong, namun lagi-lagi tulisan ini tidak membahas tentang musik keroncong tugu sebgai identitas budaya masyarakat Kampung Tugu.

5. Abdul Rachman juga membuat sebuah tulisan mengenai musik keroncong yaitu Bentuk dan Analisis Musik Keroncong Tanah Airku Karya Kelly Puspito. Tulisan ini membahas tentang musik keroncong yang dikembangkan dengan harmonisasi atau progesi akord. Hal ini dilakukan karena kurangnya minat generasi muda khususnya para remaja terhadap musik keroncong. Sehingga, dengan dilakukannya inovasi ini diharapkan para remaja tertarik mendengar musik keroncong. Tulisan ini tentu juga meanambah wawasan bagi penulis tentang musik keroncong.

6. Tulisan dari Pinta Resty Ayunda, Susi Gustina, dan Henry Virgan ini mendeskripsikan hasil penelitian dari Gaya Menyanyi pada Musik


(23)

24

Keroncong Tugu (Analisis Gaya Saartje Margaretha Michiels). Penelitian ini memaparkan gaya menyanyi Saartje Margaretha Michiels, difokuskan kepada pengetahuan musikal Saartje yang mempengaruhi gaya menyanyinya. Objek penelitian ini adalah salah satu dari lagu Keroncong Tugu, yaitu Gatu Du Matu. Hasil penemuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa gaya menyanyi Saartje dipengaruhi oleh beragam unsur dalam lingkungan sosialnya, seperti keluarga, pertemanan, religi, juga komunitas keroncong, khususnya komunitas Keroncong Tugu. Gaya menyanyi Saartje diaplikasikan dan disesuaikan dengan kondisi atau konteks sosial dan penonton di setiap penampilannya. Meski demikian, nyanyian Saartje tetap memperlihatkan keunikan gaya yang berbeda dari penyanyi keroncong lainnya, dan hal tersebut sangat memperlihatkan identitas gaya menyanyi Keroncong Tugu. Kesimpulan dari penelitian ini adalah tentang gaya menyanyi Saartje Margaretha Michiels yang dipengaruhi oleh beragam pengalaman musikal dan non musikal yang konkrit di dalam lingkungan sosialnya. Gaya menyanyi Saartje diaplikasikan dan disesuaikan dengan kondisi atau konteks sosial dan penonton di setiap penampilannya untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap Keroncong Tugu. Tulisan ini sangat bermanfaat bagi penulis karena ini mendukung tulisan yang akan dikaji penulis. Namun apa yang menjadi pokok dari penelitian tulisan ini hanya berfokus kepada teknik vokal dari seorang penyanyi tugu.


(24)

25

7. Sebuah tulisan yang ditulis oleh Magdalia Alfian yaitu Keroncong Music Reflects the Identity of Indonesia. Dalam tulisan ini diceritakan bahwa musik keroncong merupakan musik yang sangat populer di tahun 70-an hingga 80-an, dan kepopuleran musik keroncong menjadi identitas yang menggambarkan Indonesia. Namun karena kemajuan teknologi kepopulerannya mulai berkurang sehingga dilakukan berbagai cara agar musik keroncong tetap eksis. Salah satu yang dilakukan generasi muda terhadap pelestarian musik keroncong adalah dengan memasukkan unsur dari genre-genre musik lain. Keberhasilan musik keroncong bertahan hingga sekarang memberikan banyak kontribusi terhadap Indonesia sehingga sangat wajar dianggap sebagai warisan dunia.

8. Sebuah tulisan yang berjudul The Dynamics of Keroncong Music in Indonesia yang ditulis oleh Linda Sunarti dan Wiwin Trinarti. Tulisan ini memaparkan tentang perjalanan musik keroncong di Indonesia dan dari analisis mereka didapatkan hasil bahwa musik keroncong di Indonesia mampu terus bertahan dan dipopulerkan dengan membuat promosi melalui media seperti televisi dan radio sehingga masyarakat menjadi familiar terhadap musik keroncong. Selain itu dalam tulisan ini juga disimpulkan bahwa para seniman keroncong harus melakukan inovasi untuk menarik minat lebih banyak orang.

9. Tulisan lain yang tentang keroncong ditulis oleh Gilang Ryand Prakoso dan Slamet Haryono, yaitu tentang improvisasi permainan cello pada permainan jenis langgam Jawa grup orkes keroncong Harmoni Semarang. Hasil


(25)

26

penelitian dari tulisan ini menunjukkan bahwa pola improvisasi permainan instrumen cello keroncong dalam irama jenis langgam Jawa grup Orkes Keroncong Harmoni Semarang memiliki banyak kemiripan dengan pola permainan instrumen kendang pada musik karawitan.

10. Sebuah tulisan terakhir adalah tulisan dari Chysanti Arumsari yaitu Keroncong Tugu: The Beat of Nationalism from Betawi, Jakarta, Indonesia. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa keroncong tugu adalah seni musik Betawi yang harus dikembangkan karena musik keroncong tugu punya karakter tersendiri. Selain itu, meskipun musik keroncong tugu sudah disahkan sebagai kebudayaan betawi namun tidak ada rasa kepemilikan serta masih banyak warga DKI yang tidak mengenal dan tidak perduli terhadap musik keroncong tugu.

Dari tulisan-tulisan di atas meskipun sudah banyak yang mengkaji mengenai musik keroncong, keroncong tugu namun belum ada penelitian yang mengkaji mengenai musik keroncong tugu sebagai identitas bagi kelompok masyarakat Kampung Tugu.


(1)

21

batasan-batasan sejauh mana dan hal-hal apa saja yang perlu dimuat dan dibahas pada tulisan ilmiah tersebut. Selain itu tinjauan pustaka juga akan memuat uraian yang sistematis tentang informasi yang didapat penulis dari hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya yang relevan dan berkaitan tentang pembahasan yang ditulis oleh penulis.

Manfaat lain dari dimuatnya tinjauan pustaka pada sebuah tulisan ilmiah adalah, di dalam tinjauan pustaka juga akan dimuat tentang kelebihan dan kekurangan yang mungkin ada pada penelitian terdahulu yang dapat dijadikan sebagai argumen bahwa tulisan yang akan ditulis mengenenai penelitian yang akan dilakukan adalah bersifat menyempurnakan atau juga mengembangkan penelitian terdahulu. Selain itu tinjauan pustaka juga akan memuat landasan teori yang berupa rangkuman dari teori-teori yang akan menjadi pedoman dan juga tentunya teori-teori lain yang masih berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan penulis.

Adapun selama pengamatan penulis, topik yang membahas tentang tradisi keroncong tugu sebagai identitas bagi masyarakat Kampung Tugu belum pernah ada. Dengan demikian topik penelitian ini baru pertama kali dilakukan. Meskipun sudah ada beberapa tulisan yang membahas tentang musik keroncong dan keroncong tugu, namun bukan membahas tentang musik keroncong tugu yang dijadikan sebgai identitas budaya bagi masyarakat Kampung Tugu. Dengan demikian penulis menyatakan bahwa penelitian ini orisinil karena belum pernah dilakukan sebelumnya.


(2)

22

Berikut ini beberapa tinjauan pustaka yang akan digunakan untuk menjawab permasalahan topik tersebut di atas.

1. Buku yang berjudul Diseminasi musik Barat di Timur: Studi Historis Penyebaran Musik Barat di Indonesia dan Jepang Lewat Aktivitas Misionaris Pada Abad Ke-16 yang ditulis oleh Triono Bramantyo membahas tentang bagaimana proses penyebaran musik Barat di Indonesia, dan di dalam salah satu bab dalam buku itu dia membahas tentang musik keroncong tugu yang keberadaannya dipengaruhi oleh bangsa Portugis. Buku ini memberikan banyak infromasi kepada penulis tentang sejarah musik keroncong tugu serta perkembangannya, namun dalam buku ini tidak dibahas mengenai musik keroncong tugu yang digunakan sebagai identitas bagi masyarakat Kampung Tugu.

2. Buku yang berjudul Krontjong Toegoe yang ditulis oleh Victor Ganap. Dalam bukunya ini, Victor Ganap membahas cukup detail tentang musik keroncong tugu, baik secara historisnya, maupun diskusi musiknya yang memberikan wawasan baru bagi penulis khususnya tentang musik keroncong tugu. Akan tetapi dalam buku ini penukis tidak mendapati ada sebuah pembahasan khusus mengenai musik keroncong tugu dijadikan sebgai identitas budaya.

3. Tulisan Philip Yampolsky dalam buku Musik Populer yang membahas tentang perjalanan musik keroncong dan perkembangannya dalam beberapa dekade yang diawali dari zaman kolonial hingga tahun 1950-an. Dalam tulisan ini dia hanya membahas sedikit tentang musik keroncong tugu, yaitu


(3)

23

hanya membahas tentang musik keroncong tugu yang merupakan tradisi musikal mardijekrs dan keturunannya yang bermukim di Kampung Tugu. Tentu saja tulisan ini juga sangat bermanfaat bagi penulis sebagai refrensi, namun tulisan ini tidak membahas tradisi itu dijadikan sebgai identitas bagi masyarakat Kampung Tugu.

4. R. Agoes Sri Widjajadi membuat sebuah tulisan yaitu “Menelusuri Sarana Peyebaran Musik Keroncong” yang dimuat dalam jurnal Humaniora: Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni. Fokus pembahasan tulisan ini lebih mengarah kepada sarana yang digunakan dalam penyebaran musik keroncong sehingga musik keroncong tetap eksis khususnya di dunia seni pertunjukan. Meskipun memberikan informasi baru kepada penulis tentang musik keroncong, namun lagi-lagi tulisan ini tidak membahas tentang musik keroncong tugu sebgai identitas budaya masyarakat Kampung Tugu.

5. Abdul Rachman juga membuat sebuah tulisan mengenai musik keroncong yaitu Bentuk dan Analisis Musik Keroncong Tanah Airku Karya Kelly Puspito. Tulisan ini membahas tentang musik keroncong yang dikembangkan dengan harmonisasi atau progesi akord. Hal ini dilakukan karena kurangnya minat generasi muda khususnya para remaja terhadap musik keroncong. Sehingga, dengan dilakukannya inovasi ini diharapkan para remaja tertarik mendengar musik keroncong. Tulisan ini tentu juga meanambah wawasan bagi penulis tentang musik keroncong.

6. Tulisan dari Pinta Resty Ayunda, Susi Gustina, dan Henry Virgan ini mendeskripsikan hasil penelitian dari Gaya Menyanyi pada Musik


(4)

24

Keroncong Tugu (Analisis Gaya Saartje Margaretha Michiels). Penelitian ini memaparkan gaya menyanyi Saartje Margaretha Michiels, difokuskan kepada pengetahuan musikal Saartje yang mempengaruhi gaya menyanyinya. Objek penelitian ini adalah salah satu dari lagu Keroncong Tugu, yaitu Gatu Du Matu. Hasil penemuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa gaya menyanyi Saartje dipengaruhi oleh beragam unsur dalam lingkungan sosialnya, seperti keluarga, pertemanan, religi, juga komunitas keroncong, khususnya komunitas Keroncong Tugu. Gaya menyanyi Saartje diaplikasikan dan disesuaikan dengan kondisi atau konteks sosial dan penonton di setiap penampilannya. Meski demikian, nyanyian Saartje tetap memperlihatkan keunikan gaya yang berbeda dari penyanyi keroncong lainnya, dan hal tersebut sangat memperlihatkan identitas gaya menyanyi Keroncong Tugu. Kesimpulan dari penelitian ini adalah tentang gaya menyanyi Saartje Margaretha Michiels yang dipengaruhi oleh beragam pengalaman musikal dan non musikal yang konkrit di dalam lingkungan sosialnya. Gaya menyanyi Saartje diaplikasikan dan disesuaikan dengan kondisi atau konteks sosial dan penonton di setiap penampilannya untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap Keroncong Tugu. Tulisan ini sangat bermanfaat bagi penulis karena ini mendukung tulisan yang akan dikaji penulis. Namun apa yang menjadi pokok dari penelitian tulisan ini hanya berfokus kepada teknik vokal dari seorang penyanyi tugu.


(5)

25

7. Sebuah tulisan yang ditulis oleh Magdalia Alfian yaitu Keroncong Music Reflects the Identity of Indonesia. Dalam tulisan ini diceritakan bahwa musik keroncong merupakan musik yang sangat populer di tahun 70-an hingga 80-an, dan kepopuleran musik keroncong menjadi identitas yang menggambarkan Indonesia. Namun karena kemajuan teknologi kepopulerannya mulai berkurang sehingga dilakukan berbagai cara agar musik keroncong tetap eksis. Salah satu yang dilakukan generasi muda terhadap pelestarian musik keroncong adalah dengan memasukkan unsur dari genre-genre musik lain. Keberhasilan musik keroncong bertahan hingga sekarang memberikan banyak kontribusi terhadap Indonesia sehingga sangat wajar dianggap sebagai warisan dunia.

8. Sebuah tulisan yang berjudul The Dynamics of Keroncong Music in Indonesia yang ditulis oleh Linda Sunarti dan Wiwin Trinarti. Tulisan ini memaparkan tentang perjalanan musik keroncong di Indonesia dan dari analisis mereka didapatkan hasil bahwa musik keroncong di Indonesia mampu terus bertahan dan dipopulerkan dengan membuat promosi melalui media seperti televisi dan radio sehingga masyarakat menjadi familiar terhadap musik keroncong. Selain itu dalam tulisan ini juga disimpulkan bahwa para seniman keroncong harus melakukan inovasi untuk menarik minat lebih banyak orang.

9. Tulisan lain yang tentang keroncong ditulis oleh Gilang Ryand Prakoso dan Slamet Haryono, yaitu tentang improvisasi permainan cello pada permainan jenis langgam Jawa grup orkes keroncong Harmoni Semarang. Hasil


(6)

26

penelitian dari tulisan ini menunjukkan bahwa pola improvisasi permainan instrumen cello keroncong dalam irama jenis langgam Jawa grup Orkes Keroncong Harmoni Semarang memiliki banyak kemiripan dengan pola permainan instrumen kendang pada musik karawitan.

10. Sebuah tulisan terakhir adalah tulisan dari Chysanti Arumsari yaitu Keroncong Tugu: The Beat of Nationalism from Betawi, Jakarta, Indonesia. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa keroncong tugu adalah seni musik Betawi yang harus dikembangkan karena musik keroncong tugu punya karakter tersendiri. Selain itu, meskipun musik keroncong tugu sudah disahkan sebagai kebudayaan betawi namun tidak ada rasa kepemilikan serta masih banyak warga DKI yang tidak mengenal dan tidak perduli terhadap musik keroncong tugu.

Dari tulisan-tulisan di atas meskipun sudah banyak yang mengkaji mengenai musik keroncong, keroncong tugu namun belum ada penelitian yang mengkaji mengenai musik keroncong tugu sebagai identitas bagi kelompok masyarakat Kampung Tugu.