Kepemimpinan Pendeta Perempuan Di Gereja Batak Karo Prostestan (Gbkp) Di Klasis Medan Namorambe: Suatu Tinjauan Fenomenologis

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Masalah
Kepemimpinan adalah suatu gejala sosial yang menarik, karena

peranannya yang tak terpisahkan dari kegiatan masyarakat. Ia mempunyai sifat
yang universal, yang selalu ada dan senantiasa diperlukan pada setiap usaha
bersama manusia, karena menyangkut masalah relasi dan saling mempengaruhi
antar pemimpin dan yang dipimpin (Kartono, 2010). Hal tersebut telah melahirkan
fenomena hubungan antara dua pihak dimana pihak pertama memiliki kekuatan
atau kemampuan untuk mengatur orang atau kelompok lain, sedangkan seseorang
atau kelompok lain sebagai pihak yang diatur. Jika kekuasaan tersebut diwujudkan
dalam diri seseorang, maka orang yang memiliki kekuasaan ini dinamakan
pemimpin, sedangkan pihak yang menerima pengaruh dinamakan pengikut
(Setiadi, 2011).
Pada awalnya, kepemimpinan lahir bersamaan dengan timbulnya
peradaban manusia, yakni sejak dimulainya hidup dan interaksi sosial antara
individu. Interaksi itu menyebabkan terjadinya hubungan satu sama lain dan

membentuk suatu ikatan sosial yang terwujud dengan pengadaan kelompok. Selo
Soemarjan (Soekanto, 2009) mengatakan sejak mula terbentuknya suatu
kelompok sosial, seseorang atau beberapa orang diantara warga-warganya
melakukan peranan yang lebih aktif daripada rekan-rekannya. Peran orang tadi
atau beberapa orang tampak lebih menonjol dari lainnya.

1

Kepemimpinan dapat ditemukan pada setiap lembaga sosial, mulai dari
unit sosial terkecil, yakni keluarga, desa dan negara, juga pada tingkat lokal,
regional dan nasional bahkan internasional di setiap tempat dan waktu.
Kepemimpinan diperlukan untuk menggerakkan dan mengorganisasi manusia
dalam kehidupan bersama. Dalam sejarah peradaban manusia, pemikiran tentang
kepemimpinan selalu dikaitkan dengan laki-laki (Klenke, 1996). Pemimpin selalu
diposisikan

kepada laki-laki. Bilamana perempuan menjadi pemimpin harus

memenuhi standard kepemimpinan laki-laki yang diakui efektivitasnya sebagai
pemimpin, sehingga perempuan untuk menjadi pemimpin bukanlah proses yang

mudah.
Sulitnya perempuan menjadi pemimpin diasumsikan adanya stereotipe
yang melihat perempuan mahluk yang lemah dan laki-laki adalah mahluk yang
kuat. Laki-laki digambarkan mempunyai sifat maskulin seperti kuat, keras,
rasional, berani, gagah dan perkasa. Sementara perempuan digambarkan memiliki
sifat feminim seperti halus, lemah, perasa, sopan, cantik dan penakut (Fakih,
2004). Stereotipe tersebut akhirnya membuat konstruksi sosial adanya pembagian
ruang berdasarkan jenis kelamin laki-laki dan

perempuan. Ruang domestik

menjadi daerah milik perempuan sementara ruang publik menjadi milik laki-laki.
Pada gilirannya, pembagian ruangan ini menjadikan pekerjaan rumah tangga
seperti memasak, mencuci piring, mengasuh anak, juga memelihara ternak,
mengambil air dan mengumpulkan hasil panen oleh sebagian masyarakat masih
dianggap pekerjaan perempuan. Jenis pekerjaan laki-laki seperti berburu,
memperbaiki rumah, menebang pohon, ikut dalam rapat-rapat dan pertemuan.

2


Konstruksi sosial seperti inilah yang dikandung dalam masyarakat
patriarki. Masyarakat yang menganut sistem patriarki meletakkan laki-laki pada
posisi dan kekuasaan yang dominan dibandingkan perempuan. Perempuan yang
tidak memiliki otot dipercayai sebagai alasan mengapa masyarakat meletakkan
perempuan pada posisi lemah (inferior). Demikian juga Salomon (dalam
Budiman, 2000) mengatakan bahwa di antara sekian banyak mitos yang selama
ini membingkai persepsi masyarakat adalah mitos perempuan sebagai istri, ibu,
sebuah mitos gender yang menunjukkan hegemoni laki-laki. Laki-laki dianggap
memiliki kekuatan lebih dibandingkan perempuan. Di semua lini kehidupan,
masyarakat memandang perempuan sebagai seorang yang lemah dan tidak
berdaya. Mengutip pendapat Masudi, Faturochman (2002) mengatakan bahwa
sejarah masyarakat patriarki sejak awal membentuk peradaban manusia yang
menganggap bahwa laki-laki lebih kuat (superior) dibandingkan perempuan baik
dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, maupun bernegara. Kultur
patriarki ini secara turun-temurun membentuk perbedaan perilaku, status, dan
otoritas antara laki-laki dan perempuan di masyarakat yang kemudian menjadi
hirarki gender.
Seiring dengan perkembangan zaman, perubahan lingkungan dan
pergeseran budaya adalah kenyataan yang tak dapat dihindari oleh masyarakat.
Pembagian kerja dalam sistem patriarki yang selama ini terjadi dalam banyak

komunitas masyarakat dunia, telah mengalami pergeseran. Saat ini batas sektor
publik dan domestik sebagai batas antara wilayah laki-laki dan perempuan
menjadi kabur. Perempuan saat ini telah turut mengambil peran di ruang publik.
Posisi perempuan sebagai pemimpin di ruang publik menunjukkan kecenderungan

3

adanya peningkatan di antaranya adanya perempuan yang menjadi pimpinan di
beberapa instansi pemerintah dan swasta. Kondisi inipun semakin terbuka
didorong oleh faktor-faktor perubahan zaman yang cukup pesat terutama di era
globalisasi.
Menjadi pemimpin adalah hak setiap warga negera baik laki-laki dan
perempuan, tua dan muda. Ini sudah sejak lama dideklrasikan dalam Deklarasi
Universal Hak Azasi Manusia (1948) yang telah disetujui oleh Negara-negara
anggota PBB, termasuk oleh Indonesia menyebutkan sejumlah pasal yang
memberikan kebebasan kepada perempuan untuk memilih pemimpin maupun
menjadi pemimpin.“Kita, sebagai warga Perserikatan Bangsa Bangsa, menjamin
penetapan kembali atas pengakuan hak-hak politik manusia, harkat dan martabat
individu, dan persamaan hak-hak antara laki-laki dan perempuan, tua dan
muda.”Setiap warga negara Republik Indonesia baik laki-laki maupun perempuan

sepanjang memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan berhak menjadi pemimpin. Ini ditegaskan dalam Peraturan UndangUndang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yaitu bahwa perempuan
berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan, jabatan dan profesi
sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan. Indonesia
berkomitmen untuk menjalankan prinsip kesetaraan gender melalui berbagai
komitmen nasional dan internasional. Undang-undang Dasar 1945 menjamin
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Faktanya masih banyak kendala di masyarakat jika perempuan menjadi
pemimpin. Ini terlihat dari adanya perbedaan pendapat di kalangan masyarakat
luas mengenai kepemimpinan perempuan. Menurut Klenke (1996), perempuan

4

untuk tampil sebagai pemimpin diibaratkan sebagai fenomena atap kaca atau glass
ceiling (seolah tanpa halangan), yaitu adanya hambatan yang seolah-olah tidak
terlihat, tembus pandang tetapi dalam kenyataannya merintangi akses perempuan
dan kaum minoritas lain dalam menuju kepemimpinan puncak. Hambatan ini
meliputi eksternal maupun internal. Dalam hambatan internal, penghambatnya
berasal dari diri dan lingkungan terdekat: perempuan kurang percaya diri, terikat
dengan


persoalan

keluarga

(anak-anak,

suami).

Hambatan

eksternal,

penghambatnya berasal dari luar diri perempuan yaitu nilai-nilai sosial budaya,
ajaran agama dan sebagainya.
Keterlibatan perempuan dalam mengisi kedudukan kepemimpinan di
wilayah publik merupakan fenomena yang penting dalam era modernisasi dan
globalisasi. Pada satu sisi, masuknya perempuan ke dalam wilayah kerja publik
sebagai pemimpin memberikan gambaran adanya perubahan dalam masyarakat.
Namun di sisi lain ketika perempuan sudah diterima menjadi pemimpin namun
jumlah perempuan yang menjadi pemimpin tidak berimbang dengan banyaknya

jumlah perempuan. Jumlah pemimpin perempuan tetap sangat terbatas (Saparinah,
2009).
Kepemimpinan perempuan pun menjadi topik yang banyak

dibicarakan

ketika beredar satu buku yang disusun oleh pasangan penulis Amerika, John
Naisbitt dan Patricia Aburdene. Pasangan ini dalam bukunya yang menjadi
populer di seluruh dunia, Megatrends 2000 (1990) telah meramalkan tahun 2000
sebagai dekade kepemimpinan perempuan.

Pembahasan utama dalam buku

tersebut adalah fakta angka perempuan Amerika dalam dunia bisnis. Ramalan ini

5

telah menggugah pengamat dan peneliti masalah perempuan di mancanegara dan
di Indonesia untuk mengkaji sejauh mana kebenarannya.
Kebangkitan kepemimpinan


perempuan

terjadi di berbagai

bidang

pekerjaan publik termasuk di Indonesia. Di bidang politik dan pemerintahan
peningkatan keterwakilan perempuan di DPR RI pada Pemilu tahun 2004 11,8%
18 % pada Pemilu tahun 2009 cukup substansif, di tahun 2009, hanya ada satu
dari 33 orang Gubernur yang terpilih adalah perempuan (UNDP, 2010).
Kebangkitan kepemimpinan perempuan pun terjadi dalam gereja di
Indonesia, yakni bertambahnya perempuan yang menjadi pendeta (pemimpin
umat). Gereja sebagai salah satu lembaga sosial di masyarakat yang ditata dalam
keteraturan. Gereja sebagai persekutuan orang-orang yang percaya yang telah
dipanggil ke luar dari kehidupan lama ke dalam kehidupan terang. Gereja sebagai
persekutuan orang-orang percaya adalah organisasi yakni organisasi Gereja yang
adalah tubuh Kristus memiliki sistem kepemimpinan.
Dalam perkembangannya, khususnya dalam gereja-gereja Protestan,
perempuan sudah mulai diterima menjadi pendeta. Fenomena yang sangat

menarik dalam gereja sejauh ini jumlah pendeta perempuan semakin pesat
pertambahannya namun pendeta

perempuan belum banyak yang ikut serta

dalam pengambilan keputusan. Fakta ini menjadi menarik untuk diteliti dalam
kehidupan bergereja di Inodesia. Di tahun 2000-an ini jumlah pendeta perempuan
sudah hampir menyamai jumlah pendeta laki-laki bahkan di beberapa gereja
sudah melebihi jumlah pendeta laki-laki, misanya di GMIM (Gereja Masehi Injili
di Minahasa) 60% pendetanya adalah perempuan (Wawancara dengan Pdt. Steven
Kumenit, Sabtu, 25 Oktober 2014). Menurut Judo (Stephen (ed), 1995), sampai

6

akhir abad ke 20 gereja-gereja di Indonesia telah memberikan tempat bagi
perempuan untuk tampil sebagai pemimpin yakni menjadi pendeta walaupun
jumlahnya sedikit.
Penerimaan perempuan untuk menjadi pendeta yang pada gilirannya akan
menjadi pemimpin di gereja telah menunjukkan perkembangan walaupun
pertumbuhannya sangat lambat. Dari catatan sejarah gereja atas penerimaan

pendeta perempuan baik tahun berdirinya gereja tersebut dan tahun pentahbisan
pendeta perempuan pertama sekali. Antara lain adalah GKJTU (Gereja Kristen
Jawa Tengah Utara) berdiri tahun 1850, pentahbisan pendeta perempuan pertama
tahun 1964. GKJW (Gereja Kristen Jawi Wetan) berdiri tahun 1843, pentahbisan
pendeta perempuan yang pertama tahun 1961. GKPI berdiri tahun 1964,
pentabisan pendeta perempuan pertama tahun 1986. BNKP berdiri tahun 1862
pentahbisan pendeta perempuan pertama tahun 1989. HKBP berdiri tahun 1824,
pentahbisan pendeta perempuan pertama tahun 1986 (Gesine, 2008).
Dari laporan Biro Wanita dari PGI tentang peranan wanita dalam gereja
tahun 1983 mengungkapkan bahwa sekalipun gereja yang pada prinsipnya setuju
untuk memberi kesempatan kepada perempuan untuk menduduki semua jabatan
gereja. Namun pada kenyataannya dari tingkat jemaat hingga tingkat sinode
(lembaga pusat Gereja) perempuan menduduki posisi pimpinan masih teramat
sedikit (Biro Wanita DGI, 1983). Kondisi ini menunjukkan sulitnya perempuan
menjadi pemimpin di tengah-tengah gereja.
Kepemimpinan perempuan di gereja secara normatif memiliki legitimasi
yang sangat kuat, baik secara teologis, filosofis, maupun hukum. Namun budaya
patriarki juga terinternasliasi dalam menginterpretasi ajaran-ajaran agama dan

7


penanaman nilai-nilai kepada anggotanya, termasuk dalam agama Kristen yang
dibawa ke Indonesia. Injil yang dibawa ke daerah di Indonesia oleh misionaris
Belanda turut menanamkan interpretasi Alkitab dalam perspektif patriarki.
Pertemuan budaya lokal dengan kegiatan penginjilan yang patriarki menghasilkan
gereja yang cenderung menganut sistem patriarki (kuasa ada pada laki-laki).
Beberapa penelitian yang telah dilakukan menyimpulkan masih sulit bagi
kaum perempuan untuk tampil menjadi pemimpin dalam Gereja. Seperti yang
diungkapkan dalam tesis “Pendeta Wanita Toraja” (Priyanti,1998). Hambatan
yang ada dalam tesis ini adalah ajaran dan tradisi agama Kristen yang patriarki
yang dibawa oleh Zending yang memandang perempuan itu lebih rendah dari lakilaki. Perempuan untuk menjadi pendeta lama baru bisa diterima Padahal
sesungguhnya dalam kehidupan masyarakat Toraja, kedudukan perempuan sangat
sentral. Sebagai masyarakat yang egaliter, kedudukan laki-laki dan perempuan
setara. Di dalam agama suku, mereka mengenal To Burake, wanita imam, yang
berperan sebagai pimpinan upacara tertinggi dalam upacara religi.
Membahas tentang kepemimpinan pendeta perempuan di dalam Gereja
Batak Karo Protestan (selanjutnya disebut GBKP) tidak bisa terlepas dari latar
belakang masuk Injil kepada orang Karo. GBKP adalah gereja yang lahir dari
buah pekabaran Injil oleh badan zending dari Belanda yakni NZG (Nederlands
Zendelingegnootschap). Ajaran teologi yang dibawa oleh NZG ke Karo adalah
teologi Calvinis. Pelopor dari ajaran calvinis ini adalah Johanes Calvin (15091564). Johanes Calvin menegaskan bahwa laki-lakilah yang diciptakan segambar
dengan Allah, sedangkan perempuan berstatus a second degree, kelas dua, oleh

8

karena itu sepanjang zaman perempuan harus dikucilkan dari kepemimpinan
publik (Douglas, 1985:53).
Dalam tatanan organisasai, struktur GBKP dari sejak awal berdirinya
telah menetapkan sistem tatanan bergereja (kepemimpinan dalam gereja) adalah
berdasar kepada azas presbiterial sinodal (Cooley,1976). Presbiterial sinodal
berasal dari kata presbyter, secara etimologis berarti .’tua-tua atau yang dituakan’
dan GBKP menggunakan penerjemahan yang menyebutnya ‘pelayan khusus atau
pejabat gereja’ (yakni Pendeta, Pertua dan Diaken). Sinodal berasal dari kata
synode yang diturunkan dari kata sun hodos , artinya berjalan bersama. Dengan
sistem presbiterial sinodal ini,

pendeta, pertua dan diaken di GBKP bersama-

sama menjalankan kepemimpinan dalam gereja. Sistem presbiterial sinodal ini
wujud dalam sidang-sidang yang merupakan keputusan tertinggi yang mengikat
setiap anggota GBKP. Kedudukan Pendeta, pertua atau diaken adalah sama
hanya dibedakan oleh tugas pelayanan (Tata Gereja GBKP, 2010 Edisi Sinode).
Dalam tatanan organisasi yang telah diwariskan dan dasar teologi calvinis
inilah kepemimpinan di GBKP dilayankan.

Kedudukan perempuan dalam

pelayanan publik yang tidak terlalu diperhitungkan. Seiring dengan kehidupan
budaya orang Karo yang pada dasarnya sudah memiliki latar belakang budaya
patriarki dan patrilineal. Di mana garis keturunan diwariskan dari marga ayah
(laki-laki), sehingga pada budaya Karo perempuan dipandang lebih rendah
daripada laki-laki. Perempuan diposisikan sebagai subordinat laki-laki.
Ajaran agama yang dibawa oleh NZG ke orang Karo yang melahirkan
GBKP sangat dipengaruhi oleh budaya patriarki berjumpa dengan budaya orang
Karo yang pada dasarnya adalah patriarki dan patrilineal.

Walaupun

para

9

misionaris sangat memperhatikan perempuan Karo dengan berbagai upaya untuk
mengangkat harkat dan martabat perempuan. Namun untuk memberikan peluang
bagi perempuan sebagai pemimpin di tengah gereja merupakan proses yang cukup
panjang dan lama. Sehingga dalam sejarahnya baru pada tahun 1984 setelah 97
tahun berdiri GBKP memutuskan menerima perempuan menjadi pendeta
berdasarkan keputusan sidang sinode GBKP yang ke XXIX, 5-11 November di
Jakarta. Pentahbisan pendeta perempuan pertama dilakukan di GBKP pada tahun
1987 kepada Pdt Rosmalia br Barus, Sm.Th.

Perempuan menjadi pendeta di

GBKP setiap tahun jumlahnya semakin meningkat. sebagaimana dapat dilihat
pada tabel 1.1 berikut ini
Tabel 1.1.Jumlah Pendeta Laki-laki dan Perempuan GBKP yang
Ditahbiskan Tahun 2010-2014
Jumlah
Tahun

Pendeta laki-laki

Pendeta perempuan

2010

0 orang

6 orang

2011

15 orang

24 orang

2012

15 orang

26 orang

2013

17 orang

33 orang

2014

11 orang

14 orang

Jumlah

58 orang

103 orang

Sumber: Kantor Moderamen, Laporan SKS-SPK 2010-2014
Data di atas menunjukkan bahwa saat ini ada kecenderungan peningkatan
jumlah pendeta perempuan lebih banyak dari pendeta laki-laki. Secara
keseluruhan dapat dilihat jumlah pendeta laki-laki dan pendeta perempuan di
gereja sudah menunjukkan angka yang seimbang sebagaimana yang tertera pada
tabel 1.2 berikut ini.

10

Tabel 1.2.Perbandingan Jumlah Pendeta Laki-laki dan Perempuan
Tahun 2010-2014
Jumlah
Tahun

Pendeta laki-laki

Pendeta perempuan

2010

167 orang

111 orang

2011

167 orang

117 orang

2012

182 orang

141 orang

2013

199 orang

167 orang

2014

210 orang

200 orang

Sumber: Kantor Moderamen GBKP,tahun 2014
Pertambahan ini merupakan fenomena yang patut untuk diteliti
sehubungan dengan kepemimpinan di gereja GBKP. Sebagaimana diatur dalam
Tata Gereja GBKP perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama untuk dipilih
menjadi pemimpin di GBKP baik itu pendeta, pertua dan diaken. (Tata Gereja
GBKP, 2010:5). Di bawah ini ada data yang menunjukkan pendeta perempuan di
GBKP yang memiliki posisi pada struktur kepemimpinan dalam tabel 1.3 berikut
ini.

11

Tabel 1.3. Posisi Pendeta Perempuan di GBKP dalam Struktur
Kepemimpinan di Gereja
Wilayah
pelayanan
Moderamen

Klasis (22 klasis)

Runggun (528)

Jabatan

Jenis kelamin

Ketua Umum (1)
Ketua Bidang (5)
Sekretaris /Wkl (2)
Bendahara(1
Anggota(2)
Ketua
Sekretaris
Ketua Bidang
Ketua Majelis Pendeta
Ketua Majelis Non Pdt
Jumlah

Perempuan
2
1
3
4
4
20
18

Laki-laki
1
3
2
2
19
18
18
53
437

52

553

Sumber: Statistik GBKP 2013
Gambaran data tersebut di atas menunjukkan walaupun pendeta
perempuan telah diperbolehkan menjadi pemimpin namun dari sisi jumlah tidak
setara dengan para laki-laki yang menjadi pemimpin dalam menduduki posisi
dalam struktur baik itu di Majelis Jemaat (Runggun), Klasis dan Sinode
(Moderamen). Kondisi ini menunjukkan ada perbedaan perlakuan terhadap
pendeta perempuan dan pendeta laki-laki . Perempuan masih sulit untuk masuk
sebagai pelaksana yang memiliki posisi dalam struktural.
Dalam organisasi gereja, GBKP menganut sistem presbiterial-sinodal.
Organisasi gereja dipahami sebagai penataan jemaat (kepemimpinan) yang
didasarkan kepada asas kesatuan dan kebersamaan (kolegial) para pejabat gereja
yakni pendeta, pertua dan diaken yang selanjutnya akan disebut dengan majelis
jemaat. Jabatan pendeta, pertua dan diaken menjadi unsur-unsur pokok yang
berperan utama dalam kepemimpinan

GBKP dalam menata jemaat. Untuk

12

melaksanakan misi gereja sebagai cerminan kepemimpinan Kristus terhadap
setiap dan seluruh orang percaya. Sistem kepemimpinan itu menempatkan majelis
jemaat

selalu bermusyawarah dalam persidangan secara berkala sesuai dengan

ketentuan tata gereja.
Praktek kepemimpinan dimaksudkan sebagai aktivitas penataan kehidupan
gereja sesuai dengan struktur organisasinya. Dalam kerangka struktur organisasi
GBKP, penataan dilakukan melalui ketiga level satuan yang ada yakni:
Jemaat/Runggun (level terkecil), Klasis (level menengah) dan Moderamen (level
tertinggi) sebagai pelaksana sinodal. Pada masing-masing satuan, kegiatan
kepemimpinan mencakup dua hal pokok yaitu pengambilan keputusan dan
pelaksanaannya.
Secara struktural, masing-masing susunan ini meliputi seluruh warga jemaat
dan pelayan khusus pada levelnya serta memiliki sebuah badan pekerja sebagai
satuan kelompok kecil, yang bertugas melaksanakan pengorganisasian pelayanan
di wilayahnya (lihat lampiran L-4).
1. Moderamen
Sinode adalah persekutuan seluruh jemaat yang merupakan perwujudan
Keesaan GBKP. Koordinator pelaksana Sidang Sinode adalah Moderamen.
Yang merupakan persekutuan kerja para pelayan khusus yang mengemban tugas
kepemimpinan gereja atas keseluruhan GBKP yang dipilih oleh sidang sinode.
Moderamen terdiri dari seorang ketua umum, dari unsur pendeta, ketua bidang
marturia dari unsur pendeta, ketua bidang koinonia dari unsur pendeta, ketua
bidang diakonia dari unsur pendeta, ketua bidang personalia dan sumber dayan
manusia dari unsur pendeta, ketua bidang dana dan usaha dari unsur pertua atau

13

diaken, sekretaris umum dari unsur pendeta, wakil sekretaris dari unsur pertua
atau diaken, seorang bendahara dari unsur pertua atau diaken, dua orang anggota,
dari unsur pertua atau diaken. (Tata Gereja GBKP, 2010: 23, 24)
2. Klasis
Klasis, adalah wujud kesatuan dan persekutuan beberapa jemaat dalam satu
wilayah yang dibentuk berdasarkan kebutuhan demi perkembangan pelaksanaan
panggilandan tugas gereja. Syarat pembentukannya adalah minimal 20 jemaat dan
sekurang-kurangnya 4.000 anggota sidi, memiliki paling tidak 5 orang pendeta
dan mampu membiayai sendiri yang menjadi kebutuhan wilayah bersangkutan.
Badan Pekerja Klasis adalah pelaksana harian klasis dan mengkoordinasikan
pelayanan jemaat di wilayahya serta membina dan mengawasinya. BP ini dipilih
dalam sidang klasis, terdiri dari ketua dari unsur pendeta, ketua bidang koinonia
dari unsur pendeta, ketua bidang marturia dari unsur pertua, ketua bidang diakonia
dari unsur diaken, sekretaris dari unsur pendeta atau pertua atau diaken, wakil
sekretaris dari unsur pertua atau diaken , bendahara dari unsur pertua atau
diaken, 2 orang anggota dari unsur pendeta, pertua, diaken. (Tata Gereja GBKP,
2010).
3. Jemaat/ Runggun
Menurut Tata Gereja GBKP, Jemaat adalah persekutuan orang percaya
yang beribadat, bersaksi dan melayani di suatu daerah atau tempat yang telah
mempunyai sedikitnya 200 anggota sidi dan Majelis Jemaat. Syarat-syarat
menjadi Jemaat: telah mampu membiayai pelayanan, memiliki tempat ibadah,
memiliki kelengkapan administrasi, mampu mengatur dan melaksanakan tugas

14

panggilan gereja dan di dalam jemaat terdiri dari beberapa sector dan
kemungkinan ada bakal jemaat.
Majelis Jemaat adalah persekutuan kerja para pejabat gereja

yang

mengemban peran kepemimpinan di jemaat setempat untuk melaksanakan tugas
panggilan gereja. Sebagai pengelola kegiatan dan pelaksanaan administrasi serta
mewakili wewenang satuan Majelis Jemaat dalam tugas sehari-hari, diangkat
Badan Pekerja Majelis Jemaat yang terdiri dari Ketua, Sekretaris, dan Bendahara.
Jika Jemaat tersebut mempunyai Pendeta , biasanya Pendeta itulah yang menjabat
ketua majelis yang ditetapkan melalui persidangan majelis jemaat (Tata Gereja
GBKP, 2010).
Dalam tabel 1.3 (hal 11, Bab I, tesis) menunjukkan dalam struktur gereja
GBKP

laki-laki lebih banyak menduduki

posisi dalam struktur daripada

perempuan. Ini antara lain karena anggota majelis jemaat didominasi oleh lakilaki. Tentang posisi perempuan dalam struktur kepemimpinan GBKP dapat
dikatakan masih lemah, sebab sampai sekarang masih sedikit terlihat adanya
pendeta perempuan yang menduduki jabatan inti pada kepengurusan organisasi
GBKP dalam setiap level satuan, kecuali menyangkut seksi pelayanan kategorial
seperti organisasi kaum ibu (Moria), sekolah Minggu (KA-KR) . Dari gambaran
terdahulu di atas terlihat bahwa peran pendeta perempuan dalam kepemimpinan
GBKP secara relatif masih sangat sedikit. Hal ini disebabkan oleh beberapa
pengaruh, antara lain:
1. Faktor budaya, yang selalu cenderung menempatkan kedudukan laki-laki lebih
tinggi dari perempuan

15

2. Faktor sosiologis-psikologis praktis, artinya pertimbanganyang didasarkan
pada kemampuan gerak laki-laki lebih bebas dan dinamis dibanding perempuan
3. Faktor senioritas, pendeta perempuan umumnya masih relatif muda dari segi
umur dan pengalaman, kurang memperoleh peluang dalam jabatan
kepemimpinan struktural (Pdt Efrata Tarigan, 1997).
Kenyataan menunjukkan pendeta perempuan di GBKP masih sangat
sedikit menduduki posisi dalam struktural sekalipun jumlah perempuan yang
mejadi pendeta sudah semakin banyak. Ini mendorong peneliti

melakukan

penelitian tentang kepemimpinan pendeta perempuan di GBKP Klasis Medan
Namorambe yang mencakup wilayah pelayanannya di sekitar kotamadya Medan
dan Kabupaten Deliserdang. Peneliti memilih lokasi penelitian ini dengan alasan
bahwa warga Karo ada di daerah ini, gereja GBKP ada 20 jemaat dan
reprensentatif untuk mejadi obyek penelitian. Klasis inipun mayoritas dilayani
oleh pendeta perempuan dan dipimpin oleh ketua Klasis pendeta perempuan.
Di GBKP, klasis adalah wujud kesatuan dan persekutuan beberapa jemaat
dalam satu wilayah yang dibentuk berdasarkan kebutuhan demi perkembagan
pelaksanaan, panggilan dan tugas gereja. Pada saat ini GBKP terdiri dari 22 klasis
yang meliputi seluruh daerah di Indonesia. Dalam 22 klasis ini terdiri dari 533
jemaat, yang terdiri dari 304.901 jiwa yang ada dalam 90675 kepala keluarga,
dilayani oleh 391 pendeta aktif, 6357 pertua dan 3749 diaken
Wilayah klasis Medan Namorambe meliputi 20 jemaat yang tersebar di
kabupaten Deli Serdang dan kotamadya Medan, khususnya ada di 4 kecamatan:
Kecamatan Medan Tuntungan, Pancur Batu, Namorambe, dan Medan Johor.
Merupakan jemaat perkotaan ( 4 jemaat) dan jemaat pedesaan

(16 Jemaat)

16

Jumlah anggota jemaat : 12372 jiwa yang ada dalam 3734 kepala keluarga.
Dilayani oleh 15 orang pendeta aktif : 8 orang pendeta laki-laki dan 9 orang
pendeta perempuan; 323 anggota Majelis (134 perempuan dan 189 laki-laki).
Penelitian ini tidak dapat dilakukan kepada seluruh Jemaat Klasis Medan
Namorambe, tetapi dilaksanakan berdasarkan sampel yang dianggap representatif
(Bungin, 2001:103). Sehubungan dengan itu, penulis mengambil tiga jemaat
yaitu;
1. GBKP Runggun Simpang Selayang
2. GBKP Runggun Namo Bintang
3. GBKP Runggun Namo Pinang
Ketiga

Runggun

ini

menurut

penulis

mendeskripsikan bagaimana kepemimpinan

sudah

presentatif

untuk

pendeta perempuan di GBKP.

Ketiga Runggun ini sudah mewakili jemaat GBKP di desa, pinggiran kota dan
kota. GBKP Runggun Simpang Selayang mewakili jemaat kota, GBKP Runggun
Namobintang mewakili jemaat pinggiran kota, GBKP Runggun Namopinang
mewakili jemaat desa. Ketiga jemaat ini dipimpin/dilayani oleh pendeta
perempuan. Berdasarkan tujuan utama penelitian ini, peneliti melakukan untuk
mengetahui kepemimpinan pendeta perempuan di GBKP dalam persepsi pertua
dan diaken yang selanjutnya akan disebut majelis jemaat.
Penggolongan atas kategori jemaat perkotaan, pinggiran kota dan pedesaan
dilakukan mengingat setiap kategori tersebut memiliki karakteristik sendiri yang
tidak lepas dari pengaruh dan situasi dari lingkungan masing-masing. Jemaat
perkotaan dicirikan oleh warganyan yang bersifat heterogen dalam hal profesi,
pendidikan, status sosial ekonomi, gaya hidup perkotaan yang bervariasi dengan

17

aneka kebutuhan dan tuntutan hidup. Jemaat pinggiran kota adalah jemaat transisi
yang sedang mengalami perubahan dari desa ke kota. Jemaat pedesaan terdiri dari
warga jemaat yang relatif homogen dengan ciri-ciri gaya hidup yang masih
didominasi oleh nilai-nilai budaya etnik bersangkutan, dengan mata pencaharian
pertanian dan taraf pendidikan rata-rata sekolah dasar.
Penelitian ini dimaksudkan untuk menjelaskan kepemimpinan pendeta
perempuan GBKP dalam struktural. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
struktural adalah berkenaan dengan struktur yakni, cara sesuatu disusun atau
dibangun.

Dalam sosiologis, struktur adalah sebagai perangkat aturan dan

sumberdaya. Sifat-sifat struktural mengekspresikan bentuk-bentuk dominasi dan
kekuasaan (Giddens, 2003). Struktural menurut peneliti adalah berhubungan
dengan kekuasaan yakni hak untuk bisa menetapkan dan mengambil keputusan.
Penelitian ini akan menggambarkan bagaimana persepsi

pertua dan

diaken (selanjutnya disebut majelis) GBKP terhadap kepemimpinan pendeta
perempuan. Peneliti tidak membedakan antara pertua dan diaken karena
sehubungan dengan permasalahan dalam penelitian bahwa jabatan pertua dan
diaken

dalam gereja memiliki kekuasaan yang sama. Dalam struktur

kepemimpinan GBKP yang bersifat periodesasi (5 tahun satu periode) maka para
majelis inilah yang akan bersidang untuk memilih pemimpin di setiap wilayah
pelayanan sebagaimana yang telah diatur dalam tata gereja GBKP. Dalam tulisan
ini peneliti kemudian menyebutnya dengan

“majelis”.

Majelis inilah yang

menjadi pengambil keputusan di GBKP sesuai dengan sistem organisasi GBKP
yang berazas presbiterial sinodal,

18

1.2.

Rumusan Masalah
Pertambahan jumlah perempuan menjadi pendeta di GBKP yang semakin

banyak namun berbanding terbalik dengan jumlah pendeta perempuan yang
sedikit duduk dalam struktural baik di runggun, klasis dan Moderamen.
mendorong penulis meneliti dengan merumuskan permasalahan:
1. Bagaimana sebenarnya persepsi majelis terhadap pendeta perempuan yang
duduk sebagai ketua di posisi struktural?
2. Mengapa sedikit

kepemimpinan Pendeta perempuan di GBKP dalam

struktural?
3. Bagaimanakah sebenarnya pandangan Pendeta perempuan terhadap sedikitnya
pendeta perempuan dalam struktural?

1.3.

Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penulis bertujuan dalam penelitian

ini sebagai berikut.
1.

Mengetahui persepsi majelis terhadap pendeta perempuan yang duduk
sebagai ketua di posisi struktural.

2.

Mengetahui kepemimpinan pendeta perempuan dalam struktural di GBKP.

3.

Mengetahui pandangan Pendeta perempuan tehadap sedikitnya pendeta
perempuan dalam struktural.
Untuk melakukan penelitian tersebut maka penulis membatasi diri dengan

meneliti tiga orang pendeta perempuan, dan seluruh

majelis Klasis Medan

Namorambe di tiga jemaat yakni Runggun Simpang Selayang, Runggun Namo
Bintang dan Runggun Namo Pinang.

19

1.4.

Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah bagi GBKP, munculnya kesadaran pada

GBKP bahwa jumlah pendeta perempuan yang semakin besar akan mendorong
GBKP untuk meningkatkan pemberdayaan pendeta perempuan terutama dalam
kepemimpinan. Jumlah yang semakin besar didukung dengan SDM yang baik
akan menghasilkan pendeta perempuan yang berkualitas.
Tulisan ini bermanfaat penyadaran kepada pendeta perempuan bahwa
tantangan terbesar bagi kepemimpinan

perempuan adalah

ketidaksiapan

perempuan menjadi pemimpin di tengah pengaruh budaya yang patrarki, beban
ganda yang diberikan kepada perempuan dengan konstruksi sosial yang bias
gender. Tantangan ini dihadapi dengan menumbuhkan rasa percaya diri bahwa
perempuan juga bisa menjadi pemimpin dan bekerjasama dengan laki-laki.
Manfaat dari tulisan ini juga akan memberikan pemahaman bahwa
dominasi kekuasaan laki-laki yang besar dipengaruhi oleh ajaran agama (teologia
calvinis) budaya lokal masyarakat (budaya patriarki) merupakan tantangan bagi
kepemimpinan perempuan.
kemutlakan

Pemahaman

yang sudah

ada tidak menjadi

namun menyadari ada perubahan seiring denga perubahan pada

masyarakat itu sendiri. Ada gerakan-gerakan perubahan antara lain

gerakan

feminisme baik dalam masyarakat dan juga gereja yang mengubah pemahaman
tentang kepemimpinan perempuan.
Meningkatnya pemberdayaan pendeta perempuan dalam kepemimpinan di
gereja akan berdampak dalam kemajuan bangsa dan negara. Sebagai pemimpin,
guru dan gembala pendeta perempuan akan memberikan sumbangan yang
membangun di tengah peningkatan ketakwaan umat. Sumbangsih perempuan
sebagai pemimpin tidak akan kalah dari sumbangsih laki-laki.

20