Perbedaan Efek Amitriptilin, Gabapentin, Dan Pregabalin Terhadap Perubahan Intensitas Nyeri Pada Penderita Nyeri Neuropati Diabetika Dan Neuralgia Trigeminal

14

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. NEUROPATI DIABETIKA
II.1.1. Definisi
Menurut konferensi di San Antonio tahun 1992, neuropati diabetika
adalah suatu kondisi yang ditandai dengan kerusakan saraf somatis dan
atau saraf otonom yang ditemukan secara klinis atau subklinis yang
diakibatkan oleh diabetes melitus, tanpa adanya penyebab neuropati
perifer yang lainnya (Cornblath, 2004; Sadeli, 2008).
Nyeri neuropati diabetika merupakan bentuk umum dari neuropati
diabetika yang mempengaruhi satu per tiga populasi umum diabetes (Yoo
dkk, 2013). Definisi dari nyeri neuropati diabetika menurut IASP adalah
nyeri yang diakibatkan secara langsung sebagai konsekuensi dari
keadaan sistem somatosensori perifer yang abnormal pada penderita
diabetes (Tesfaye dkk, 2010).

II.1.2. Epidemiologi
Insiden dari neuropati diabetika pada penderita diabetes cukup

tinggi, seperti yang ditunjukkan melalui penelitian yang dilakukan di Mayo
Clinic, dimana didapatkan 47 % penderita diabetes mengalami neuropati.
Penelitian lainnya melaporkan prevalensi dari neuropati diabetika
mencapai 70% pada penderita yang mengalami diabetes tipe dua selama

14
Universitas Sumatera Utara

15

25 tahun atau lebih. Prevalensi diabetes melitus di Amerika mencapai 24
juta orang, berdasarkan penelitian ini diperkirakan setidaknya 15 juta
penduduk Amerika akan mengalami neuropati, jumlah ini akan bertambah
menjadi sekitar 20 juta jika penduduk prediabetes diikutsertakan.
Beberapa penelitian terkahir telah memperkirakan prevalensi dari
neuropati diabetika pada penderita diabetes mencapai 20%. Berdasarkan
hal ini dapat diperkirakan bahwa hampir 5 juta penduduk di Amerika
memiliki gejala neuropati diabetika (Tanenberg, 2009).
Epidemiologi dari nyeri neuropati diabetika belum di teliti secara
luas. Berdasarkan penelitian epidemiologi neuropati diabetika yang sudah

dilakukan, tidak ada yang membedakan antara penderita neuropati
diabetika dengan atau tanpa nyeri, tetapi mengikutsertakan nyeri sebagai
salah satu kriteri inklusinya. Selain itu, banyak penelitian yang juga tidak
menjelaskan apakah penderita dengan nyeri neuropatik akibat etiologi
selain diabetes telah dieksklusikan. Pada literatur dikatakan prevalensi
dari nyeri neuropati diabetika berkisar antara 10 – 20 % pada pasein
diabetes dan 40 – 50% dari penderita neuropati diabetika (Veves dkk,
2008).

II.1.3. Faktor Resiko
Faktor resiko yang tidak dapat di modifikasi untuk komplikasi
mikrovaskular dari diabetes termasuk usia tua, genetik (polimorfisme dari
gen aldose reductase), peningkatan durasi diabetes, dan tinggi badan.

15
Universitas Sumatera Utara

16

Penderita diabetes yang lebih tinggi lebih rentan untuk mengalami

neuropati diabetika karena memiliki saraf perifer yang lebih panjang.
Karena laki - laki umumnya lebih tinggi daripada wanita, maka lebih
banyak laki - laki yang mengalami neuropati diabetika dibandingkan
dengan perempuan. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi untuk neuropati
diabetika termasuk hiperglikemia, hipertensi, dislipidemia, merokok, dan
peminum alkohol. Penelitian multisenter yang dilakukan oleh kelompok
studi

The

European

Diabetes

Prospective

Complications

Study


melaporkan perkembangan dari neuropati diabetika sangat berhubungan
dengan durasi diabetes dan level dari Hemoglobin A1c (HbA1c). Faktor
resiko potensial lainnya yang secara statistik signifikan dilaporkan adalah
konsentrasi atau jumlah dari kolesterol total, low density lipoprotein (LDL)
kolesterol, dan trigliserida; body mass index; riwayat merokok; hipertensi;
mikroalbuminuria; dan penyakit kardiovaskular. Selain menjaga kadar
glukosa dengan baik, perlu juga dilakukan pemantauan kadar kolesterol
dan menghindari rokok untuk dapat mencegah terjadinya neuropati
diabetika (Tanenberg, 2009).

II.1.4. Klasifikasi
Neuropati yang berkembang pada penderita dengan diabetes
memiliki gejala yang heterogen, baik pola dari keterlibatan sistem saraf
yang terkait, perjalanan penyakit, faktor resiko, perubahan patologi, dan
mekanisme yang mendasarinya. Thomas dan Boulton et al, membedakan

16
Universitas Sumatera Utara

17


neuropati diabetika menjadi kelompok generalisata, fokal, dan multifokal
seperti yang terlihat pada gambar 1 di bawah ini (Tesfaye dkk, 2010; Dyck
dkk, 2011).

Gambar 1. Klasifikasi Neuropati Diabetika
Dikutip dari: Callaghan, B.C., Cheng, H.T., Stables C.L., Smith, A.L., and
Feldman,

E.L.

2012.

Diabetic

neuropathy:

clinical

manifestations


andcurrent treatments. Lancet Neurol; 11: 521 – 534

Bentuk yang paling umum dari neuropati diabetika kelompok
generalisata adalah distal symmetrical polyneuropathy seperti yang
terlihat pada gambar 1 a. Sedangkan untuk kelompok fokal dan multifokal
yang berhubungan dengan diabetes melitus dapat secara luas dibagi
menjadi neuropati yang berulang, ringan, dimana disebabkan oleh trauma
mekanik, kompresi, atau jebakan dan kemungkinan lainnya terkait dengan
proses peradangan dengan atau tanpa keterlibatan dari proses iskemik.
Kelompok atau bentuk neuropati diabetika fokal antara lain neuropati pada
saraf medianus pada pergelangan tangan, neuropati ulnaris pada daerah
siku, dan peroneal neuropati pada daerah lutut. Sedangkan yang
17
Universitas Sumatera Utara

18

termasuk kelompok neuropati diabetika multifokal adalah mononeuropati
seperti neuropati saraf kranialis ketiga, multiple mononeuropati, neuropati

pada radiks atau pleksus baik pada segmen servikal, torakal, maupun
lumbosakral seperti yang terlihat pada gambar 1 b dan c. Kelompok
neuropati diabetika lainnya adalah neuropati otonom dengan gejala dapat
berupa disfungsi ereksi, konstipasi, dan retensio urin seperti yang terlihat
pada gambar 1 d (Tesfaye dkk, 2010; Dyck dkk, 2011; Callaghan dkk,
2012).
Kelompok generalisata lebih lanjut dapat dibedakan lagi menjadi
dua subgrup utama yaitu neuropati diabetika tipikal dan atipikal. Neuropati
diabetika tipikal atau diabetic sensorimotor polyneuropathy (DSPN) adalah
bentuk kronik, bersifat simteris, dimana merupakan bentuk yang paling
umum dari neuropati diabetika (Tesfaye dkk, 2010). Penderita dengan
DSPN biasanya memiliki satu atau lebih dari keluhan seperti kesemutan,
baal, nyeri atau kelemahan. Keluhan ini mulai dirasakan dari bagian kaki
dan menjalar secara proksimal sepanjang distribusi persarafannya seperti
membentuk kaos kaki dan sarung tangan (maka itu dikenal sebagai
distribusi stoking dan glove). Gejala yang muncul bersifat simetris dengan
gejala sensorik yang lebih dominan daripada gejala motorik. Gejala yang
muncul bervariasi dari satu penderita dengan penderita yang lainnya
(Callaghan dkk, 2012).
Neuropati atipikal berbeda dari DSPN berdasarkan beberapa hal

penting, seperti onset, perjalanan penyakit, manifestasi, hubungan, dan

18
Universitas Sumatera Utara

19

mungkin mekanisme yang mendasarinya. Hal tersebut bervariasi,
berkembang pada setiap waktu selama perjalanan penyakit diabetesnya.
Onset dari gejala dapat bersifat akut, sub akut, atau kronik, tetapi
perjalanan penyakit biasanya monofasik atau berfluktuasi sesuai waktu.
Gejala nyeri dan gangguan otonom merupakan gejala khas dan
berhubungan dengan perubahan imunitas (Tesfaye dkk, 2010).

II.1.5. Patofisiologi
Patogenesis

dari

neuropati


diabetika

merupakan

hal

yang

kompleks, dan mekanisme dari penyakit ini masih belum di mengerti
sepenuhnya. Hiperglikemia atau kadar glukosa dalam darah yang tinggi
diyakini sebagai kondisi yang bertanggung jawab untuk perubahan yang
terjadi pada jaringan saraf. Terdapat dua mekanisme utama yang
diperkirakan memiliki peran cukup penting dalam terjadinya neuropati
diabetika, yaitu gangguan vaskular dan gangguan metabolisme. Akhir –
akhir ini muncul hipotesis yang menyatakan interaksi neuroimunitas yang
aktif ikut berkontribusi terhadap onset dan timbulnya nyeri yang persisten
pada penderita diabetes. Selain itu peranan sel glia dalam patogenesis
neuropati diabetika juga dalam penelitian lebih lanjut (Zychowska dkk,
2013).

Perubahan pada pembuluh darah mendukung bahwa kerusakan
saraf perifer terjadi akibat mekanisme yang terkait pada kerusakan
mikrovaskular dan hipokisa. Perubahan ini berdasarkan pada peningkatan

19
Universitas Sumatera Utara

20

dari ketebalan dinding melalui proses hialinisasi dari dinding pembuluh
darah dan lamina basal dari arteriol dan kapiler, yang mencetuskan
terjadinya iskemia pada serabut saraf. Akibat perubahan membran kapiler
yang menuju endoneurium akan memudahkan pelepasan protein plasma,
sehingga menyebabkan terjadinya edema dan peningkatan tekanan
interstisial di dalam saraf seperti tekanan dalam kapiler, deposit fibrin,
serta pembentukan trombus. Pada penelitian patologi yang menilai
segmen distal dan proksimal dari serabut saraf yang mengalami
neuropati, dijumpai suatu kehilangan multifokal di sepanjang serabut saraf
yang menunjukkan adanya peranan iskemia dalam patogenesis neuropati
diabetika (Zychowska dkk, 2013).

Hiperglikemi

adalah

penyebab

utama

terjadinya

neuropati

diabetika, walaupun dapat juga disebabkan oleh kondisi lainnya seperti
dislipidemia.

Terdapat

banyak

hipotesis yang

mendukung bahwa

hiperglikemia dalam waktu yang panjang dapat menyebabkan kerusakan
sel saraf melalui berbagai gangguan metabolisme dan akhirnya
menyebabkan neuropati diabetika. Beberapa hipotesis tersebut antara
lain, meningkatnya proses glikolisis yang dapat menyebabkan berlebihnya
ikatan transport mitokondrial dan pembentukan reactive oxygen species
(ROS), aldolse reductase pathway atau jalur poliol, pembentukan
advanced glucation end product (AGE), stres oksidatif, aksi yang
berlebihan dari poly (ADP-ribose) polymerase (PARP), aktivasi dari protein
kinase C (PKC), peningkatan jalur hexosamine, aktivasi mitogen activated

20
Universitas Sumatera Utara

21

protein kinase (MAPK) dan kerusakan karena proses inflamasi seperti
yang terangkum pada gambar 2 di bawah ini. Semua hipotesis tersebut
telah diteliti secara luas dan telah menghasilkan data yang cukup banyak
dan beberapa percobaan klinis berdasarkan inhibitor spesifik dari masing
– masing jalur (Negi dkk, 2011; Callaghan dkk, 2012).

Gambar 2. Mekanisme Neuropati Diabetika
Dikutip dari: Negi, G., Kumar, A., Joshi, R.P., Ruby, P.K., and Sharma,
S.S. 2011. Oxidative stress and diabetic neuropathy: Current status of
antioxidant. IOABJ; 2: 71 – 78

II.1.5.1 Jalur Poliol
Pada keadaan normal glukosa akan mengalami fosforilasi menjadi
glucose-6-phosphate melalui enzim hexokinase dan hanya sedikit saja
(3%) yang dirubah menjadi sorbitol melalui jalur poliol. Reaksi ini
dikatalisasi oleh enzim aldose reductase dengan nicotinamide adenine
dinucleotide phosphate (NADPH) sebagai kofaktornya (Negi dkk, 2011).

21
Universitas Sumatera Utara

22

Sorbitol secara bersamaan di oksidasi menjadi fruktosa oleh enzim
sorbitol

dehydrogenase

dan

membutuhkan

nicotinamide

adenine

dinucleotide (NAD+) sebagai kofaktor. Tetapi pada keadaan hiperglikemia,
enzim hexokinase mengalami proses saturasi dan kadar glukosa yang
berlebihan dimetabolisme melalui jalur poliol, sehingga menyebabkan
peningkatan dari afinitas atau daya tarik antara enzim aldose reductase
dengan glukosa. Hal ini akan memicu produksi berlebihan dari sorbitol dan
fruktosa, mengakibatkan gangguan metabolisme dan kerusakan jaringan
pada berbagai organ target termasuk saraf perifer seperti yang terlihat
pada gambar 3 di bawah ini (Negi dkk, 2011; Zychowska dkk, 2013).

Gambar 3. Mekanisme Neuropati Diabetika Melalui Jalur Poliol
Dikutip dari: Zychowska, M., Rojewska, E., Przewlocka, B., and Mika, J.
2013.

Mechanisms

and

pharmacology

of

diabetic

neuropathy



experimental and clinical studies. Pharmacological Reports; 65: 1601 –
1610

22
Universitas Sumatera Utara

23

Peningkatan produksi sorbitol akan menyebabkan terjadinya stres
osmotik dikarenakan sorbitol tidak dapat melewati membran sel dan
berakumulasi secara intraseluler di dalam jaringan saraf. Stres osmotik
dapat meningkatkan osmalaritas cairan intraseluler seiring dengan jumlah
air yang masuk, serta menyebabkan kerusakan sel Schwann dan
degenerasi dari serabut saraf. Penggunaan dari oskidase kompleks
NADPH menghasilkan stres oksidatif melalui penurunan produksi
glutathione, penurunan konsentrasi nitric oxide (NO), dan peningkatan
konsentrasi ROS. (Zychowska dkk, 2013; Yagihashi dkk, 2010).
Berdasarkan hipotesis dari Green tentang teori osmotik, dikatakan
peningkatan konsenstrasi sorbitol akan menurunkan osmolit lain di
sitoplasma, antara lain myo-inositol, taurine, dan adenosine. Deplesi dari
myo-inositol

akan

menyebabkan

deplesi

dari

phosphatidyl-inositol,

sehingga terjadi penurunan produksi adenosine triphosphate (ATP), yang
memicu penurunan aktivitas dari Na+/K+ ATP-ase, dimana penting dalam
impuls konduksi saraf (Yagihashi dkk, 2010).

II.1.5.2 Glikasi dan Advanced Glycation End-product (AGE)
Peningkatan proses glikasi atau glikoksidasi (proses glikasi yang
melibatkan oksidasi) non enzimatik dari protein juga memiliki peranan
yang penting dalam perkembangan neuropati diabetika. Pada keadaan
hiperglikemia, peningkatan jumlah dari glukosa dan fruktosa mengakibatkan terjadinya ikatan kovalen antara glukosa dan fruktosa dengan protein,

23
Universitas Sumatera Utara

24

nukleotida, atau molekul lipid tanpa adanya kontrol oleh enzim terkait.
Proses ini terjadi pada struktur protein dari sel saraf dan pembuluh darah
yang mensuplai sel saraf tersebut, dan produk dari transformasi atau
perubahan ini adalah AGE, yang dapat mempengaruhi fungsi seluler
(Zychowska dkk, 2013). Pada kenyataannya, deposisi atau penumpukan
dari AGE telah ditunjukkan pada sel saraf manusia maupun hewan yang
menderita diabetes, dimana dapat terjadi pada setiap komponen dari
jaringan saraf perifer, baik itu di dalam kolagen stromal, aksoplasma dari
serabut saraf, dan sel Schwann, begitu juga pada lapisan endoneurial
pembuluh darah (Zychowska dkk, 2013; Yagihashi dkk, 2010).
Beberapa gangguan seperti pembentukan trombus fokal dan
vasokonstriksi dapat disebabkan oleh AGE, dimana dapat mempengaruhi
deoxyribonucleid acid (DNA) seluler. Selain itu, proses glikasi protein
dapat menurunkan pembentukan sitoskletal, menginduksi agregasi
protein, dan memudahkan tejadinya ikatan dengan reseptor permukaan
sel. Mikrosirkulasi AGE dapat memicu perubahan dalam pembuluh darah
yang diakibatkan kondisi hiperglikemia sebelumnya, dimana konsentrasi
atau jumlah AGE tidak menurun dengan menurunkan kadar glukosa
menjadi normal. AGE juga telah dikaitkan dalam pembentukan dari radikal
bebas (Zychowska dkk, 2013).
Induksi dari proses glikasi non enzimatik struktur protein pada
serabut saraf memicu gangguan transportasi aksonal karena gilkasi
tubulin (Zychowska dkk, 2013). Proses glikasi pada kolagen membran,

24
Universitas Sumatera Utara

25

laminin dan fibronektin juga menyebabkan gangguan dari usaha
regenerasi pada serabut saraf (Yagihashi dkk, 2010). Reseptor AGE
(RAGE) dan produk glikasi dapat ditemukan pada saraf perifer
(Zychowska dkk, 2013). Ikatan antara ekstraselular AGE dan RAGE akan
memicu kaskade sinyal inflamasi, mengaktivasi oksidase NADPH, dan
menyebabkan stress oksidatif. Respon inflamasi jangka panjang juga
memicu hal yang sama, termasuk ikatan dengan RAGE dan aktifasi dari
NFKB seperti yang terlihat pada gambar 4 di bawahh ini (Callaghan B,
2012).

Gambar 4. Mekanisme Neuropati Diabetika Melalui AGE
Dikutip dari: Yagihashi, S., Mizukami, H., and Sugimoto, K. 2011.
Mechanism of diabetic neuropathy : Where are we now and where to go.
Journal of Diabetes Investigation; 2:18 – 32
25
Universitas Sumatera Utara

26

II.1.5.3 Stres Oksidatif
Stres oksidatif yang diakibatkan pembentukan radikal bebas telah
dipertimbangkan memiliki peranan dalam patogenesis neuropati diabetika.
Penelitian

selama

beberapa

tahun

terakhir

telah

mengidentifikasi

beberapa mekanisme utama yang terlibat dalam komplikasi mikrovaskular
dari diabetes. Stres oksidatif yang berasal dari proses hiperglikemia yang
berkepanjangan telah dianggap sebagai bagian dari berbagai kombinasi
mekanisme lainnya pada kerusakan jaringan. Selain hiperglikemia, faktor
lain seperti hipoksia endoneural dan dislipidemia memiliki peranan penting
dalam menimbulkan stress oksidatif pada sel saraf penderita diabetes.
Kerusakan protein yang diinduksi oleh ROS akan mempengaruhi
reseptor, enzim, serta transportasi protein, sehingga menyebabkan
kerusakan dari biomelekular lainnya (Negi dkk, 2011).
Selain hal – hal yang telah disebutkan diatas, pada kenyataannya,
terdapat beberapa data yang menunjukkan stres oksidatif yang diinduksi
atau dicetuskan oleh cedera jaringan saraf perifer pada penderita
diabetes. Berdasarkan latar belakang ini, telah dilakukan usaha untuk
menghambat proses neuropati dengan menggunakan antioksidan. Pada
beberapa penelitian, α lipoic acid telah digunakan untuk menekan stress
oksidatif dalam penelitian menggunakan tikus yang menderita diabetes,
dimana di dapatkan adanya perbaikan dalam kecepatan hantaran saraf,
aliran darah yang mensuplai sel saraf perifer, dan struktur sel saraf
tersebut (Yagihashi dkk, 2011).

26
Universitas Sumatera Utara

27

II.1.5.4 Aktivitas Protein Kinase C
Protein Kinase C adalah keluarga dari sebelas isoform, dimana
sembilan isoform diaktifkan oleh second messenger lipid, diacylglycerol
(DAG). Aktivasi PKC dapat memodulasi berbagai faktor transkripsi seperti
nuclear factor (NF)–κB yang menyebabkan peradangan. Selain itu,
akitvasi PKC dapat berkontribusi terhadap gangguan aliran darah,
peningkatan permeabilitas pembuluh darah, angiogenesis dan berbagai
efek lainnya yang mengarah kepada perkembangan dan progresi dari
komplikasi diabetes (Negi dkk, 2011).
Keterlibatan dari PKC pada neuropati diabetes didukung oleh
penelitian menggunakan model hewan yang dilakukan penghambatan
PKC dan didapatkan terjadi peningkatkan aliran darah saraf skiatik dan
perbaikan konduksi saraf. Protein Kinase C memiliki bagain struktur yang
unik, dimana dapat memfasilitasi regulasi yang sesuai dengan status
redoks sel. Aktivasi PKC akan memicu stres pada gen yang menyebabkan
terjadinya fosforilasi faktor transkripsi sehingga mengubah keseimbangan
ekspresi gen. Serupa dengan beberapa inhibitor aldose reductase,
beberapa inhibitor PKC juga telah terbukti menunjukkan efek antioksidan
(Negi dkk, 2011).

II.1.5.5 Proses Inflamasi
Telah terdapat bukti yang menunjukkan bahwa jaringan saraf pada
diabetes mengalami proses pro-inflamasi yang menimbulkan gejala dan

27
Universitas Sumatera Utara

28

berkembang menjadi suatu bentuk neuropati, dimana pada sel saraf
penderita diabetes mengandung makrofag, limfosit, Tumor Necrosis
Factor (TNF)-α atau interleukin (IL). Inhibisi pelepasan sitokin atau migrasi
makrofag dikaitkan dengan perbaikan dari kecepatan hantaran saraf. Hal
ini didukung melalui percobaan pada hewan tikus yang ditemukan
perbaikan pada kecepatan hantaran saraf dan aliran darah setelah
dilakukan

penghambatan

pada

cylooxygenase

(COX)–2,

dimana

konsentrasi COX-2 ditingkatkan oleh aktivasi jalur asam arakidonat.
Reaksi pro-inflamasi dapat disebabkan oleh hiperaktivitas jalur poliol atau
peningkatan produksi AGE, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut mengenai peran dari reaksi pro-inflamasi dalam perkembangan
neuropati, apakah reaksi ini dapat berdiri sendiri dalam proses terjadinya
neuropati atau hanya menjadi faktor yang ikut berperan dalam proses
terjadinya neuropati. Dengan meningkatnya informasi tentang peran
reaksi inflamasi pada proses terjadinya neuropati, dapat dilakukan
pendekatan untuk menekan gejala sakit atau perkembangan neuropati
dengan target spesifik dari sitokin atau sinyal sel (Yagihashi dkk, 2011).

II.1.5.6 Mekanisme Nyeri Neuropati Diabetika
Kerusakan saraf akibat kondisi hiperglikemia yang berkepanjangan
merupakan patofisiologi yang umum terjadi baik pada penderita neuropati
diabetika dengan atau tanpa nyeri. Nyeri pada penderita neuropati
diabetika tampaknya merupakan bagian dari respon tubuh yang berlebih

28
Universitas Sumatera Utara

29

atau respon yang abnormal dari kerusakan saraf yang terjadi. Kaskade
dari kejadian akibat kerusakan saraf memicu ekspresi yang abnormal dari
kanal natrium disepanjang akson pada saraf perifer yang mengalami
kerusakan, sehingga menimbulkan potensiasi ektopik sel saraf. Terdapat
perubahan dari ekspresi kanal ion Na+, K+, dan Ca2+ pada sel saraf
nosiseptif dari akar ganglion dorsalis, dimana terjadi proliferasi dan
perkembangan yang abnormal dari sel saraf simpatetik. Akibatnya timbul
sensari nyeri yang spontan. Meskipun tidak jelas mengapa sebagian
penderita neuropati diabetika merasakan nyeri dan sebagian tidak, gejala
nyeri neuropatik tampaknya merupakan hal yang independen dalam
tingkat keparahan neuropati yang terjadi. Faktor hemodinamik telah
diyakini sebagai penyebab terjadinya nyeri pada penderita neuropati
diabetika, dimana saturasi oksigen intravaskular dan aliran darah
epineural terlihat lebih tinggi pada penderita neuropati diabetika dengan
nyeri. Hal ini diperkirakan akibat dari hipoksia endoneurium yang
menstimulus sensasi nyeri (Yoo dkk, 2013).
Penelitian akhir – akhir ini juga mengimplikasikan keterlibatan dari
nyeri sentral sebagai mekanisme timbulnya nyeri pada penderita neuropati
diabetika. Pada penelitian tersebut dilaporkan bahwa sel saraf yang
abnormal pada daerah ventral posterolateral thalamus dari penderita
diabetes dapat menjadi sangat sensitif atau hipereksitabilitas sehingga
meningkatkan sensasi nyeri. Proses sentral ini dapat berhubungan
dengan peningkatan perfusi talamik atau modulasi supraspinal yang

29
Universitas Sumatera Utara

30

abnormal

dari

proses

sensorik

terkait

kerusakan

akibat

kondisi

hiperglikemia dalam waktu yang lama sehingga menyebabkan timbulnya
gejala allodynia dan hiperalgesia (Yoo dkk, 2013)

Gambar 5. Gambaran Reseptor NMDA
Dikutip dari: Spruce, M.C., Potter, J., and Coppini, D. 2003. The
pathogenesis and management of painful diabetic neuropathy: a review.
Diabetic Medicine. 20:88–98

Selain yang telah dijelaskan di atas, mekanisme nyeri karena
proses sentral juga melibatkan reseptor NMDA. Stimulus saraf yang terusmenerus atau persisten menyebabkan aktivasi dari reseptor NMDA yang
berlokasi pada membran post sinaps kornu dorsalis medulla spinalis.
Kompleks NMDA adalah reseptor yang sensitif terhadap voltase dan ligan.
Kompleks ini memiliki kanal ion yang dihalangi oleh ion magnesium
selama potensial membran saat istirahat seperti yang terlihat pada

30
Universitas Sumatera Utara

31

gambar 5 di atas. Pelepasan glutamat (neurotransmitter eksitasi) akan
menyebabkan pemanjangan waktu depolarisasi dengan masuknya ion
kalsium dan natrium serta keluarnya ion kalium, sehingga terjadi
rangsangan yang meningkatkan produksi potensial post sinaps yang lebih
besar dari biasanya (potensiasi sinaps) (Spruce dkk, 2003)
Perubahan reseptor NMDA menyebabkan terjadinya kondisi ‘on
fire’ dan meningkatkan fenomena spinal wind-up, Hal ini didefinisikan
sebagi peningkatan eksitabilitas secara terus-menerus pada membran
neuron sentral dengan potensiasi yang persisten (Spruce dkk, 2003).

II.2.6. Diagnosis
Untuk mendiagnosis neuropati diabetika tidak ada standar baku
emas yang tersedia. Konsensus San Antonio telah merekomendasikan
bahwa setidaknya satu pengukuran harus dilakukan dari lima jenis
pemeriksaan yang dapat dilakukan, seperti menilai gejala menggunakan
sistem penilaian yang tersedia, pemeriksaan fisik, tes kuantitatif sensorik,
tes fungsi otonom kardiovaskular, dan tes elektrodiagnostik (Meijer dkk,
2003).
Salah satu sistem penilaian atau skoring untuk mendiagnosis
neuropati diabetika yang telah di validasi dan diterima secara luas adalah
Neuropathy Symptom Score (NSS). Tetapi beberapa kriteria yang
digunakan pada NSS merupakan kriteria yang jarang untuk dinilai, hal ini
disebabkan karena NSS tidak dibuat secara spesifik untuk penderita

31
Universitas Sumatera Utara

32

neuropati

diabetika.

Kelompok

besar

dari

penderita

diabetes

membutuhkan skrining secara regular untuk mendiagnosis neuropati
diabetika sedini mungkin sehingga dapat mencegah terjadinya ulkus
diabetik.

Konsekuensi

dari

hal

ini

adalah

dikembangkan

dan

dimodifikasinya beberapa sistem penilaian yang memenuhi kriteria
metodelogi secara penuh untuk tes diagnostik. Salah satu sistem
penilaian baru yang dikembangkan adalah Diabetic Neuropathy Symptom
(DNS) Score dan Diabetic Neuropathy Examination (DNE) Score (Meijer
dkk, 2002; Meijer dkk, 2003).
Sistem penilaian DNS terdiri dari empat kriteria yang telah di
validasi dengan nilai prediktif yang tinggi untuk mendeteksi neuropati
diabetika pada penderita diabetes. Gejala – gejala seperti ketidakseimbangan dalam berjalan, nyeri neuropatik seperti rasa terbakar, parastesi,
dan rasa kebas merupakan komponen yang dinilai. Jika gejala yang
disebutkan di atas muncul di beri nilai satu dengan nilai maksimum empat.
Nilai 1 atau lebih diinterpretasikan sebagai positif neuropati diabetika.
Sedangkan sistem penilaian DNE terdiri dari dua pemeriksaan kekuatan
otot, satu pemeriksaan refleks, dan lima pemeriksaan sensorik. Masing –
masing pemeriksaan di beri nilai 0 – 2 (dengan nilai 0 normal dan 2 sangat
terganggu). NIlai maksimum adalah 16 dan dikatakan positif neuropati
diabetika jika nilainya DNE ≥ 3 (Meijer dkk, 2003).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Asad dkk, (2010), yang
membandingkan beberapa sistem penilaian berdasarkan scoring gejala

32
Universitas Sumatera Utara

33

dan pemeriksaan fisik dengan pemeriksaan kecepatan hantaran saraf
didapatkan sensitivitas dari DNS, DNE, NSS, dan Neuropathy Disability
Score (NDS) masing masing 64,1%, 17,95%, 82,05%, dan 92,31%.
Sedangkan spesifisitas dari DNS, DNE, NSS, dan NDS masing – masing
adalah 80,95%, 100%, 66,67%, 47,62%. Kombinasi dari beberapa sistem
penilaian atau skoring akan menghasilkan sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih baik.

II.2. NEURALGIA TRIGEMINAL
II.2.1. Definisi
Tokoh yang pertama kali memperkenalkan gambaran klinis dari
neuralgia trigeminal adalah Aretaeus. Pada tahun 1677, John Locke
mengidentifikasi gejala klinis utama dari neuralgia trigeminal . Awalnya
penyakit ini sempat disebut tic douloureux oleh Nicolaus Andre, seorang
dokter dari Perancis, pada tahun 1756, dikarenakan terjadi kekakuan otot
wajah pada serangan neuralgia trigeminal. Pada tahun 1773, seorang
dokter dari Inggris, John Fothergill, berhasil mendeksripsikan gejala klinis
utama dari neuralgia trigeminal. Sejak itu dilakukan inventigasi yang lebih
luas terhadap neuralgia trigeminal dari berbagai bidang (Denny dkk, 2010;
Sabalys dkk, 2012; Hasan dkk, 2012).
Neuralgia trigeminal adalah kelainan sistem saraf berupa serangan
nyeri wajah, unilateral, dan bersifat spontan, episodik, menusuk, seperti
tersengat listrik, melibatkan cabang saraf trigeminus (N.V) bagian atas V1

33
Universitas Sumatera Utara

34

(N.Opthalmikus) meliputi persarafan pada kulit kepala, dahi, dan kepala
bagian depan, cabang bagian tengah V2 (N.Maksilaris) meliputi pipi,
rahang atas, bibir atas, gigi dan gusi, dan sisi hidung, cabang bagian
bawah wajah V3 (N.Mandibularis) mempersarafi rahang bawah, gigi, bibir
bawah, gigi dan gusi (Sjahrir dkk, 2013; Srivastava dkk, 2015).
Berdasarkan The International Association for The Study of Pain
(IASP) neuralgia trigeminal didefinisikan sebagai nyeri yang timbul secara
mendadak, biasanya unilateral, nyeri singkat dan berat seperti di tusuk di
salah satu atau lebih cabang saraf kranial ke-V (Meliala, 2008; Srivastava
dkk, 2015).

II.2.2. Epidemiologi
Prevalensi neuralgia trigeminal pada populasi umum adalah
0,015%. Neuralgia trigeminal merupakan jenis nyeri wajah yang paling
sering dijumpai dimana inseiden secara keselurahan dari neuralgia
trigeminal tetap konstan sekitar 12,6 per 100,000 penduduk per tahun
sampai 27 per 100,000 penduduk per tahun (Montano dkk, 2015).
Menurut Meliala, (2008) prevalensi neuralgia trigeminal kurang lebih 155
per 100,000 penduduk dan insidensinya 40 per 1,000,000 penduduk
sedangkan menurut Bennetto dkk, (2007) Prevalensi neuralgia trigeminal
di Inggris 27 per 100,000 penduduk per tahun. Namun, berdasarkan
penelitian berbasis populasi sebelumnya dilaporkan angka kejadian
neuralgia trigeminal adalah 4 – 13 per 100,000 penduduk per tahun.

34
Universitas Sumatera Utara

35

Angka prevalensi maupun insidensi untuk Indonesia belum ada.
Bila insidensi diasosiasikan sama dengan negara lain maka terdapat
kurang lebih 8000 penderita baru per tahun. Akan tetapi mengingat
harapan hidup orang Indonesia makin tinggi, maka diperkirakan prevalensi
penderita neuralgia trigeminal akan meningkat (Meliala, 2008).
Neuralgia trigeminal lebih banyak diderita oleh usia lanjut (50 – 70
tahun), jarang dibawah 40 tahun, walaupun kadang – kadang ditemukan
pada usia muda terutama bentuk atipikal atau sekunder. Insiden penyakit
ini meningkat secara bertahap sesuai dengan meningkatnya usia. Pada
wanita sedikit lebih banyak dijumpai, yaitu kurang lebih 60 %
dibandingkan dengan laki – laki (Bennetto dkk, 2008; Meliala, 2008;
Montano dkk, 2015). Faktor ras dan etnik tampaknya tidak berpengaruh
terhadap kejadian neuralgia trigeminal (Meliala, 2008).

II.2.3. Etiologi dan Klasifikasi
Penyebab pasti neuralgia trigeminal belum ditemukan, demikian
juga dengan patofisiologinya. Berdasarkan beberapa observasi yang ada,
umumnya para ahli bedah saraf mengatakan bahwa neuralgia trigeminal
terutama bentuk klasik atau tipikal disebabkan oleh kompresi saraf
trigeminal, baik oleh tumor atau malformasi arteri vena, dimana keduanya
pernah ditemukan pada penderita neuralgia trigeminal. Pada sebagian
kecil neuraglia trigeminal juga ditemukan adanya multiple sclerosis.
Penyebab lain yang jarang termasuk infiltrasi akar saraf, ganglion gasseri,

35
Universitas Sumatera Utara

36

proses amiloidosis, infark kecil, angioma di pons atau medulla oblongata.
Lesi di fossa posterior seperti meningioma, neuroma akustik, kista
epidermoid, dan aneurisma basilar juga dapat menyebabkan neuralgia
trigeminal. Jika semua faktor etiologi telah disingkirkan maka diagnosis
neuralgia trigeminal idiopatik dapat ditegakkan (Meliala, 2008).
Berdasarkan
neuralgia

trigeminal

IASP,

neuralgia

idiopatik

dan

trigeminal
neuralgia

dibedakan
trigeminal

menjadi
sekunder.

Sedangkan berdasarkan International Headache Society (IHS), neuralgia
trigeminal dibedakan menjadi idiopatik atau klasik dan simtomatik, dimana
neuralgia trigeminal simptomatik berkaitan dengan adanya lesi struktural,
tetapi keterlibatan lesi vaskular tidak begitu jelas (Meliala, 2008;
Obermann, 2010; Sjahrir dkk, 2013).

II.2.4. Patofisiologi
Patofisiologi neuralgia trigeminal sampai sekarang ini masih ada
dua pendapat, yang pertama adalah mengatakan gangguan mekanisme
saraf perifer sebagai penyebab terjadinya neuralgia trigeminal, dan yang
kedua mengatakan gangguan mekanisme sentral sebagai penyebab
neuralgia trigeminal. Aktivasi dari reseptor, transmisi dan proyeksi dari
informasi nosiseptif, konvergensi dari serabut aferen nosiseptif menuju
sistem saraf pusat, dan interaksi antara neurotransmiter dan neuromodulator merupakan beberapa mekanisme neurofisiologik yang terlibat
dalam neuralgia trigeminal (Meliala, 2008; Costa dan Leite, 2015).

36
Universitas Sumatera Utara

37

Data – data klinis yang mendukung bahwa penyebab neuralgia
trigeminal adalah gangguan saraf tepi antara lain ditemukannya
peregangan atau kompresi dari saraf trigeminal, adanya malformasi
vaskular pada beberapa penderita neuralgia trigeminal, adanya tumor
dengan pertumbuhan yang lambat, dan adanya proses inflamasi pada
saraf trigeminal (Meliala, 2008).
Beberapa data yang mendukung mekanisme sentral sebagai
penyebab neuralgia trigeminal antara lain, adanya periode laten yang
dapat diukur antara waktu stimulus terhadap trigger point dan onset
serangan, serangan tak dapat dihentikan apabila sudah berlangsung,
setiap serangan selalu diikuti oleh periode refrakter dan selama periode ini
pacuan apapun tidak dapat menimbulkan serangan, serangan seringkali
dipicu oleh stimulus ringan yang pada orang normal tidak menimbulkan
gejala nyeri, dan nyeri yang menyebar keluar daerah yang diberi sitmulus
(Meliala, 2008).
Selain data tersebut, beberapa hasil penelitian atau eksperimen
juga mendukung teori mekanisme sentral. Teori ini menyatakan bahwa
iritasi kronik pada serabut saraf trigemus akan menyebabkan gangguan
atau berkurangnya inhibisi segmental dan munculnya ectopic action
potential. Kombinasi kedua hal tersebut akan menyebabkan low treshold
mechanoceptive interneuron di nukleus oralis menjadi aktif secara
paroksismal. Bila paroxysmal discharge ini cukup kuat akan mampu
mengaktifkan neuron wide dynamic range (WDR) di nukleus kaudalis dan

37
Universitas Sumatera Utara

38

inilah yang menyebabkan munculnya serangan neuralgia trigeminal. Pada
keadaan normal neuron WDR akan aktif bila ada stimulus noksius. Akan
tetapi bila terjadi iritasi kronik dan ectopic discharge maka akan
menyebabkan nilai ambang neuron WDR menurun atau dengan kata lain
sensitivitasnya meningkat dan hal ini merupakan salah satu penyebab
sensitisasi sentral. Dengan menurunnya nilai ambang neuron WDR, maka
neuron tersebut sangat peka, sehingga rangsangan non-noksius saja
sudah cukup untuk mengaktifkan timbulnya serangan (Meliala, 2008).

II.2.5. Diagnosis
Diagnosis dari neuralgia trigeminal klasik berdasarkan konsensus
nasional IV diagnostik dan penatalaksanaan nyeri kepala terdiri dari
beberapa kriteria, yaitu : (Sjahrir dkk, 2013)
A. Serangan nyeri parkosismal beberapa detik sampai dua menit
melibatkan 1 atau lebih cabang saraf trigeminus dan memenuhi
kriteria B dan C
B. Nyeri paling sedikti memenuhi 1 karakteristik sebagai berikut :
a. Kuat, tajam, superfisial atau rasa menikam
b. Dipresipitasi dari trigger area atau oleh faktor pencetus
C. Jenis serangan stereotyped pada setiap individu
D. Tidak ada defisit neurologis
E. Tidak berkaitan dengan gangguan lain.

38
Universitas Sumatera Utara

39

Perbedaan kriteria diagnostik antara neuralgia trigeminal klasik dan
simtomatis terletak pada kriteria D, dimana pada neuralgia trigeminal
simtomatis lesi penyebab adalah selain kompresi pembuluh darah, juga
kelainan struktural yang nyata terlihat pada pemeriksaan canggih dan atau
eksplorasi fossa posterior (Sjahrir dkk, 2013).

II.3. AMITRIPTILLIN
Generasi pertama dari antidepresan secara kimia berhubungan
dengan karbamazepin, obat antikonvulsi, dimana antidepresan memiliki
struktur trisiklik, sehingga secara umum disebut sebagai tricyclic
antidepressants. Berdasarkan pada atom nitrogen di dalam molekul, TCA
dapat di bagi menjadi amine sekunder atau tersier, dimana secara klinis
memiliki relevansi atau hubungan dengan efek yang berbeda pada
ambilan kembali jenis amin biogeniknya. Pada amine sekunder, misalnya
desipramin,

lebih

berperan

dalam

menghambat

ambilan

kembali

norepinefrin, berbeda dengan amine tersier seperti amitriptilin, dimana
lebih berperan dalam menghambat ambilan kembali norepinefrin dan
serotonin (Petroianu dan Schmitt, 2002).

II.3.1. Definisi
Amitriptilin adalah derivat dibenzodikloheptadin yang bekerja
sebagai senyawa serotonin dan norepinephrine reuptake inhibitor dimana

39
Universitas Sumatera Utara

40

memiliki dua gugus metal seperti yang terlihat pada gambar 5 di bawah ini
(Shankar dkk, 2013; Santoso dan Wiria, 2007).

Gambar 6. Struktur Formula Amitriptilin
Dikutip dari: Santoso, S., dan Wiria, M. 2007. Psikotropik. Dalam:
Gunawan, S., Setiabudy, R., Nafrialdi, Elysabeth. editor. Farmakologi dan
Terapi edisi kelima. Jakarta : Gaya Baru. hal 148 – 162

Senyawa ini menghalangi α adrenergik, histaminergik, muskarinik
kolinergik dan reseptor NMDA dan telah tercatat dapat digunakan untuk
mengurangi persepsi nyeri. Amitriptilin merupakan obat golongan TCA
pertama yang digunakan untuk mengatasi neuropati (Shankar dkk, 2013).

II.3.2. Farmakokinetik dan Farmakodinamik
Semua obat – obat golongan TCA diabsopsi secara cepat setelah
pemberian secara oral dan berikatan kuat dengan albumin plasma. Obat –
obatan ini juga berikatan dengan jaringan ekstravaskular dan berdistribusi
secara luas. Inaktivasi dari TCA terjadi melalui enzim CYP450, dengan
demetilasi dari kelompok TCA tersier menjadi bentuk metabolit dari amine

40
Universitas Sumatera Utara

41

sekunder,

kemudian

dilanjutkan

dengan

proses

hidroksilasi

dan

glukuronidasi sebelum dieksresi melalui urin. Konsentrasi plasma untuk
efek terapi, biasanya di mulai antara 50 – 300 ng/mL (Gilman, 2007).
Sejak tahun 1970, TCA merupakan pengobatan lini pertama untuk
neuropati diabetika. Penelitian menunjukkan bahwa obat ini dapat
menghilangkan rasa nyeri dari stimulus suhu, mekanik dan elektrik pada
penderita diabetik. TCA juga dapat mempengaruhi aksi dari reseptor α1
adrenergik, dimana TCA dapat menurukan aktivitas simpatis dan memblok
hiperlagesia yang diakibatkan oleh aktivasi reseptor NMDA. Berdasarkan
sebuah studi, terlihat bahwa TCA dapat digunakan untuk gejala nyeri
terbakar, meskipun tidak ada hubungan langsung antara manifestasi rasa
nyeri tersebut dengan efikasi obatnya. Pemberian obat – obatan golongan
TCA seperti trimipramine dan amitriptilin menunjukkan trend yang baik,
dimana respon efektif muncul 2 – 3 minggu setelah pemeberian terapi
inisiasi (Spruce dkk, 2003).
Antidepresan trisiklik diklasifikasikan sebagai obat selektif dengan
tingkat evidence A oleh The European Federation of Neurological
Societies (EFNS) berdasarkan pada dua penelitan meta-analisis kelas I,
namun, pedoman EFNS tidak merekomendasikan obat golongan TCA
yang spesifik. Sedangkan berdasarkan The American Academy of
Neurology (AAN) menyatakan bahwa amitriptilin (25-100 mg per hari)
memiliki tingkat evidence B berdasarkan satu penelitian kelas I dan dua
penelitian kelas II (Callaghan dkk, 2012).

41
Universitas Sumatera Utara

42

Obat – obatan TCA sering di gambarkan oleh farmakologis sebagai
“dirty drugs”, di karenakan TCA tidak memiliki aksi farmakodinamik yang
selektif. Efek TCA pada biogenic amine bekerja pada banyak organ target,
seperti kanal ion dan reseptor neurotransmitter, dimana hal ini dapat
menjelaskan efek samping dari kelompok obat TCA seperti rasa
mengantuk, vasodilatasi, takikardi, konstipasi, mulut kering, dan gangguan
akomodasi bola mata (Petroianu dan Schmitt, 2002; Spruce dkk, 2003).

II.4. GABAPENTIN
Gabapentin

diperkenalkan

pada

tahun

1993

sebagai

obat

antikonvulsan tambahan untuk mengobati kejang parsial yang refrakter.
Pada perkembangannya, gabapentin menunjukkan efektifitasnya sebagai
terapi berbagai jenis nyeri kronik, termasuk neuralgia post herpetik,
neuropati diabetika, sindrom nyeri komplek regional, nyeri akibat inflamasi,
nyeri sentral, nyeri pada keganasan, neuralgia trigeminal , dan sakit
kepala (Kong dan Irwin, 2007)
Pada tahun 2002 gabapentin telah diakui oleh lembaga Food and
Drug Administration (FDA) Amerika Serikat sebagai terapi post herpetic
neuralgia. Sedangkan di Inggris gabapentin telah mendapat ijin penuh
untuk digunakan sebagai terapi semua nyeri kronik. Pemakaian
gabapentin saat ini meluas hingga pemakaian pada kondisi akut seperti
nyeri pada periode perioperatif (Kong dan Irwin, 2007)

42
Universitas Sumatera Utara

43

II.4.1. Definisi
Gabapentin, 1-(aminometil) cyclohexane asetil acid adalah struktur
yang analog dengan neurotransmiter γ-aminobutirat acid (GABA) seperti
yang terlihat pada gambar 6 dibawah ini. Memiliki molekul formula
C9H17NO2 berbentuk kristal putih. Gabapentin terlarut dalam air dan cairan
asam (Rose dan Kam, 2002).

Gambar 7. Struktur Formula GABA (A) dan Gabapentin (B)
Dikutip dari: Kong, V.K., and Irwin, M. 2007. Gabapentin: a multimodal
perioperative drug. British Journal of Anaesthesia. 6: 775–86

II.4.2. Farmakokinetik
Absorbsi gabapentin tergantung dari mekanisme transport asam Lamino pada saluran cerna. Selanjutnya bioavabilitas oralnya bervasiasi
tergantung dosis. Setelah dosis 300 – 600 mg, bioavaibilitas gabapentin
dapat mencapai 40 – 60%. Konsentrasi plasma sesuai dengan dosis yang
ditingkatkan sampai dengan 1800 – 3600 mg per harinya kemudian stabil.
Gabapentin di distribusikan secara eksklusif pada jaringan dan cairan
tubuh setelah masuk ke dalam tubuh. Gabapentin tidak berikatan dengan
protein plasma dan memiliki volume distribusi 0.6 - 0.8 liter kg. Gabapentin
mudah berubah menjadi ion pada pH fisiologis, maka itu konsentrasi pada

43
Universitas Sumatera Utara

44

jaringan lemaknya rendah. Setelah mendapat kapsul 300 mg, level
puncak plasma (Cmax) bernilai 2.7 mg/ml dicapai dalam waktu 2 – 3 jam.
Konsentrasi gabapentin pada cairan serebrospinal mencapai 5 – 35% dari
plasma, dimana konsentrasi pada jaringan otak mencapai 80% dari
plasma (Kong dan Irwin, 2007; Rose dan Kam, 2002).
Gabapentin tidak dimetabolisme pada manusia dan dikeluarkan
melalui urin dengan bentuk yang tidak berubah. Gabapentin melewati
eliminasi kinetik pertama dan adanya gangguan ginjal dapat terus –
menerus meningkatkan eliminasi gabapentin dimana berhubungan
dengan bersihan kreatin secara linear. Eliminasi paruh waktu gabapentin
berada antara 4,8 – 8,7 jam. Gabapentin dapat dikeluarkan dengan
hemodialisa, jadi penderita dengan gangguan ginjal harus menerima
gabapentin dengan dosis maintenance setelah hemodialisa.Tidak seperti
obat antikonvulsi yang lainnya, gabapentin tidak menginduksi atau
menginhibisi enzim mikrosomal hati (Kong dan Irwin, 2007; Rose dan
Kam, 2002 ).
Gabapentin ditoleransi baik dan memberi efek samping yang
rendah. Keamanan dan toleransi gabapentin telah dievaluasi pada 2216
penderita yang mendapat terapi kejang, dan hasilnya dilaporkan
munculnya efek samping berupa mengantuk (15.2%), pusing (10.9%),
asthenia (6%), sakit kepala (4.8%), mual (3.2%), ataksia (2.6%),
peningkatan berat badan (2.6%), dan ambliopia (2.1%), efek samping

44
Universitas Sumatera Utara

45

yang sama didapatkan juga pada penderita nyeri kronis yang mendapat
terapi dengan gabapentin (Kong dan Irwin, 2007).

II.4.3. Farmakodinamik
Peranan gabapentin dalam terapi nyeri neuropatik belum jelas.
Walaupun studi terkini menunjukkan gabapentin memiliki efek sentral
alodinia dan mampu menghambat aktifitas inhibisi ektopik dari cedera
pada nervus perifer (Rose dan Kam, 2002).
Gabapentin tidak memiliki aksi GABAergik langsung dan tidak
menghalangi ambilan GABA atau metabolisme. Gabapentin menghalangi
fase tonik nosiseptif yang diinduksi oleh formalin dan carrageenan, dan
menunjukkan efek inhibisi yang poten pada nyeri neuropatik dengan
hiperalgesia mekanis dan alodinia termal maupun mekanis (Rose dan
Kam, 2002; MacEwan dkk, 2009).
Mekanisme efek anti alodinia dari gabapentin meliputi efek susunan
saraf pusat yang meningkatkan inhibisi input jalur mediasi GABA
(sehingga mengurangi level input eksitasi), antagonis reseptor NMDA, dan
antagonis kanal kalsium pada susunan saraf pusat serta inhibisi saraf
perifer. Dikatakan bahwa antagonis NMDA dan blok kanal merupakan
teori yang memiliki bukti yang mendukung seperti yang terlihat pada
gambar 8 di bawah ini. Aksi hiperalgesi melalui ikatan dengan reseptor
opioid menunjukkan bahwa toleransi morfin tidak mempengaruhi efikasi

45
Universitas Sumatera Utara

46

gabapentin dan nalokson tidak mengurangi efek hiperalgesi gabapentin
(Rose dan Kam, 2002; Kong dan Irwin, 2007).

Gambar 8. Mekanisme Kerja Gabapentin
Dikutip dari: MacEwan, A., McKay, G., and Fisher, M. 2009. Gabapentin.
Pract Diab Int. 26(5): 206–207

Saat ini voltage-dependent Ca2+ channel (VGCC) adalah target anti
nosiseptif dari gabapentin. Ikatan gabapentin pada subunit α2δ dari VGCC
menghambat masuknya ion kalsium ke dalam sel saraf, akibatnya terjadi
penurunan pelepasan neurotransmitter sehingga mempengaruhi aktivitas
post sinaps, dimana terjadi penurunan hipereksitabilitas. Selain itu,
aktivasi reseptor GABAb menyebabkan modulasi dari reseptor NMDA pre
sinaps, dimana menyebabkan mengganggu pelepasan neurotransmiter
eksitatorik seperti glutamat, aspartat, substansi P, dan calcitonin generelated peptide (CGRP) (Kong dan Irwin, 2007; MacEwan dkk, 2009).

46
Universitas Sumatera Utara

47

II.5. PREGABALIN
Pregabalin,

secara farmakologi merupakan

bentuk aktif

S-

enantiomer of 3-aminomethyl-5-methyl-hexanoic acid seperti yang terlihat
pada gambar 7 di bawah ini, memiliki efek analgesik selain antikonvulsan
(Frampton dan Scott, 2004).

Gambar 7. Struktur Formula Pregabalin
Dikutip dari: Frampton, J., and Scott, L. 2004. Pregabalin in the Treatment
of Painful Diabetic Peripheral Neuropathy. Drugs; 24: 2813 – 2820

II.5.1 Definisi
Pregabalin
penghambatan
analgesik,

adalah

molekul

neurotransmitter

antikonvulsan,

anti

sintetik
GABA.

ansietas,

baru

dan

Pregabalin
serta

turunan

dari

memiliki

efek

memodulasi

tidur.

Pregabalin mengikat subunit α2δ, menghasilkan penurunan pelepasan
beberapa neurotransmiter, termasuk glutamat, noradrenalin, serotonin,
dopamin, dan substansi P (Gajraj, 2007).
Melalui persetujuan Komisi Eropa pada bulan Juli 2007 menyetujui
penggunaan pregabalin di semua negara anggota Uni Eropa untuk
pengobatan nyeri neuropatik perifer dan sebagai terapi tambahan untuk

47
Universitas Sumatera Utara

48

kejang parsial pada pasien dengan epilepsi. Persetujuan ini didasarkan
pada Hasil dari 10 studi percobaan yang melibatkan lebih dari 9000
pasien. Pada bulan Desember 2004, Food and Drug Administration
menyetujui penggunaan pregabalin untuk pengobatan nyeri neuropatik
yang berhubungan dengan neuropati diabetika dan post herpetic neuralgia
(Gajraj, 2007).

II.5.2 Farmakokinetik dan farmakodinamik
Absorpsi pregabalin tidak mengalami saturasi, menghasilkan profil
farkmakokinetik linear. Pada orang yang sehat, pregabalin cepat di
absorpsi dan konsentrasinya dalam darah mencapai puncak dalam waktu
1 jam. Rata – rata bioavailibiltas pregabalin melebihi 90% dan tidak
tergantung pada dosis, sehingga dapat menghasilkan respon yang lebih
dapat diprediksi. Waktu paruh pregabalin berkisar antara 5,5 sampai 6,7
jam (Gajraj, 2007).
Mekanisme kerja dari pregabalin belum sepenuhnya dimengerti,
tetapi diyakini memiliki sifat farmakologis yang sama dengan gabapentin,
dimana berikatan dengan subunit α2δ dari VGCC yang tersebar luas baik
di sistem saraf perifer maupun sentral, sehingga terjadi penurunan dari
pelepasan neurotransmitter dan hipereksitabilitas pada neuron. Pregabalin
memiliki daya ikat enam kali lebih kuat dibandingkan dengan gabapentin
terhadap subunit α2δ (Gajraj, 2007).

48
Universitas Sumatera Utara

49

Dosis yang dianjurkan dari pregabalin adalah 75-150 mg dua kali
per hari atau 50-100 mg 3 kali sehari pada pasien dengan creatinin
clearance setidaknya 60 mL / menit. Dosis biasanya dimulai pada 75 mg
sekali atau dua kali sehari dan dapat ditingkatkan sampai 300 mg / hari
dalam 1 minggu berdasarkan efikiasi dan derajat tolerabilitas. Dosis dapat
ditingkatkan hingga 600 mg sehari setelah 2 – 4 minggu. Pasien dengan
nyeri pasca stroke mungkin lebih rentan terhadap obat daripada populasi
pasien lainnya. Untuk itu disarankan pada beberapa pasien untuk
memulai dengan dosis pregabalin rendah 25 mg dan meningkatkan
perlahan. Dosis tersbut harus disesuaikan untuk pasien dengan gangguan
ginjal (Gajraj, 2007)..

49
Universitas Sumatera Utara

50

II.6. KERANGKA TEORI
Neuralgia trigeminal

Neuropati Diabetik

Menurut Baron dkk, 2010, Neuralgia
trigeminal merupakan salah satu bentuk
nyeri neuropati fokal yang mengenai saraf
trigeminal

Menurut Thisted dkk, 2006, Distal Symmetric
Sensory Neuropathy (DSSN) merupakan bentuk
paling
umum
dari
neuropati
diabetik
bermanifestasi berupa kehilangan sensasi, nyeri
terbakar, parasthesia, atau kelemahan otot

Menurut Denny dkk, 2010, Neuralgia
trigeminal dikarakteristikkan berupa nyeri
pada salah satu wajah yang timbul secara
spontan, seperti tersengat listrik, yang
terbatas pada satu atau lebih cabang dari
saraf trigeminal yang dicetuskan oleh
stimulus tertentu

Menurut Sadeli, 2008, Prevalensi nyeri neuropati
diabetik 11,6 % penderita neuropati diabetik
dengan diabetes tipe 1 dan 32,1% dengan
diabetes tipe 2. Gejalanya berupa nyeri hebat dan
akut seperti terbakar, perih, tersetrum, terutama
pada tungkai dan memberat pada malam hari

Pregabalin

Nyeri
neuropatik

Menurut Gajraj, 2007, pregabalin
berikatan dengan subunit α2δ dari
VGCC yang tersebar luas baik di
sistem saraf perifer maupun sentral
pe lepasan neurotransmitter dan
hipereksitabi-litas pada neuron

Gabapentin

Menurut MacEwan dkk, 2009 Ikatan
gabapentin pada subunit α2δ dari VGCC
menghambat masuknya ion kalsium ke
dalam sel saraf, akibatnya terjadi
penurunan pelepasan neurotransmitter
sehingga mempengaruhi aktivitas post
sinaps, dimana terjadi penurunan
hipereksitabilitas.

Menurut Spruce dkk, 2003, TCA
dapat menghilangkan rasa nyeri dari
stimulus suhu, mekanik dan elektrik
pada penderita diabetik yang
diakibatkan oleh aktivasi reseptor
NMDA dengan memodulasi reseptor
NMDA

Menurut MacEwan dkk, (2009) aktivasi
reseptor GABAb menyebabkan modulasi
dari reseptor NMDA pre sinaps, dimana
menyebabkan mengganggu pelepasan
neurotransmiter
eksitatorik
seperti
glutamat

Menurut Lindsay dkk, 2010 dan
Lindsay dkk, 2012 Kelas utama
obat – obatan yang digunakan
dalam mengobati nyeri neuropati
diabetik
termasuk
tricyclic
antidepressant (TCA)

NRS

Amitriptilin

Menurut Hawker dkk, (2011)
Numeric Rating Scale (NRS)
adalah versi numerik yang
bersegmen - segmen dari visual
analog scale dimana pasien atau
penderita akan memilih angka
dari 0 – 10 yang menggambarkan
intensitas nyeri yang paling
sesuai yang dirasakannya.

50
Universitas Sumatera Utara

51

II.7. KERANGKA KONSEP

Amitriptilin

Gabapentin

Pregabalin

Nyeri Neuropati
Diabetik
NRS
Neuralgia
trigeminal

51
Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Hubungan Kualitas Tidur Dengan Intensitas Nyeri Pada Penderita Nyeri Punggung Bawah Dan Nyeri Kepala Primer

21 173 105

Perbedaan Atypical Odontalgia Dengan Trigeminal Neuralgia

30 233 33

PERBANDINGAN PENGGUNAAN GABAPENTIN DAN AMITRIPTILIN TERHADAP EFEK TERAPI DAN KUALITAS HIDUP PADA PASIEN STROKE DENGAN NYERI NEUROPATI DI RUMAH SAKIT JOGJA

3 16 162

Perbandingan Efek Terapi Gabapentin dan Amitriptilin pada Pasien Stroke dengan Nyeri Neuropati | Utami | Jurnal Mutiara Medika 1059 3024 1 PB

1 2 9

Perbedaan Efek Amitriptilin, Gabapentin, Dan Pregabalin Terhadap Perubahan Intensitas Nyeri Pada Penderita Nyeri Neuropati Diabetika Dan Neuralgia Trigeminal

0 0 24

Perbedaan Efek Amitriptilin, Gabapentin, Dan Pregabalin Terhadap Perubahan Intensitas Nyeri Pada Penderita Nyeri Neuropati Diabetika Dan Neuralgia Trigeminal

0 0 2

Perbedaan Efek Amitriptilin, Gabapentin, Dan Pregabalin Terhadap Perubahan Intensitas Nyeri Pada Penderita Nyeri Neuropati Diabetika Dan Neuralgia Trigeminal

0 1 13

Perbedaan Efek Amitriptilin, Gabapentin, Dan Pregabalin Terhadap Perubahan Intensitas Nyeri Pada Penderita Nyeri Neuropati Diabetika Dan Neuralgia Trigeminal Chapter III V

0 0 51

Perbedaan Efek Amitriptilin, Gabapentin, Dan Pregabalin Terhadap Perubahan Intensitas Nyeri Pada Penderita Nyeri Neuropati Diabetika Dan Neuralgia Trigeminal

0 0 11

Perbedaan Efek Amitriptilin, Gabapentin, Dan Pregabalin Terhadap Perubahan Intensitas Nyeri Pada Penderita Nyeri Neuropati Diabetika Dan Neuralgia Trigeminal

0 0 14