Problematika Hukum Atas Levering Dari Objek Hak yang Dibuat Dalam Akta Jual Beli Tanah Chapter III V

63

BAB III
PPAT SELAKU PEJABAT YANG BERWENANG MEMBUAT AKTA
PERALIHAN DAN PENDAFTARAN AKTA PERALIHAN
HAK ATAS TANAH
A. Tentang PPAT
1.

Pengertian PPAT
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) mulai dikenal sejak berlakunya UUPA.

Dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah sebagai ketentuan pelaksana dari UUPA tersebut dimana dalam ketentuan
tersebut diperkenalkan PPAT sebagai pejabat yang berfungsi membuat akta yang
bermaksud memindahkan/ mengalihkan hak atas tanah. Selanjutnya ketentuan yang
mengatur tentang PPAT ini telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun
1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut
PJPPAT). dimana dalam Pasal 1 ditegaskan apa yang dimaksud dengan PPAT yaitu:
“Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang

diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum
tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun”.
A.P.Parlindungan menyatakan, PPAT adalah pejabat umum yang diangkat oleh
pemerintah tetapi tidak digaji oleh pemerintah dan mempunyai kekuasaan umum
artinya akta-akta yang diterbitkan merupakan akta otentik.68. Effendi Perangin
menyatakan, PPAT adalah pejabat yang berwenang membuat akta daripada
68

A.P.Parlindungan, Bunga Rampai Hukum Agraria Serta Landreform Bagian I (Bandung:
Mandar Maju, 1989), hal. 131.

63

Universitas Sumatera Utara

64

perjanjian-perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan
sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan hak atas tanah atau meminjamkan uang
dengan hak atas tanah sebagai tanggugan.69 Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah pada Pasal 1 disebutkan Pejabat Pembuat
Akta Tanah selanjutnya disebut PPAT adalah Pejabat umum yang diberi kewenangan
untuk membuat akta-akta tanah tertentu, sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggugan pada Pasal 1 disebutkan: “Pejabat Pembuat Akta
Tanah, yang selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi wewenang
untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah,
dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku”.
Dari pengertian diatas yang menyebutkan bahwa PPAT adalah pejabat umum
yang artinya sebagai organ Negara, akan tetapi PPAT sebagai pejabat umum bukan
sebagai Pejabat Tata Usaha Negara dan bukan sebagai Pegawai Pemerintah atau
Pegawai Negeri. Walaupun PPAT diangkat oleh Pejabat yang berwenang, akan tetapi
PPAT bukan pegawai negeri karena jabatan sebagai PPAT bukan jabatan yang digaji.
PPAT tidak menerima gaji dari pemerintah, melainkan PPAT menerima honor atau
pembayaran dari yang memakai jasanya. Pejabat Umum tidak dapat disamakan
dengan Pejabat Tata Usaha Negara karena kewenangan yang dimiliki oleh seorang
Pejabat Umum adalah berasal dari kewenangan atribusi, yaitu kewenangan yang

69


Effendi Perangin, Hukum Agraria di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 3.

Universitas Sumatera Utara

65

melekat pada suatu jabatan. Sedangkan kewenangan yang dimiliki oleh Pejabat Tata
Usaha Negara berasal dari kewenangan delegasi dan mandat dari atasannya.70
Selain PPAT sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah, ada juga Pejabat Pembuat
Akta Tanah Sementara dan Pejabat Pembuat Akta Tanah Khusus. Adapun yang
dimaksud dengan PPAT Sementara adalah pejabat pemerintah yang ditunjuk karena
jabatannya untuk melaksanakan tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah dengan membuat
akta PPAT didaerah yang belum cukup terdapat Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Sedangkan PPAT Khusus adalah pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk
karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT
tertentu, khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas pemerintah tertentu
sebagaimana diatur dalam pasal 1 Perka BPN Nomor 1 Tahun 2006 sebagai Peraturan
Pelaksana PP Nomor 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT.
2.


Pengangkatan dan Pemberhentian PPAT.
PPAT diangkat untuk suatu daerah kerja tertentu dan diberhentikan oleh Kepala

Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, sedangkan PPAT Sementara
diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
Provinsi yang mendapat limpahan kewenangan dari Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia71. Sedangkan menurut Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 37
Tahun 1998 tentang PJPPAT menyebutkan PPAT, PPAT Sementara dan PPAT
Khusus diangkat dan diberhentikan Menteri. Untuk dapat diangkat menjadi PPAT
70

M.Philipus Hadjon et,al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Yogyakarta: Gajah
Mada University Press, 2001), hal. 132.
71
Urip Santoso, Op.cit, hal. 328.

Universitas Sumatera Utara

66


harus memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana diatur pada Pasal 6 Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT yaitu :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Berkewarga-negaraan Indonesia;
Berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun;
Berkelakuan baik yang dinyatakan dengan surat keterangan yang dibuat
oleh instansi kepolisian setempat;
Belum pernah dihukum penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
Sehat jasmani dan rohani;
Lulusan program pendidikan spesialis notariat atau program pendidikan
khusus PPAT yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tinggi;
Lulus ujian yang diselenggarakan oleh Kantor Menteri Negara Agraria/

Badan Pertanahan Nasional.

Sebelum dapat mengikuti ujian PPAT, yang bersangkutan wajib mengikuti
pendidikan dan pelatihan PPAT yang diselenggarakan oleh Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia yang penyelenggaraannya dapat bekerjasama dengan
organisasi profesi PPAT. Pendidikan dan pelatihan tersebut meliputi pendidikan dan
pelatihan pertama dan khusus. Pendidikan dan pelatihan pertama diselenggarakan
sebagai salah satu persyaratan untuk mengikuti ujian pengisian formasi PPAT dalam
rangka pengangkatan PPAT pertama kali, sedangkan pendidikan dan pelatihan
khusus diselenggarakan untuk memberikan pemahaman atau pengetahuan lanjutan
dalam rangka pembuatan akta tertentu yang berkaitan dengan perkembangan
peraturan perundang-undangan dibidang pertanahan.
Selanjutnya calon PPAT yang telah lulus ujian PPAT mengajukan permohonan
pengangkatan sebagai PPAT kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional yang
dilengkapi dengan persyaratan dimaksud diatas. Selanjutnya calon PPAT yang akan
diangkat sebagai PPAT tersebut harus mengikuti pembekalan teknis pertanahan yang

Universitas Sumatera Utara

67


diselenggarakan oleh BPN RI yang penyelenggaraannya bekerjasama dengan
organisasi profesi PPAT. Keputusan pengangkatan sebagai PPAT akan diberikan
kepada yang bersangkutan setelah selesai pelaksanaan pembekalan teknis pertanahan.
Selanjutnya untuk keperluan pelantikan dan pengangkatan sumpah sebagai PPAT,
calon PPAT tersebut wajib melapor kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat
mengenai pengangkatannya sebagai PPAT dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak
tanggal ditetapkannya surat keputusan pengangkatan yang bersangkutan sebagai
PPAT. Kepala Kantor Pertanahan melaksanakan pengambilan sumpah jabatan dalam
jangka waktu 1 (satu) bulan setelah diterimanya laporan tersebut.
Dalam jangka waktu 1 bulan setelah pengambilan sumpah jabatan, PPAT yang
bersangkutan wajib:
a.

Menyampaikan alamat kantornya, contoh tanda tangan, contoh paraf dan
teraan cap/stempel jabatannya kepada Kepala Kantor Wilayah BPN
Propinsi, Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II, Ketua
Pengadilan Negeri dan Kepala Kantor Pertanahan yang wilayahnya
meliputi daerah kerja PPAT yang bersangkutan;


b.
3.

Melaksanakan jabatannya secara nyata.

Fungsi dan Tugas PPAT.
Fungsi PPAT ditegaskan dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah yang menyebut PPAT sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta
pemindahan hak atas tanah, pembebanan hak atas tanah dan akta-akta lain yang diatur
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membantu Kepala Kantor

Universitas Sumatera Utara

68

Pertanahan dalam melaksanakan pendaftaran tanah dengan membuat akta-akta yang
akan dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah.72
Adapun tugas pokok PPATdiatur dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor
37 Tahun 1998 tentang PJPPAT disebutkan PPAT bertugas pokok melaksanakan

sebagaian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah
dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data
pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. Sedangkan perbuatan
hukum dimaksud adalah ;
a.

jual beli;

b.

tukar menukar;

c.

hibah;

d.

pemasukan kedalam perusahaan;


e.

pembagian hak bersama;

f.

pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik;

g.

pemberian Hak Tanggugan;

h.

pemberian Kuasa membebankan Hak Tanggugan.

Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut diatas PPAT mempunyai
kewenangan membuat akta otentik mengenai segala perbuatan hukum yang telah
ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi jabatannya. PPAT


72

Boedi Harsono I, Op.cit, hal. 689

Universitas Sumatera Utara

69

hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan hukum yang disebut secara
khusus dalam penunjukannya.73
PPAT dapat merangkap jabatan sebagai Notaris, Konsultan atau Penasehat
Hukum tetapi dilarang merangkap jabatan sebagai Pengacara atau Advokad, Pegawai
Negeri atau Pegawai BUMN/BUMD sebagaimana diatur dalam Pasal 7 PP Nomor 37
Tahun 1998 tentang PJPPAT. Seorang PPAT hanya berwenang membuat akta
mengenai tanah-tanah yang terletak di daerah kerjanya.74 Daerah kerja PPAT diatur
dalam Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT yang
menyebutkan :
1.

daerah kerja PPAT adalah satu wilayah kerja Kantor Pertanahan
Kabupaten/ Kotamadya;

2.

daerah kerja PPAT Sementara dan PPAT Khusus meliputi wilayah
kerjanya sebagai pejabat pemerintah yang menjadi dasar penunjukannya.

Untuk melayani masyarakat dalam pembuatan akta PPAT didaerah yang belum
cukup terdapat PPAT atau untuk melayani golongan masyarakat tertentu dalam
pembuatan akta PPAT tertentu, Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia dapat menunjuk pejabat-pejabat tertentu sebagai PPAT Sementara atau
PPAT Khusus yaitu :
1.

Camat atau Kepala Desa untuk melayani pembuatan akta di daerah yang
belum cukup terdapat PPAT, sebagai PPAT Sementara;

73
74

Effendi Perangin, Op.cit, hal .677.
Ibid, hal. 4.

Universitas Sumatera Utara

70

2.

Kepala Kantor Pertanahan untuk melayani pembuatan akta PPAT yang
diperlukan dalam rangka pelaksanaan program-program pelayanan
masyarakat atau untuk melayani pembuatan akta PPAT tertentu bagi
Negara sahabat berdasarkan asas resiprositas sesuai pertimbangaan dari
Depertemen Luar Negeri, sebagai PPAT Khusus.

Dalam Pasal 8 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang
PJPPAT. ditetapkan bahwa PPAT berhenti menjabat sebagai PPAT karena :
a.

Meninggal dunia atau;

b.

Telah mencapai usia 65 (enam puluh lima) tahun atau;

c.

Diangkat dan mengangkat sumpah jabatan atau melaksanakan tugas
sebagai notaris dengan tempat kedudukan di kabupaten/kota yang lain
daripada daerah kerjanya sebagai PPAT atau;

d.

Diberhentikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia.

Selanjutnya dalam Pasal 8 ayat (2) menetapkan : PPAT Sementara dan PPAT
Khusus berhenti melaksanakan tugas PPAT, apabila tidak lagi memegang jabatannya,
atau diberhentikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.

B. Pendaftaran Tanah.
1.

Pengertian Pendaftaran Tanah.
Perkembangan pendaftaran tanah di Indonesian diawali sejak adanya

overscrijvings ordonantie (ordonansi balik nama), yang mulai diperkenalkan sejak

Universitas Sumatera Utara

71

tanggal 2 April 1834 (Stb 1834 no 27)75 dan berdasar ketentuan inilah pendaftaran
tanah dengan balik nama mulai diaktifkan. Pendaftan ini hanya berlaku atas peralihan
tanah yang tuduk pada hukum perdata Belanda (BW). Dan saat ini dengan berlakunya
UUPA pendaftaran tanah merupakan hal yang sangat penting demi kepastian hak-hak
seseorang atas tanah dan demi terwujudnya penatagunaan tanah serta administrasi
yang akurat dan terjamin.
Menurut A.P.Parindungan, pendaftaran tanah berasal dari kata cadastre (bahasa
Belanda kadaster) yaitu suatu istilah teknis untuk suatu rekaman, yang mewujudkan
kepada luas, nilai dan kepemilikan (atau lain-lain alas hak) terhadap suatu bidang
tanah. Pengertian lebih tegas, cadastre berarti alat yang tepat untuk memberikan
uraian dan identifikasi dari lahan dan juga untuk continues recording dari hak atas
tanah76.
Oleh karenanya pendaftaran tanah itu adalah merupakan rekaman data fisik dan data
yuridis yang dibuat dalam bentuk peta dan daftar bidang-bidang tanah tertentu, yang
dilaksanakan secara objektif dan etiket baik oleh pelaksana administrasi Negara.
Bahwa dengan berlakunya UUPA, mengenai pendaftaran tanah diatur dalam
Pasal 19 UUPA menyatakan :
1.

2.

75

Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran
tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan
yang diatur dengan peraturan pemerintah.
Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi :
a. Pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah,
b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut,
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat,
Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia (Surabaya: Arloka,2003),

hal.59.
76

A.P.Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia (Berdasar PP 24Tahun 1997
dilengkapi dengan Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah PP 37 Tahun 1998), (Bandung: Mandar
Maju, 1999), hal. 18.

Universitas Sumatera Utara

72

3.

4.

Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan
mayarakat, keperluan lalu lintas sosial dan ekonomi serta kemungkinan
penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria;
Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan
pendaftaran dimaksud dalam ayat (1) diatas, dengan ketentuan bahwa
rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya
tersebut.

Untuk melaksanakan amanat yang ditegaskan dalam Pasal 19 ayat (1) diatas
Pemerintah telah menerbitkan peraturan yang mengatur tentang pendaftaran tanah
dimaksud yaitu :
1.

Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 sebagaimana telah diubah
dengan Peraruran Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran
Tanah.

2.

Peraturan Menteri Negara Agraria (PMNA) Nomor 3 Tahun 1997 sebagai
peraturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah.

3.

Ketetapan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN Nomor 4 Tahun 1999
tentang PPAT.

4.

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PJPPAT).

Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyatakan:
Pendaftaran Tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah
secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan,
pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data
yuridis, dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan
satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi

Universitas Sumatera Utara

73

bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah
susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
Kata-kata “rangkaian kegiatan” menunjuk adanya berbagai kegiatan yang
dilakukan oleh pemerintah untuk mengumpulkan data fisik dan data yuridis dari
bidang-bidang tanah yang akan didaftar. Sehingga dikatakan, bahwa pendaftaran
tanah merupakan proses administrasi yang merupakan kewenangan dari Kantor
Pertanahan untuk menghasilkan sebuah sertifikat sebagai suatu tanda bukti hak
kepemilikan atas bidang tanah. Hasil dari proses pendaftaran tanah tersebut, kepada
para pemegang hak atas tanah yang didaftar diberikan surat tanda bukti hak yang
disebut dengan “Sertifikat”. Sertifikat menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 adalah dokumen surat tanda bukti hak yang memuat data yuridis dan data
fisik diambil dari surat ukur. Mengingat tanah merupakan harta kekayaan yang sangat
penting dan berharga sehingga tidak dapat dipungkiri dalam kenyataannya
dimasyarakat sering terjadi perselisihan atau sengketa atas tanah tersebut. Oleh
karenanya

Undang-undang

mewajibkan

pemilik

hak

atas

tanah

untuk

mendaftarkannya dengan maksud agar tidak terjadi sesuatu yang merugikan di
kemudian hari. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (3) Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 yang menyatakan: “Untuk mencapai tertib administrasi setiap
bidang tanah dan satuan rumah susun termasuk peralihan, pembebanan dan hapusnya
hak atas bidang tanah dan hak milik atas Satuan Rumah Susun wajib didaftarkan”.
Dalam rangka memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum tentang
kedudukan dan status tanah agar tidak terjadi sengketa, maka UUPA sebagai suatu

Universitas Sumatera Utara

74

undang-undang yang memuat dasar-dasar pokok dibidang agraria yang merupakan
landasan bagi usaha pembaharuan agraria untuk memberikan jaminan kepastian
hukum bagi masyarakat dalam memanfaatkan fungsi bumi, air dan ruang angkasa
serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya untuk mensejahterakan
masyarakat.
2.

Tujuan Pendaftaran
Bahwa tujuan diselenggarakannya pendaftaran tanah pada hakikatnya sudah

ditetapkan dalam Pasal 19 UUPA tersebut yaitu bahwa pendaftaran tanah merupakan
tugas pemerintah yang diselenggarakan dalam rangka menjamin kepastian hukum di
bidang pertanahan. Sehingga dengan mendaftarkan kepemilikan hak atas bidang
tanah, maka pemilik atas tanah tersebut mempunyai kepastian, kekuatan dan
perlindungan hukum atas kepemilikan tanah tersebut.
Tujuan pendaftaran tanah diatur dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang menyebutkan Pendaftaran tanah
bertujuan :
a.

b.

c.

Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada pemegang
hak atas suatu bidang tanah, Satuan Rumah Susun dan hak-hak lain yang
terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang
hak yang bersangkutan;
Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan
termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang
diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang
tanah dan Satuan Rumah Susun yang sudah terdaftar;
Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

Universitas Sumatera Utara

75

Oleh karenanya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 ini telah memperkaya
ketentuan Pasal 19 UUPA, yaitu ;
a.
b.

c.

Bahwa diterbitkannya sertifikat hak atas tanah, maka kepada pemiliknya
diberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum.
Di zaman informasi ini maka Kantor Pertanahan sebagai kantor di depan
haruslah memelihara dengan baik setiap informasi yang diperlukan untuk
sesuatu bidang tanah, baik untuk Pemerintah sendiri sehingga dapat
merencanakan pembangunan Negara dan juga bagi masyarakat sendiri
informasi itu penting untuk dapat mewujudkan sesuatu yang diperlukan
terkait tanah. Informasi tersebut dapat bersifat terbuka untuk umum, artinya
dapat memberikan informasi apa saja yang diperlukan atas bidang tanah
dan bangunan yang ada.
Untuk itu perlulah tertib administrasi pertanahan dijadikan suatu hal
wajar.77

Pendaftaran Hak dan Pendaftaran Peralihan Hak atas Tanah ini sebagai mana
diatur dalam Pasal 19 ayat (2) UUPA tersebut merupakan sebagian tugas dan
wewenang Pemerintah di bidang pendaftaran tanah. Dibidang ini, Pendaftaran Hak
dan Pendaftaran Peralihan Hak dapat dibedakan 2 tugas yaitu :
1.

Pendaftaran Hak atas Tanah, yaitu pendaftaran hak untuk pertama kalinya
atau pembukuan suatu hak atas tanah dalam daftar buku tanah;

2.

Pendaftaran Peralihan Hak atas Tanah.

Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah kegiatan pendaftaran
yang dilakukan terhadap objek pendaftaran yang belum didaftar berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang
meliputi kegiatan :
a.
77

Pengumpulan dan pengolahan data fisik;
Ibid, hal.2.

Universitas Sumatera Utara

76

Untuk keperluan pengumpulan dan pengolahan data fisik dilakukan
kegiatan pengukuran dan pemetaan, yang meliputi ;
1.

Pembuatan peta dasar pendaftaran;

2.

Penetapan batas bidang-bidang tanah;

3.

Pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pembuatan peta
pendaftaran;

b.

4.

Pembuatan daftar tanah;

5.

Pembuatan surat ukur;

Pembuktian hak dan pembukuannya, kegiatannya meliputi :
1.

Pembuktian hak baru;

2.

Pembuktian hak lama;

3.

Pembukuan hak;

c.

Penerbitan sertifikat;

d.

Penyajian data fisik dan data yuridis;

e.

Penyimpanan daftar dan dokumen.

Pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui pendaftaran tanah
secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik. Pendaftaran tanah secara
sistematik adalah kegiatan pendaftaran untuk pertama kali yang dilakukan secara
serentak yang meliputi semua objek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam
wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan. Pendaftaran tanah secara
sistematis diselenggarakan atas prakarsa Pemerintah berdasarkan pada suatu rencana

Universitas Sumatera Utara

77

kerja jangka panjang dan tahunan serta dilaksanakan di wilayah-wilayah yang
ditetapkan oleh Menteri Agraria/Kepala BPN. Dalam hal suatu desa/kelurahan belum
ditetapkan sebagai wilayah pendaftaran tanah secara sistematis maka pendaftarannya
dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sporadik.
Pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk
pertama kali mengenai satu atau beberapa objek pendaftaran tanah dalam wilayah
atau bagian wilayah desa/kelurahan secara individual atau massal. Pendaftaran secara
sporadik dilaksanakan atas permintaan pihak yang berkepentingan, yaitu pihak yang
berhak atas objek pendaftaran tanah yang bersangkutan atau kuasanya. Dalam
kenyataannya masih banyak tanah-tanah yang belum terdaftar antara lain disebabkan
kurangnya kesadaran hukum masyarakat serta birokrasi yang masih panjang dan
memerlukan biaya yang relatif membebani masyarakat.
Pemeliharaan data pendaftaran adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk
menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar
nama, surat ukur, buku tanah dan sertifikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi
kemudian.
Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah meliputi;
a. Pendaftaran peralihan dan pembebanan hak, kegiatannya meliputi :
1.

Pemindahan hak;

2.

Pemindahan hak melalui lelang;

3.

Peralihan hak melalui pewarian;

Universitas Sumatera Utara

78

4.

Peralihan hak melalui penggabungan atau peleburan perseroan atau
koperasi;

5.

Pembebanan hak;

6.

Penolakan pendaftaran dan pembebanan hak.

b. Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya, yang kegiatannya
meliputi;
1.

Perpanjangan jangka waktu atas hak tanah;

2.

Pemecahan, pemisahan dan penggabungan bidang tanah;

3.

Pembagian hak bersama;

4.

Hapusnya hak atas tanah dan hak milik atas Satuan Rumah Susun;

5.

Peralihan dan hapusnya hak tanggungan;

6.

Perubahan data pendaftaran tanah berdasar putusan atau penetapan
pengadilan;

7.
3.

Perubahan nama akibat pemegang hak yang ganti nama.

Sistim dan Publikasi Pendaftaran Tanah.
Sistim pendaftaran tanah yang dipakai di suatu Negara tergantung pada azas

hukum yang dianut negera tersebut dalam mengalihkan hak atas tanahnya. Terdapat
dua macam asas hukum, yaitu asas etikad baik dan asas nemo plus yuris. Sekalipun
sesuatu Negara menganut salah satu asas hukum/sistim pendaftaran tanah, tetapi yang
secara murni berpegang pada salah satu asas hukum/sistim pendaftran tanah tersebut
boleh dikata tidak ada. Hal ini karena kedua asas hukum/sistim pendaftaran tanah

Universitas Sumatera Utara

79

tersebut sama-sama mempunyai kelebihan dan kekurangan sehingga setiap Negara
mencari jalan keluar sendiri-sendiri.78
Menurut asas iktikad baik, orang yang memperoleh sesuatu hak dengan iktikad
baik akan tetap menjadi pemegang hak yang sah menurut hukum. Asas ini bertujuan
untuk melindungi orang yang beriktikad baik dan guna melindungi orang yang
beriktikad baik inilah maka perlu daftar umum yang mempunyai kekuatan bukti.
Sistim pendaftarannya disebut sistim positif. Lain halnya dengan asas nemo plus
yuris, orang tak dapat mengalihkan hak melebihi hak yang ada padanya. Ini berarti
bahwa pengalihan hak oleh orang yang tidak berhak adalah batal. Asas ini bertujuan
melindungi pemegang hak yang sebenarnya dimana pemegang hak yang sebenarnya
akan selalu dapat menuntut kembali haknya yang terdaftar atas nama siapapun. Oleh
karena itu daftar umum tidak mempunyai kekuatan bukti. Sistim pendaftaran
tanahnya disebut sistim negatif.
Dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 ditegaskan bahwa
pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan azas sederhana, aman, terjangkau,
mutakhir dan terbuka. Dengan azas sederhana dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan
pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh pihak yang
berkepentingan khususnya pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Dengan azas
aman

dimaksudkan

untuk

menunjukkan

bahwa

pendaftaran

tanah

perlu

diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan

78

Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya (Jakarta: Sinar Grafika,
2007),hal. 117.

Universitas Sumatera Utara

80

jaminan kepastian hukum sesuai dengan tujuan hukum pendaftaran tanah tersebut.
Dengan azas mutakhir dimaksudkan adalah dengan mempergunakan kelengkapan
yang memadai dalam pelaksanaannya dan kesinambungan dalam pemeliharaannya.
Data yang tersedia harus menunjukkan keadaan yang mutakhir, untuk itu perlu diikuti
kewajiban mendaftar dan pencatatan yang terjadi dikemudian hari sehingga
diharapkan yang tersimpan di Kantor Pertanahan selalu sesuai dengan keadaan nyata
di lapangan. Dengan azas terbuka dimaksudkan dimana masyarakat dapat
memperoleh keterangan mengenai data-data yang benar setiap saat.
Dalam hukum pertanahan dikenal dua sistim pendaftaran tanah, yaitu ;
1.

Registration of Titles. Dalam sistim ini setiap pendaftaran hak harus
dibuktikan dengan suatu akta tetapi dalam penyelenggaraan pendaftaran
bukan aktanya yang didaftar, melainkan haknya yang didaftarkan.

2.

Registration of Deeds. Dalam sisitim ini akta merupakan data yuridis dan
karenanya akta itulah yang didaftar oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT). Pejabat pendaftaran tanah bersifat pasif dan tidak akan melakukan
pengujian atas kebenaran data yang disebut dalam akta yang didaftar.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah, sistim pendaftaran tanah yang digunakan adalah sistim pendaftaran hak.
Dalam sistim pendaftaran hak orang yang tercatat dalam buku tanah merupakan
pemegang hak atas tanah tersebut sampai dapat dibuktikan sebaliknya oleh orang
yang merasa berhak atas tanah tersebut.

Universitas Sumatera Utara

81

Bukti bahwa sistem pendaftaran hak dalam UUPA menganut sistim pendaftaran
hak adalah dapat diketahui dari adanya buku tanah sebagai dokumen yang memuat
data yuridis dan data fisik yang dihimpun dan disajikan serta diterbitkannya sertifikat
sebagai surat tanda bukti.
Dalam pendaftaran tanah terdapat tiga (3) stelsel pendaftaran tanah yaitu :
1.

Sistim Negatif.
Ciri utama dalam sistim negatif ini adalah bahwa pendaftaran tanah yang
dilakukan oleh pemegang hak tidak memberikan jaminan kepadanya
sebagai pemilik hak atas tanah dan oleh karenanya nama yang terdaftar
dalam buku tanah dapat dibantah walaupun ia beretikad baik. Sistim ini
dianut di negeri Belanda, Hindia Belanda, Negara Bagian Amerika Serikat
dan Prancis. Dalam sistim ini bahwa pendaftaran tidak memberikan
jaminan bahwa nama yang tercantum dalam daftar dan sertifikat
mempunyai kekuatan hukum dan harus diterima oleh hakim apabila terjadi
sengketa hak.
Kelemahan sistim negatif ini adalah :
a. Tidak memberikan kepastian hukum pada buku tanah;
b. Peranan yang passif dari pejabat balik nama;
c. Mekanisme yang sulit serta sukar dimengerti oleh orang biasa;

2.

Sistim Positif;
Dalam sistim ini segala apa yang yang tercantum dalam buku pendaftaran
tanah dan surat-surat tanda bukti yang dikeluarkan adalah bersifat mutlak

Universitas Sumatera Utara

82

artinya mempunyai kekuatan pembuktian yang tidak dapat diganggu gugat.
Dalam hal ini pendaftaran berfungsi sebagai jaminan yang sempurna dalam
arti nama yang tercantum dalam buku tanah tidak dapat dibantah
kebenarannya sekalipun nantinya orang tersebut bukan pemiliknya.
Mengingat hal yang demikian inilah maka pendaftaran hak dan
peralihannya selalu memerlukan pemeriksaan yang sangat teliti dan
seksama sebelum pekerjaan pendaftaran dilakukan. Pegawai pendaftaran
harus bekerja secara aktif serta harus mempunyai peralatan yang lengkap
serta memakan waktu relatif lama untuk mengerjakannya. Hal ini dapat
dimaklumi karena pendaftaran hak tersebut mempunyai fungsi pendaftaran
dan mempunyai kekuatan hukum mutlak dengan demikian pengadilan
dalam hal ini mempunyai wewenang dibawah kekuasaan administratif.
Sistim ini dipergunakan di Australia, Singapura, Indonesia, Jerman dan
Swiss. Adapun kelemahan sistim ini adalah;
a.

Peranan yang aktif dari pejabat balik nama memerlukan waktu lama;

b.

Pemilik yang berhak dapat kehilangan hak diluar perbuatan dan
kesalahannya;

c.

Apa yang menjadi wewenang pengadilan negeri diletakkan dibawah
kekuasaan administratif.

3.

Sistim Torrens. Menurut sejarahnya sistim ini berasal dari nama
penciptanya yaitu Robert Torrens. Menurut sistim ini dengan mengadakan
kantor-kantor pendaftaran tanah pada setiap daerah yang bertugas mencatat

Universitas Sumatera Utara

83

setiap hak-hak atas tanah dalam buku tanah dan dalam salinan buku tanah
kemudian barulah diterbitkan sertifikat hak kepada pemilik tanah dan
sertifikat yang telah diterbitkan tersebut berlaku sebagi alat pembuktian
yang sempurna sehingga setiap orang pemegang sertifikat tidak dapat
diganggu gugat lagi, oleh karena sifat demikianlah maka sistim torrens
sama dengan sistim positif.
Beberapa ahli Agraria Indonesia menyebutkan bahwa sistem pendaftaran tanah
yang berlaku di Negara ini menganut system Torrens79.
Pendaftaran tanah yang penyelenggaraannya diperintahkan oleh UUPA tidak
menganut sistim publikasi positif, tetapi menganut sistim publikasi negatif yang
mengandung unsur positif, karena akan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak
sebagai alat pembuktian yang kuat sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 19 ayat 2
huruf c, Pasal 23 ayat 2 dan Pasal 32 ayat 2 UUPA. UUPA menganut sistim negatif
yang yang mengandung unsur positif karena Negara tetap tidak menjamin kebenaran
data-data yang tertera dalam sertifikat yang telah diterbitkan didalam sistim publikasi
positif yang seharusnya mencakup ketentuan bahwa apa yang sudah didaftar itu
menjamin kebenaran data yang didaftarkannya, dan untuk keperluan itu pemerintah
meneliti kebenaran dan sahnya tiap warkah yang diajukan untuk didaftarkan sebelum
dimasukkan dalam daftar-daftar sehingga pemerintah menjamin kebenaran datadata80 , oleh karenanya Indonesia bukan menganut sistim publikasi negatif murni,

79
80

Mhd.Yamin Lubis dan Abd.Rahim Lubis, Op.cit, hal.114.
Adrian Sutedi, Op.cit, hal.121

Universitas Sumatera Utara

84

karena sistim publikasi negatif murni tidak akan menggunakan sistim pendaftaran hak
(registrationof titles) dimana dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah, bukan
aktanya yang didaftar melainkan haknya yang diciptakan dan perubahanperubahannya kemudian. Adapun pengertian negatif adalah kemungkinan sertifikat
yang dimiliki seseorang dapat dirobah, sedangkan unsur positif mengandung arti
bahwa Kantor Pertanahan Nasional akan berusaha semaksimal mungkin agar
terhindar dari kekeliruan. Adapun cara yang dilakukan yaitu dalam pembuatan
sertifikat tanah ada pengumuman, dalam menentukan luas batas tanah dengan
mengikut sertakan tetangga (contradictore delimitatie) dalam pendaftran hak atas
tanah. Ini berarti bahwa Negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan,
namun demikian sertifikat hak-hak atas tanah dapat berlaku sebagai alat pembuktian
yang kuat sepanjang tidak ada gugatan dari pihak lain yang merasa mempunyai tanah,
seperti dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c, Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 38 ayat
(2) UUPA. Dalam hal ini meskipun sistim publikasinya negatif, namun ketentuanketentuan yang mengatur prosedur pengumpulan sampai penyajian data fisik dan data
yuridis yang diperlukan, pemeliharaannya dan penerbitan sertifikat serta kegiatankegiatan yang bersangkutan dilakukan dengan seksama, agar data yang disajikan
sejauh mungkin dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.
Indonesia tidak menganut sistim publikasi positif murni karena data fisik di
Negara kita masih teratur apalagi data yuridisnya. Hal ini juga diperkuat dalam Pasal
32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Sertifikat merupakan suatu
tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik

Universitas Sumatera Utara

85

dan data yurudis yang termuat didalamnya, sepanjang data fisik dan data yurudis
tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang
bersangkutan.
Adapun yang dimaksud dengan data fisik adalah keterangan mengenai letak,
batas dan luas bidang tanah dan Satuan Rumah Susun yang didaftar, termasuk
keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan diatasnya. Sedangkan
data yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan Satuan
Rumah Susun yang didaftar, pemegang haknya dan pihak lain serta bahan-bahan
yang membebaninya.
Data fisik tersebut dapat diperoleh dengan cara petugas pendaftaran datang
kelokasi pengukuran dan kemudian menetapkan tanda batas dengan mengikut
sertakan tetangga.
Persesuaian data fisik dan data yuridis dimaksud tidak berarti tanda bukti hak
atas tanah tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang mutlak, sebab disini akan
dibuktikan lagi unsur etikad baik, dalam hal ini maka hakimlah yang memutuskan
bukti mana yang sah, hal ini mengandung arti bahwa sertifikat sebagai bukti yang
kuat.
Dengan demikian pendaftaran tanah itu adalah pendaftaran akta (registration of
deeds) dan pendaftaran haknya (registration of titles). Dalam kaitan dengan
pendaftaran peralihan hak, Mhd.Yamin menyatakan81, pendaftaran tanah dalam balik
nama (continous recording) merupakan kegiatan dari pendaftaran Akta dan
81

Mhd.Yamin Lubis dan Abd.Rahim Lubis, Op.cit, hal.124.

Universitas Sumatera Utara

86

pendaftaran haknya. Namun untuk terjadinya kegiatan ini (pendaftaran balik nama)
sering ada tindakan/perbuatan hukum sebelumnya dilakukan. Tindakan seperti ini
disebut tindakan private convejance, inilah yang kemudian ditindak lanjuti dengan
pembuatan Akta (deeds)voleh PPAT. PPAT dalam hal ini akan jelas kelihatan
tugasnya sebagai pembantu Badan Pertanahan.

Universitas Sumatera Utara

87

BAB IV
PROBLEMATIKA HUKUM PERALIHAN HAK MILIK (LEVERING)
ATAS TANAH DARI PENJUAL KE PEMBELI

A. Masalah Hukum Saat Beralihnya (Levering) Hak Atas Tanah Berdasar Jual
Beli
1.

Problema Hukum Saat Beralihnya Hak Atas Tanah Dalam Jual Beli.
Pengalihan atau penyerahan (levering) adalah cara memperoleh hak milik atas

suatu kebendaan dengan cara mengalihkan hak milik atas suatu kebendaan dari
pemilik yang lama kepemilik yang baru. Khusus mengenai tanah dalam UUPA Pasal
20 ayat (2) disebutkan bahwa Hak Milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak
lain, dan Pasal 28 ayat (3) disebutkan Hak Guna Usaha dapat beralih dan dialihkan
kepada pihak lain serta Pasal 35 ayat (3) disebutkan Hak Guna Bangunan dapat
beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Dengan kata lain sifat hak atas tanah itu
walau dibatasi oleh ketentuan Pasal 6 UUPA, dapat dialihkan kepada orang lain
dengan sifat hak yang sama, tanpa perlu diturunkan derajatnya ataupun hak itu
menjadi tiada atau memohon haknya kembali ketika terjadi perpindahan tangan.82
Dalam Pasal 26 UUPA yang menyatakan jual-beli, penukaran, penghibahan,
pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain
yang dimaksudkan untuk memindahkkan hak milik serta pengawasannya diatur
dengan peraturan pemerintah. Dalam pasal ini disebutkan beberapa perbuatan hukum
yang langsung secara sengaja dimaksudkan untuk mengalihkan hak milik kepada

82

Budi Harsono, Op.cit, hal.37.

87

Universitas Sumatera Utara

88

orang lain yaitu jual beli, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan pemberian
menurut adat (mengingat kita berada dalam suasana hukum adat dengan hak milik
baru ini)83. Dalam tabel berikut dikemukakan istilah-istilah yang terdapat dalam
UUPA yang menunjukkan arti peralihan hak atas tanah dari seorang kepada orang
lain.
Tabel 1
Pasal yang Mengatur Istilah Dialihkan (Levering) Dalam UUPA
No

Pasal

1.
2.

23 ayat (1)
26 ayat (1)

3.

26 ayat (2)

4

27

5.
6.

28 ayat (3)
30 ayat (2)

7.

30 ayat (3)

8.

32 ayat (1)

9.
10.

35 ayat (3)
36 ayat (2)

11.

38 ayat (1)

12.

38 ayat (2)

13.
14.

43 ayat (1)
43 ayat (2)

Istilah yang dipergunakan
”Hak Milik, demikian pula setiap Peralihannya----------”
”Jual-beli------dan
perbuatan-perbuatan
lain
yang
dimaksudkan untuk memindahkan hak milik-------------”
”Setiap Jual-beli--------untuk memindahkan hak milik
kepada orang asing-----------------------------------------”
”Hak Milik Hapus-------karena penyerahan dengan
sukarela oleh pemiliknya-------------------------------------”
”Hak Guna Usaha dapat beralih dan dialihkan ----------”
”Orang yang mempunyai HGU-------wajib melepaskan
atau mengalihkan hak itu------------------------------------”
”Jika Hak Guna Usaha----tidak dilepaskan atau dialihkan-----”
”Hak Guna Usaha-----demikian juga setiap peralihannya--------”
”Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan-----”
”Orang------wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu--------”
”Hak Guna Bangunan-----demikian juga setiap peralihan-------”
”Pendaftaran----HGB---serta sahnya peralihan hak
tersebut-----”-------Hak Pakai hanya dapat dialihkan-------------------”
”Hak Pakai------hanya dapat dialihkan---------------------”

Sumber : Data Bahan Hukum Pimer.
83

Sudargo Gautama, Op.cit, hal. 132.

Universitas Sumatera Utara

89

Tabel tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan bagaimana UUPA itu sendiri
mengatur dan mengistilahkan pengalihan hak-hak atas tanah dari seorang kepada
orang lain. Tabel tersebut menunjukkan bahwa UUPA mempergunakan istilah
”Peralihan hak”, ”Memindahkan hak”, ”penyerahan” (hanya satu pasal). Mhd.Yamin
Lubis menyatakan84 untuk memudahkan pemahaman praktisnya, maka ”peralihan hak
atas tanah” dapat ditafsirkan sebagai suatu perbuatan hukum yang dikuatkan dengan
akta otentik yang diperbuat oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
yang mengakibatkan beralihnya pemegang hak atas tanah kepada pihak lain.
Sementara ”pemindahan hak atas tanah” adalah perbuatan hukum yang dikuatkan
selain dengan akta PPAT, seperti Risalah Lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang,
akta otentik mengenai penyerahan hak dan ganti rugi dan juga tukar guling yang
dibuat oleh Notaris, Surat Keterangan Ahli Waris, dan putusan pengadilan yang
mengakibatkan berpindahnya pemegang hak kepada pihak lain. Istilah-istilah itu
sebenarnya mempunyai makna yang sama yaitu peralihan hak atas tanah atau
berpindahnya hak atas tanah dari seorang pemilik semula kepada orang lain yang
menjadi pemilik baru. Sebagaimana di kemukakan oleh Mhd Yamin Lubis, bahwa
sebenarnya istilah peralihan hak atas tanah dengan pemindahan hak atas tanah tidak
ada perbedaan yang tegas sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 dan Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997.
Terkadang dapat dikesankan bahwa peralihan hak dan pemindahan hak diartikan
sama, terkadang peralihan hak bagian dari pemindahan hak dan sebaliknya. Misalnya
84

Mhd.Yamin Lubis dan Abd.Rahim Lubis, Op.cit, hal.279.

Universitas Sumatera Utara

90

dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 pada Pasal 37 diberi judul
pemindahan hak, sedangkan dalam isi pasalnya disebutkan peralihan hak.85
Hak atas tanah yang dimiliki seseorang dapat dialihkan kepada orang lain.
Beralih artinya berpindahnya hak atas tanah dari pemiliknya kepada orang lain
dikarenakan suatu perbuatan hukum misalnya karena jual beli.
Berdasar Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah menyebutkan: “Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan
rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan
dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui
lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT
yang berwenang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku”. Dari
ketentuan tersebut diatas disyaratkan bahwa setiap peralihan hak atas tanah melalui
jual beli hanya bisa didaftar apabila perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah
tersebut dibuat dalam suatu akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT). Dengan kata lain diharuskannya peralihan hak atas tanah atau perbuatan
levering atas tanah itu harus dibuat dengan akta PPAT hanyalah agar dapat
didaftarkan balik namanya atas nama pembeli. Oleh karenanya ketentuan Pasal 37
ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
tersebut tidak mengatur tentang bagaimana tata cara pengalihan atau penyerahan
(levering) atas tanah yang dijual tersebut sehingga menjadi probematika hukum
kapan momentum beralihnya hak atas tanah yang dijual dari penjual kepada pembeli.
85

Ibid, hal 275-276.

Universitas Sumatera Utara

91

Yang menjadi pertanyaan dalam hal ini adalah apakah perjanjian jual beli atas
tanah itu juga harus dibuat dalam akta yang dibuat oleh PPAT? Atau apakah hanya
pengalihannya saja (leveringnya) yang dibuat dalam akta PPAT?. Karena
sebagaimana dipahami dalam teori hukum perjanjian menurut KUHPerdata bahwa
perjanjian jual beli itu terdiri dari dua tahapan yaitu tahap obligatoir dan tahap
zakelijke dimana tahap obligatoir itu adalah tahap lahirnya hak dan kewajiban
diantara penjual dan pembeli tahap mana dilahirkan sejak tercapainya sepakat antara
penjual dan pembeli tentang barang dan harga. Namum pada tahap itu belumlah
beralih hak milik atas barang yang dijual selama belum dilakukan penyerahan atau
levering. Pada saat dilakukannya penyerahan inilah hak milik atas barang itu beralih
kepada pembeli dimana tahap ini disebut sebagai tahap zakelijke.
Untuk menjawab pertanyaan diatas maka dalam perjanjian jual beli tanah
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24
tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah tersebut maka sesungguhnya sudah terjawab
oleh peraturan pemerintah tersebut yaitu dari kata ”melalui jual beli” yang berarti
perjanjian jual beli sebagai alas hak (titel) peralihan hak milik tersebut harus dibuat
dalam akta PPAT. Selain itu dari hasil penelitian atas dokumen ”Akta Jual Beli”
yang dibuat oleh PPAT, jelas kelihatan bahwa dalam akta jual beli itu memuat katakata seperti :
”Pihak Pertama menerangkan dengan ini menjual kepada Pihak Kedua dan
Pihak Kedua menerangkan dengan ini membeli dari Pihak Pertama”. ----------Hak Milik nomor--------------sebagaimana diuraikan dalam surat ukur tanggal-------------,nomor----------seluas------------dengan Nomor Identifikasi Bidang

Universitas Sumatera Utara

92

Tanah (NIB):-----------------dan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak
Bumi dan Bangunan (SPPT PBB) Nomor Objek Pajak (NOP) :---------------------------terletak di :----------------------------------------------------------------------Jual Beli ini meliputi pula :--------------------segala sesuatu yang terdapat dan
didirikan serta ditanam---dstnya
Selanjutnya semua yang diuraikan diatas dalam akta ini disebut ”Objek Jual
Beli”;-------------------------------------------------------------Pihak Pertama dan Pihak Kedua menerangkan bahwa :------------------a. Jual
beli ini dilakukan dengan harga Rp---------------------------------b. Pihak
Pertama mengaku telah menerima sepenuhnya uang tersebut diatas dari Pihak
Kedua dan untuk penerimaan uang tersebut akta ini berlaku pula sebagai tanda
penerimaan yang sah (kwitansi);-----------Kata-kata dalam Akta Jual Beli tersebut yang menyebutkan”Pihak Pertama
menerangkan dengan ini menjual kepada Pihak Kedua dan Pihak Kedua
menerangkan dengan ini membeli dari Pihak Pertama” memperlihatkan bahwa
antara Pihak Penjual dan Pihak Pembeli telah terjadi kesepakatan jual beli tanah
dimaksud yaitu kesepakatan mengenai tanah sebagai objek jual beli dan harganya.
Oleh karenanya perjanjian jual beli tanah dibuat dalam akta PPAT. Dengan
dilakukannya jual beli di hadapan PPAT maka dipenuhi syarat terang, yaitu perbuatan
tersebut bukan merupakan perbuatan hukum yang gelap atau perbuatan yang
dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Sedangkan kata-kata yang tercantum dalam
akta PPAT tersebut yang menyebutkan “Pihak Pertama mengaku telah menerima
sepenuhnya uang tersebut diatas dari Pihak Kedua dan untuk penerimaan uang
tersebut akta ini berlaku pula sebagai tanda penerimaan yang sah (kwitansi)”,
menunjukkan telah dipenuhinya syarat tunai dan juga syarat riil karena menunjukkan
secara nyata telah terjadi perbuatan hukum jual beli yang bersangkutan.

Universitas Sumatera Utara

93

Sebagimana dalam pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini
yaitu kapan hak milik atas tanah yang dijual itu beralih kepada pembeli, sebenarnya
UUPA tidak secara tegas mengaturnya. Sebab Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah tersebut diatas hanya menekankan
kepada pendaftaran dimana agar dapat didaftar peralihan hak atas tanah berdasar jual
beli, maka peralihan haknya itu haruslah dibuat dengan akta PPAT. Namun demikian
walaupun ketentuan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah tersebut penekanannya kepada pendaftaran, tetapi
terkandung juga makna bahwa peralihan hak atas tanah itu terjadi antara penjual
dengan pembeli adalah saat dibuatnya akta PPAT dalam hal ini Akta Jual Belinya
(AJB). Hal ini terbukti dari hasil penelitian penulis atas Akta Jual Beli yang dibuat
oleh PPAT, bahwa didalam akta jual beli yang dibuat PPAT tersebut selalu terdapat
kata-kata yang dimuat dalam pasal yang menyebut:
”mulai hari ini objek jual beli yang diuraikan dalam akta ini telah menjadi
milik Pihak Kedua dan karenanya segala keuntungan yang didapat dari, dan
segala kerugian/beban atas objek jual beli tersebut diatas menjadi hak/beban
pihak Kedua”
Dari kata-kata yang dimuat dalam Akta Jual Beli tersebut yang menyebut
”mulai hari ini objek jual beli yang diuraikan dalam akta ini menjadi milik pihak
kedua” dalam hal ini Pihak Pembeli adalah memperlihatkan secara jelas akan saat
beralihnya atau berpindahnya hak milik atas tanah yang dijual dari Pihak Pembeli
kepada Pihak Penjual yaitu saat ditanda-tanganinya Akta Jual Beli tersebut dihadapan

Universitas Sumatera Utara

94

PPAT. Namun perlu ditegaskan bahwa hal ini berlaku bagi tanah yang sudah terdaftar
atau yang sudah bersertifikat sehingga dengan dibuatnya akta PPAT tersebut dapat
dilakukan balik nama pada sertifikat tanahnya dan dicatat buku tanah di Kantor
Pertanahan. Dengan kata lain akta PPAT membuktikan bahwa benar telah dilakukan
perbuatan hukum pemindahan hak untuk selama-lamanya dan pembayaran harganya.
Oleh karena perbuatan hukum yang dilakukan merupakan perbuatan hukum
pemindahan hak, maka akta tersebut membuktikan bahwa penerima hak (pembeli)
sudah menjadi pemegang haknya yang baru.86 Dengan demikian dengan Akta Jual
Beli yang dibuat oleh PPAT yang didalamnya memuat kata-kata”mulai hari ini objek
jual beli yang diuraikan dalam akta ini telah menjadi milik Pihak Kedua dan
karenanya segala keuntungan yang didapat dari, dan segala kerugian/beban atas
objek jual beli tersebut diatas menjadi hak/beban pihak Kedua” , adalah
menunjukkan bahwa telah terlaksana penyerahan (levering) secara yuridis yang
dalam konteks hukum disebut juridische levering.
Namun hal ini masih menimbulkan problema hukum karena sekalipun hak
milik atas tanah yang dijual itu telah berpindah ke pembeli saat dibuatnya akta PPAT
dalam arti telah dilakukan penyerahan secara yuridis (juridische levering), tetapi
sertifikat tanah itu sebagai bukti hak masih tercatat didalam sertifikat itu atas nama
penjual dan dalam buku tanah di Kantor Badan Pertanahan masih tercatat atas nama
penjual selaku pemilik lama. Peralihan nama di sertifikat itu ke nama penjual baru
terlaksana setelah dilakukan pendaftarannya di BPN, dan terjadilah balik nama
86

Boedi Harsono, Op.cit, hal. 298.

Universitas Sumatera Utara

95

menjadi atas nama pembeli. Namun bagaimana nantinya kekuatan hukum peralihan
hak yang demikian sekiranya Kepala Kantor Pertanahan menolak pendaftaran
peralihan hak itu karena sesuai dengan ketentuan perundang-undangan Kepala Kantor
Pertanahan dapat menolak pendaftaran peralihan hak apabila terdapat syarat-syarat
pendaftaran tidak dipenuhi. Namun jika hak atas tanah yang dijual itu merupakan
tanah yang belum terdaftar maka saat peralihan haknya yaitu saat dibuatnya akta
tidak ada menimbulkan persoalan hukum, karena justru dengan akta PPAT yang
bersangkutan dijadikan alat bukti bagi pembeli dalam pendaftaran pertama hak
tersebut kepada nama pembeli.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan menurut konsepsi UUPA jual beli
tanah itu adalah sekaligus sebagai perbuatan pengalihan hak atas tanah tersebut.
Artinya tahap obligatoir dan tahap zakelijknya jatuh bersamaan dan harus dibuat
dalam satu akta PPAT. Hal ini dapat dipahami karena konsepsi jual beli tanah
menurut UUPA didasarkan atas Hukum Adat sebagai mana diatur dalam Pasal 5
UUPA menyebutkan: “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang