Kepemimpinan Pendeta Perempuan Di Gereja Batak Karo Prostestan (Gbkp) Di Klasis Medan Namorambe: Suatu Tinjauan Fenomenologis

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1.

Kepemimpinan

2.1.1. Pengertian Kata dan Defenisi
Secara etimologis, kepemimpinan berasal dari kata pimpin yang berarti
bimbing, tuntun. Kemudian lahirlah kata benda pemimpin, yakni orang yang
berfungsi membimbing atau menuntun. Jadi kepemimpinan artinya menunjuk
kepada suatu tindakan dalam pelaksanaan tugas memimpin (band. KBBI, 1995).
Kata kepemimpinan dapat ditemukan dalam semua bahasa. Dalam bahasa
Yunani ada dua kata kerja yakni archien, artinya membimbing, menuntun, dan
prattein, mencapai dan dalam bahasa Latin, agree, membimbing, memimpin.
(Jeanings, 1960). Dalam bahasa Inggris, kata “pemimpin” sudah dipakai lebih
dari 1000 tahun yang sedikit berubah dari bahasa Anglo Saxon, yakni dari akar
kata laedere, yang berarti pemandu petualangan (Bolman & Deal 1991). Dalam
bahasa modern, kata pemimpin tidak selamanya berarti sama. Dalam bahasa
Jerman, Fuhrer, dalam bahasa Perancis le meneur ( Klenke, 1997).
Di Indonesia dikenal adanya trilogi kepemimpinan yang diajarkan dan

dirumuskan oleh Ki Hajar Dewantara. Kepemimpinan adalah: di depan menjadi
contoh/panutan; di tengah orang yang dipimpin/masyarakat yang dipimpinya ia
menjadi penggerak/pemrakarsa; dan di belakang ia menjadi pengendali yang
partisipatif dan berpengaruh/berwibawa (ing ngarso sung tulodo, ing madya
mangun karsa, tut wuri handayani).

21

Warren Bennis dan Burt Nanus (1997) melaporkan mereka telah
menemukan 850 rumusan tentang kepemimpinan. Ragam rumusan tentang
kepemimpinan, antara lain adalah sebagai berikut:
1. Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi memberi teladan sehingga
melalui proses itu seseorang (atau tim pimpinan) mendorong suatu
kelompok untuk mencapai tujuan yang dituju oleh pemimpin atau dipegang
bersama pemimpin dan para pengikutnya.
2. Kepemimpinan atas manusia dilaksanakan jika dalam persaingan atau
konflik dengan orang-orang lain, orang dengan memberi motivasi dan tujuan
tertentu menggerakkan, sumberdaya kelembagaan, politik, psikologis, dan
sumberdaya


yang

lain

sehingga

membangkitkan,

melibatkan

dan

memuaskan motivasi para pengikutnya.
3. Kepemimpinan

adalah

pengaruh,

kemampuan


seseorang

untuk

mempengaruhi orang lain.
4. Soerjono Soekanto mengutip pendapat Selo Soemarjan yang mengatakan,
“sejak mula terbentuknya suatu kelompok sosial, seseorang atau beberapa
orang diantara warga-warganya melakukan peranan yang lebih aktif
daripada rekan-rekannya, sehingga orang tadi atau beberapa orang tampak
lebih menonjol dari lainnya. Itulah asal mulanya timbulnya kepemimpinan.
Mengenai pengertian kepemimpinan, banyak yang mendefinisikannya
dengan berbagai batasan. Stogdill (1974). mencatat sebelas kelompok pendapat
tentang

kepemimpinan

yang

berbeda


antara

satu

dengan

yang

lain

Pengelompokan tersebut dapat diringkas sebagai berikut:
1.

Kepemimpinan sebagai titik pusat dari proses-proses kelompok;

22

2.


Kepemimpinan sebagai suatu kepribadian dengan kekuatan pengaruh;

3.

Kepemimpinan sebagai seni dalam menciptakan kesepahaman dan
kesepakatan;

4.

Kepemimpinan sebagai perwujudan pengaruh;

5.

Kepemimpinan sebagai tindakan atau perilaku;

6.

Kepemimpinan sebagai suatu persuasif;

7.


Kepemimpinan sebagai suatu hubungan kekuatan/kekuasan;

8.

Kepemimpinan sebagai sarana untuk pencapaian tujuan;

9.

Kepemimpinan sebagai hasil dari suatu interaksi;

10.

Kepemimpinan sebagai awal dari struktur,

11.

Kepemimpinan sebagai suatu pemilahan peran.
Berdasarkan proses lahirnya kepemimpinan, terlihat bahwa kepemimpinan


dibentuk dan dipengaruhi oleh kelompok dan lingkungannya. Pada sisi lain,
kepemimpinan juga kemudian mempengaruhi para pengikutnya melalui perannya
yang strategis. Jadi, ada hubungan saling mempengaruhi antara pemimpin sebagai
individu dengan kelompoknya. Bogardus (1934) melihat kaitan antara individu
(pemimpin sebagai pelaksana kepemimpinan) dengan kelompoknya, sebagai
relasi dari suatu hubungan vital resiprokal, artinya individuality dan sociality
bersifat saling mempengaruhi.
Secara individuality dalam kepemimpinan menunjuk kepada unsur
kepribadian atau sifat-sifat menonjol di dalam diri seorang pemimpin. Dengan itu,
kepemimpinan mempengaruhi kelompok melalui fungsinya yang menguasai,
mengatur dan mengarahkan kepada pencapaian tujuan.

Secara sosiality,

23

menyangkut fungsi organisasi dengan pembagian kekuasaan dalam pengambilan
keputusan yang didasarkan atas pola-pola kekuasan dan otoritas.
Hubungan saling mempengaruhi tadi menyebabkan terjadinya proses
perubahan dan penyesuaian, baik secara individu maupun kelompok. Menurut

Mar’at (1985) kepemimpinan dapat dikatakan selalu ada dalam masyarakat dan
milik masyarakat. Hanya karena lokasi , zaman dan kebudayaan yang berbeda
maka terjadi corak-corak kepemimpinan yang bervariasi baik dari segi struktur
maupun proses terbentuknya.
Seorang motivator terkenal di abad ini, John Maxwell ( 1993) mengatakan
kepemimpinan adalah kemampuan seseorang untuk

mempengaruhi dan

mengarahkan orang lain, bawahan, atau kelompok untuk mencapai tujuan
organisasi atau kelompok. Ia kemudian mempopulerkan istilah “kepemimpinan itu
adalah pengaruh”. Dari arti kepemimpinan yang disebutkan diatas bahwa terlihat
kepemimpinan itu adalah kuasa.
Pengembangan kemampuan itu adalah suatu proses yang berlangsung
terus menerus dengan maksud agar yang bersangkutan semakin memiliki ciri-ciri
kepemimpinan (Yukl (2005). Walaupun belum ada kesatuan pendapat para ahli
mengenai syarat-syarat ideal yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, akan
tetapi beberapa di antaranya yang terpenting adalah sebagai berikut :
1. Kekuatan atau energi
Seorang pemimpin harus memiliki kekuatan lahiriah dan rohaniah

sehingga mampu bekerja keras dan banyak berfikir untuk memecahkan masalahmasalah yang dihadapi.

24

2. Penguasaan emosional
Seorang pemimpin harus dapat menguasai perasaannya dan tidak mudah
marah dan putus asa.
3. Pengetahuan mengenai hubungan kemanusiaan
Seorang pemimpin harus dapat mengadakan hubungan yang manusiawi
dengan bawahannya dan orang-orang lain, sehingga mudah mendapatkan bantuan
dalam setiap kesulitan yang dihadapinya.
4. Kecakapan berkomunikasi
Kemampuan menyampaikan ide, pendapat serta keinginan dengan baik
kepada orang lain, sertadapat dengan mudah mengambil intisari pembicaraan.
5. Kemampuan teknis kepemimpinan
Mengetahui

azas

dan


tujuan

organisasi.

Mampu

merencanakan,

mengorganisasi, mendelegasikan wewenang, mengambil keputusan, mengawasi,
dan lain-lain untuk tercapainya tujuan.Seorang pemimpin harus menguasai baik
kemampuan managerial maupun kemampuan teknis dalam bidang usaha yang
dipimpinnya.
6. Percaya terhadap kemampuan orang lain
Setiap orang akan senang jika mereka merasa dipercaya dan banyak orang
akan mengerjakan apa saja untuk memenuhi kepercayaan tersebut. Berilah
kepercayaan kepada orang yang kita pimpin sesuai dengan kemampuan dan
wilayah kerjanya, namun sampaikan terlebih dahulu dengan jelas apa yang harus
dia lakukan.
7. Mendengar apa yang disampaikan orang lain

Dengarkan dan perhatikan apa yang di sampaikan orang lain disekitar kita,

25

ketika hal tersebut dilakukan sesungguhnya kita membangun hubungan terhadap
orang lain dan mereka akan merasa dihargai. Karena pada dasarnya setiap orang
pasti ingin dirinya dihargai, maka berikanlah hal itu. Orang yang tidak pernah
menghargai orang lain, jangan pernah berharap dia akan dihargai apalagi dicintai.
8. Kemampuan memahami orang lain
Setiap orang sebenarnya ingin didengar, dihormati dan dipahami, ketika
orang melihat bahwa mereka dipahami, mereka akan merasa dimotivasi dan
dipengaruhi secara positif. Sesungguhnya cara paling halus dan jitu untuk
mempengaruhi dan mengambil hati orang lain adalah dengan memahami dan
mendengarkan apa yang dia sampaikan. Berikan sepenuhnya apa yang sudah
menjadi hak mereka tanpa harus melalaikan pendidikan untuk mereka sadar akan
kewajiban mereka juga.
9. Menjadi arah (navigator) bagi orang lain
Berarti mengidentifikasi tempat tujuan. Ketika seseorang memiliki potensi
pribadinya maka ia memerlukan arah untuk mengembangkan potensi tersebut.
Dengan mengarahkan orang lain kepada kesuksesan, tanpa kita sadari kita pun
telah melatih diri kita untuk menjadi pribadi yang lebih sukses. Ilmu kita
meningkat, pengalaman kita bertambah, kemampuan kita semakin diasah, relasi
atau jaringan kita bertambah dan kebaikan kita pun berlipat ganda.
10. Memperlengkapi orang lain
Artinya ketika ada kepercayaaan orang lain dengan sebuah keputusan
penting maka pemimpin harus dengan senang mendukungnya. Ketika diberi
wewenang kepada orang lain maka pemimpin telah meningkatkan kemampuan
orang lain tanpa menurunkan kemampuan pemimpin itu sendiri . Maksudnya jika

26

seorang pemimpin telah mampu mendelegasikan tugas dengan baik kepada
bawahannya, berarti ia telah membuat langkah cerdas dalam kerjanya, tugas yang
tercapai lebih banyak dan lebih cepat. Bawahannya semakin pintar dan pada
akhirnya tujuan bersama pun tercapai dengan hasil terbaik. Namun syarat sebelum
pendelegasian adalah berikan penjelasan dan ilmu sampai orang yang kita
delegasikan tersebut paham benar tentang apa yang harus ia lakukan.
2.1.2. Peran Kepemimpinan
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Dalam
hidup, manusia selalu berinteraksi dengan sesama serta dengan lingkungan.
Manusia hidup berkelompok baik dalam kelompok besar maupun dalam
kelompok kecil. Oleh sebab itu diantara para anggota kelompok tentulah
membutuhkan seseorang yang bisa memimpin kelompok itu, sebab jika tidak ada
pemimpin maka akan terpecah belahlah kelompok tersebut. Untuk mengelolanya,
diperlukan pemimpin yang mempunyai jiwa kepemimpinan yang baik serta dapat
menjadi panutan untuk anggota kelompoknya.
Pemimpin adalah figur seseorang yang bijaksana, berani mengambil
keputusan dan yang paling penting berwibawa dan bisa memimpin untuk
mencapai tujuan bersama. Sekarang sudah sangat sedikit orang yang mempunyai
ciri-ciri seorang pemimpin yang baik didalam organisasi maupun badan-badan
usaha, bisnis, dan pemerintahan.
Dalam praktek sehari-hari, sering diartikan sama antara pemimpin dan
kepemimpinan, padahal kedua hal tersebut berbeda. Pemimpin adalah orang yang
tugasnya memimpin, sedang kepemimpinan adalah bakat dan atau sifat yang harus
dimiliki seorang pemimpin. Setiap orang mempunyai pengaruh atas pihak lain,

27

dengan latihan dan peningkatan pengetahuan oleh pihak maka pengaruh tersebut
akan bertambah dan berkembang.
Organisasi adalah sebagai alat dari suatu kegiatan yang dilakukan oleh
beberapa orang atau lebih yang bekerjasama untuk mencapai tujuan.
Kepemimpinan adalah kekuasaan untuk mempengaruhi seseorang, baik dalam
mengerjakan sesuatu atau tidak mengerjakan sesuatu.
Sorang sosiolog, Ralft Dahrendorft

(Ritzer, 2011)

memusatkan

perhatiannya pada fakta sosial yakni posisi dan peran. Dahrendorft mengatakan
dalam tesisnya bahwa otoritas (kekuasaan) tidak terdapat pada individu namun
pada posisi. Otoritas yang melekat pada posisi adalah elemen kunci. Otoritas
selalu berarti subordinasi dan superordinasi. Mereka yang menduduki posisi
otoritas tersebut diharapkan akan mengendalikan subordinat; jadi mereka
mendominasi karena harapan dari mereka yang mengelilinginya, bukan karena
karakter psikologisnya.
2.1.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepemimpinan
Dalam melaksanakan tugas kepemimpinan mempengaruhi orang atau
kelompok menuju tujuan tertentu, kita pemimpin, dipengaruhi oleh beberapa
faktor.Faktor-faktor yang mempengaruhi kepemimpinan adalah sebagai berikut :
A. Faktor Kemampuan Personal
Pengertian kemampuan adalah kombinasi antara potensi sejak pemimpin
dilahirkan ke dunia sebagai manusia dan faktor pendidikan yang ia dapatkan. Jika
seseorang lahir dengan kemampuan dasar kepemimpinan, ia akan lebih hebat jika
mendapatkan perlakuan edukatif dari lingkungan, jika tidak, ia hanya akan
menjadi pemimpin yang biasa dan standar. Sebaliknya jika manusia lahir tidak

28

dengan potensi kepemimpinan namun mendapatkan perlakuan edukatif dari
lingkunganya akan menjadi pemimpin dengan kemampuan yang standar pula.
Dengan demikian antara potensi bawaan dan perlakuan edukatif lingkungan
adalah dua hal tidak terpisahkan yang sangat menentukan hebatnya seorang
pemimpin.
B. Faktor Jabatan
Pengertian jabatan adalah struktur kekuasaan yang pemimpin duduki.
Jabatan tidak dapat dihindari terlebih dalam kehidupan modern saat ini, semuanya
seakan terstrukturifikasi. Dua orang mempunyai kemampuan kepemimpinan yang
sama tetapi satu mempunyai jabatan dan yang lain tidak maka akan kalah
pengaruh. sama-sama mempunyai jabatan tetapi tingkatannya tidak sama maka
akan mempunya pengaruh yang berbeda.
C. Faktor Situasi dan Kondisi
Pengertian

situasi

adalah

kondisi

yang

melingkupi

perilaku

kepemimpinan. Disaat situasi tidak menentu dan kacau akan lebih efektif jika
hadir seorang pemimpin yang karismatik. Jika kebutuhan organisasi adalah sulit
untuk maju karena anggota organisasi yang tidak berkepribadian progresif maka
perlu pemimpin transformasional. Jika identitas yang akan dicitrakan oragnisasi
adalah religiutas maka kehadiran pemimpin yang mempunyai kemampuan
kepemimpinan spritual adalah hal yang sangat signifikan. Begitulah situasi
berbicara, ia juga memilah dan memilih kemampuan para pemimpin, apakah ia
hadir disaat yang tepat atau tidak.
Karena dalam suatu organisasi memiliki tujuan yang sama, pemimpin dan
anggota harus saling mendorong dan menasehati dalam hal kebaikan, dalam

29

halnya kasus yang lain jika seorang pemimpinnya saja sudah tidak baik
bagaimana dengan anggotanya. Dalam suatu partai/organisasi pemimpin yang
tegas dan jujur sangatlah dibutuhkan, agar tidak menyesatkan anggota yang
lainnya.
Seorang pemimpin harus mempunyai keahlian dan pengetahuan yang
sangat luas yang diperoleh melalui pengembangandiri. Pengembangan diri ini
menghasilkan

keterampilan-keterampilan

seperti

keterampilan

teknis,

keterampilan manajemen sumber daya manusia, dan keterampilan konseptual.
Kepemimpinan adalah kekuasaan untuk mempengaruhi seseorang, baik dalam
mengerjakan sesuatu atau tidak mengerjakan sesuatu. Jika semakin tinggi
kedudukan seorang pemimpin dalam organisasi maka semakin dituntut
daripadanya kemampuan berfikir secara konsepsional, strategis dan makro.
Semakin tinggi kedudukan seseorang dalam organisasi maka ia akan semakin
generalis, dan semakin besar tanggung jawab terhadap suatu kelompok atau
organisasi yang ia pimpin, sedangkan semakin rendah kedudukan seseorang
dalam organisasi maka ia menjadi spesialis.
Rahasia utama kepemimpinan adalah kekuatan terbesar seorang pemimpin
bukan

dari

kekuasaannya,

bukan

kecerdasannya,

tapi

dari

kekuatan

kepribadiannya. Seorang pemimpin sejati selalu bekerja keras untuk memperbaiki
dirinya sendiri sebelum dia sibuk memperbaiki diri orang lain. Pemimpin bukan
hanya sekedar mendapatkan gelar atau jabatan yang diberikan dari luar namun
melainkan sesuatu yang tumbuh dan berkembang dari dalam diri seseorang.
Kepemimpinan lahir dari proses internal.

30

Dalam memilih seorang pemimpin diharuskan mempunyai keahlian dan
pengetahuan yang sangat luas. Tidak hanya pengetahuan umum tetapi harus
memiliki keterampilan khusus, diantaranya keterampilan dalam mengelola sumber
daya manusia, keterampilan teknis. Seorang pemimpin harus memiliki adab dan
perilaku yang baik, karena seorang pemimpin menjadi panutan atau contoh untuk
bawahannya. Seorang. pemimpin harus memiliki jiwa kepemimpinan, jujur dan
rasa tanggung jawab yang besar terhadap tugas yang diamanahkan kepadanya.

2.2.

Kepemimpinan dan Masyarakat ( Sosiologi Agama)
Agama merupakan institusi universal, tidak ada satu masyarakat yang

tanpa gejala keagamaan. Durkheim menganggap ajaran dan praktek keagamaan
sebagai suatu mekanisme yang digunakan oleh masyarakat untuk memelihara
komitmen terhadap norma moral dasar yang terdapat dalam kesadaran sosial.
Dengan mendalamnya orang melekatkan dirinya pada komitmen keagamaan,
mereka akan kuat loyalitasnya terhadap masyarakat. Malah menurut Durkheim
agama merupakan sumber kebudayaan yang sangat tinggi, Karl Marx
menganggap agama sebagai candu masyarakat (Djamari, 1993)
Ekspresi sosial dari ajaran serta kepercayaan agama dihidupkan dan
dipelihara oleh adanya organisasi keagamaan. Tidak ada satu agama pun yang
dapat terus tanpa organisasi. Dalam hal inilah sangat jelas sekali pengaruh
kepemimpinan . Fenomena keagamaan terjalin dalam berbagai kegiatan, mulai
dari

kehidupan

keluarga

sampai

bidang-bidang

masyarakat-masyarakat yang kompleks,

sosial-ekonomi.

Dalam

organisasi agama diperlukan demi

terselenggaranya pertemuan, pengajaran, ritual dan untuk menjalin hubungan

31

antar anggota secara internal, maupun antar kelompok dalam masyarakat
(Djamari, 1993).
Menurut Durkheim, tipe masyarakat di mana kedudukan perempuan
sangat kuat, maka kehidupan agamanya pun sangat berorientasi pada perempuan
begitu juga sebaliknya (Djamari, 1993) . Misalnya dalam masyarakat kecil dengan
mata pencaharian berburu dan meramu, di Australia, stratifikasi sosial pada
masyarakat ini hanya berdasarkan usia dan jenis kelamin. Orangtua panutan yang
lebih muda dan perempuan. Gambaran seperti itu tampak pada struktur agama,
perempuan tidak diikutsertakan dalam upacara keagamaan bahkan dilarang.
Jika dilihat masyarakat suku bangsa yang mata pencahariaan utamanya
adalah bertani, tampak agama dan struktur masyarakat telah berubah. Beberapa
masyarakat yang lebih besar, mempunyai pemukiman dan telah mempunyai
akumulasi kekayaan. Mereka biasanya terstruktur sekitar sistem keluarga. Ada
aturan-aturan insect tentang kepada siapa orang boleh atau tidak boleh kawin. Di
beberapa masyarakat peran perempuan penting. Sehingga ada istilah matrilineal
(anak mewarisi nama dan kekayaan dari garis ibu), matrilokal (suami diam dan
menggunakan sebagian waktu hidupnya di lingkungan keluarga istri). Karena itu
tidak mengherankan jika dalam masyarakat seperti ini aspek keagamaan
cenderung diperankan oleh perempuan. Lain halnya dengan masyarakat patrilineal
(anak mewarisi nama dan kekayaan dari garis ayah). Struktur masyarakat yang
menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral dari segalagalanya. Dan perempuan berada pada posisi yang lemah dan tidak berdaya.

32

2.2.1

Pengertian Pendeta
Sebutan Pendeta adalah jabatan pemimpin umat dalam keagamaan. Ini

dipakai secara umum kepada pemuka atau pemimpin agama Hindu dan Protestan
(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2014). Ada sejumlah pengertian sehubungan
dengan istilah pendeta. Defenisi umum, seperti dikemukan oleh Havilland (1988),
menyebut pendeta dalam artian seorang spesialis keagamaan laki-laki atau
perempuan

yang bekerja secara penuh, dengan tugas memimpin dan

menyempurnakaan tindak keagamaan orang lain. Spesialis ini mahir dalam
berkomunikasi, mempengaruhi dan memanipulasi kekuatan-kekuatan supranatural
dan keahlian tersebut diperoleh melalui pendidikan khusus.
Dalam kitab Injil sebutan pendeta adalah gembala atau gembala sidang
yang memiliki makna pemimpin jemaat, namun sekaligus juga menjadi
penatalayanan yang harus melayani jemaat. Dengan demikian dapat disebutkan
bahwa pendeta adalah seorang atasan (pimpinan) jemaat, namun ia sekaligus
adalah bawahan dari Yesus Kristus. Impilkasinya adalah di satu pihak jemaat
wajib taat kepada pendeta, di lain pihak pendeta atau pemimpin gereja harus
tunduk kepada Yesus Kristus yang merupakan pemimpin dari segala pemimpin
gereja.


Pekerjaan Pendeta
Tugas utama adalah bersama dengan pelayan khusus atau majelis jemaat,

(pertua dan diaken) adalah melayani, memelihara dan memimpin jemaat
berdasarkan firman Tuhan. Tugas utama itu lebih jauh dapat dirinci sebagai
berikut: melayani pemberitaan firman Tuhan , melayani sakramen, melayani
katekisasi, melayani pemberkatan nikah. Kemudian menyebarluaskan ajaran

33

Alkitab, memngunjungi warga jemaat secara rutin maupun non rutin dalam
penyelengaraan ibadah rumah tangga, ibadah kelompok-kelompok kaum ibu,
kaum bapa pemuda, dan anak-anak serta orang tua lanjut usia yang dilakukan
secara bergilir, melakukan bimbingan dan konsultasi, mengunjungi dan
memimpin upacara penguburan warga jemaat yang meninggal.


Syarat- syarat Menjadi Pendeta
Persyaratan-persyaratan yang diperlukan untuk menjadi pendeta :

 Tamatan pendidikan Sekolah Tinggi Teologia yang direkomendasi oleh
Gereja bersangkutan
 Telah menyelesaikan proses sebagai calon pendeta atau vikaris dengan
melakukan pelayanan kepada jemaat di suatu lingkungan dengan baik
sekurang-kurangnya 2 tahun
 Sudah dilantik/ditahbiskan menjadi pendeta melalui upacara khusus yang
dilakukan di tengah-tengah warga jemaat oleh Sinode (Pimpinan Pusat)
(disarikan berdasarkan Tata Gereja GBKP, Toraja, GMIM, GMIT).
2.3.1. Kepemimpinan Perempuan
Kepemimpinan artinya adalah kekuasaan yang selalu identik dengan lakilaki. Sebab perempuan hanyalah the second sex- seperti juga sering disebut
sebagai “warga kelas dua”

yang keberadaannya tidak begitu diperhitungkan

Konstruksi sosial yang telah menggambarkan dua wilayah kekuasaan yakni publik
dan domestik. Wilayah kekuasaan ini membentuk gambaran dominasi dan
subordinat. Dominasi adalah laki-laki dan subordinat adalah perempuan.
Pandangan inilah yang menyulitkan perempuan untuk tampil sebagai pemimpin.

34

Di Indonesia, hasil sensus tahun 2014 menunjukkan jumlah perempuan
masih tetap lebih banyak daripada laki-laki. Dari segi kuantitas, perempuan adalah
sumber daya manusia yang sama besarnya dengan laki-laki. Jika dilihat dari
partisipasi perempuan dalam berbagai sektor serta kesempatan dan kemampuan
pengambilan keputusan. Perempuan Indonesia tertinggal di dalam kehidupan
publik. Kesenjangan gender yang senantiasa muncul dalam indikator sektor sosial
menjadi sebuah tantangan berskala nasional. Indonesia memiliki angka melek
huruf yang tinggi pada orang dewasa yaitu sebesar 92 persen, namun perempuan
jumlahnya mencapai 63% dari 7,7 juta orang yang masih buta huruf. Tingkat
kematian ibu juga tinggi yaitu 307 per 100.000 kelahiran hidup, yang masih
menjadi salah satu yang tertinggi di kalangan negara-negara ASEAN. Angka
harapan hidup pada tahun 2008 adalah 71 tahun untuk perempuan dan 67 tahun
untuk laki-laki. Partisipasi perempuan di pasar tenaga kerja masih 49 persen jika
dibandingkan dengan 80,2 persen laki-laki (BPS, 2014).
Di antara perempuan yang bekerja di sektor pemerintahan, kurang dari 1
persennya menduduki posisi eselon atas dan keterwakilan mereka di lembaga
legislatif hanya 18 persen. Meskipun jumlah perempuan tenaga kerja di sektor
pelayanan publik adalah sebesar 45,4 persen, keberadaan mereka sebagian besar
ada di eselon-eselon yang rendah (2, 3 dan 4). Hanya 9 persen dari mereka yang
ada di eselon satu adalah perempuan (UNDP, 2010).
Fenomena yang ada menunjukkan banyak perempuan yang telah
menduduki jabatan sebagai pemimpin kepala desa, kepala kantor, kepala sekolah,
manager perusahaan, direktur rumah sakit, direktur bank, presiden, perdana
menteri, dan lain-lain. Namun persentase perempuan sebagai pemimpin

35

dibandingkan dengan populasi perempuan secara keseluruhan jauh lebih rendah
dibandingkan dengan persentase laki-laki sebagai pemimpin (Bass, 1990).
Padahal, sejarah telah mencatat dalam dunia modern ini bahwa sudah ada
beberapa bangsa yang dipimpin oleh perempuan seperti India, Pakistan, Israel,
Filipina, Inggris, Indonesia, dan lain-lain. Sejalan dengan gerakan emansipasi dan
gerakan kesetaraan gender yang intinya berusaha menuntut adanya persamaan hak
perempuan dalam berbagai bidang kehidupan, maka setahap demi setahap telah
terjadi pergeseran dalam mempersepsi tentang sosok perempuan. Mereka tidak
dipandang lagi sebagai sosok lemah yang selalu berada pada garis belakang,
namun mereka bisa tampil di garis depan sebagai pemimpin yang sukses dalam
berbagai sektor kehidupan, yang selama ini justru dikuasai oleh kaum laki-laki.
Secara esensial dalam manajemen dan kepemimpinan pun pada dasarnya
tidak akan jauh berbeda dengan kaum laki-laki. Kita mencatat beberapa tokoh
perempuan yang berhasil menjadi pemimpin, Margareth Teacher di Inggris yang
dijuluki sebagai “Si Wanita Besi”, Indira Gandhi di India, Cory Aquino di
Philipina, Megawati di Indonesia dan tokoh-tokoh perempuan lainnya.
Dari catatan sejarah ataupun dari angka statistik, perempuan

ternyata

mampu mengisi kedudukan kepemimpinan di wilayah publik, seperti menjadi
jendral,

menteri, duta besar, direktur ekssekutif, pendiri dan pimpinan surat

kabar, direktur bank, manajer dan sebagainya. Malah sejarah juga mencatat
perempuan

yang

berkedudukan sebagai ratu dan presiden yang memimpin

negara seperti tersebut di atas.

Keberhasilan perempuan menjadi pemimpin

seperti yang tersebut di sebelumnya ternyata prosentasi sangat kecil sekali. Ini
antara lain tantangan budaya patriarki dalam masyarakat secara umum. Dalam

36

budaya patriarki, perempuan diidentikkan dengan sosok yang lemah, halus dan
emosional. Sementara laki-laki digambarkan sebagai sosok yang gagah, berani
dan rasional. Pandangan ini telah memposisikan perempuan sebagai makhluk
yang seolah-olah harus dilindungi dan senantiasa bergantung pada kaum laki-laki.
Akibatnya, jarang sekali perempuan untuk bisa tampil menjadi pemimpin, karena
mereka tersisihkan oleh dominasi laki-laki.
Tidak saja budaya tapi juga dalam ajaran agama. Undang-undang Hindu
Brahmana menganggap perempuan tidak punya kemampuan, dan laki-laki
menaunginya sepanjang masa. Sebagai contoh, butir 148 disebutkan bahwa
perempuan senantiasa mengikuti laki-laki. Pada awal kehidupannya perempuan
mengikuti bapaknya, dan setelah menikah mengikuti suaminya. Apabila suaminya
meninggal, maka ia harus mengikuti anak-anak suaminya. Jika suaminya tidak
punya anak, maka ia harus mengikuti kerabat suaminya. Dalam agama Yahudi,
Talmud menyuruh berhati-hati terhadap perempuan dan menganggapnya sebagai
bahaya. Sehingga masyarakat Yahudi mengatakan “Lebih baik berjalan di
belakang singa daripada berjalan di belakang perempuan” (Ja,far, 1998).
Di lingkungan agama Islam contohnya di Muhammadiyah sendiri peran
perempuan selama ini tersubordinasi dalam organisasi otonom Aisyiyah dan
Nasyiatul Aisyiyah. Dengan alasan sudah terwadahi dalam Aisyiyah dan
Nasyiatul Aisyiyah, perempuan Muhammadiyah kurang diberi peran dalam
kepemimpinan Muhammadiyah. Akibatnya Muhammadiyah yang sesungguhnya
bukan organisasi kaum laki-laki saja, dalam kenyataannya lebih banyak
didominasi oleh kaum laki-laki. Sangat sedikit wanita yang menduduki posisi

37

pimpinan dalam Muhammadiyah. Kalaupun ada mungkin hanya di Majelis atau
Lembaga Pembantu Pimpinan (Salenda Kasjim, 2012).
Selain faktor agama dan budaya ternyata, kendala bukan dari luar saja
tetapi juga dari diri perempuan itu sendiri. Dari

penelitian yang dilakukan

didapati bahwa masih banyak perempuan yang belum berani mengambil
kesempatan yang tersedia baginya, terlebih lagi untuk
dalam

kesempatan. Ini terdapat

disertasi penelitian terhadap pendeta perempuan karena tersubordinasi

dalam bias gender, maka pendeta perempuan masih banyak yang enggan
berkompetisi dengan pendeta laki laki untuk menduduki jabatan tertinggi di
tingkat Mupel dan Sinodal di GPIB (Mantik, 2012).
Dalam konteks pendidikan, Goldring dan Chen (1994) mengatakan bahwa
para perempuan di Inggris Raya dan di manapun kebanyakan perempuan hanya
berperan dalam profesi mengajar, namun relatif sedikit dan jarang ada yang
memiliki posisi-posisi penting pemegang otoritas dalam sejumlah sekolah
menengah perguruan tinggi dan adminsitrasi lokal pendidikan.
Fakta lain terkait dengan proposi perempuan dalam angkatan kerja dan
usaha yang sejak dulu sampai sekarang ini, usaha perdagangan cukup diminati
oleh perempuan. Akan tetapi dalam kesempatan memperoleh bantuan kredit
peningkatan usaha, pengusaha perempuan masuk dalam kelompok penerima
modal kecil dan menengah. Persentase laki-laki pengusaha yang menggunakan
modal pinjaman masih lebih tinggi dibandingkan perempuan pengusaha (BPS,
2011) .
Hal yang tidak jauh berbeda di Gereja Masehi Injili Timor (GMIT) dalam
hasil penelitian Mathelda sendiri telah memperlihatkan adanya diskriminasi

38

terhadap pendeta perempuan dan adanya superioritas dari pendeta laki-laki dan
tidak adanya kekonsistenan dari GMIT terhadap sistem gereja presbiterial sinodal
dimana hal ini dapat terlihat dari struktur gereja yang hirarkis. Sehingga, orang
bawah tidak dapat mengembangkan kreatifitas masing-masing karena sudah
dipolakan dalam satu aturan yang keras dan kaku. Berbagai hambatan yang
muncul dalam masyarakat dan gereja telah sangat menghambat peran
kepemimpinan pendeta perempuan. Di mana berbagai permasalahan tersebut telah
membuat mental pendeta perempuan menjadi mundur sebelum melangkah.
Pendeta perempuan akan dapat berperan dalam gereja jika ada kesempatan bagi
pendeta perempuan dan kemampuan pendeta perempuan tidak dipandang dari
sudut pandang laki-laki (Mathelda, Tesis,1999).
Adapun tantangan yang berat dihadapi oleh pendeta perempuan menjadi
pemimpin di Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) adalah ketidakadilan dan
ketidaksetaraan gender yang kuat dipengaruhi budaya patriarki (Ratna, 2012). Ini
juga ditegaskan dalam penelitian Mantik (2012) di Gereja Prostestan Indonesia
Bagian Barat (GPIB), karena tersubordinasi dalam bias gender, maka pendeta
perempuan masih banyak enggan berkompetisi dengan pendeta laki-laki untuk
menduduki jabatan tertinggi di tingkat Mupel dan Sinodal.
Pengaruh akulturasi budaya Barat : nilai-nilai agama baru Kristen dan
nilai budaya Barat yang patriarkhi disosialisasikan lewat lembaga gereja dan
lembaga-lembaga pendidikan, yang kemudian membuat perempuan Toraja
mengalami ketersisihan seperti dialami oleh pendeta perempuan di Gereja Toraja.
Padahal dalam budaya Toraja yang memiliki sistem kekerabatan yang bilateral
dan memiliki pula unsur-unsur matrifokal, yakni masyarakat di mana peranan ibu,
nenek, atau mertua wanita adalah sentral, baik secara struktural, budaya maupun

39

afektif dan dalam masyarakat tersebut wanita maupun pria merupakan pelakupelaku yang sama penting dalam kehidupan ekonomi dan religi. Masyarakat
tersebut relative menunjukkan hubungan kesetaraan dan saling melengkapi
(Priyanti: 1998).
2.3.1. Kepemimpinan Perempuan dan Gender
Kepemimpinan yang didefinisikan sebagai tugas memimpin yang sering
identik dengan laki-laki. Stereotipe gender yang dilekatkan pada perempuan
misalnya tidak tegas, lamban mengambil keputusan, dan lemah dipadukan dengan
nilai-nilai androsentrisme yang tetap membelenggu hak-hak dana kebebasan
perempuan maupun nilai-nilai keagamaan yang mengusung konsep patriarki,
mempertegas bahwa perempuan tidak layak menjadi pemimpin. Penolakan
kepemimpinan perempuan tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang tetapi
merasuk sampai ke negara modern dan maju sekalipun seperti Jepang (Sihite,
1997).
Gender masih sering dipahami secara salah, yaitu sebagai ide ataupun
perilaku yang menentang laki-laki. Dari penelitian yang terdahulu didapatkanlah
pemahaman gender yang mengatakan bahwa gender adalah perempuan yang
menentang laki-laki ( Sofian, 2002). Apakah gender? Secara historis konsep
gender pertama sekali dibedakan oleh sosiolog asal Inggris yaitu Ann Oakley
yaitu ia membedakan antara gender dan sex. Perbedaan sex berarti perbedaan atas
dasar ciri-ciri biologis yaitu yang menyangkut

prokreasi (mensturasi,

hamil,melahirkan dan menyusui). Perbedaan gender adalah perbedaan simbolis
atau sosial yang berpangkal pada perbedaan seks tetapi tidak selalu identik
dengannya. Gender adalah pembedaan peran, perilaku dan perangai laki-laki dan

40

perempuan oleh budaya/masyarakat melalui interpretasi terhadap perbedaan
biologis laki-laki dan perempuan. Jadi gender, tidak diperoleh sejak lahir tetapi
dikenal melalui proses (sosialisasi) dari masa anak-anak hingga dewasa. Oleh
karena itu gender dapat disesuaikan dan diubah.
Istilah gender pada mulanya dikembangkan sebagai alat analisis ilmu
sosial untuk memahamai berbagai permasalahan ketidakadilan terhadap
perempuan (Elly, 2002). Isu gender sebagai suatu wacana dan gerakan untuk
mencapai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Gender sebagai keyakinan
dan konstruksi sosial yang berkembang di masyarakat dinternalisasi melalui
proses secara turun menrun. Dalam perkembangannya konstruksi gender ini
menghasilkan ketidakadilan gender yang dialami oleh perempuan (Harmona,
2007).
Di

lapangan

masih

dijumpai

pemahaman

diskriminasi

terhadap

perempuan..Aktivitas domestik sudah sejak lama dilekatkan pada perempuan. Hal
tersebut bahkan sudah ada jauh sebelum kebanyakan perempuan lahir. Hal itu
kemudian menjadi budaya dan adat istiadat. Perempuan selalu dikonotasikan
sebagai manusia pekerja domestik (homemaker) yang dinilai tidak dapat
berkontribusi secara aktif di luar rumah sehingga perannya tidak lebih dari
sekadar aktivitas dalam rumah. Di kemudian hari, terutama di dunia kerja, banyak
posisi strategis yang aksesnya tertutup bagi perempuan. Perempuan dianggap
tidak pantas memimpin dalam pekerjaan karena dinilai sebagai makhluk yang
terlalu menggunakan perasaan dan sulit mengambil keputusan dengan bijak.
Pelekatan pembagian pekerjaan antara perempuan dan laki-laki sudah sejak lama
diyakini kebenarannya. Perempuan selalu dikaitkan dengan beberapa kata,

41

“sumur, dapur, kasur” yang hingga kini digugat eksistensinya. Wacana tersebut
dinilai sebagai wacana usang yang tidak dapat dibuktikan secara nyata karena
banyak perempuan yang juga mengambil bagian penting di ranah produktif.
Walaupun pada tataran kenyataan, secara mendalam perempuan masih terus
dilekatkan dengan “sumur, dapur dan kasur” dan belum mampu keluar secara utuh
tanpa tendensi apapun.
BPS mencatat dari 100 penduduk yang bekerja sebagai: (a) tenaga
kepemimpinan dan ketatalaksanaan, 18 orang adalah perempuan dan 82 adalah
laki-laki; (b) bekerja dengan status berusaha dibantu buruh dibayar/tidak dibayar,
23 orang perempuan dan 77 orang laki-laki; (c) bekerja dengan status
pegawai/buruh/karyawan, 34 orang perempuan dan 66 orang laki-laki; (d) pekerja
keluarga/tidak dibayar, 73 perempuan dan 27 laki-laki. Data ini memperlihatkan
perempuan yang bekerja masih menempati posisi yang tidak strategis. Perempuan
masih tertinggal dari laki-laki dalam menduduki posisi yang membutuhkan
keahlian pengambilan kebijakan. Status pekerjaan sebagai pengusaha (berusaha
sendiri dan berusaha dibantu buruh) dan buruh/pegawai/karyawan saat ini masih
didominasi laki-laki. Sementara status pekerjaan sebagai pekerja keluarga/tidak
dibayar didominasi perempuan (Abdullah, 2001). Sebagaimana dikatakannya:
“Pembagian kerja secara seksual tidak hanya terjadi antara bidang
domestik dan publik, tetapi dalam bidang publik pun terjadi
segmentasi yang menempatkan perempuan dan laki-laki pada
segmen yang berbeda. Karena itu, subordinasi dalam stratifikasi
gender menunjukkan bentuk yang jelas dalam kehidupan ekonomi
dimana perempuan berada posisi subordinat terhadap laki-laki.
Seperti halnya perbedaan domestik dan publik, stratifikasi dalam
struktur ekonomi juga merupakan alat penegasan arah hubungan
kekuasaan antara laki-laki dan perempuan.”

42

Dalam masyarakat, pemimpin sering dilekatkan sebagai jabatan laki-laki,
sedangkan perempuan selalu dilekatkan sebagai unsur pendukungnya. Andaikata
mendapatkan posisi dalam pekerjaan, biasanya perempuan dilekatkan dengan
pekerja keluarga yang tidak diperhitungkan jerih payahnya. Ini menunjukkan
bahwa peningkatan kuantitatif partisipasi perempuan di ranah produktif belum
sesuai dengan semangat kesetaraan gender. Kesetaraan gender hanya dipahami
sebagian besar masyarakat dengan kesetaraan kesempatan perempuan dan lakilaki. Namun secara kontekstual, pemahaman tersebut masih sangat dangkal, tabu
dan bekerja di ranah mitos. Struktur upah juga menunjukkan gejala yang sama.
Perempuan mengalami diskriminasi yang sangat tidak adil. Perempuan dilabelkan
sebagai sumberdaya yang lemah, kurang kompeten dan layak dibayar murah
karena tidak mempunyai tanggungjawab sebesar laki-laki dalam kehidupannya,
serta dilekatkan dengan pekerjaan yang tidak strategis.
Pembatasan perempuan untuk mencapai puncak karier sering terhalang
oleh sterotipe yang menggambarkan perempuan sebagai mahluk yang emosional
sehingga mereka tidak tepat untuk menjadi pemimpin baik sebagai ketua
organisasi, manager, maupun politisi. Menurut Kanters (Nasaruddin, 1999)
mengatakan bahwa ketimpangan peran gender di dalam berbagai organisasi
disebabkan perempuan memiliki keterbatasan bukan saja karena adaya persepsi
bahwa secara alamiah laki-laki adalah kaum unggul, tetapi karena sering
ditemukan perempuan kurang terampil daripada laki-laki.
Berkaitan dengan pengembangan karier, perempuan yang bekerja acapkali
harus mengikuti kegiatan pelatihan atau pendidikan. Pada umumnya untuk
mengikuti kegiatan peningkatan karier ini, perempuan sangat sulit maju karena

43

harus meminta ijin dari suami. Bahkan persetujuan suami bersifat formal.
Akibatnya perempuan selalu memiliki posisi yang marginal. Persoalan
pengembangan karier bagi perempuan cukup kompleks. Bidang pekerjaan yang
terbuka bagi perempuan sebenarnya tidak terbatas oleh waktu seperti malam,
tengah malam ataupun subuh. Stereotipe perempuan adalah mahluk lemah
sehingga malam hari tidak boleh berada di luar rumah, dan anggapan bahwa
perempuan yang bekerja di luar rumah pada malam hari adalah perempuan yang
tidak baik masih berkembang luas. Akibatnya, kesempatan mengejar karier bagi
perempuan terbatas.
Dengan analisis gender, diskriminasi terhadap perempuan hendak diatasi.
Dengan pendekatan tersebut mengarah pada penyelesaian isu-isu struktural
perempuan, yaitu isu-isu yang mempertanyakan dominasi pihak-pihak yang kuat
terhadap yang lemah.
2.3.2 Pengaruh Agama terhadap Gender.
Ajaran agama memiliki potensi dominan dalam penerapan ideologi gender
yang bias. Dalam konteks itu pula, agama bisa memberikan inspirasi

dan

dorongan munculnya ketidakadilan gender. Tentu saja potensi ketidakadilan
bukan bersumber dari prinsip agama, melainkan proses berkembangnya agama
yang didominasi oleh budaya patriarki.
Salah satu ekses ideologi gender adalah terbentuknya stuktur budaya
patrarki. Dalam budaya ini, kedudukan perempuan ditentukan lebih rendah
daripada laki-laki. Di dalam masyarakat, terjadi dominasi laki-laki atas perempuan
diberbagai bidang kehidupan.

Menurut sejarah, patriarchy private (dalam

keluarga) muncul pada waktu agama di Eropa menentukan bahwa kawin satu istri,

44

satu suami merupakan perkawinan yang diakui gereja. Aturan ini meresmikan
domestisitas perempuan. Dalam keluarga, kedudukan suami lebih dominan. Dan
ini terus berkembang dari patriarchy private menjadi state patriarchy. Patriarki
menjadi warna dalam kehidupan sosial.
Alkitab sesungguhnya mengajarkan tentang kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan. Sebagai pihak yang diberi tanggung jawab untuk mengelola alam
ciptaanNya, manusia, laki-laki dan perempuan diwaibkan untuk bekerjasama. Dan
dalam kerjasama itu mereka diciptakan setara. Hal ini terlihat jelas dalam kitab
Perjanjian Lama (kejadian) dan kitab Perjanjian Baru ( Galatia). Dalam kitab
Kejadian pasal 1 ayat 27 berbunyi : “Maka Allah menciptakan manusia itu
menurut gambarNya, menurut gambar Allah diciptakannya dia; laki-laki dan
perempuan diciptakanNya mereka “ dan Galatia pasal 3 ayat 28 berbunyi: “Dalam
hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang
merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu
dalam Kristus Yesus”.
Dari kedua ayat tersebut diatas yang tercantum dalam Alkitab terlihat
bahwa agama Kristen mengajarkan bahwa Tuhan menciptakan laki-laki dan
perempuan setara. Dalam Alkitab juga kita temukan tokoh-tokoh perempuan yang
menjadi pemimpin baik dalam keluarga, suku, ataupun bangsa: Hakim Debora,
Ratu Ester dan Ratu Wasti, Ruth dan Naomi, Abigail, Perempuan Bijak yang di
tuliskan dalam Amsal 31:10-31, Priskila, Maria, Febe, Eunike, Lidya, Dorkas dan
lain-lain. Pada dasarnya, setiap agama mengajarkan bahwa manusia diciptakan
sama derajatnya, baik laki-laki dan perempuan.

45

Beberapa perikop dalam kitab suci, ditafsirkan oleh Bapa Gereja dengan
sangat memojokkan perempuan: Teologia Antiperempuan. Teologia yang
dibangun selama berabad-abad merupakan warisan pemikiran para teolog yang
berasal dari dunia Barat. Bahwa ciri utama teologia barat adalah teologia yang
didominasi oleh kaum laki-laki serta memandang perempuan lebih rendah dari
laki-laki. Ini juga tetap terlihat pada kaum reformator: Martin Luther, Johanes
Calvin. Pandangan Luther dan Calvin terhadap perempuan bisa dikatakan
dikotomi, di satu pihak ia melihat perempuan terutama yang menikah dengan
pujian namun di pihak lain ia memandang perempuan lebih rendah daripada kaum
laki-laki.
Para pendukung Luther, dari abad XVI hingga sekarang melihat bahwa
serangan Luther terhadap hidup selibat dan penekanan kepada sisi positif
perkawinan telah melepaskan perempuan dari pelecehan dan misogyny zaman
skolstik. Luther mengakui bahwa perempuan diciptakan sederajat dengan lakilaki, namun demikian perempuan berbeda dengan laki-laki karena perempuan
lebih lemah tubuh dan inteleknya. Keadaan perempuan yang lebih rendah dari
laki-laki, menurut Luther adalah inheren dalam keberadaannya dan telah berlaku
sejak penciptaan.
Seperti tokoh reformasi yang lain, Calvin membicarakan pokok tentang
peranan dan kebebasan perempuan dalam konteks ajaran imamat am orang
percaya. Perempuan dan laki-laki mengalami suatu kebebasan yang baru dari
kekuasaan hierarki rohaniwan dan pemahaman yang baru tentang martabatnya
sebagai warga gereja. Namun dalam banyak hal kebebasan yang baru muncul itu
kurang dialami oleh kaum perempuan dibandingkan oleh kaum laki-laki. Dalam

46

komentarnya atas Kejadian 2:18 yang menuliskan bahwa perempuan diciptakan
sebagai penolong, juga menegaskan bahwa laki-lakilah yang diciptakan segambar
dengan Allah, sedangkan perempuan berstatus a secondary degree, oleh karena
itu sepanjang zaman perempuan harus dikucilkan dari kepemimpinan publik. (J.
Dempsey Douglas, 1985: 53) Pendapat Johanes Calvin ini didasarkannya atas
tafsirannya terhadap ayat-ayat Alkitab yakni

Kejadian 1:27, dengan

menterjemahkan kata adam adalah manusia, man¸ laki-laki. Masih ada anggapan
bahwa karena laki-laki lebih dulu diciptakan dan perempuan hanyalah bagian dari
laki-laki (Kej. 1:27, 2:18, 21-22) maka laki-laki dianggap lebih penting, lebih
tinggi derajatnya sebab itu laki-laki mendominasi kehidupan. Bahkan ada yang
mengutip dari surat Rasul Paulus I Kor 14:34-35 yang melarang perempuan
berbicara di hadapan jemaat.
Bersumber dari materi yang tertulis dari kitab suci, dibuat ajaran dan
peraturan untuk ibadah. Kekuasaan mulai ditentukan. Seperti di gereja Katholik
yang berkuasa adalah laki-laki. Perempuan tidak boleh menjadi imam dan
pemimpin upacara/ibadah. Namun sekarang gereja mulai mmberi kesempatan
kepada perempuan untuk memimpin ibadah. Gereja Kristen sudah mentahbiskan
pendeta perempuan. Namun kepemimpinan gereja tetap masih dikuasai oleh lakilaki.

2.4.

Gerakan Feminisme

2.4.1

Sejarah Gerakan Feminisme
Gerakan feminisme ini awalnya ada di negara Eropa. Munculnya gerakan

feminisme pada masyarakat Barat tidak terlepas dari sejarah masyarakat Barat

47

yang memandang rendah terhadap kedudukan perempuan, dan kekecewaan
masyarakat Barat terhadap pernyataan kitab suci mereka terhadap perempuan.
Pakar sejarah Barat, Philip J.Adler dalam buku “World Civilization”
menggambarkan bagaimana kekejaman masyarakat Barat dalam memandang dan
memperlakukan perempuan. Sampai abad ke 17, masyarakat Eropah masih
memandang perempuan sebagai jelmaan setan atau alat bagi setan untuk
menggoda manusia, dan meyakini bahwa sejak awal penciptaannya, perempuan
merupakan ciptaan yang tidak sempurna.
Feminisme (tokohnya disebut Feminis) adalah sebuah gerakan perempuan
yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan laki-laki.
Feminisme berasal dari bahasa Latin, femina atau perempuan. Istilah ini mulai
digunakan pada tahun 1890-an, mengacu pada teori kesetaraan laki-laki dan
perempuan serta pergerakan untuk memperoleh hak-hak perempuan. Sekarang ini
kepustakaan internasional mendefinisikannya sebagai pembedaan terhadap hak
hak perempuan yang didasarkan pada kesetaraan perempuan dan laki laki.
Sifat patriarki dalam masyarakat dan ketentuan hukum merupakan
penyebab ketidakadilan, dominasi dan subordinasi terhadap wanita, sehingga
sebagai konsekuensinya adalah tuntutan terhadap kesederajatan gender.
Kesederajatan gender tidak akan dapat tercapai dalam struktur institusional
ideologis yang saat ini berlaku.
Feminis menitikberatkan perhatian pada analisis peranan hukum terhadap
bertahannya hegemoni patriarki. Segala analisis dan teori yang kemudian
dikemukakan oleh feminis diharapkan dapat secara nyata diberlakukan, karena
segala upaya feminis bukan hanya untuk menghiasi lembaran sejarah

48

perkembangan manusia, namun lebih kepada upaya manusia untuk bertahan
hidup. Timbulnya gerakan feminis merupakan gambaran bahwa ketentuan yang
abstrak tidak dapat menyelesaikan ketidaksetaraan. Seperti yang telah disebutkan
di atas bahwa ada konstruksi sosial, bahwa pemimpin itu adalah laki-laki.
Perempuan dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan agama adalah warga kelas
dua. Laki-laki mendominasi dan menjadi penentu dalam kehidupan perempuan
sehingga mereka tidak memiliki kebebasan menentukan pilihan bagi dirinya
sendiri. Terinternalisasi suatu pemahaman bahwa laki-laki adalah pihak penguasa
sementara perempuan adalah pihak yang dikuasai dan hal ini adalah kodrat yang
sejak semula menjadi hakekat manusia. Hal ini menyebabkan perempuan
termarginalisasi sehingga peran, kedudukan , hak dan tanggung jawab mereka
terbatas dalam lingkungan domestik.
Realitas subordinasi dalam seluruh bidang kehidupan yang dialami oleh
perempuan menjadi salah satu pendorong munculnya pemikiran feminisme.
Feminisme merupakan pemikiran dan teori kritis terhadap konstruksi patriarki
yang melakukan dominasi terhadap perempuan. Feminisme juga dapat dimengerti
sebagai ideologi pembebasan perempuan karena yang melekat dalam semua
pendekatannnya adalah keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan
karena jenis kelaminnya ( Humm (ed), 2002).
Namun feminisme tidak hanya bersoal pada pemikiran dan konsep semata.
Pemikiran ini lahir dari pengalaman perempuan. Sebagai gerakan yang berawal
dari akar rumput, feminism memungkin setiap perempuan untuk berpikir dengan
pemikiran

sendiri dan pada gilirannya pemikiran (teori atau ide) tersebut

49

melahirkan gerakan yang membebaskan perempuan dari belenggu patriarki sesuai
dengan konteks yang melatar belakanginya.
Secara umum sejarah dan perkembangan feminisme di bagi dalam tiga
gelombang utama (Arivia, 2003).

Gelombang feminisme awal dimulai sejak

tahun 1800-an dan berkaitan dengan terjadinya revolusi Prancis, 1789. Feminis
gelombang ini menyibukkan diri sebagaiaktivis pergerakan perempuan. Pada
tahun1700-an di Eropa, segala kemungkinan yang berkaitan dengan semangat,
penemuan dan ide-ide pembaruan terbuka lebar termasuk dalam diskusi-diskusi
kebebasan. Pada waktu itu muncul gerakan perempuan dan salah satu puncaknya
terjadi pada tahun1960-an ketika di Prancis berlangsung Konferensi Komisi
Persamaan Hak Kesempatan Kerja. Perempuan kurang puas dengan jalannya
konferensi yang tidak memberi kesempatan bagi penyampaian ide-ide baru.
Kemudian gelombang kedua muncul dan berkembang pada awal tahun 1960-an
yang ditandai dengan beranjaknya gerakan feminis dari aktivitas yang bersifat
praktis menuju aktivitas yang bersifat teoritis-sistematis. Pada gelombang ini
muncul kesadaran bahwa penting untuk melihat factor

yang menyebabkan

penindasan kepada perempuan. Gelombang ini juga memfokuskan diri pada
persoalan-persoalan yang mengarah kepada pemikiran bahwa perempuan
memiliki kemampuan yang sama dengan laki-laki. Sedangkan gelombang terakhir
sangat dipengaruhi oleh pemikiran postmodernisme yang memfokuskan diri
kepada alternative bagi yang termarginaslisasi.
Ketiga gelombang besar feminis di atas kemudian melahirkan keragaman
pemikiran feminis. Teori feminis modern bertolak dari pertanyaan
1.Bagaimana dengan perempuan,

50

2. Mengapa situasi perempuan seperti sekarang ini?
3. Bagaimana perempuan dapat merubah dan memperbaiki dunia sosial?
4. Bagaimana dengan perbedaan di antara perempuan ?
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini menghasilkan variasi teori feminis
(Ritzer dan Goodman, 2008). Ada delapan arus utama

pemikiran tersebut:

Feminisme Liberal merupakan pemikiran feminisme yang berkeinginan untuk
membebaskan perempuan dari peran gender yang digunakan sebagai alasan atau
pembenaran untuk memberikan tempat yang lebih rendah atau tidak memberikan
tempat sama sekali bagi perempuan. Feminisme Radikal muncul ketika
seksualitas perempuan, khususnya perempuan Barat dieksploitasi. Feminisme
Marxis dan Sosialis memberikan pemikiran mengenai pembagian kerja
berdasarkan jenis kelamin. Feminisme Psikoanalisis dan Gender mempertanyakan
kembali suatu pemikiran yang berhubungan dengan subordinasi perempuan dan
menganalisa mengapa masyarakat menerima pemikiran tersebut. Feminisme
Eksistensialis merupakan feminisme yang memotori merebaknya feminisme
sebagai suatu wacana atau gerakan. Feminisme Postmodern memperbincangkan
akar dari pengabaian terhadap perempuan yang diassosiasikan dengan tubuh.
Pemikiran feminisme yang terakhir adalah Feminisme Multikultural dan Global,
serta Ekofeminisme yang lahir karena adanya kesadaran bahwa posisi subordinat
perempuan tidak semata-mata karena seorang perempuan adalah perempuan,
melainkan juga karena ia adalah perempuan dengan ras, kelas, agama, atau latar
belakang tertentu. Kedelapan arus utama pemikiran feminisme tersebut lahir dari
pengalaman yang berbeda namun menuju suatu gerakan yang sama yakni
perjuangan bagi kebebasan perempuan dari dominasi patriarki (Tong, 2006).

51

2.4.2. Teologi Feminis: Teologi yang Membebaskan Perempuan
Gerakan perjuangan pembebasan perempuan tidak hanya