Hibah Kepada Ahli Waris Tanpa Persetujuan Ahli Waris Lain (Studi Putusan Pengadilan Agama Stabat Nomor 207 Pdt.G 2013 P.A.Stabat)

23

BAB II
AKIBAT HUKUM HIBAH YANG TIDAK DIBUAT SECARA OTENTIK
TANPA PERSETUJUAN AHLI WARIS LAIN

A. Sistem Kewarisan di Indonesia
Hukum kewarisan adalah Himpunan aturan-aturan hukum yang mengatur
tentang siapa ahli waris yang berhak mewarisi harta peninggalan dari si meninggal
dunia, sebagaimana kedudukan ahli waris, beberapa perolehan masing-masing secara
adil dan sempurna.46Peraturan hukum kewarisan di Indonesia terdiri dari tiga macam
yaitu hukum adat, hukum agama Islam, hukum KUHPERDATA (Burgerlijk
Wetboek).47
1.

Pengertian Dan Dasar Hukumnya

a.

Menurut Hukum Waris Perdata
Sistem Hukum Waris Perdata Barat yang diatur dalam Kitab Undang-Undang


Hukum Perdata Indonesia yang disebut dengan “Waris Barat” yang berlaku untuk
golongan keturunan Tionghoa dan Timur Asing, bahkan juga terkadang diberlakukan
bagi para ahli waris pribumi yang beragama Islam yang memilih perhitungan menurut
Waris Barat dengan alasan perhitungan yang simpel.48
Hukum waris perdata adalah suatu rangkaian yang berhubungan dengan
meninggalnya seseorang dan akibat hukumnya yaitu beralihnya harta peninggalan
46

M. Idris Ramulyo, Hukum Kewarisan Islam (Studi Kasus Perbandingan Ajaran Syafii
(Patrilinial) Hazairin (Bilateral) KUH Perdata Praktik di Pengadilan Agama / Negara,( Jakarta :
Indah. Hilco, 1987), hal. 49.
47
Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta : Rineka Cipta, 2012), hal 9
48
Irma Devita Purnamasari, Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Memahami Masalah Hukum
Waris, (Bandung : Kaifa, 2014), hal 109

23


24

dari seseorang yang meninggal kepada ahli waris, baik didalam hubungannya antara
mereka sendiri maupun dengan pihak ketiga.49
Dasar hukum waris dalam KUHPerdata diatur dalam Buku II Bab 12 dan 16,
terutama Pasal 528 tentang hak mewaris diidentikkan dengan hak kebendaan, dan
ketentuan Pasal 584KUHPerdata menyangkut hak waris sebagai salah satu cara untuk
memperoleh hak kebendaan. Penempatan hukum kewarisan dalam Buku II
KUHPerdata yaitu Pasal 1066 adalah “soko guru” atau sendi pokok dari hukum
waris. Pada Pasal 1066 KUHPerdata menjelaskan yaitu:
a.

b.
c.
d.

Dalam masalah seorang mempunyai hak atas sebagian sekumpulan harta benda
seorang itu dipaksakan sebagian dari harta benda itu dibagi-bagikan diantara
orang yang bersama-sama berhak atasnya.
Pembagian harta benda ini selalu dapat dituntun meskipun ada suatu perjanjian

yang bertentang dengan itu.
Dapat diperjanjikan bahwa pembagian harta benda itu dipertangguhkan selama
waktu tertentu.
Perjanjian selama ini hanya dapat berlaku selama lima tahun tetapi dapat
diadakan lagi jika waktu lima tahun itu telah lalu.
Ciri khas dari hukum waris menurut KUHPerdata adalah “ adanya hak mutlak

daripada ahli waris masing-masing untuk sewaktu-waktu menurut pembagian dari
harta warisan” hal ini berarti apabila seorang ahli waris menuntut pembagian harta
warisan di pengadilan, tuntutan tersebut tidak dapat ditolak oleh ahli waris, yang
ketentuan ini tertera dalam Pasal 1066KUHPerdata.50Ciri khas dari hukum waris
KUHPerdataadalah menghendaki agar harta peninggalan seorang pewaris secepat

49

Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian Menurut Kitab UndangUndang Hukum Perdata , (Jakarta : Bina Aksara, 1986), hal 7
50
Ibid, hal 26

25


mungkin dibagi-bagikan kepada mereka yang berhak atas harta tersebut, kalaupun
tidak terbagi maka harus terlebih dahulu melalui persetujuan seluruh ahli waris.
Kematian seseorang menurut KUHPerdatamengakibatkan peralihan segala
hak dan kewajiban pada seketika itu kepada ahli waris yang diatur dalam Pasal 833
ayat (1) KUHPerdatayang menegaskan bahwa peralihan hak dan kewajiban dari yang
meninggal dunia kepada ahli warisnya disebut saisine51
Sistem hukum waris KUHPerdata tidak mengenal adanya istilah harta asal
maupun harta gono-gini atau harta yang diperoleh bersama dalam perkawinan sebab
harta warisan dalam KUHPerdata dari siapapun juga merupakan “kesatuan” yang
secara bulat dan utuh dalam keseluruhan akan beralih dari tangan peninggal
warisan/pewaris ke ahli warisnya, seperti yang dtegaskan dalam Pasal 849
KUHPerdata.
Dasar hukum seseorang ahli waris mewarisi sejumlah harta pewaris menurut
sistem hukum waris KUHPerdata ada dua cara yaitu :52
a. Menurut ketentuan Undang-Undang
b. Ditunjuk dalam surat wasiat (testament)
Ahli waris menurut Undang-Undang/ab intestato berdasarkan hubungan darah
terdapat empat golongan yaitu :53
a. Golongan pertama, keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi anak-anak

beserta keturunan mereka dan suami/isteri yang ditinggalkannya.
b. Golongan kedua yang meliputi orang tua dan saudara serta keturunan mereka.
51

R. Subekti, Pokok-Pokok Hukun Perdata, (Jakarta : Intermasa, 1977), hal 79
R. Subekti, Op.cit, hal 78
53
Eman Suparman, Op.cit, hal 30
52

26

c. Golongan ketiga meliputi kakek, nenek dan leluhur selanjutnya atas dari
pewaris.
d. Golongan keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping dan
sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam.
Sedangkan ahli waris menurut testament, jumlahnya tidak tentu sebab ahli
waris sebab bagian yang diterimanya bergantung pada kehendak si pemberi wasiat.54
b. Menurut Kompilasi Hukum Islam
Dalam hukum Islam, hukum kewarisan Islam mengatur peralihan harta dari

seseorang yang telah meninggal kepada yang masih hidup. Aturan tentang peralihan
harta ini disebut dengan berbagai nama. Perbedaan dalam penamaan ini terjadi karena
perbedaan dalam arah yang dijadikan titik utama dalam pembahasan.Kata yang lazim
dipakai adalah Faraid yang didasarkan pada bagian yang diterima oleh ahli waris.55
Hukum kewarisan Islam pada dasarnya bersumber kepada beberapa ayat
Alqur-an dan hadis Rasulullah yang terdiri dari ucapan, perbuatan dan hal-hal yang
ditentukan Rasulullah.56Dalam Alqur-an yang paling banyak ditemui dasar atau
sumber hukum kewarisan itu dalam Surat An-Nisaa’, di samping surat-surat lainnya
sebagai pembantu.
Dalam Surat An-Nisaa’, yang mengatur mengenai kewarisan antara lain dalam
ayat 1-14, 29, 32, 33 dan 176. Dimana dalam ayat-ayat tersebut dijelaskan dengan
jelas bahwa hukum-hukum waris adalah ketentuan dari Allah.57 Sedangkan surat-

54

Ibid
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta : Kencana, 2005), hal 5
56
Ibid hal35
57

Mochtar Naim, Kompendium Himpunan Ayat-Ayat Alqur-an Yang Berkaitan Dengan
Hukum, (Jakarta : Hasanah,2001) hal. 352
55

27

surat lainnya yang disebut sebagai ayat pembantu antara lain Surat Al-Baqarah ayat
180 - 182, ayat 233, ayat 240, ayat 241; Surat Al-Anfal ayat 75; dan Surat Al- Ahzab
ayat 4-6.58
Wujud warisan dalam hukum islam sangat berbeda dengan hukum waris
KUHPerdata dan adat, warisan atau harta peninggalan menurut hukum islam yaitu,
“sejumlah harta benda serta segala hak dari yang meninggal dunia dalam keadaan
bersih artinya peninggalan yang diwarisi oleh para ahli waris adalah sejumlah harta
benda dan segala hak setelah dikurangi dengan pembayaran hutang-hutang pewaris
dan pembayaran-pembayaran lain yang dikaibatkan oleh wafatnya si peninggal dunia.
Sistem kewarisan menurut hukum Islam adalah sistem individual bilateral
yang berdasarkan surat An-Nissa ayat 7,8,11, 12,33 yang merupakan perbaikan dari
hukum waris di Negeri Arab sebelum Islam 59
Adapun yang menjadi dasar hak untuk mewaris menurut Alqur’an adalah :60
a. Karena hubungan darah yang dijelaskan dalam (Q.S An-Nisaa:7,11,12,33

dan 176)
b. Hubungan semenda atau hubungan pernikahan
c. Hubungan persaudaraan karena agama agama yang ditentukan oleh AlQur’an bagiannya tidak lebih dari 1/3 harta pewaris. (Q.S Al-Ahzab :6)
d. Hubungan kerabat karena sesama hijrah pada permulaan pengembangan
Islam meskipun tidak ada hubungan darah. (Q.S Al-Anfaal : 75)
Secara garis besar maka golongan ahli waris dalam Islam terbagi atas tiga
golongan yaitu :
a. Ahli waris menurut AlQur’an atau yang sudah ditentukan didalam AlQur’an
yang disebut dzul faraa’idh
58

M. Idris Ramulyo. Loc. Cit. hal 53-55
Eman Suparman, Op.Cit., hal 14
60
Ibid, hal 16

59

28


b. Ahli waris yang ditarik dari garis ayah, disebut ashabah yaitu golongan ahli
waris yang mendapat bagian sisa setelah dikeluarkan bagian dzul faraa’idh.
c. Ahli waris yang ditarik dari garis ibu yang disebut dzul arhaam artinya dzul
arhaam mewarisi apabila sudah tidak ada dzul faraa’idh dan ashabah.
Di antara ahli waris yang tidak memenuhi ketentuan untuk bertindak atas
hartanya, maka harta warisan yang diperolehnya berada di bawah pengampuan
walinya, sedangkan perbelanjaannya dapat diambilkan dari harta warisan yang
didapatnya. Hal ini didasarkan kepada firman Allah dalam surat An-nisa ayat : 5 yang
menyatakan tidak bolehnya menyerahkan harta kepada orang “safih”61
Kompilasi hukum Islam merupakan keberhasilan besar umat Islam Indonesia
pada pemerintahan orde baru, menurut M. Yahya Harahap tujuan penyusunan KHI
adalah : (a) untuk merumuskan secara sistimatis hukum Islam di Indonesia secara
konkrit; (b) guna dijadikan sebagai landasan penerapan hukum Islam di lingkungan
peradilan agama; (c) sifat kompilasi berwawasan nasional yang akan diperlakukan
bagi seluruh masyarakat Islam Indonesia apabila timbul sengketa didalam sidang
peradilan agama; (d) sekaligus akan dapat terbina penegakan kepastian hukum yang
lebih seragam dalam pergaulan lalu lintas masyarakat Islam.
Sehingga Indonesia mempunyai pedoman fiqih yang seragam dan telah
menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi oleh seluruh bangsa Indonesia yang
beragama Islam. Dengan ini, dapat diharapkan tidak akan terjadi kesimpangsiuran

keputusan dalam lembaga-lembaga pengadilan agama, juga masalah khilafiyah yang

61

Abu Abdillah Muhammad al Qurtubi, Al Jami’li Ahkami AlQur’an V, (Cairo: Daru Al
Katib Al Arabiyah, 1967), hal 28

29

disebabkan oleh masalah fiqih akan diakhiri seperti halnya dalam pengaturan masalah
kewarisan.
Menurut Kompilasi Hukum Islam, hukum kewarisan adalah hukum yang
mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian masingmasing.62
Dasar kewarisan dalam kompilasi Hukum Islam diatur dalam Pasal 171
sampai dengan Pasal 193 yang mengatur tentang hukum kewarisan yaitu mengenai
ahli waris, besarnya bahagian ahli waris, aul dan rad.
c.

Menurut Hukum Waris Adat

Hukum Waris Adat itu meliputi aturan-aturan hukum yang bertalian dengan

proses penerusan dan peralihan kekayaan material dan immaterial dari keturunan ke
keturunan.63
Hukum

waris

adat

sangatlah

erat

hubungannya

dengan

sifat-sifat

kekeluargaan daripada masyarakat hukum yang bersangkutan beserta pengaruhnya
pada harta kekayaan yang ditinggalkan dan berada dalam masyarakat itu. 64
Bangsa Indonesia yang menganut berbagai macam agama yang berbeda-beda
mempunyai bentuk-bentuk kekerabatan dengan sistem keturunan yang berbedabeda.65Secara teoritis sistem keturunan itu berhubungan dengan pembagian harta
warisan yang ada pada masyarakat adat di Indonesia. Adapun sistem kekerabatan
62

Pasal 171 huruf a KHI
Ter Haar, Asas-Asas Dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1991), hal 202
64
Soerjono Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta : Gunung
Agung, 1995), hal 165
65
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal 23
63

30

masyarakat adat di Indonesiadibedakan menjadi tiga kelompok yaitu:66
1.

2.

3.

Susunan kekerabatan Patrilineal, yaitu yang menarik garis keturunan dari pihak
laki-laki (bapak) dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari
kedudukan wanita didalam pewarisan.
Susunan kekerabatan Matrilineal, yaitu yang menarik garis keturunan dari pihak
perempuan (ibu) dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari
kedudukan pria dalam pewarisan.
Susunan kekerabatanParental, yaitu dimana garis keturunan padamasyarakat ini
dapat ditarik dari pihak kerabat bapak maupun dari kerabat ibu, dimana
kedudukan pria maupun kedudukan wanita tidak dibedakan didalam pewarisan.
Hukum Waris Adat itu meliputi aturan-aturan hukum yang bertalian dengan

proses penerusan dan peralihan kekayaan material dan immaterial dari keturunan ke
keturunan.67
Adapun sistem pewarisan yang dikenal dalam hukum adat yaitu:68
1.
2.

3.

Sistem Pewarisan Individual, yaitu sistem pewarisan yang menentukan bahwa
para ahli waris mewarisi secara perorangan.
Sistem Pewarisan Kolektif, yaitu sistem pewarisan yang menentukan bahwa ahli
waris mewaris harta peninggalan secara bersama-sama (kolektif), sebab harta
peninggalan yang diwarisi itu tidak dapat dibagi-bagi pemilikannya kepada
masing-masing ahli waris.
Sistem Pewarisan Mayorat, yaitu sistem pewarisan dimana penerusan
danpengalihan hak penguasaan atas harta warisan itu dialihkan dalam keadaan
tidak terbagi-bagi dari pewaris kepada anak tertua laki-laki (mayorat laki-laki)
atau anak tertua perempuan (mayorat perempuan) yang merupakan pewaris
tunggal dari pewaris.
Soepomo merumuskan Hukum Adat Waris sebagai berikut: Hukum Adat

Waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan harta serta
mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud
66

Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta : Haji Masagung,
Jakarta, 1987), hal129-130
67

68

Ter Haar, Asas-Asas Dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1991), hal 202

Eman Suparman,Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan KUHPerdata,
(Bandung : Refika Aditama, 2005), hal 43

31

benda dari suatu angkatan manusia pada turunannya dimana proses itu telah mulai
dan waktu orang tua masih hidup. Proses meninggalnya pewaris tersebut tidak
menjadi akut oleh sebab orang tua meninggal. Memang meninggalnya bapak atau ibu
adalah suatu peristiwa yang penting bagi proses itu, akan tetapi sesungguhnya tidak
mempengaruhi secara radikal proses penerusan dan pengoperan harta benda dan harta
bukan benda tersebut. Proses itu berjalan terus hingga angkatan baru yang dibentuk
dengan mencar dan mentasnya anak-anak yang merupakan keluarga-keluarga baru,
mempunyai dasar kehidupan materiil sendiri dengan barang-barang dari harta
peninggalan orang tuanya sebagai fundamen.69
Hukum Waris Adat di Indonesia sangat dipengaruhi oleh prinsip garis
keturunan pada masyarakat bersangkutan yang berpengaruh terhadap penetapan ahli
waris pembagian maupun bagian harta peninggalan yang diwariskan, dan hukum
waris adat berkembang dengan sendirinya di bawah dukungan dari masyarakat
bersangkutan untuk golongan sendiri, keragaman hukum dibidang hukum adatnya
sendiri-sendiri sesuai dengan sistem kemasyarakatan dan kekerabatan yang dianut
oleh masyarakat yang bersangkutan, variasinya sangat besar diantara berbagai
masyarakat dan lembaganya.70
Sistem Hukum waris Adat yang diatur berdasarkan hukum adat pada masingmasing daerah, berlaku bagi masyarakat pribumi yang berdiam dan menundukkan diri
di wilayah hukum adat tersebut.
69

R. Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, (Jakarta : Pradnya Paramita, 2000), hal 82
Rehngena Purba, Hukum Waris Adat Serta Perkembangannya Dalam Yurisprudensi,(Medan
:Makalah Pada Symposium Hukum Waris Indonesia dewasa ini, 1995 ), hal 2
70

32

Meskipun menurut ketiga sistem hukum waris yang berlaku proses pewarisan
itu terjadi oleh peristiwa hukum yang sama yaitu kematian sesorang, akan tetapi
perbedaannya dalam hal wujud harta peninggalan yang dapat diwarisi oleh para ahli
waris, yaitu dalam hukum adat sama dengan hukum Islam yaitu harta benda yang
dapat diwarisi adalah harta benda dalam keadaan bersih, artinya ahli waris hanya
berhak terhadap peninggalan pewaris setelah dikurangi dengan pembayaran hutang
serta semua kewajiban pewaris yang belum sempat dilakukan semasa hidup.
Sedangkan dalam KUHPerdata harta peninggalan adalah semua hak dan kewajiban
dalam lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang artinya yang
dapat diwarisi oleh ahli waris bukan hanya aktiva tetapi juga pasiva.71
Dalam hukum waris adat mengenal adanya anak angkat yang berhak mewarisi
harta gono-gini bersama hali waris lainnya tetapi menurut hukum Islam dan
KUHPerdata tidak mengenal anak angkat sebagai ahli waris.72
Demikian pula dengan kedudukan janda dan duda yang berbeda bagiannya
dalam hukum Islam, sedangkan menurut hukum adat dan hukum Islam kedudukan
janda dan duda dalam posisi yang sama sebagai ahli waris.73
Anak yang diluar perkawinan menurut hukum Islam dan hukum adat hanya
mempunyai hubungan hukum dengan ibunya oleh karenanya anak tersebut hanya
mewarisi dari ibunya, sedangkan dalam Hukum perdata KUHPerdata bahwa anak
yang lahir diluar perkawinan ada dua kemungkinan yaitu anak diluar perkawinan
71

Eman Suparman, Op.cit, hal 76
Ibid, hal 77
73
Ibid, hal 78
72

33

yang diakui selaku anak maka menjadi ahli waris dari orang tua yang mengakuinya
sedangkan anak luar perkawinan yang tidak diakui maka tidak mempunyai hubungan
hukum dengan siapapun termasuk dengan orang yang melahirkannya.74
2.

Hibah Dalam Sistem Hukum di Indonesia

a.

Pengertian Hibah Dan Dasar Hukumnya

1). Menurut Hukum Waris Perdata
Pengertian hibah menurut hukum perdata Barat disebutkan dalam Pasal 1666
KUHPerdata:
“Penghibahan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang penghibah
menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali,
untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu. Undangundang hanya mengakui penghibahan-penghibahan antara orang-orang yang
masih hidup.”
Mengenai penghibahan dalam Hukum Perdata Indonesia, telah diatur dalam
beberapa pasal yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Adapun
ketentuan tersebut adalah:
1.

2.

3.

Pasal 1667 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: “Hibah hanyalah dapat
mengenai benda-benda yang sudah ada, jika ada itu meliputi benda-benda yang
baru akan dikemudian hari, maka sekedar mengenai itu hibahnya adalah batal”.75
Pasal 1668 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: “Si penghibah tidak boleh
memperjanjikan bahwa ia tetap berkuasa untuk menjual atau memberikan kepada
orang lain suatu benda termasuk dalam penghibahan semacam ini sekedar
mengenai benda tersebut dianggap sebagai batal”.76
Pasal 1669 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: “Adalah diperbolehkan
kepada si penghibah untuk memperjanjikan bahwa ia tetap memiliki kenikmatan
atau nikmat hasil benda-benda yang dihibahkan, baik benda-benda bergerak
maupun benda-benda tidak bergerak, atau bahwa ia dapat memberikan nikmat
74

Ibid, hal 78
R. Subekti dan R. Tjitrosudibyo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hal. 365.
76
Ibid

75

34

hasil atau kenikmatan tersebut kepada orang lain, dalam hal mana harus
diperhatikan ketentuan-ketentuan dari bab kesepuluh buku kedua kitab undangundang ini”.77
2). Menurut Kompilasi Hukum Islam
Ulama Mazhab Hambali lebih detail lagi mendefinisikannya, yaitu pemilikan
harta dari seseorang kepada orang lain yang mengakibatkan orang yang diberi boleh
melakukan tindakan hukum terhadap harta tersebut, baik harta itu tertentu atau tidak,
bendanya ada dan bisa diserahkan. Penyerahannya diserahkan ketika pemberi masih
hidup tanpa mengharapkan imbalan.78
Pengertian hibah berdasarkan peraturan Perundang-Undangan di Indonesia
diatur dalam Kompilasi Hukum Islam dan menurut Pasal 171 huruf f Inpres Nomor 1
Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah
pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada
orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
Kata “di waktu masih hidup”, mengandung arti bahwa perbuatan pemindahan
hak milik itu berlaku semasa hidup.Dan bila beralih sudah matinya yang berhak,
maka disebut wasiat.Adapun kata tanpa imbalanatau sukarela, berarti itu sematamata kehendak sepihak (si pemberi) tanpa mengharapkan apa-apa.Apabila
mengharapkan imbalan maka dinamakan jual beli.79
Jadi dengan demikian dapatlah dipahami bahwa pengertian hibah adalah
pemberian hak milik material maupun in material kepada orang lain di waktu hidup

77

Ibid
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. Ke-1 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996), hal II : 540.
79
Amir Syarifudin, Pelaksana Hukum Waris Islam dalam Lingkungan Minangkabau (Jakarta :
Gunung Agung, 1985), hal. 252.
78

35

tanpa imbalan dari orang yang menerima pemberian itu dengan melalui akad, dengan
demikian hibah berbeda dengan jual beli, wasiat pusaka dan sedekah.80
3). Menurut Hukum Waris Adat
Pada seluruh lingkungan hukum adat di Indonesia, diakui bahwa proses
pewarisan harta seorang pewaris dapat mulai dilaksanakan sejak pewaris masih
hidup.81Meskipun secara umum pembagian harta warisan dilakukan setelah pewaris
meninggal, tidak jarang terjadi pembagian tersebut dilaksanakan jauh sebelum
pewaris meninggal.Penyerahan harta warisan kepada ahli waris atau seorang yang
tidak termasuk ahli waris sebelum pewaris meninggal, disebut hibah.82
Menurut hukum waris adat hibah biasanya dilakukan dalam suatu keluarga
dimana tinggal bersama dalam suatu rumah yang terdiri dari suami, isteri serta anakanak adalah suatu hal yang wajar mengadakan pemberian benda/barang atau uang yag
mana tujuannya hanya semata-mata untuk saling menyenangkan dan yang selalu
terjadi pemberian hibah ini hendak dilaksnakan jika orang yang memberi merasa
cemas seandainya setelah ia meninggal harta kekayaan peninggalanya akan dibagibagi oleh para ahli waris, maka orang yang mendapat bagian tersebut mungkin tidak
memperoleh secara wajar.83
b. Hukum Tentang Hibah
1). Menurut Hukum Waris Perdata
Segala aturan yang digariskan dalam Kitab Undang-Undang hukum Perdata
Indonesia diambildari KUHPerdata Belanda yang diambil pula dari Code-Napoleon-

80

Hasballah Thaib, Hukum Benda Menurut Islam, (Medan : Fakultas Hukum Universitas
Dharmawangsa, 1992), hal 83
81
Eman Suparman, Op.cit, hal 87
82
Ibid,hal. 79
83
Oemar Salim, Op.cit. hal 77

36

Perancis sedangkan Code-Napoleon mengambil alihnya dari Hukum Islam,
sebagaimana ternyata dari kutipan berikut :
“For muslims this will come as no surprise when they realize that 96% of the
Code-Civil i.e. The Code-Napoleon is drawn

entirely

from

Islamic

jurisprudence based on figh or rulings of Imam Malik.84
Dari kutipan tersebut jelas dapat disimpulkan bahwa apa yang ditentukan
secara tersurat dan systematis dalam KUHPerdata Indonesia boleh dikatakan
sebahagian besar secara tidak langsung berasal dari hukum Islam.
Dapat diketahui bahwa unsur-unsur hibah adalah:85
a. Hibah merupakan perjanjian sepihak yang dilakukan dengan cuma-cuma
artinya tidak ada kontra prestasi dari pihak yang menerima hibah.
b. Dalam hibah diisyaratkan bahwa penghibah mempunyai maksud untuk
menguntungkan pihak yang diberi hibah.
c. Yang menjadi objek hibah adalah benda milik penghibah.
d. Hibah tidak dapat ditarik kembali
e. Dilakukan waktu penghibah masih hidup
f. Pelaksanaaan dari penghibaan dapat juga dilakukan setelah penghibah
meninggal dunia.
g. Hibah harus dilakukan dengan akta Notaris.
Hibah antara suami isteri tidak diperbolehkan kecuali mengenai benda-benda
bergerak yang harganya tidak mahal, demikian pula hibah tidak boleh dilakukan
terhadap anak yang belum lahir kecuali kepentingan anak tersebut menghendaki.
Berdasarkan Pasal 1688 KUHPerdata dimungkinkan bahwa hibah dapat
ditarik kembali atau bahkan dihapuskan oleh penghibah yaitu:
84

David Musa Pidcock dalam Kata Pengantar atas buku Christian Cherfils berjudul
“Napoleon and Islam, From French and Arab Documents” diterjemahkan dari bahasa Perancis oleh
James Gibb Stuart, (Kuala Lumpur : Utusan Publication dan Distributors Sdn.Bhd, 1999), hal XVII.
85
Ibid, hal 86

37

a. Karena syarta-syarat resmi untuk penghibaan tidak terpenuhi
b. Jika orang yang diberi hibah telah bersalah melakaukan kejahatan terhadap
penghibah.
c. Apabila penerima hibah menolak memberi nafkah kepada penghibah setelah
penghibah jatuh miskin.
Pelaksanaan hibah harus dilakukan dengan akta Notaris kecuali pemberian
hadiah dari tangan ke tangan secara langsung (Pasal 1682 KUHPer).Berdasarkan
ketentuan tersebut, prinsipnya benda yang sudah dihibahkan tidak dapat ditarik
kembali menjadi hak milik pemberi hibah. Akan tetapi, untuk kepentingan kewarisan,
benda yang telah dihibahkan dapat “diperhitungkan kembali” nilainya ke dalam total
harta peninggalan seolah-olah belum dihibahkan (lihat Pasal 916a sampai Pasal 929
KUHPerdata) Ketentuan ini bermaksud agar jangan sampai hibah yang dahulu pernah
diberikan oleh pewaris, mengurangi bagian mutlak yang seharusnya dimiliki oleh ahli
waris yang disebut legitime portie.
Apabila harta yang dimiliki pewaris saat meninggal tidak cukup untuk
membayar utang, maka bagian warisan untuk ahli waris yang bukan legitime portie,
contohnya istri, dapat diambil, apabila masih belum cukup maka diambil dengan cara
mengurangkan besarnya wasiat jika ada wasiat. Jalan terakhir adalah dengan
mengurangkan dari bagian hibah yang pernah diberikan pewaris sebelum
meninggal.Hibah tersebut diperhitungkan kembali kemudian dikurangkan. Urutan
hibah yang diperhitungkan kemudian dikurangkan tersebut dihitung dari hibah
terdekat dari kematian pewaris sebagaimana diatur dalamPasal 924 KUHPerdata:
“Segala hibah antara yang masih hidup, sekali-kali tidak boleh dikurangi,
melainkan apabila ternyata, bahwa segala barang-barang yang telah
diwasiatkan, tak cukup guna menjamin bagian mutlak dalam suatu

38

warisan.Apabila kendati itu masihlah harus dilakukan pengurangan terhadap
hibah-hibah antara yang masih hidup, maka pengurangan ini harus dilakukan
mulai dengan hibah yang terkemudian, lalu dari yang ini ke hibah yang lebih
tua dan demikian selanjutnya.”
Benda yang telah dihibahkan tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi
hibah.Untuk urusan kewarisan hibah yang pernah diberikan pewaris dapat
diperhitungkan kembali ke dalam harta peninggalan. Dalam hukum waris perdata
barat, ahli waris dapat melakukan penolakan sebagai ahli waris., menurut Pasal 833
ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata(“KUHPer”) yang mengatur “Para ahli
waris, dengan sendirinya karena hukum, mendapat hak milik atas semua barang,
semua hak dan semua piutang orang yang meninggal.”
Namun, Pasal 1045 KUHPerdata menyebutkan “Tiada seorang pun
diwajibkan untuk menerima warisan yang jatuh ke tangannya”.Berarti ahli waris yang
tidak mau menanggung utang milik pewaris, dapat melakukan penolakan sebagai ahli
waris.Penolakan sebagai ahli waris harus terjadi dengan tegas melalui suatu
pernyataan yang dibuat di Panitera Pengadilan Negeri di daerah hukum tempat
terbukanya warisan (Pasal 1057 KUHPerdata).
Dalam pemberian hibah, terdapat pula larangan, di antaranya adalah:
a.

Hibah yang dilakukan antara suami dan istri, kecuali sebelumnya sudah dibuat
Perjanjian Kawin mengenai pemisahan harta dalam perkawinan karena pada
dasarnya antara suami dan istri terdapat percampuran harta (Pasal 1678
KUHPerdata).

b.

Hibah dengan suatu perjanjian bahwa pemberi hibah tetap berhak sewaktu-waktu

39

menjual sendiri barang yang dihibahkannya.
Sanksinya adalah hibah tersebut batal demi hukum (Pasal 1668 KUHPerdata).
Menurut ketentuan Pasal 1668 KUHPerdata pada asasnya sesuatu hibah tidak dapat
ditarik kembali maupun dihapuskan, kecuali:35
1) Tidak dipenuhi syarat-syarat dengan mana hibah telah dilakukan, misalnya tidak
diberikan berdasarkan akta otentik, pemberi hibah dalam keadaan sakit ingatan,
sedang mabuk, atau usia belum dewasa (Pasal 913 KUH Perdata)
2) jika penerima hibah telah bersalah melakukan atau membantu melakukan
kejahatan yang bertujuan mengambil jiwa penerima penghibah.
3) Apabila penerima hibah menolak memberikan tunjangan nafkah kepada
penghibah, setelahnya penghibah jatuh dalam kemiskinan.
Dalam hukum waris KUHPerdata jika hibah melanggar legitimatie portie
para ahli warisnya maka dapat dilakukan inkorting (pemotongan) untuk memenuhi
LP para ahli warisnya, dalam hal pertama si penghibah dapat menuntut hibah
kembali, bebas dari beban hipotek beserta hasil-hasil dan pendapatan yang diperoleh
si penerima hibah atas benda yang dihibahkan. Dalam hal yang kedua benda yang
dihibahkan dapat tetap pada si penerima hibah, apabila sebelumnya benda-benda
hibah tersebut telah didaftarkan lebih dahulu. Apabila penuntutan kembali dilakukan
oleh si pemberi hibah dan dikabulkan maka semua perbuatan si penerima hibah
dianggap batal.Tuntutan hukum terhadap si penerima hibah gugur dengan lewatnya
waktu setahun terhitung mulai hari terjadinya peristiwa yang menjadi alasan tuntutan
itu, dan dapat diketahuinya hal itu oleh si pemberi hibah.
Tuntutan hukum tidak dapat dilakukan oleh ahli waris si penghibah, kecuali
apabila oleh si penghibah semula telah diajukan tuntutan ataupun orang ini telah
meninggal dunia di dalam satu tahun setela terjadinya peristiwa yang dituduhkan.

40

2). Menurut Hukum Kompilasi Hukum Islam
Pemberian hibah sifatnya sunah yang dilakukan dengan ijab dan kabul waktu
orang yang memberi masih hidup, dan Qadlah yaitu penyerahan milik itu sendiri baik
dalam bentuk yang sebenarnya.86
Dasar hibah dalam Islam adalah firman Allah dan juga hadis Nabi yang
menganjurkan kepada umat Islam agar berbuat baik dan saling mengasihi kepada
sesamanya.Islam menganjurkan agar umatnya suka memberi karena tangan yang di
atas lebih baik dari tangan yang di bawah (memberi lebih baik dari pada menerima).
Namun pemberian itu harus ikhlas dan tanpa pamrih, tiada tujuan lain kecuali untuk
mencari ridha Allah dan mempererat tali persaudaraan.
Berikut dalil-dalil yang digunakan sebagai dasar Hibah:
1.

Al-Maidah (5): 2.“Tolong menolonglah kamu sekalian atas kebaikan dan taqwa
dan janganlah kamu sekalian tolong menolong atas sesuatu dosa dan
permusuhan”.

2.

Al-Baqarah (2): 17. “Dan memberikan harta yang dicintai kepada kerabatnya,
anak-anak orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orangorang yang meminta”.
Syarat hibah menghendaki adanya penghibah, orang yang diberi hibah dan

sesuatu yang dihibahkan, syarat dari penghibah yaitu penghibah memiliki apa yang
dihibahkan, bukan orang yang dibatasi haknya karena suatu alasan, dewasa, tidak
dipaksa sebab akad yang mempersyaratkan keridhaan dalam keabsahannya.87

86
87

As-Sayyid Saabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung : Offset, 1994), 170
Ibid, hal 171

41

Syarat orang yang diberi hibah adalah benar-benar ada atau diperkirakan
adanya, misalnya dalam bentuk janin maka hibah tidak sah, apabila orang yang diberi
hibah itu ada diewaktu pemberiannya akan tetapi masih kecil atau gila maka hibah itu
diambil oleh walinya, pemeliharanya ataupun orang yang mendidiknya.88
Syarat bagi yang dihibahkan adalah benar-benar ada, harta yang bernilai,
dapat dimiliki Dzatnya yakni bahwa yang dihibahkan itu adalah apa yang biasanya
dimiliki, diterima peredarannya dan pemilikannya dapat berpindah tangan, tidak
berhubungan dengan dengan tempat milikpenghibah seperti menghibahkan bangunan
tanpa tanah, dikhususkan yakni yang dihibahkan itu bukan untuk umum seperti
halnya jaminan.89
Hibah dalam hukum Islam dapat dilakukan baik secara tertulis maupun secara
lisan seperti hibah untuk harta tidak bergerak dpat dilakukan dengan lisan tanpa
mempergunakan suatu dokumen tertulis, tetapi jika dikehendaki bukti yang cukup
kuat tentang terjadinya perlaihan maka pernyataan itu dapat dibuat dalam bentuk
tertulis, terbagi atas :90
a. Bentuk tertulis yang tidak perlu didaftarkan jika isinya hanya menyatakan
telah terjadinya pemberian.
b. Bentuk tertulis yang perlu didaftarkan
Terlepas dari itu, menurut KHI para ahli waris dimungkinkan untuk
melakukan pembagian warisan berdasarkan kesepakatan ahli waris. Hal tersebut
diatur dalam Pasal 183 KHI yang berbunyi sebagai berikut:
88

Ibid, hal 171
Ibid, hal 172
90
Eman Suparman, Op.cit., hal 83
89

42

“Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian
harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya.”
Hukum Islam menganggap kekayaan suami dan isteri masing-masing terpisah
satu dengan lainnya, harta benda milik masing-masing pihak pada waktu perkawinan
dimulai (berjalan) tetap menjadi miliknya maisng-masing, demikian juga dengan
segala barang-barang mereka yang diperoleh selama perkawinan berlangsung tidak
dicampur melainkan terpisah satu sama lainnya artinya atas harta benda milik suami
si isteri tidak punya hak dan sebaliknya, jadi konsekuensinya menurut hukum islam
status harta benda seorang perempuan tidak berubah dengan adanya perkawinan,
harta seorang perempuan tidak menjadi milik bersama antara suami isteri karena
pernikahan.91Jadi pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta
isteri karena perkawinan.92
Seorang isteri atau suami dalam hukum islam mempunyai hak penuh atas
harta miliknya sehingga dalam hal ini apabila suami atau isteri ingin menghibahkan
hartanya terlepas dari kekuasaan orang lain termasuk suaminya/isterinya yaitu
berdasarkan Pasal 87 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam , tetapi jika harta
benda yang dihibahkan adalah merupakan harta bersama yang didapat setelah
perkawinan maka jika salah satu ingin menghibahkan harta tersebut harus mendapat
persetujuan pasangannya, hal ini juga didukung dengan peraturan pada Pasal 35 ayat
(1)93jo Pasal 36 ayat (1)94 Undang-Undang Nomor I Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Tetapi jika salah satu antara suami dan isteri telah meninggal dunia maka jika ingin
91

MR Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta : Indonesia Legal
Center Publishing, 2002), hal 36
92
Pasal 86 Kompilasi Hukum Islam
93
Yaitu harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
94
Yaitu mengenai harta bersama, suami isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah
pihak.

43

melakukan hibah harus berdasarkan persetujuan ahli waris yaitu anak-anaknya karena
akibat meninggalnya salah satu orang tua terbukalah hak waris untuk anak-anaknya
dan orang tua yang hidup terlama.
Terlebih lagi jika hibah yang dilakukan tersebut pada saat pemberi hibah
dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematian maka harus mendapat persetujuan
dari ahli warisnya.95 Hibah yang diberikan tersebut sebanyak-banyaknya 1/3
(sepertiga) harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang
saksi untuk dimiliki.96
Hibah dalam hukum Islam tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang
tua kepada anaknya (Pasal 212 KHI).97 Hibah orang tua kepada anaknya dapat
diperhitungkan sebagai warisan98 Mengenai kewajiban ahli waris untuk membayar
utang pewaris, dalam Pasal 175 KHI disebutkan bahwa menyelesaikan utang-utang
pewaris merupakan kewajiban ahli waris terhadap pewaris, tetapi kewajiban ahli
waris hanya terbatas pada harta peninggalan pewaris. Dengan kata lain, ahli waris
tidak wajib membayarkan utang-utang pewaris dengan harta pribadinya apabila
seluruh harta pewaris telah habis untuk membayar utang.
3). Menurut Hukum Waris Adat
Pada lingkungan hukum adat di Indonesia diakui bahwa proses pewarisan
dapat dilaksanakan sejak pewaris masih hidup yang disebut hibah yang dilakukan
dengan tujuan :99
a. Mencegah terjadinya perselisihan diantara para ahli waris
95

Wawancara dengan Amelia Prihartini, Notaris Deli Serdang, pada tanggal 17 April 2015
Pasal 210 ayat (1) KHI
97
Pasal 212 Kompilasi Hukum Islam
98
Pasal 211 Kompilasi Hukum Islam
99
Eman Suparman, Op.cit, hal 88
96

44

b. Sebagai pernyataan rasa kasih sayang
c. Sebagai bekal anak-anak dikemudian hari
d. Untuk menyempurnakan arwah pewaris
Proses penghibaan menurut hukum adat biasanya terjadi pada saat perkawinan
anak pewaris atau pada saat pewaris merasa ajalnya sudah dekat. Penghibaan ini
dapat terjadi dengan berbagai macam cara yaitu :100
a. Secara lisan dihadapan mereka yang berkepentingan dan disaksikan oleh
Pejabat Desa.
b. Tertulis yaitu dengan menggunakan akta Notaris, akta dibawah tangan dan
dihadapan kepala Desa
Dalam hal hibah jatuh kepada ahli waris maka ada beberapa ketentuan yaitu :
a. Hibah yang diterima ahli waris akan diperhitungkan pada saat pelaksanaan
pembagian waris (Di daerah Cianjur, Banjar, Cisarua, Baturaja, Krawang,
bandung).
b. Hibah tidka akan diperhitungkan pada saat pembagian waris (Ciamis, Wali,
Cikoneng, Cileungsi).
c.

Perbedaan Hibah dan Hibah Wasiat
Menurut Pasal 957 KUHPerdata hibah wasiat (legaat) adalah suatu penetapan

wasiat khusus (een bijzondere testamentaire beschicking) yang memberi kepada
seseorang (atau lebih) barang tertentu atau semua barang sejenis sperti seluruh barang
bergerak ataupun barang tidak bergerak. Hibah wasiat dapat diberikan pada setiap
orang, juga kepada ahli waris ab intestato, dalam hal terakhir ini ini ia merangkap
sebagai ahli waris dan legetaris.
100

Ibid, hal 89

45

Sifat hibah wasiat ada dua pendapat yaitu :101
a.

b.

Menurut pendapat pertama, penerima hibah wasiat adalah pemilik barang yang
dihibahwasiatkan segera setelah pewaris meninggal dunia, maka sama seperti
para ahli waris yang segera setelah pewaris meninggal menjadi pemilik warisan.
Menurut pendapat kedua, suatu warisan termasuk hibah wasiat yang terkandung
di dalamnya, demi undang-undang menjadi milik para ahli waris, sedangkan
legetaris mempunyai tagihan pribadi (persoonlijke vordering) terhadap mereka
untuk menyerahkan apa yang dihibahwasiatkan kepadanya (Pasal 959 ayat 1
KUHPerdata), jadi hak seorang legetaris dapat disamakan dengan hibah sewaktu
hidup yang diberikan kepada seseorang tetapi belum diserahkan kepadanya.
Perbedaan hibah dengan hibah wasiat adalah :

a.

Jika dilihat cara pemberiannya maka hibah hanya dengan akta hibah tetapi hibah
wasiat dibuat melalui surat wasiat atau testamen102

b.

jika dilihat pada saat penerimaan harta benda yang dihibahkan maka penerima
hibah dapat menggunakan harta yang dihibahkan langsung pada saat benda
tersebut dihibahkan setelah memenuhi syarat-syaratnya, sedangkan pada hibah
wasiat maka penerima hibah dapat menggunakan harta yang dihibahkan setelah
pemberi hibah meninggal dunia.103

c.

Hibah dapat diberikan kepada siapa saja termasuk ahli waris berdasarkan
persetujuan seluruh ahli waris sedangkan hibah wasiat hanya diberikan kepada
orang lain diluar ahli waris dengan pembatasan 1/3 dari harta peninggalan bersih
menurut hukum islam dan pembatasan legitime portie dalam KUHPerdata.104

101
Tan Thong Kie, Studi Notariat, Serba-Serbi Praktek Notaris, (Jakarta : Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2007), hal 275
102
Wawancara dengan Amelia Prihartini, Notaris Deli Serdang, pada tanggal 17 April 2015
103
Wawancara dengan Amelia Prihartini, Notaris Deli Serdang, pada tanggal 17 April 2015
104
Wawancara dengan Amelia Prihartini, Notaris Deli Serdang, pada tanggal 17 April 2015

46

d.

Menurut hukum islam, dan hukum perdata hibah tidak dapat ditarik kembali
namun KUHPerdatamemberikan pengecualian dalam hal tertentu hibah dapat
ditarik kembali, demikian pula menurut hukum adat hibah tidak dapat ditarik
kembali kecuali jika hibah tersebut bertentangan dengan hukum adat.105
Sedangkan hibah wasiat dapat ditarik kembali sewaktu-waktu secara tegas
maupun secara diam-diam selama pembuat hibah wasiat masih belum meninggal
dunia.106

e.

Dalam akta otentik perbedaan bahasa penutup akta pada hibah yaitu : “setelah
akta ini dibaca oleh Notaris maka segera akta ditandatangani penghadap, saksisaksi, dan Notaris….” sedangkan pada akta hibah wasiat, “setelah akta ini dibaca
oleh Notaris maka segera akta ini ditandatangani penghadap, Notaris, saksisaksi…..”

B. Akibat Hukum Hibah Yang Tidak Dibuat Secara otentik Tanpa
Persetujuan Ahli Waris Lain
1.

Akibat Hukum Hibah Yang Dibuat Secara Otentik
Berdasarkan KUHPerdata pelaksanaan hibah harus dilakukan dengan akta

Notaris kecuali pemberian hadiah dari tangan ke tangan secara langsung.107
Berdasarkan ketentuan tersebut, prinsipnya benda yang sudah dihibahkan tidak dapat
ditarik kembali menjadi hak milik pemberi hibah. Akan tetapi, untuk kepentingan
kewarisan, benda yang telah dihibahkan dapat “diperhitungkan kembali” nilainya ke
105

Eman Suparman, OP.cit, hal 94
Ibid, hal 104
107
Pasal 1682KUHPerdata
106

47

dalam total harta peninggalan seolah-olah belum dihibahkan.108 Ketentuan ini
bermaksud agar jangan sampai hibah yang dahulu pernah diberikan oleh pewaris,
mengurangi bagian mutlak yang seharusnya dimiliki oleh ahli waris yang disebut
legitime portie.
Sebagai contohnya apabila harta yang dimiliki pewaris saat meninggal tidak
cukup untuk membayar utang, maka bagian warisan untuk ahli waris yang bukan
legitime portie, contohnya istri, dapat diambil. Apabila masih belum cukup maka
diambil dengan cara mengurangkan besarnya wasiat jika ada wasiat. Jalan terakhir
adalah dengan mengurangkan dari bagian hibah yang pernah diberikan pewaris
sebelum meninggal.Hibah tersebut diperhitungkan kembali kemudian dikurangkan.
Urutan hibah yang diperhitungkan kemudian dikurangkan tersebut dihitung dari
hibah terdekat dari kematian pewaris sebagaimana diatur dalam Pasal 924
KUHPerdata:
Berdasarkan Pasal 833 ayat (1) KUHPerdatayang mengatur “Para ahli waris,
dengan sendirinya karena hukum, mendapat hak milik atas semua barang, semua hak
dan semua piutang orang yang meninggal.”Namun, Pasal 1045 KUHPerdata
menyebutkan “Tiada seorang pun diwajibkan untuk menerima warisan yang jatuh ke
tangannya.”Berarti ahli waris yang tidak mau menanggung utang milik pewaris, dapat
melakukan penolakan sebagai ahli waris.Penolakan sebagai ahli waris harus terjadi
dengan tegas melalui suatu pernyataan yang dibuat di Panitera Pengadilan Negeri di

108

Pasal 916a sampai Pasal 929 KUHPerdata

48

daerah hukum tempat terbukanya warisan,109 begitu juga dengan si penerima hibah
maka dapat juga menolak hibah yang diberikan kepadanya dengan akta penegasan
hibah.
Sebelum lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997, bagi
mereka yang tunduk kepada KUHPerdata surat hibah dan hibah wasiat harus dibuat
dalam bentuk tertulis dari Notaris110 karena hak milik atas barang yang dihibahkan
meskipun diterima dengan sah, tidak beralih pada orang lain yang diberi hibah,
sebelum

diserahkan

dengan

cara

penyerahan

menurut

Pasal

612,613,616

KUHPerdata.111Setelah lahirya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, setiap
pemberian hibah tanah harus dilakukan dengan akta PPAT.112 Perolehan atas tanah
secara hibah dan hibah wasiat seyogyanya didaftarkan peralihan haknya di kantor
Pertanahan sebagai bentuk pengamanan hibah tanah.113
Jika hibah dibuat dengan akta otentik maka akibat hukumnya hibah yang
dibuat tersebut menjadi sebagai alat bukti tertulis yang memiliki nilai pembuktian
yang sempurna yang harus dilihat apa adanya, tidak perlu dinilai atau ditafsirkan lain,
selain yang tertulis dalam akta hibah tersebut, karena telah dibuat dalam bentuk yang
sudah ditentukan oleh undang-undang sesuai Pasal 38 UUJN.114

109

Pasal 1057 KUHPerdata
Pasal 1005 KUHPerdata
111
Pasal 1686 KUHPerdata
112
Pasal 37 ayat (1) dan Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah
113
Wawancara dengan Yusrizal, Notaris Kota Medan, pada tanggal 16 April 2015
114
Wawancara dengan Yusrizal, Notaris Kota Medan, pada tanggal 16 April 2015
110

49

Terhadap peralihannya maka hibah yang dibuat secara otentik telah
mengikatkan diri kedua belah pihak untuk memberi dan menerima hibah tetapi jika
syarat-syarat yang diperlukan untuk hibah belum terpenuhi maka hibah masih
dilakukan dengan “akta pengikatan diri untuk melakukan hibah” yang dibuat
dihadapan Notaris, kewenangan ini berdasarkan Pasal 16 huruf f Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, setelah syarat-syarat terpenuhi maka
hibah baru dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Terhadap syarat-syarat yang belum terpenuhi akibat pengalihan hak atas
tanah115 itu maksudnya adalah pengenaan pajak116dan dalam hal ini adalah dikenakan
pajak PPh117 dan BPHTB
115

Dalam Bidang Perpajakan, menurut Pasal 1 ayat (2), Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 48 tahun 1994, tanggal 27 Desember 1994, yang mulai berlaku pada 1 Januari 1995,
bahwa yang dimaksud pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah:
a. Penjualan, tukar menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak,
lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain pemerintah.
b. Penjualan, tukar menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain yang disepakati
dengan pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak
memerlukan persyaratan khusus.
c. Penjualan, tukar menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain kepada
pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan
persyaratan khusus.
116
Menurut R. Santoso Brotodihardjo, “Pajak adalah iuran pada Negara (yang dapat
dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya
adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum dengan tugas Negara untuk
menyelenggrakan pemerintahan, dalam Santoso Brotodihardjo, R, Pengantar Ilmu Hukum Pajak,
(Bandung: PT Eresco, 1982), hal 2
117
Pengertian PPh mengandung dua kata yang mempunyai pengertian disatukan satu sama
lain. Yang pertama mengenai arti dari pajak adalah suatu kewajiban dari masyarakat untuk
menyerahkan sebagian dana kepada negara dalam membiayai kepentingan umum serta keperluan
negara lainnya, yang pelaksanaannya diatur oleh Undang-Undang. Kedua mengenai arti pengnasilan
adalah jumlah uang yang diterima atas usaha yang dilakukan orang-perorangan, badan atau bentuk
usaha lainnya yang dapat digunakan aktivitas ekonomi seperti mengkomsumsi dan/atau menimbun
serta menambah kekayaan, dalam Rimsky K. JudissenoPajak dan strategi Bisnis, (Suatu Tinjauan
tentang kepastian hukum dan Penerapan Akuntansi di Indonesia), (Jakarta :PT. Gramedia Pustaka
Utama,, 2002), hal 9, dan dan menurut pendapat yang lain menyatakan bahwa Pajak penghasilan (PPh)
adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh

50

Besarnya PPh yang harus dibayar oleh orang pribadi atau badan yang
memperoleh penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan bangunan menurut Pasal
4 Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tersebut adalah 5 % (lima persen) dari
jumlah bruto nilai tertinggi diantara nilai pengalihan berdasarkan akta pengalihan hak
dan NJOP atas tanah dan/atau bangunan.
Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tidak memberikan
pengertian yang terperinci mengenai defenisi PPh, tetapi hanya memberikan
pengertian dari objek PPh118
Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) huruf a angka 2 Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2000 tentang Undang-Undang PPh yang tidak termasuk objek pajak adalah
harta hibaan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat.
Mengacu pada ketentuan diatas maka yang tidak termasuk sebagai objek PPh
adalah hibah yang memenuhi persyaratan :
1.

2.

Penerimaan harta hibah adalah keluarga sedarah dalam garis lurus keturunan
lurus satu derajat, badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial
atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Hibah yang dilakukan tidak berhubungan dengan usaha,pekerjaan, kepemilikan
atau penguasaan antar pihak-pihak yang bersangkutan.
Akan tetapi bukan berarti hibah tidak dikenakan pajak, hibah atas tanah dan

dalam tahun pajak, dalam Agus Sambodo, Kewajiban Perpajakan Bagi Badan Usaha Dan Orang
Pribadi Tinajauan dari Sisi Wajib Pajak, (yogyakarta:BPFE,1999), hal 22
118
yang dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (1) (d) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000,
yaitu:“Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia, yang dapat dipakai untuk
komsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dalam bentuk
apapun, termasuk karena keuntungan, karena penjualan atau karena pengalihan harta...”

51

bangunan dikenakan BPHTB,119 karena hibah merupakan objek BPHTB.120
Saat terutangnya pajak atas hibah, dan hibah wasiat adalah terhitung sejak
tanggal pembuatan akta, kewajiban membayar pajak bagi penerima hak atas tanah
dan/atau bangunan diatur dalam Pasal 9 ayat 1 huruf h Undang-Undang Nomor 21
Tahun 1997 tentang BPHTB, yang diumumkan pada Lembaran Negara tahun 1997,
Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3688, diundangkan pada tanggal 29
Mei 1997.
Besarnya BPHTB adalah 5 % (lima persen) dari Nilai Perolehan Objek Pajak
Kena Pajak (yang selanjutnya disingkat dengan NPOPKP). NPOPKP diperoleh
dengan cara mengurangi Nilai Perolehan Objek Pajak (yang selanjutnya disingkat
dengan NPOP)-Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (yang selanjutnya
disingkat dengan NPOPTKP).
NPOPTKP untuk masing-masing daerah tidak sama dan ditentukan secara
regional.

Undang-Undang

hanya

mengatur

mengenai

ketentuan

maksimal

NPOPTKP, yaitu sebesar Rp. 60.000.000,- (Enam Puluh Juta Rupiah). Khusus untuk
perolehan hak atas tanah yang disebabkan adanya hak waris atau hibah wasiat yang
119

BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perbuatan atau peristiwa hukum yang
mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Hak
atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di
atasnya sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan Perundangundangan lainnya
120
Objek pajak BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan bangunan yang meliputi jual beli,
tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya,
pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penunjukan pembeli dalam lelang, pelaksanaan
keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, penggabungan usaha, peleburan usaha,
pemekaran usaha, hadiah, pemberian hak baru karena pelepasan hak, dan pemberian hak baru di luar
pelepasan hak, dalam Valentina Sri S., Aji Suryo, Perpajakan Indonesia, Seri Belajar untuk
Mahasiswa Cet. I(Yogyakarta: UPP MPP YKPN,2003), hal. 2

52

diterima dalam garis keturunan lurus atau derajat ke atas atau satu derajat ke bawah,
termasuk suami/isteri ditetapkan secara regional paling banyak Rp. 300.000.000 (tiga
ratus juta rupiah).
Menurut Undang-Undang BPHTB harus telah dilunasi pada saat terjadinya
p