Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Going Concern pada Perusahaan Manufaktur yang Mengalami Financial Distress di Bursa Efek Indonesia

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori
2.1.1. Teori Agensi
Definisi hubungan agensi menurut Jensen dan Meckling (1976) merupakan
suatu kontrak antara prinsipal dan agen dimana prinsipal dalam hal ini shareholder
(pemegang saham) mendelegasikan pertanggungjawaban atas decision making atau
tugas tertentu kepada agen (manajer) sesuai dengan kontrak kerja yang telah
disepakati. Manajer sebagai pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui informasi
internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan pemegang
saham.
Masalah agensi telah menarik perhatian yang sangat besar dari para peneliti di
bidang akuntansi keuangan (Fuad, 2005). Masalah agensi timbul karena adanya
konflik kepentingan antara prinsipal dan agen. Masalah keagenan akan muncul ketika
terjadi konflik kepentingan antara prinsipal dan agen. Masing-masing pihak berusaha
memaksimalkan kepentingan pribadi. Prinsipal menginginkan hasil akhir keputusan
yang menghasilkan laba sebesar-besarnya atau peningkatan nilai investasi dalam
perusahaan. Agen pun pasti memiliki kepentingan pribadi yang ingin dicapai yakni
penerimaan kompensasi yang memadai atas kinerja yang dilakukan. Prinsipal menilai
prestasi agen berdasarkan kemampuannya memperbesar laba. Semakin tinggi jumlah

laba yang dihasilkan oleh agen (manajemen), prinsipal akan memperoleh deviden
yang semakin tinggi, maka agen dianggap berhasil atau berkinerja baik sehingga
layak mendapat insentif yang tinggi. Agen pun memenuhi tuntutan prinsipal agar
mendapatkan kompensasi yang tinggi (Elqorni, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Eisenhardt (1989) menyatakan ada tiga asumsi sifat manusia terkait teori
keagenan, yaitu:
1. Manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self interest),
2. Manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang
(bounded rationality), dan
3. Manusia selalu menghindari risiko (risk averse).
Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut manajer akan cenderung
bertindak oportunis, yaitu mengutamakan kepentingan pribadi dan hal ini memicu
terjadinya konflik keagenan sehingga diperlukan pihak ketiga yang bersifat
independen sebagai mediator antara dua kepentngan. Auditor independen merupakan
pihak independen yang dibutuhkan untuk mengevaluasi pertanggungjawaban
keuangan manajemen dan memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan
keuangan yang disajikan oleh manajemen.


2.1.2. Opini Audit
Pendapat auditor (opini audit) merupakan bagian dari laporan audit yang
merupakan informasi utama dari laporan audit. Opini audit diberikan oleh auditor
melalui beberapa tahap audit sehingga auditor dapat memberikan simpulan atas
opini yang harus diberikan atas laporan keuangan yang diauditnya. Arens dan
Lobbecke (2003: 36) mengemukakan bahwa laporan audit adalah langkah terakhir
dari seluruh proses audit. Dengan demikian auditor dalam memberikan pendapat
sudah didasarkan pada keyakinan profesionalnya.
Opini audit tersebut dinyatakan dalam paragraf pendapat dalam laporan
audit. Laporan auditor harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai laporan
keuangan secara keseluruhan. Laporan keuangan yang dimaksud dalam standar

Universitas Sumatera Utara

pelaporan tersebut adalah meliputi neraca, laporan laba-rugi, laporan perubahan
ekuitas, laporan arus kas, dan semua catatan kaki serta penjelasan dan tambahan
informasi yang merupakan bagian tidak terpisahkan dalam penyajian laporan
keuangan.
Oleh karena itu, dalam standar pelaporan tersebut di atas, auditor

diharuskan menyampaikan kepada pemakai laporannya mengenai informasi
penting yang perlu diungkapkan oleh auditor. Tujuan dalam standar pelaporan
tersebut adalah untuk memungkinkan pemegang saham, kreditur, pemerintah,
karyawan, dan pihak lain yang berkepentingan terhadap laporan keuangan
menentukan seberapa jauh laporan keuangan yang dilaporkan oleh auditor dalam
laporan audit dapat dipercaya.
Menurut Mulyadi (2002: 20-22), opini auditor terdiri atas 5 jenis yang
meliputi pendapat wajar tanpa pengecualian (Unqualified Opinion), pendapat
wajar tanpa pengecualian dengan bahasa penjelas (Unqualified Opinion with
Explanatory Language), pendapat wajar dengan pengecualian (Qualified
Opinion), pendapat tidak wajar (Adverse Opinion) dan tidak memberikan
pendapat (Disclaimer of Opinion).
Pendapat wajar tanpa pengecualian (Unqualified Opinion) diberikan oleh
auditor untuk menyatakan bahwa laporan keuangan telah menyajikan secara wajar
dalam semua hal yang material sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum
di Indonesia dengan kondisi berikut:
a. Semua laporan neraca, laporan laba-rugi, laporan perubahan ekuitas, dan
laporan arus kas terdapat dalam laporan keuangan,

Universitas Sumatera Utara


b. Dalam pelaksanaan perikatan, seluruh standar umum dapat dipenuhi oleh
auditor,
c. Bukti cukup dapat dikumpulkan oleh auditor, dan auditor telah melaksanakan
perikatan sedemikian rupa sehingga memungkinkan untuk melaksanakan tiga
standar pekerjaan lapangan,
d. Laporan keuangan disajikan sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum
di Indonesia,
e. Tidak ada keadaan yang mengharuskan auditor untuk menambah paragraf
penjelas atau modifikasi kata-kata dalam laporan audit.
Pendapat Wajar Tanpa Pengecualian dengan Bahasa Penjelas (Unqualified
Opinion with Explanatory Language) diberikan oleh auditor dalam keadaan
tertentu dengan menambahkan suatu paragraf penjelas atau bahasa penjelas yang
lain dalam laporan audit meskipun tidak mempengaruhi pendapat wajar tanpa
pengecualian atas laporan keuangan auditan yang dicantumkan setelah paragraf
pendapat. Penyebab utama ditambahkannya suatu paragraf penjelas atau
modifikasi kata-kata dalam laporan audit baku dalam kondisi berikut ini:
a. Ketidakkonsistenan penerapan prinsip akuntansi berterima umum,
b. Keraguan besar tentang kelangsungan hidup entitas,
c. Auditor setuju dengan suatu penyimpangan dari prinsip akuntansi yang

dikeluarkan oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan.
d. Penekanan atas suatu hal,
e. Laporan audit yang melibatkan auditor lain.
Sedangkan pendapat wajar dengan pengecualian (Qualified Opinion)
diberikan apabila auditee menyajikan laporan keuangan secara wajar, dalam

Universitas Sumatera Utara

semua hal yang material sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum di
Indonesia, kecuali untuk dampak hal-hal yang dikecualikan. Pendapat wajar
dengan pengecualian dinyatakan dalam keadaan:
a. Tidak adanya bukti kompeten yang cukup atau adanya pembatasan terhadap
lingkup audit,
b. Auditor yakin bahwa laporan keuangan berisi penyimpangan dari prinsip
akuntansi berterima umum di Indonesia, yang berdampak material, dan
berkesimpulan untuk tidak menyatakan pendapat tidak wajar.
Pendapat Tidak Wajar (Adverse Opinion) diberikan oleh auditor apabila
laporan keuangan auditee tidak menyajikan secara wajar laporan keuangan sesuai
dengan prinsip akuntansi berterima umum. Sementara auditor menyatakan tidak
memberikan pendapat (Disclaimer of Opinion) jika tidak dapat melaksanakan

audit yang berlingkup memadai untuk memungkinkan auditor memberikan
pendapat atas laporan keuangan. Pendapat ini juga diberikan apabila auditor
berada dalam kondisi tidak independen dalam hubungannya dengan klien.

2.1.3. Pengungkapan Going Concern
Dalam melaksanakan suatu proses audit, auditor dituntut untuk tidak
hanya melihat pada hal-hal yang disajikan dalam laporan keuangan saja tetapi
harus lebih mewaspadai hal-hal potensial yang dapat mengganggu kelangsungan
hidup suatu kesatuan usaha (Ramadhany, 2004). Para pemakai laporan keuangan
merasa bahwa pengungkapan going concern ini sebagai prediksi kebangkrutan
perusahaan (Santosa dan Wedari, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Dalam laporan keuangan tahunan, pengungkapan going concern diberikan
setelah paragraf pendapat. Laporan keuangan disusun dengan anggapan bahwa
perusahaan akan melanjutkan operasinya sebagai entitas yang berkemampuan
untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya (going concern). Catatan atas
laporan keuangan berisi pengungkapan dampak kondisi ekonomi terhadap
perusahaan serta tindakan yang ditempuh dan rencana yang dibuat oleh

manajemen untuk menghadapi kondisi tersebut.
Dalam PSA No. 30 SA Seksi 341 (SPAP, 2011) dinyatakan bahwa auditor
harus mengevaluasi apakah terdapat kesangsian besar terhadap kemampuan
entitas

dalam

mempertahankan

kelangsungan

hidupnya.

Auditor

dapat

mengidentifikasi informasi mengenai kondisi atau peristiwa tertentu yang
menunjukkan adanya kesangsian besar tentang kemampuan entitas dalam
mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam jangka waktu pantas, yaitu tidak

lebih dari satu tahun sejak tanggal laporan keuangan yang sedang diaudit. Secara
umum, beberapa hal yang dapat mempengaruhi auditor dalam memberikan
pengungkapan going concern pada laporan auditnya, yakni:
1. Trend negatif, misalnya kerugian operasi yang berulang kali, kekurangan
modal kerja, arus kas negatif, dan rasio keuangan penting yang jelek.
2. Petunjuk lain tentang kemungkinan kesulitan keuangan, misalnya kegagalan
dalam memenuhi kewajiban utangnya atau perjanjian serupa, penunggakan
pembayaran dividen, serta penjualan sebagian besar aset.
3. Masalah internal, misalnya pemogokan kerja, ketergantungan besar atas
suksesnya suatu proyek.

Universitas Sumatera Utara

4. Masalah eksternal, misalnya pengaduan gugatan pengadilan, keluarnya
undang-undang yang mengancam keberadaan perusahaan, kehilangan
franchise (hak kelola), lisensi atau paten yang penting, bencana yang tidak
diasuransikan, dan kehilangan pelanggan atau pemasok utama.
Jika, setelah mempertimbangkan kondisi atau peristiwa yang telah
diidentifikasi secara keseluruhan, auditor yakin bahwa terdapat kesangsian besar
mengenai kemampuan entitas dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya

dalam jangka waktu pantas, ia harus mempertimbangkan rencana manajemen
dalam menghadapi dampak merugikan dari kondisi atau peristiwa tersebut.
Auditor harus memperoleh informasi tentang rencana manajemen tersebut, dan
mempertimbangkan apakah ada kemungkinan bila rencana tersebut dapat secara
efektif dilaksanakan, mampu mengurangi dampak negatif merugikan kondisi dan
peristiwa tersebut dalam jangka waktu pantas.
Secara garis besar, pertimbangan auditor yang berhubungan dengan
rencana manajemen dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Rencana penjualan aktiva seperti pembatasan terhadap penjualan aktiva
dimana terdapat pasal yang membatasi transaksi tersebut dalam perjanjian
penarikan utang atau perjanjian yang serupa, kenyataan dapat dipasarkannya
aktiva yang direncanakan akan dijual oleh manajemen dan dampak langsung
maupun tidak langsung yang kemungkinan timbul dari penjualan aktiva.
2. Rencana penarikan atau restrukturisasi utang seperti tersedianya pembelanjaan
melalui utang, termasuk perjanjian kredit yang telah ada atau yang telah
disanggupi, perjanjian penjualan piutang atau jual-kemudian-sewa aktiva
(sale-leaseback of assets) dan dampak yang mungkin timbul dengan adanya

Universitas Sumatera Utara


batasan yang ada sekarang dalam menambah pinjaman atau cukup/tidaknya
jaminan yang dimiliki oleh entitas.
3. Rencana untuk mengurangi atau menunda pengeluaran seperti kelayakan
rencana untuk mengurangi biaya overhead atau biaya administrasi, untuk
menunda biaya penelitian dan pengembangan, untuk menyewa sebagai
alternatif membeli dan dampak langsung maupun tidak langsung yang
kemungkinan timbul dari pengurangan atau penundaan pengeluaran.
4. Rencana untuk menaikkan modal pemilik seperti kelayakan rencana untuk

menaikkan modal pemilik, termasuk perjanjian yang ada atau yang disanggupi
untuk menaikkan tambahan modal, untuk mengurangi dividen atau
mempercepat distribusi kas dari perusahaan afiliasi atau investor lain.
PSA No. 30 SA Seksi 341 (SPAP, 2011) juga memberikan pedoman
kepada auditor tentang dampak kemampuan satuan usaha dalam mempertahankan
kelangsungan hidupnya terhadap opini auditor sebagai berikut:
1. Jika auditor yakin bahwa terdapat kesangsian mengenai kemampuan satuan
usaha dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam jangka waktu
pantas, ia harus:
a. Memperoleh informasi mengenai rencana manajemen yang ditujukan
untuk mengurangi dampak kondisi dan peristiwa tersebut.

b. Menetapkan kemungkinan bahwa rencana tersebut secara efektif
dilaksanakan.
2. Jika manajemen tidak memiliki rencana untuk mengurangi dampak negatif
kondisi dan peristiwa terhadap kemampuan satuan usaha dalam

Universitas Sumatera Utara

mempertahankan kelangsungan hidupnya, auditor mempertimbangkan untuk
memberikan pernyataan tidak memberikan pendapat.
3. Jika manajemen memiliki rencana tersebut, langkah selanjutnya yang harus
dilakukan oleh auditor adalah menyimpulkan efektivitas rencana tersebut.
a. Jika auditor berkesimpulan rencana tersebut tidak efektif, auditor
menyatakan tidak memberikan pendapat.
b. Jika auditor berkesimpulan rencana tersebut dapat secara efektif
dilaksanakan dan klien memberikan pengungkapan secara memadai, maka
auditor akan memberikan pendapat wajar tanpa pengecualian dengan
paragraf penjelasan mengenai kemampuan satuan usaha dalam
mempertahankan kelangsungan hidupnya.
c. Jika auditor telah berkesimpulan rencana tersebut dapat secara efektif
dilaksanakan akan tetapi klien tidak memberikan pengungkapan secara
memadai, maka auditor memberikan pendapat wajar dengan pengecualian
atau pendapat tidak wajar.
Pengungkapan going concern sangat berguna bagi para pemakai laporan
keuangan untuk membuat keputusan yang tepat dalam berinvestasi. Sehat
tidaknya kondisi keuangan perusahaan yang merupakan asumsi dasar bagi
investor

dalam

menentukan

investasinya,

terutama

yang

menyangkut

kelangsungan hidup perusahaan tersebut. Hal ini membuat auditor mempunyai
tanggung jawab yang besar untuk mengeluarkan pengungkapan going concern
yang konsisten dengan keadaan sesungguhnya dari perusahaan tersebut. Laporan
auditor independen dengan modifikasi going concern mengindikasikan bahwa dalam
penilaian auditor terdapat risiko bahwa perusahaan tidak dapat bertahan dalam bisnis.

Universitas Sumatera Utara

Oleh sebab itu, auditor harus mempertimbangkan hasil dari operasi, kondisi ekonomi
yang mempengaruhi perusahaan, kemampuan pembayaran hutang dan kebutuhan
likuiditas di masa yang akan datang (Lenard et al., 1998).

2.1.4. Kesulitan Keuangan (Financial Distress)
Kondisi keuangan perusahaan mencerminkan hasil kinerja perusahaan dan
umumnya terlihat dari laporan keuangan. Laporan keuangan memaparkan hasil
kinerja perusahaan selama satu periode akuntansi. Dengan melihat laporan
keuangan suatu perusahaan, para pengguna dapat mengetahui bagaimana kondisi
keuangan perusahaan tersebut. Perusahaan yang kondisi keuangannya tidak
berada dalam kondisi yang baik disebut perusahaan yang mengalami kesulitan
keuangan (financial distress).
Kondisi financial distress perusahaan didefinisikan sebagai kondisi di
mana hasil operasi perusahaan tidak cukup untuk memenuhi kewajiban
perusahaan (Insolvency). Insolvency dapat dibedakan dalam 2 kategori (Emery et
al., 2004), yakni Technical Insolvency, bersifat sementara dimana perusahaan
mengalami kekurangan kas untuk memenuhi kewajiban-kewajiban jangka pendek
dan Bankruptcy Insolvency, bersifat lebih serius dimana total hutang melebihi
total aset perusahaan atau nilai ekuitas perusahaan negatif (defisiensi modal).
Banyak faktor yang dapat menyebabkan perusahaan menghadapi financial
distress yaitu antara lain kenaikan biaya operasi, ekspansi berlebihan, ketinggalan
teknologi, kondisi persaingan, kondisi ekonomi, kelemahan manajemen
perusahaan dan penurunan aktifitas perdagangan industri (Wruck, 1990). Dalam
kondisi ekonomi yang tidak buruk, kebanyakan perusahaan yang mengalami

Universitas Sumatera Utara

financial distress adalah akibat dari kelemahan manajemen (Whitaker, 1999).
Kebangkrutan sebagai kegagalan didefinisikan dalam beberapa arti (Martin
et.al., 1995: 376) dalam Supardi & Mastuti (2003) sebagai berikut:

1. Kegagalan ekonomi (Economic failure)
Kegagalan dalam arti ekonomi biasanya berarti bahwa perusahaan kehilangan
uang atau pendapatan perusahaan tidak menutup biayanya sendiri, ini berarti
tingkat labanya lebih kecil dari biaya modal atau nilai sekarang dari arus kas
perusahaan lebih kecil dari kewajiban. Kegagalan terjadi bila arus kas
sebenarnya dar perusahaan tersebut jatuh di bawah arus kas yang diharapkan.
Bahkan kegagalan dapat juga berarti bahwa pendapatan atas biayahistoris dari
investasinya lebih kecil daripada biaya modal perusahaan
2. Kegagalan finansial (Financial failure)
Kegagalan keuangan bisa diartikan sebagai insolvensi yang membedakan
antara dasar arus kas dan dasar saham. Insolvensi atas dasar arus kas ada dua
bentuk:
a. Insolvensi teknis (tecnihcal insolvency)
Perusahaan dapat dianggap gagal jika perusahaan, tidak dapat memenuhi
kewajiban pada saat jatuh tempo. Walaupun total aktiva melebihi total
utang atau terjadi bila suatu perusahaan gagal memenuhi salah satu atau
lebih kondisi dalam ketentuan hutangnya seperti rasio aktiva lancar
terhadap utang lancar yang telah ditetapkan atau rasio kekayaan bersih
terhadap total aktiva yang disyaratkan. Insolvensi teknis juga terjadi bila
arus kas tidak cukup untuk memenuhi pembayaran bunga pembayaran
kembali pokok pada tangga tertentu.

Universitas Sumatera Utara

b. Insolvensi dalam pengertian kebangkrutan
Dalam pengertian ini kebangkrutan didefinisikan dalam ukuran sebagai
kekayaan bersih negatif dalam neraca konvensional atau nilai sekarang
dari arus kas yang diharapkan lebih kecil dari kewajiban. Terdapat
kesulitan dana untuk menutup kewajiban perusahaan atau kesulitan
likuiditas yang diawali dari kesulitan ringan sampai pada kesulitan yang
lebih serius dalam kondisi hutang lebih besar dibandingkan dengan aset.
Indikator lain yang menunjukkan apakah suatu perusahaan mengalami
financial distress antara lain ditandai dengan adanya pemberhentian tenaga kerja
atau hilangnya pembayaran dividen (Lau, 1987 & Hill et al., 1996), serta arus kas
yang lebih kecil daripada hutang jangka panjang (Whitaker, 1999) atau jika
selama 2 tahun mengalami laba bersih operasi negatif dan selama lebih dari 1
tahun tidak melakukan pembayaran dividen (Almilia & Kristijadi, 2003),
sedangkan Wahyujati (2000) mendefinisikan financial distress jika perusahaan
mengalami net income negatif selama 3 tahun.
Perusahaan yang mengalami financial distress memiliki potensi lebih
besar untuk menerima pengungkapan going concern dalam laporan auditnya
karena auditor pada dasarnya tidak mungkin memberikan pengungkapan going
concern dalam laporan auditnya pada perusahaan yang memiliki kondisi
keuangan yang sehat (McKeown et al., 1991).

Prediksi Kebangkrutan Altman
Dalam menentukan level financial distress suatu perusahaan, maka
peneliti menggunakan model prediksi kebangkrutan yang dikembangkan oleh

Universitas Sumatera Utara

Altman. Pada tahun 1968, survei dilakukan di berbagai negara yaitu Amerika,
Jepang, Swiss, Brazil dan Australia untuk mengetahui adakah kesamaan di antara
rasio-rasio

yang

digunakan

dalam

mengklasifikasikan

perusahaan

yang

mengalami kegagalan atau dalam keadaan sehat. Hasil penelitian ini
menghasilkan sebuah model yang terdiri dari lima rasio keuangan untuk
memprediksi kebangkrutan dengan komposisi sebagai berikut:
Z Score = 1.2 Z 1 + 1.4 Z 2 + 3.3 Z 3 + 0.6 Z 4 + 1.0 Z 5
Keterangan:
Z 1 = Working Capital to Total Asset
Z 2 = Retained Earnings to Total Assets
Z 3 = Earning Before Interest and Tax to Total Asset
Z 4 = Market Value of Equity to Book Value of Debt
Z 5 = Sales to Total Assets
Dengan menggunakan model ini, apabila perusahaan memiliki Z Score
lebih kecil dari 1,81 maka perusahaan akan diprediksi bangkrut, sedangkan
apabila Z Score di atas 2,99 maka perusahaan diprediksi dalam keadaan sehat, dan
apabila Z Score berada antara 1,81 sampai 2,99 maka berarti perusahaan berada
dalam grey area (Ramadhany, 2004).
Model ini mengalami revisi karena banyaknya perusahaan yang tidak go
public sehingga tidak mempunyai nilai pasar. Revisi ini merupakan penyesuaian
agar model prediksi kebangkrutan ini tidak hanya dapat digunakan oleh
perusahaan-perusahaan manufaktur yang go public namun juga dapat digunakan
untuk perusahaan-perusahaan lain di sektor swasta. Maka pada tahun 1983,
Altman mengubah variabel Z4 yang semula merupakan perbandingan antara nilai

Universitas Sumatera Utara

pasar ekuitas dengan nilai buku hutang menjadi perbandingan antara nilai buku
ekuitas dengan nilai buku hutang. Model revisi Altman (1984) dinyatakan sebagai
berikut:
Z Score = 0,717 Z 1 + 0,847 Z 2 + 3,107 Z 3 + 0,420 Z 4 + 0,998 Z 5

Universitas Sumatera Utara

Keterangan:
Z 1 = Working Capital to Total Asset: perbandingan antara modal kerja (bersih)
dan total aktiva
Z 2 = Retained Earnings to Total Assets: perbandingan antara saldo laba ditahan
dan total aktiva
Z 3 = Earning Before Interest and Tax to Total Assets: perbandingan antara laba
sebelum biaya bunga dan pajak dengan total aktiva
Z 4 = Book Value of Equity to Book Value of Debt: perbandingan antara nilai buku
ekuitas dan nilai buku hutang
Z 5 = Sales to Total Assets: perbandingan antara penjualan dan total aktiva
Dari model revisi Altman Z Score tersebut, maka kondisi perusahaan di
bagi menjadi tiga kategori (Ramadhany, 2004) yaitu:
1. Apabila nilai Z Score di atas 2,90 (Z Score > 2,90) diklasifikasikan sebagai
perusahaan yang sehat.
2. Apabila nilai Z Score antara 1,20 sampai 2,90 (1,20 < Z Score < 2,90)
diklasifikasikan sebagai perusahaan yang berada dalam daerah kelabu (grey
area).
3. Apabila nilai Z Score di bawah 1,20 (Z Score < 1,20) diklasifikasikan sebagai
perusahaan yang berpotensi bangkrut.

Universitas Sumatera Utara

Z Score yang dikembangkan Altman tersebut selain dapat digunakan
untuk menentukan kecenderungan kebangkrutan juga dapat digunakan sebagai
ukuran dari keseluruhan kinerja keuangan perusahaan. Hal yang menarik
mengenai Z Score adalah keandalannya sebagai alat analisis tanpa memperhatikan
bagaimana ukuran perusahaan. Meskipun seandainya perusahaan sangat makmur,
bila Z Score mulai turun dengan tajam, menunjukkan adanya indikasi bahwa
perusahaan harus waspada terhadap kebangkrutan. Atau, bila perusahaan baru saja
survive, Z Score bisa digunakan untuk membantu mengevaluasi dampak yang
telah diperhitungkan dari perubahan upaya-upaya manajemen perusahaan.
Ketepatan prediksi model diskriminan Altman tersebut telah diuji pula
pada perusahaan-perusahaan di Indonesia. Akhyar dan Imam (2001), Suparti dan
Mastuti (2003) serta Ramadhany (2004) menyatakan bahwa rasio-rasio keuangan
yang terdapat dalam model Altman pada kelompok perusahaan yang terlikuidasi
jauh lebih kecil daripada rasio-rasio keuangan kelompok perusahaan yang tidak
terlikuidasi. Hasil ini sekaligus memperkuat teori yang ditemukan oleh Altman
untuk memprediksi kemungkinan terjadinya kebangkrutan pada perusahaan di
masa yang akan datang.
Berdasarkan

uraian

di

atas,

maka

peneliti

memutuskan

untuk

menggunakan model revisi Altman dalam menentukan perusahaan yang berada
pada kondisi financial distress yang akan dijadikan sampel dalam penelitian ini.

2.1.5. Proporsi Komisaris Independen
Menurut Wikipedia, komisaris (dalam jumlah jamak disebut dewan
komisaris) adalah sekelompok orang yang dipilih atau ditunjuk untuk mengawasi

Universitas Sumatera Utara

kegiatan suatu perusahaan atau organisasi. Di negara-negara Barat, dewan ini
disebut board of directors atau board of managers, board of regents, dan board of
trustees.
Di negara-negara Eropa dan Asia, biasanya ada dua dewan; dewan
eksekutif, yang bertugas menjalankan kegiatan bisnis sehari-hari, dan dewan
pengawas yang bertugas mengawasi dewan eksekutif. Dewan pengawas biasanya
dipilih oleh pemegang saham atau pemilik perusahaan.
Di Indonesia, istilah dewan direksi memiliki makna yang berbeda dari
board of directors tergantung dari istilah yang digunakan. Umumnya, di Indonesia
dewan direksi adalah dewan eksekutif, sedangkan di negara barat, board of
directors adalah dewan pengawas. Sebagai contoh, di Bank OCBC NISP, dewan
pengawas dinamakan dewan komisaris, sedangkan dewan eksekutif dinamakan
dewan direksi. Untuk menghindari kekeliruan maka istilah yang akan digunakan
untuk dewan pengawas disebut dengan dewan komisaris dan dewan eksekutif
disebut dengan dewan direksi karena penggunaan istilah dewan direksi di
Indonesia bisa mengacu ke salah satu fungsi dari kedua dewan tersebut.
Komisaris sebuah organisasi adalah anggota dewan pengawasnya.
Beberapa istilah spesifik digunakan untuk menjelaskan keberadaan atau ketiadaan
hubungannya terhadap organisasi tersebut. Komisaris (atau komisaris dalam)
adalah seorang komisaris yang juga merupakan seorang pegawai, petugas,
pemegang saham utama, atau seseorang yang berhubungan dengan organisasi
(perusahaan) tersebut. Komisaris dalam mewakili kepentingan dari para
pemegang saham, dan terkadang memiliki pengetahuan yang dalam atas kinerja,
keuangan, penguasaan pangsa pasar dari organisasi tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Komisaris luar (komisaris independen) adalah anggota dewan komisaris
yang bukan merupakan pegawai atau orang yang berurusan langsung dengan
organisasi tersebut, dan tidak mewakili pemegang saham. Sebagai contoh, seorang
komisaris yang diangkat yang sedang atau pernah menjabat posisi presiden sebuah
perusahaan dari sektor industri yang berbeda. Komisaris luar diangkat karena
pengalamannya dianggap berguna bagi organisasi tersebut. Mereka bisa
mengawasi komisaris dalam dan mengawasi bagaimana organisasi tersebut
dijalankan. Komisaris luar biasanya berguna dalam melerai sengketa antara
komisaris dalam, atau antara pemegang saham dan dewan komisaris.
Komisaris independen dianggap berguna karena mereka bisa bersikap
objektif dan memiliki resiko kecil dalam conflict of interest serta diharapkan
mampu menempatkan keadilan (fairness) di antara berbagai kepentingan dengan
memperhatikan kepentingan pihak-pihak yang mungkin sering terabaikan seperti
pemegang saham minoritas, para stakeholder lainnya, sebagai prinsip utama
dalam pengambilan keputusan oleh dewan komisaris. Komisaris independen juga
harus bebas dari segala kepentingan maupun urusan bisnis yang dapat dianggap
sebagai campur tangan untuk bertindak demi kepentingan yang menguntungkan
perusahaan. Komisaris independen harus mendorong diterapkannya prinsip dan
praktek tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) pada
perusahaan di Indonesia. Sebagai salah satu ciri dari Good Corporate Governance
adalah adanya komisaris independen yang memiliki tugas menjamin transparansi,
keterbukaan dalam kaitannnya dengan pelaporan keuangan serta mengatasi
kepatuhan perusahaan terhadap peraturan yang berlaku.

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan Surat keputusan Direksi PT Bursa Efek Jakarta NOMOR :
Kep-305/BEJ/07-2004 tentang Peraturan Nomor I-A tentang Pencatatan Saham
dan Efek Bersifat Ekuitas Selain Saham yang Diterbitkan oleh Perusahaan
Tercatat, mensyaratkan kewajiban setiap calon emiten yang akan mencatatkan
saham di bursa efek untuk mendudukkan Komisaris Independen di jajaran Dewan
Komisaris. Peraturan Bapepam IX.I.5 juga mendefinisikan bahwa yang dimaksud
dengan Komisaris Independen adalah komisaris yang berasal dari luar emiten atau
perusahaan publik, tidak mempunyai saham baik langsung maupun tidak langsung
pada emiten atau perusahaan publik, tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan
emiten atau perusahaan publik, komisaris, atau pemegang saham utama emiten
atau perusahaan publik, dan tidak memiliki hubungan usaha baik langsung
maupun tidak langsung yang berkaitan dengan kegiatan usaha emiten atau
perusahaan publik.
Keanggotaan komisaris independen sekurang-kurangnya (30%) dari
jumlah seluruh anggota komisaris. Oleh karena itu, dengan adanya proporsi
komisaris independen minimal 30% atau lebih banyak diharapkan dapat
membawa

pada

pelaporan

keuangan

yang

lebih

berkualitas

sehingga

menghasilkan opini yang wajar tanpa pengecualian. Proporsi keanggotaan
komisaris yang besar, dapat mencegah terjadinya manipulasi yang dilakukan oleh
manajemen sehingga dapat memberikan pelaporan keuangan yang memang benarbenar merepresentasikan kondisi perusahaan.

Universitas Sumatera Utara

2.1.6. Default Hutang
Dalam PSA 30, indikator going concern yang banyak digunakan auditor
dalam memberikan keputusan opini audit adalah kegagalan dalam memenuhi
kewajiban hutangnya (default). Debt default didefinisikan sebagai kegagalan debitor
(perusahaan) untuk membayar hutang pokok dan/atau bunganya pada waktu jatuh
tempo (Chen dan Church 1992). Manfaat status debt default sebelumnya telah diteliti
oleh Chen dan Church (1992) yang menemukan hubungan positif yang kuat antara
status default hutang dengan pengungkapan going concern dalam laporan audit.
Auditor

cenderung

disalahkan

karena

tidak

berhasil

memberikan

pengungkapan going concern setelah adanya beberapa peristiwa perusahaan yang
bangkrut meskipun mendapat opini wajar tanpa pengecualian. Biaya kegagalan untuk
memberikan pengungkapan going concern akan lebih tinggi ketika perusahaan dalam
keadaan default. Karenanya, dengan status default dapat meningkatkan kemungkinan
auditor memberikan pengungkapan going concern.

2.1.7. Kondisi Keuangan
Tingkat

kesehatan

suatu

perusahaan

dapat

dilihat

dari

kondisi

keuangannya. Perusahaan yang mempunyai kondisi keuangan yang baik maka
auditor tidak akan mengeluarkan pengungkapan going concern. Pada perusahaan
yang sakit, banyak ditemukan indikator masalah going concern (Ramadhany,
2004).
Penelitian Mc Keown et. al. (1991) menemukan bukti bahwa auditor
hampir tidak pernah memberikan pengungkapan going concern pada perusahaan
yang tidak mengalami kesulitan keuangan (financial distress). Hasil ini diperkuat
oleh penemuan dari Krishnan dan Krishnan (1996) bahwa auditor lebih cenderung

Universitas Sumatera Utara

mengeluarkan pengungkapan going concern ketika kemungkinan kebangkrutan di
atas 28% dengan menggunakan model probit Zmijewski (1984).
Berdasarkan uraian di atas, diharapkan semakin baik kondisi keuangan
perusahaan

maka

semakin

kecil

kemungkinan

perusahaan

menerima

pengungkapan going concern dan sebaliknya semakin buruk kondisi keuangan
suatu perusahaan maka semakin besar kemungkinan perusahaan menerima
pengungkapan going concern.

2.1.8. Pertumbuhan Perusahaan
Pertumbuhan perusahaan mengindikasikan kemampuan perusahaan dalam
mempertahankan kelangsungan usahanya. Laba yang tinggi pada umumnya
menandakan arus kas yang tinggi (Weston dan Bringham, 1993). Perusahaan yang
mempunyai pertumbuhan laba yang tinggi cenderung memiliki laporan sewajarnya
sehingga potensi untuk tidak mendapatkan pengungkapan going concern dalam
laporan auditnya akan lebih besar.

Teori

pertumbuhan

perusahaan

menurut

Tandelilin

(2001:224)

menjelaskan bahwa ada lima tahap teori pertumbuhan perusahaan, yaitu tahap
permulaan, tahap pertumbuhan, tahap kedewasaan (mature), tahap stabil dan tahap
penurunan. Dengan demikian jika dihubungkan dengan return perusahaan masih
kecil. Selanjutnya tahap pertumbuhan, pertumbuhan perusahaan sudah mulai
tampak dan bahkan mengalami posisi yang tinggi disebabkan dengan kenaikan
return perusahaan semakin meningkat karena produk yang dihasilkan sudah
banyak dikenal oleh masyarakat, banyaknya permintaan dan persaingan belum
begitu ketat. Tahap kedewasaan, pertumbuhan perusahaan mulai menurun karena
banyaknya pesaing yang mulai masuk dan permintaan yang sudah relatif stabil.

Universitas Sumatera Utara

Dengan demikian return yang dihasilkan kadang tinggi dan kadang menurun
bahkan kondisi perusahaan banyak mengalami penurunan dan menuju tingkat
keuntungan yang normal. Tahap stabil, tahap ini mungkin tahap yang paling
panjang dalam pertumbuhan perusahaan. Pertumbuhan perusahaan akan
cenderung sama dengan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Dengan
demikian return yang dihasilkan akan cenderung stabil karena berkolerasi dengan
kondisi ekonomi. Terakhir tahap penurunan, dimana pada tahap ini tingkat
pertumbuhan

perusahaan

semakin

menurun

karena

semakin

banyaknya

persaingan industri sehingga return yang dihasilkan juga menurun bahkan negatif.
Oleh karena itu, pada tahap ini ada perusahaan yang mulai keluar dari
industri dan mulai melakukan diversifikasi ke produk lain yang lebih
menguntungkan. Teori-teori ini sangat cocok untuk mengetahui hubungan
pertumbuhan dengan return perusahaan.
Altman (1974) mengemukakan bahwa perusahaan dengan negative growth
mengindikasikan kecenderungan yang lebih besar ke arah kebangkrutan sehingga
perusahaan yang berlaba tidak akan mengalami kebangkrutan. Karena kebangkrutan
merupakan salah satu pertimbangan utama bagi auditor untuk memberikan
pengungkapan going concern.

2.1.9. Opini Audit Tahun Sebelumnya
Pengungkapan going concern dalam laporan audit yang telah diterima
auditee pada tahun sebelumnya akan menjadi faktor pertimbangan yang penting
bagi auditor dalam mengeluarkan pengungkapan going concern pada laporan
audit tahun berjalan jika kondisi keuangan auditee tidak menunjukan tanda - tanda

Universitas Sumatera Utara

perbaikan atau tidak adanya rencana manajemen yang dapat direalisasikan untuk
memperbaiki kondisi perusahaan.
Dengan adanya perbedaan kepentingan antara agen dan prinsipal
memungkinkan adanya ketakutan pada pihak agen untuk mengungkapkan
informasi yang tidak diharapkan oleh prinsipal sehingga memungkinkan adanya
kecenderungan untuk melakukan manipulasi terhadap laporan keuangan.
Berkaitan dengan penerimaan pengungkapan going concern, agen
bertanggung jawab secara moral terhadap kelangsungan hidup perusahaan yang
dipimpinnya. Jika suatu perusahaan menerima pengungkapan going concern maka
timbul kecenderungan untuk mengganti auditor dengan harapan terdapat
pemberian opini yang berbeda (unqualified opinion) yang pada akhirnya akan
berdampak pada audit delay. Akan tetapi, jika suatu perusahaan menerima
pengungkapan going concern pada tahun tertentu maka kemungkinan besar
perusahaan tersebut akan mendapatkan opini yang sama pada tahun berikutnya
meskipun sudah mengganti auditor. Hal ini terjadi karena kegiatan usaha pada
tahun berikutnya berdasar pada kegiatan usaha pada tahun sebelumnya.

2.1.10. Ukuran Perusahaan
Ukuran perusahaan dapat dilihat dari kondisi keuangan perusahaan melalui
besarnya total aset yang dimiliki perusahaan. Aset menunjukan aktiva yang
digunakan untuk aktivitas operasional perusahaan. Peningkatan asset yang diikuti
peningkatan hasil operasi akan semakin menambah kepercayaan pihak luar
terhadap perusahaan.
Mutchler (1985) menyatakan bahwa auditor lebih sering mengeluarkan
pengungkapan going concern pada perusahaan yang lebih kecil. Hal ini

Universitas Sumatera Utara

dimungkinkan karena auditor mempercayai bahwa perusahaan yang lebih besar dapat
menyelesaikan kesulitan-kesulitan keuangan yang dihadapinya daripada perusahaan
yang lebih kecil.
Januarti dan Fitrianasari (2008), Junaidi dan Hartono (2010) menemukan
bahwa ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap pengungkapan going concern
yang dikeluarkan oleh auditor, sedangkan Santosa dan Wedari (2007) menemukan
bukti bahwa ukuran perusahaan berpengaruh pada pengungkapan going concern.

2.1.11. Skala Auditor
DeAngelo (1981) menyatakan bahwa Kantor Akuntan Publik (KAP) skala
besar memiliki insentif yang lebih untuk menghindari kritikan kerusakan reputasi
dibandingkan pada KAP skala kecil. KAP yang lebih besar dianggap lebih mampu
menghasilkan kualitas audit yang lebih baik dibandingkan KAP skala kecil. KAP
besar juga lebih cenderung untuk mengungkapkan masalah-masalah yang ada
karena mereka lebih kuat menghadapi resiko proses pengadilan. Argumen ini
berarti bahwa KAP besar memiliki insentif lebih untuk mendeteksi dan
melaporkan masalah going concern kliennya.
Sebelum tahun 2003, terdapat lima KAP besar di dunia yang disebut The
Big Five Auditors yaitu Arthur Andersen, Ernst & Young, Deloitte Touche
Tohmatsu, KPMG, dan PricewaterhouseCoopers. Lima KAP lokal yang
berafiliasi dengan The Big Five Auditors yaitu:
1. KAP Prasetio Utomo & Co berafiliasi dengan Arthur Andersen,
2. KAP Hanadi, Sarwoko, dan Sandjaja berafiliasi dengan Ernst & Young,
3. KAP Hans Tuanakotta & Mustofa berafiliasi dengan Deloitte Touche
Tohmatsu,

Universitas Sumatera Utara

4. KAP Siddharta, Siddharta, dan Harsono berafiliasi dengan KPMG,
5. KAP

Drs.

Hadi

Susanto

dan

Rekan

berafiliasi

dengan

PricewaterhouseCoopers.
Namun sejak tahun 2003 hingga sekarang, The Big Five Auditors tersebut
menjadi The Big Four Auditors. Keempat KAP besar tersebut adalah Ernst &
Young disingkat EY, Deloitte Touche Tohmatsu disingkat Deloitte, KPMG, dan
PricewaterhouseCoopers disingkat PWC. Nama-nama KAP lokal yang berafiliasi
dengan KAP besar di dunia (The Big Four Auditors) dapat dilihat pada tabel 2.1
terlampir.
Tabel 2.1.
Kantor Akuntan Publik Besar

Tahun

KAP Lokal Berafiliasi Dengan KAP Asing “The Big Four”
EY
Deloitte
KPMG
PWC

20032004

KAP Prasetio,
Sarwoko &
Sandjaja

KAP Hans
Tuanakotta dan
Mustofa

KAP Siddharta,
Siddharta dan
Harsono

KAP Drs. Hadi
Susanto dan Rekan

2005

KAP Purwantono,
Sarwoko &
Sandjaja

KAP Osman Ramli
Satrio dan Rekan

KAP Siddharta,
Siddharta dan
Harsono

KAP Drs. Hadi
Susanto dan Rekan

20062008

KAP Purwantono,
Sarwoko &
Sandjaja

KAP Osman Bing
Satrio dan Rekan

KAP Siddharta,
Siddharta dan
Widjaja

KAP Haryanto Sahari

2009

KAP Purwantono,
Sarwoko &
Sandjaja

KAP Osman Bing
Satrio dan Rekan

KAP Siddharta
dan Widjaja

KAP Tanudireja
Wibisana dan Rekan

20102012

KAP Purwantono,
Suherman & Surja

KAP Osman Bing
Satrio dan Rekan

KAP Siddharta
dan Widjaja

KAP Tanudireja
Wibisana dan Rekan

2013

KAP Purwantono,
Suherman & Surja

KAP Osman Bing
Satrio dan Eny

KAP Siddharta
dan Widjaja

KAP Tanudireja
Wibisana dan Rekan

Universitas Sumatera Utara

2.2. Review Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang diuji kembali dalam penelitian ini adalah faktorfaktor yang mempengaruhi pengungkapan going concern pada perusahaan yang
mengalami kesulitan keuangan (financial distress) yang dikembangkan oleh
Alexander Ramadhany (2004). Penelitian dilakukan terhadap perusahaan
manufaktur yang mengalami financial distress di Bursa Efek Jakarta pada tahun
2002.
Penelitiannya memasukkan model regresi logistik untuk menguji pengaruh
komisaris independen komite audit, default hutang, kondisi keuangan, opini audit
tahun sebelumnya, ukuran perusahaan dan skala auditor terhadap kemungkinan
perusahaan menerima pengungkapan going concern atau non going concern.
Hasil penelitiannya menemukan bukti bahwa variabel default hutang, kondisi
keuangan dan opini audit tahun sebelumnya berpengaruh signifikan terhadap
pengungkapan going concern sehingga memperkuat bukti bahwa kondisi
keuangan yang buruk, yang diukur dengan analisis diskriminan Altman dan status
default hutang memperjelas masalah going concern yang dihadapi perusahaan.
Tidak banyak penelitian yang dilakukan untuk menguji faktor-faktor yang
mempengaruhi kemungkinan pengungkapan going concern pada perusahaan yang
mengalami kesulitan keuangan (financial distress), mayoritas sampel penelitian
diperoleh dari populasi perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia (sebelumnya dinamakan Bursa Efek Jakarta).
Santosa dan Wedari (2007) melakukan analisis terhadap faktor-faktor yang
mempengaruhi

kecenderungan

pengungkapan

going

concern

dengan

menggunakan variabel kualitas audit, kondisi keuangan, opini audit tahun

Universitas Sumatera Utara

sebelumnya, pertumbuhan perusahaan dan ukuran perusahaan. Penelitian
dilakukan terhadap perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta
periode 2001-2005. Hasil penelitian mereka menyimpulkan bahwa kondisi
keuangan, opini audit tahun sebelumnya dan ukuran perusahaan berpengaruh
signifikan sedangkan kualitas audit dan pertumbuhan perusahaan tidak
berpengaruh terhadap kecenderungan pengungkapan going concern.
Yulius Kurnia Susanto (2009) melakukan analisa faktor-faktor yang
mempengaruhi pengungkapan audit going concern pada perusahaan publik
manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2005-2008. Penelitian
dilakukan dengan memasukkan rasio keuangan yaitu current ratio, quick ratio,
cash flow from operations dan return on assets, debt to equity, long term debt to
total assets dan debt to total assets selain variabel kualitas audit, opini audit tahun
sebelumnya, debt default dan opinion shopping. Konsisten dengan penelitian
sebelumnya (Santosa dan Wedari, 2007), Susanto menemukan bukti bahwa
kondisi keuangan perusahaan yang buruk dan opini audit tahun sebelumnya
membuat auditor cenderung memberikan pengungkapan going concern. Untuk
rasio-rasio keuangan berupa return on assets yang rendah dan debt to total assets
yang tinggi membuat auditor cenderung memberikan pengungkapan going
concern sedangkan current ratio, quick ratio, cash flow from operations, debt to
equity dan long term debt to total assets tidak terdukung dapat mempengaruhi
auditor untuk memberikan pengungkapan going concern, demikian juga debt
default dan opinion shopping tidak berpengaruh.
Widyantari (2011) dalam penelitiannya terhadap perusahaan manufaktur
di Bursa Efek Indonesia periode 2000-2009 menggunakan variabel independen

Universitas Sumatera Utara

sebanyak 10 item dengan hasil penelitiannya menemukan bukti adanya pengaruh
dari leverage, profitabilitas, arus kas, ukuran perusahaan dan opini audit tahun
sebelumnya

pada

pengungkapan

going

concern.

Sedangkan

likuiditas,

pertumbuhan perusahaan, kualitas audit, audit lag dan auditor client tenure tidak
berpengaruh pada pengungkapan going concern.
Di tahun yang sama, Abdul Rahman dan Baldric Siregar juga melakukan
penelitian terhadap perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia
periode 2006-2010 dengan metode purposive sampling dengan sampel terpilih
sebanyak 37 perusahaan. Dengan analisa model regresi logistik menghasilkan
kesimpulan bahwa pertumbuhan perusahaan, opini audit tahun sebelumnya dan
debt to equity ratio berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan going concern
sedangkan kualitas audit, kondisi keuangan dan ukuran perusahaan tidak
berpengaruh signifikan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Praptitorini dan Januarti (2011)
menunjukkan bahwa debt default berpengaruh positif terhadap pengungkapan
going concern sedangkan kualitas audit dan opinion shopping tidak berpengaruh.
Penelitian dilakukan terhadap perusahaan manufaktur yang tercatat di Bursa Efek
Indonesia selama tahun 1997-2002 dengan tujuan untuk mengetahui tren
perkembangan pengungkapan going concern semasa krisis ekonomi berlangsung
pada tahun 1997-1999 dan tahun-tahun sesudahnya.
Totok Dewayanto (2001) juga melakukan pengujian terhadap perusahaan
manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Dengan metode purposive
sampling, diperoleh 28 perusahaan dengan periode penelitian selama 4 tahun
mulai tahun 2006 sampai dengan 2009. Pengujian dilakukan dengan faktor

Universitas Sumatera Utara

kondisi keuangan, ukuran perusahaan, opini audit tahun sebelumnya, auditor
client tenure, opinion shopping dan reputasi auditor menemukan bukti bahwa
kondisi keuangan & opini audit tahun sebelumnya berpengaruh signifikan
terhadap pengungkapan going concern sedangkan auditor client tenure, opinion
shopping dan reputasi auditor tidak berpengaruh terhadap pengungkapan going
concern.
Tabel 2.2.
Penelitian Terdahulu
No.

Peneliti
(Tahun)

Judul

Variabel

Hasil Penelitian

1

Ramadhany
(2004)

Analisis Faktor Faktor Yang
Mempengaruhi
Penerimaan Opini
Going concern Pada
Perusahaan
Manufaktur yang
Mengalami Financial
Distress Di Bursa Efek
Jakarta

Status default hutang,
kondisi keuangan dan
opini audit tahun
sebelumnya berpengaruh
signifikan

2

Arga Fajar
Santosa dan
Linda
Kusumaning
Wedari
(2007)

Analisis Faktor Faktor
yang Mempengaruhi
Kecenderungan
Penerimaan Opini
Audit
Going Concern

Variabel dependen:
- Opini Going Concern
Variabel independen:
Komisaris
independen komite audit
Default hutang
Kondisi
keuangan
Opini audit tahun
sebelumnya
Ukuran
perusahaan
Skala auditor
Variabel dependen:
- Opini Going Concern
Variabel independen:
- Kualitas audit
- Kondisi keuangan
- Opini audit tahun
sebelumnya
- Pertumbuhan
perusahaan
- Ukuran perusahaan

Kondisi keuangan, opini
audit tahun sebelumnya
dan ukuran perusahaan
berpengaruh signifikan

Universitas Sumatera Utara

3

Yulius
Kurnia
Susanto
(2009)

Faktor-faktor yang
Mempengaruhi
Penerimaan Opini
Audit Going Concern
pada Perusahaan
Publik Sektor
Manufaktur

Variabel dependen:
- Opini Going Concern
Variabel independen:
- Kondisi keuangan
- Current ratio,quick
ratio, cash flow from
operations dan return on
assets
- Debt to equity, long
term debt to total asset
dan Debt to total asset
- Kualitas audit
- Opini audit sebelumnya
- Debt default
- Opinion shopping

Kondisi keuangan, return
on assets, debt to total
assets, opini audit tahun
sebelumnya berpengaruh
secara signifikan
Current ratio,quick ratio,
cash flow from
operations, debt to equity,
long term debt to total
asset, kualitas audit, debt
default, opinion shopping
tidak berpengaruh secara
signifikan

Universitas Sumatera Utara

Lanjutan Tabel 2.2.
Penelitian Terdahulu
No.

Peneliti
(Tahun)

Judul

Variabel

Hasil Penelitian

4

Ayu Putri
Widyantari
(2011)

Opini Audit Going
Concern dan Faktorfaktor yang
Mempengaruhi: Studi
pada Perusahaan
Manufaktur di Bursa
Efek Indonesia

Variabel dependen:
- Opini Going Concern
Variabel independen:
- Likuiditas
- Leverage
- Profitabilitas
- Arus kas
- Ukuran perusahaan
- Pertumbuhan
perusahaan
- Kualitas audit
- Audit lag
- Opini audit tahun
sebelumnya
- Auditor client tenure

Leverage, profitabilitas,
arus kas, ukuran
perusahaan dan opini
audit tahun sebelumnya
berpengaruh secara
signifikan
Likuiditas, pertumbuhan
perusahaan, kualitas
audit, audit lag dan
auditor client tenure tidak
berpengaruh secara
signifikan

5

Abdul
Rahman dan
Baldric
Siregar
(2011)

Faktor-faktor yang
Mempengaruhi
Kecenderungan
Penerimaan Opini
Audit Going Concern
pada Perusahaan
Manufaktur yang
Terdaftar di Bursa
Efek Indonesia

Variabel dependen:
- Opini Going Concern
Variabel independen:
- Kualitas audit
- Kondisi keuangan
- Pertumbuhan
perusahaan
- Opini audit tahun
sebelumnya
- Ukuran perusahaan
- Debt to equity

Pertumbuhan perusahaan,
opini audit tahun
sebelumnya, debt to
equity berpengaruh secara
signifikan
Kualitas audit, kondisi
keuangan, ukuran
perusahaan tidak
berpengaruh secara
signifikan

6

Mirna Dyah
Praptitorini
dan Indira
Januarti
(2011)

Analisis Pengaruh
Kualitas Audit, Debt
Default dan Opinion
Shopping Terhadap
Penerimaan Opini
Going Concern

Variabel dependen:
- Opini Going Concern
Variabel independen:
- Kualitas audit
- Debt default
- Opinion Shopping

Debt default berpengaruh
secara signifikan
Kualitas audit dan
opinion shopping tidak
berpengaruh scara
signifikan

7

Totok
Dewayanto
(2011)

Analisis Faktor-faktor
yang Mempengaruhi
Penerimaan Opini
Audit Going Concern
pada Perusahaan
Manufaktur yang
Terdaftar di Bursa
Efek Indonesia

Variabel dependen:
- Opini Going Concern
Variabel independen:
- Kondisi keuangan
- Ukuran perusahaan
- Opini audit tahun
sebelumnya
- Auditor client tenure
- Opinion shopping
- Kualitas auditor

Kondisi keuangan dan
opini audit tahun
sebelumnya berpengaruh
secara signifikan
Ukuran perusahaan,
auditor client tenure,
opinion shopping dan
kualitas audit tidak
berpengaruh secara
signifikan

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERIMAAN OPINI AUDIT GOING CONCERN PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Opini Audit Going Concern Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

0 3 18

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERIMAAN OPINI AUDIT GOING CONCERN Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Opini Audit Going Concern Pada Perusahaan Manufaktur Di Bursa Efek Indonesia.

0 2 14

Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Going Concern pada Perusahaan Manufaktur yang Mengalami Financial Distress di Bursa Efek Indonesia

0 0 18

Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Going Concern pada Perusahaan Manufaktur yang Mengalami Financial Distress di Bursa Efek Indonesia

0 0 2

Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Going Concern pada Perusahaan Manufaktur yang Mengalami Financial Distress di Bursa Efek Indonesia

0 0 8

Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Going Concern pada Perusahaan Manufaktur yang Mengalami Financial Distress di Bursa Efek Indonesia Chapter III VI

0 3 55

Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Going Concern pada Perusahaan Manufaktur yang Mengalami Financial Distress di Bursa Efek Indonesia

0 2 4

Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Going Concern pada Perusahaan Manufaktur yang Mengalami Financial Distress di Bursa Efek Indonesia

0 0 13

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Turnaround pada Perusahaan yang Mengalami Financial Distress di Bursa Efek Indonesia

1 1 11

PENDAPAT GOING CONCERN: ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PADA PERUSAHAAN YANG MENGALAMI FINANCIAL DISTRESS (Studi pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2010 - 2013)

1 1 34