Aspek Hukum Terhadap Implementasi Prinsip Good Corporate Governance Dalam Dunia Perbankan di Indonesia (Studi pada PT. Bank Sumut, Medan) Chapter III V

BAB III
IMPLEMENTASI PRINSIP GOOD CORPORATE
GOVERNANCE DALAM DUNIA PERBANKAN

A. Pengertian dan Dasar Hukum Bank
1. Pengertian Bank
Lembaga perbankan merupakan inti dari sistem keuangan dari tiap negara.
Bank adalah lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi orang perseorangan,
badan-badan usaha swasta, badan-badan usaha milik negara, bahkan lembagalembaga pemerintah menyimpan dana-dana yang dimilikinya, melalui kegiatan
perkreditan dan berbagai jasa yang diberikan, Bank melayani kebutuhan pembiayaan
serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi semua sektor perekonomian. 40
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Bank adalah usaha dibidang
keuangan yang menarik dan mengeluarkan uang di masyarakat, terutama memberikan
kredit, dan jasa di lalu lintas pembayaran dan peredaran uang.41
Menurut Kasmir bahwa Bank adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang
keuangan, artinya aktivitas perbankan selalu berkaitan dalam bidang keuangan
sehingga berbicara mengenai Bank tidak terlepas dari masalah keuangan. 42

40

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana, Jakarta, 2005, hlm.7

Ibid.,hlm.8.
42
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainya, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008,
41

hlm.25.

35
Universitas Sumatera Utara

36

Menurut G.M. Verryn Stuart, dalam bukunya Bank Politik, berpendapat
bahwa Bank adalah suatu badan yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan kredit,
baik dengan alat-alat pembayarannya sendiri atau dengan uang yang diperolehnya
dari orang lain, maupun dengan jalan mengedarkan alat-alat penukar baru berupa
uang giral.43
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Bank adalah badan usaha yang
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya

kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Berdasarkan beberapa pengertian yang telah diuraikan di atas dapat
disimpulkan bahwa Bank adalah badan usaha yang menjalankan kegiatan
menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada pihak-pihak
yang membutuhkan dalam bentuk kredit dan memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran.
2. Dasar hukum Bank
Pengaturan mengenai Undang-Undang Perbankan pertama sekali diatur dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1953 tentang Undang-Undang Pokok Bank
Indonesia, selanjutnya pada dekade akhir 1950-an seperti juga dalam bidang

43

Hermansyah, Loc.Cit.,hlm.8.

Universitas Sumatera Utara

37


perusahaan lain-lainnya, dibidang Perbankan juga mengalami musim “nasionalisasi”
dari Bank-bank Belanda yang ada di Indonesia.44
Bank Belanda yang pertama sekali dinasionalisasikan adalah Nationale
Handels Bank (NHB), yang merupakan sebuah perseroan terbatas yang bergerak

dibidang pembiayaan perusahaan perkebunan. NHB ini dinasionalisasikan dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1959. Dimana untuk keperluan tersebut
dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1959, didirikanlah Bank Umum Negara
(Buneg) yang selanjutnya dikenal dengan nama Bank Bumi Daya (BBD).45
Pada tahun 1951 didirikan Bank Industri Negara (BIN), dan setelah itu dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1968 didirikanlah Bank
Pembangunan Indonesia (BAPINDO) yang merupakan kelanjutan dari pada BIN.
Pada perkembangan selanjutnya pemerintah menasionalisasikan De Javasche Bank
menjadi Bank Sentral di Indonesia (BI) berdasarkan Undang-Undang Nomor 13
Tahun 1968 tentang Undang-Undang Pokok Bank Indonesia, yang kemudian
ditegaskan lagi dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia.46
Pemerintah juga menasionalisasikan De Algemene Volkcrediet Bank,
kemudian dilebur setelah menjadi Bank tunggal dengan nama Bank Nasional
Indonesia (BNI) unit II yang bergerak dibidang rural dan eksim dipisahkan lagi

menjadi: Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang membidangi rural dengan dikeluarkanya
44

Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm.27.
Ibid., hlm.28.
46
Kasmir, Op.Cit.,hlm.32.
45

Universitas Sumatera Utara

38

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1968, dan Bank eksim dengan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1968 menjadi Bank Ekspor Impor Indonesia (Eksim).47
Perkembangan selanjutnya, di samping Bank-bank hasil nasionalisasi Bankbank pemerintah Belanda, pada masa tersebut berdiri pula Bank Pembangunan
Daerah (BPD) yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah setempat. Bankbank pemerintah daerah ini didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun
1962 tentang Ketentuan Pokok-pokok Pemerintah Daerah.48
Pada tahun 1988 pemerintah melakukan regulasi secara fundamental dengan
dikeluarkannya Paket Deregulasi Oktober 1988 (Pakto 1988), dimana paket 1988 ini

sangat memberikan kemudahan bagi pertumbuhan Bank-bank swasta sehingga tidak
mengherankan kalau Bank-bank swasta ini tumbuh bagai jamur di musim hujan.
Karena perkembangan Bank-bank swasta yang begitu pesat setelah dikeluarkannya
Pakto 1988 ini, menyebabkan tidak terkontrolnya Bank-bank swasta tersebut
sehingga menyebabkan berbagai masalah dalam praktik dan prinsip-prinsp Prudent
Banking yang diabaikan, sehingga mengakibatkan Bank Duta sempat limbung karena

banyak mengalami kerugian dalam bermain Valuta Asing (Valas), dan Bank
Majapahit yang megap-megap karena kejahatan yang dilakukan oleh pemimpin, serta
terjadinya praktek kolusi yang dilakukan oleh pejabat BAPINDO yang menyebabkan
banyak pejabatnya masuk ke penjara dalam kasus “Edi Tansil”49

47

Ibid., hlm.33.
Munir Fuady, Loc.Cit., hlm.28.
49
Ibid., hlm.31.
48


Universitas Sumatera Utara

39

Pada tahun 1992 pemerintah menganggap, bahwa perlu adanya suatu
penyempurnaan aturan pada bidang perbankan, sehingga pemerintah mengeluarkan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pokok-pokok Perbankan. Pada tahun
1997 Indonesia mengalami krisis moneter yang cukup parah sehingga menyebabkan
banyaknya Bank-bank di Indonesia yang harus mengalami kebangkrutan, melihat
kejadian tersebut pemerintah melakukan merger terhadap beberapa Bank yang masih
bisa diselamatkan seperti merger antara BBD, Bank Dagang Negara (BDN),
BAPINDO, dan Bank Eksim menjadi Bank Mandiri. Selanjutnya selain melakukan
merger, pemerintah juga memandang perlu dilakukan penyempurnaan UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang kemudian disempurnakan
menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.

B. Jenis-Jenis Bank
Praktik perbankan di Indonesia saat ini menunjukan terdapat beberapa jenis
perbankan yang diatur di dalam Undang-Undang Perbankan. Jenis-jenis perbankan
itu dapat dilihat dari segi fungsi Bank itu sendiri ataupun juga dapat dilihat dari segi
kepemilikan Bank. Jika ditinjau dari segi fungsinya dapat dilihat dari luasnya

kegiatan atau jumlah produk yang dapat ditawarkan maupun jangkauan wilayah
operasinya. Sedangkan kepemilikan perusahaan dilihat dari segi pemilikan saham
yang ada serta akte pendiriannya.50

50

Kasmir, Op.Cit.,hlm.34.

Universitas Sumatera Utara

40

Jenis-jenis Bank lainnya juga dapat dilihat dari segi siapa nasabah yang
mereka layani, apakah masyarakat luas atau masyarakat dalam lokasi tertentu
(kecamatan). Jenis perbankan juga dibagi ke dalam caranya menentukan harga jual
dan harga beli. Adapun jenis-jenis perbankan yang dapat ditinjau dari berbagai segi
tersebut antara lain:51
1. Dilihat dari segi fungsinya
Jika dilihat dari segi fungsinya maka, jenis perbankan ini dapat dibedakan
menjadi 2 (dua) yaitu:

a. Bank umum
Bank umum adalah Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syari’ah yang dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Sifat jasa yang diberikan
adalah umum, dalam arti dapat memberikan seluruh jasa perbankan yang ada.
Begitu pula dengan wilayah operasinya dapat dilakukan di seluruh wilayah.
Bank umum sering juga disebut sebagai Bank komersial (commercial Bank).
b. Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah Bank yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syari’ah yang dalam
kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Artinya
disini kegiatan BPR jauh lebih sempit dibandingkan dengan kegiatan Bank
umum.
51

Ibid., hlm.35

Universitas Sumatera Utara

41


2. Dilihat dari segi kepemilikannya
Ditinjau darisegi kepemilikannya maksudnya adalah siapa saja yang memiliki
Bank tersebut. Kepemilikan ini dapat dilihat dari akte pendirian dan penguasaan
saham yang dimiliki Bank yang bersangkutan. Adapun jenis Bank yang dilihat
dari segi kepemilikannya antara lain:
a. Bank milik pemerintah
Dimana baik akte pendirian maupun modalnya dimiliki oleh pemerintah
sehingga seluruh keuntungan Bank ini dimiliki oleh pemerintah pula. Bank
milik pemerintah ini dapat dibagi lagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu Bank milik
pemerintah pusat, maupun Bank milik pemerintah daerah. Adapun contoh
Bank milik pemerintah pusat antara lain:
1) Bank Negara Indonesia 46 (BNI);
2) Bank Mandiri;
3) Bank Rakyat Indonesia (BRI);
4) Bank Tabungan Negara (BTN).
Sedangkan Bank milik pemerintah daerah (pemda) terdapat di daerah tingkat I
dan tingkat II masing-masing provinsi, sebagai contoh:
1) BPD DKI Jakarta;
2) Bank Sumut;

3) BPD Jawa Barat;
4) BPD Jawa Timur, dan lainnya.

Universitas Sumatera Utara

42

b. Bank milik swasta nasional
Bank jenis ini seluruh atau sebagian besarnya dimiliki oleh swasta nasional
serta akte pendiriannya didirikan oleh swasta, begitu pula pembagian
keuntungannya untuk keuntungan swasta pula. Adapun contoh Bank milik
swasta nasional antara lain:
1) Bank Muamalat;
2) Bank Central Asia (BCA);
3) Bank Danamon;
4) Bank Lipo, dan Bank lainnya.
c. Bank milik asing
Bank jenis ini merupakan cabang dari Bank yang ada di luar negeri, baik
milik swasta asing atau pemerintah asing. Jelas kepemilikannya dimiliki oleh
pihak luar negeri. Adapun contoh dari Bank milik asing ini antara lain:

1) Deutsche Bank;
2) Bank of America;
3) Standard Chartered Bank;
4) ABN AMRO Bank.
d. Bank milik campuran
Kepemilikan saham Bank campuran dimiliki oleh pihak asing dan pihak
swasta nasional. Kepemilikan sahamnya mayoritas dipegang oleh warga
negara Indonesia. Adapun contoh dari Bank campuran ini antara lain:

Universitas Sumatera Utara

43

1) Sumitomo Niaga Bank;
2) Bank Finconesia;
3) Mitsubishi Buana Bank;
4) Ing Bank.
3. Dilihat dari segi status
Jika dilihat dari segi kedudukan atau status ini menunjukan ukuran kemampuan
Bank dalam melayani masyarakat baik dari segi jumlah produk, modal maupun
kualitas pelayanannya. Oleh karena itu, untuk memperoleh status tersebut
diperlukan penilaian-penilaian dengan kriteria tertentu. Adapun jenis Bank
berdasarkan status Bank tersebut antara lain:
a. Bank devisa
Merupakan Bank yang dapat melaksanakan transaksi ke luar negeri atau yang
berhubungan dengan mata uang asing secara keseluruhan, misalnya transfer
ke luar negeri, inkaso ke luar negeri, travellers cheque, pembukaan dan
pembayaran letter of credit dan transaksi lainnya. Persyaratan untuk menjadi
Bank devisa ini ditentukan oleh Bank devisa.
b. Bank non devisa
Merupakan Bank yang belum mempunyai izin untuk melaksanakan transaksi
sebagai Bank devisa sehingga tidak dapat melaksanakan transaksi seperti
halnya Bank devisa. Jadi Bank non devisa merupakan kebalikan dari pada
Bank devisa, dimana transaksi yang dilakukan masih dalam batas negara.

Universitas Sumatera Utara

44

4. Dilihat dari segi cara menentukan harga
Jenis Bank jika dilihat dari segi atau caranya dalam menentukan harga baik harga
jual maupun harga beli terbagai ke dalam 2 (dua) kelompok yaitu:
a. Bank yang berdasarkan prinsip konvensional
Mayoritas Bank yang berkembang di Indonesia adalah Bank yang berorientasi
pada prinsip konvensional. Hal ini tidak terlepas dari sejarah bangsa Indonesia
dimana asal mula Bank di Indonesia dibawa oleh colonial Belanda. Dalam
mencari keuntungan dan menentukan harga kepada para nasabahnya, Bank
yang berdasarkan prinsip konvensional menggunakan 2 (dua) metode, yaitu:
1) Menetapkan bunga sebagai harga, baik untuk produk simpanan seperti
giro, tabungan maupun deposito, demikian pula

produk untuk

pinjamannya (kredit) juga ditentukan berdasarkan tingkat suku bunga
tertentu. Penentuan harga ini dikenal dengan istilah spread based. Namun
apabila suku bunga simpanan lebih tinggi dari suku bunga pinjaman maka
dikenal dengan nama negative spreed, hal ini telah terjadi di akhir tahun
1998 dan sepanjang tahun 1999.
2) Untuk jasa-jasa Bank lainnya pihak perbankan barat menggunakan atau
menerapkan berbagai biaya-biaya dalam nominal atau persentase tertentu.
Sistem pengenaan biaya ini dikenal dengan istilah fee based.

Universitas Sumatera Utara

45

b. Bank yang berdasarkan prinsip syari’ah
Bank yang berdasarkan prinsip syaria’ah belum lama berkembang di
Indonesia. Namun, di luar negeri terutama pada negara-negara Timur Tengah
Bank yang berdasarkan prinsip syari’ah sudah berkembang pesat sejak lama.
Bagi Bank yang berdasarkan prinsip syari’ah dalam penetuan harga
produknya sangat berbeda dengan Bank berdasarkan prinsip konvensional.
Dimana Bank yang berdasarkan prinsip syari’ah adalah aturan perjanjian yang
berdasarkan hukum islam antara Bank dengan pihak lain untuk menyimpan
dana atau pembiayaan usaha atau kegiatan perbankan lainnya. Dalam mencari
keuntungan dan menentukan harga bagi Bank yang berdasarkan prinsip
syari’ah adalah sebagai berikut:
1) Pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah);
2) Pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah);
3) Prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah);
4) Pembiayaan barang modal berdasarkan sewa murni tanpa pilihan
(ijarah);
5) atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang
disewa dari pihak Bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina ).
Sumber penentuan harga atau pelaksanaan kegiatan Bank dengan prinsip
syari’ah dasar hukumnya adalah Al-Qur’an dan Sunah Rasul. Bank dengan
prinsip syari’ah mengharamkan penggunaan harga produknya dengan bunga
tertentu karena bagi Bank dengan prinsip syari’ah, bunga adalah riba.

Universitas Sumatera Utara

46

C. Latar Belakang Penerapan Prinsip Good Corporate Governance Pada Dunia
Perbankan
Dunia perbankan diberbagai belahan dunia ini tampaknya selalu diancam oleh
berbagai krisis, antara lain krisis kredit macet atau yang sering disebut sebagai debt
crisis. Hal ini dapat dipahami karena dunia perbankan adalah suatu kegiatan usaha

yang selalu melayani dan hidup dalam kesatuannya dengan kegiatan ekonomi nyata
di masyarakat manapun. Kebanyakan krisis perbankan juga berkenaan dengan krisis
kegiatan ekonomi bangsa-bangsa di dunia yang sekarang ini sudah saling menjalin
kerja sama.52
Indonesia sebagai salah satu negara, yang salah satu pembangunan
ekonominya ditopang dari bisnis perbankan, juga tidak luput dari permasalahan krisis
perbankan. Dimana di Indonesia sendiri krisis perbankan yang paling parah pernah
terjadi pada tahun 1997, dimana krisis ini menyebabkan banyak perusahaan
perbankan di Indonesia harus mengalami kebangkrutan. Penyebab terjadinya krisis
perbankan yang cukup parah di Indonesia, oleh para pengamat banyak yang
berpendapat bahwa kurangnya penerapan prinsip-prinsip GCG dalam dunia
perbankan tersebut, seperti misalnya kurangnya dilakukan pengawasan terhadap
perbankan tersebut, standard akutansi dan audit yang tidak konsisten, serta terjadinya
praktik KKN yang dilakukan oleh pejabat perbankan itu sendiri, dimana contoh
praktik KKN yang pernah terjadi dan paling mengemparkan di Indonesia adalah
“kasus Edi Tansil”.
52

Gunarto Suhardi, Usaha Perbankan dalam Persepektif Hukum, Kanisius, Yogyakarta,
2003, hlm.9.

Universitas Sumatera Utara

47

Seiring perkembangannya, pemerintah Indonesia mulai menyadari bahwa
perlu adanya suatu perubahan yang bersifat fundamental dalam menjalankan bisnis
perbankan. Oleh karena itu, berangkat dari kesadaran akan pentingnya dilakukan
perubahan secara fundamental dalam menjalankan bisnis perbankan tersebut,
pemerintah mulai mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang mencerminkan
prinsip GCG tersebut dalam dunia perbankan, dimana hal ini dilakukan karena
penerapan GCG tidak dapat dilakukan secara parsial, dibutuhkan penerapan secara
mendasar. Selain kerangka kerja ekonomi, penerapan GCG juga dipengaruhi oleh
kerangka kerja legal. Untuk itu, meskipun secara normatif praktek GCG sebagai
Governance Sysytem yang dapat diterima masyarakat investor merupakan keharusan

dalam sistem ekonomi yang bertumpu pada kompetisi pasar dengan tuntutan efisiensi
dan profitabilitas, secara legal juga dibutuhkan hukum dalam penerapannya, oleh
karena itu agar lebih efektif pemerintah juga harus membentuk peraturan-peraturan
yang mencerminkan prinsip GCG.53 Adapun beberapa peraturan yang telah
dikeluarkan oleh pemerintah yang mencerminkan prinsip GCG tersebut antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang dimana dalam pasal-pasalnya
mencerminkan prinsip-prinsip GCG.
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/ 27/ PBI/ 2000 tentang Bank Umum, yang
dimana di dalamnya diatur kriteria yang wajib dipenuhi calon anggota direksi dan

53

Sedarmayanti, Good Governance (Kepemerintahan yang baik) Good Corporate
Governance (Tata Kelolah Perusahaan yang Baik), CV. Mandar Maju, Bandung, 2012, hlm.61.

Universitas Sumatera Utara

48

komisaris Bank umum, serta batasan transaksi yang diperbolehkan atau dilarang
dilakukan oleh pengurus Bank. Adapun tujuan utama dari penerapan peraturan ini
adalah sebagai upaya perwujudan prinsip GCG dengan mengeliminasi
kemungkinan penyimpangan-penyimpangan operasional Bank yang dilakukan
oleh direksi dan/atau komisaris, maupun pemegang saham. Peraturan tersebut
memiliki korelasi yang kuat mengingat organ perusahaan yang mendapat
perhatian yang paling besar untuk diperbaiki dan ditingkatkan kinerjanya adalah
adalah dewan direksi dan komisaris. Apalagi dalam kenyataannya, peranan
direksi dan komisaris rentan untuk disalahgunakan seandainya tidak ada
mekanisme ckeck and balances yang baik antara seluruh organ perusahaan.54
3. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 26/ 23/ KEP/ DIR Tanggal 29
Mei 1993 tentang Tata Cara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank, yang dimana
dengan keluarnya Surat Keputusan Direksi tersebut, maka pada setiap Bank harus
selalu diawasi tingkat kesehatannya. Hal ini sesuai dengan prinsip GCG, yang
menuntut dilakukannya pengawasan terhadap kesehatan perbankan tersebut.55
4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/ 8/ PBI/ 2003 tentang Penerapan Manajemen
Resiko Pada Bank Umum, yang selanjutnya ditindaklanjuti dengan diterbitkannya
Surat Edaran Nomor 5/ 21/ DPNP Tanggal 29 September 2003. Peraturan Bank
Indonesia tersebut mewajibkan Bank untuk menetapkan wewenang dan tanggung
jawab yang jelas pada setiap jenjang jabatan yang terkait dengan penerapan

54
55

Indra Surya & Ivan Yustiandana, Op.Cit., hlm.117.
Gunarto Suhardi, Op.Cit., hlm.153.

Universitas Sumatera Utara

49

manajemen resiko. Diatur pula di dalamnya mengenai kewenangan dan tanggung
jawab direksi dan komisaris yang harus dilakukan terkait penerapan manajemen
resiko tersebut.56

D. Beberapa Praktik
Perbankan

Good

Corporate

Governance

Pada

Perusahaan

1. Perusahaan perbankan yang telah berhasil menerapkan prinsip Good
Corporate Governance
a. Bank Niaga Tbk.
Bank Niaga Tbk. adalah Bank yang dianggap efektif menerapkan prinsip
GCG. Dimana ketika divestasi 50,99% saham pemerintah di Bank Niaga, price to
book value Bank Niaga mencapai 1,4 kali. Itu merupakan harga penawaran tertinggi

sepanjang sejarah perbankan di Indonesia. Sementara itu Bank-bank lain sangat
kesulitan untuk mendapatkan harga sesuai nilai buku, tak terkecuali Bank besar
semacam BCA, BII, dan Bank Lippo.57
Menurut Commerce Asset Holding Berhard (CAHB), investor asal Malaysia
yang membelinya ada empat faktor Bank Niaga ini begitu berharga. Dimana adapun
keempat faktor tersebut antara lain:58
1) Bank Niaga memiliki landasan Value yang baik;
2) Dikelola oleh manajemen yang profesional;
3) Kualitas servisnya bagus;
56

Indra Surya & Ivan Yustiandana, Op.Cit., hlm.118.
Ibid., hlm.161.
58
Indra Surya & Ivan Yustiandana, Loc.Cit., hlm.161.
57

Universitas Sumatera Utara

50

4) Bank Niaga bebas skandal, baik berupa penyelewengan Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI), maupun pelanggaran terhadap Batas Maksimum Pemberian
Kredit (BMPK).
Survey dari Corporate Governance Perception Index (CGPI) pada tahun 2003
Bank Niaga menempatkan posisi kelima, dengan mengumpulkan skor 74,16 dari 10
perusahaan peraih indeks tertinggi. Menurut analisa perbankan dari BNI Securitas M.
Fendi Susiyanto menyatakan bahwa :59
“ setelah urusan divestasinya selesai, kinerja Bank niaga ini semakin bagus,
dimana per-September 2003 Bank Niaga membukukan laba bersih sektar
Rp. 330 Milliyar, meningkat tiga kali lipat dibandingkan periode yang sama
pada tahun lalu yang hanya Rp. 100-an Miliyar. Memiliki CAR 13%, yang
berarti berada di atas ketentuan sebesar 8%. Dan rasio kredit bermasalahnya
(Non Performing Loan) sekitar 3% kecil dan terkendali, sehingga dengan
fakta tersebut sudah sewajarnya Bank Niaga masuk 10 besar dalam
penerapan prinsip GCG.”
Pelaksanaan prinsip GCG sendiri pada Bank Niaga, dilakukan melalui 3
periode, dimana pada periode pertama dilakukan pada tahun 1955, Bank Niaga telah
berkomitmen untuk tidak sekedar besar dan sukses, tetapi juga memiliki image positif
yang tergambar dalam Value dan etika.60
Periode kedua dilakukan oleh Sudarpo dan Julius Tahija sebagai pemegang
saham mayoritas, dimana mereka tidak pernah menempatkan saudara atau keluarga
sebagai direktur ataupun posisi penting lainnya. Selain itu juga Sudarpo dan Julius
Tahija juga mengundang CitiBank melakukan Transfer of Knowledge dalam sistem

59
60

Ibid., hlm.162.
Ibid., hlm.162.

Universitas Sumatera Utara

51

organisasi ke Bank Niaga. Tindakan yang dilakukan oleh pemegang saham mayoritas
tersebut sudah sangat maju karena sudah memikirkan risk management.61
Periode ketiga Bank Niaga dilakukan dengan Continuous Improvement,
dimana pada tahap ini orang-orang yang terlibat di dalam pengolahan Bank Niaga
diarahkan menjadi sangat terbuka terhadap pemikiran baru yang berkembang di luar,
oleh karena itu ketika GCG benar-benar diimplementasikan dengan konsep-konsep
yang lebih sistematis, karyawan Bank Niaga menjadi lebih mudah untuk
menyesuaikan diri. Selain itu dalam pengolahan Bank Niaga dikedepankan prinsip
transparansi, dimana hal ini yang menyebabkan kesalahan operasional dalam
perusahaan menjadi sangat kecil.62 Namun walaupun Bank Niaga telah berhasil
menerapkan prinsip GCG tersebut, akan tetapi penerapan Prinsip GCG pada Bank
Niaga belumlah sempurna betul. Oleh karena itu Bank Niaga, masih harus lebih
memperbaiki lagi penerapan prinsip GCG dalam perusahaannya, agar Bank Niaga
dapat jauh lebih siap lagi menjawab segala tantangan yang datang kedepannya.
2. Beberapa kasus pelanggaran Good Corporate Governance yang dilakukan
oleh perusahaan perbankan
a. Baring Futures, Singapore
Barings Futures, Singapore adalah anak perusahaan Baring Brothers Bank
PLC (Barings), Inggris. Barings adalah salah satu Bank tertua di Inggris yang

didirikan oleh Sir Francis Baring pada tahun 1763. pada mulanya Barings adalah
perusahaan perbankan dengan citra yang cemerlang di Inggris dan di dunia
61
62

Ibid., hlm.163.
Indra Surya & Ivan Yustiandana, Loc.Cit.,hlm.163.

Universitas Sumatera Utara

52

internasional, dimana salah satu keberhasilan mereka adalah pada tahun 1803 dimana
mereka berhasil membantu pemerintah Amerika Serikat mendanai pembelian daerah
Louisiana, Amerika Serikat. Pada saat bangsa Inggris menghadapi serangan bala
tentara kaisar Napoleon, Perancis, Barings membantu pemerintah Inggris membiayai
angkatan perang kerajaan tersebut. Selain itu juga Barings juga dipercaya untuk
mengelola dana milik kerajaan Inggris.63
Begitu banyak prestasi yang dicapai oleh Barings, namun pada tahun 1995
merupakan tahun kejatuhan dari Barings, dimana hal ini diakibatkan karena Bank
tersebut menderita kerugian dalam jumlah yang sangat besar, dimana akibat dari
kerugian tersebut Bank ini tidak dapat meneruskan usahanya. Sehingga pada tahun itu
Barings diambil alih oleh ING Bank, sebuah Bank berkebangsaan Belanda.64
Kerugian yang cukup besar tersebut terjadi di Singapore. Dimana Nicholas
William (Nick Leeson) General Manager sekaligus Head of Trader Barings Future
Singapore gagal menjalankan tugasnya dalam bisnis perdagangan Future Contracts
(sejenis perdagangan financial derivatives). Nick telah melampaui batas transaksi
bisnis yang diotorisasi Barings. Oleh karena itu, akibat kegagalan tersebut kerugian
kumulatif yang diderita Barings karena perdagangan Futures Contract, index
gabungan harga saham di bursa efek Nikkei 225, bursa efek Osaka, Jepang, dan di
Singapore Internasional Monetary Exchange (SIMEX), hingga bulan Februari 1995

63
64

Siswanto Sutojo & E. John Eldridge, Op.Cit.,hlm.38.
Loc.Cit.

Universitas Sumatera Utara

53

mencapai satu milyar US dollar lebih. Jumlah tersebut melebihi jumlah modal sendiri
yang dimiliki oleh Barings. 65
Menurut analisis Jill dan Aris Solomon sebab musibah yang menimpa Barings
mirip dengan apa yang dikemukakan oleh Prof. Stephen Cheung dalam kasus
“Pregerine”, dimana pengendalian intern Barings sangat lemah, tidak ada prosedur
check and balances dalam operasi bisnis Barings Future, Singapore. Lebih lanjut lagi

Jill dan Aris Solomon menilai bahwa jabatan ganda Nick Lesson sebagai General
Manager dan Head Traders Barings Future telah menyimpang jauh dari prinsip GCG
yang sehat, dimana dengan kedudukan ganda tesebut kekuasaan Nick Lesson sangat
besar, dia bekerja tanpa supervisi dan pengawasan dari atasan. Sebagai Chief
Executive Officier (CEO) dia bertugas mempertanggung jawabkan (accountable to)

pengelolahan harta, utang dan kegiatan bisnis Barings Futures kepada dirinya sendiri
yang bertindak sebagai Chairman.66 Oleh karena itu, kedudukan ganda yang tidak
diawasi tersebutlah yang menyebabkan mengapa Barings mengalami kegagalan
dalam menjalankan usahanya.
b. Kasus Letter Of Credit Bank BNI 46
Kasus ini bermula dari diterimanya Letter of Credit (L/C) bernilai lebih dari
Rp. 1 triliun oleh Bank BNI Cabang Kebayoran Baru. L/C tersebut dibuka oleh Bankbank yang selain bukan merupakan koresponden Bank BNI, juga Bank-bank yang
berasal dari negara-negara yang berkategori beresiko tinggi (high risk countries).

65
66

Ibid., hlm.39.
Siswanto Sutojo & E. John Eldridge, Loc.Cit. hlm.39.

Universitas Sumatera Utara

54

Sementara yang menerima L/C adalah perusahaan-perusahaan dalam Gramarindo
Group dan Petindo Group. Komoditas yang diekspor adalah pasir kuarsa dan residu
minyak dengan negara tujuan Kenya dan beberapa negara di Afrika. 67
BNI Kebayoran Baru tanpa melakukan pemeriksaan yang mendalam,
mengucurkan kredit itu berturut-turut sejak Desember 2002 hingga Juli 2003.
Padahal, Bank di kedua negara tersebut bukan Bank korespondensi BNI. Selain itu
ekspor pasir dan minyak tidak pernah ada. Akibatnya Bank-bank penerbit L/C tidak
mau membayar dana talangan yang dikucurkan BNI, sehingga mengakibatkan Bank
pemerintah ini mengalami kerugian sebesar Rp. 1,7 trilliun.68
Satuan Pengawasan Internal (SPI) BNI Pusat, berdasarkan permintaan pihak
manajemen BNI, melakukan pemeriksaan khusus terhadap keaslian dokumen L/C
pada tanggal 12-31 Agustus 2003. Dari pemeriksaan itu ditemukan ada sekitar 28 L/C
bermasalah. Beberapa kejanggalan ditentukan dalam dokumen kelengkapan ekspor
seperti Bill of Leading (B/L), invoice, weight list, diantaranya tanda tangan yang
tertera semua dokumen identik satu sama lain yaitu dari Jeffry Baso, terdakwa dalam
kasus yang sama. Cap stempel yang digunakan dalam dokumen itu juga tidak sama
dengan nama perusahaan. Selain fiktif, penegosiasian L/C juga dinilai menyalahi
prosedur, karena ke 28 L/C diterbitkan oleh Bank di luar negeri (Opening Bank) yang
bukan merupakan korespondensi BNI, dimana menurut aturan BNI itu tidak

67
68

Indra Surya & Ivan Yutivandana, Op.Cit., hlm.210
Loc.Cit

Universitas Sumatera Utara

55

diperbolehkan. Selain itu, pencairan disconto L/C juga dilakukan tanpa adanya
persetujuan (akseptasi) dari Bank penasihat (Advising Bank).69
Berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan oleh kantor besar Bank BNI,
para eksportir yaitu perusahaan-perusahaan yang termasuk Gramarindo dan Petindo
Group ternyata telah melakukan ekspor fiktif. Hal ini terungkap antara lain dari hasil
verifikasi kapada pejabat Bea Cukai cabang Belitung menyangkut Pemberitahuan
Ekspor Barang (PEB) Gramarindo Group pejabat Bea Cukai cabang Belitung
menyatakan bahwa PEB tersebut palsu. Sementara itu pula, penyelesaian pembayaran
hasil transaksi ekspor (proceed) dari beberapa slip L/C tersebut telah dinegosiasikan
dilakukan bukan oleh Bank pembuka L/C (issuing Bank), melainkan dilakukan oleh
para eksportir sendiri dengan cara melakukan penyetoran atau melalui pendebetan
rekening para eksportir tersebut.70
Kasus BNI ini dipercaya oleh banyak pengamat terjadi karena lemahnya
penerapan prinsip GCG yaitu prinsip responsibilitas dan prinsip akuntabilitas. Jika
dilihat dari prinsip responsibilitas, pristiwa pembobolan ini juga digambarkan bahwa
direksi dan komisaris BNI tidak dapat untuk menerapkan prinsip responsibilitas di
dalam kegiatan operasionalnya. Prinsip responsibilitas merupakan perwujudan dari
tanggung jawab perusahaan untuk mematuhi dan menjalankan setiap aturan yang
telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Selain itu juga pengurus Bank

69
70

Ibid., hlm.211.
Indra Surya & Ivan Yutivandana, Loc.Cit., hlm.211.

Universitas Sumatera Utara

56

BNI juga tidak menerapkan prinsip kehati-hatian (prudential Banking principles)
dalam mengucurkan L/C yang begitu besar.71
Selain lemahnya penerapan prinsip responsibilitas, peristiwa ini juga terjadi
karena lemahnya penerapan prinsip akuntabilitas. Dimana untuk dapat memenuhi
prinsip akuntabilitas, maka seorang direksi dan komisaris haruslah dapat menciptakan
mekanisme check and balances yang baik di dalam perusahaan. Pada kenyataannya
mekanisme check and balances ternyata tidak dapat diciptakan oleh direksi dan
komisaris BNI, yang mana hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap prinsip
akuntabilitas. Dalam kasus ini yang dilakukan oleh kantor cabang BNI Kebayoran
Baru, seharusnya dapat diawasi oleh direksi dan komisaris BNI Pusat, karena
menyangkut dana dalam jumlah yang besar dan untuk jangka waktu yang lama.72

71
72

Ibid., hlm.212.
Ibid., hlm.218.

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
ASPEK HUKUM TERHADAP PENERAPAN PRINSIP GOOD
CORPORATE GOVERNANCE DALAM DUNIA
PERBANKAN DI INDONESIA

A. Penerapan Prinsip Good Corporate Governance Pada PT. Bank Sumut,
Medan
PT. Bank Sumut merupakan salah satu Bank Pembangunan Daerah Sumatera
Utara (BPDSU), yang didirikan pada tanggal 4 November 1961 dalam bentuk
Perseroan Terbatas. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1962 tentang
Ketentuan Pokok Bank Pembangunan Daerah, bentuk badan usaha selanjutnya diubah
menjadi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), sesuai dengan Peraturan Daerah
(Perda) Tingkat I Sumatera Utara Nomor 5 Tahun 1965. PT. Bank Sumut ini
didirikan dengan modal dasar sebesar Rp. 100.000.000,00, dan terdiri atas saham
yang dimiliki oleh pemerintah daerah tingkat I Sumatera Utara dan pemerintah daerah
tingkat II Sumatera Utara.73
Sejak awal pendiriannya hingga sekarang PT Bank Sumut, kian mengalami
laju pertumbuhan yang menunjukan perkembangan yang sangat signifikan, yang
dapat dilihat dari kinerja dan prestasi yang diperoleh dari tahun ke tahun, tercatat total
asset PT. Bank Sumut mencapai Rp. 10,75 Triliyun pada tahun 2009 dan menjadi Rp.

Bank Sumut,”Sejarah PT. Bank Sumut, www.banksumut.com/statis-5-sejarah.html, 17 Juni
2015 pukul 10.48.
73

57
Universitas Sumatera Utara

58

12,76 Triliyun pada tahun 2010. hal ini terjadi karena didukung oleh semangat untuk
menjadi Bank yang profesional dan tangguh dalam menghadapi persaingan dengan
digalakannya program To The Best yang sejalan dengan Road Map BPD Regional
Champion 2014, tentunya dengan konsekuensi harus memperkuat permodalan yang

tidak lagi hanya mengandalkan penyertaan saham dari pemerintah daerah, melainkan
juga membuka akses permodalan lain seperti penerbitan Obligasi, serta dalam
mengelola perusahaan tersebut PT. Bank Sumut selalu mengacu kepada pedoman
prinsip GCG.74
PT. Bank Sumut sendiri menerapkan prinsip GCG didasarkan dengan
dikeluarkannya PBI Nomor 8/14/PBI 2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang perubahan
atas PBI Nomor 8/4/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang Pelaksanaan Good
Corporate Governance Bagi Bank Umum, selanjutnya setelah dikeluarkan peraturan
Bank Indonesia tersebut kemudian oleh PT. Bank Sumut ditindak lanjuti lagi dengan
dikeluarkannya Peraturan Direksi PT. Bank Sumut Nomor 003/Dir/DKMRCQA/PBS/2007 tanggal 26 Desember 2007 tentang Pedoman Pelaksanaan Penerapan
Good Corporate Governance pada PT. Bank Sumut, sehingga dengan dikeluarkannya
Peraturan Direksi tersebut maka Bank Sumut menjadi salah satu Bank yang
menerapkan prinsip GCG dalam melakukan kegiatan usahanya. 75
PT. Bank Sumut sendiri dalam menerapkan prinsip GCG dilandasi kepada 5
prinsip dasar GCG, dimana kelima prinsip ini dijadikan pedoman oleh PT. Bank
Bank Sumut,”Sejarah PT. Bank Sumut, www.banksumut.com/statis-5-sejarah.html, 17 Juni
2015 pukul 10.48.
75
Indra Fadilla, SH. ,Wawancara, Pegawai PT. Bank Sumut Bagian Divisi Kepatuhan.
74

Universitas Sumatera Utara

59

Sumut dalam menerapkan Prinsip GCG, adapun kelima prinsip dasar tersebut antara
lain :76
1. Prinsip Transparansi
Wujud nyata penerapan prinsip Transparansi ini yang dilakukan oleh PT. Bank
Sumut adalah dengan cara bersikap terbuka dan bertanggung jawab terhadap
masyarakat sekitar. Dimana hal ini dilakukan dengan memerlukan langkahlangkah yang tegas dalam mengurangi peraturan dan prosedur yang menghambat
kreativitas masyarakat, keterbukaan untuk menerima segala masukan dari
berbagai pihak guna perkembangan perusahaan, serta memberikan keterbukaan
informasi secara jelas kepada masyarakat misalnya dalam hal pemberian kredit,
pihak PT. Bank Sumut memberikan layanan informasi kepada masyarakat yang
ingin mengajukan kredit akan tetapi tidak tahu bagaimana tata cara pengajuan
kredit pada PT. Bank Sumut. Serta keterbukaan ini dapat terlihat dari kejelasan
peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh PT.Bank Sumut, seperti misalnya
peraturan mengenai promosi jabatan pegawai, peraturan mengenai pemberian
sanksi kepada pegawai yang harus jelas peraturannya.
2. Prinsip Tanggung Jawab
Wujud nyata penerapan prinsip Tanggung Jawab ini yang dilakukan oleh PT.
Bank Sumut menuntut para pimpinan dan pegawai PT. Bank Sumut untuk selalu
bertanggung jawab terhadap setiap tugas yang diembannya. Selain itu juga
penerapan prinsip Tanggung Jawab pada PT. Bank Sumut ini juga tercermin dari
76

Bank Sumut, “Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum”.

Universitas Sumatera Utara

60

penerapan prinsip Corporate Social Responsibility (CSR) pada PT. Bank Sumut
sendiri, seperti misalnya pemberian bantuan yang dilakukan oleh PT. Bank Sumut
kepada masyarakat kota Asahan,
3. Prinsip Kemandirian
Penerapan prinsip kemandirian pada PT. Bank Sumut ini menuntut para pengelola
perusahaan agar dapat bertindak secara mandiri sesuai peran dan fungsi yang
dimilikinya, tanpa adanya tekanan-tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai
dengan sistem operasional yang berlaku. Adapun wujud nyata dari pada
penerapan prinsip kemandirian ini misalnya mewajibkan kepada setiap karyawan
untuk tidak terikat dengan aktivitas politik. Dimana kewajiban ini dimuat dalam
code of conduct tentang aktivitas politik yang dibuat oleh PT Bank Sumut, selain

itu PT Bank Sumut juga memberikan informasi kepada karyawan untuk selalu
menjauhi dan menghindari terjadinya benturan kepentingan yang termuat dalam
persyaratan mengenai jumlah, komposisi, kriteria dan independensi anggota
Dewan Komisaris, begitu juga dalam persyaratan mengenai jumlah, komposisi,
kriteria, dan independensi anggota Dewan Direksi yang dapat dilihat dalam code
of conduct PT Bank Sumut mengenai benturan kepentingan.

4. Prinsip Kewajaran
Penerapan prinsip kewajaran pada PT. Bank Sumut ini menuntut adanya
perlakukan yang adil dan setara kepada semua pihak baik itu sesama karyawan,
sesama nasabah, dan bahkan sesama para pemegang saham. Adapun wujud nyata

Universitas Sumatera Utara

61

penerapan prinsip kewajaran ini misalnya jika ada karyawan PT Bank Sumut
yang melakukan pelanggaran, tidak peduli apapun jabatannya dalam perusahaan
ataupun karyawan itu merupakan saudara dari pejabat PT Bank Sumut, selama
karyawan itu melakukan pelanggaran, maka karyawan itu tetap diberikan sanksi
yang tegas. Contoh lain dari pada penerapan prinsip kewajaran ini ialah dimana
terhadap nasabah PT Bank Sumut, tidak peduli apakah nasabah itu merupakan
nasabah prioritas ataupun nasabah biasa PT Bank Sumut selalu berusaha
memberikan pelayanan yang terbaik dan selalu mendengarkan masukan dari
nasabah-nasabah tersebut.
5. Prinsip Akuntabilitas
Penerapan prinsip akuntabilitas pada PT Bank Sumut ini menuntut adanya
kejelasan tanggung jawab masing-masing organ perusahaan yang selaras dengan
visi, misi, sasaran usaha, dan strategi perusahaan. Tugas dan wewenang masingmasing organisasi perusahaan telah dibuat, dipaparkan dan dilaksanakan setiap
tahunnya oleh semua organ-organ PT Bank Sumut sesuai dengan yang ditetapkan
oleh perusahaan yang berpedoman sesuai dengan prinsip GCG yang berlaku.
Adapun wujud nyata yang dilakukan oleh PT Bank Sumut dalam menerapkan
prinsip akuntabilitas ini adalah dengan menempatkan organ-organ perusahaan
tersebut ke tempat yang sesuai dengan kompetensi yang dimiliki oleh masingmasing organ tersebut serta bertanggung jawab terhadap tugas masing-masing,
selain itu juga wajud nyata yang lain adalah dengan melakukan penilaian ( Self

Universitas Sumatera Utara

62

assessment) dan pengawasan terhadap setiap organ-organ perusahaan tersebut

yang dilakukan setiap akhir tahun, agar setiap organ perusahaan tersebut tetap
menjalankan tugas dan tanggung jawab dengan baik.
Penerapan prinsip GCG itu sendiri akan lebih efektif lagi kalau setiap
pelaksanaannya selalu diawasi dan juga diberikan penilaian sejauh mana keberhasilan
suatu perusahaan dalam menerapkan prinsip GCG tersebut. Hal yang sama juga
dilakukan oleh PT Bank Sumut, dimana pengawasan yang dilakukan oleh PT Bank
Sumut dilakukan dengan membuat laporan pelaksanaan GCG yang disusun setiap
akhir tahun, dimana laporan tersebut sekurang-kurangnya harus meliputi:77
1. Pelaksanaan prinsip-prinsip & hasil penilaian GCG;
2. Kepemilikan saham anggota Dekom serta hubungan keuangan & keluarga
anggota Dekom dgn anggota Dekom lain, anggota Direksi dan/atau pemegang
saham Bank;
3. Kepemilikan saham anggota Direksi serta hubungan keuangan & keluarga
anggota Direksi dengan anggota Dekom, anggota Direksi lain dan/atau pemegang
saham;
4. Paket/kebijakan renumerasi & fasilitas lain bagi Dekom serta Direksi;
5. Shares option yang dimiliki Komisaris, Direksi & Pejabat Eksekutif;
6. Rasio gaji tertinggi dan gaji terendah;
7. Frekuensi rapat Dekom;

77

Bank Sumut, “Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum”.

Universitas Sumatera Utara

63

8. Jumlah penyimpangan (internal fraud) yang terjadi dan upaya penyelesaian oleh
Bank;
9. Jumlah permasalahan hukum dan upaya penyelesaian oleh Bank;
10. Transaksi yang mendukung benturan kepentingan;
11. Buy back shares dan/atau buy back obligasi Bank;
12. Pemberian dana untuk kegiatan sosial dan kegiatan politik, baik nominal maupun
penerima dana.
Laporan pelaksanaan GCG yang sudah dibentuk selanjutnya disampaikan
kepada Pemegang Saham, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Asosiasi-asosiasi Bank di Indonesia,
Lembaga Penelitian di bidang ekonomi dan keuangan, serta sekurang-kurangnya
memberitahu kepada dua majalah ekonomi dan keuangan, yang diinformasikan
melalui Homepage Bank Sumut. Setelah pembuatan laporan, maka selanjutnya
dilakukan suatu penilaian (Self Assesment) mengenai pelaksanaan prinsip GCG yang
dilakukan paling kurang 1 tahun sekali dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dengan laporan pelaksanaan GCG. 78
Tata cara pelaksanaan penilaian itu sendiri diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 9/12/DPNP tanggal 30 Mei 2007 Perihal Pelaksanaan GCG Bagi
Bank Umum. Dimana penilaian dan evaluasi yang dilakukan oleh PT Bank Sumut
kemudian disampaikan kepada Bank Indonesia dan juga OJK, dan apabila diperlukan
Bank Indonesia dan OJK juga dapat meminta Bank untuk menyampaikan dan/atau
78

Bank Sumut, “Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum”.

Universitas Sumatera Utara

64

melakukan penyesuaian Action Plan. Penilaian (Self Assesment) GCG pada PT Bank
Sumut dilakukan dengan berpedoman kepada beberapa indikator/kriteria penilaian
(Self Assesment) GCG berdasarkan bobot sesuai ketentuan internal PT Bank Sumut,
adapun indikator tersebut antara lain:79
1. Pelaksanaan Tugas Pokok dan Fungsi, dengan bobot 10%;
2. Tanggung Jawab (Responsibility),dengan bobot 10%;
3. Kepatuhan terhadap Penerapan Ketentuan, dengan bobot 10%;
4. Tranparansi (Transparency), dengan bobot 6%;
5. Penerapan Fungsi Manajemen Risiko 10%;
6. Penerapan Fungsi Pengendalian 10%;
7. Benturan Kepentingan, dengan bobot 5%;
8. Kualitas Pelayanan, dengan bobot 10%;
9. Penanganan Penyelesaian Pengaduan Nasabah, dengan bobot 5%;
10. Pelaporan dan Dokumentasi, dengan bobot 3%;
11. Penerapan Pelaksanaan Code of Conduct, dengan bobot 7%;
12. Penerapan Anti Pencucian Uang dan Pencegahan, dengan bobot 7%;
13. Pendanaan Terorisme (APU dan PPT) Evaluasi Kinerja Keuangan, dengan bobot
7%.
Penilaian (Self Assesment) terhadap penerapan prinsip GCG pada PT Bank
Sumut sendiri sudah sangat baik, hal ini dapat terlihat dari penilaian (Self Assesment)

79

Bank Sumut, “Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum”.

Universitas Sumatera Utara

65

yang dilakukan Bank Indonesia terhadap PT Bank Sumut, adapun penilaian tersebut
dapat dilihat dengan tabel berikut ini:80

No

Tahun

Nilai

Predikat

1

2007

1,925

Baik

2

2008

1,675

Baik

3

2009

1,475

Sangat Baik

Sumber Data: PT. Bank Sumut, Medan.
Tabel yang diuraikan di atas dapat dijelaskan bahwa penilaian yang dilakukan
terhadap PT Bank Sumut dimulai pada tahun 2007 sampai dengan tahun 2009,
dimana dengan asumsi penilaian bahwa semakin kecil nilai yang diberikan maka
semakin baik pula penerapan prinsip GCG pada PT Bank Sumut tersebut.
Berdasarkan tabel yang telah diuraikan di atas maka dapat disimpulkan bahwa
penerapan prinsip GCG pada PT Bank Sumut, semakin hari semakin baik, hal ini
dapat dilihat bahwa dimulai tahun 2007 PT Bank Sumut mendapatkan predikat Baik,
pada tahun 2008 PT Bank Sumut juga mendapatkan predikat Baik akan tetapi nilai
yang diberikan lebih baik dari pada tahun lalu, dan pada tahun 2009 PT Bank Sumut
mendapatkan predikat Sangat Baik. Oleh karena itu, hal ini menunjukan bahwa
semakin seriusnya PT Bank Sumut untuk membenah perusahaannya menjadi lebih
baik lagi, dengan serius menerapkan prinsip GCG dalam mengelola perusahaannya.
80

Bank Sumut, “Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum”.

Universitas Sumatera Utara

66

Penerapan prinsip GCG sendiri akan lebih efektif lagi jika tidak hanya
dilakukan pengawasan dan juga penilaian terhadap penerapannya, akan tetapi
pemberian sanksi juga diperlukan, apabila Bank-bank tersebut tidak menerapkan
prinsip GCG dengan baik, adapun sanksi yang diberikan oleh OJK, terhadap Bankbank tersebut antara lain:81
1. Bank yang terlambat menyampaikan laporan GCG dikenakan sanksi kewajiban
membayar Rp. 1 juta/hari keterlambatan (6 bulan periode laporan/1 bulan sejak
batas akhir penyampaian laporan);
2. Bank yang tidak menyampaikan laporan GCG dikenakan sanksi kewajiban
membayar Rp. 100 juta & teguran tertulis oleh OJK ( > 6 bulan periode laporan /
>1 bulan sejak batas akhir penyampaian laporan);
3. Bank yang dinilai menyampaikan laporan tidak benar dan/atau tidak lengkap
secara signifikan, dan setelah diberikan 2 (dua) kali teguran dengan masa
tenggang 7 (tujuh) hari kerja dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban
membayar Rp. 250 juta & sanksi administratif lain (penurunan peringkat faktor
manajemen, dilarang ikut kliring, pembekuan kegiatan tertentu, pemberhentian
pengurus Bank, pencantuman anggota pengurus, pegawai, pemegang saham Bank
dalam daftar tidak lulus (fit and proper test).

81

Bank Sumut, “Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum”.

Universitas Sumatera Utara

67

B. Manfaat yang Dirasakan Dalam Penerapan Prinsip Good Corporate
Governance Pada PT. Bank Sumut, Medan
Penerapan prinsip GCG yang baik dan konsisten pada suatu perusahaan,
membawa manfaat yang cukup besar baik terhadap perusahaan itu sendiri maupun
terhadap kepentingan stakeholder. Dimana selain untuk meningkatkan nilai (Value)
perusahaan itu sendiri, penerapan prinsip GCG yang baik juga terbukti dapat
membuat perusahaan tersebut memiliki daya saing dengan perusahaan lainnya,
sehingga perusahaan tersebut mampu menghadapi segala goncangan yang datang
baik dari dalam perusahaan maupun faktor eksternal perusahaan itu sendiri.
Manfaat penerapan prinsip GCG tadi, juga dirasakan oleh PT Bank Sumut,
dimana adapun manfaat yang dirasakan oleh PT Bank Sumut dengan diterapkannya
prinsip GCG adalah sebagai berikut:82
1. Meningkatnya nilai perusahaan
Diterapkannya prinsip GCG pada PT Bank Sumut menyebabkan terjadinya
Peningkatan nilai perusahaan. Dimana peningkatan nilai perusahaan ini ditandai
dengan peningkatan nilai modal. Dimana pada PT Bank Sumut peningkatan
modal sendiri terjadi pada tahun 2011, dimana modal dasar yang dimiliki oleh PT
Bank Sumut yang hanya sebesar Rp 1 Triliyun pada tahun 2008 meningkat
menjadi Rp. 2 Triliyun pada tahun 2011, serta mengalami peningkatan total asset
menjadi 18,95 Triliyun. Oleh karena itu, dengan meningkatnya modal tadi
menyebabkan pihak investor menjadi tertarik untuk menanamkan dananya pada

82

Indra Fadilla, SH. ,Wawancara, Pegawai PT. Bank Sumut Bagian Divisi Kepatuhan.

Universitas Sumatera Utara

68

PT. Bank Sumut, dengan tertariknya investor untuk menanamkan dananya,
menyebabkan citra PT Bank Sumut menjadi meningkat di mata masyarakat,
nasabah, karyawan, serta perusahaan-perusahaan saingan;
2. Meningkatnya kinerja karyawan
Penerapan Prinsip GCG pada PT Bank Sumut juga membawa dampak
meningkatnya kinerja karyawan pada PT Bank Sumut, hal ini terjadi karena
karyawan merasa nyaman dan bersemangat untuk bekerja di perusahaan yang
sehat dan selalu memperhatikan kesejahteraan karyawannya. PT Bank Sumut
sendiri dalam meningkatkan kinerja karyawan melakukan hal-hal seperti
memberikan

pengahargaan

kepada

karyawan

yang

berprestasi,

adanya

pengembangan karier selama bekerja di PT Bank Sumut, serta diberikannya
jaminan hari tua kepada karyawan yang telah memasuki masa pensiun;
3. Meningkatnya kepercayaan nasabah
Penerapan prinsip GCG yang baik pada PT Bank Sumut membawa dampak
meningkatnya kepercayaan nasabah untuk menyimpankan dananya kepada PT
Bank Sumut. Dimana seperti yang diketahui bahwa kepercayaan nasabah
merupakan modal utama perusahaan perbankan dalam menjalankan kegiatan
operasionalnya, karena tanpa adanya suatu kepercayaan dari masyarakat maka
suatu Bank tidak dapat menjalankan peranannya sebagai lembaga intermediary
dengan baik, dan lama kelamaan Bank tersebut akan bangkrut karena tidak ada
kepercayaan kepada Bank tersebut. Oleh karena itu, kepercayaan sangatlah

Universitas Sumatera Utara

69

penting bagi suatu Bank, dan dengan diterapkannya prinsip GCG dengan baik
maka dapat menigkatkan kepercayaan nasabah tadi;
4. Meningkatnya nilai etika perusahaan
Penerapan prinsip GCG yang baik juga dapat meningkatkan nilai etika perusahaan
yang ada pada PT Bank Sumut, hal ini terjadi karena penerapan prinsip GCG
menuntut agar suatu perusahaan haruslah membuat suatu peraturan yang
dijadikan acuan dalam menjalankan operasional perusahaan, seperti misalnya
pada PT Bank Sumut membuat code of conduct yang dijadikan acuan bagi seluruh
insan PT Bank Sumut dalam menjalankan fungsi dan tanggungjawabnya, agar
untuk selalu dipatuhi oleh setiap insan PT Bank Sumut tersebut, dan apabila
terjadi pelanggaran terhadap code of conduct tersebut maka akan dikenakan
sanksi yang tegas. Selain itu juga agar code of conduct ini selalu ditaati, maka
internal PT Bank Sumut selalu melakukan pengawasan dan memberikan penilaian
bagaimana tingkat kepatuhan karyawan terhadap code of conduct tersebut, yang
djalankan oleh Divisi Kepatuhan.

C. Hambatan Pelaksanaan Prinsip Good Corporate Governance Pada PT Bank
Sumut
Penerapan prinsip GCG dalam suatu perusahaan tidaklah selalu berjalan
mulus sesuai dengan kehendak yang diinginkan. Karena walaupun sudah diterapkan
prinsip GCG dengan baik dalam suatu perusahaan, tetap saja pasti ada kendalakendala yang menghambat penerapan prinsip GCG tersebut dalam suatu perusahaan,

Universitas Sumatera Utara

70

dimana hambatan yang terjadi itu bisa datang dari berbagai sudut, baik itu hambatan
yang datangnya dari dalam perusahaan itu sendiri maupun hambatan yang datangnya
dari luar perusahaan tersebut.
Pada PT Bank Sumut sendiri, adapun hambatan-hambatan yang terjadi dalam
menerapkan prinsip GCG, adalah sebagai berikut:83
1. Kurangnya keseriusan karyawan dalam menerapkan prinsip GCG
Penerapan prinsip GCG pada suatu perusahaan, sangatlah memerlukan dukungan
dari berbagai pihak baik karyawan, dewan direksi, maupun dewan komisaris
dalam perusahaan tersebut, dimana jika salah satu pihak saja tidak berkomitmen,
maka akan susah untuk menerapkan prinsip GCG tersebut. Pada PT Bank Sumut
sendiri pihak yang sering sekali tidak berkomitmen untuk menerapkan prinsip
GCG itu sendiri adalah pihak karyawan, dimana hal ini dapat terlihat dari
banyaknya terjadi pelanggaran-pelanggaran walaupun masih ringan yang
dilaku