Hibah Kepada Ahli Waris Tanpa Persetujuan Ahli Waris Lain (Studi Putusan Pengadilan Agama Stabat Nomor 207 Pdt.G 2013 P.A.Stabat)

ABSTRAK
Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam maka pemberian hibah harus
berdasarkan persetujuan anak-anaknya dan tidak boleh melebihi dari 1/3 hartanya,
dan jika ada ahli waris yang merasa haknya dirugikan maka dapat menuntutnya ke
Pengadilan, dan hibah atas barang bergerak dan barang tidak bergerak harus
dilakukan dihadapan Notaris/PPAT, maka berdasarkan hal tersebut yang terjadi pada
kasus ini adalah hibah yang dilakukan tanpa persetujuan ahli waris dan dibuat tanpa
dihadapan Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah Hibah yang hal inilah yang
mendorong penelitian ini dilakukan yaitu Hibah Kepada Ahli Waris Tanpa
Persetujuan Ahli Waris Lain (Studi Putusan Pengadilan Agama Stabat Nomor
207/Pdt.G/2013/PA.Stb).
Meneliti masalah tersebut diatas teori yang digunakan adalah Teori Keadilan
dan didukung oleh Teori Kemaslahatan Penelitian ini dilakukan dengan metode
yuridis normatif, yang bersifat deskriptip analitis dan tehnik pengumpulan datanya
dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh dengan cara studi kepustakaan
dan penelitian di lapangan yaitu Hakim Pengadilan Agama Stabat, dan Notaris
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) di Medan.
Dari hasil penelitian yang dilakukan maka dapat diambil kesimpulan yaitu
Akibat hukum hibah tanpa persetujuan ahli waris lain yang tidak dibuat secara
otentik dikaitkan dengan Putusan Pengadilan Agama Nomor: 207/Pdt.G/2013/PA.Stb
adalah apabila hibah melanggar legitime portie lebih dari 1/3 maka yang merasa

terlanggar haknya dapat mengajukan pembatalan ke pengadilan umum atau agama
dan tetapi jika tidak ada yang mempermasalahkan maka hibah tersebut tetap
menajadi hak penerima hibah dan akta otentik tetap berlaku sebagai alat pembuktian
yang sah, sedangkan jika dikaitkan berdasarkan Putusan Pengadilan Agama Nomor:
207/Pdt.G/2013/PA.Stb maka hibah yang dibuat tanpa persetujuan ahli waris tersebut
diatas dapat dibatalkan karena hibah tanah tersebut tidak dibuat oleh Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang dan hibah tersebut dipermasalahkan
oleh salah satu ahli waris melalui Pengadilan Agama Stabat. Tanggung jawab
Notaris/PPAT terhadap akta otentik yang dibuat tanpa persetujuan salah satu ahli
waris lainnya yaitu sepanjang Notaris tidak mengetahui adanya ahli waris lain yang
tidak menyetujui akibat para pihak memalsukan data dengan merahasiakan
keberadaan salah satu ahli waris ataupun penghadap yang hadir bukanlah penghadap
yang sebenarnya sedangkan akta yang dibuat Notaris/PPAT telah memenuhi
prosedur pembuatan akta Otentik yang memenuhi kekuatan pembuktian lahiriah,
formil dan materil. Maka hal itu bukan tanggung jawab Notaris/PPAT, tetapi jika
Notaris/PPAT mengetahui adanya salah satu ahli waris yang tidak menyetujui hibah
tersebut dan akta hibah tetap dibuat Notaris dengan terbukti mencantumkan
keterangan palsu maka akta Notaris/PPAT menjadi batal demi hukum dan Notaris
harus bertanggung jawab atas tindak Pidana yang dilakukannya yaitu Pasal 264, 266
jo Pasal 55dan 56 KUHP, Alasan Hakim dalam pertimbangan hukum Putusan

Pengadilan
Agama
Nomor:
207/Pdt.G/2013/PA.Stb
adalah
dengan
i

mempertimbangkan alat bukti surat keterangan pembagian harta tanah/lahan
pertanian/perumahan, pernyatan hibah tidak dapat disesuaikan dengan yang aslinya
dan objek perkara yang ditetapkan sebagai harta peninggalan tidak dapat diterima,
sehingga tidak memenuhi syarat formil dan tidak dapat diterima sebagai alat bukti,
berdasarkan keterangan saksi bahwa harta warisan belum pernah dibagi wariskan
dengan para ahli waris lainnya maka berdasarkan Pasal 171 huruf (c), (d), (e), jo
Pasal 185 KHI maka yang menjadi pertimbangan adalah ahli waris yang berhak
terhadap objek perkara berdasarkan bagiannya.
Dari hasil penelitian diatas disarankan pada masyarakat yang ingin
menghibahkan hartanya terutama benda tidak bergerak untuk membuatnya dalam
akta otentik dan bagi Notaris harus memperhatikan ahli waris sesuai SKHW dan
setelah membacakan akta harus menanyakan kembali kepada para penghadap apa

benar isi akta yang dibacakan sesuai kehendak para pihak karena jika penghadap
menjawab benar maka lepaslah tanggungjawab Notaris karena Notaris hanya
bertanggungjawab formil atas materi akta, dan untuk Notaris/PPAT agar Notaris
membuat Akta Pernyataan yang isinya menyatakan bahwa harta yang dihibahkan
tidak melebihi dari 1/3 bagian, dan hibah tersebut telah disetujui oleh seluruh ahli
waris, dan jika penghadap yang beragama Islam tapi tidak mau menggunakan
Peraturan KHI dalam menghibahkan haknya maka buatlah Akta Pernyataan bahwa ia
menghibahkan haknya berdasarkan hukum lain yang diakui di Indonesia selain
peraturan KHI.
Kata Kunci : Kompilasi Hukum Islam, Hibah, Tanpa Persetujuan Ahli Waris,
Akta Otentik.

ii

ABSTRACT

Based on KHI (Compilation of the Islamic Law), giving a hibah (gift) must be
approved by the giver’s heirs and it not more than 1/3 of his property. If the other
heirs feel that they are harmed, they can file a complaint to the Court. Hibah on
movable and immovable properties must be made before a Notary/PPAT (official

empowered to draw up land deeds). Therefore, the research will be Hibah to an Heir
without the Approval of the other Heirs (A Case Study on the Verdict of the Religious
Court at Stabat No. 207/Pdt.G/2013/PA.Stb. The objective of the research was to
find out the legal consequences of giving hibah without the approval of the other
heirs, Notary’s responsibility for a hibah certificate which was made without the
approval of the other heirs, and judge’s legal consideration in the Verdict of the
Religious Court No. 207/Pdt.G/2013/PA.Stb.
The research used judicial normative and descriptive analytic methods in
order to analyze legal provisions and regulations on hibah so that it would be known
the legal basis was adequate to describe judges’ consideration in giving verdicts.
The secondary data were gathered by conducting library research and field research
at the Religious Court and PPAT Office, in Medan.
The conclusion of the research showed that basically a hibah can be made
orally and in a written form as it is found in Al-Quran, Al-Baqarah, verses 282 and
283 as the basis for any agreement in Islam; thus, hibah which is give orally (not in
a written form in an authentic certificate) does not mean that it is invalid.
Concerning the legal consequence of a hibah which is given without the other heirs’
approval, without any authentic certificate, and if it is more than 1/3 of the property,
it can be cancelled. This is in line with Article 210, paragraph 2 of KHI which states
that if one of the heirs feels that he is harmed, he can file a complaint to the

Religious Court to cancel the hibah. A Notary/PPAT is not responsible for an
authentic certificate which has been made without the approval of one of the heirs if
it is beyond his knowledge that there is another heir who does not approve of it, or
the data are forged by keeping the existence of the heir secret, or one of the persons
appearing is not the real person. However, if he knows that one of the heirs does not
approve of it and the Notary is proved to attach falsified information, the
Notarial/PPAT deed is legally cancelled and the Notary is responsible for his
criminal act according to Articles 264, 266 in conjunction with Articles 55 and 56 of
the Penal Code. Judges’ legal consideration of the Verdict of the Religious Court No.
207/Pdt.G/2013/PA.Stb is by considering evidence that the hibah is not made
authentically and the witnesses’ testimony states that hibah is not contributed to the
other heirs; and thus according to Article 171, points c, d, and e in conjunction with
Article 185 of KHI, the consideration was that the heir has the right on the case
object, based on his share.
Keywords: Compilation of the Islamic Law, Hibah, Without Heirs’ Approval
iii