Perbedaan Atypical Odontalgia Dengan Trigeminal Neuralgia

(1)

PERBEDAAN ATYPICAL ODONTALGIA DENGAN

TRIGEMINAL NEURALGIA

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh :

ELDELINA ARIANI NST NIM: 050600099

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MULUT FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

Fakultas Kedokteran Gigi Bagian Ilmu Penyakit Mulut Tahun 2010

Eldelina Ariani Nasution

PERBEDAAN ATYPICAL ODONTALGIA DENGAN TRIGEMINAL NEURALGIA

vi + 23 halaman

Suatu aspek yang paling menjadi tantangan dan manfaat bagi dokter adalah mendiagnosa dan merawat rasa nyeri. Atypical odontalgia, atau phantom tooth pain, adalah variasi dari atypical facial pain yang mana rasa sakit yang intensif berpusat di sekitar satu atau beberapa gigi tanpa adanya penyakit gigi atau mulut yang terlibat. Karakteristik atypical odontalgia adalah adanya nyeri setelah tindakan endodontik atau pencabutan gigi dan menetap pada daerah bekas pencabutan gigi atau meluas ke gigi yang berdekatan.

Selain atypical odontalgia, banyak nyeri yang terjadi pada regio orofasial, diantaranya sekitar 10-50% dapat terjadi pada populasi.Penyakit yang kurang sering terjadi yang dapat dikacaukan dengan atypical odontalgia adalah trigeminal neuralgia. Trigeminal berarti nyeri pada nervus Trigeminus, yang menghantarkan rasa nyeri menuju ke wajah. Dicirikan dengan suatu nyeri yang muncul mendadak, berat, seperti sengatan listrik, atau nyeri yang menusuk-nusuk, biasanya pada satu sisi rahang atau pipi.


(3)

Untuk keberhasilan dalam membedakan kedua diagnosa nyeri tersebut maka diperlukan informasi mengenai perjalanan nyeri yang lengkap dan jelas, pemeriksaan klinik yang lengkap pada wajah dan organ lain yang berhubungan, serta pengetahuan mengenai kondisi-kondisi yang menghasilkan nyeri tersebut.


(4)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi

Medan, 14 Januari 2010

Pembimbing :

SYUAIBAH LUBIS, drg NIP. 130365329


(5)

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji pada tanggal 14 Januari 2010

TIM PENGUJI

KETUA : Syuaibah Lubis, drg

ANGGOTA : 1. Wilda Hafni Lubis, drg., Msi 2. Sayuti Hasibuan, drg., Sp.PM


(6)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji dan syukur kepada ALLAH SWT yang telah memberikan berbagai kemudahan dalam segala urusan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi. Tak lupa pula salawat dan salam kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, atas sauri teladan yang baik darinya.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dengan segenap cinta dan ketulusan hati kepada keluarga tercinta di kampung halaman, Ayahanda H. Khairuddin Nasution dan Ibunda Hj. Hamidah Lbs, serta kakak-kakak dan adik-adik penulis, Kak Irma, Kak Yusfi, Kak Ridha, Kak Ubah, Dek Rahmat yang sedang menuntut ilmu di Negeri India, Dek Nisa, Dek Tika, dan Dedek atas segala dukungan, motivasi, harapan dan doa, serta cinta dan kasih sayang yang tulus kepada penulis.

Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Ibu Syuaibah Lubis, drg selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran Beliau dalam membimbing dan mengarahkan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

Selanjutnya dengan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. H. Ismet Danial Nasution, drg.,Ph.D.,Sp.Pros (K) selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, Ibu Wilda


(7)

Hafni Lubis, drg., M.Si selaku Ketua Departemen, Bapak Sayuti Hasibuan, drg., Sp.PM dan Ibu Indri Lubis, drg selaku staf pengajar di Depatemen Ilmu Penyakit Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, Ibu Prof. Trimurni Abidin, drg., M.Kes.,Sp.KG (K) selaku dosen pembimbing akademik, dan seluruh staf pengajar dan pegawai di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara yang telah membimbing, mendidik, dan membantu menulis selama menuntut ilmu di masa pendidikan.

Tidak lupa pula penulis menyampaikan terima kasih kepada Kak Ririn, Kak Rani, Kak Dindin, Kak Rainy, Kak Vira, Bang Hamdi, Indri, Beby spark, Ririn, Ida dan teman-teman seperjuangan di Fakultas Kedokteran Gigi stambuk 2005 lainnya atas kebersamaan di FKG USU, Bang Fahmi yang selalu memberikan bantuan, semangat dan motivasi dan semua nama yang tak bisa di sebutkan satu persatu atas doa dan motivasinya selama ini terhadap penulis.

Penulis menyadari kelemahan dan keterbatasan ilmu yang penulis miliki menjadikan skripsi ini kurang sempurna, tetapi penulis mengharapkan skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi Fakultas, pengembangan ilmu, dan masyarakat.

Medan, Penulis,

(ELDELINA ARIANI NST) NIM : 050600099


(8)

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL... HALAMAN PERSETUJUAN... HALAMAN TIM PENGUJI SKRIPSI...

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI... vi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 4

1.4 Ruang Lingkup ... 4

BAB 2 ATYPICAL ODONTALGIA 2.1 Defenisi... 5

2.2 Epidemiologi ... 5

2.3 Etiopatogenesis... 6

2.4 Diagnosa ... 7

2.5 Perawatan ... 7

BAB 3 NEURALGIA TRIGEMINAL 3.1 Defenisi... 10

3.2 Etiopatogenesis... 10

3.3 Gambaran Klinis... 12

3.4 Diagnosa ... 12

3.5 Perawatan ... 13

BAB 4 PERBEDAAN ATYPICAL ODONTALGIA DENGAN TRIGEMINAL NEURALGIA... 20

BAB 5 KESIMPULAN ... 23 DAFTAR PUSTAKA


(9)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Suatu aspek yang paling menjadi tantangan dan manfaat bagi dokter adalah mendiagnosa dan merawat rasa nyeri. Diperkirakan 22% populasi umum mengalami rasa nyeri orofasial pada periode 6 bulan sekali. Selain itu, rasa nyeri yang menetap dan kronik lebih banyak terjadi di regio kepala dan leher daripada di bagian tubuh yang lain. Dalam mendiagnosa rasa nyeri orofasial sering terjadi kesalahan.1

Menurut Asosiasi Internasional untuk penelitian rasa nyeri (International Association for Study of Pain = IASP), rasa nyeri fasial kronik menyebabkan terjadinya gejala paling sedikit 6 bulan sekali. Diagnosa atypical merupakan diagnosa akhir setelah diagnose lain dipertimbangkan. Atypical facial pain mempunyai tanda khas yaitu kronik, rasa sakit yang konstan tanpa adanya penyebab yang terlihat pada wajah dan otak. Banyak sumber informasi menyatakan bahwa semua rasa sakit wajah yang tidak jelas sumbernya disebut Atypical facial pain.1 Atypical odontalgia, atau phantom tooth pain, adalah variasi dari atypical facial pain yang mana rasa sakit yang intensif berpusat di sekitar satu atau beberapa gigi tanpa adanya penyakit gigi atau mulut yang terlibat. Selain atypical odontalgia, terdapat berbagai nyeri yang terjadi pada regio orofasial, diantaranya sekitar 10-50% dapat terjadi pada populasi.1-9

Penyakit yang kurang sering terjadi yang dapat dikacaukan dengan atypical odontalgia adalah trigeminal neuralgia. Trigeminal neuralgia memiliki nyeri yang tajam dengan beberapa tanda patologi dan nyeri terlokasi pada gigi.3


(10)

Meskipun kasus atypical odontalgia sering terjadi, tetapi kesalahan dalam mendiagnosa kasus tersebut sering terjadi. Contohnya, seorang wanita 64 tahun mengalami nyeri yang tajam pada gigi kiri bawah. Dia mengalami serangan nyeri setelah melakukan pemeriksaan rutin 4 minggu sebelumnya. Untuk mengatasi hal tersebut, maka dia menggantikan tambalan amalgam dengan tambalan komposit pada gigi 34 dan 36. Namun, rasa nyeri pasien tidak juga hilang.1 Pemeriksaan klinik pada gigi 34 dan 36 adalah bahwa tambalan direstorasi dengan baik serta kontak oklusal dan proksimalnya bagus. Tidak ada tanda-tanda inflamasi gingiva atau keadaan patologi. Pasien melaporkan bahwa gigi 35 dirawat saluran akar sekitar 20 tahun yang lalu dan gigi tersebut telah direstorasi dengan mahkota sekitar 3 tahun yang lalu. Perkusi, palpasi, dan tes oklusi pada kuadran 2 dan 3 negatif. Semua gigi memberi respon normal terhadap tes dingin. Tidak ada gambaran patologi pada pemeriksaan radiografi.1

Pasien tidak pernah mengalami nyeri spontan. Dilakukan pemeriksaan dengan rangsangan mekanis pada permukaan akar bukal gigi 36 dan menghasilkan serangan nyeri elektrik yang tajam pada daerah gigi tersebut. Permukaan akar gigi 36 disensitisasi dengan sistem etsa bonding. Pasien juga diberi pasta Sensodyne untuk digunakan sendiri.1 Namun nyeri masih menetap walaupun telah dilakukan perawatan. Oleh karena itu, dokter gigi mengkonsulkan pasien tersebut pada dokter bedah mulut. Dokter bedah mulut melakukan pemeriksaan dan menyimpulkan tidak adanya gejala patologi dan rasa nyeri yang terjadi adalah suatu keadaan neuropatik. Para dokter mendiagnosa dua kemungkinan penyakit yaitu trigeminal neuralgia dan atypical odontalgia.1


(11)

Dokter bedah mulut memberikan carbamazepine 200 mg sebanyak 3 kali sehari. Nyeri berkurang setelah 2 minggu. Berlawanan dengan anjuran ahli bedah, pasien tidak mau melanjutkan pengobatan setelah 5 minggu karena dia percaya bahwa nyerinya telah hilang. Untungnya, nyeri tidak kembali lagi.1

Kasus tersebut menunjukkan kesulitan dalam mendiagnosa dan melakukan perawatan terhadap nyeri orofasial tersebut karena gejala dan reaksi pasien terhadap pemeriksaan klinik dipengaruhi oleh emosi dan komponen fisik.1 Interpretasi pasien terhadap ketidaknyamanan tidak dapat menunjukkan tempat terjadinya keadaan patologi. Perawatan pengobatan yang dilakukan hanya untuk memperkuat diagnosa nyeri neuropatik.1 Kebanyakan dalam menangani kasus tersebut dokter gigi memberikan perawatan yang tidak tepat dan berharap nyeri pasien akan berkurang, namun hasilnya tidak adanya perbaikan yang dialami pasien.1,2 Hal ini menjadi tantangan bagi dokter gigi dalam mendiagnosa dan merawat kasus-kasus tersebut karena kasus-kasus tersebut sangat kompleks dan sulit untuk didiagnosa.2

Keberhasilan dalam mendiagnosa nyeri orofasial sangat tergantung pada perjalanan nyeri yang lengkap dan jelas, pemeriksaan klinik yang lengkap pada wajah dan organ lain yang berhubungan, serta pengetahuan mengenai kondisi-kondisi yang menghasilkan nyeri orofasial. Hal-hal tersebut penting untuk membedakan nyeri atypical odontalgia dengan rasa nyeri orofasial.2

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang permasalahan di atas maka timbul masalah sebagai berikut:


(12)

1. Bagaimana cara mendiagnosa atypical odontalgia dengan trigeminal neuralgia ?

2. Bagaimana membedakan atypical odontalgia dengan trigeminal neuralgia?

3. Bagaimana melakukan perawatan terhadap atypical odontalgia dan trigeminal neuralgia?

1.3Tujuan dan Manfaat Tujuan :

1. Untuk mengetahui cara mendiagnosa atypical odontalgia.

2. Untuk mengetahui perbedaan atypical odontalgia da trigeminal neuralgia. Manfaat penulisan skripsi ini adalah agar para dokter dan dokter gigi dapat menegakkan diagnosa yang tepat terhadap atypical odontalgia dan membedakannya dengan trigeminal neuralgia, sehingga dapat melakukan perawatan yang tepat pada pasien.

1.4 Ruang Lingkup

Ruang lingkup penulisan skripsi ini yaitu membahas mengenai defenisi, epidemiologi, etiopatogenesis, diagnosa, dan perawatan atypical odontalgia; defenisi, etiopatogenesis, gambaran klinik, diagnosa dan perawatan dari trigeminal neuralgia; serta perbedaan atypical odontalgia dengan trigeminal neuralgia.


(13)

BAB II

ATYPICAL ODONTALGIA

2.1 Definisi

Atypical odontalgia adalah nyeri hebat, kronis, dan menetap pada satu atau beberapa gigi yang normal secara klinis tanpa dijumpai adanya keadaan abnormal pada tes perkusi, tes thermal, tes elektrik atau radiografi.4,7 Umumnya terjadi tanda-tanda neuropatik seperti allodynia dan hyperalgesia. Panas, dingin, dan tekanan tidak mempengaruhi kondisi nyeri atypical odontalgia.7 Karakteristik atypical odontalgia adalah adanya nyeri setelah tindakan endodontik atau pencabutan gigi dan menetap pada daerah bekas pencabutan gigi atau meluas ke gigi yang berdekatan.5 Nyeri atypical odontalgia biasanya pada gigi dan tulang alveolar dan tidak mengganggu tidur pasien.1-3 Pasien sulit menentukan lokasi nyeri. Biasanya nyeri terjadi pada daerah trauma, tetapi dapat meluas ke daerah yang berdekatan baik secara unilateral maupun bilateral.1

2.2 Epidemiologi

Insiden atypical odontalgia lebih sering dijumpai pada wanita, khususnya yang berusia 40 tahun.1-3,5 Atypical odontalgia bisa mengenai semua umur, kecuali anak-anak.1,2 Atypical odontalgia lebih sering mengenai daerah molar dan premolar maksila.1-3,5 Pada sebagian besar pasien atypical odontalgia tidak dijumpai adanya penyakit atau penyebab lain. Pada sebagian kecil pasien atypical odontalgia dijumpai


(14)

gejala yang serius seperti stres dan depresi.10 Informasi epidemiologi menunjukkan bahwa 3-6% nyeri atypical odontalgia terjadi setelah perawatan endodonti.1

2.3 Etiopatogenesis

Atypical odontalgia umumnya terjadi setelah ekstirpasi pulpa, apikoektomi, dan pencabutan gigi, meskipun demikian atypical odontalgia dapat juga idiopatik.1,2,5 Trauma wajah dan pemblokan saraf alveolaris inferior juga ditemukan sebagai penyebab atypical odontalgia. Atypical odontalgia juga sering diragukan dengan komplikasi paska perawatan normal atau komplikasi dari paska trauma.1

Patofisiologi atypical odontalgia masih belum jelas, dapat idiopatik, gangguan kejiwaan, atau gangguan saraf. Teori lain menyatakan terputusnya sistem saraf afferen (deafferentasi) yaitu hilangnya atau gangguan serabut saraf sensori akibat luka traumatik yang menyebabkan perubahan pada sistem saraf tepi, saraf pusat, dan saraf otonom.1-3,11 Deafferentasi ini menyebabkan nyeri kronik dan gejala lain seperti paresthesia dan dysesthesia. Mekanisme lain dari patogenesis nyeri atypical odontalgia adalah sensitisasi serabut saraf, regenerasi saraf afferent yang berdekatan, aktivasi saraf simpatik afferent, aktivasi silang afferen, hilangnya mekanisme penghambat dan perubahan phenotypic saraf afferen.1

Nyeri atypical odontalgia memiliki mekanisme yang bervariasi, ada yang ringan, kompleks, dan ada yang tidak jelas. Kerusakan saraf tepi mudah dideteksi. Pada bagian saraf tulang alveolar yang rusak, hiperaktif saraf menyebabkan terjadinya nyeri yang menetap. Nyeri sering menetap dengan blok anestesi. Hiperaktivitas CNS dapat menyebabkan nyeri yang menetap pada gigi. Kerusakan


(15)

saraf tepi dapat menyebabkan perubahan pada cabang kedua saraf trigeminal yang bersinaps dengan nosiseptor saraf nyeri. Perubahan terjadi secara memusat dimana transmisi nyeri terjadi secara terus-menerus ke pusat cortical yang lebih tinggi.13

2.4 Diagnosa

Diagnosa berdasarkan gejala primer seperti lokasi nyeri dan sifat nyeri, dan pengeliminasian penyakit lain yang memiliki gejala yang hampir sama dengan atypical odontalgia. Tes yang mungkin digunakan adalah diagnostic dental x-ray, panoramix, CT scan, dan MRI. Jika anestesi blok tidak dapat mengurangi nyeri atau memberi hasil yang meragukan, maka dapat didiagnosa sebagai atypical odontalgia.14 Kriteria diagnosa atypical odontalgia menurut Graff-Radfort dan Solberg pada tahun 1992 adalah nyeri pada gigi dan sekitar gigi, nyeri yang terus-menerus dan menetap lebih dari 4 bulan, tidak diketahui lokasi nyeri, serta nyeri tidak hilang dengan anestesi blok.1-3,6 Pada tahun 1995, Pertes dkk memperbaharui kriteria tersebut dengan menambahkan kriteria diagnosa atypical odontalgia yaitu nyeri yang tidak berespon terhadap perawatan gigi.1,2

2.5 Perawatan

Hal yang paling penting diketahui adalah bahwa tindakan dental harus dicegah dalam perawatan atypical odontalgia. Beberapa literatur menyatakan bahwa perawatan farmakologi sering berhasil dalam perawatan atypical odontalgia. Berikut ini adalah beberapa nama-nama obat yang telah dicoba dan efektif untuk mengontrol nyeri atypical odontalgia :3


(16)

- Gabapentin - Clonazepam - Baklofen - Aspirin

- Phentolamine infusion - Kokain

- Doxepin

- Monoamine oxidase inhibitors - Opioid

- Suntikan anestesi lokal dan kortikosteroid - Penghambat saraf simpatik dan parasimpatik - Topical capsaicin

- Eutectic mixture of lidocaine dan prilocaine bases.

Obat yang paling efektif adalah trisiklik antidepressan seperti Amitriptilin sendiri atau kombinasi dengan phenothiazin.2,3 Hasilnya biasanya baik dan pada banyak pasien dapat menghilangkan rasa nyeri dengan sempurna. Marbach melaporkan 17 dari 25 kasus atypical odontalgia berhasil dirawat dengan trisiklik antidepressan. Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Brooke, yang mana 50% dari 22 pasien sembuh permanen dengan trisiklik antidepressan.3 Perawatan di mulai dengan dosis 20-25 mg amitriptilin yang digunakan untuk mengontrol nyeri dan efek samping. Dosis ini digunakan sampai nyeri membaik, biasanya ditingkatkan sampai 75 mg per hari, tetapi efek samping yang terjadi dapat mencegah dokter/klinisi meningkatkan dosis. Penting untuk membicarakan efek samping obat ini kepada


(17)

pasien. Efek samping amitriptilin adalah pening, ngantuk berat, sakit kepala, xerostomia, konstipasi, meningkatkan nafsu makan dan berat badan, nausea, hipotensi, aritmia, takikardia, gelisah, sedasi, dan diare.2,3 Antidepresan yang lain yang memiliki efek yang sama adalah imipramin, sedangkan nortriptilin menyebabkan rasa ngantuk, hipotensi dan arritmia yang tidak seberat pada amitriptilin. Gejala tidak dapat dikontrol dengan penggunaan tunggal trisiklik antidepressan, tetapi phenothiazin dapat digunakan untuk pengobatan.3

Meskipun demikian, perhatian khusus seharusnya diberikan kepada respon pasien terhadap pengobatan antidepressan karena efek samping termasuk tardive dyskinesia, yang disebut dengan penyakit extrapyramidal permanen. Kegunaan antidepressan seharusnya dikurangi pada kasus-kasus yang tidak dapat disembuhkan dan dosisnya seharusnya dikurangi dan tidak dilanjutkan setelah nyeri terkontrol.3


(18)

BAB III

NEURALGIA TRIGEMINAL

3.1 Defenisi

Secara harfiah, Neuralgia Trigeminal berarti nyeri pada nervus Trigeminus, yang menghantarkan rasa nyeri menuju ke wajah. Dicirikan dengan suatu nyeri yang muncul mendadak, berat, seperti sengatan listrik, atau nyeri yang menusuk-nusuk, biasanya pada satu sisi rahang atau pipi. Pada beberapa penderita, mata, telinga atau langit-langit mulut dapat juga terserang.13

3.2Etiopatogenesis

Ada beberapa penyebab Neuralgia Trigeminal yaitu :15 1.

Tekanan dari suatu pembuluh darah pada ujung saraf trigeminal. Secara teknis masih diklasifikasikan sebagai idiopatik yang disebabkan oleh tekanan pada saraf trigeminal yang berdekatan dengan tempat keluarnya dari brain stem karena penyimpangan loop arteri atau vena (80-90%).

2.

Kurang dari 10% kasus terjadi simtomatik yang dapat disebabkan tekanan nonvaskular (tumor dan kista) dan multipel sklerosis. Tekanan dari suatu tumor pada saraf Trigeminal jarang terjadi.Demielinisasi saraf pada kasus yang jarang terjadi (+3%), Neuralgia Trigeminal merupakan gejala dari multipel sklerosis yang merusak lapisan myelin yang melindungi serabut saraf. Neuralgia Trigeminal jarang menjadi gejala awal dari multipel sklerosis dan secara khas terjadi pada stadium lanjut dari multipel sklerosis.


(19)

3.

Kerusakan fisik pada saraf yang disebabkan oleh prosedur dental atau bedah, trauma pada wajah atau infeksi.

4.

Tidak diketahui. 5.

Ada beberapa dugaan bahwa Neuralgia Trigeminal adalah herediter.

Selain itu ada penyebab perifer dan penyebab sentral Neuralgia Trigeminal . Penyebab perifer meliputi :16

- Lesi pada saraf yang dapat menyebabkan Neuralgia Trigeminal yang khas.

- Penekanan mikrovaskular pada saraf trigeminal yang menyebabkan Neuralgia Trigeminal idiopatik

- Penemuan patologi pada pasien Neuralgia Trigeminal yaitu adanya sel ganglion bervakuola, demielinisasi segmental, posisi juksta pada akson.

- Kerusakan saraf dapat menghasilkan nyeri yang dihubungkan pada beberapa kemungkinan mekanisme yaitu hipereksitabilitas, pembangkitan rangsangan ektopik, cross-talk diantara serabut sensori, deaferensiasi, dan gangguan hambatan segmental.

Penyebab sentral meliputi :16

- Typical Neuralgia Trigeminal dapat menyebabkan multipel sklerosis.

- Penelitian secara fisiologis pada titik Neuralgia Trigeminal sampai mekanisme sentral : hasil akhir spasial dan temporal dari efek rangsangan, kecenderungan serangan, periode kambuh setelah serangan, efektivitas obat anti epilepsi.

- Penelitian terhadap model Neuralgia Trigeminal : aplikasi zat tertentu pada inti kaudal saraf trigeminal menghasilkan hipersensitif pada wajah yang menyerupai zona trigger pada Neuralgia Trigeminal.


(20)

3.3 Gambaran Klinis

Serangan Trigeminal neuralgia dapat berlangsung dalam beberapa detik sampai satu menit. Beberapa orang merasakan sakit ringan, kadang terasa seperti ditusuk. Sementara yang lain merasakan nyeri yang cukup berat, seperti nyeri saat kena setrum listrik. Penderita Trigeminal neuralgia yang berat menggambarkan rasa sakitnya seperti ditusuk, kena pukulan jab, atau ada kawat di sepanjang wajahnya. Serangan ini hilang timbul. Dapat terjadi dalam sehari tidak ada rasa sakit. Namun, dapat juga sakit menyerang setiap hari atau sepanjang minggu. Kemudian, tidak ada sakit lagi selama beberapa waktu. Trigeminal neuralgia biasanya hanya terasa di satu sisi wajah, tetapi dapat juga menyebar dengan pola yang lebih luas. Jarang sekali terasa di kedua sisi wajah dalam waktu bersamaan.17

3.4 Diagnosa

Kunci diagnosis adalah riwayat perjalanan nyeri dan serangan nyeri. Umumnya, pemeriksaan dan test neurologis (misalnya CT scan) tidak begitu jelas. Faktor riwayat yang paling penting adalah distribusi nyeri dan terjadinya 'serangan' nyeri dengan interval bebas nyeri yang relatif lama.13,16 Nyeri mulai pada distribusi divisi 2 atau 3 saraf kelima, akhirnya sering menyerang keduanya. Beberapa kasus mulai pada divisi 1.13

Kriteria diagnosa Neuralgia Trigeminal berdasarkan International Headache Society (HIS) adalah :16


(21)

-Nyeri memiliki empat karakteristik yaitu distribusi pada satu atau lebih cabang saraf trigeminal; terjadi tiba-tiba, menusuk, superfisial, atau seperti terbakar; nyeri bersifat hebat; nyeri timbul pada daerah trigger akibat aktivitas tertentu seperti makan, berbicara, menyikat gigi, atau mencuci muka, serta asimtomatik

3.5 Perawatan

Pengobatan pada dasarnya dibagi atas 2 bagian: 1. Penatalaksanaan pertama dengan menggunakan obat.

2. Pembedahan dipertimbangkan bila obat tidak berhasil secara memuaskan. 3. Alternatif lain adalah dengan akupuntur.

1. Terapi Medis (obat)

Perlu diingatkan bahwa sebagian besar obat yang digunakan pada penyakit ini mempunyai cukup banyak efek samping. Penyakit ini juga terutama menyerang mereka yang sudah lanjut usia. Oleh karena itu, pemilihan dan pemakaian obat harus memperhatikan secara cermat kemungkinan timbulnya efek samping. Dasar penggunaan obat pada terapi Neuralgia Trigeminal dan neuralgia saraf lain adalah kemampuan obat untuk menghentikan hantaran impuls afferent yang menimbulkan serangan nyeri.

a. Carbamazepin

Obat yang hingga kini dianggap merupakan pilihan pertama adalah carbamazepin. Bila efektif maka obat ini sudah mulai tampak hasilnya setelah 4 hingga 24 jam pemberian, kadang-kadang bahkan cukup dramatis. Dosis awal adalah 3 x 100 hingga 200 mg. Bila toleransi pasien terhadap obat ini baik, terapi dilanjutkan


(22)

hingga beberapa minggu atau bulan. Dosis hendaknya disesuaikan dengan respons pengurangan nyeri yang dapat dirasakan oleh pasien. Dosis maksimal adalah 1200 mg/hari. Karena diketahui bahwa pasien bisa mengalami remisi maka dosis dan lama pengobatan dapat disesuaikan dengan kemungkinan ini. Bila terapi berhasil dan pemantauan dari efek sampingnya negatif, maka obat ini sebaiknya diteruskan hingga sedikitnya 6 bulan sebelum dicoba untuk dikurangi. Pemantauan laboratorium biasanya meliputi pemeriksaan jumlah leukosit, faal hepar, dan reaksi alergi kulit. Bila nyeri menetap maka sebaiknya diperiksa kadar obat dalam darah. Bila ternyata kadar sudah mencukupi sedangkan nyeri masih ada, maka bisa dipertimbangkan untuk menambahkan obat lain, misalnya baklofen. Dosis awal baklofen 10 mg/hari yang bertahap bisa dinaikkan hingga 60-80 mg/hari. Obat ketiga boleh ditambahkan bila kombinasi dua obat ini masih belum sepenuhnya mengendalikan nyerinya. Tersedia phenytoin, sodium valproate, gabapentin, dan sebagainya. Semua obat ini juga dikenal sebagai obat anti epileptik.18

Carbamazepin bukan analgetik dan jika diberi ketika serangan dimulai, maka tidak akan mengurangi nyeri. Harus digunakan secara hati-hati dan dibawah pengawasan dokter. Kontraindikasi pada wanita hamil karena dapat menyebabkan teratogenik.18

b. Trileptal (oxcarbazepin)

Oxcarbazepin merupakan obat antikonvulsan dan termasuk dalam golongan psikotropik, yang digunakan sebagai anti depresi atau anti epilepsi.19 Oxcarbazepin merupakan turunan dari carbamazepin, yang dikembangkan untuk menghindari terjadinya auto induksi dari carbamazepin dan dengan efek samping yang lebih


(23)

minimal.15,19,20 Pasien mempunyai riwayat nyeri antara 6 bulan hingga 5 tahun dan memiliki rating nyeri ≥ 50 unit pada pengukuran dengan Visual Analogue Scale (VAS). Oxcarbazepin digunakan dengan dosis 300 mg/hari dan ditingkatkan hingga dosis maksimum 1800 mg/hari.20 Efek samping oxcarbazepin adalah pusing, lelah, sakit kepala, mual, muntah, diare, konstipasi, mulut kering, dan hiponatrium (2,7% pasien).19

Dari total 146 pasien, sebanyak 69 menerima oxcarbazepin, dan 77 mendapat plasebo. Pengurangan nyeri terbesar berdasarkan skala VAS pada kelompok oxcarbazepin sebesar >50% di akhir pengobatan. Perbandingan pengurangan nyeri antara kelompok oxcarbazepin dan placebo adalah 35.2% berbanding 18.4%. Berdasarkan Global assessment of therapeutic effect, perbaikan pada kelompok oxcarbazepin dibandingkan plasebo adalah 48% berbanding 22%. Pasien oxcarbazepin hanya sedikit mengalami nyeri jika dibandingkan pasien penerima plasebo.20

2. Terapi Non-medis (Bedah)

Pilihan terapi non-medis (bedah) dipertimbangkan bilamana kombinasi lebih dari dua obat belum membawa hasil seperti yang diharapkan, mereka yang tidak dapat mentoleransi efek samping dari terapi medis atau ternyata terapi medis tidak efektif.15

Radiofrequency rhizotomy

Hingga kini masih populer karena relatif aman dan murah. Sayang, cara ini mempunyai kemungkinan kekambuhan sebesar 25%. Efek samping lain yang kurang baik adalah terjadinya anestesi kornea, rasa kesemutan, dan kelemahan rahang yang


(24)

kadang-kadang bisa mengganggu. Bahkan, ada pasien yang merasa menyesal karena rasa kesemutan yang terus-menerus ini lebih tidak nyaman daripada nyeri yang masih ada masa bebasnya.21

Percutaneous retrogasserian rhizolisis dengan gliserol

Cara ini adalah cara yang dianjurkan oleh Jho dan Lunsforf (1997). Konon, hasilnya sangat baik dengan gangguan minimal pada kepekaan muka. Hipotesis yang dikemukakan adalah bahwa gliserol adalah neurotoksik dan bekerja pada serabut saraf yang sudah mengalami demielinisasi, menghilangkan compound action potential pada serabut Trigeminal yang terkait dengan rasa nyeri. Cara ini cepat dan pasien bisa cepat dipulangkan. Kerugiannya adalah masih tetap bisa terjadi gangguan sensorik yang mungkin mengganggu atau kambuh lagi.21

Microvascular Decompression

Dasar dari prosedur ini adalah anggapan bahwa adanya penekanan vaskular merupakan penyebab semua keluhan ini. Neuralgia adalah suatu compressive cranial mononeuropathy. Para penganut cara pengobatan ini mengganggap bahwa penyembuhan yang terjadi adalah yang paling sempurna dan permanen. Kerugian cara ini bahwa bagaimanapun juga ini suatu kraniotomi dan pasien perlu tinggal sekitar 4-10 hari di rumah sakit, dilanjutkan dengan masa rekonvalesensi yang juga perlu 1-2 minggu. Pertimbangan lain adalah bahwa walaupun jarang, mikrovaskular dekompression bisa menyebabkan kematian atau kesulitan lain seperti stroke, kelemahan nervus fasialis, dan tuli. Di tangan ahli bedah yang berpengalaman, komplikasi ini tentunya sangat kecil. Pada operasi yang berhasil, pengurangan atau bahkan hilangnya nyeri sudah dapat dirasakan setelah 5-7 hari paska bedah. Dr. Fred


(25)

Barker dan timnya melaporkan dalam suatu pertemuan ilmiah tentang pengalamannya dengan mikrovaskular dekompression pada 1430 pasien yang dilakukan di Universitas Pittsburgh. Sebagian besar dari pasien tersebut mendapatkan pengurangan nyeri secara lengkap atau bermakna. Dua tahun setelah operasi, insidens kekambuhan 1% per tahunnya. Kekambuhan ini secara umum dikarenakan adanya pembuluh darah baru yang muncul pada nervus trigeminus.21

Stereotactic radiosurgery dengan gamma knife

Merupakan perkembangan yang masih relatif baru. Gamma Knife merupakan alat yang menggunakan stereotactic radiosurgery. Tekniknya dengan cara memfokuskan sinar Gamma sehingga berlaku seperti prosedur bedah, namun tanpa membuka kranium. Gamma Knife pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Lars Leksell dari Stockholm, Swedia pada 1950. Cara ini hanya memerlukan anestesi lokal dan hasilnya konon cukup baik. Sekitar 80-90% dari pasien dapat mengharapkan kesembuhan setelah 3-6 bulan setelah terapi.

Cara kerja terapi adalah lewat desentisisasi pada saraf Trigeminal setelah radiasi yang ditujukan pada saraf ini dengan bantuan komputer. Seorang ahli bedah saraf dari Seattle Dr. Ronald Young mengatakan bahwa dengan Gamma Knife hasilnya sangat memuaskan juga dengan komplikasi yang minimal.

Meglio dan Cioni melaporkan cara dekompresi baru dengan menggunakan suatu balon kecil yang dimasukkan secara perkutan lewat foramen oval. Balon diisi sekitar 1 ml sehingga menekan ganglion selama 1 hingga 10 menit. Konon cara ini membawa hasil pada sekitar 90% dari kasus. Belum ada laporan mengenai berapa banyak yang mengalami residif.21


(26)

3. Akupuntur

Perawatan Neuralgia Trigeminal dapat dilakukan dengan teknik akupuntur yaitu pengobatan yang dilakukan dengan cara menusukkan jarum di titik-titik tertentu pada tubuh pasien. Maksudnya adalah untuk mengembalikan sistem keseimbangan tubuh sehingga pasien dapat sehat kembali. Pemikiran dasarnya adalah sistem keseimbangan di dalam tubuh yang dikenal sebagai homeostasis, yang menunjukkan keberadaan alam semesta, bumi dan manusia dapat bertahan hidup karena adanya hukum alam yang selalu mengarah pada keseimbangan. 22

Pengobatan akupuntur digunakan untuk tujuan-tujuan berikut:22

- Akupuntur anestesi/akupuntur untuk analgesia, yaitu akupuntur yang digunakan untuk menghilangkan rasa nyeri, antara lain pada reumatik, migrain, dan neuralgia.

- Akupuntur di bidang estetika (akupuntur kecantikan).

Akupuntur di bidang penganggulangan kecanduan obat, menunjukkan bahwa akupuntur merupakan alternatif biomedikal.

Mekanisme kerja akupuntur 23

Kriteria penting untuk mendapatkan hasil terapi akupuntur yang optimal adalah tercapainya sensasi penjaruman. Sensasi ini akan menimbulkan impuls sensoris spesifik ke otak. Nyeri yang timbul dan impuls spesifik tersebut saling bersaing pada sistem proyeksi non-spesifik. Bila impuls spesifik dari penjaruman dapat menyaingi impuls nyeri, maka nyeri akan dihambat dan tidak dapat dirasakan.


(27)

1. Sistem syaraf somatis

Mekanisme kerja akupunktur dalam penanggulangan nyeri berkaitan dengan hipotesis "Gate Control", teori reflexoterapi, dan lain-lain.

2. Sistem syaraf otonom

Berkaitan dengan ini timbul teori susunan saraf otonom, dan lain-lain. Disamping itu, untuk mendapatkan efek penanggulangan nyeri dengan akupuntur diperlukan waktu tertentu. Hal ini dikaitkan dengan waktu yang diperlukan untuk memproduksi suatu substansi penghilang nyeri neurohumoral. Oleh karena itu, timbul teori endorphin, dan lain-lain.


(28)

BAB IV

PERBEDAAN ATYPICAL ODONTALGIA DENGAN TRIGEMINAL NEURALGIA

Pada Atypical odontalgia, nyeri bersifat tajam dan terus-menerus, sedangkan pada Neuralgia Trigeminal nyeri bersifat paroksismal, tajam, kadang-kadang seperti kesetrum, menusuk, distribusi terbatas pada satu atau lebih cabang saraf trigeminal. Atypical odontalgia lebih sering terjadi pada wanita yang berusia 40 tahun, sedangkan Neuralgia Trigeminal terjadi setelah dekade ke-4 dan memuncak pada dekade ke-5 dan ke-6.

Atypical odontalgia lebih sering mengenai daerah molar dan premolar maksila, sedangkan Trigeminal neuralgia biasanya terjadi pada satu sisi rahang atau pipi. Pada beberapa penderita, mata, telinga atau langit-langit mulut dapat juga terserang. Pada Atypical odontalgia, tidak ada trigger zone, sedangkan pada Neuralgia Trigeminal ada trigger zone ketika dirangsang dengan sentuhan.

Atypical odontalgia biasanya terjadi karena trauma pada gigi seperti : perawatan saluran akar, pencabutan, dan lain-lain, sedangkan pada Neuralgia Trigeminal tidak ada sejarah trauma. Nyeri Atypical odontalgia bersifat unilateral dan bilateral, sedangkan Neuralgia Trigeminal bersifat unilateral.

Kriteria diagnosa atypical odontalgia adalah nyeri pada gigi dan sekitar gigi, nyeri yang terus-menerus dan menetap lebih dari 4 bulan, tidak diketahui lokasi nyeri, nyeri tidak hilang dengan anestesi blok, serta nyeri yang tidak berespon terhadap perawatan gigi, sedangkan kriteria diagnosa trigeminal neuralgia adalah serangan


(29)

nyeri timbul mendadak, sangat hebat, durasinya pendek (kurang dari satu menit), dan dirasakan pada satu bagian dari saraf Trigeminal, misalnya bagian rahang atau sekitar pipi. Nyeri seringkali terjadi bila suatu daerah tertentu dirangsang (trigger area atau trigger zone).

Diagnosa Atypical odontalgia ditegakkan berdasarkan gejala primer dan pengeliminasian penyakit lain yang memiliki gejala yang hampir sama dengan atypical odontalgia. Tes yang mungkin digunakan adalah diagnostic dental x-ray, panoramix, CT scan, dan MRI. Jika anestesi blok tidak dapat mengurangi nyeri atau memberi hasil yang jelas, maka dapat didiagnosa sebagai atypical odontalgia. Sedangkan kunci diagnosis Neuralgia Trigeminal adalah riwayat. Umumnya, pemeriksaan dan test neurologis (misalnya CT scan) tak begitu jelas. Faktor riwayat paling penting adalah distribusi nyeri dan terjadinya 'serangan' nyeri dengan interval bebas nyeri relatif lama. Nyeri mulai pada distribusi divisi 2 atau 3 saraf kelima, akhirnya sering menyerang keduanya. Beberapa kasus mulai pada divisi 1. Adapun perawatan Atypical odontalgia yaitu dengan pengobatan, sedangkan perawatan Neuralgia Trigeminal dengan pengobatan dan atau pembedahan.

Untuk menegakkan diagnosa dari kedua nyeri tersebut perlu dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yaitu sebagai berikut:

Anamnesis

- Lokalisasi nyeri, untuk menentukan cabang nervus trigeminus yang terkena.

- Menentukan waktu dimulainya nyeri dan mekanisme pemicunya. - Menentukan ada tidaknya interval bebas nyeri.


(30)

- Menentukan lama, efek samping, dosis, dan respons terhadap pengobatan. Pemeriksaan Fisik

- Menilai sensasi pada ketiga cabang nervus trigeminus bilateral atau unilateral. - Menilai fungsi mengunyah (masseter) dan fungsi pterygoideus (membuka mulut, deviasi dagu).


(31)

BAB V KESIMPULAN

Untuk mendapatkan perawatan yang tepat terhadap rasa nyeri atypical odontalgia dan trigeminal neuralgia, maka dokter harus dapat membedakan keduanya nyeri ini. Untuk keberhasilan membedakan kedua diagnosa nyeri tersebut maka diperlukan informasi mengenai perjalanan nyeri yang lengkap dan jelas, serangan nyeri, lokai nyeri dan sifat nyerinya. Pemeriksaan klinik yang lengkap pada wajah, organ lain yang berhubungan dan pengetahuan mengenai kondisi-kondisi yang menghasilkan nyeri tersebut sangat menentukan keberhasilan diagnosa dan perawatan yang tepat pada pasien.


(32)

DAFTAR PUSTAKA

1. Matwychuk MJ. Diagnostic Challenges of Neuropathic Tooth Pain. J Can Dent Assoc 2004; 70(8): 542-6.

2. Koratkar H, Pederson J. Clinical Feature: Atypical Odontalgia: A Review. J Minnesota Dent Assoc 2008; 1(87): 1-6.

3. Mellis M, Secci S. Diagnosis and Treatment of Atypical Odontalgia: A Review of the Literature and Two Case Reports. J Contemp Dent Pract 2007; 3(8): 81-9. 4. Biron CR. Atypical Odontalgia is often Dismissed as “Vivid Imagination” During

diagnosis. RDH 1996; 16: 40-4.

5. Alberts IL. Idiopathic Orofacial Pain: A Review. The Internet J of Pain 2009; 2(6): 1-8.

6. Blasberg B, Greenberg MS. Orofacial Pain. In: Greenberg MS, Glick M, eds. Burket’s Oral Medicine Diagnosis and Treatment. 10th ed. Hamilton: BC Decker Inc., 2003: 307-40.

7. Blasberg B, Greenberg MS. Oral Symptoms Without Apparent Physical Abnormality. In: Lynch Ma, Brightman VJ, Greenberg MS, eds. Burket’s Oral Medicine Diagnosis and Treatment. 9th ed. Philadelphia: JB Lippincott Co., 1994: 374-94.

8. Wirz S, Wartenberg HC, Nadstawek. Pain Manajement Procedures Used by Dental and Maxillofacial Surgeons: An Investigation with Special Regard to Odontalgia. Head and Face Medicine 2005; 1(14): 1-12.

9. Vickers ER. Neuropathic Orofacial Pain: A Review and Guidelines for Diagnosis and Management. Dissertation. Australia: University of Sydney, 2001.

10.EAOM. Atypical and Idiopathic Facial Pain. School of Dental Medicine University of Zagreb 2005.

11.Conti PCR, Pertes RA, Heir GM. Orofacial Pain: Basic Mechanisms and Implication for Successful Management. Pain 2003; 11(1): 1-7.

12.NHS. Atypical Facial Pain (Atypical Odontalgia). Liverpool University Dental Hospital.

13.Ganzberg S. Facial Neuropathology. In: Peterson LJ, eds. Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery. 4th ed. Mosby: Elsevier, 1999: 662-71.


(33)

14.Melis M, Lobo-lobo S, Ceneviz C. Atypical Odontalgia: A Review of the Literature. Headache 2003; 10: 1060-74.

15.Dorweiler, Bryce D. Trigeminal Neuralgia. Facial Neyralgia Resources 2004; 1-6. (www.facial-neuralgia.org).(15 Nov 2009)

16.Joffroy A, Levivier M, Massager N. Trigeminal Neuralgia: Pathophysiology and Treatment. Acta neurol belg 2001; 101: 20-5.

17.Cruccu Giorgio, Triuni Andrea. Trigeminal Physiology and Trigeminal Neuralgia. 10th Congress of European Federation of Neurological Societies. Italy, 2006.

18.Anonymous. Trigeminal and other Neuralgia. In: Scully Crispian. Oral and Maxillofacial Medicine: The Basis of Diagnosis and Treatment. London: Wright., 2004: 399-406.

19.Wikipedia. Oxcarbazepine. Wikipedia Fundation Inc. (www.wikipedia.com) (30 Nov 2009)

20.Gerai. Neurologi : Antiepileptik Atasi Nyeri Neuropati. Majalah Farmacia, 2006; 11(5): 52. (www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=176) (30 Nov 2009)

21.Anurogo Dito. Neuralgia trigeminal. (www.kabarindonesia.com) (10 Sept 2009) 22.Kim Siannata. Akupunktur untuk pengobatan. (www.akupunkturskill.com) (15 Nov

2009)

23.Husniah. Penanggulangan nyeri dengan akupuntur. Cermin Dunia Kedokteran, 1982.


(1)

BAB IV

PERBEDAAN ATYPICAL ODONTALGIA DENGAN TRIGEMINAL NEURALGIA

Pada Atypical odontalgia, nyeri bersifat tajam dan terus-menerus, sedangkan pada Neuralgia Trigeminal nyeri bersifat paroksismal, tajam, kadang-kadang seperti kesetrum, menusuk, distribusi terbatas pada satu atau lebih cabang saraf trigeminal. Atypical odontalgia lebih sering terjadi pada wanita yang berusia 40 tahun, sedangkan Neuralgia Trigeminal terjadi setelah dekade ke-4 dan memuncak pada dekade ke-5 dan ke-6.

Atypical odontalgia lebih sering mengenai daerah molar dan premolar maksila, sedangkan Trigeminal neuralgia biasanya terjadi pada satu sisi rahang atau pipi. Pada beberapa penderita, mata, telinga atau langit-langit mulut dapat juga terserang. Pada Atypical odontalgia, tidak ada trigger zone, sedangkan pada Neuralgia Trigeminal ada trigger zone ketika dirangsang dengan sentuhan.

Atypical odontalgia biasanya terjadi karena trauma pada gigi seperti : perawatan saluran akar, pencabutan, dan lain-lain, sedangkan pada Neuralgia Trigeminal tidak ada sejarah trauma. Nyeri Atypical odontalgia bersifat unilateral dan bilateral, sedangkan Neuralgia Trigeminal bersifat unilateral.

Kriteria diagnosa atypical odontalgia adalah nyeri pada gigi dan sekitar gigi, nyeri yang terus-menerus dan menetap lebih dari 4 bulan, tidak diketahui lokasi nyeri, nyeri tidak hilang dengan anestesi blok, serta nyeri yang tidak berespon terhadap perawatan gigi, sedangkan kriteria diagnosa trigeminal neuralgia adalah serangan


(2)

nyeri timbul mendadak, sangat hebat, durasinya pendek (kurang dari satu menit), dan dirasakan pada satu bagian dari saraf Trigeminal, misalnya bagian rahang atau sekitar pipi. Nyeri seringkali terjadi bila suatu daerah tertentu dirangsang (trigger area atau trigger zone).

Diagnosa Atypical odontalgia ditegakkan berdasarkan gejala primer dan pengeliminasian penyakit lain yang memiliki gejala yang hampir sama dengan atypical odontalgia. Tes yang mungkin digunakan adalah diagnostic dental x-ray, panoramix, CT scan, dan MRI. Jika anestesi blok tidak dapat mengurangi nyeri atau memberi hasil yang jelas, maka dapat didiagnosa sebagai atypical odontalgia. Sedangkan kunci diagnosis Neuralgia Trigeminal adalah riwayat. Umumnya, pemeriksaan dan test neurologis (misalnya CT scan) tak begitu jelas. Faktor riwayat paling penting adalah distribusi nyeri dan terjadinya 'serangan' nyeri dengan interval bebas nyeri relatif lama. Nyeri mulai pada distribusi divisi 2 atau 3 saraf kelima, akhirnya sering menyerang keduanya. Beberapa kasus mulai pada divisi 1. Adapun perawatan Atypical odontalgia yaitu dengan pengobatan, sedangkan perawatan Neuralgia Trigeminal dengan pengobatan dan atau pembedahan.

Untuk menegakkan diagnosa dari kedua nyeri tersebut perlu dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yaitu sebagai berikut:

Anamnesis

- Lokalisasi nyeri, untuk menentukan cabang nervus trigeminus yang terkena.

- Menentukan waktu dimulainya nyeri dan mekanisme pemicunya. - Menentukan ada tidaknya interval bebas nyeri.


(3)

- Menentukan lama, efek samping, dosis, dan respons terhadap pengobatan. Pemeriksaan Fisik

- Menilai sensasi pada ketiga cabang nervus trigeminus bilateral atau unilateral. - Menilai fungsi mengunyah (masseter) dan fungsi pterygoideus (membuka mulut, deviasi dagu).


(4)

BAB V KESIMPULAN

Untuk mendapatkan perawatan yang tepat terhadap rasa nyeri atypical odontalgia dan trigeminal neuralgia, maka dokter harus dapat membedakan keduanya nyeri ini. Untuk keberhasilan membedakan kedua diagnosa nyeri tersebut maka diperlukan informasi mengenai perjalanan nyeri yang lengkap dan jelas, serangan nyeri, lokai nyeri dan sifat nyerinya. Pemeriksaan klinik yang lengkap pada wajah, organ lain yang berhubungan dan pengetahuan mengenai kondisi-kondisi yang menghasilkan nyeri tersebut sangat menentukan keberhasilan diagnosa dan perawatan yang tepat pada pasien.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

1. Matwychuk MJ. Diagnostic Challenges of Neuropathic Tooth Pain. J Can Dent Assoc 2004; 70(8): 542-6.

2. Koratkar H, Pederson J. Clinical Feature: Atypical Odontalgia: A Review. J Minnesota Dent Assoc 2008; 1(87): 1-6.

3. Mellis M, Secci S. Diagnosis and Treatment of Atypical Odontalgia: A Review of the Literature and Two Case Reports. J Contemp Dent Pract 2007; 3(8): 81-9. 4. Biron CR. Atypical Odontalgia is often Dismissed as “Vivid Imagination” During

diagnosis. RDH 1996; 16: 40-4.

5. Alberts IL. Idiopathic Orofacial Pain: A Review. The Internet J of Pain 2009; 2(6): 1-8.

6. Blasberg B, Greenberg MS. Orofacial Pain. In: Greenberg MS, Glick M, eds. Burket’s Oral Medicine Diagnosis and Treatment. 10th ed. Hamilton: BC Decker Inc., 2003: 307-40.

7. Blasberg B, Greenberg MS. Oral Symptoms Without Apparent Physical Abnormality. In: Lynch Ma, Brightman VJ, Greenberg MS, eds. Burket’s Oral Medicine Diagnosis and Treatment. 9th ed. Philadelphia: JB Lippincott Co., 1994: 374-94.

8. Wirz S, Wartenberg HC, Nadstawek. Pain Manajement Procedures Used by Dental and Maxillofacial Surgeons: An Investigation with Special Regard to Odontalgia. Head and Face Medicine 2005; 1(14): 1-12.

9. Vickers ER. Neuropathic Orofacial Pain: A Review and Guidelines for Diagnosis and Management. Dissertation. Australia: University of Sydney, 2001.

10.EAOM. Atypical and Idiopathic Facial Pain. School of Dental Medicine University of Zagreb 2005.

11.Conti PCR, Pertes RA, Heir GM. Orofacial Pain: Basic Mechanisms and Implication for Successful Management. Pain 2003; 11(1): 1-7.

12.NHS. Atypical Facial Pain (Atypical Odontalgia). Liverpool University Dental Hospital.

13.Ganzberg S. Facial Neuropathology. In: Peterson LJ, eds. Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery. 4th ed. Mosby: Elsevier, 1999: 662-71.


(6)

14.Melis M, Lobo-lobo S, Ceneviz C. Atypical Odontalgia: A Review of the Literature. Headache 2003; 10: 1060-74.

15.Dorweiler, Bryce D. Trigeminal Neuralgia. Facial Neyralgia Resources 2004; 1-6. (www.facial-neuralgia.org).(15 Nov 2009)

16.Joffroy A, Levivier M, Massager N. Trigeminal Neuralgia: Pathophysiology and Treatment. Acta neurol belg 2001; 101: 20-5.

17.Cruccu Giorgio, Triuni Andrea. Trigeminal Physiology and Trigeminal Neuralgia. 10th Congress of European Federation of Neurological Societies. Italy, 2006.

18.Anonymous. Trigeminal and other Neuralgia. In: Scully Crispian. Oral and Maxillofacial Medicine: The Basis of Diagnosis and Treatment. London: Wright., 2004: 399-406.

19.Wikipedia. Oxcarbazepine. Wikipedia Fundation Inc. (www.wikipedia.com) (30 Nov 2009)

20.Gerai. Neurologi : Antiepileptik Atasi Nyeri Neuropati. Majalah Farmacia, 2006; 11(5): 52. (www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=176) (30 Nov 2009)

21.Anurogo Dito. Neuralgia trigeminal. (www.kabarindonesia.com) (10 Sept 2009) 22.Kim Siannata. Akupunktur untuk pengobatan. (www.akupunkturskill.com) (15 Nov

2009)

23.Husniah. Penanggulangan nyeri dengan akupuntur. Cermin Dunia Kedokteran, 1982.