Audit Tata Ruang Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan Kawasan Puncak

AUDIT TATA RUANG DESA TUGU UTARA DAN
DESA TUGU SELATAN KAWASAN PUNCAK

LUTFIA NURSETYA FUADINA

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Audit Tata Ruang Desa
Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan Kawasan Puncak adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2014
Lutfia Nursetya Fuadina
NIM A14100064

ABSTRAK
LUTFIA NURSETYA FUADINA. Audit Tata Ruang Desa Tugu Utara dan Desa
Tugu Selatan Kawasan Puncak. Dibimbing oleh ERNAN RUSTIADI dan LA
ODE SYAMSUL IMAN.
Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan merupakan bagian dari sub DAS
Ciliwung hulu yang terletak di kawasan Puncak. Pembangunan intensif di
kawasan hulu sub DAS Ciliwung yang tidak sesuai dengan pola ruang dalam
RTRW berakibat pada penurunan kualitas lingkungan. Penelitian ini dilakukan
dengan tujuan untuk : (1) mengidentifikasi distribusi spasial pola ruang
berdasarkan RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025, status kawasan hutan
berdasarkan SK Kementerian Kehutanan, kelas kemampuan lahan, dan
penggunaan lahan aktual di Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan; dan (2)
menganalisis inkonsistensi antara penggunaan lahan aktual Desa Tugu Utara dan
Desa Tugu Selatan dengan kriteria ideal peruntukan pemanfaatan ruang.
Penggunaan lahan yang dominan di Desa Tugu Utara adalah kebun teh (luas 36%

dari luas desa), sedangkan penggunaan lahan yang dominan di Desa Tugu Selatan
adalah hutan (luas 60% dari luas desa). Inkonsistensi penggunaan lahan terhadap
pola ruang berdasarkan peta RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025 terbesar
terdapat pada peruntukan kawasan hutan lindung dengan pemanfaatan ruang
aktual sebagai perkebunan teh sebesar 580 Ha.
Kata kunci : Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang, Kawasan Puncak, RTRW, Status
Kawasan Hutan

ABSTRACT
LUTFIA NURSETYA FUADINA. Spatial Planning Audit of Tugu Utara Village
and Tugu Selatan Village, Puncak Area. Supervised by ERNAN RUSTIADI AND
LA ODE SYAMSUL IMAN.
Tugu Utara Village and Tugu Selatan village are part of the upstream
Ciliwung watershed that located in Puncak area. Intensive development in the
upstream of Ciliwung watershed that are inconsistent with the spatial planning
regulation resulted in environmental degradation. This research was conducted
with the aims to (1) identify the spatial patterns of Bogor District Spatial Plan
2005-2025, status of forest area, land capability class and actual land use in Tugu
Utara Village and Tugu Selatan Village; and (2) analyze the inconsistencies
between the actual land use and the ideal criteria of land use allocation. Dominant

land use in Tugu Utara village is a tea plantation (area of 36% of the village),
while the dominant land use in Tugu Selatan village is a forest (area of 60% of the
village). Inconsistency of the actual land use according to the allocation based on
Bogor District Spatial Plan 2005-2025 found in protected forest areas with actual
land use as a tea plantation with an area of 580 ha.
Key words: Land Use Inconsistencies, Puncak area, Spatial Planning Regulation,
Forest Status

AUDIT TATA RUANG DESA TUGU UTARA DAN
DESA TUGU SELATAN KAWASAN PUNCAK

LUTFIA NURSETYA FUADINA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Audit Tata Ruang Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan
Kawasan Puncak
Nama
: Lutfia Nursetya Fuadina
NIM
: A14100064

Disetujui oleh

Dr Ir Ernan Rustiadi, MAgr
Pembimbing I

La Ode Syamsul Iman, MSi
Pembimbing II


Diketahui oleh

Dr Ir Baba Barus, MSc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat-Nya, sehingga karya ilmiah
ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan
sejak bulan Maret 2014 ini ialah inkonsistensi penggunaan lahan, dengan judul
Audit Tata Ruang Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan Kawasan Puncak.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Ernan Rustiadi, MAgr selaku
dosen pembimbing akademik sekaligus pembimbing skripsi yang senantiasa
memberikan ilmu, bimbingan, dan motivasi selama masa studi di Departemen
Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. Terima kasih kepada La Ode Syamsul Iman,
MSi selaku dosen pembimbing skripsi kedua atas ilmu, bimbingan dan saran
dalam penyempurnaan penulisan skripsi.
Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:
1.

2.

3.
4.

5.

6.

7.
8.
9.

Dr Ir Baba Barus, MSc selaku dosen penguji yang telah memberikan saran
dan masukan bagi penulis dalam penyempurnaan skripsi ini.
Bappeda Kabupaten Bogor dan Pemerintah Desa Tugu Utara dan Desa Tugu
Selatan serta masyarakat desa atas bantuan, penerimaan dan kerjasamanya
dengan baik.
Tim COMDEV P4W IPB atas ilmu dan bimbingan saat observasi lapang.
Ibunda Nurmawati dan adik Silfia serta seluruh keluarga yang telah

memberikan doa dan kepercayaan kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan pendidikan S1 ini.
Dyah Retno Panuju, MSi dan Setyardi P. Mulya, MSi serta seluruh dosen dan
staf Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan yang telah memberikan
ilmu dan bimbingannya.
Sahabat seperjuangan Laboratorium Perencanaan dan Pengembangan
Wilayah 47 Emi, Andang, Zulfa, Angela, Dwi, Salimah, Aeni, Ardy atas
kebersamaan dan dukungan selama penelitian.
Novianti, Asti, Ria, Ayu, Tria, Yohanna, Karjono, Sudi, Miftah, dan keluarga
besar ITSL 47 atas kerjasama dan kebersamaannya.
Sahabat terdekat Adisty, Maulina, Rida, Nunik, Vega, Aris atas dukungan dan
motivasinya.
Seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam penelitian yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2014
Lutfia Nursetya Fuadina

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vii

PENDAHULUAN



Latar Belakang




Tujuan Penelitian



TINJAUAN PUSTAKA



Lahan dan Penggunaan Lahan/Penutupan Lahan



Tata Ruang dan Penataan Ruang



Inkonsistensi Tata Ruang




Kawasan Hutan



Kawasan Lindung



Kawasan Puncak



Audit Tata Ruang Kawasan Puncak



METODE PENELITIAN




Waktu dan Lokasi Penelitian



Jenis Data dan Sumber Data



Analisis



HASIL DAN PEMBAHASAN

13 

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

13 

Pola Ruang, Status Kawasan Hutan, Kelas Kemampuan Lahan dan
Penggunaan Lahan

15 

Analisis Inkonsistensi Penggunaan Lahan Aktual berdasarkan RTRW

22 

Inkonsistensi Penggunaan Lahan berdasarkan Status Kawasan, Kelas
Kemampuan Lahan, dan RTRW

26 

SIMPULAN DAN SARAN

35 

Simpulan

35 

Saran

36 

DAFTAR PUSTAKA

36 

LAMPIRAN

39 

RIWAYAT HIDUP

46 

DAFTAR TABEL
1. Data spasial yang digunakan
2. Matrik Logika Inkonsistensi Penggunaan Lahan di Desa Tugu
Utara dan Desa Tugu Selatan 2012 dengan RTRW Kabupaten
Bogor
3. Luas (Ha) dan Proporsi (%) Pola Ruang dalam RTRW Kab.
Bogor 2005-2025
4. Luas (Ha) dan Proporsi (%) Status Kawasan Hutan
5. Luas (Ha) dan Proporsi (%) Kelas Kemampuan Lahan
6. Resume Luas (Ha) dan Proporsi (%) Kelas Kemampuan Lahan
7. Luas (Ha) dan Proporsi Luas (%) Penggunaan Lahan Desa Tugu
Utara dan Desa Tugu Selatan
8. Luas Inkonsistensi Penggunaan Lahan Desa Tugu Utara dan Desa
Tugu Selatan
9. Urutan 10 Besar Luas (Ha) dan Proporsi Luas (%) Kombinasi
Inkonsistensi Penggunaan Lahan terhadap Pertukan Ruang dalam
RTRW Desa Tugu Utara
10. Urutan 10 Besar Luas (Ha) dan Proporsi Luas (%) Kombinasi
Inkonsistensi Penggunaan Lahan terhadap Pertukan Ruang dalam
RTRW Desa Tugu Selatan
11. Luas Bentuk Inkonsistensi Penggunaan Lahan (Ha)
12. Deskripsi Hasil Observasi Lapang Kuadran I
13. Deskripsi Hasil Observasi Lapang Kuadran II
14. Deskripsi Hasil Observasi Lapang Kuadran III
15. Deskripsi Hasil Observasi Lapang Kuadran IV

8

12
16
18
19
20

21
23

24

24
27
29
31
33
35

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.

Lokasi Penelitian
Diagram Alir Metode Penelitian
Diagram Alir Penentuan Konsistensi Penggunaan Lahan
Matrik Kesesuaian Penggunaan Lahan terhadap RTRW dan
Status Kawasan Hutan
5. Penutupan Lahan DAS Ciliwung
6. Peta rencana pola ruang menurut RTRW Kabupaten Bogor (a),
Peta Status Kawasan Hutan (b), Peta Kelas Kemampuan Lahan
(c), dan Peta Penggunaan Lahan Desa Tugu Utara dan Desa Tugu
Selatan (d)
7. Proporsi Penggunaan Lahan Desa Tugu Utara dan Desa Tugu
Selatan
8. Peta Inkonsistensi antara Penggunaan Lahan terhadap Pola Ruang
dalam RTRW
9. Jumlah Poligon Inkonsistensi Desa Tugu Utara dan Desa Tugu
Selatan
10. Inkonsistensi Penggunaan Lahan berdasarkan RTRW, SK, dan
KL

7
10
11
13
14

16
22
23
25
27

11. Bentuk Inkonsistensi pada K1.1 (a), Bentuk Inkonsistensi pada
K1.2 (b)
12. Peta Inkonsistensi Kuadran I
13. Bentuk Inkonsistensi pada K2.1 (a), Bentuk Inkonsistensi pada
K2.2 (b)
14. Peta Inkonsistensi Kuadran II
15. Bentuk Inkonsistensi pada K3.1 (a), Bentuk Inkonsistensi pada
K3.2 (b)
16. Peta Inkonsistensi Kuadran III
17. Bentuk Inkonsistensi pada K4.1 (a), dan Bentuk Inkonsistensi
pada K4.2 (b)
18. Peta Inkonsistensi Kuadran IV

28
28
30
30
32
33
34
34

DAFTAR LAMPIRAN
1. Dokumentasi Wawancara Terfokus
2. Kombinasi Penggunaan Lahan dengan RTRW, SK, KL

39
40

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kawasan Puncak merupakan salah satu kawasan di Indonesia yang dalam
sistem pengelolaannya membutuhkan penanganan khusus dari pemerintah.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008, Kawasan Jakarta, Bogor,
Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur (Jabodetabekpunjur) adalah
kawasan strategis nasional yang penataan ruangnya diprioritaskan karena
mempunyai pengaruh sangat penting terhadap kedaulatan negara, ekonomi, sosial,
budaya, lingkungan, dan termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan
dunia. Arti penting kawasan Puncak tersebut terkait dengan berbagai macam
fungsi dan manfaat strategis yang memiliki pengaruh yang cukup besar bagi
masyarakat dan wilayah sekitarnya.
Pengelolaan kawasan strategis Puncak diarahkan untuk terselenggaranya
keseimbangan ekologi sebagai kawasan resapan air dan pengendali banjir (Perpres
54/2008). Fungsi ekologi ini terkait dengan keberadaan kawasan hutan yang
merupakan sumber plasma nutfah yang kaya keberagaman flora dan fauna khas
tropis yang perlu dijaga kelestariannya. Lebih kurang 1.000 jenis flora dengan 57
famili ditemukan di kawasan ini, yang tergolong tumbuhan berbunga
(Spermatophyta) 925 jenis, tumbuhan paku 250 jenis, lumut 123 jenis, dan jenis
ganggang, Spagnum, jamur dan jenis-jenis Thalophyta lainnya (Statistik TNGP
2007). Fungsi ekologi penting kawasan Puncak selanjutnya adalah Puncak
merupakan hulu dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung yang mengalir ke
wilayah Jakarta. Pengelolaan ekosistem DAS bagian hulu mempengaruhi
keberlanjutan ekosistem DAS bagian hilir.
Berdasarkan manfaat strategis dan keindahan alamnya, kawasan Puncak
menjadi salah satu lokasi tujuan pariwisata unggulan di Provinsi Jawa Barat
(Disparbud 2003). Tingginya permintaan penguasaan lahan di kawasan Puncak
oleh berbagai pihak yang mengakibatkan kawasan ini menjadi tujuan investasi
yang memberikan keuntungan ekonomi secara pribadi. Sarana penunjang
pariwisata seperti hotel/villa, restoran, dan pusat perbelanjaan tumbuh menjamur
di sepanjang jalur Puncak yang seharusnya merupakan tanah milik negara.
Kecenderungan pembangunan yang bersifat eksploitatif tersebut banyak
merupakan hasil dari alih fungsi lahan kawasan hutan maupun lahan perkebunan.
Pembangunan yang tidak menghiraukan keseimbangan ekologi tersebut berakibat
pada penurunan kualitas lingkungan, seperti berkurangnya kapasitas resapan air di
hulu DAS Ciliwung sehingga berdampak akumulatif terhadap terjadinya banjir di
bagian hilir.
Audit tata ruang merupakan upaya pengendalian yang dilakukan untuk
penertiban pemanfaatan ruang. Urgensi dilaksanakannya audit tata ruang terkait
dengan upaya preventif untuk mengurangi dampak degradasi lingkungan yang
terjadi pada masa yang akan datang. Pemanfaatan ruang yang ideal merupakan
bentuk pemanfaatan yang sesuai dengan pola ruang dalam RTRW, tidak
melanggar status kawasan hutan, serta sesuai dengan derajat kemampuan
lingkungan fisik lahan. Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007, audit atau
pengawasan merupakan bagian dari penyelenggaraan penataan ruang. Penelitian

2
ini dilakukan untuk mengaudit kesesuaian penggunaan lahan di Desa Tugu Utara
dan Desa Tugu Selatan terhadap kelas kemampuan lahan, status kawasan hutan
berdasarkan Surat Kementerian Kehutanan Tahun 2010, dan pola ruang
berdasarkan RTRW dalam Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 19 Tahun
2008.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk (1) mengidentifikasi distribusi
spasial pola ruang berdasarkan RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025, status
kawasan hutan berdasarkan SK Kementerian Kehutanan, kelas kemampuan lahan,
dan penggunaan lahan aktual di Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan, dan (2)
menganalisis inkonsistensi antara penggunaan lahan aktual Desa Tugu Utara dan
Desa Tugu Selatan dengan kriteria ideal peruntukan pemanfaatan ruang.

TINJAUAN PUSTAKA
Lahan dan Penggunaan Lahan/Penutupan Lahan
Lahan adalah salah satu sumberdaya alam yang paling penting untuk
kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia. Lahan merupakan platform
dimana aktivitas manusia berlangsung. Penggunaan lahan merupakan elemen
dasar dalam aktivitas manusia. Konsep penggunaan lahan mengacu pada
serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menghasilkan satu atau lebih produk
atau jasa (Supreme Audit Institutions 2013). Menurut Hardjowigeno dan
Widiatmaka (2007) penggunaan lahan dapat dibedakan menjadi penggunaan lahan
perdesaan (rural land use) dan penggunaan lahan perkotaan (urban land use).
Penggunaan lahan perdesaan dititik beratkan pada produksi pertanian, sedangkan
penggunaan lahan perkotaan dititik beratkan pada tujuan untuk tempat tinggal.
Penggunaan lahan berdasarkan Arsyad (2006) dapat dikelompokkan ke
dalam dua golongan besar yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan
lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan berdasarkan atas
penyediaan air dan komoditi yang diusahakan dan dimanfaatkan atau atas jenis
tumbuhan atau tanaman yang terdapat di atas lahan tersebut. Berdasarkan hal ini
dikenal macam penggunaan lahan seperti tegalan (pertanian lahan kering atau
pertanian pada lahan tidak beririgasi), sawah, kebun, kopi, kebun karet, padang
rumput, hutan produksi, hutan lindung, padang alang-alang, dan sebagainya.
Sedangkan penggunaan lahan bukan pertanian dapat dibedakan ke dalam lahan
kota atau desa (pemukiman), industri, rekreasi, pertambangan, dan sebagainya.
Tata Ruang dan Penataan Ruang
Segala bentuk pemanfaatan ruang di suatu wilayah telah diatur dalam
dokumen tata ruang. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, tata
ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. Struktur ruang merupakan
susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang

3
berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara
hierarkis memiliki hubungan fungsional. Pola ruang merupakan distribusi
peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk
fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya. Penggunaan lahan
pada kawasan lindung dan kawasan budidaya diatur dalam dokumen Tata Ruang
atau biasa disebut RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah). RTRW pada dasarnya
merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi manusia/makhluk
hidup dengan lingkungannya dapat berjalan serasi, selaras, dan seimbang untuk
tercapainya kesejahteraan manusia serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan
pembangunan. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang
penataan ruang, sistem perencanaan tata ruang wilayah diselenggarakan secara
berhirarkis menurut kewenangan administratif, yakni dalam bentuk RTRW
Nasional, RTRW Propinsi dan RTRW Kabupaten/Kota serta rencana-rencana
yang sifatnya lebih rinci (Hariyanto dan Tukidi 2007).
Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Prinsip penataan ruang
adalah pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, efektif dan
efisien, serasi, selaras, seimbang, berkelanjutan, keterbukaan, persamaan, keadilan,
dan perlindungan hukum. Adapun penataan ruang bertujuan untuk
terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan, terselenggaranya
pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan budidaya, serta
tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas. Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007, pada pasal 3 termuat tujuan penataan ruang, yaitu
mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan
berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan:
a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; b.
terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam dan sumberdaya
buatan dengan memperhatikan sumberdaya manusia; dan c. terwujudnya
pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan
akibat pemanfaatan ruang terhadap lingkungan.
Berdasarkan Rustiadi (2007), urgensi atas penataan ruang timbul sebagai
akibat dari tumbuhnya kesadaran akan pentingnya intervensi publik atau collective
action terhadap kegagalan mekanisme pasar (market failure) dalam menciptakan
pola dan stuktur ruang yang sesuai dengan tujuan bersama. Sehingga penataan
ruang merupakan bentuk intervensi positif atas kehidupan sosial dan lingkungan
guna meningkatkan kesejahteraan yang berkelanjutan. Secara lebih spesifik,
penataan ruang dilakukan sebagai: (1) optimasi pemanfaatan sumberdaya, (2) alat
dan wujud distribusi sumberdaya (mobilisasi dan alokasi pemanfaatan
sumberdaya), dan (3) menjaga keberlanjutan pembangunan.
Inkonsistensi Tata Ruang
Pembangunan yang pesat di beberapa sektor sangat berkaitan dengan
tingginya kebutuhan untuk memanfaatkan ruang. Setiap kegiatan pemanfaatan
ruang seharusnya mengacu pada dokumen RTRW yang telah ditetapkan.
Berdasarkan Rustiadi (2007), RTRW adalah acuan formal pemanfaatan ruang,
tetapi fakta lapangan menunjukkan terjadinya Master Plan Syndrome, karena
penyelenggaraan penataan ruang saat ini hanya mampu diwujudkan hingga

4
sebatas dokumen rencana namun sulit diimplementasikan. Hal tersebut
dikarenakan dokumen perencanaan belum efektif menjadi instrumen pengendali
pemanfaatan ruang dan pengelolaan sumberdaya. Menurut Rustiadi et al. (2011),
alih fungsi lahan merupakan bentuk dan konsekuensi logis dari perkembangan
potensial land rent di suatu lokasi. Oleh karenanya proses alih fungsi lahan dapat
dipandang sebagai pergeseran dinamika alokasi dan distribusi sumberdaya menuju
keseimbangan baru yang lebih produktif.
Inkonsistensi tata ruang merupakan pemanfaatan ruang yang tidak sesuai
dengan pola ruang yang tercantum dalam dokumen RTRW. Bentuk pelanggaran
tata ruang yang umum terjadi adalah pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan
fungsi kawasan, seperti pemanfaatan ruang untuk tujuan budidaya yang dilakukan
di kawasan lindung. Masalah yang timbul dalam perubahan peruntukan dan fungsi
kawasan yaitu karena perubahan dilakukan tidak melalui mekanisme yang telah
diatur, serta tidak/belum diperolehnya rekomendasi tim terpadu yang menyatakan
bahwa perubahan tersebut tidak mengganggu ekologis, sementara telah dilakukan
pemanfaatan kawasan dan lahan yang telah berubah tersebut. Perilaku tersebut
akan mengakibatkan terganggunya fungsi lingkungan pada kawasan lindung dan
menimbulkan kerugian sosial (Buletin Tata Ruang 2012).
Kawasan Hutan
Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi
sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam lingkungannya yang
satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Kawasan hutan merupakan wilayah
tertentu yang ditunjuk atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahahankan
keberadaannya sebagai hutan tetap (Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009).
Dikutip dari Buleting Tata Ruang (2012), bahwa penetapan kawasan hutan
dicirikan dengan telah dikukuhkannya kawasan hutan yang meliputi tahapan
penunjukan, tata batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan serta adanya
institusi pengelola di tingkat tapak dalam bentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan
(KPH).
Perubahan fungsi kawasan hutan adalah perubahan antar fungsi pokok
kawasan atau perubahan dari Hutan Lindung (HL) ke Hutan Produksi Terbatas
(HPT) atau perubahan dari Cagar Alam (CA) ke Taman Nasional (TN).
Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dapat ditempuh melalui
perubahan di tingkat provinsi yang pelaksanaannya dilakukan bersamaan dengan
proses revisi RTRWP atau dapat dilakukan secara parsial. Perubahan peruntukan
secara parsial yang berasal dari kawasan Hutan Produksi yang dapat dikonversi
(HPK) dapat dilakukan melalui mekanisme pelepasan kawasan hutan. Sedangkan
perubahan peruntukan kawasan HPT dan Hutan Produksi Tetap (HP)
dilaksanakan melalui tukar-menukar kawasan hutan. Perubahan peruntukan dan
fungsi yang saat ini banyak terjadi dilakukan dalam rangka penyesuaian dengan
pola ruang dalam revisi RTRWP.
Kawasan Lindung
Berdasarkan Rustiadi et al (2011), istilah kawasan digunakan karena
adanya penekanan fungsional suatu wilayah. Dikutip dari Kamus Tata Ruang

5
dalam Adisasmita (2010), kawasan merupakan wilayah dengan fungsi utama
lindung atau budidaya, ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap
unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek
fungsional serta memiliki ciri tertentu (spesifik/khusus). Berdasarkan UndangUndang Nomor 26 Tahun 2007, kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan
dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup
sumberdaya alam dan sumberdaya buatan. Dengan semakin terbatasnya ruang,
maka untuk menjamin terselenggaranya kehidupan dan pembangunan yang
berkelanjutan dan terpeliharanya fungsi pelestarian lingkungan, maka upaya
pengaturan dan perlindungan terhadap kawasan lindung perlu diatur dalam
kebijakan pengembangan pola pemanfaatan ruangnya (Adisasmita 2010).
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang
Pengelolaan Kawasan Lindung, pengelolaan kawasan lindung bertujuan untuk
mencegah timbulnya kerusakan fungsi lingkungan hidup. Kawasan lindung
meliputi: (1) kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya
(kawasan hutan lindung, kawasan bergambut, kawasan resapan air), (2) kawasan
perlindungan setempat (sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar
danau/waduk, kawasan sekitar mata air), (3) kawasan suaka alam dan cagar
budaya, dan (4) kawasan rawan bencana alam. Kawasan lindung memiliki sifat
khas yang mampu memberikan perlindungan kepada kawasan sekitar maupun
bawahnya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi, serta memelihara
kesuburan tanah.
Kawasan Puncak
Kawasan Puncak tergolong kawasan strategis dan memperoleh prioritas
penanganan berdasarkan kepentingan sosial ekonomi dan lingkungan di
Kabupaten Bogor. Dalam Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2008 tentang
RTRW Kabupaten Bogor tahun 2005-2025, pengembangan kawasan strategis
Puncak sebagai kawasan wisata dan konservasi dengan tetap mempertahankan
pelestarian lingkungan hidup. Rencana pengelolaan kawasan strategis Puncak
diarahkan untuk terselengaranya keseimbangan ekologi sebagai kawasan resapan
air dan pengendali banjir, meliputi: (1) Kecamatan Cisarua, (2) Kecamatan
Megamendung, (3) sebagian wilayah Kecamatan Ciawi.
Penataan ruang Kawasan Puncak diatur dalam Peraturan Presiden Nomor
54 Tahun 2008, tentang penataan ruang kawasan Jabodetabekpunjur (Jakarta,
Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur). Dalam Pasal 3 dikemukakan
bahwa tujuan penataan ruang Kawasan Jabodetabekpunjur memiliki peran sebagai
acuan bagi penyelenggaraan pembangunan yang berkaitan dengan upaya
konservasi air dan tanah, upaya menjamin tersedianya air tanah dan air permukaan,
penanggulangan banjir, dan pengembangan ekonomi untuk kesejahteraan
masyarakat. Fungsi perlindungan keseimbangan tata-guna air tidak dapat
dipisahkan dengan ada/tidaknya daerah hutan yang berfungsi sebagai daerah
resapan air. Berdasarkan data Forest Watch Indonesia (2011), telah terjadi
deforestasi seluas 4.758,03 Ha di kawasan hutan lindung Puncak. Dari enam DAS
di Kabupaten Bogor yang mengalir ke Propinsi DKI Jakarta, hanya DAS
Ciliwung yang memiliki tutupan hutan dengan seluas 3.565 Ha (12,22%). Secara
total presentase tutupan hutan dari enam buah DAS yang mengalir ke Propinsi

6
DKI Jakarta hanya 4,30%, sangat kritis untuk menyangga Jakarta. Jika tutupan
hutan di wilayah DAS bagian hulu tidak terjaga maka kapasitas tanah dalam
menahan air akan berkurang. Sehingga mempercepat laju intrusi air laut ke
daratan yang dapat berakibat penurunan permukaan tanah (Forest Watch
Indonesia 2011).
Audit Tata Ruang Kawasan Puncak
Penggunaan lahan dan pengelolaan lahan merupakan masalah yang
melibatkan banyak pemangku kepentingan yang berdampak pada sektor ekonomi,
sosial, dan lingkungan. Akibatnya, perencanaan dan manajemen yang efektif
diperlukan untuk merekonsiliasi tujuan para pemangku kepentingan untuk
membawa mereka bersama-sama merumuskan penggunaan lahan yang
berkelanjutan. Keputusan penggunaan lahan yang tidak tepat dapat
mengakibatkan perubahan besar pada lingkungan termasuk DAS dan kualitas air.
Pemerintah memainkan peran penting dalam pelaksanaan kebijakan dalam
penggunaan lahan. Pemerintah mengatur eksploitasi sumberdaya dan mengontrol
penggunaan lahan. Pemerintah mengatur penggunaan lahan melalui berbagai
instrumen, yang meliputi peraturan seperti Undang-Undang maupun izin
(Supreme Audit Institutions 2013).
Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
dijelaskan bahwa perlu dilaksanakan pengawasan penataan ruang agar
penyelenggaraan penataan ruang dapat diwujudkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Audit tata ruang merupakan salah satu upaya
pengawasan penataan ruang. Kawasan yang saat ini sedang diaudit adalah
Jabodetabekpunjur (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan
Cianjur). Standart penataan ruang kawasan tersebut diatur secara khusus dalam
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang kawasan
Jabodetabekpunjur.
Terjadinya krisis lingkungan akibat menurunnya tutupan hutan di hulu DAS
Ciliwung berpotensi akan makin parah bila tidak dilakukan upaya mengembalikan
dan rehabilitasi sesuai fungsi kawasan lindung. Ketidaksesuaian praktek
penggunaan lahan di kawasan Puncak dapat diketahui dari tingginya
penyalahgunaan kawasan lindung menjadi kawasan terbangun. Penyalahgunaan
lahan tersebut terjadi karena pembangunan yang dilakukan oleh pengembang
tidak sesuai dengan persyaratan perizinan. Pembangunan tersebut antara lain
pembangunan villa di kawasan resapan air. Berdasarkan Rukmana dalam berita
Penataan Ruang (2013), di antara lahan yang dipetakan, cukup banyak yang
penggunannya tidak sesuai dengan peruntukan sebenarnya. Misalnya, kawasan
yang seharusnya menjadi kawasan lindung menjadi lokasi industri dan
pergudangan. Apabila indikasi penyalahgunaan terbukti jelas, pemerintah secara
tegas akan mengenakan sanksi. Sanksi administrasi berupa pembongkaran
bangunan dan penarikan izin, sementara sanksi pidana bisa berupa hukuman
penjara dan denda. Audit didesain untuk mengidentifikasi implikasi dari
penggunaan lahan eksisting serta mengidentifikasi inkonsistensi dengan
perencanaan maupun regulasi. Tujuan pelaksanaan audit untuk menjamin bahwa
perencanaan penggunaan lahan dapat diimplementasikan di bawah regulasi yang
telah ditetapkan (Taylor 2013).

7

METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan,
Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor. Analisis data dilakukan di Studio Bagian
Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB, serta di Pusat Pengkajian
Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) LPPM IPB. Penelitian
berlangsung mulai dari bulan Maret 2014 sampai Agustus 2014. Lokasi penelitian
ditunjukkan pada Gambar 1.

Jenis Data dan Sumber Data

Gambar 1 Lokasi Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer, data
spasial, dan data dokumen informasi penting terkait penelitian. Data primer
diperoleh dengan melakukan pengecekan lapangan disertai pengambilan titik
pengamatan dengan bantuan alat GPS serta wawancara terfokus. Data spasial
yang digunakan berupa: citra Ikonos Kabupaten Bogor tahun 2012, peta Pola
Ruang dan dokumen RTRW Kabupaten Bogor tahun 2005-2025, peta status hutan
kawasan Puncak, peta kemampuan lahan Kecamatan Cisarua, peta jalan dan peta
sungai Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan dan peta administrasi Kabupaten
Bogor. Perangkat yang digunakan berupa komputer yang dilengkapi dengan
perangkat lunak pemetaan. Peralatan lainnya yang digunakan adalah Global
Positioning System (GPS) dan kamera digital. Data spasial yang digunakan untuk
penelitian ditunjukkan pada Tabel 1.

8
Tabel 1 Data spasial yang digunakan
No
.

Jenis data

Skala Resolusi
Sumber data dan Informasi
Spasial

1. Peta administrasi Jawa Barat
tahun 2007
2. Peta RTRW Kabupaten Bogor
tahun 2005-2025
3. Peta status hutan

1 : 100.000

Bappeda Prov. Jawa Barat

1 : 50.000

Bappeda Kab. Bogor

1 : 50.000

4. Peta tanah Kecamatan Cisarua

1 : 50.000

5. Peta jalan

1 : 25.000

6. Peta sungai

1 : 25.000

Dirjen Planologi
Kementerian Kehutanan
Balai Besar Sumberdaya
Lahan Pertanian
RBI BIG, lembar 1209-141
dan 1209-142
RBI BIG, lembar 1209-141
dan 1209-142
Diunduh dari
www.earthexplorer.usgs.gov

Elevation
Model
7. Digital
kawasan Puncak (SRTM 2
acrsecond)
kemampuan
lahan
8. Peta
Kecamatan Cisarua
9. Peta penggunaan lahan

1 : 25.000
1 : 25.000

Diekstrak dari Peta Sistem
Lahan (RePPPROT 1998)
Interpretasi visual citra
Ikonos 2012

Analisis
Penelitian ini terbagi menjadi tiga tahap, yaitu: 1) tahap persiapan,
pengumpulan data, dan observasi lapang, 2) analisis spasial, 3) analisis data dan
wawancara terfokus. Tahap analisis dalam penelitian ditunjukkan pada Gambar 2.
Berikut penjelasan secara rinci analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini :
Analisis Pengolahan Data Spasial
Pada penelitian ini, analisis peruntukan pemanfaatan ruang diperoleh dari
peta RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025, peta status kawasan hutan, dan peta
kelas kemampuan lahan. Pembuatan peta kelas kemampuan lahan diawali dengan
pendetilan peta sistem lahan dan digitasi landform pada SRTM DEM. Kelas
kemampuan lahan ditentukan berdasarkan faktor pembatas yang paling berat,
yaitu kemiringan lereng. Selanjutnya analisis penggunaan lahan dilakukan dengan
klasifikasi visual terhadap citra Ikonos tahun 2012. Sebelum proses digitasi
dilakukan, terlebih dahulu dilakukan koreksi geometri dengan maksud agar
memiliki sistem referensi dan acuan sistem koordinat yang sama. Sistem proyeksi
koordinat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sistem UTM dengan datum
WGS 84 pada zona 48S. Citra Ikonos terlebih dahulu direktifikasi pada peta jalan
dan peta sungai Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan untuk mempermudah
melihat objek yang sama pada peta topografi dan citra yang akan dikoreksi.
Koreksi geometri dilakukan pada perangkat lunak pemetaan dengan menentukan
titik control GCP (Ground Control Point) sebanyak 4 titik yang berbeda. Akurasi
koreksi geometri diukur dengan nilai RMS-Error (Root Mean Square-Error).

9
Selanjutnya dilakukan digitasi penggunaan lahan pada peta administrasi
Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan skala 1:5000 terhadap citra yang sudah
dikoreksi. Unsur-unsur interpretasi yang digunakan adalah: (1) rona ialah warna
atau kecerahan relatif obyek pada foto, (2) bentuk ialah konfigurasi atau kerangka
suatu obyek, (3) pola ialah hubungan susunan spasial obyek, (4) tekstur ialah
frekuensi perubahan rona pada citra fotografi, (5) ukuran ialah pertimbangan
bentuk obyek sehubungan dengan skala foto, (6) situs ialah hubungan obyek
dengan obyek yang lain (Lillesand et al. 2004). Pada citra Ikonos 2012 di lokasi
penelitian, klasifikasi penggunaan lahan dalam penelitian ini dibedakan menjadi
sembilan kelas, antara lain :
1. Hutan
Hutan merupakan suatu hamparan ekosistem sumberdaya alam hayati yang
didominasi pepohonan (Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999). Hutan
diinterpretasi berwarna hijau gelap, bertekstur kasar dengan pola
berkelompok.
2. Kebun teh
Kebun teh merupakan bentuk pertanian budidaya dengan komoditas utama
tanaman teh. Kebun teh dinterpretasi berwarna hijau muda, bertekstur halus
dengan pola berkelompok.
3. Kebun campuran
Kebun campuran merupakan bentuk budidaya pertanian lahan kering dengan
komoditas yang beragam (mix farming) dan biasanya campuran antara
tanaman budidaya dan pohon berkayu. Kebun campuran diinterpretasi
berwarna hijau bercampur coklat, bertekstur kasar dengan pola menyebar.
4. Sawah
Sawah merupakan bentuk budidaya pertanian lahan basah dengan komoditas
utama tanaman padi. Sawah diinterpretasi berwarna hijau muda bercampur
abu-abu dan biru, dengan bentuk persegi panjang, bertekstur halus dan
berpola berkelompok.
5. Tegalan
Tegalan merupakan bentuk pertanian budidaya pertanian lahan kering dengan
komoditas yang beragam dan biasanya dominan tanaman palawija pada satu
petak lahan. Tegalan diinterpretasi berwarna coklat bercampur hijau, dengan
bentuk persegi panjang, bertekstur agak halus dan pola berkelompok.
6. Semak/lahan terbuka
Semak merupakan lahan yang ditumbuhi rumput maupun alang-alang dengan
kerapatan jarang. Lahan terbuka merupakan lahan tanpa penutup vegetasi.
Semak/lahan terbuka diinterpretasi berwarna coklat sedikit bercampur hijau,
bertekstur agak halus dan pola berkelompok.
7. Pemukiman
Pemukiman merupakan lahan terbangun dengan bentuk bangunan rumah,
perkantoran, pertokoan, industri, maupun jasa. Pemukiman diinterpretasi
berwarna merah bercampur biru dan kuning, bertekstur halus, berpola
mengelompok, berbentuk memanjang di sekitar jalan raya.
8. Emplasmen
Emplasmen merupakan bangunan selain pemukiman berupa pabrik, lapangan
tenis dan juga lahan terbuka seperti lapangan. Emplasmen diinterpretasi
berwarna abu-abu, hijau, dan coklat dengan pola menyebar.

10
9.

Villa
Villa merupakan bangunan rumah yang diinterpretasi berwarna merah
bercampur biru dan kuning, memiliki asosiasi berupa halaman luas dan
terdapat kolam renang, dengan pola menyebar.

Citra Ikonos 2012

Peta Jalan dan Peta Sungai Desa
Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan

Koreksi Geometri

Subset (Batas Desa Tugu
Utara dan Tugu Selatan)

Digitasi Penggunaan
Lahan Skala 5000
(Klasifikasi 9 Kelas)

Peta Penggunaan Lahan
Detil Desa Tugu Utara dan
Desa Tugu Selatan 2012

Peta RTRW Kabupaten
Bogor 2005-2025

Peta Sistem Lahan dan
SRTM DEM

Digitasi landform
berdasarkan DEM

Pendetilan peta sistem lahan
dan penentuan KKL

Peta Kelas Kemampuan
Lahan Desa Tugu Utara
dan Desa Tugu Selatan

Peta Fungsi Kawasan
Hutan Puncak

Clip (Batas Desa Tugu
Utara dan Tugu Selatan)

Peta Status Hutan Desa
Tugu Utara dan Tugu
Selatan

Tumpang tindih

Peta Penggunaan Lahan
berdasarkan Kemampuan Lahan
dan Fungsi Kawasan Desa Tugu
Utara dan Desa Tugu Selatan

Matrik Logika
Inkonsistensi

Peta Inkonsistensi Pemanfaatan
Ruang Desa Tugu Utara dan Desa
Tugu Selatan 2012

Audit Tata Ruang Desa Tugu
Utara dan Desa Tugu Selatan

Gambar 2 Diagram Alir Metode Penelitian

11
Analisis Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang
Bentuk inkonsistensi pemanfaatan ruang di Desa Tugu Utara dan Desa Tugu
Selatan diketahui dengan tumpang tindih (overlay) peta penggunaan lahan dengan
peta kemampuan lahan, peta status kawasan hutan (SK), dan peta RTRW. Peta
hasil tumpang tindih di-query berdasarkan matrik logik inkonsistensi (Tabel 2)
yang menghasilkan peta inkonsistensi pemanfaatan ruang Desa Tugu Utara dan
Desa Tugu Selatan. Berdasarkan Rustiadi et al. (2011), matrik logika tersebut
didasarkan pada konsep land rent (nilai ekonomi lahan), yaitu suatu alih fungsi
lahan yang berlangsung dari aktivitas dengan land rent yang lebih rendah ke
aktivitas dengan land rent yang lebih tinggi. Pergeseran penggunaan lahan
berlangsung secara searah dan bersifat irreversible (tidak dapat balik), seperti
lahan-lahan hutan yang sudah dikonversi menjadi lahan pertanian umumnya sulit
dihutankan kembali. Sektor-sektor yang komersial dan strategis mempunyai land
rent yang tinggi. Sebaliknya sektor-sektor yang kurang mempunyai nilai
komersial nilai land rent-nya semakin kecil (Barlowe dalam Rustiadi et al. 2011).
Diagram alir penentuan konsistensi penggunaan lahan terdapat dalam Gambar 3.
Penggunaan
Lahan (PL)

RTRW Kab.
Bogor 2005-2025

Tumpang
tindih

Sama

Konsisten

Tidak sama

Land Rent RTRW
vs
Land Rent PL

Land Rent RTRW

Land Rent PL

Konsisten

Land Rent RTRW

Land Rent PL

Pemanfaatan

Dimanfaatkan

Tidak dimanfaatkan
(semak/lahan terbuka)

Inkonsisten

Konsisten

Gambar 3 Diagram Alir Penentuan Konsistensi Penggunaan Lahan

12
Tabel 2 Matrik Logika Inkonsistensi Penggunaan Lahan di Desa Tugu Utara dan
Desa Tugu Selatan 2012 dengan RTRW Kabupaten Bogor
No
1
2
3
4
5

Peruntukan
(RTRW)
Hutan
Konservasi
Hutan
Lindung
Kws.
Perkebunan
Pertanian
Lahan Kering
Kws.
Permukiman

FOR
V

Penggunaan Lahan Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan
TEA GAR RIC
MOR OPE BSE BEM BVI
X
X
X
X
X
X
X
X

V

X

X

X

X

X

X

X

X

V

V

X

X

X

X

X

X

X

V

V

V

V

V

X

X

X

X

V

V

V

V

V

X

V

V

V

Keterangan: V = Konsisten, X = Inkonsisten; FOR = Hutan, Tea = Kebun teh,
GAR = Kebun campuran, RIC = Sawah, MOR = Tegalan, OPE =
Semak/Lahan terbuka, BSE = Pemukiman, BEM = Emplasmen, BVI =
Villa
Selanjutnya, masing-masing poligon dikombinasikan berdasarkan
penggunaan lahan, kelas kemampuan lahan, status kawasan hutan, dan pola ruang.
Kemudian dilakukan pengelompokan kombinasi yang diperoleh berbagai macam
kelompok bentuk penggunaan lahan yang kemudian disederhanakan menjadi
delapan kelas, yaitu : K1.1 adalah penggunaan lahan sesuai dengan pola ruang dan
kelas kemampuan lahan sesuai dengan status kawasan hutan (pola ruang sesuai
dengan status kawasan hutan); K1.2 adalah penggunaan lahan sesuai dengan pola
ruang dan kelas kemampuan lahan sesuai dengan status kawasan hutan (pola
ruang tidak sesuai dengan status kawasan hutan); K2.1 adalah penggunaan lahan
sesuai dengan pola ruang, kelas kemampuan lahan tidak sesuai dengan status
kawasan hutan (pola ruang sesuai dengan status kawasan hutan); K2.2 adalah
penggunaan lahan sesuai dengan pola ruang, kelas kemampuan lahan tidak sesuai
dengan status kawasan hutan (pola ruang tidak sesuai dengan status kawasan
hutan); K3.1 adalah kemampuan lahan sesuai dengan status kawasan hutan,
penggunaan lahan tidak sesuai dengan pola ruang (pola ruang sesuai dengan status
kawasan hutan); K3.2 adalah kemampuan lahan sesuai dengan status kawasan
hutan, penggunaan lahan tidak sesuai dengan pola ruang (pola ruang tidak sesuai
dengan status kawasan hutan); K4.1 adalah penggunaan lahan tidak sesuai dengan
pola ruang, kelas kemampuan lahan tidak sesuai dengan status kawasan hutan
(pola ruang sesuai dengan status kawasan hutan); K4.2 adalah penggunaan lahan
tidak sesuai dengan pola ruang, kelas kemampuan lahan tidak sesuai dengan status
kawasan hutan (pola ruang tidak sesuai dengan status kawasan hutan). Kuadran
kesesuaian penggunaan lahan terhadap pola ruang, status kawasan hutan, dan
kelas kemampuan lahan ditunjukkan pada Gambar 4.

13
Kuadran II
(Sesuai Pola Ruang dan tidak sesuai status
kawasan hutan)
K2.1 dan K2.2
Kuadran IV
(Tidak sesuai status kawasan hutan dan
tidak sesuai Pola Ruang)
K4.1 dan K4.2

Kuadran I
(Sesuai Pola Ruang dan sesuai status
kawasan hutan)
K1.1 dan K1.2
Kuadran III
(Sesuai status kawasan hutan dan tidak sesuai
Pola Ruang)
K3.1 dan K3.2

Gambar 4 Matrik Kesesuaian Penggunaan Lahan terhadap RTRW dan Status
Kawasan Hutan
Pengecekan Lapang dan Wawancara Terfokus
Pengecekan lapang bertujuan untuk memverifikasi penggunaan lahan hasil
interpretasi visual citra Ikonos terhadap kondisi aktual penggunaan lahan di
lapang sehingga hasil akhir penelitian dapat memiliki akurasi yang tinggi.
Pengambilan titik cek lapang dilakukan berdasarkan masing-masing kelas
inkonsistensi pemanfaatan ruang terhadap kemampuan lahan, status kawasan
hutan, dan poal ruang berdasarkan RTRW. Masing-masing kelas diambil 4 titik
pengamatan, kecuali pada K1.1 dan K1.2 diambil 3 titik pengamatan, sehingga
terdapat 34 titik pengamatan. Pemilihan titik observasi pada masing-masing kelas
dilakukan secara stratified random sampling dengan pola menyebar. Data berupa
informasi penting untuk mendukung hasil penelitian diperoleh dari wawancara
terfokus terhadap Kepala Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Bappeda
Kabupaten Bogor, serta Kepala Desa Tugu Utara dan Kepala Desa Tugu Selatan.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Letak Geografis dan Batas Administrasi
Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan merupakan bagian dari Kecamatan
Cisarua, Kabupaten Bogor. Desa Tugu Utara terletak pada posisi 106057’ Bujur
Timur sampai 10700’ Bujur Timur dan 6040’ Lintang Selatan sampai 6041’
Lintang Utara. Desa Tugu Utara terdiri dari daerah hutan, perkebunan,
pemukiman, sungai, dan situ/danau. Wilayah Desa Tugu Utara berbatasan dengan
beberapa desa dengan Kecamatan yang sama yaitu Kecamatan Cisarua. Secara
lengkap wilayah ini mempunyai batas-batas sebagai berikut :
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Sukamakmur
b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Tugu Selatan
c. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Batu Layang
d. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur
Desa Tugu Selatan terletak pada posisi 106057’ Bujur Timur sampai 10700’
Bujur Timur dan 6041’ Lintang Selatan sampai 6046’ Lintang Utara. Wilayah
Desa Tugu Selatan berbatasan dengan beberapa desa dengan Kecamatan yang
sama yaitu Kecamatan Cisarua. Desa Tugu Utara terdiri dari daerah hutan,

14
perkebunan, pemukiman, dan sungai. Secara lengkap wilayah ini mempunyai
batas-batas sebagai berikut :
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Tugu Utara
b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur
c. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Cibereum
d. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur
Iklim, Tanah, Geomorfologi, dan Hidrologi
Berdasarkan hasil penelitian Tim IPB dalam Sulistiyono (2006), bagian
hulu DAS Ciliwung mencakup areal seluas 146 km2 yang merupakan daerah
pegunungan dengan elevasi antara 200 meter sampai 3.000 meter dpl. Terdapat 7
Sub DAS pada DAS Ciliwung hulu, yaitu : Tugu, Cisarua, Cibogo, Cisukabirus,
Ciesek, Ciseuseupan, dan Katulampa. Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan
yang merupakan bagian dari Sub DAS Ciliwung hulu terletak di ketinggian 1.530
mdpl, topografi bergelombang dan berbukit, kelas lereng 2,7-74,3% dengan
panjang lereng 500 - 700 meter. Curah hujan rata-rata di daerah Sub DAS
Ciliwung hulu sebesar 2.929 - 4.956 mm/tahun.

Gambar 5 Penutupan Lahan DAS Ciliwung
Bagian hulu dicirikan oleh sungai pegunungan yang berarus deras, variasi
kemiringan lereng yang tinggi dengan kemiringan lereng 2-15%, 15-45%, dan
lebih dari 45%. Tipe iklim menurut sistem klasifikasi Smith dan Ferguson (1951)
dalam Hernisa (2010) yang didasarkan pada besarnya curah hujan, yaitu Bulan
Basah (> 200 mm) dan Bulan Kering (< 100 m) adalah termasuk ke dalam Tipe A.
Sungai Ciliwung terdiri dari satu cabang utama dan dipisahkan menjadi dua
sungai kecil pada Manggarai dengan panjang total 136 km. Daerah tangkapan
sungai Ciliwung memiliki luas 352 km2 yang terbagi dalam 9 sub-basin (Sun et al.

15
2014). Secara administratif, DAS Ciliwung hulu sebagian termasuk wilayah
Kabupaten Bogor (Kecamatan Megamendung, Cisarua, dan Ciawi) dan sebagian
kecil Kotamadya Bogor yaitu wilayah Kecamatan Kota Bogor Timur dan Kota
Bogor Selatan. Debit sungai maksimum (Qmax) yang tercatat di Stasiun
Katulampa tahun 2008 sebesar 91,87 m3/detik dan debit sungai minimum (Qmin)
sebesar 3,28 m3/detik. Sedangkan unsur iklim lainnya, yaitu temperatur berkisar
antara 21.8-240 C, dengan kelembaban udara antara 73-98%, dan lama penyinaran
matahari antara 27–83%. Sedangkan besarnya evaporasi bulanan di Puncak
sebesar 79-140 mm (BPDAS Citarum-Ciliwung 2008).
Tanah di Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan berasal dari bahan induk
Andesit dengan landform kaki volkan, lereng volkan tengah, dan lereng volkan
atas. Jenis tanah di Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan adalah Andisol dan
Inceptisol. Geomorfologi Sub DAS Ciliwung Hulu didominasi oleh dataran
volkanik tua dengan bentuk wilayah bergunung, hanya sebagian kecil yang
merupakan dataran alluvial. Geomorfologi daerah ini dibentuk oleh dua gunung
api muda, yaitu Gunung Salak dengan ketinggian 2.211 m dan Gunung Gede
Pangrango dengan ketinggian 3.019 meter (Riyadi dalam Janudianto 2004).

Pola Ruang, Status Kawasan Hutan, Kelas Kemampuan Lahan dan
Penggunaan Lahan
Pola Ruang berdasarkan RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025
Kinerja pembangunan di suatu kawasan akan ditentukan oleh arahan
pemanfaatan ruang (Dwikorawati 2012). Peraturan mengenai pemanfaatan ruang
ditetapkan oleh pemerintah salah satunya bertujuan untuk melindungi beberapa
kawasan yang memiliki fungsi lingkungan, konservasi, dan pertanian (Fitzsimons
et al. 2012). Pola ruang di Kabupaten Bogor diatur dalam Peraturan Daerah
Kabupaten Bogor Nomor 19 Tahun 2008. Penyusunan Peraturan Daerah tersebut
berpedoman terhadap Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan
Ruang Jabodetabekpunjur. Padahal skala yang terdapat dalam Peta Rencana Tata
Ruang Jabodetabekpunjur adalah 1:100.000, sedangkan skala yang terdapat dalam
RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025 yang tercantum dalam Peraturan Daerah
Nomor 19 Tahun 2008 adalah 1:25.000, sehingga terdapat beberapa kesalahan
dalam proses delineasi peta. Berdasarkan arahan dalam Peraturan Daerah tersebut,
terdapat 5 bentuk pola ruang di Desa Tugu Utara dan Tugu Selatan yaitu kawasan
lindung yang terdiri dari kawasan hutan konservasi dan kawasan hutan lindung,
sedangkan kawasan budidaya terdiri dari kawasan perkebunan, kawasan pertanian
lahan kering, dan kawasan pemukiman (Gambar 6.a).
Di lokasi penelitian, kawasan lindung memiliki luas yang lebih besar dari
kawasan budidaya yaitu 2442 Ha atau 72% dari luas total peruntukan ruang. Pola
ruang kawasan hutan lindung memiliki luas terbesar yaitu 2015 Ha atau 59% dari
total luas. Dominansi kawasan lindung seperti yang tercantum pada pasal 24
Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 19 Tahun 2008 mengenai fungsi
ekologi Kecamatan Cisarua sebagai kawasan resapan air yang termasuk wilayah
Taman Nasional Gunung Gede dan Gunung Pangrango.

16
a)

b)

c)

d)

Gambar 6 Peta rencana pola ruang menurut RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025,
Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2008 (a), Peta Status Kawasan
Hutan berdasarkan SK Menhut 2010 (b), Peta Kelas Kemampuan
Lahan (c), dan Peta Penggunaan Lahan Desa Tugu Utara dan Desa
Tugu Selatan (d)
Pola ruang berupa kawasan lindung diatur bentuk pemanfaatannya, yaitu
dengan memperhatikan pemanfaatan ruang untuk wisata alam tanpa merubah
bentang alam, pelarangan seluruh kegiatan yang berpotensi mengurangi luas

17
kawasan hutan dan tutupan vegetasi, serta kegiatan budidaya yang tidak
mengurangi fungsi lindung kawasan. Peruntukan lahan kawasan budidaya
memiliki luas 23 Ha atau 28% dari luas total pola ruang. Pola ruang yang
dominan pada tipe kawasan budidaya berupa kawasan perkebunan dengan luas
500 Ha atau 15% dari luas total pola ruang. Luas masing-masing pola
pemanfaatan ruang di Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan ditunjukkan pada
Tabel 3.
Tabel 3 Luas (Ha) dan Proporsi (%) Pola Ruang dalam RTRW Kab. Bogor 20052025
RTRW Kab. Bogor 2005-2025
Luas
Tipe Kawasan
Pola Ruang
Ha
Desa Tugu Utara
1 Lindung
Hutan Lindung
824
Hutan Konservasi
32
2 Budidaya
Kawasan
62
Perkebunan
Kawasan
126
Permukiman
Pertanian Lahan
50
Kering
Desa Tugu Selatan
3 Lindung
Hutan Lindung
1191
Hutan Konservasi
394
4 Budidaya
Kawasan
438
Perkebunan
Kawasan
181
Permukiman
Pertanian Lahan
115
Kering
Total Luas
Sumber: Perda Kabupaten Bogor Nomor 19 Tahun 2008

No

%
24
1
2

Total Luas
Ha
%
856

25

238

7

1586

47

734

21

3414

100

4
1

35
12
13
5
3

Peruntukan Ruang berdasarkan Status Kawasan Hutan
Status kawasan hutan di Kabupaten Bogor merupakan hasil rekonstruksi
batas kawasan hutan yang ditetapkan berdasarkan RTRW Provinsi Jawa Barat.
Peta penunjukan kawasan hutan tersebut terdapat dalam Surat Kementerian
Kehutanan Nomor S.276/Menhut-VII/2010. Berdasarkan Undang-Undang Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, penetapan fungsi kawasan hutan diarahkan
untuk memenuhi fungsi hutan melalui penetapan sesuai kriteria tertentu. Dalam
rangka memperoleh manfaat yang optimal dari kawasan hutan bagi kesejahteraan
masyarakat, maka pada prinsipnya semua kawasan hutan dapat dimanfaatkan
dengan tetap memperhatikan sifat, karakteristik dan kerentanannya, serta tidak
dibenarkan mengubah fungsi pokoknya. Pemanfaatan hutan dan kawasan hutan
harus disesuaikan dengan fungsi pokoknya yaitu fungsi konservasi, lindung dan
produksi. Informasi berdasarkan peta status kawasan hutan, status kawasan hutan
di Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan menunjukkan bahwa terdapat 3 jenis
status kawasan yaitu kawasan konservasi, Hutan Produksi (HP), dan peruntukan
Area Penggunaan Lain (APL) (Gambar 6.b).
Berdasarkan SK Dirjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA)
Nomor 32 Tahun 1990, kawasan konservasi didefinisikan sebagai kawasan yang

18
ditetapkan sebagai kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, taman buru,
dan hutan lindung. Sementara itu, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tidak
menggunakan istilah kawasan konservasi, tapi memakai istilah hutan konservasi,
yang merupakan kawasan hutan dengan ciri khas tertentu