Studi Korelasi: Penggunaan Bahasa Daerah (Karo) Dengan Kategori Sosial Pada Keluarga Jemaat GBKP Klasis Medan- Kp. Lalang

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK

STUDI KORELASI: PENGGUNAAN BAHASA DAERAH (KARO) DENGAN KATEGORI SOSIAL PADA KELUARGA JEMAAT

GBKP KLASIS MEDAN-KP. LALANG

SKRIPSI Diajukan Oleh:

ADRIAN JAN PUTRA TARIGAN 070901027

Departemen Sosiologi

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Dalam Menyelesaikan Studi Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara 2013


(2)

(3)

ABSTRAK

Bahasa daerah adalah bahasa yang dipergunakan oleh penduduk di daerah geografis tertentu yang terbatas dalam wilayah suatu negara. Secara kuantitas jumlah penggunaan bahasa daerah di Indonesia semakin berkurang, khususnya pada jemaat GBKP Klasis Medan-Kp.Lalang. Kategori sosial dapat mempengaruhi penggunaan bahasa daerah Karo saat berkomunikasi dengan keluarga, berkomunikasi dengan sesama etnis Karo, dan juga pada saat berkomunikasi dengan berbeda etnis.

Penelitian ini menemukan terdapat hubungan korelasi yang signifikan antara jumlah pendapatan dengan penggunaan bahasa daerah Karo saat komunikasi antara orang tua kepada anak, antara anak kepada abang/kakak/adik, kepada tetangga sesama etnis, kepada keluarga besar sesama etnis, kepada tetangga berbeda etnis, kepada keluarga besar berbeda etnis, dan tidak terdapat hubungan yang signifikan pada saat berkomunikasi antara suami atau istri, dan saat berkomunikasi dengan sesama anggota jemaat GBKP. Begitu juga pada lingkungan daerah tempat tinggal yang mempunyai hubungan korelasi yang signifikan pada saat komunikasi antara suami atau istri, antara anak kepada orang tua, antara anak kepada abang/kakak/adik, kepada sesama anggota jemaat GBKP, kepada tetangga sesama etnis, kepada keluarga besar sesama etnis, kepada tetangga berbeda etnis, kepada keluarga besar berbeda etnis, dan tidak terdapat hubungan yang signifikan pada saat komunikasi antara orang tua kepada anak.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat, rahmat dan karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan semestinya. Penulisan skripsi ini merupakan karya ilmiah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana dari Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara, dengan judul : ”Studi Korelasi: Penggunaan Bahasa Daerah (Karo) Dengan Kategori Sosial Pada Keluarga Jemaat GBKP Klasis Medan-Kp. Lalang”.

Skripsi ini khusus penulis persembahkan kepada orangtua tercinta dan tersayang penulis, Ayahanda Drs.Nelson Tarigan, M.Si dan Ibunda tercinta Sri Ulina br.Ginting, atas semua doa, dukungan, pengorbanan dan kasih sayangnya yang telah diberikan kepada penulis sampai saat ini. Penulis bisa berhasil sampai saat ini karena cara mendidik papa dan mama yang penuh kasih sayang dan rasa tanggungjawab untuk menghargai waktu, belajar dengan sungguh-sungguh, tekun dan giat serta selalu bersikap rendah hati. Tak lupa juga kepada abang dan adik penulis tersayang, Andrew Jonathan Tarigan, SH., Adefrid Juan Putra Tarigan. Terima kasih buat doa, dukungan dan kasih sayangnya. Penulis akan ingat selalu dengan pesan-pesan yang pernah abang dan kakak berikan. Sayang sama kalian semua.

Penulis menyadari bahwa selama penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima saran, komentar, motivasi, dukungan dan bantuan dari beberapa pihak.


(5)

Dalam kesempatan yang berbahagia ini, penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu, Dra. Lina Sudarwati, MSi. Selaku Ketua Jurusan Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Rizabuana, M.Phil.,Ph.D selaku dosen pembimbing penulis yang selalu meluangkan waktunya ditengah-tengah kesibukan beliau serta sabar dalam membimbing penulis hingga penulisan skripsi ini selesai. Beliau merupakan inspirasi bagi penulis karena meskipun beliau memiliki gelar yang tinggi beliau tetap bisa membaur dengan rendah hati, menghargai dan tidak membedakan status para anak bimbingannya serta membimbing dengan tulus dan sungguh-sungguh. Kebaikan beliau dengan sangat sabar membimbing penulis hingga penulisan skripsi ini selesai tidak dapat penulis lupakan. Terimakasih Pak.

4. Bapak Drs. T. Ilham Saladin, M.Sc selaku Sekretaris Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik universitas Sumatera Utara.

5. Penguji I dan Penguji II yang akan menguji penulis dalam sidang meja hijau. 6. Kak Fenni Khairifa, S,Sos, M.Si, selaku Staf Administrasi di Departemen

Sosiologi. Terima kasih atas segala bantuannya.

7. Kak Nurbaiti, selaku Pegawai Pendidikan bagian Departemen Sosiologi. Terima kasih buat bantuannya selama ini.


(6)

8. Kepada seluruh Dosen Sosiologi dan Staff pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang telah memberikan berbagai materi kuliah selama penulis menjalani perkuliahan.

9. Untuk seluruh keluarga penulis mulai dari keluarga mama hingga keluarga papa dan sepupu-sepupu penulis yang selalu mendoakan dan memberikan motivasi kepada penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Aku sayang kalian semua.

10. Buat teman-teman Stambuk 2007 yang sudah mendahului yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, teman-teman Stambuk 2007 : Ninda Ovtika Sinaga, Royan Prayudie, Lestari Nova Marbun, Emby Weimsky, Hady Syahputra, Ridwan Nasution, Aspipin sinulingga, Ngadino, Martinus Alfredo Munthe, Romaito Fitriana Siregar, Ester Novita, Sari Hati, Puteri Atikah, Desti Ariani, Suryani Tinendung, Ester Verawati Pasaribu, Ayu, Lonaria Sitepu, Dini syahputri, Bonny Sembiring dan teman-teman sewaktu PKL di desa Jago-Jago Sibolga : Agustina, Maya Lestari, Leo M. Purba, Nanda Purba, Fahruroziq, dan teman-teman lain yang sudah disebutkan diatas dan teman-teman lain yang tidak dapat disebutkan disini terima kasih buat kebersamaan dan semangatnya serta semoga kita menjadi orang yang berhasil dan berguna untuk masyarakat luas. Amin.

11. Buat Senior dan Junior penulis di Departemen Sosiologi, terima kasih buat doa dan dukungannya.

12. Buat semua responden yang telah meluangkan waktu untuk menjawab kuesioner yang diberikan penulis


(7)

13. Buat semua pihak yang turut membantu yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih buat bantuan dan kerjasamanya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk menambah kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Januari 2013 Penulis,


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAKSI ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.4. Manfaat Penelitian ... 6

1.5. Hipotesis ... 7

1.6. Defenisi Konsep ... 7

1.7. Operasional Variabel ... 10

1.8. Bagan Operasional Variabel ... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hasil-hasil penelitian tentang Bahasa Daerah ... 12

BAB III ... METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian ... 27


(9)

3.3. Populasi dan Teknik Penarikan Sampel

3.3.1. Populasi ... 28

3.3.2. Sampel ... 28

3.3.3. Purposive Sampling ... 29

3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 29

3.5. Teknik Analisis Data ... 30

3.6. Pengujian Realibiti ... 31

3.7. Keterbatasan Penelitian ... 32

BAB IV HASIL DAN ANALISA DATA PENELITIAN 4.1. Deskripsi Lokasi………33

4.2.Temuan Data dan Penyajian Data ... 35

4.2.1. Karakteristik Responden ... 36

4.2.2. Kategori Sosial ... 39

4.2.3. Penggunaan Bahasa Daerah ... 43

4.3.Analisa Tabel Silang ... 50

4.4.Tabel korelasi ... 73

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan ... 81

DAFTAR PUSTAKA


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Komposisi Responden Berdasarkan Usia ... 36

Tabel 2 Komposisi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Terakhir ... 37

Tabel 3 Komposisi Responden Berdasarkan Pekerjaan ... 37

Tabel 4 Komposisi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 38

Tabel 5 Komposisi Responden Berdasarkan Jumlah Anak ... 38

Tabel 6 Komposisi Responden Berdasarkan Jumlah Pendapatan ... 39

Tabel 7 Komposisi Responden Berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga yang Tinggal di Rumah ... 40

Tabel 8 Pandangan Responden Tentang Pendapatan Perbulan dengan Pengeluaran Perbulan ... 40

Tabel 9 Komposisi Responden Berdasarkan Jumlah Etnis di Daerah Tempat Tinggal ... 41

Tabel 10 Komposisi Responden Berdasarkan Dengan Siapakah Lebih Sering Bergaul dan Berkomunikasi. ... 42

Tabel 11 Pandangan Responden Berdasarkan lingkungan Daerah Tempat Tinggal yang Nyaman. ... 42

Tabel 12 Komposisi Responden Berdasarkan Bahasa yang Digunakan Saat Berkomunikasi dengan suami/istri ... 43

Tabel 13 Komposisi Responden Berdasarkan Bahasa yang Digunakan Saat Berkomunikasi Dengan Anak ... 44


(11)

Tabel 14 Komposisi Responden Berdasarkan Bahasa yang Digunakan Anak Saat Berkomunikasi Dengan Orang Tua ... 44 Tabel 15 Komposisi Responden Berdasarkan Bahasa yang Digunakan anak Saat Berkomunikasi Dengan abang/kakak/adik ... 45 Tabel 16 Komposisi Responden Berdasarkan Seberapa Sering Mengajarkan

Bahasa Daerah Kepada Anak ... 46 Tabel 17 Komposisi Responden Berdasarkan Bahasa yang Digunakan Saat Berkomunikasi dengan Sesama Anggota Jemaat GBKP ... 46 Tabel 18 Komposisi Responden Berdasarkan Bahasa yang Digunakan Saat

Berkomunikasi dengan Tetangga Sekitar Rumah yang Sesama Etnis Karo ... 47 Tabel 19 Komposisi Responden Berdasarkan Bahasa yang Digunakan Saat

Berkomunikasi dengan Keluarga Besar yang Sesama Etnis Karo ... 48 Tabel 20 Komposisi Responden Berdasarkan Bahasa yang Digunakan Saat

Berkomunikasi dengan Tetangga Sekitar Rumah yang Berbeda Etnis . 49 Tabel 21 Komposisi Responden Berdasarkan Bahasa yang Digunakan Saat

Berkomunikasi Dengan Keluarga Besar yang Berbeda Etnis ... 49 Tabel 22 Hubungan antara tingkat ekonomi dengan Bahasa yang digunakan saat berkomunikasi dengan suami/istri ... 50 Tabel 23 Hubungan antara tingkat ekonomi dengan bahasa yang digunakan saat berkomunikasi dengan anak ... 51 Tabel 24 Hubungan antara tingkat ekonomi dengan bahasa yang digunakan anak saat berkomunikasi dengan orang tua ... 52


(12)

Tabel 25 Hubungan antara tingkat ekonomi dengan bahasa yang digunakan anak anda saat berkomunikasi dengan abang/kakak/adik ... 54 Tabel 26 Hubungan antara tingkat ekonomi dengan bahasa yang digunakan saat berkomunikasi dengan sesama anggota jemaat GBKP ... 55 Tabel 27 Hubungan antara tingkat ekonomi dengan bahasa yang digunakan saat berkomunikasi dengan tetangga sekitar rumah yang sesama Etnis Karo57 Tabel 28 Hubungan antara tingkat ekonomi dengan bahasa yang digunakan saat berkomunikasi dengan keluarga besar yang sesama Etnis Karo ... 58 Tabel 29 Hubungan antara tingkat ekonomi dengan bahasa yang digunakan saat berkomunikasi dengan tetangga sekitar rumah yang berbeda etnis ... 59 Tabel 30 Hubungan antara tingkat ekonomi dengan bahasa yang digunakan saat berkomunikasi dengan keluarga besar yang berbeda etnis ... 60 Tabel 31 Hubungan antara lingkungan daerah tempat tinggal dengan bahasa yang digunakan saat berkomunikasi dengan suami/istri ... 61 Tabel 32 Hubungan antara lingkungan daerah tempat tinggal dengan bahasa yang digunakan saat berkomunikasi dengan anak ... 62 Tabel 33 Hubungan antara lingkungan daerah tempat tinggal dengan bahasa yang digunakan anak saat berkomunikasi dengan orang tua ... 63 Tabel 34 Hubungan antara lingkungan daerah tempat tinggal dengan bahasa yang digunakan anak anda saat berkomunikasi dengan abang/kakak/adik .... 64 Tabel 35 Hubungan antara lingkungan daerah tempat tinggal dengan bahasa yang digunakan pada saat berkomunikasi dengan sesama anggota jemaat GBKP ... 66


(13)

Tabel 36 Hubungan antara lingkungan daerah tempat tinggal dengan bahasa yang digunakan saat berkomunikasi dengan tetangga sekitar rumah yang sesama Etnis Karo ... 67 Tabel 37 Hubungan antara lingkungan daerah tempat tinggal dengan bahasa yang digunakan saat berkomunikasi dengan keluarga besar yang sesama Etnis Karo ... 68 Tabel 38 Hubungan antara lingkungan daerah tempat tinggal dengan bahasa yang digunakan saat berkomunikasi dengan tetangga sekitar rumah yang berbeda etnis ... 69 Tabel 39 Hubungan antara lingkungan daerah tempat tinggal dengan bahasa yang digunakan pada saat berkomunikasi dengan keluarga besar yang berbeda etnis ... 71 Tabel 40 Hasil uji korelasi jumlah pendapatan dengan penggunaan Bahasa Daerah Karo... ... 73 Tabel 41 Hasil uji korelasi lingkungan daerah tempat tinggal dengan penggunaan Bahasa Daerah Karo...77


(14)

ABSTRAK

Bahasa daerah adalah bahasa yang dipergunakan oleh penduduk di daerah geografis tertentu yang terbatas dalam wilayah suatu negara. Secara kuantitas jumlah penggunaan bahasa daerah di Indonesia semakin berkurang, khususnya pada jemaat GBKP Klasis Medan-Kp.Lalang. Kategori sosial dapat mempengaruhi penggunaan bahasa daerah Karo saat berkomunikasi dengan keluarga, berkomunikasi dengan sesama etnis Karo, dan juga pada saat berkomunikasi dengan berbeda etnis.

Penelitian ini menemukan terdapat hubungan korelasi yang signifikan antara jumlah pendapatan dengan penggunaan bahasa daerah Karo saat komunikasi antara orang tua kepada anak, antara anak kepada abang/kakak/adik, kepada tetangga sesama etnis, kepada keluarga besar sesama etnis, kepada tetangga berbeda etnis, kepada keluarga besar berbeda etnis, dan tidak terdapat hubungan yang signifikan pada saat berkomunikasi antara suami atau istri, dan saat berkomunikasi dengan sesama anggota jemaat GBKP. Begitu juga pada lingkungan daerah tempat tinggal yang mempunyai hubungan korelasi yang signifikan pada saat komunikasi antara suami atau istri, antara anak kepada orang tua, antara anak kepada abang/kakak/adik, kepada sesama anggota jemaat GBKP, kepada tetangga sesama etnis, kepada keluarga besar sesama etnis, kepada tetangga berbeda etnis, kepada keluarga besar berbeda etnis, dan tidak terdapat hubungan yang signifikan pada saat komunikasi antara orang tua kepada anak.


(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Bahasa daerah adalah bahasa yang dipergunakan oleh penduduk di daerah geografis tertentu yang terbatas dalam wilayah suatu negara. Penelitian dan pendokumentasian bahasa yang dilaporkan oleh Summer Institute of Linguistics (Grimes, 1996) menyebutkan bahwa ada 6703 bahasa di dunia. Dilihat dari lima wilayah persebarannya (Asia, Eropa, Amerika, Afrika, dan Pasifik), kawasan Asia merupakan tempat beradanya 2.165 bahasa (33%). Sementara kawasan Eropa hanya mempunyai 225 bahasa (3%). Di kawasan Pasifik ditemukan 1.302 bahasa (19%), di Amerika ada 1000 bahasa (15%), dan di benua hitam Afrika tercatat 2.011 bahasa (30%).

UNESCO mencatat bahwa setidaknya ada lebih dari seribu bahasa terancam punah. Atlas bahasa terbaru yang diluncurkan UNESCO menunjukan bahwa beberapa bahasa yaitu bahasa Tandia di Papua Barat, Bahasa Nusa Laut, Piru, dan Naka’ela di Maluku, bahasa Enyak di Alaska, Bahasa Maku, Yuruti di Brasil, bahasa Homa di Kenya, dan bahasa Rangkas dan Tolcha di India dinyatakan punah. Bahasa-bahasa lain seperti Bahasa-bahasa Hulung, Loun, Amahai, dan Kamaria di Maluku, Bahasa-bahasa Durlankere, Mansim, Dusner, Worla, dan Saponi di Papua Barat, bahasa Baghati dan Honduri di India, dan bahasa Samatu, Lamu, dan Laji di Cina tergolong dalam bahasa yang sangat terancam punah (Budhiono, 2009).


(16)

Dalam Ethnologue: Language Of The World (2005) dikemukakan bahwa di Indonesia terdapat 742 bahasa, dimana 737 diantaranya masih digunakan oleh penuturnya. Beberapa bahasa yang masih hidup tersebut terancam punah. Hal tersebut disebabkan oleh penuturnya yang semakin berkurang dan ada juga yang terdesak oleh pengaruh bahasa daerah lain. Arief Rachman (2007) memetakan kepunahan bahasa daerah di Indonesia sebagai berikut, ada lebih dari 50 bahasa daerah di Kalimantan, satu di antaranya terancam punah. Di Sumatera, dari 13 bahasa daerah yang ada, 2 di antaranya terancam punah dan 1 lainnya sudah punah. Namun, di Jawa tidak ada bahasa daerah yang terancam punah. Sedangkan di Sulawesi dari 110 bahasa yang ada, 36 bahasa terancam punah dan 1 sudah punah, di Maluku dari 80 bahasa yang ada 22 terancam punah dan 11 sudah punah, di daerah Timor, Flores, Bima dan Sumba dari 50 bahasa yang ada, 8 bahasa terancam punah. Di daerah Papua dan Halmahera dari 271 bahasa, 56 bahasa terancam punah. Dikatakan lebih lanjut bahwa data yang diberikan oleh Frans Rumbrawer dari Universitas Cendrawasih pada tahun 2006 lebih mengejutkan lagi, yaitu pada kasus tanah Papua, 9 bahasa dinyatakan telah punah, 32 bahasa segera punah, dan 208 bahasa terancam punah.

Secara Kuantitas, jumlah penutur bahasa-bahasa daerah di Indonesia cukup berbeda. Ada bahasa daerah yang masih bertahan dengan jumlah penuturnya yang relatif besar, tetapi ada pula bahasa daerah yang jumlah penuturnya tinggal sedikit saja. Namun demikian, walaupun secara kuantitas jumlah penuturnya kecil, hal tersebut tidak selalu menjadi indikator punahnya suatu bahasa tetapi loyalitasnya terhadap bahasanya cukup kuat sehingga terhindar dari ancaman kepunahan


(17)

(Coulmas, 1997:276). Namun pewarisan bahasa daerah kepada kaum muda merupakan hal yang tetap untuk dilakukan agar bahasa daerah tetap bertahan.

Bahasa daerah selain digunakan untuk berkomunikasi pada suatu suku bangsa yang ada, namun juga diyakini dapat mempererat solidaritas antar mereka. Sehingga bahasa daerah tersebut merupakan hal yang sangat penting untuk dapat dilestarikan dan di sosialisasikan oleh masing-masing suku bangsa tersebut kepada generasi penerusnya. Pada lembaga keluarga terdapat berbagai macam fungsi keluarga yang salah satu adalah sosialisasi. Dalam proses sosialisasi bahasa kepada anak, keluarga merupakan lembaga pertama yang melakukan sosialisasi dan pengenalan bahasa kepada anak, baik bahasa resmi yaitu Bahasa Indonesia dan juga bahasa daerah. Kecenderungan anak yang tinggal di daerah perkotaan justru dilakukan pengenalan bahasa asing dibandingkan dengan pengenalan terhadap bahasa daerah yang notabene merupakan bahasa yang mayoritas digunakan oleh keluarga besar mereka. (Budhiono, 2009). Hasil survai Gunarwan (1993) atas 126 orang subyek dari Jakarta, Bandung, dan Palangkaraya mengungkapkan angka rata-rata penilaian subyek atas 11 ciri-ciri penutur bahasa Indonesia dan penutur bahasa Inggris secara keseluruhan menempatkan bahasa Inggris lebih tinggi daripada bahasa Indonesia.

Sosialisasi bahasa daerah dalam keluarga merupakan proses pengenalan bahasa daerah pada anak dan bagaimana anak tersebut memahami dan mengerti tentang bahasa daerah. Sosialisasi bahasa daerah ini dimulai sejak masa kanak-kanak. Sosialisasi bahasa daerah di kalangan anak-anak merupakan upaya untuk mengenal bahasa daerah. Apabila usia anak meningkat ke umur remaja maka sosilalisasi bahasa daerah tersebut ditujukan agar mereka lebih mengerti dan memahami tentang bahasa


(18)

daerah sehingga mendorong mereka mencintai bahasa daerah. Tujuan akhir dari sosialisasi bahasa daerah ini adalah mempersiapkan dan membuat individu memahami tentang bahasa daerah dan hal tersebut harus dipertahankan. Perkembangan pengetahuan terhadap bahasa daerah tidak terlepas dari bagaimana sosialisasi yang diberikan orang tua kepada anak sampai mereka beranjak remaja dan menjadi dewasa.

Remaja adalah salah satu generasi yang memegang peranan penting dalam pelestarian bahasa daerah yang seharusnya mendapatkan bimbingan dan arahan dari orang tua mengenai pentingnya bahasa daerah. Berkembang atau punahnya bahasa daerah itu tergantung bagimana remaja sadar dan tahu pentingnya bahasa daerah dan pentingnya pelestarian budaya, yang merupakan kekayaan bangsa. Namun, sekarang ini remaja mengacuhkan keberadaan bahasa daerah mereka dan hanya sedikit yang peduli terhadap bahasa daerah. Disebabkan, karena adanya anggapan jika berbahasa daerah dianggap tidak modern dan kampungan. Keadaan seperti inilah yang menyebabkan semakin tertinggalnya bahasa daerah di masa sekarang ini. Bahasa daerah semakin tertinggal dengan adanya les tambahan bahasa Inggris yang diberikan kepada anaknya. Namun lebih parahnya lagi, adanya anggapan bahwa bahasa daerah adalah bahasanya masyarakat miskin dan tidak berpendidikan. Dikarenakan bahasa Inggrislah yang dimasukkan dalam mata pelajaran sekolah, bukannya bahasa daerah. Sehingga munculah streotipe bahwa bahasa kaum kaya adalah bahasa Inggris dan bukannya bahasa daerah.

Hal ini tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di kalangan remaja dan keluarga GBKP Klasis Medan-Kp.Lalang. Pengetahuan mereka tentang bahasa


(19)

daerah dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu: pertama, remaja yang tidak tahu berbahasa daerah sama sekali. Kedua, remaja yang hanya mengerti apa yang dikatakan oleh orang lain yang berbahasa daerah, tetapi kurang mampu dalam berkata-kata dalam bahasa daerah. Ketiga, remaja yang fasih dalam berbahasa daerah. Dari keadaan tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai peran dan penggunaan bahasa daerah di dalam keluarga.

Di GBKP Klasis Medan-Kp.Lalang para jemaat merupakan masyarakat yang homogen, karena mereka terdiri dari satu kebudayaan dan suku bangsa yaitu suku bangsa karo. Selain suku bangsa yang homogen, GBKP Klasis Medan-Kp.Lalang secara tidak langsung juga memberikan pengajaran bahasa daerah terlihat dari kuantitas kebaktian tiap bulannya. Dalam sebulan terdapat empat kali kebaktian yang diselenggarakan oleh GBKP Klasis Medan-Kp.Lalang, kebaktian dengan bahasa daerah (Karo) sebanyak tiga kali dan kebaktian dengan bahasa Indonesia sebanyak satu kali. Hal tersebut mengakibatkan betapa perlunya kemampuan dalam berbahasa daerah pada remaja, karena mereka merupakan pelestari bahasa daerah agar kedepannya bahasa daerah tidak hilang seiiring berkembangnya waktu. Berdasarkan keadaan di atas tentang keberadaan bahasa daerah di tengah-tengah keluarga, maka peneliti memilih penelitian di atas.

1.2. Perumusan Masalah

Hal yang sangat penting untuk memulai suatu penelitian adalah adanya masalah yang akan diteliti. Agar penelitian dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka peneliti harus merumuskan masalahnya dengan jelas sehingga akan


(20)

jelas bagi peneliti dari mana harus mulai, ke mana harus pergi dan dengan apa (Arikunto, 2006:24).

Adapun perumusan masalah berdasarkan latar belakang diatas adalah:

1. Bagaimana penggunaan bahasa daerah (Karo) pada keluarga GBKP Klasis Medan-Kp.Lalang berdasarkan kategori sosial?

2. Hubungan diantara berbagai kategori sosial dalam pengunaan bahasa daerah (Karo) pada keluarga GBKP Klasis Medan-Kp.Lalang?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk Mengetahui penggunaan bahasa daerah (Karo) di dalam keluarga

berdasarkan kategori sosial.

2. Untuk Mengetahui apakah ada korelasi antara kategori sosial dengan penggunaan bahasa daerah (Karo) dalam keluarga.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah : 1.4.1. Manfaat Teoritis

Untuk menambah pengetahuan peneliti mengenai penggunaan bahasa daerah (Karo) di dalam keluarga berdasarkan kategori sosial dan hubungan antara kategori sosial terhadap pengguanan bahasa daerah (Karo) pada Keluarga GBKP Klasis Medan-Kp.Lalang sehingga dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan teori ilmu - ilmu sosial khususnya Sosiologi.


(21)

1.4.2. Manfaat Praktis

Memberikan sumbangan pengetahuan dalam bentuk bacaan untuk memperkaya wawasan setiap individu yang membaca hasil penelitian ini dan menjadi bahan evaluasi diri keluarga dan masyarakat tentang pentingnya bahasa daerah. 1.5. Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah dalil atau prinsip yang logis yang dapat diterima secara rasional mempercayainya sebagai kebenaran sebelum diuji atau disesuaikan dengan fakta-fakta atau kenyataan-kenyataan yang mendukung atau menolak kebenarannya (Nawawi; 1995).

Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa hipotesis dalam suatu penelitian harus diuji. Oleh karena itu, perumusan hipotesa yang baik adalah hipotesa yang dapat diuji kebenarannya atau ketidakbenarannya. Berdasarkan penjelasan di atas, maka hipotesa yang dapat dibuat dalam penelitian ini adalah:

H0 : Tidak terdapat hubungan pengaruh yang signifikan antara Kategori Sosial terhadap Bahasa Daerah (Karo).

H1 : Terdapat hubungan pengaruh yang signifikan antara Kategori Sosial terhadap Bahasa Daerah (Karo).

1.6. Definisi Konsep

Konsep adalah istilah yang terdiri dari satu kata atau lebih yang menggambarkan suatu gejala atau menyatakan suatu ide maupun gagasan (Hasan, 2002:17). Untuk menjelaskan maksud dan pengertian konsep-konsep yang terdapat di dalam penelitian ini, maka akan dibuat batasan-batasan konsep yang dipakai adalah sebagai berikut.


(22)

Kategori sosial

Berangkat dari pendapat Koentjaraningrat yang menjelaskan bahwa kategori sosial merupakan kesatuan manusia yang terwujud karena adanya suatu ciri khas atau suatu kompleks ciri-ciri objektif yang dapat dikenakan kepada manusia-manusia itu. Ciri khas tersebut dilakukan dengan maksud untuk memudahkan penggolongan dalam suatu tujuan dan biasanya dikenakan oleh pihak luar tanpa disadari oleh pihak yang bersangkutan.

Seperti yang peneliti akan lakukan terhadap kehidupan keluarga GBKP Klasis Medan-Kp.Lalang yang perlu dilakukan penggolongan untuk memudahkan penelitian, walupun pihak yang diteliti tidak menyadari hal tersebut. Kategori Sosial yang dibuat oleh peneliti adalah sebagai berikut:

1. Tingkat Ekonomi

Tingkat ekonomi yang dimaksud adalah berdasarkan kemampuan finansial yang dimiliki oleh masing-masing runggun yang ada pada GBKP Klasis Medan-Kp.Lalang. Dalam hal pengklasifikasian ini, peneliti mengikuti klasifikasi yang dilakukan oleh GBKP Klasis Medan-Kp.Lalang yang terdiri dari tiga rayon yaitu rayon A, B, dan C. Menurut Pengurus GBKP Klasis Medan-Kp.Lalang, pengklasifiksian tersebut berdasarkan: kemampuan finansial anggota tiap runggun, jumlah kepala keluarga yang ada di runggun tersebut, dan juga setoran-setoran (kolekte, perpuluhan, iuran, dll) yang diberikan oleh runggun tersebut. Berdasarkan uraian diatas maka peneliti mengklasifikasikan tiga tingkatan ekonomi berdasarkan rayon, dimana Rayon A mempunyai tingkat ekonomi yang lebih tinggi, kemudian Rayon B dan Rayon C.


(23)

Namun pengklasifikasian yang digunakan peneliti adalah berdasarkan pendapatan keluarga dan hal tersebut didukung oleh UMR (Upah Minimum Regional) didukung lagi oleh klasifikasi yang ditentukan oleh peneliti. Pengklasifikasian jumlah pendapatan di tujukan agar dari setiap pendapatn keluarga terwakili. Dari pendapatan rendah, menengah sampai dengan pendapatan yang besar. sehingga terjadi keaneka-ragaman jumlah pendapatan. Pengklasifikasian akan dilakukan berdasarkan jumlah pendapatan sebagai berikut:

Pendapatan keluarga > Rp. 4.000.000.

Pendapatan keluarga < Rp. 3.900.000 – Rp. 2.000.000. Pendapatan keluarga < Rp. 1.900.000.

2. Daerah Tempat Tinggal

Daerah tempat tinggal diklasifikasikan berdasarkan daerah tempat bermukim responden yang mempunyai etnis yang sama ataupun berbeda-beda. Baik minoritas, mayoritas ataupun dengan jumlah yang hampir sama antar etnisnya. Pengklasifikasian berdasarkan daerah tempat tinggal dimaksudkan untuk melihat seberapa jauh pengaruh daerah tempat tinggal mempengaruhi penggunaan bahasa daerah. Hal tersebut menjadi alasan peneliti mengklasifikasikan daerah tempat tinggal berdasarkan:

Daerah tempat tinggal mayoritas etnis Karo. Daerah tempat tinggal beragam etnis. Daerah tempat tinggal minoritas etnis Karo


(24)

Bahasa Daerah

Bahasa daerah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tentang penggunaan bahasa daerah (karo) pada keluarga, sesama etnis, dan juga berbeda etnis.

1. Keluarga

Pada keluarga yang menjadi batasan peneliti adalah melihat bagaimana komunikasi ataupun penggunaan bahasa daerah (karo) didalam keluarga. Dalam hal ini peneliti melihat komunikasi antara orang tua-anak, orang tua, anak-abang/kakak/adik.

2. Sesama Etnis

Sesama etnis yaitu komunikasi ataupun penggunaan bahasa daerah (karo) pada sesama anggota jemaat GBKP, pada tetangga yang berada disekitar daerah tempat tinggal, dan juga pada keluarga besar yang sesama etnis.

3. Berbeda Etnis

Berbeda etnis yaitu komunikasi ataupun penggunaan bahasa pada tetangga yang berada disekitar daerah tempat tinggal, dan pada keluarga besar yang berbeda etnis.

1.7. Operasional Variabel

Operasional variabel adalah suatu batasan yang diberikan kepada suatu variabel dengan cara memberikan arti atau mempersepsikan kegiatan ataupun memberikan suatu operasional yang diperlukan untuk mengukur variabel tersebut. Operasional variabel juga dimaksudkan untuk mencegah salah tafsir dan perluasan permasalahan dari serangkaian proses penelitian ini melibatkan dua variabel, yaitu variabel bebas (Kategori Sosial) antara lain status ekonomi, dan lingkungan daerah


(25)

tempat tinggal, sedangkan variabel terikat (Bahasa Daerah) melihat penggunaan bahasa daerah antara keluarga (orang tua-istri/suami, orang tua-anak, anak-orang tua, anak-saudara), sesama etnis (sesama anggota jemaat GBKP Klasis Medan-Kp.Lalang, tetangga, keluarga besar), berbeda etnis (tetangga, keluarga besar).

Kedua variabel tersebut ingin dilihat bagaimana hubungan yang ada antara satu variabel dengan variabel lainnya.

1.8. Bagan Operasional Variabel

Untuk lebih jelasnya di bawah ini ditunjukkan dalam bentuk skemanya : Variabel Bebas (X) Variabel Terikat (Y)

Kategori Sosial Status Ekonomi Lingkungan daerah tempat tinggal

Bahasa Daerah (Karo) Keluarga

Sesama Etnis Berbeda Etnis


(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hasil-hasil penelitian tentang Bahasa Daerah

Pentingnya bahasa daerah dan kebertahanannya sebagai warisan budaya, membuat banyaknya penelitian tentang bahasa daerah. Penelitian-penelitian tersebut diantaranya membahas tentang peluang dan tantangan bahasa daerah, faktor-faktor penyebab kepunahan bahasa daerah, revitalisasi bahasa daerah, potensi kepunahan bahasa daerah, sampai penelitian tentang pengajaran bahasa daerah yang dimasukkan dalalm muatan lokal dan penelitian mengenai penggunan bahasa daerah pada murid SD.

Melihat dari peluang dan tantangan bahasa daerah di era globalisasi sekarang ini sungguh sangat memprihatinkan. Walaupun pemerintah memberikan peluang kepada bahasa daerah untuk bertahan sebagai bahasa pertama dan bahasa pergaulan intrasuku. Dalam Undang-undang Dasar tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, Pasal 1 dikatakan, “Bahasa daerah adalah bahasa yang digunakan secara turun-temurun oleh warga negara Indonesia di daerah-daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Kemudian pada Pasal 42, ayat (1) dinyatakan bahwa “Pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman dan agar tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia (Darwis, 2011).


(27)

Seperti halnya di daerah Makasar, dari segi jumlah penutur baik Bahasa Bugis maupun Bahasa Makasar, dua-duanya masih tergolong bahasa yang safe, yaitu bahasa yang masih aman, artinya tidak berada dalam keadaan ancaman kepunahan karena memiliki penutur yang sangat banyak dan secara resmi didukung oleh pemerintah (Krauss, 1992). Walaupun demikian, Tantangan yang dihadapi adalah kedua bahasa tersebut sudah tidak diperoleh dan dipelajari oleh semua anak dan usia dewasa dalam kelompok etnik masing masing sebagaimana disyaratkan oleh Grimes (2000:8). Hal tersebut mengisyaratkan bahwa Bahasa Bugis dan Bahasa Makasar sudah mulai terdesak pertumbuhannya. Anak-anak dari kedua suku ini banyak yang bermukim di perkotaan sehingga pertumbuhannya semakin lambat. Di perkotaan dijumpai tiga alasan utama terjadinya pergeseran dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia dalam penentuan bahasa pertama bagi anak-anak di rumah tangga. (1) lingkungan pergaulan yang majemuk bahasa (suku). (2) medan tugas yang relatif tidak tetap. (3) orang tua berlainan suku (Darwis 1985). Dalam hal ini yang masih setia berbahasa daerah hanya usia lanjut sedangkan generasi muda dan anak-anak akan cenderung beralih ke penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa asing yang berstatus bahasa internasional dan hal ini bermula sejak penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama dalam kehidupan rumah tangga yang menyebabkan sebuah keluarga harus menggunakan bahasa Indonesia ataupun bahasa asing jika mau taraf hidup mereka meningkat.

Banyak faktor-faktor yang menyebabkan kepunahan bahasa daerah. Grimes (2000) mengemukakan enam gejala yang menandai kepunahan bahasa pada masa depan, yaitu (1) penurunan secara drastis jumlah penutur aktif, (2) semakin berkurangnya ranah penggunaan bahasa, (3) pengabaian atau pengenyahan bahasa ibu


(28)

oleh penutur usia muda, (4) usaha merawat identitas etnik tanpa menggunakan bahasa ibu, (5) penutur generasi terakhir sudah tidak cakap lagi menggunakan bahasa ibu, artinya tersisa penguasaan pasif , dan (6) punahnya dialek-dialek suatu bahasa.

Menurut Tondo (2009) dalam jurnalnya, terdapat 9 faktor penyebab punahnya bahasa daerah, yaitu (1) Pengaruh bahasa mayoritas dimana bahasa daerah itu digunakan, (2) Kondisi masyarakat yang penuturnya yang bilingual atau bahkan multilingual, (3) Faktor Globalisasi, (4) Faktor migrasi, (5) Perkawinan antar etnik, (6) Bencana alam dan musibah, (7) Kurangnya penghargaan terhadap bahasa etnik sendiri, (8) Kurangnya intensitas komunikasi berbahasa daerah dalam keluarga, (9) Faktor ekonomi, (10) Faktor bahasa Indonesia.

Melihat dari faktor-faktor diatas, maka perlu adanya revitalisasi untuk melestarikan dan menyelamatkan bahasa daerah dari kepunahan. Salah satu bahasa daerah yang memerlukan revitalisasi dan juga mulai mangalami kepunahan adalah Bahasa daerah (Bali). Alasan mengapa perlu pencermatan dan revitalisasi terhadap bahasa daerah muncul dari semakin meningkatnya wacana kekhawatiran akan punahnya bahasa daerah yang telah ditandai secara awal oleh mulai merosotnya jumlah penutur, adanya persaingan bahasa (desakan bahasa Indonesia dan bahasa asing), dan semakin berkurangnya loyalitas penutur terhadap pemakaian bahasa daerah sebagai bahasa ibu dan sekaligus sebagai simbol budaya. Dalam kondisi sebagai masyarakat Indonesia yang sedang mengalami perubahan sosial di alam reformasi, kita sekarang menyaksikan persaingan tiga bahasa, yaitu bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa asing khususnya bahasa Inggris. Di dalam peta persaingan ini cukup banyak penelitian, pakar dan pengamat bahasa melihat


(29)

kecenderungan menyusutnya fungsi bahasa daerah dan terbatas pada ajang keluarga, informal, dan hiburan sehingga daya tahan dan daya saingnya menjadi semakin rapuh dan tidak mungkin mengimbangi bahasa nasional atau asing apalagi mengalahkannya (Yadana, 2009). Mengikuti pandangan Fishman (1985) hubungan bahasa dengan budaya bisa dilihat dalam tiga perspektif, yakni (1) sebagai bagian dari budaya, (2) sebagai indeks budaya, dan (3) sebagai simbol budaya. Sebagai bagian dari budaya, Misalnya upacara, ritual, nyanyian, cerita, doa merupakan bahasa merupakan tindak tutur atau peristiwa wicara. Dari pandangan ini munculah wacana atau rasionalisasi bahwa pergeseran budaya atau hilangnya bahasa yang sangat dekat dengan kebudayaan merupakan pertanda terjadinya perubahan yang luar biasa.

Moerdiono (1988) sudah mensinyalir bahwa hampir di seluruh daerah di Indonesia terdapat keluhan mengenai gejala kemunduran pemakaian bahasa daerah. Bahasa Bali misalnya diprediksikan oleh Bagus (2001), bahwa bahasa daerah Bali akan punah sebelum akhir abad ini. Sebagaimana yang dikatakan oleh Fishman (1985) yang mempostulatkan kontinum delapan taraf situasi, apakah suatu bahasa akan mengalami suatu kepunahan atau berkembang ke arah yang dinamis. Taraf 8 merupakan situasi bahasa daerah yang berada pada ambang kepunahan dan taraf 1 merupakan situasi bahasa menuju pada perkembangan yang dinamis. Taraf 8 ditandai dengan siatuasi kebahasanan di mana hanya sedikit sekali orang tua yang mampu berbahasa daerah sebagai bahasa ibu. Taraf 7 adalah situasi kebahasaan di mana suatu bahasa memiliki masih cukup banyak penutur tetapi dari generasi tua (berusia lanjut) yang tidak lagi memiliki anak kecil. Taraf 6 adalah situasi di mana masih terdapat penggunaan bahasa ibu antar generasi di rumah; taraf 5, bahasa masih hidup dan


(30)

digunakan dalam lingkup minoritas dan bahkan di sekolah; taraf 4, situasi di mana bahasa minoritas diharuskan pada pendidikan sekolah dasar, taraf 3 bahasa daerah digunakan di tempat kerja oleh para pekerja dalam lingkungan kerja khusus; taraf 2 bahasa daerah digunakan dalam pemerintah setempat (lokal) dan media massa dari komunitas minoritas, dan taraf 1, bahasa daerah tersebut digunakan dalam tataran pemerintahan yang lebih tinggi dan pendidikan tinggi. Persaingan bahasa asing, nasional dan daerah memang sedang berlangsung dan berdampak pada sikap/prilaku berbahasa masyarakat kita. Dalam era persaingan bebas, penguasaan informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan prasarat bagi kelangsungan hidup bangsa. Sebagai negara yang sedang berkembang, Indonesia masih harus meningkatkan sumber daya manusia secara kuantitas dan kualitas sehingga ketergantungan akan sumber informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi dari luar sangat terasa. Untuk menjembatani interaksi dan komunikasi lintas bahasa dan budaya, penguasaan bahasa asing (khususnya bahasa Inggris) menjadi suatu kebutuhan utama (Yadnya, 2009).

Di samping menyusutnya popularitas bahasa Indonesia akibat nilai ekonomis dan prestise yang dijanjikan oleh bahasa internasional, bahasa Indonesia juga dihadapkan pada tuduhan sebagai penyebab keterasingan masyarakat terhadap bahasa daerahnya. Perencanaan status bagi bahasa Indonesia telah membatasi ruang gerak bahasa daerah untuk merambah atau keluar dari sekedar ranah budaya. Arus reformasi, otonomi daerah dan wacana demokratisasi juga menyadarkan masyarakat penutur bahasa daerah akan keberadaan, potensi dan posisi bahasanya. Kebijakan bahasa nasional mulai dikritisi dan wacana bhineka tunggal ika tidak lagi hanya


(31)

wacana politik tetapi juga wacana linguistik. Sebagai ilustrasi kita bisa mengadakan introspeksi terhadap kebertahanan bahasa Bali (Darwis 2009).

Pada kenyataannya eksistensi bahasa Bali terutama di daerah perkotaan semakin mengkhawatirkan kalaupun belum bisa dikatakan telah terpinggirkan (marginal). Gejala linguistik seperti ini juga dirasakan oleh Jendra (2002:48) yang mensinyalir pemakaian bahasa Bali di dalam sejumlah kehidupan rumah tangga telah menyusut dan telah tersaingi oleh pemakaian bahasa Indonesia. Di dalam situasi kontekstual yang masih berbau tradisional juga bahasa Bali telah banyak didesak oleh pemakaian bahasa Indonesia. Kecenderungan ke arah keterpinggiran bahasa Bali tersebut diakibatkan paling sedikit oleh 3 hal yakni (1) status bahasa Bali, (2) loyalitas masyarakat penutur, dan (3) strategi pembinaan dan pengembangan bahasa Bali.

Penelitian berikutnya juga berada didaerah Bali oleh Maharani (2010), dalam jurnalnya menjelaskan bahwa bahasa daerah Bali pada kalangan remaja di lingkungan Puri di kabupaten Gianyar masih berlangsung baik. Penggunaan bahasa Bali masih berlangsung baik dalam ranah keluarga dan ranah ketetanggaan namun pada ranah kekariban tidak berlangsung dengan baik dikarenakan kebiasaan di sekolah yang menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Bali juga mendapatkan dukungan dari institusi dimana bahasa Bali dimasukkan menjadi mata pelajaran wajib bagi siswa SD, SMP, dan SMA. Jurnalistik juga membantu pemertahanan bahasa daerah Bali, terlihat adanya ruang khusus di salah satu koran yaitu Bali Post yang menampilkan rubrik khusus yang berbahasa Bali.


(32)

Bahasa Melayu Langkat di Stabat Sumatera Utara juga mengalami hal yang serupa. Fakta dan data yang ditemukan oleh adisaputera (2009) mengarah kepada munculnya pergeseran bahasa dari Bahasa Melayu ke Bahasa Indonesia. Hal ini ditandai oleh beberapa hal berikut ini:

1. Tingginya penggunaan Bahasa Indonesia dalam interaksi komunikasi sehari-hari (20%) walaupun pada wilayah yang dominan Melayu,

2. Hampir 50% responden (47,4%) menyatakan bahwa Bahasa Indonesia mereka bukanlah Bahasa Melayu,

3. Persentase responden yang tidak paham dan tidak lancar menggunaan Bahasa Melayu (64,8%) hampir dua kali persentase responden yang paham dan lancar menggunakan Bahasa Melayu (35,2%),

4. Tingginya persentase responden yang tidak paham dan tidak lancar menggunakan Bahasa Melayu pada kawasan yang etnisnya dominan Melayu dengan Bahasa Melayu(24,3%),

5. Dari 52,6% yang menguasai Bahasa Melayu sejak pandai berbahasa, hanya 33,9% yang memahami dan lancar menggunakannya.

Pergeseran bahasa yang terjadi pada komunitas remaja di Stabat mengarah kepada arah kepunahan bahasa. Pada kriteria bahasa yang terancam punah, maka Bahasa Melayu dalam kondisi yang potensial terancam punah. Ada 2 indikator sebagaimana fakta dan data pergeseran bahasa yang terungkap untuk ini, yakni tekanan berat dari bahasa yang lebih besar yaitu Bahasa Indonesia, dan awal hilangnya penutur anak anak dan remaja.


(33)

Budhiono (2009) dalam jurnal Bahasa Daerah (Bahasa Ibu) di Palangkaraya: Pergeseran dan Pemertahanan bahasa daerah merupakan dua gejala kebahasaan yang saling terkait. Kedua gejala kebahasaan ini juga bisa dilihat dari gejala persaingan bahasa. Bahasa dikatakan mulai mengalami pergeseran ketika masyarakat mulai meninggalkan bahasa tradisionalnya. Akibat lanjut dari pergeseran bahasa adalah terpinggirkannya suatu bahasa dan termuliakannya bahasa yang lain. Palangkaraya sebagai ibukota Kalimantan Tengah dengan penduduk lebih dari 170.000 ribu orang, adalah salahsatu contoh kota multietnis, multibahsa dan multibudaya. Hal tersebut mengakibatkan semakin bergersernya eksistensi bahasa Ngaju yang merupakan bahasa daerah suku Dayak Palangkaraya. Bahasa Banjar juga sering dipakai karena sektor perekonomian lebih banyak dipegang oleh suku Banjar. Semakin sedikitnya penutur aktif bahasa Ngaju dikarenakan pemakaian bahasa daerah lain yang dianggap lebih tinggi derajatnya. Namun jika kita melihat bahasa Jawa yang merupakan salah satu bahasa yang mempunyai penutur aktif terbesar ke-13 di dunia pantas untuk merasa cemas. Pasalnya banyak orang tua yang memakai bahasa Indonesia di dalam lingkungan keluarga. Bahasa Indonesia juga merasa cemas dikarenakan banyak masyarakat yang mulai “menginggriskan” bahasa dan logat agar terlihat cendikia. Dalam hal ini orang tua juga sadar akan pentingnya pelestarian bahasa daerah, namun orang tua juga harus membekali anak mereka dengan bahasa asing untuk mempermudah persaingan di era globalisasi sekarang ini. Pengajaran-pengajaran tentang pentingnya bahasa asing membuat tidak adanya celah bagi bahasa daerah untuk dapat bersaing kejajaran yang lebih tinggi.


(34)

Dalam penelitian tersebut juga menjelaskan bahwa ada tiga faktor yang menyebabkan tidak adanya pewaris dan regenerasi bahasa daerah. Faktor pertama, adalah faktor sosial, di Palangkaraya Bahasa Banjar cenderung diterima oleh semua kalangan sehingga prioritas pemakaian dan pewarisannya tinggi. Lain halnya dengan bahasa dayak yang lebih banyak digunakan dalam lingkungan tertentu dan terbatas sehingga orang tua enggan mewariskan bahasa daerah tersebut. Faktor kedua, adalah faktor ekonomi diamana bahasa banjar merupakan pelaku ekonomi terbesar di Palangkaraya khususnya, dan Kalimantan Tengah umumnya. Faktor ketiga, adalah faktor politik. Kebijakan bahasa nasional yang dulu dikenal dengan politik bahasa nasional sedikt banyak juga berpengaruh terhadap keterpinggiran bahasa daerah. Keputusan pemerintah memasukkan bahasa daerah dalam kurikulum pendidikan adalah langkah awal yang perlu ditindaklanjuti oleh berbagai pihak agar terlestarikannya bahasa daerah.

Penelitian berikutnya membahas bahasa daerah Gorontalo yang dimasukkan dalam kurikulum pendidikan, Bahasa Gorontalo telah masuk dalam muatan lokal. Bahasa Gorontalo sebagai salah satu bahasa daerah di Indonesia sedang mengalami hal yang sama yaitu terancam dari kepunahan. Kenyataan menunjukan, Bahasa Gorontalo terdesak pemakaiannya karena hal-hal berikut ini: (1) Desakan pemakaian dialek Manado, (2) Desakan pemakaian bahasa Indonesia melalui jalur pendidikan, (3) Campur-baur kelompok etnik Gorontalo dengan kelompok etnik pendatang, misalnya Bali, Bolaang Mongondow, Bugis, Jawa, Makassar, Minahasa, Luwuk, Kendari, dan Sangir, (4) Kepedulian penurut Bahasa Gorontalo terhadap bahasannya sendiri, (5) Pernikahan, yakni jejaka atau gadis Gorontalo menikah atau dinikahi suku


(35)

lain, (6) Terbukanya infrastruktur perhubungan, baik darat, laut maupun udara yang menyebabkan mobilitas penduduk yang berpindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain yang sudah barang tentu akan menggunakan bahasa yang bukan Bahasa Gorontalo, (7) Sikap orang Gorontalo sendiri yang lebih suka menggunakan yang bukan Bahasa Gorontalo, (8) Bahasa Gorontalo belum mantap diajarkan, (9) Pemerintah daerah yang tidak peduli terhadap Bahasa Gorontalo, (10) Generasi muda yang tidak mau lagi menggunakan Bahasa Gorontalo (Pateda 1999:1).

Berdasarkan penjelasan Pateda pada Seminar Proposal Tesis Program Studi Pendidikan Bahasa Pascasarjana Universitas Negri Gorontalo yang berlangsung tanggal 9 Februari 2005 di Pascasarjana Universitas Negeri Gorontalo bahwa persoalan yang tertinggal dalam upaya pembinaan dan pengembangan Bahasa Gorontalo, yakni pengajarannya. Pengajaran Bahasa Gorontalo sebagai mata pelajaran muatan lokal sesungguhnya telah dimulai tahun 1995, meskipun pedoma Pelaksanaan Mulok sendiri telah dikeluarkan oleh Depdikbud (kini Diknas) pada tahun 1987. Persoalannya, yakni sampai sekarang belum diketahui bagaimanakah wujud pengajaran bahasa Gorontalo sebagai muatan lokal. Bahasa pengantar pengajarannya adalah bahasa Indonesia dengan pertimbangan peserta didik memahaminya, kalau diberikan dalam bahasa Gorontalo, peserta didik sulit memahaminya, dan guru juga mengalami kesulitan jika menggunakan bahasa Gorontalo.

Sejalan dengan penelitian diatas yang berada pada lokasi yang sama, hasil penelitian ini baik melalui fokus penelitian maupun subfokus penelitian diperoleh kenyataan bahwa peserta tidak menggunakan bahasa Gorontalo. Kenyataan ini pula


(36)

memberikan gambaran bahwa suatu ketika bahasa Gorontalo tidak akan digunakan lagi sebagai bahasa pengantar bagi masyarakat Gorontalo. Seperti telah diketahui, jika hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peserta “tidak” menggunakan bahasa Gorontalo, maka dua hal yang dilaksanakan yaitu: mencari penyebab; dan menemukan upaya yang dapat dilaksanakan untuk membina dan mengembangkan bahasa Gorontalo. Setelah diadakan pembahasan, maka ditemukan 28 butir penyebab tidak digunakannya bahasa Gorontalo, serta ditemukan pula 29 butir yang berhubungan dengan upaya pembinaan dan pengembangan bahasa Gorontalo.

Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa peserta didik tidak menggunakan bahasa Gorontalo. Menurut peneliti penyebab peserta didik tidak menggunakan bahasa Gorontalo disebabkan oleh beberapa hal berikut: (1) Bahasa Gorontalo tidak dipakai dirumah, (2) Bahasa Gorontalo tidak digunakan karena lingkungan tidak mendukung, (3) Tidak digunakan sebab tetangga tidak menggunakan, (4) Tidak digunakan sebab orang lain suka mengunakan dialek Manado, (5) Tidak digunakan sebab Bahasa Gorontalo sulit, (6) Tidak digunakan, sebab orang tidak tahu menggunakan Bahasa Gorontalo, (7) Tidak digunakan , sebab ibu dan bapak menggunakan Bahasa Indonesia, (8) Tidak digunakan, sebab teman berbicara dalam bahasa lain, (9) Tidak digunakan, sebab di tempat umum digunakan bahasa lain, (10) Guru tidak menggunakan Bahasa Gorontalo sebagai bahasa pengantar, (11) Sesama guru tidak menggunakan Bahasa Gorontalo, (12) Untuk memberi pemahaman guru tidak menggunakan Bahasa Gorontalo, (13) Tidak ada sanksi bagi masyarakat yang tidak menggunakan Bahasa Gorontalo, (14) Ketika terjadi interaksi di tempat umum tidak digunakan Bahasa Gorontalo. (15) Ketika interaksi jual beli di pasar tidak


(37)

digunakan Bahasa Gorontalo, (16) Buku ilmu pengetahuan seperti fisika tidak menggunakan Bahasa Gorontalo, (17) Peserta didik menganggap tidak ada gunanya Bahasa Gorontalo, (18) Peserta didik tidak menggunakan Bahasa Gorontalo ketika bergaul, (19) Bahasa Gorontalo tidak digunakan di tempat ibadah, (20) Bahasa Gorontalo tidak digunakan ketika orang berada di atas kendaraan umum, (21) Bahasa Gorontalo tidak digunakan oleh peserta didik ketika berkonsultasi dengan dokter, (22) Peserta didik tidak menggunakan Bahasa Gorontalo ketika bermain, (23)Bahasa Gorontalo tidak digunakan oleh aparat pemerintah, (24) Bahasa Gorontalo tidak digunakan oleh mas media, (25) Bahasa Gorontalo tidak digunakan ketika antaretnik berkomunikasi, (26) Bahasa Gorontalo tidak digunakan di lembaga pendidikan, (27) Bahasa Gorontalo tidak digunakan oleh petinggi di daerah, (28) Bahasa Gorontalo sulit dipelajari.

Hal tersebut membuktikan semakin terpuruknya penggunaan bahasa daerah, tidak adanya perhatian dan kesadaran untuk menggunakan ataupun mempelajari bahasa daerah. Dihubungkan dengan pendapat Rachman (2007: 12) “bahwa bahasa daerah mengalami proses penurunan yang signifikan pemakaiannya”. Hal ini pun jika dikaitkan dengan pendapat Chambers (1996: 54) yang menyatakan bahwa menurunnya pemakaian bahasa itu antaranya disebabkan oleh variasi pemakaian bahasa. Dari hasil penelitian diatas, maka tersirat pengertian bahwa dalam pemakaian bahasa tidak dapat dipisahkan dengan variasi berbahasa. Variasi pemakaian bahasa didasarkan pada konteks/situasi sewaktu terjadinya proses berkomunikasi. Kurangnya pengetahuan dan penggunaan bahasa Gorontalo pada peserta didik pada saat


(38)

berkomunikasi dengan masyarakat sekitar baik satu etnis atau beda etnis dan lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia (Palubuhu, 2007).

Hasil penelitian siregar dalam silalahi (2008), penggunaan bahasa daerah di kota-kota besar mengalami pergeseran dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia. Penelitian dilakukan pada masyarakat bilingual di medan dan dikhususkan pada interaksi komunikasi intra kelompok dari 13 etnis dan penelitian tersebut dikhususkan pada keluarga. Dari penelitian tersebut disimpulkan pergeseran cenderung terjadi pada kelompok masyarakat yang belum berkeluarga dan pada anak-anak. Kajian terhadap pemertahanan bahasa dan pergeseran bahasa biasanya mengarah kepada hubungan antara perubahan atau kemantapan yang terjadi pada kebiasaan berbahasa dengan proses sosial, budaya, dan psikologi pada saat masyarakat bahasa yang berbeda berhubungan satu sama lain.

Untuk mengklasifikasikan tempat penggunaan bahasa daerah maka dapat dilihat dari ranah. Ranah disebut juga dengan domain. Romaine (1994:49) menyebutkan bahwa ranah adalah suatu abstraksi yang merujuk kepada suatu suasana aktivitas yang menghadirkan suatu kombinasi khas dari waktu, tempat, dan hubungan peran. Schmidt dan Rohr dalam Pride dan Holmes (1972:18) mengemukakan Sembilan ranah utama antara lain: (1) rumah (2) arena bermain dan jalan (3) sekolah (4)gereja (5) sastra (6) media masa (7)kemiliteran (8)pengadilan (9) administrasi pemerintahan. Dalam buku yang sama Frey mengurangi menjadi 3 yaitu rumah, sekolah dan gereja. Fishman dan Greenfield (1970) memilih 5 ranah yaitu: Rumah, teman, pendidikan, pekerjaan, dan agama.


(39)

Sedangkan dalam penelitiannya Siahaan (2002) memilih 2 ranah yaitu keluarga dan persahabatan dengan alsan bahwa ranah tersebut member peluang terhadap kegiatan intrakelompok etnis batak toba. Dalam hal ini hubungan peran yang digunakan juga mengikuti ranah-ranah yang telah ditentukan. Ranah keluarga mencakup komunikasi antara suami-istri, orang tua-anak, anak-saudara, orang tua – saudara. Sedangkan persahabatan meliputi orang tua-teman, anak-teman. Dari hasil penelitian tersebut jelas terlihat bahwa bahasa yang paling sering digunakan anak pada setiap ranah adalah bahasa Indonesia (32,98%), sedangkan orang tua adalah campuran bahasa Indonesia dan bahasa Batak Toba (25%). Namun jika dilihat dari masing-masing ranah, pada ranah keluarga (rumah), anak lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia (47%), sedangkan orang tua menggunakan campuran bahasa Indonesia dan bahasa Batak Toba (28,80%), dan bahasa Batak Toba persentase penggunaan tertinggi ada pada arisan keluarga dan didominasi oleh orang tua. Pada ranah berikutnya yaitu ranah persahabatan (upacara adat) penggunaan bahasa Indonesia tertinggi adalah pada anak (47%), sedangkan orang tua menggunakan campuran bahasa Indonesia dan bahasa Batak Toba (25,60%) dan bahasa Batak Toba (21,40%). Dari data diatas kesimpulan daripenelitian tersebut adalah bahwa penggunaan bahasa daerah hanya didominasi oleh orang tua, sedangkan anak lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia.

Penelitian berikutnya yang dilakukan oleh Damanik (2009) melihat hubungan antara 2 variabel, yakni variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas antara lain: Usia, pekerjaan, pendidikan, jenis kelamin, perkawinan, agama, loyalitas bahasa, tempat lahir. Sedangkan variabel terikat antara lain: kekeluargaan, pergaulan,


(40)

pekerjaan, pendidikan, pemerintahan, transaksi, tetangga. Pada hasil penelitiannya dijelaskan bahwa pemertahanan bahasa simalungun di semua ranah cenderung baik dikarenakan karena tingginya penggunaan bahasa daerah pada tiga kelompok (remaja, dewasa, orang tua). Hal tersebut membuktikan pentingnya remaja sebagai generasi penerus bahasa daerah, dan orang tua sebagai berperan sebagai pengajar dan mengenalkan bahasa daerah kepada generasi penerus.


(41)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian korelasi menggunakan pendekatan kuantitatif. Penelitian kuantitatif adalah penelitian yang digunakan untuk mendeteksi sejauh mana Variabel bebas mempengaruhi Variabel terikat. Penelitian ini menggunakan studi korelasi Spearman dikarenakan korelasi Spearman digunakan untuk mencari hubungan antar variabel yang mempunyai pengukuran sekurang-kurangnya tipe atau interval-rasio atau ordinal sehingga memungkinkan untuk dibuat peringkat atau ranking terhadap data tersebut. Dimana dengan metode tersebut diharapkan dapat melihat hubungan atau pengaruh kategori sosial dengan penggunaan bahasa daerah (Karo). Pada penelitian ini juga menggunakan penelitian deskriptif menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif dimaksudkan untuk mendapatkan data yang lebih akurat dan untuk mendukung data-data yang didapat dari penyebaran kuisioner. 3.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di GBKP Klassis Kampung Lalang, Sumatera Utara. Adapun yang menjadi alasan pemilihan lokasi tersebut di atas adalah :

1. Kurangnya perhatian terhadap bahasa daerah di GBKP Klasis Medan-Kp.Lalang.

2. Kurangnya penggunaan bahasa daerah pada keluarga di lingkungan GBKP Klasis Medan-Kp.Lalang.


(42)

3. Merupakan suatu komunitas suku yang homogen (suku karo).

4. Karena peneliti juga berada di kota yang sama dengan lokasi penelitian sehingga dapat memaksimalkan waktu yang ada.

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi

Dalam metode penelitian kata populasi digunakan untuk menyebutkan sekelompok objek yang menjadi sasaran penelitian. Oleh karena itu, populasi penelitian merupakan keseluruhan dari objek penelitian (Burhan, 2005: 99). Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah seluruh keluarga yang terdaftar pada GBKP Klasis Medan-Kp.Lalang. Populasi dalam penelitian ini adalah sebanyak 4.294 KK, dengan demikian populasi dalam penelitian termasuk jenis populasi jumlah terhingga.

3.3.2. Sampel

Sampel merupakan bagian dari populasi yang ingin diteliti. Oleh karena itu, sampel harus dilihat sebagai suatu pendugaan terhadap populasi dan bukan populasi itu sendiri (Bailey, 1994:83). Dalam penarikan sampel menggunakan stratified random sampling (teknik acak terlapis). Pada teknik pengambilan sampel ini terdiri dari dua jenis yaitu: proporsional sampel, dan nonproporsional sampel (Prasetyo, 2006).

Dari proses penjumlahan melalui rumus Stratified Random Sampling diatas maka didapat sampel sebanyak 200 KK yang menjadi responden. Sedangkan teknik untuk menarik sampelnya dilakukan dengan cara :


(43)

3.3.3. Purposive Sampling

Purposive sampling yaitu pemilihan sampel berdasarkan karakteristik tertentu yang dianggap mempunyai kaitan dengan karakteristik populasi yang diketahui sebelumnya. Tehnik sampling ini digunakan berdasarkan pengetahuan terhadap populasi, maka unit-unit populasi yang dianggap “kunci” diambil sebagai sampel penelitian (Bungin 2006:115).

Karakteristik sampel dalam penelitian ini adalah :

1. Keluarga yang aktif berkebaktian dan terdaftar di GBKP 2. Keluarga yang sudah menikah >6 tahun

3. Keluarga yang mempunyai anak minimal berumur >4 tahun 3.4. Teknik Pengumplan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah : 1. Observasi

Observasi yaitu pengamatan yang dilakukan secara langsung untuk memperoleh dan mengumpulkan data yang diperlukan. Dalam penelitian ini, peneliti hanya berperan mengamati objek dilapangan, meliputi Keluarga GBKP Klasis Medan-Kp.Lalang.

2. Kuisioner

Kuisioner adalah pengumpulan data dengan menyebarkan pertanyaan dalam bentuk angket kepada responden untuk memperoleh data sesuai dengan permasalahan penelitian yang akan dikembangkan dalam penelitian ini. Kuisioner yang dibagikan dalam penelitian ini adalah kuisioner tertutup yaitu sudah disediakan jawabannya sehingga responden tinggal memilih.


(44)

3. Wawancara

Wawancara adalah salah satu teknik pengumpulan data yang dilakukan secara verbal dan mengajukan beberapa pertanyaan untuk mendukung hasil penelitian. 4. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan yaitu mengumpulkan data dan mengambil informasi dari buku-buku referensi, dokumen, majalah, jurnal, artikel dan dari internet yang dianggap relevan dengan masalah yang diteliti.

3.5. Analisis Data

Singarimbun dalam (Nanawi, 1994:263) mengatakan analisa data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan dipresentasikan. Data yang diperoleh dari hasil penelitian akan dianalisa dalam beberapa tahap analisa, yaitu dengan menggunakan beberapa analisis yaitu:

1. Analisis Tabel Tunggal

Analisa Tabel Tunggal merupakan suatu analisa yang dilakukan dengan membagi-bagikan variabel penelitian kedalam kategori-kategori yang dilakukan atas dasar frekuensi. Tabel tunggal merupakan langkah awal dalam menganalisa kolom yang merupakan sejumlah frekuensi dan persentasi untuk setiap kategori (Nanawi, 1994:266).

2. Analisis Tabel Silang

Analisa table silang merupakan teknik yang dilakukan untuk menganalisa dan mengetahui variabel yang satu memiliki hubungan dengan variabel lainnya, sehingga dapat diketahui apakah variabel tersebut positif atau negatif (Nanawi, 1994: 273).


(45)

3. Uji Korelasi

Uji korelasi adalah untuk menguji hubungan diantara kedua variabel dan melihat apakah terdapat hubungan yang signifikan. Peneliti menggunakan program komputer SPSS 18 untuk mempermudah dalam pengolahan data dan mendapatkan hasil yang baik.

Untuk melihat tinggi rendahnya korelasi, digunakan skala Guilford (dalam Sugiyono, 1994:149) sebagai berikut.

0,00 – 0,199 : Hubungan rendah sekali; lemah sekali 0,20 – 0,399 : Hubungan rendah tapi pasti

0,40 – 0,599 : Hubungan yang cukup berarti 0,60 – 0,799 : Hubungan yang tinggi; kuat

0,80 – 1,000 : Hubungan yang sangat tinggi; kuat sekali. 3.6. Pengujian Realibiti

Pengujian realibitas digunakan untuk mengetahui ketepatan mengukur objek yang dikaji yaitu untuk menentukan sejauh mana alat ukur dapat dipertanggungjawabkan ataupun jika diulangi pengukurannya akan menghasilkan data yang tidak berbeda (Kelinger dan Lee, 2000).

Pengujian ini dilakukan dengan menghitung realibitas Alpha-Cronbach. Apabila suatu komponen di uji maka akan menunjukkan angka lebih dari 0,50 yang bermakna item-item yang diukur telah mempunyai realibitas yang cukup berarti (Nunaly, 1994).

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha N of Items


(46)

Dari hasil pengujian di atas telihat angka 0.666 dimana hal tersebut bermakna bahwa alat ukur mempunyai realibitas yang cukup berarti sehingga dapat dipertanggung-jawabkan dan dapat menghasilkan data yang akurat.

3.7. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan penelitian mencakup uraian tentang keterbatasan dan hambatan yang ditemui dalam penelitian, baik yang berkaitan dengan metode dan teknik penulisan yang digunakan, maupun keterbatasan peneliti sendiri.

1. Dalam penelitian ini dilakukan ke setiap runggun yaitu 32 runggun dan penelitian yang maksimal hanya bisa dilakukan di Hari Minggu karena pada hari tersebut semua responden berkumpul.

2. Kendala yang dihadapi lainnya adalah keterbatasan waktu responden sehingga kuisioner di bawa pulang oleh responden namun banyak kuisioner yang hilang dan tidak dibawa kembali. Hal tersebut menyebabkan peneliti harus mengulang penelitian dari awal lagi.

3. Keterbatasan lain yang ditemukan dalam penelitian tersebut adalah jarak antara masing-masing runggun yang berjauhan sehingga peneliti kurang mampu untuk membagi waktu dalam penyebaran kuisioner.


(47)

BAB IV

HASIL DAN ANALISA PENELITIAN

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Tahun 1906 Pdt. G. Smith dan membuka Kweekschool (Sekolah Guru) di Berastagi. Sekolah ini kemudian dipindahkan dipindahkan ke Raya, tapi tahun 1920 sekolah tersebut ditutup. Guru-guru sekolah yang telah terdidik ditempatkan di desa-desa menjadi guru untuk mengabarkan Injil.

Prof. Dr. H. Kraemer meninjau ke tempat-tempat zending Karo pada tahun 1939 dan ia menekankan agar dalam waktu sesingkat-singkatnya Jemaat Karo dipersiapkan berdiri sendiri dengan pengiriman tenaga pribumi ke sekolah pendeta dan mengangkat majelis Jemaat yang sudah mampu untuk itu. Tahun 1940 dua Guru Injil Palem Sitepu dan Thomas Sibero dikirim ke sekolah pendeta di seminari HKBP, Sipoholon.

Pada tanggal 23 Juli 1941, diadakan Sidang Sinode Pertama di Sibolangit dan menghasilkan beberapa keputusan penting, yaitu menyusun dan menetapkan Tata Gereja GBKP, menyusun dan menetapkan Tata Liturgi Kebaktian dan Liturgi tatalayanan lainnya, menahbiskan dua orang pendeta pertama dari putra Karo yaitu Pdt. Palem Sitepu dan Pdt. Thomas Sibero, serta berhasil memilih kepengurusan Moderamen GBKP dan 2 klasis pertama dalam sejarah GBKP yaitu Klasis Karo Jahe (Sibolangit) dan klasis Karo Gugung (Kabanjahe). Ketua Moderamen yang terpilih untuk Pertama kali ialah Pdt. J. van Muylwijk. Pada saat itu juga disahkan nama "Gereja Batak Karo Protestan disingkat GBKP", sehingga tanggal 23 Juli 1941


(48)

dikenal dengan hari jadi GBKP atau GBKP njayo. Sebagai catatan penting, sebelum GBKP terbentuk, penginjilan ke Masyarakat Karo yang dilakukan sejak tanggal 18 April 1890 di Buluh Awar sampai dengan tahun 1941 dilakukan oleh NZG.

Klasis Medan Kampung Lalang

Dalam tugas-tugas pelayanannya, Moderamen dibantu oleh 22 Klasis, salah satunya adalah Klasis Medan Kampung Lalang. Semua Klasis ini memiliki kedudukan, lembaga-lembaga dan tugas-tugas yang sama dalam GBKP, hanya saja daerah pelayanannya yang berbeda. Dengan demikian, keberadaan Klasis Medan Kampung Lalang adalah salah satu pendukung tugas pelayanan Moderamen GBKP.

Klasis Medan Kampung Lalang berkedudukan dan berkantor pusat di Jalan Setia Budi Gg. Kenanga Medan (di samping gedung GBKP Rg. Setia Budi Medan). Gedung kantor tersebut berdiri di atas sebidang tanah seluas 4200 m2, bersama-sama dengan berdirinya Jambur Diakonia, Rumah Pastori, dan gedung GBKP Rg. Setia Budi Medan.

Klasis Medan Kampung Lalang dibentuk melalui Keputusan Sidang Klasis tanggal 26 Oktober 1979 di GBKP Jalan Sei Batang Serangan Medan, yaitu dengan dilakukan pemekaran Klasis Medan menjadi 2 klasis, yaitu:

1. Klasis Medan Deli Tua, berkantor di Jalan Jamin Ginting Km. 4 (Komplek Pamen Medan)

2. Klasis Medan Kampung Lalang berkantor di Jalan Sei Batang Serangan Medan. Selanjutnya, tanggal 26 Oktober 1979 ditetapkan menjadi hari jadi Klasis Medan Kampung Lalang.


(49)

Majelis jemaat yang termasuk dalam pelayanan Klasis Medan Kampung Lalang pada saat itu berjumlah 13 runggun dan saat ini jumlah runggun pada Klasis Medan-kp.lalang adalah berjumlah 32 runggun. Ketua Klasis Medan Kampung Lalang yang pertama adalah Pdt. T.H. Sidabutar, MTh. Saat ini Klasis Medan Kampung Lalang diketuai oleh Pdt. Fajar Alam Kaban. yang dipilih melalui Sidang Klasis tahun 2010. Dalam struktur organisasi Klasis Medan Kampung Lalang juga terdapat 4 lembaga Kategorial, yaitu Moria Klasis Medan Kampung Lalang, Mamre Klasis Medan Kampung Lalang, Permata Klasis Medan Kampung Lalang dan KA-KR Klasis Medan Kampung Lalang.

4.2. Temuan Data dan Penyajian Data

Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tahun 2012 di Gereja GBKP Klasis Medan-Kp.Lalang, maka informasi yang diperoleh merupakan hasil kuesioner yang telah disebarkan kepada jemaat GBKP Klasis Medan-Kp.Lalang. Hasil penelitian ini akan ditampilkan melalui tabel tunggal dan tabel silang dengan menggunakan SPSS yang disertai dengan analisis data. Didalam penyajian tabel tunggal, peneliti membagi kedalam bagian, yaitu :

1. 4.2.1. Membahas mengenai karakteristik responden. 2. 4.2.2. Membahas ruang tempat tinggal yang terbatas 3. 4.2.3 Membahas pola pengasuhan anak

Tabel Tunggal

Tabel tersebut mengemukakan data variabel penelitian dan penganalisaannya dalam bentuk analisa tabel tunggal yang berasal dari data temuan yang diperoleh


(50)

berdasarkan daftar pertanyaan di kuesioner. Data-data yang lebih terperinci akan disajikan berikut ini:

4.2.1. Karakteristik Responden

Maksud dari penyajian data karakteristik responden adalah agar penulis lebih mengenal responden yang diteliti sehingga dapat lebih memudahkan menulis dalam melakukan penganalisaan data. Adapun karakteristik responden adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Komposisi Responden Berdasarkan Usia

Sumber : Data Primer Penelitian Tahun 2012

Dari data di atas menunjukkan bahwa responden memiliki komposisi yang bervariasi agar responden mendapatkan data yang lebih lengkap dan mewakili semua karateristik umur. Dari hasil penelitian tersebut terlihat responden yang berusia 25-35 tahun memiliki frekuensi 50 responden dengan persentase 25 persen, usia 36-46 tahun memiliki frekuensi 88 responden dengan persentase 44 persen, usia 47-57 tahun memiliki frekuensi 42 responden dengan persentase 21 persen, dan usia 58-68 tahun memiliki frekuensi 20 responden dengan frekuensi 10 persen. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa responden dengan usia 36-46 tahun lebih banyak dibandingkan dengan responden lain berdasarkan usia. hal tersebut akan memberikan

No. Usia Frekuensi (F) Persentase (%)

1 25-35 Tahun 50 25

2 36-46 Tahun 88 44

3 47-57 Tahun 42 21

4 58-68 Tahun 20 10


(51)

pemahaman yang berbeda-beda terhadap pemahaman tentang pengajaran dan penggunaan bahasa daerah.

Tabel 2. Komposisi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Terakhir No. Pendidikan Terakhir Frekuensi (F) Persentase (%)

1 Tamatan S1 - S3 120 60

2 Tamatan SMP – SMA 80 40

3 Tamatan SD - Tidak Bersekolah 0 0

Jumlah 200 100.0

Sumber : Data Primer Penelitian Tahun 2012

Dari data di atas terlihat bahwa lebih banyak responden yang memiliki latar belakang pendidikan SMP-SMA. Dari hasil penelitian tersebut terlihat responden dengan latar belakang pendidikan S1-S3 memiliki frekuensi 80 responden dengan persentase 40 persen, responden dengan latar belakang pendidikan SMP-SMA memiliki frekuensi 120 responden dengan persentase 60 persen, Data diatas menunjukkan bahwa responden mempunyai latar belakang pendidikan yang cukup baik dan responden latar belakang berpendidikan S1-S3 juga cukup banyak, sehingga dapat mempengaruhi pola pikir masing-masing responden.

Tabel 3. Komposisi Responden Berdasarkan Pekerjaan

No. Pekerjaan Frekuensi (F) Persentase (%)

1 Pegawai negeri sipil 42 21

2 Pegawai swasta 46 23

3 Wiraswasta 85 42.5

4 Lainnya 27 13.5

Jumlah 200 100

Sumber : Data Primer Penelitian Tahun 2012

Dari data di atas terlihat bahwa responden memiliki komposisi pekerjaan yang bervariasi. Dari hasil penelitian tersebut terlihat responden yang bekerja sebagai


(52)

pegawai negri sipil memiliki frekuensi 42 responden dengan persentase 21 persen, bekerja sebagai pegawai swasta memiliki frekuensi 46 responden dengan persentase 23 persen, bekerja sebagai wiraswasta memiliki frekuensi 85 responden dengan persentase 42.5 persen, dan yang bekerja lainnya memiliki frekuensi 27 responden dengan frekuensi 13.5 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa jemaat GBKP Klasis Medan-Kp.Lalang memiliki latar belakang pekerjaan yang berbeda-beda sehingga dapat mewakili semua karateristik pekerjaan.

Tabel 4. Komposisi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

No. Jenis Kelamin Frekuensi (F) Persentase (%)

1 Laki – Laki 123 61.5

2 Perempuan 77 38.5

Jumlah 200 100

Sumber : Data Primer Penelitian Tahun 2012

Dari data di atas menunjukkan bahwa komposisi responden jenis kelamin laki-laki lebih banyak dari responden jenis kelamin perempuan, yakni responden berjenis kelamin laki-laki mempunyai frekuensi 123 responden dengan persentase 61.5 persen, dan perempuan mempunyai frekuensi 77 responden dengan persentase 38.5 persen. Dari hasil penelitian tersebut terlihat responden laki-laki lebih sering dijumpai pada saat pulang gereja..

Tabel 5. Komposisi Responden Berdasarkan Jumlah Anak

No. Jumlah Anak Frekuensi (F) Persentase (%)

1 1-2 orang 95 47.5

2 3-4 orang 76 38

3 5-6 orang 27 13.5

4 Lainnya 2 1

Jumlah 200 100.0


(53)

Dari data di atas terlihat bahwa responden lebih banyak memiliki komposisi jumlah anak antara 1-2 orang. Dari hasil penelitian tersebut terlihat responden yang mempunyai jumlah anak 1-2 orang memiliki frekuensi 95 responden dengan persentase 47.5 persen, responden yang mempunyai jumlah anak 3-4 orang memiliki frekuensi 76 responden dengan persentase 38 persen, responden yang mempunyai jumlah anak 5-6 orang memiliki frekuensi 27 responden dengan persentase 13.5 persen, dan responden yang mempunyai jumlah anak lebih dari 6 orang memiliki frekuensi 2 responden dengan frekuensi 1 persen. Data diatas menunjukkan bahwa responden mempunyai jumlah anak rata-rata adalah 1-4 orang, sehingga memunkinkan untuk memberikan pengajaran yang intensif kepada anak.

4.2.2. Kategori Sosial

4.2.2.1. Frekuensi Responden Tentang Tingkat Ekonomi

Tabel 6. Komposisi Responden Berdasarkan Jumlah Pendapatan

No. Jumlah Anak Frekuensi (F) Persentase (%)

1 >Rp.4.000.000 37 18.5

2 Rp.3.900.000 - Rp.2.000.000 110 55

3 < Rp.1.900.000 53 26.5

Jumlah 200 100.0

Sumber : Data Primer Penelitian Tahun 2012

Dari data di atas terlihat bahwa responden lebih banyak memiliki pendapatan Rp.3.900.000 – Rp.2.000.000. Dari hasil penelitian tersebut terlihat responden dengan jumlah pendapatan lebih dari Rp.4.000.000 memiliki frekuensi 37 responden dengan persentase 18.5 persen, responden dengan jumlah pendapatan Rp.3.900.000 – Rp.2.000.000 memiliki frekuensi 110 responden dengan persentase 55 persen, dan responden dengan jumlah pendapatan kurang dari Rp.1.900.000 memiliki frekuensi


(54)

53 responden dengan persentase 26.5 persen. Data diatas menunjukkan bahwa responden tidak berada pada garis kemiskinan.

Tabel 7. Komposisi Responden Berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga yang Tinggal di Rumah

No. Jumlah Anggota Keluarga Frekuensi (F) Persentase (%)

1 > 6 orang 16 8

2 4-5 orang 119 59.5

3 < 3 orang 65 32.5

Jumlah 200 100.0

Sumber : Data Primer Penelitian Tahun 2012

Dari data di atas terlihat bahwa anggota keluarga yang tinggal di rumah responden rata-rata 4-5 orang. Dari hasil penelitian tersebut terlihat responden dengan jumlah anggota keluarga lebih dari 6 orang memiliki frekuensi 16 responden dengan persentase 8 persen, responden dengan jumlah anggota keluarga 4-5 orang memiliki frekuensi 119 responden dengan persentase 59.5 persen, dan responden dengan jumlah anggota keluarga kurang dari 3 orang memiliki frekuensi 65 responden dengan persentase 32.5 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa responden mempunyai tanggungan yang tidak terlalu banyak karena banyak responden dengan jumlah anggota keluarga 4-5 orang.

Tabel 8. Pandangan Responden Tentang Pendapatan Perbulan dengan Pengeluaran Perbulan

No. Jawaban Frekuensi (F) Persentase (%)

1 Lebih dari cukup 16 8

2 Cukup 138 69

3 Kurang 46 23

Jumlah 200 100.0


(55)

Dari data di atas terlihat bahwa responden lebih banyak berpendapat bahwa pendapatan perbulan cukup untuk memenuhi pengeluaran perbulannya. Dari hasil penelitian tersebut terlihat responden dengan jawaban lebih dari cukup frekuensi 16 responden dengan persentase 8 persen, responden dengan jawaban cukup memiliki frekuensi 138 responden dengan persentase 69 persen, dan responden dengan jawaban kurang memiliki frekuensi 46 responden dengan persentase 23 persen. Data diatas menunjukkan bahwa banyak responden yang merasa cukup dengan pendapatan perbulannya, dan masih banyak juga responden yang merasa kurang dengan pendapatan perbulannya.

4.2.2.2. Frekuensi Responden Tentang Lingkungan daerah Tempat Tinggal Tabel 9. Komposisi Responden Berdasarkan Jumlah Etnis di Daerah Tempat

Tinggal

No. Jawaban Frekuensi (F) Persentase (%)

1 Mayoritas Etnis Karo 64 32

2 Seimbang/Beragam Etnis 119 59.5

3 Minoritas Etnis Karo 17 8.5

Jumlah 200 100.0

Sumber : Data Primer Penelitian Tahun 2012

Dari data di atas terlihat komposisi lingkungan tempat tinggal responden, lebih banyak responden yang tinggal di daerah beragam etnis. Dari hasil penelitian tersebut terlihat responden dengan jawaban mayoritas Etnis Karo memiliki frekuensi 64 responden dengan persentase 32 persen, responden dengan jawaban seimbang dan beragam etnis memiliki frekuensi 119 responden dengan persentase 59.5 persen, dan responden dengan komposisi minoritas Etnis Karo memiliki frekuensi 17 responden


(56)

dengan persentase 8.5 persen. Data diatas menunjukkan bahwa responden bertempat tinggal di daerah yang beragam etnis yang akan mempengaruhi penggunaan bahasa daerah.

Tabel 10. Komposisi Responden Berdasarkan Dengan Siapakah Lebih Sering Bergaul dan Berkomunikasi

No. Jawaban Frekuensi (F) Persentase (%)

1 Sesama Etnis Karo 55 27.5

2 Netral 125 62.5

3 Berbeda Etnis 20 10

Jumlah 200 100.0

Sumber : Data Primer Penelitian Tahun 2012

Dari data di atas terlihat responden lebih sering bergaul dan berkomunikasi dengan semua etnis. Dari hasil penelitian tersebut terlihat responden dengan jawaban sesama Etnis Karo memiliki frekuensi 55 responden dengan persentase 27.5 persen, responden dengan jawaban netral memiliki frekuensi 125 responden dengan persentase 62.5 persen, dan responden dengan komposisi berbeda Etnis memiliki frekuensi 20 responden dengan persentase 10 persen. Data diatas menunjukkan jawaban bahwa responden lebih sering bergaul dengan semua etnis dan juga masih banyak responden yang menjawab lebig sering bergaul dengan sesama etnis karo saja sehingga mempengaruhi kuantitas penggunaan bahasa daerah.

Tabel 11. Pandangan Responden Berdasarkan lingkungan Daerah Tempat Tinggal yang Nyaman

No. Jawaban Frekuensi (F) Persentase (%)

1 Mayoritas Etnis Karo 60 30

2 Seimbang/Beragam Etnis 129 64.5

3 Minoritas Etnis Karo 11 5.5

Jumlah 200 100.0


(57)

Dari data di atas terlihat jawaban responden berdasarkan lingkungan daerah tempat tinggal yang nyaman adalah beragam etnis. Dari hasil penelitian tersebut terlihat responden dengan jawaban mayoritas Etnis Karo memiliki frekuensi 60 responden dengan persentase 30 persen, responden dengan jawaban seimbang dan beragam etnis memiliki frekuensi 129 responden dengan persentase 64.5 persen, dan responden dengan komposisi minoritas Etnis Karo memiliki frekuensi 11 responden dengan persentase 5.5 persen. Data diatas menunjukkan bahwa responden berpendapat bahwa daerah tempat tinggal yang nyaman adalah beragam etnis dan masih banyak responden yang menjawab lebih nyaman jika mayoritas etnis karo. 4.2.3. Penggunaan Bahasa Daerah

4.2.3.1. Frekuensi Responden Tentang Keluarga

Tabel 12. Komposisi Responden Berdasarkan Bahasa yang Digunakan Saat Berkomunikasi dengan suami/istri

No. Jawaban Frekuensi (F) Persentase (%)

1 Bahasa Daerah Karo 156 78

2 Seimbang 29 14.5

3 Bahasa Indonesia 15 7.5

Jumlah 200 100.0

Sumber : Data Primer Penelitian Tahun 2012

Dari data di atas terlihat jawaban responden berdasarkan bahasa yang digunakan kepada suami/istri adalah bahasa karo. Dari hasil penelitian tersebut terlihat responden dengan jawaban bahasa daerah Karo memiliki frekuensi 156 responden dengan persentase 78 persen, responden dengan jawaban seimbang memiliki frekuensi 29 responden dengan persentase 14.5 persen, dan responden dengan jawaban bahasa Indonesia memiliki frekuensi 15 responden dengan


(58)

persentase 7.5 persen. Data diatas menunjukkan bahwa responden menggunakan bahasa daerah Karo, hal tersebut menunjukkan bahwa mereka telah ambil bagian dalam melestarikan bahasa daerah.

Tabel 13. Komposisi Responden Berdasarkan Bahasa yang Digunakan Saat Berkomunikasi Dengan Anak

No. Jawaban Frekuensi (F) Persentase (%)

1 Bahasa Daerah Karo 111 55.5

2 Seimbang 46 23

3 Bahasa Indonesia 43 21.5

Jumlah 200 100.0

Sumber : Data Primer Penelitian Tahun 2012

Dari data di atas terlihat jawaban responden berdasarkan bahasa yang digunakan saat berkomunikasi dengan anak adalah bahasa Karo. Dari hasil penelitian tersebut terlihat responden dengan jawaban bahasa daerah Karo memiliki frekuensi 111 responden dengan persentase 55.5 persen, responden dengan jawaban seimbang memiliki frekuensi 46 responden dengan persentase 23 persen, dan responden dengan jawaban bahasa Indonesia memiliki frekuensi 43 responden dengan persentase 21.5 persen. Data diatas menunjukkan bahwa responden lebih banyak menggunakan bahasa daerah Karo saat berkomunikasi kepada anak dikarenakan responden ingin mengajarkan bahasa daerah kepada anak dan menggunakannya dalam berkomunikasi. Tabel 14. Komposisi Responden Berdasarkan Bahasa yang Digunakan

Anak Saat Berkomunikasi Dengan Orang Tua

No. Jawaban Frekuensi (F) Persentase (%)

1 Bahasa Daerah Karo 27 13.5

2 Seimbang 65 32.5

3 Bahasa Indonesia 108 54

Jumlah 200 100.0


(59)

Dari data di atas terlihat jawaban responden berdasarkan bahasa yang digunakan anak saat berkomunikasi dengan orang tua adalah bahasa indonesia. Dari hasil penelitian tersebut terlihat responden dengan jawaban bahasa daerah Karo memiliki frekuensi 27 responden dengan persentase 13.5 persen, responden dengan jawaban seimbang memiliki frekuensi 65 responden dengan persentase 32.5 persen, dan responden dengan jawaban bahasa Indonesia memiliki frekuensi 108 responden dengan persentase 54 persen. Data diatas menunjukkan bahwa anak dari responden menggunakan bahasa indonesia, jika dilihat dari kuantitas orang tua yang menggunakan bahasa daerah Karo pada saat berkomunikasi dengan anak, hal tersebut menunjukkan bahwa anak paham dan mengerti dengan bahasa daerah karo namun tidak menggunakannya saat berkomunikasi dengan orang tua.

Tabel 15. Komposisi Responden Berdasarkan Bahasa yang Digunakan anak Saat Berkomunikasi Dengan abang/kakak/adik

No. Jawaban Frekuensi (F) Persentase (%)

1 Bahasa Daerah Karo 24 12

2 Seimbang 65 32.5

3 Bahasa Indonesia 111 55.5

Jumlah 200 100.0

Sumber : Data Primer Penelitian Tahun 2012

Dari data di atas terlihat jawaban responden berdasarkan bahasa yang digunakan anak saat berkomunikasi dengan abang/kakak/adik adalah bahasa Indonesia.. Dari hasil penelitian tersebut terlihat responden dengan jawaban bahasa daerah Karo memiliki frekuensi 24 responden dengan persentase 12 persen, responden dengan jawaban seimbang memiliki frekuensi 65 responden dengan persentase 32.5 persen, dan responden dengan jawaban bahasa Indonesia memiliki


(1)

bahasa daerah Karo yang semakin rendah dan pada pendapatan rendah terlihat penggunaan Bahasa Indonesia semakin tidak ada.

Bahasa yang digunakan pada saat berkomunikasi dengan tetangga sekitar rumah yang berbeda etnis adalah Bahasa Indonesia, namun penggunaan campur bahasa semakin tinggi pada pendapatan yang semakin rendah. Bahasa yang digunakan saat berkomunikasi dengan keluarga besar yang berbeda etnis adalah Bahasa Indonesia, namun penggunaan bahasa daerah Karo semakin tinggi pada jumlah pendapatan yang semakin rendah.

Bahasa yang digunakan pada saat berkomunikasi antara suami dan istri adalah bahasa daerah Karo, namun penggunaan bahasa tidak dipengaruhi oleh semakin tinggi atau semakin rendahnya pendapatan. Bahasa yang digunakan anak pada saat berkomunikasi dengan orang tua adalah Bahasa Indonesia, namun tidak dipengaruhi oleh tinggi atau rendahnya jumlah pendapatan. Bahasa yang digunakan pada saat berkomunikasi dengan sesama anggota jemaat GBKP adalah bahasa daerah Karo, namun tidak ada pengaruh dari tinggi atau rendahnya jumlah pendapatan.

Pada saat berkomunikasi dengan suami atau istri bahasa yang paling banyak digunakan adalah bahasa daerah Karo, dan semakin mayoritas Etnis Karo di lingkungan daerah tempat tinggal maka penggunaan bahasa daerah Karo semakin tinggi. Pada saat anak berkomunikasi dengan orang tua bahasa yang paling banyak digunakan adalah Bahasa Indonesia, namun semakin mayoritas Etnis Karo di lingkungan daerah tempat tinggal maka penggunaan bahasa daerah Karo semakin tinggi. Pada saat anak berkomunikasi dengan abang, kakak, atau adik, bahasa yang paling banyak digunakan adalah Bahasa Indonesia, dan semakin minoritas Etnis Karo


(2)

di lingkungan daerah tempat tinggal maka penggunaan bahasa daerah Karo semakin tidak ada.

Pada saat berkomunikasi dengan sesama anggota jemaat GBKP bahasa yang paling banyak digunakan adalah bahasa daerah Karo, dan semakin mayoritas Etnis Karo di lingkungan daerah tempat tinggal maka penggunaan Bahasa Indonesia semakin tidak ada. Pada saat berkomunikasi dengan tetangga sekitar rumah yang sesama etnis Karo adalah bahasa daerah Karo, dan semakin minoritas Etnis Karo di lingkungan daerah tempat tinggal maka penggunaan bahasa daerah Karo semakin rendah. Pada saat berkomunikasi dengan keluarga besar yang sesama Etnis Karo bahasa yang digunakan adalah bahasa daerah Karo, namun semakin minoritas Etnis Karo di lingkungan daerah tempat tinggal maka semakin rendah penggunaan bahasa daerah Karo.

Pada saat berkomunikasi dengan tetangga sekitar rumah yang berbeda etnis bahasa yang paling banyak digunakan adalah Bahasa Indonesia, namun semakin mayoritas Etnis Karo di lingkungan daerah tempat tinggal maka penggunaan campur bahasa semakin tinggi. Pada saat berkomunikasi dengan keluarga besar yang berbeda etnis bahasa yang paling banyak digunakan adalah Bahasa Indonesia, namun semakin mayoritas Etnis Karo di lingkungan daerah tempat tinggal penggunaan bahasa daerah Karo dan campur bahasa semakin meningkat.

Pada saat orang tua berkomunikasi dengan anak bahasa yang paling banyak digunakan adalah bahasa daerah Karo, namun mayoritas atau minoritas etnis Karo di lingkungan daerah tempat tinggal terlihat tidak adanya pengaruh terhadap


(3)

Dari beberapa penjelasan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat hubungan pengaruh yang signifikan antara kategori sosial (Tingkat Ekonomi/Jumlah pendapatan, dan lingkungan daerah tempat tinggal) terhadap penggunaan bahasa daerah Karo (keluarga, sesama etnis, berbeda etnis) pada keluarga jemaat GBKP Klasis Medan-Kp. Lalang.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Adisaputera, Abdurahman. 2009. Jurnal: Potensi Kepunahan Bahasa Pada Komunitas Melayu Langkat Di Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Medan: Universitas Negri Medan.

Ahmadi, Abu. 1997. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Rheneka Cipta.

Arikunto, Suharsimi.2006. Prosedur Penelitian : suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta.

Bailey, Kenneth D. 1994. Methods of social research, Jakarta.

Bagus, I Gusti Ngurah. 2001. Beberapa Pemecahan dalam Pengembangan Bahasa Bali. Makalah Disajikan pada Seminar ‘Di Ambang Kematian Bahasa Bali’ di Denpasar, 26 Mei 2001.

Budhiono, R. Hery. 2009. Jurnal: Bahasa Daerah (Bahasa Ibu) di Palangkaraya: Pergeseran dan Pemertahanannya. Palangkaraya: Adabiyyat.

Bungin, Burhan. 2005. Metode Penelitian Kuantitatif , Jakarta: Kencana.

Chambers, J.K. 1996. Sociolinguitic Theory. Cambridge: Basil Blackwell Cipta Jaya. 2006. Satandar Kompotensi Kepala Sekolah. Jakarta: Cipta Jaya.

Coulmas, Flourian. 1997. The Handbook of sociolinguistics. Oxford: Blackwell. Damanik, Ramlan. 2009. Tesis: Pemertahanan Bahasa Simalungun di Kabupaten

Simalungun. Medan: USU.

Darwis, Muhammad. 1985. Hasil Penelitian: Corak Pertumbuhan Bahasa Indonesia di Perkampungan PT Arun Aceh Utara. Banda Aceh: PLPIIS Universitas Syiah Kuala.

---. 2011. Jurnal: Nasib Bahasa Daerah di Era Globalisasi: Peluang dan Tantangan. Makasar : Balitbang Agama Makasar.

Fishman, Joshua. 1985. Language, dalam Adam Kuper dan Jessica Kuper. The Social Science Encyclopedia. London: Boston, and Henley.

Grimes, B. F. Ed. 1988. Ethnologue: languages of the world. Dallas, Texas: Summer Institute of Linguistics, Inc.


(5)

Gordon, Raymond G. Jr. 2005. Ethnologue: languages of the world. Edisi ke-15. Dallas, Texas: Summer Institute of Linguistics, Inc.

Ihromi. 1999. Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Jendra, I Wayan. 2002. Kehidupan Bahasa Bali di Tengah Kehidupan Masyarakat

Majemuk dalam Kumpulan Makalah Kongres Bahasa Bali V diterbitkan atas kerjasama Pemda Bali, Badan Pembina Bahasa, Aksara dan Sastra Bali, Fakultas Sastra Unud, dan Balai Bahasa Denpasar.

Krauss, M. 1992. The world’s languages in crisis. Dalam Language, Volume 68, Number 1.

Maharani, Isnu. 2010. Jurnal: Pemertahanan Bahasa Ibu di Kalangan Remaja Pada Lingkungan Puri di Kabupaten Gianyar. Bali: Universitas Udayana. Moerdiono. 1988. Bahasa Indonesia dalam Tugas Penyelenggaraan Pemerintahan.

Makalah dalam Kongres Bahasa Indonesia V, 1--13. Jakarta: Depdikbud. Nanawi, Hadari. 1994. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta: UGM Press.

Pateda, Lamsike. 2007. Tesis: Pengajaran Bahasa Gorontalo Sebagai Muatan Lokal Di Sd Kota Gorontalo. Tesis: UNJ

Pateda, Mansoer dan Yennie P. Pulubuhu. 1999. Jurnal: Satuan Persiapan Mengajar Muatan Lokal Bahasa Gorontalo untuk SD kelas I-VI. Jakarta: Yudhistira.

Palubuhu, Yenni Pateda.2007. Jurnal: Penggunaan Bahasa Gorontalo Pada Peserta Didik di SD Kota Gorontalo. Gorontalo: Viladan.

Prasetyo, Bambang, dan Lina Miftahul Jannah. 2005. Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Rachman, Arief. 2007. Jurnal: Punahnya Bahasa Daerah karena Kehadiran Bahasa Indonesia dan Bahasa Asing dan Upaya Penyelematannya. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap UNJ tanggal 22 Mei 2007. Jakarta: UNJ. Reyhner, Jon. 2000. Some Basics of Indigenous Language Revitalization. Center for

Excellence in Education Northern Arizona University.

Siahaan, Rumondang. 2002. Tesis: Kajian Khusus Tentang Tingkat Pemertahanan Bahasa Pada Masyarakat Batak Toba di Medan Berdasarkan Perilaku Pilih Bahasa. Medan: USU.

Sugiyono, 1994. Statistika Untuk Penelitian, Bandung: Alfabeta.

Sumarsono, dan Paina Partana. 2002. Sosiolinguistik. Jogjakarta: Pustaka Pelajar. Yadnya, Ida Bagus Putra. 2009. Jurnal: Revitalisasi Bahasa Daerah (Bali) Di Tengah

Persaingan Bahasa Nasional, Daerah Dan Asing Untuk Memperkukuh Ketahanan Budaya. Bali: Universitas Udayana.


(6)

Situs Internet:

2011, pukul 13:03 WIB)

(diakses 1 Februari 2012, pukul 13.35 WIB)

1 Februari 2012, pukul 14.02 WIB)

1 Februari 2012, pukul 14.02 WIB)

2011, Pukul 15.03 WIB)