Problematika Hukum Atas Levering Dari Objek Hak yang Dibuat Dalam Akta Jual Beli Tanah

26

BAB II
TINJAUAN UMUM TERHADAP PENYERAHAN (LEVERING)
BERDASAR ALAS HAK (TITEL) PERJANJIAN JUAL BELI
A. Penyerahan (levering) Sebagai Perbuatan Pengalihan Objek Hak
1.

Pengertian Penyerahan (Levering)
Penyerahan yang juga diistilahkan “levering”, “overdracht”, “opdracht”

adalah merupakan tindakan atau perbuatan pemindahan hak kepemilikan atas sesuatu
barang atau benda dari seseorang kepada orang lain. Namum perlu dipahami bahwa
peralihan atau berpindahnya hak atas kekayaan dari seseorang kepada orang lain
dapat terjadi dengan titel umum dan titel khusus.
Mr.N.E.Algra & Mr.K.Van Duyvendijk mengemukakan, kekayaan itu
mencakup segala hak dan utang. Peralihan suatu kekayaan, keseluruhan “laba
dan beban”, disebutkan peralihan di bawah perbuatan perdata (titel) umum.
Apabila hanya sebagian tertentu dari objek kekayaan itu yang pindah, maka hal
itu disebut peralihan dibawah titel khusus.36
Penyerahan adalah merupakan salah satu cara untuk memperoleh hak milik. Hal

ini ditegaskan dalam ketentuan Pasal 584 KUHPerdata yang menyatakan; “Hak milik
atas sesuatu kebendaan tak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan dengan
pemilikan, karena perlekatan, karena daluwarsa, karena pewarisan, baik menurut
undang-undang, maupun menurut surat wasiat, dan karena penunjukan atau
penyerahan berdasar atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik,
dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu”. Dari

36

Mr.N.E.Algra & Mr K.Van Duyvendijk, Pengantar Ilmu Hukum, Terj.J.T.C. Simorangkir,
(Bandung: Binacipta,1983), hal .224.

26

Universitas Sumatera Utara

27

ketentuan tersebut di atas jelas disebutkan bahwa penyerahan itu merupakan salah
satu cara memperoleh hak milik. Bahkan dari berbagai cara memperoleh hak milik

yang disebut dalam Pasal 584 KUHPerdata tersebut di atas, maka sesungguhnya cara
penyerahan ini merupakan cara yang paling sering terjadi dalam lalu-lintas hukum di
tengah-tengah masyarakat. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa penyerahan di
dalam KUHPerdata sering dipakai istilah-istilah lain, tetapi mempunyai pengertian
yang sama dengan penyerahan, yaitu Opdracht, Overdracht, Transport (penyerahan
atas benda tak bergerak), Cessie (penyerahaan untuk piutang atas nama) dan Inbreng
(penyerahan dalam hal warisan).
R. Subekti mengemukakan, perkataan penyerahan mempunyai dua arti. Pertama
perbuatan yang berupa penyerahan kekuasaan belaka (“feitelijke levering”). Kedua
perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan hak milik kepada orang lain
(“juridische levering”).37 Perbedaan antara kedua jenis penyerahan tersebut tampak
dengan nyata pada benda-benda tidak bergerak, dimana hak milik atas benda tidak
bergerak diserahkan atau berpindah dengan dilakukannya pencatatan (overschrijving)
akta dalam register umum dengan apa yang disebut akta transport (acte van
transport), tetapi terlepas daripada itu terdapat juga penyerahan nyata. Sebaliknya
pada benda-benda bergerak penyerahan nyata dan penyerahan yurudis pada umumnya
berpadu berupa penyerahan nyata.
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan mengemukakan, menurut hukum Perdata yang
dimaksud dengan penyerahan itu adalah penyerahan suatu benda oleh pemilik atau
37


R.Subekti I, Op.cit,hal .71.

Universitas Sumatera Utara

28

atas namanya kepada orang lain, sehingga orang lain ini memperoleh hak milik atas
benda itu38. Penyerahan (levering) sebagai suatu perbuatan hukum untuk
mengalihkan atau memindahkan hak milik oleh seseorang kepada orang lain
bukanlah merupakan suatu perbuatan yang berdiri sendiri melainkan perbuatan
hukum penyerahan (levering) merupakan tindak lanjut dari suatu perbuatan hukum
yang menjadi dasar atau yang disebut sebagai alas hak (titel) dari penyerahan itu.
Dalam hal ini perbuatan hukum yang menjadi dasar atau alas hak (titel) dari
penyerahan adalah didasarkan atas persesuaian kehendak yang bermaksud
mengalihkan hak milik atas kebendaan itu (obligatoir overeenkomst). Adapun
perjanjian-perjanjian

obligatoir


(obligatoir

overeenkomst)

yang

bertujuan

memindahkan hak milik yang diatur dalam KUHPerdata adalah berupa perjanjian jual
beli, perjanjian tukar-menukar dan perjanjian hibah.
Dalam Code civil Perancis, kata penyerahan dikenal dengan
“Delivrance”,

penyerahan yang dilakukan pada perjanjian

nama

jual beli, dianggap

merupakan penyerahan kekuasaan belaka saja atas sesuatu benda yang dijualnya,

karena hak milik atas barang yang dijual menurut Code Civil Perancis telah berpindah
kepada pembeli pada saat terjadinya perjanjian jual beli. Berbeda halnya menurut
sistim yang dianut oleh KUHPerdata (BW) justru sebaliknya dimana dengan
perjanjian jual beli saja belum mengakibatkan berpindahnya hak milik dan untuk itu
masih diperlukan perbuatan hukum berupa penyerahan (levering). Hal ini ditegaskan
dalam Pasal 1459 KUHPerdata yang menyebutkan, Hak milik atas barang yang dijual
38

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op.cit, hal .67.

Universitas Sumatera Utara

29

tidaklah berpindah kepada si pembeli, selama penyerahannya belum dilakukan
menurut Pasal 612, 613 dan 616.
2.

Feitelijke Levering dan Juridische Levering
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa dalam sistim KUHPerdata, beralihnya


hak milik dari seorang kepada orang lain adalah pada saat dilakukannya penyerahan
(levering) atas benda tersebut, bukan pada saat dibuatnya perjanjian yang menjadi
alas hak (titel) dari peralihan hak milik tersebut. Dengan kata lain hak milik atas suatu
benda belum berpindah saat perjanjian jual-beli atau tukar-menukar ataupun hibah
dibuat, melainkan hak milik atas benda tersebut baru berpindah setelah dilakukan
penyerahan ( levering). Oleh karenanya penyerahan (levering) adalah seolah-olah
para pihak berjanji lagi untuk mengalihkan hak milik atas suatu benda.
Dalam Hukum Perdata (BW), dikenal dua jenis penyerahan yaitu;
1. Penyerahan secara nyata (feitelijke levering)
2. Penyerahan secara hukum (yuridische levering).
Penyerahan secara nyata (feitelijke levering) yaitu perbuatan berupa penyerahan
kekuasaan belaka atau penyerahan secara phisik atas benda yang dialihkan yang
biasanya dilakukan dari tangan ke tangan, kecuali barang yang akan diserahkan itu
berada dalam suatu gudang, maka penyerahannya cukup dilakukan dengan
menyerahkan kunci dari gudang tersebut. Penyerahan secara hukum

(yuridische

levering) yaitu perbuatan hukum memindahkan hak milik atas suatu benda dari

seorang kepada orang lain, perbuatan hukum mana dilakukan dengan membuat surat

Universitas Sumatera Utara

30

atau akta penyerahan yang disebut “akta van transport” dan diikuti pendaftaran di
lembaga pendaftaran yang diperuntukkan untuk itu. H.F.A.Vollmar39 mengemukakan
bahwa penyerahan yuridis adalah perbuatan hukum pada mana dan karena mana hak
eigendom (atau salah satu hak harta kekayaan lain) diperalihkan. Dari kedua istilah
penyerahan ini, yaitu penyerahan secara hukum (yuridische levering) dan penyerahan
secara nyata (feitelijke levering), tentunya mempunyai perbedaan antara satu dengan
yang lainnya, perbedaan ini akan tampak jelas dalam penyerahan terhadap benda
bergerak dan benda tidak bergerak.
Terhadap penyerahan benda bergerak, penyerahan secara nyata (feitelijke
levering) dan penyerahan yuridis (yuridiche levering) jatuh pada saat bersamaan,
dalam arti dengan dilakukannya penyerahan secara phisik atas benda itu, maka ketika
itu telah berpindah hak milik atas benda itu dalam arti telah terjadi penyerahan yuridis
(yuridiche levering) dan tidak diperlukan adanya akta van transport atau akta
penyerahan, jadi cukup dilakukan secara dari tangan ke tangan. Untuk penyerahan

atas benda bergerak dapat dilihat dalam Pasal 612 KUHPerdata yang menyebutkan ;
“Penyerahan kebendaan bergerak, terkecuali yang tak bertubuh, dilakukan dengan
penyerahan yang nyata akan kebendaan itu oleh atau atas nama pemilik, atau dengan
penyerahan kunci-kunci dari bangunan, dalam mana kebendaan itu berada.
Penyerahan tak perlu dilakukan, apabila kebendaan yang harus diserahkan, dengan
alasan hak lain telah dikuasai oleh orang yang hendak menerimanya”.

39

H.F.A.Vollmar I, Op.cit, hal.230.

Universitas Sumatera Utara

31

Penyerahan secara nyata (feitelijke levering) dan penyerahan yuridis (yuridische
levering)

nampak


dalam

penyerahan

benda

tidak

bergerak,

dimana

pemindahan/pengalihan hak milik atas benda tidak bergerak ini tidak cukup
dilakukan hanya penyerahan secara nyata kekuasaan atau phisik atas benda tersebut
tetapi justru yang menentukan perpindahan hak milik atas benda itu adalah pada
penyerahan secara yuridis (yuridische levering) yang dilakukan yaitu dengan cara
membuat akta penyerahan yang disebut akta van transport dan didaftar di lembaga
pendaftaran yang diperuntukkan untuk itu, misalnya untuk tanah dilakukan balik
nama pendaftaran tanah di Badan Pertanahan Nasional.
Untuk penyerahan atas benda-benda yang tidak bergerak, misalnya tanah harus

dilakukan dengan mendaftarkan akte jual belinya ke Kantor Kadaster (Kantor Balik
Nama), hal ini dapat dilihat dari ketentuan bunyi Pasal 616 KUHPerdata:
“Penyerahan atau penunjukkan akan kebendaan tak bergerak dilakukan dengan
pengumuman akan akte yang bersangkutan dengan cara ditentukan seperti dalam
Pasal 620”.
3.

Sistem dan Sahnya Penyerahan (Levering).
Berkaitan dengan sistem penyerahan (levering) ini dalam berbagai sistem

hukum dikenal apa yang disebut dengan “Causal stelsel” dan “Abstracts stelsel”. Di
dalam stelsel causal maka kekuatan yang berlaku dari penyerahan ditentukan oleh
alas hak atau titel dari penyerahan itu, sedangkan didalam stelsel abstrak maka

Universitas Sumatera Utara

32

berlakunya penyerahan itu terlepas dari pada apa yang menjadi dasar/ alas hak atau
yang menjadi titel dari penyerahan itu.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, Abdul Kadir Muhammad mengemukakan
ada dua pendapat atau teori40, yaitu :
1.

2.

Teori kausal. Menurut teori ini sah atau tidak pemindahan hak milik
tergantung pada sah atau tidak alas hak (perjanjian obligator). Jika alas
haknya sah, pemindahan hak milik sah. Teori ini diikuti dalam praktek.
Tujuannya untuk melindungi pemilik yang berhak. Penganjur teori ini
adalah Paul Scholten.
Teori abstrak. Menurut teori ini, sah atau tidak pemindahan hak milik tidak
digantungkan pada sah atau tidak alas hak. Jadi pemindahan hak milik dan
alas hak itu terpisah sama sekali. Pemindahan hak milik juga sah, walaupun
alas haknya tidak sah atau tanpa alas hak. Tujuan teori ini untuk
melindungi pihak ketiga yang jujur. Penganjurnya adalah Meyers.

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan mengemukakan bahwa sistem hukum yang
terbanyak diikuti ialah yang menganut sistem Code Civil, yaitu perpindahan hak atas
barang itu terjadi pada saat penutupan perjanjian sedangkan penyerahan merupakan
suatu feitelijke-daad saja41 yang artinya tindakan nyata pemindahan secara pisik atas
penguasaan bendanya.
Pentingnya membicarakan kedua sistem penyerahan (levering) ini karena kedua
sistem ini berkaitan dengan keabsahan perbuatan penyerahan (levering) tersebut
dikaitkan dengan keabsahan dari perjanjian obligatoir (obligatoir overeenkomst) yang
menjadi dasar dari penyerahan dimaksud. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa
penyerahan (levering) sebagai suatu perbuatan hukum mengalihkan/memindahkan
hak milik bukanlah merupakan perbuatan hukum yang berdiri sendiri melainkan
40
41

Abdul Kadir Muhammad., Hukum Perikatan,(Bandung, Alumni, 1982), hal. 108.
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Loc.cit.

Universitas Sumatera Utara

33

penyerahan (levering) adalah merupakan perbuatan lanjutan dari suatu perbuatan
hukum berupa persesuaian kehendak dari pihak-pihak yang saling mengikatkan diri
yang bertujuan mengalihkan/memindahkan hak milik yang disebut sebagai perjanjian
obligatoir (obligatoir overeenkomst) yang merupakan alas hak atau titel seperti
perjanjian jual beli, perjanjian tukar-menukar dan perjanjian hibah.
Dengan kata lain apabila perjanjian yang menjadi dasar dari suatu penyerahan
(levering) tersebut, misalnya perjanjian jual belinya, atau perjanjian tukar
menukarnya ataupun perjanjian hibahnya dikemudian hari dibatalkan karena sesuatu
hal, apakah serta-merta berakibat batalnya perpindahan/peralihan hak milik yang
telah dilakukan tersebut atau apakah sebaliknya walaupun perjanjian obligatoirnya
yaitu perjanjian jual beli, tukar-menukar atau hibahnya dibatalkan tidak serta merta
membawa akibat kepada pembatalan peralihan hak milik tersebut.
Berkaitan dengan sistem yang dianut KUHPerdata mengenai pemindahan atau
pengalihan hak milik yang terdiri atas dua tahapan yaitu tahap obligatoire
overeenkomst dan tahap zakelijke overeenkomst

42

.Maka persoalan yang penting

dalam hal ini adalah bagaimana keterkaitan antara kedua tahapan atau perbuatan
hukum tersebut. Dengan kata lain berkaitan dengan hal tersebut timbul pertanyaan
apakah sah pembalikan nama dalam jual beli atas benda tidak bergerak tersebut
tergantung pada sah atau tidak sahnya perjanjian obligatoir? Ataukah harus
dipandang terlepas dari obligatoir overeenkomst itu. Pertanyaan ini penting baik bagi
pembeli yang telah menerima/memiliki benda tersebut terutama juga bagi pihak
42

R. Subekti I, Op.cit, hal. 72

Universitas Sumatera Utara

34

ketiga yang telah memperolehnya kemudian dari pihak pembeli misalnya pembeli
tersebut kemudian menjualnya lagi kepada orang lain (pihak ketiga), karena ada
kemungkinan perjanjian jual beli yang pertama tadi dibatalkan atas gugatan orang
lain dengan dasar misalnya bahwa penjual tidak berhak menjual benda tersebut.
Contohnya; A menjual sebidang tanah kepada B yang telah diikuti dengan
penyerahan bendanya dan telah dibalik-namakan atas nama B. Kemudian B menjual
tanah tersebut kepada C. Atas gugatan X, pengadilan memutuskan membatalkan jual
beli antara A dengan si B dengan alasan bahwa A tidak berhak menjual benda
tersebut. Timbul pertanyaan apakah pembalikan nama yang telah dilakukan oleh B
menjadi tidak sah dan bagaimana pula hak yang diperoleh oleh C dalam hal
tersebut?43
Terhadap contoh tersebut di atas, maka menurut sistem causal (“causal
stelsel”) dengan dibatalkannya perjanjian jual beli tersebut, maka secara otomatis
batallah juga peralihan hak milik tersebut, sedangkan menurut sistem abstrak (abstact
stelsel) peralihan hak milik tersebut tetap sah walaupun perjanjian jual belinya
dibatalkan.
R.Subekti menyatakan bahwa menurut pendapat yang lazim dianut oleh para
ahli hukum dan para hakim, dalam BW berlaku apa yang dinamakan “causal stelsel”,
dimana memang sah atau tidaknya suatu pemindahan hak milik itu digantungkan
pada sah atau tidaknya perjanjian obligatoir44, misalnya, perjanjian jual beli atau

43
44

R. Subekti I, Op.cit, hal. 72
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

35

perjanjian schengking dan sebagainya. Dalam sistem ini dititik beratkan pemberian
perlindungan pada si pemilik, dengan mengorbankan kepentingan orang-orang pihak
ketiga.
KUHPerdata menganut sistem causal (causal stelsel) yaitu suatu sistem yang
menggantungkan sahnya penyerahan (levering) itu pada dua syarat ;
1. Sahnya titel yang menjadi dasar dilakukannya penyerahan (levering);
2. Penyerahan

dilakukan

oleh

orang

yang

berhak

berbuat

bebas

(beschikkingsbevoegd) terhadap barang yang diserahkan.
Adapun dasar hukum dianutnya sistem causal ini dalam KUHPerdata adalah
ketentuan yang diatur dalam Pasal 584 KUHPerdata, pada kalimat yang menyatakan;
“karena penunjukan atau penyerahan berdasar atas suatu peristiwa perdata untuk
memindahkan hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas atas
kebendaan itu”. Ketentuan Pasal 584 KUHPerdata tersebut mensyaratkan bahwa yang
memindahkan hak milik itu haruslah orang yang berwenang (pemilik) sebagaimana
disimpulkan dari Pasal 584 KUHPerdata yang menentukan bahwa penyerahan itu
haruslah dilakukan oleh orang yang berhak berbuat bebas atas kebendaan itu yang
berarti haruslah sebagai pemilik, kecuali mengenai benda bergerak terdapat
penyimpangan sebagaimana diatur dalam Pasal 1977 KUHPerdata yang menentukan
bahwa mengenai benda bergerak, bezitter dianggap sebagai pemilik dan karenanya
berhak memindahkan hak milik secara sah.
R.Subekti mengemukakan “sistim abstrak” yaitu sistem yang dianut di Jerman
Barat. Menurut sistem ini levering (yang dikonstruksikan sebagai suatu “zakelijke
overenkomst”) sudah dilepaskan hubungannya dengan perjanjian obligatoirnya dan

Universitas Sumatera Utara

36

berdiri sendiri. Dengan demikian maka kalau di Prancis obligatoir dan zakelijke
overeenkomst diperas menjadi satu, di negeri Belanda merupakan dua peristiwa yang
interdependen, maka di Jerman Barat zakelijke overeenkomst itu dipandang sebagai
dan dijadikan suatu perbuatan hukum (Rechtsgeschaft) tersendiri45.
Mengingat penyerahan (levering) adalah merupakan suatu perbuatan hukum
yaitu perbuatan memindahkan atau mengalihkan kepemilikan atas sesuatu benda dari
seseorang kepada orang lain, maka sangatlah penting untuk dipahami mengenai
sahnya penyerahan (levering) dimaksud.
Dari ketentuan Pasal 584 KUHPerdata tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
menurut KUHPerdata untuk sahnya penyerahan dibutuhkan beberapa syarat yaitu :
a. Berdasar atas suatu peristiwa perdata yang dalam hal ini disebut sebagai alas
hak atau titel.
b. Dilakukan oleh orang yang berhak berbuat bebas yang dalam hal ini yang
berwenang untuk memindahkannya.
ad. a. Berdasar atas suatu peristiwa perdata dimaksudkan adalah bahwa penyerahan
itu didasarkan atas suatu alas hak yang sah yaitu berupa perjanjian antara
pihak-pihak berdasar atas persesuaian kehendak yang bermaksud untuk
mengalihkan hak milik atas barang tersebut, perjanjian mana disebut sebagai
perjanjian obligatoir yaitu perjanjian yang baru pada tahap menimbulkan
kewajiban untuk menyerahkan hak milik atas benda yang bersangkutan,
misalnya perjanjian jual beli, perjanjian tukar menukar dan perjanjian hibah.
Agar tindakan pengalihan hak milik tersebut sah secara hukum maka

45

R. Subekti III, Op.cit, hal.13.

Universitas Sumatera Utara

37

disyaratkan bahwa perjanjian obligatoir yang menjadi alas hak penyerahan itu
haruslah dibuat secara sah pula. Hal ini berarti bahwa sahnya penyerahan
digantungkan kepada sahnya perjanjian yang menjadi dasar dari penyerahan
dimaksud yaitu perjanjian jual beli, perjanjian tukar menukar ataupun
perjanjian hibah.
ad. b. Dilakukan oleh orang yang berhak berbuat bebas yang dalam hal ini yang
berwenang untuk memindahkannya. Penyerahan (levering) tersebut harus
dilakukan oleh orang-orang yang berhak berbuat bebas (beschikkings
bevoged) terhadap barang-barang yang dialihkan kepemilikannya tersebut.
Hal ini berarti bahwa orang yang akan mengalihkan hak milik atas sesuatu
benda kepada orang lain disyaratkan bahwa orang tersebut haruslah berkuasa
atau berwenang penuh atas benda tersebut untuk mengalihkan atau
memindahkan hak kepemilikannya. Jadi sekiranya seseorang hanya
mempunyai hak yang terbatas atas suatu benda misalnya hanya mempunyai
hak menyewa atau memakai, maka orang yang demikian tidaklah orang yang
berhak berbuat bebas atas benda tersebut dan oleh karenanya bukanlah orang
yang berwenang untuk mengalihkan hak milik atas benda yang disewa atau
dipakainya. Ketentuan yang mensyaratkan bahwa penyerahan haruslah
dilakukan oleh orang yang berhak berbuat bebas atas bendanya adalah sesuai
dengan asas yang menyatakan bahwa tidak seorangpun dapat menyerahkan
sesuatu lebih daripada apa yang menjadi haknya. Asas ini dikenal dengan
sebutan ‘ nemo plus regel”.

Universitas Sumatera Utara

38

Mariam Darus Badrulzaman berpendapat bahwa dalam KUHPerdata dianut
ajaran bahwa untuk sahnya penyerahan dibutuhkan beberapa syarat yaitu :
a. Alas hak (rehtstitel)
b. Perjanjian

kebendaan

yang

diikuti

dengan

perbuatan

penyerahan

(pendaftaran) dan penerbitan sertifikat.
c. Wewenang menguasai (beschikkings bevoegheid)46
Adapun cara penyerahan (levering) adalah tergantung pada jenis benda yang
akan diserahkan yaitu sebagai berikut :
1. Penyerahan Benda Bergerak.
Penyerahan benda bergerak

diatur dalam Pasal 612 KUHPerdata, yang

berbunyi: “Penyerahan kebendaan bergerak, terkecuali yang tidak bertubuh,
dilakukan dengan penyerahan nyata akan kebendaan itu oleh atau atas nama pemilik,
atau dengan

penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam mana kebendaan itu

berada. Penyerahan tak perlu dilakukan, apabila kebendaan yang harus diserahkan,
dengan alasan hak lain telah dikuasai oleh orang yang hendak menerimanya.” Dari
ketentuan pasal tersebut di atas menyatakan bahwa cara pelaksanaan penyerahan atas
benda bergerak dilakukan secara nyata (feitelijke) dari tangan ke tangan tanpa adanya
suatu formalitas tertentu berupa akte penyerahan. Bahkan jika yang akan diserahkan
tersebut berupa benda yang berada dalam suatu gudang, maka penyerahan benda
tersebut cukup dengan penyerahan kunci gudang tersebut. Sekiranya benda yang akan
diserahkan tersebut telah berada dalam penguasaan seseorang yang akan menerima
46

Mariam Darus Badrulzaman , Op.cit, hal. 40

Universitas Sumatera Utara

39

penyerahan benda tersebut sebagai houder misalnya penyewa, maka dalam hal
demikian tidak perlu lagi dilakukan penyerahannya melainkan dengan terjadinya
perjanjian yang menjadi dasar dari penyerahan tersebut, hak milik atas barang
tersebut otomatis berpindah. Penyerahan yang demikian dinamakan “tradition brevi
manu” atau “levering met de korte hand” atau yang disebut penyerahan secara tangan
pendek.
Mr.N.E.Algra & K.Van Duyyendijk mengemukakan; sehubungan dengan
pertanda luar, maka undang-undang bertitik tolak demikian nyata dari pasal ini,
bahwa untuk penyerahan milik mengenai barang bergerak melalui pengadaan
penguasaan, harus terjadi sesuatu yang dapat dilihat: memberikan barang itu,
menyerahkan kunci47. Atas peraturan pokok ini undang-undang memberikan suatu
pengecualian, yang memungkinkan pertukaran penguasaan yang tidak kelihatan.
Pasal 612 ayat 2 KUHPerdata; “Penyerahan itu tidak perlu dilakukan, apabila
kebendaan yang harus diserahkan dengan alasan hak lain misalnya alasan hak sewa,
pinjam pakai” telah dikuasai oleh orang yang hendak menerimanya. Dengan lain
perkataan apabila seseorang kepada siapa milik barang itu harus diserahkan, telah
menguasai barang itu (misalnya berdasarkan alasan hak hukum pinjam pakai atau
sewa), maka penyerahan itu tidak perlu dilakukan. Dari apa yang dikemukakan oleh
Mr.N.E.Algra tersebut di atas bahwa penyerahan akan kebendaan bergerak tersebut
terjadi secara nyata, melalui pengadaan penguasaan yang dapat dilihat yaitu dengan
memberikan barang itu atau menyerahkan kunci, kecuali jika barang yang akan
47

Mr.N.E.Algra & K.Van Duyvendijk, Op.cit, hal. 240.

Universitas Sumatera Utara

40

diserahkan itu sebelumnya telah berada dalam penguasaan oleh pihak yang akan
memerimanya maka pengalihan hak itu tidak kelihatan.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa hak milik atas sesuatu barang hanya
dapat berpindah secara sah, jika seseorang memperolehnya dari orang yang berhak
memindahkan hak milik atas barang tersebut yaitu pemiliknya. Akan tetapi dapat
dimaklumi bahwa kelancaran lalu-lintas hukum akan sangat terkendala bila dalam
setiap perjanjian yang bermaksud mengalihkan barang bergerak misalnya dalam jual
beli, pihak pembeli tersebut harus terlebih dahulu menyelidiki apakah pihak penjual
tersebut sungguh-sungguh mempunyai hak milik atas barang tersebut. Guna
kepentingan lalu lintas hukum itulah maka Pasal 1977KUHPedara menetapkan
mengenai barang bergerak si penjual dianggap sudah cukup membuktikan hak
miliknya dengan mempertunjukkan bahwa ia menguasai barang itu seperti seorang
pemilik, yaitu bahwa menurut keadaan yang tampak keluar barang itu seperti
kepunyaannya sendiri (bezit). Selengkapnya Pasal 1977 KUHPerdata menyebut;
“Terhadap benda bergerak yang tidak berupa bunga, maupun piutang yang tidak
harus dibayar kepada si pembawa maka barang siapa yang menguasainya dianggap
sebagai pemiliknya”. Jadi seseorang yang hendak mengalihkan benda bergerak
tersebut tak perlu ia memperlihatkan cara bagaimana ia mendapatnya (titel-nya), tak
perlu ia memperlihatkan tanda bukti tentang hak miliknya, cukuplah ia mempunyai
bezit menurut pengertian hukum. Dan sipembeli yang percaya pada adanya bezit
dipihak si penjual ia akan dilindungi oleh undang-undang, dan jika kemudian ternyata
bahwa si penjual itu bukan pemilik, melainkan misalnya hanya seorang pemakai

Universitas Sumatera Utara

41

berdasar pinjam pakai, maka si pembeli tetap sebagai pemilik baru atas barang itu.
Oleh karenanya Pasal 1977 KUHPerdata tersebut memberi perlindungan hukum bagi
pembeli, dan mengorbankan kepentingan pemilik yang sejati. Jika dikaji dari sisi
keadilan dan kepastian hukum maka ketentuan Pasal 1977 KUHPerdata tersebut
sudah mencerminkan keadilan dan kepastian hukum, namum penerapan Pasal 1977
KUHPerdata tersebut tidak berlaku bagi barang yang berasal dari hasil pencurian.
Orang yang kecurian berhak meminta kembali barangnya dari tiap orang yang
memegangnya.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman Pasal 1977 KUHPerdata dengan asas
“Bezit geldt als volkomen titel” telah merubah peranan dari syarat-syarat penyerahan
(levering) khususnya wewenang menguasai48. Pasal ini menghapuskan syarat wenang
menguasai yang disebut dalam pasal 584 KUHPerdata. Mariam Darus Badrulzaman
menyimpulkan, ada beberapa cara penyerahan benda bergerak/berwujud sebagai
berikut :
a. Dengan penyerahan nyata (feitelijke levering) Pasal 612 KUHPerdata
dengan perkataan lain dari tangan ke tangan.
b. Penyerahaan simbolis (tradition simbolica) Pasal 612 KUHPerdata misalnya
dengan penyerahan kunci dari gudang.
c. Penyerahan dengan cara pendek (tradition brevi manu), Pasal 612
KUHPerdata terjadi dalam hal benda yang akan diserahkan dengan alas hak
yang lain telah berada dalam penguasaan orang yang berhak menerimanya.
d. Penyerahan dengan cara panjang (tradition longa manu), terjadi jika benda
yang akan diserahkan berada dalam penguasaan pihak ketiga.
e. Constitutum possessorium, terjadi jika benda yang akan diserahkan berada
dalam tangan pemilik semula.49

48
49

Mariam Darus Badrulzaman , Op.cit, hal .71
Ibid, hal. 70

Universitas Sumatera Utara

42

2. Penyerahan untuk benda tidak bergerak (on roerende zaken).
Mengenai

penyerahan

(levering)

benda

tidak

bergerak

ini

haruslah

memperhatikan ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria yang diatur dalam UU
Nomor 5 tahun 1960, dimana penyerahan atas tanah tidak berlaku lagi ketentuan yang
diatur dalam KUHPerdata melainkan yang mengaturnya adalah ketentutan UndangUndang Pokok Agraria.
Dalam ketentuan KUHPerdata penyerahan benda tidak bergerak diatur dalam
Pasal 616. Yang menyatakan; “Penyerahan atau penunjukkan akan kebendaan tak
bergerak dilakukan dengan cara pengumuman akta-akta yang bersangkutan dengan
cara seperti yang ditentukan dalam Pasal 620 KUHPerdata”. Sedangkan Pasal 620
KUHPerdata tersebut menyatakan: “Dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan
termuat dalam tiga pasal yang lalu, pengumuman termaksud di atas dilakukan dengan
memindahkan sebuah salinan otentik yang lengkap dari akta otentik atau keputusan
yang bersangkutan ke kantor penyimpan hipotik, yang mana dalam lingkungannya
barang-barang tak bergerak yang harus diserahkan itu berada, dan dengan
membukukannya dalam register”. R.Subekti mengemukakan; penyerahan-mengenai
benda tidak bergerak- harus dilakukan dengan pembuatan suatu tulisan yang
dinamakan “akte van transport” (surat penyerahan), yang dibuat secara resmi
(authentiek), di depan notaris50. Akte tersebut berupa suatu keterangan timbal-balik
yang ditandatangani bersama oleh si penjual dan si pembeli, yang secara pokok berisi
disatu pihak penjual menyerahkan hak milik atau benda yang bersangkutan. Biasanya
50

R.Subekti I, Op.cit, hal .72.

Universitas Sumatera Utara

43

si penjual itu bersama-sama menghadap pegawai pengurusan pembalikan nama
(Overschrijvings ambtenaar, sekarang Pegawai Kadaster) untuk bersama-sama
melaksanakan pembalikan nama. Tetapi menurut pendapat yang lazim dianut,
sipembeli itu juga dapat menghadap sendirian saja, jika ia sudah memegang akte van
transport, karena itu berarti ia telah mendapat kuasa dari si penjual untuk
melaksanakan sendiri pembalikan nama itu.
3. Penyerahan benda tidak bertubuh (onlichamelijk zaak)
Untuk penyerahan benda tidak berwujud (bertubuh) diatur dalam Pasal 613
KUHPerdata yang menyatakan: “Penyerahan akan piutang atas nama dan kebendaan
tak bertubuh lainnya, dilakukan dengan jalan membuat sebuah akte autentik atau
dibawah tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang
lain. Penyerahan yang demikian bagi si berutang tiada akibatnya, melainkan setelah
penyerahan itu diberitahukan kepadanya, atau secara tertulis disetujui dan diakuinya.
Penyerahan tiap-tiap piutang karena surat-bawa dilakukan dengan penyerahan surat
itu, penyerahan tiap-tiap piutang karena surat-tunjuk dilakukan dengan penyerahan
surat disertai dengan endossemen”.
Dari ketentuan tersebut di atas maka yang disebut dengan benda yang tidak
berwujud atau atau tidak bertubuh adalah terdiri dari ;
1.

Piutang atau tagihan atas nama (op naam)

2.

Piutang Surat-bawa (aan toonder)

3.

Piutang Surat-tunjuk (aan order).

Universitas Sumatera Utara

44

ad. 1. Penyerahan piutang atau tagihan atas nama (op naam) ini disebutkan dalam
Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata tersebut, yaitu dilakukan dengan “cessie” yaitu
dengan cara membuat akta otentik ataupun di bawah tangan dengan mana
dinyatakan

bahwa

piutang

itu

telah

dipindahkan

kepada

seseorang.

H.F.A.Vollmar51 menyatakan dengan cessie ini hakekatnya adalah penggantian
kreditur yang semula (cedent) oleh orang lain (cessionaries) maka ini adalah
mengenai sesuatu soal yang sebagian juga termasuk dalam hukum perutangan,
lebih dimana penyerahan tersebut selain pihak-pihak, juga selalu orang ketiga
tersangkut, yaitu debitur. Dalam proses penyerahan secara cessie ini kreditur
lama disebut dengan “cedent” debitur disebut dengan “cessus” dan kreditur
baru yakni terhadap siapa piutang itu diserahkan atau dialihkan disebut dengan
“cessionaris”. Syarat utama penyerahan piutang atau tagihan atas nama (op
naam) ini di dalam Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata tersebut diatas disebutkan
harus dibuat dengan suatu akta otentik ataupun akta dibawah tangan, sehingga
penyerahan secara lisan tidaklah sah. Selanjutnya agar peralihan itu atau cessie
ini berlaku terhadap debitur, maka hal ini harus diakui olehnya secara tertulis
atau apabila debitur menolak untuk mengakui, maka penyerahan tersebut harus
diberitahukan kepadanya secara resmi (betekenen). ad. 2. Penyerahan piutang
surat-bawa (aan tonder) diatur dalam Pasal 613 ayat 3 KUHPerdata, dimana
dilakukan dengan cara penyerahan nyata (feitelijke levering).

51

H.F.A.Vollmar II, Op.cit, hal 98.

Universitas Sumatera Utara

45

ad. 3. Penyerahan piutang atas-tunjuk (aan order) diatur dalam Pasal 613 ayat 3
KUHPerdata, yaitu dilakukan dengan penyerahan dari surat itu disertai dengan
endossemen. Endossemen dimaksudkan yaitu dengan menuliskan di balik surat
piutang itu yang menyatakan kepada siapa piutang tersebut dipindahkan.
Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan, Endosemen adalah pernyataan
penyerahan (overdrachts verklaring) yang ditanda-tangani kreditur (endosan)
yang bertindak sebagai pemberi dan harus memuat nama pemegang52.
B. Konsepsi Jual Beli Tanah.
1.

Jual Beli Menurut KUHPerdata
Perjanjian jual beli sebagai suatu perjanjian pertama-tama harus memenuhi

syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata
menyatakan bahwa : “untuk sahnya sebuah perjanjian diperlukan empat syarat:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Empat syarat tersebut dalam Pasal 1320 KUHPerdata itu adalah syarat yang
pokok dari suatu perjanjian, tanpa syarat itu perjanjian dianggap tidak sah secara
hukum. Dua syarat yang pertama pada point (1) dan (2) disebut dengan syarat
subjektif, karena mengenai orang atau para pihak dalam suatu perjanjian. Sedangkan

52

Mariam Darus Badrulzaman , Op.cit, hal. 96.

Universitas Sumatera Utara

46

dua syarat yang berikutnya pada point (3) dan (4) disebut sebagai syarat objektif,
karena mengenai objek perjanjiannya sendiri atau mengenai objek dari suatu
perjanjian yang dilakukan.

ad.1. Dengan sepakat dimaksudkan bahwa kedua belah pihak yang mengadakan
perjanjian harus ada saling sepakat, setuju, serta seia sekata mengenai hal-hal
yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Para pihak yang mengadakan
perjanjian itu di dalam memberi persetujuannya harus berdasar kehendak bebas
tanpa ada unsur paksaan atau tekanan dari pihak manapun juga dan tidak
diberikan karena kekhilafan ataupun karena penipuan. Oleh karenanya tidak ada
tercapai kata sepakat, apabila kesepakatan itu diberikan karena kekhilafan,
paksaan dan penipuan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1321 KUHPerdata yang
menyebutkan; ”Tidak ada sepakat yang syah apabila sepakat itu diberikan
karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.
Selanjutnya mengenai kekhilafan ini dijelaskan dalam Pasal 1322 KUHPerdata,
yang membagi kekhilafan itu dalam 2 (dua) jenis yaitu kekhilafan mengenai
hakekat benda yang menjadi pokok perjanjian yang disebut dengan error in
substansia dan kekhilafan mengenai orangnya atau subjeknya yang disebut
dengan error in persona. Kekhilafan mengenai hakekat benda yang
diperjanjikan maksudnya adalah kekhilafan itu ditujukan atau mengenai sifat
benda yang merupakan tujuan sesungguhnya bagi kedua belah pihak dalam
mengadakan perjanjian, misalnya seseorang yang beranggapan bahwa ia telah

Universitas Sumatera Utara

47

membeli lukisan hasil karya Basuki Abdullah, ternyata yang dibelinya itu
adalah tiruan. Kekhilafan mengenai orangnya dimaksudkan bahwa kekhilafan
itu harus sedemikian rupa sehingga seandainya orang itu tidak khilaf mengenai
hal itu dianya tidak akan menyetujuinya, misalnya seseorang yang mengadakan
suatu kontrak dengan orang yang dikiranya sebagainya penyanyi terkenal,
padahal bukanlah orang itu yang dimaksudkan yang kebetulan namanya saja
yang bersamaan. Paksaan adalah paksaan terhadap badan (pisik) dan paksaan
terhadap jiwa (psikis) dan paksaan yang dilarang oleh undang-undang53.
Paksaan psikis adalah paksaan biasa yang hanya dapat membatalkan sebagian
dari perjanjian, karena pihak yang dipaksa tersebut masih dapat melaksanakan
kehendaknya walaupun kehendaknya itu dipengaruhi oleh suatu ancaman.
Sedangkan paksaan pisik adalah paksaan keras, yang menyebabkan perjanjian
itu batal secara mutlak, karena pihak yang dipaksa tidak mempunyai kehendak
sama sekali, sehingga yang dipaksa tidak mungkin untuk melakukan yang lain
daripada itu, misalnya orang yang dipegang tangannya oleh orang lain yang
lebih kuat untuk membubuhkan tanda tangannya atas sesuatu kontrak.
Dengan penipuan dimaksudkan apabila mempergunakan perbuatan tipu
muslihat sehingga bagi pihak lain ditimbulkan suatu gambaran yang tidak benar
tentang suatu hal yang diperjanjikan, demikian dikatakan oleh Pasal 1328
KUHPerdata. Suatu penipuan tidak hanya sangkaan melainkan harus

53

Marhainis Abdulhay, Hukum Perdata Materil (Jakarta: Pradnya Paramita, 1984), hal. 80.

Universitas Sumatera Utara

48

dibuktikan. Penipuan juga merupakan suatu alasan untuk pembatalan suatu
perjanjian.
ad. 2. Syarat kedua untuk syahnya suatu perjanjian adalah kecakapan dari subjek yang
mengadakan perjanjian. Yang dimaksudkan adalah orang atau para pihak yang
mengadakan perjanjian itu haruslah orang yang cakap melakukan perbuatan
hukum. Dalam Pasal 1329 KUHPerdata dikatakan; ”Setiap orang adalah cakap
untuk membuat perikatan-perikatan jika oleh undang-undang tidak dinyatakan
tidak cakap”. Pada umumnya seseorang itu dikatakan cakap melakukan
perbuatan hukum apabila ia sudah dewasa, artinya sudah mencapai usia 21
tahun. Demikian diisyaratkan oleh Pasal 1330 KUHPerdata yang menyatakan
tidak cakap membuat persetujuan-persetujuan adalah;
1.

Orang yang belum dewasa.

2.

Mereka yang ditaruh dibawah pengampunan.

3.

Orang-orang perempuan, dalam hal ini yang di tetapkan oleh undangundang pada umumnya semua orang kepada siapa undang-ndang telah
melarang membuat perjanjian tersebut”.
Yang disebut orang yang belum dewasa adalah diatur dalam Pasal 330
KUHPerdata yang menyebutkan; ”Belum dewasa adalah mereka yang
belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu
telah kawin”. Sedangkan yang ditaruh dibawah pengampuan adalah diatur
dalam Pasal 433 KUHPerdata yang menyebutkan; ”Setiap orang dewasa,

Universitas Sumatera Utara

49

yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus
ditaruh dibawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap
mempergunakan pikirannya”
ad. 3. Sebagai syarat yang ke 3 (tiga) adalah suatu hal tertentu atau biasa juga disebut
dengan objek tertentu. Suatu hal tertentu merupakan objek perjanjian,
merupakan prestasi yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian. Prestasi dalam
hal ini dapat diartikan sebagai suatu hal yang harus dilaksanakan oleh pihak
yang berjanji atau dalam hal para pihak saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu dalam perjanjian. Prestasi itu harus tertentu atau sekurang-kurangnya
dapat ditentukan. Apa yang diperjanjikan harus cukup jelas, ditentukan jenisnya
dan jumlah boleh tidak ditentukan (disebutkan) tetapi asal dapat dihitung dan
ditetapkan, demikian ditentukan oleh Pasal 1333 KUHPerdata. Kemudian oleh
Pasal 1332 KUHPerdata dikatakan hanya barang-barang yang dapat
diperdagangkan saja yang dapat dijadikan objek perjanjian.
ad. 4. Sebagai yang terakhir yang ke 4 (empat) dari syarat syahnya suatu perjanjian
adalah suatu sebab yang halal. Kata sebab adalah terjemahan kata causa yang
berasal dari bahasa latin, dalam bahasa Belanda disebut oorzaak. Wirjono
Prodjodikoro menterjemahkan kata causa dalam hukum perjanjian adalah isi
dan tujuan suatu persetujuan, yang menyebabkan adanya persetujuan itu54. Di
lain pihak R. Subekti mempunyai pendapat yang hampir sama, bahwa oleh

54

Wirjono Prodjodikoro, Op.cit, hal. 35.

Universitas Sumatera Utara

50

beliau yang dimaksudkan dengan sebab atau causa dari suatu perjanjian, adalah
isi dari pada perjanjian itu sendiri55.
Perjanjian jual beli pada umumnya merupakan perjanjian konsensual karena
mengikat para pihak saat terjadinya kesepakatan para pihak tersebut mengenai unsur
esensialia dan aksidentalia dari perjanjian tersebut. Perjanjian jual beli pada
umumnya dikatakan merupakan perjanjian konsensual karena ada juga perjanjian jual
beli yang termasuk perjanjian formal, yaitu yang mengharuskan dibuat dalam bentuk
tertulis yang merupakan akta otentik, yakni jual beli barang-barang tidak bergerak.
Dalam suatu proses jual beli terdapat dua sisi hukum perdata, yaitu hukum kebendaan
dan hukum perikatan. Dikatakan sebagai hukum kebendaan karena dalam hal jual beli
melahirkan hak pada masing-masing pihak atas tagihan (penjual dan pembeli), yang
berupa penjual menerima penyerahan pembayaran harga jual dari pihak pembeli
sedangkan pembeli menerima penyerahan hak atas kebendaan. Sedangkan dari sisi
hukum perikatan, jual beli melahirkan kewajiban kepada masing-masing pihak.
Dimana penjual wajib menyerahkan hak atas kebendaan yang dijual kepada pembeli
sedangkan pembeli wajib membayar harga atas barang yang dibeli tersebut56.
Menurut ketentuan Pasal 1457 KUHPerdata menyatakan bahwa: “jual beli adalah
suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk
menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang
telah diperjanjikan”. Dari bunyi pasal tersebut terlihat bahwa, yang menjadi unsur
55
56

R.Subekti II, Op.cit, hal. 30.
Gunawan Widjaya dan Kartini Mulyadi, Jual Beli (Jakarta: Raja Grafindo Perada, 2003),

hal.7.

Universitas Sumatera Utara

51

perjanjian jual beli adalah mengenai barang dan harga, hal ini relevan dengan asas
“konsensualisme” yang menjiwai hukum perjanjian dari Kitab Undang-undang
Hukum Perdata. Perjanjian jual beli itu telah dilahirkan pada detik tercapainya
sepakat diantara para pihak mengenai barang dan harga, maka lahirlah perjanjian jual
beli yang sah.
R.Subekti mengemukakan; unsur pokok (“essentialia”) perjanjian jual beli
adalah barang dan harga57. Sesuai dengan asas konsensualisme yang menjiwai
hukum perjanjian, perjanjian jual beli itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya
sepakat mengenai barang dan harga. Begitu kedua belah pihak sudah setuju tentang
barang dan harga, maka lahirlah perjanjian jual beli yang sah.
Bahwa jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban
atau perikatan untuk memberikan sesuatu, yang dalam hal ini terwujud dalam bentuk
penyerahan kebendaan yang dijual oleh penjual dan penyerahan uang oleh pembeli
kepada penjual. Sifat konsensuil jual beli ini ditegaskan dalam Pasal 1458
KUHPerdata yang berbunyi: “Jual beli dianggap telah terjadi diantara kedua belah
pihak sewaktu mereka telah mencapai sepakat tentang barang dan harga meskipun
barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayàr”.
Salah satu sifat yang penting lagi dari jual beli menurut sistem KUHPerdata,
adalah bahwa perjanjian jual beli itu hanya “obligatoir” saja, artinya jual beli itu
belum memindahkan hak milik. Ia baru memberikan hak dan meletakkan kewajiban
pada kedua belah pihak yaitu memberikan kepada si pembeli hak untuk menuntut
57

R.Subekti III, Op.cit, hal. 2.

Universitas Sumatera Utara

52

diserahkannya hak milik atas barang yang dijual. Sifat ini nampak jelas dari Pasal
1459 KUHPerdata, yang menerangkan bahwa hak milik atas barang yang dijual
tidaklah berpindah kepada si pembeli selama penyerahannya belum dilakukan
menurut

ketentuan-ketentuan

yang

bersangkutan.58

Wirjono

Projodikoro59

menyatakan persetujuan jual beli hanya mempunyai sifat “obligatoire” artinya tidak
berdaya langsung mengenai kedudukan barangnya”. Jadi jual beli tersebut tidak
langsung mengenai kedudukan benda (zaakelijk) hanya mengikat (obligatoir).
Dalam perjanjian jual beli, penjual berkewajiban :
a.

Menyerahkan barang yang dijual dalam keadaan baik, artinya benda yang
diserahkan itu harus sesuai dengan yang diperjanjikan.

b.

Menjamin kenikmatan tenteram bagi pembeli atas penguasaan benda
tersebut sebagai konsekwensi bahwa penjual adalah benar sebagai pemilik
atas benda itu.

c.

Menanggung barang yang diserahkan atas cacad yang tersembunyi.

Sedangkan kewajiban pembeli adalah :
a.

Membayar harga barang dengan sejumlah uang sesuai dengan yang
disepakati;

b.

Memikul biaya yang timbul dari perjanjian jual beli seperti ongkos antar,
biaya surat-surat atau akta dan sebagainya, kecuali diperjanjikan lain oleh
kedua belah pihak.

58

R.Subekti III, Op.cit, hal. 80.
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-persetujuan
(Bandung, Alumni, 1981), hal. 18.
59

Tertentu,

Universitas Sumatera Utara

53

Bahwa perjanjian jual beli belumlah memindahkan hak milik sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 1459 KUHPerdata yang menyebutkan: “Hak milik atas
barang yang dijual tidaklah berpindah kepada sipembeli, selama penyerahannya
belum dilakukan menurut Pasal 612,613 dan 616”.
2.

Jual Beli Tanah Menurut UUPA
Jual beli tanah memiliki corak khusus, sehingga berbeda dengan jual beli pada

umumnya yang diatur dalam KUHPerdata. Sebelum berlakunya UUPA terdapat
dualisme hukum agraria dan oleh karenanya terdapat dua pengaturan mengenai jual
beli tanah, yaitu jual beli tanah menurut hukum barat dalam hal ini KUHPerdata dan
menurut hukum adat. Namun sejak berlakunya UUPA maka terjadilah inifikasi
hukum agraria sehingga pengaturan jual beli tanah tunduk kepada UUPA.
Jual beli dengan objek hak atas tanah, juga dilakukan dengan perjanjian untuk
lebih memberikan kepatian hukum, karena hak atas tanah termasuk objek perjanjian
yang secara khusus diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
dalam hal ini UUPA, dimana setiap perbuatan hukum yang menyangkut tentang hak
atas tanah terikat atau harus mengikuti ketentuan yang diatur dalam UUPA. Namun
perlu dipahami bahwa walaupun perbuatan jual beli terkait dengan hak atas tanah
tanah tunduk kepada UUPA namum dalam hal jual beli tanah sebagai suatu perbuatan
hukum yaitu perjanjian, maka sebagai suatu perjanjian haruslah memenuhi syaratsyarat yang diatur dalam KUHPerdata sebagai hukum yang mengatur tentang
perjanjian.

Universitas Sumatera Utara

54

Dalam UUPA tidak ada dijelaskan apa yang dimaksudkan dengan jual beli
tanah itu, namun walaupun demikian mengingat hukum agraria kita sekarang ini
berdasar atas hukum adat, maka pengertian jual beli tanah sekarang ini harus pula
diartikan menurut konsep pengertian hukum adat yaitu sebagai perbuatan hukum
yang berupa penyerahan hak milik (penyerahan tanah untuk selama-lamanya) oleh
penjual kepada pembeli, yang pada saat itu juga menyerahkan harganya kepada
penjual.60
Dalam UUPA istilah jual beli hanya diatur dalam satu pasal yaitu Pasal 26 dan
dalam pasal lainnya disebutkan sebagai dialihkan. Pasal 26 UUPA menyebutkan;
“Jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut
adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkkan hak milik
serta pengawasannya diatur dengan peraturan pemerintah”. Oleh karenanya jual beli
sebagai perbuatan untuk memindahkan hak milik atas tanah diawasi dan diatur dalam
Peraturan Pemerintah, artinya Pemerintah turut campur dalam hal perbuatanperbuatan hukum yang bermaksud untuk memindahkan hak milik atas tanah, dalam
hal ini khususnya perbuatan jual beli tanah.
Istilah lain dari jual beli tanah dalam UUPA yaitu sebagai dialihkan. Pengertian
dialihkan menunjukkan suatu perbuatan hukum yang disengaja untuk memindahkan
hak atas tanah kepada pihak lain melalui jual beli, tukar menukar dan hibah wasiat.
Namun dalam pasal 5 UUPA disebutkan bahwa hukum tanah nasional kita adalah
hukum adat maka jual beli tanah dalam UUPA adalah sesuai dengan hukum adat.
60

Effendi Perangin-angin, Op.cit, hal. 13.

Universitas Sumatera Utara

55

Menurut hukum adat jual beli tanah adalah suatu perbuatan pemindahan hak
atas tanah yang bersifat terang dan tunai. Terang berarti perbuatan pemindahan hak
atas tanah tersebut dilakukan dihadapan Kepala Adat yang berperan sebagai pejabat
yang menanggung keteraturan dan sahnya perbuatan pemindahan hak tersebut,
sehingga perbuatan pemindahan hak atas tanah tersebut diketahui oleh umum. Tunai
makudnya bahwa perbuatan pemindahan hak dan pembayaran harganya dilakukan
serentak. Oleh karena dibayar kontan atau baru dibayar sebagian (dianggap tunai) dan
kekurangan pembayaran dianggap sebagai hukum utang piutang.61
Menurut Efendi Parangin mengemukakan sifat jual beli tanah adat adalah :62
1) Contant atau Tunai.
Contant atau Tunai, artinya harga tanah yang dibayar itu bisa seluruhnya,
tetapi bisa juga sebagaian. Tetapi biarpun dibayar sebagain, menurut
hukum dianggap telah dibayar penuh. Pembayaran harga dan penyerahan
haknya dilakukan pada saat bersamaan. Pada saat itu jual beli menurut
hukum telah selesai. Sisa harga yang belum dibayar dianggap sebagai
hutang piutang kepada bekas pemilik tanah (penjual).
2) Terang.
Terang artinya jual beli tanah tersebut dilakukan dihadapan Kepala Desa
(Kepala Adat) yang tidak hanya bertindak sebagai saksi tetapi dalam
kedudukannya sebagai pihak yang menanggung bahwa jual beli tersebut
tidak melanggar hukum yang berlaku.
Jual beli tanah menurut hukum adat merupakan suatu perbutan hukum
permindahan hak atas tanah dari penjual kepada pembeli pada saat dibayarnya harga
tanah secara tunai (contant) oleh pembeli kepada penjual. Jual beli tanah menurut
hukum adat bukan merupakan suatu perjanjian keperdataan sesuai dengan
KUHPerdata.
61
62

Sorjono Soekanto, Hukum Adat Indoneia (Jakarta: Rajawali, 1983), hal. 211.
Efendi Perangin, Op.cit, hal. 16.

Universitas Sumatera Utara

56

Sebagaimana dikemukakan Urip Santoso63 bahwa jual beli menurut hukum adat
bukanlah merupakan perjanjian jual beli sebagaimana ditegakan dalam pasal 1457
BW, melainkan suatu perbuatan hukum yang dimakudkan untuk memindahkan hak
atas tanah dari pemegang hak (penjual) kepada pihak lain (pembeli) dengan
pembayaran sejumlah uang secara tunai (contant) dan dilakukan di hadapan Kepala
Desa/Kepala Adat setempat (bersifat terang).
Pemerintah telah mengeluarkan peraturan pelakana atas UUPA yaitu Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 sebagaimana telah dirobah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Terkait dengan apa
yang diamanatkan dalan Pasal 26 UUPA tersebut diatas yang menyatakan bahwa
setiap perbuatan yang bermaksud untuk mengalihkan hak milik atas tanah (dalam hal
ini jual beli) termasuk pegawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah, maka
ketentuan peraturan pemerintah dimaksud adalah antara lain Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1961 sebagaimana telah dirobah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
Dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang menyatakan:
Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual
beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum
pemindahan hak lainnya, kecuali pemidahan hak melalui lelang hanya dapat
didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang
berwenang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Dari ketentuan tersebut diatas menunjukkan bahwa pengalihan hak atas tanah
berdasar jual beli terdiri dari tahapan perbuatan hukum sebagai berikut :
a). tahap perjanjian jual belinya yaitu tahap obligatoir yang melahirkan hak
dan kewajiban, hal ini terlihat dari rumusan yang menyebut :-----,,melalui
jual beli, tukar menukar-----”.
63

Urip Santoso, Op.cit, hal. 362.

Universitas Sumatera Utara

57

b). tahap perbuatan hukum pemindahan hak yaitu tahap zakelijk yang harus
dibuat dengan akta PPAT, hal ini terlihat dari rumusan yang menyebut : --------,,peralihan hak atas tanah------” .
c). tahap pendaftaran, dimana pendaftaran ini hanya bisa dilakukan