PENDAPAT GOING CONCERN: ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PADA PERUSAHAAN YANG MENGALAMI FINANCIAL DISTRESS (Studi pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2010 - 2013)

RAISA NANDA BARLIAN YONA PERWITASARI AGUNG NUR PROBOHUDONO

Universitas Sebelas Maret

Abstract

The purpose of this research is to examine the effect of the company’s internal condition such as the audit quality, company growth, company size, debt to equity ratio, and the delay of shareholder’s meeting on the acceptance of going concern opinion of manufacturing firms listed on Indonesia Stock Exchange in 2010-2013. Samples are determined by purposive sampling method with total samples are 54 manufacturing firms listed on Indonesia Stock Exchange in 2010-2013. This study employs The logistic regression to analyze the effect of independent variables on the dependent variable. The results show that the delay of shareholder’s meeting have a negative and significant effect on the acceptance of going concern opinion. On the other hand, audit quality, company growth, company size, and debt to equity ratio do not have significant effect on the acceptance of going concern opinion .

Keywords: Going concern opinion, audit quality, company growth, company size, debt to equity ratio, the delay of shareholder’s meeting, financial distress

∗ Author can be contacted at: icharenbi@yahoo.com

1. Pendahuluan

Dalam beberapa dekade, kebutuhan akan praktek audit dalam meningkat atau dapat dikatakan bahwa praktek audit menjadi penting dalam perusahaan karena adanya asimetri informasi antara pemegang saham dan manajemen. Praktek audit dapat mengurangi asimetri informasi dengan cara memungkinkan pihak eksternal perusahaan untuk melakukan verifikasi atas kehandalan laporan keuangan perusahaan (Setyowati, 2009). Manajemen yang diberi kewenangan oleh pemegang saham untuk mengelola perusahaan lebih mengetahui segala informasi mengenai kondisi perusahaan dibandingkan pemegang saham. Dalam teori agensi disebutkan bahwa manajemen maupun pemegang saham melakukan suatu tindakan dengan tujuan memaksimalkan kepentingan diri sendiri (Jensen dan Meckling, 1976). Dari hal tersebut, muncul kemungkinan bahwa manajemen akan melakukan kecurangan ataupun pencurian aset perusahaan yang menyebabkan manajemen melakukan manipulasi laporan keuangan untuk menutupi tindakan curang tersebut. Laporan keuangan yang dimanipulasi oleh manajemen ini sudah tidak sejalan dengan tujuan pelaporan keuangan untuk memberikan informasi yang benar mengenai kondisi perusahaan.

Oleh karena itu, untuk mengurangi asimetri informasi antara pemegang saham dan manajemen diperlukan suatu audit atas laporan keuangan oleh auditor eksternal agar laporan keuangan yang disediakan oleh manajemen menjadi lebih handal. Auditor eksternal dianggap lebih independen daripada auditor internal karena bagaimanapun juga auditor internal merupakan karyawan dari perusahaan dan kemungkinan pemegang saham ataupun pemangku kepentingan memandang auditor internal tidak independen karena masih terdapat hubungan dengan perusahaan (Arens, et al. 2009). Dalam melaksanakan penugasan audit, seorang auditor harus bersikap independent in fact dan independent in appareance. Jika auditor internal benar-benar independen dalam melaksanakan tugasnya (independent in fact), namun jika pemegang saham atau pemangku kepentingan lainnya menganggap auditor internal tersebut tidak independen (independent in appereance), maka independensi auditor tidak akan berarti. Independensi merupakan landasan dari profesi akuntansi dan merupakan salah satu aset yang paling berharga (Mednick, 1997 dalam Geiger dan Blay, 2007). Tanpa independensi maka tidak ada lagi kebutuhan bagi auditor eksternal untuk membuktikan keakuratan dan kelengkapan informasi keuangan perusahaan (Sutton 1997; Wallace, 2004).

Dalam hasil akhir penugasan, auditor akan menerbitkan sebuah laporan audit dengan pendapat auditor atas kewajaran laporan keuangan yang diterbitkan manajemen. Pendapat auditor ini menjadi penting karena menjadi fokus pemegang saham atau pemangku kepentingan lainnya. Pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya lebih memperhatikan pada pendapat auditor karena pendapat ini merupakan pendapat auditor mengenai suatu kepastian yang layak atas kondisi perusahaan di mana auditor harus dapat mempertanggungjawabkan pendapat yang diterbitkan dalam laporan audit termasuk pendapat going concern yang merupakan bagian dari pendapat wajar tanpa pengecualian dengan paragraf penjelas. Auditor haruslah berhati-hati dalam menerbitkan pendapat going concern karena pendapat going concern yang diterima perusahaan merupakan sebuah sinyal mengenai suatu keraguan auditor atas keberlangsungan usaha (going concern) perusahaan (Setyowati, 2009). Pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya menganggap bahwa pendapat going concern merupakan sebuah pendapat auditor yang dapat memberikan prediksi mengenai suatu kemungkinan likuidasi atau kebangkrutan perusahaan yang diaudit (Setiawan, 2006). Chen dan Church (1996) menemukan bukti bahwa pendapat going concern dapat berguna untuk memprediksi kebangkrutan dan menyediakan beberapa kekuatan penjelasan dalam memprediksi resolusi kebangkrutan.

Pendapat going concern yang diterima oleh perusahaan dapat berakibat buruk bagi perusahaan seperti yang disimpulkan oleh Setyowati (2009) dari berbagai penelitian yaitu seperti menurunnya harga saham perusahaan, kesulitan dalam memperoleh pinjaman atau pendanaan, mempercepat kebangkrutan perusahaan. Pendapat going concern tidak hanya berdampak buruk bagi perusahaan yang menerima pendapat tersebut, namun juga dapat berdampak buruk terhadap auditor yaitu berpindahnya klien ke auditor yang lain (Carcello dan Neal, 2000). Kondisi dimana pemegang saham dan pemangku kepentingan yang sangat memperhatikan pendapat auditor atas laporan keuangan ini mewajibkan auditor untuk mempertanggung jawabkan pendapat yang dikeluarkannya termasuk pendapat going concern karena pendapat audit ini akan dapat mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemegang saham ataupun pemangku kepentingan lainnya. Selain itu, dampak atas diterbitkan pendapat going concern bagi perusahaan maupun auditor sendiri mengharuskan auditor untuk lebih berhati-hati dalam menerbitkan pendapat going concern.

Pendapat going concern menjadi lebih penting dan menjadi perhatian bagi praktisi dan peneliti setelah mencuatnya kasus-kasus manipulasi laporan keuangan

perusahaan yang terjadi dalam beberapa dekade terahir ini, seperti kasus Enron dan WorldCom dengan KAP Anderson, serta di Indonesia sendiri seperti kasus PT. Kimia Farma Tbk., PT. Indosat Tbk., kasus sembilan KAP yang mengaudit bank-bank, dan kasus lainnya. Kasus-kasus tersebut menyebabkan menyebabkan profesi akuntan publik memperoleh banyak kritikan karena auditor dianggap ikut bertanggung jawab dan turut andil dalam memberikan jaminan atas informasi yang salah yang kemudian merugikan pengguna laporan keuangan (Rahman dan Siregar, 2012). Disebutkan pula dalam Rahman dan Siregar (2012) bahwa kasus-kasus yang menimpa dunia internasional tersebut membuat AICPA mengeluarkan peraturan yang mensyaratkan bahwa auditor harus mengungkapkan secara eksplisit apakah perusahaan klien akan dapat mempertahankan keberlangsungan hidupnya atau going concern sampai dengan satu tahun kemudian setelah pelaporan keuangan. AICPA (1988) menerbitkan Satetement on Auditing Standards (SAS) No.59 yang mewajibkan auditor memberikan peringatan kepada pengguna laporan keuangan mengenai adanya kesangsian atas kemampuan perusahaan untuk dapat bertahan hidup dalam satu periode akuntansi setelah periode laporan keuangan.

Terdapat beberapa penelitian yang mengungkapkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penerimaan pendapat going concern, yaitu Chen et al. (2012), Rahman dan Siregar (2012), Junaidi dan Hartono (2010), Susanto (2009), Rudyawan dan Badera (2009), Geiger dan Blay (2007), Knechel dan Vanstraelen (2007), Praptitorini dan Januarti (2007), Santosa dan Wedari (2007), Setyarno et al. (2006), Ballesta dan Garcia (2005), Fanny dan Saputra (2005), Mutchler et al. (1997), Chen dan Church (1996), serta Mckeown et al. (1991). Dalam penelitian Junaidi dan Hartono (2010), kualitas auditor yang diproksikan dengan reputasi auditor (ukuran kantor akuntan publik) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penerbitan pendapat going concern, sedangkan hasil yang berbeda ditemukan oleh Rahman dan Siregar (2012); Susanto (2009); Rudyawan dan Badera (2009); Geiger dan Blay (2007); Knechel dan Vanstraelen (2007); Praptitorini dan Januarti (2007); Santosa dan Wedari (2007); Setyarno et al. (2006); Fanny dan Saputra (2005); Mutchler et al. (1997) yang menemukan bukti bahwa kualitas audit yang diproksikan dengan reputasi auditor (ukuran kantor akuntan publik) tidak berpengaruh secara signifkan terhadap penerimaan pendapat going concern.

Rahman dan Siregar (2012) menemukan bukti bahwa pertumbuhan perusahaan memiliki pengaruh negatif secara signifikan terhadap penerimaan pendapat going Rahman dan Siregar (2012) menemukan bukti bahwa pertumbuhan perusahaan memiliki pengaruh negatif secara signifikan terhadap penerimaan pendapat going

Rahman dan Siregar (2012) menemukan bukti bahwa debt to equity ratio memiliki pengaruh positif secara signifikan terhadap penerimaan pendapat going concern . Hasil yang berbeda ditemukan oleh Susanto (2009) yang menemukan bahwa debt to equity tidak mempengaruhi seorang auditor dalam memberikan pendapat going concern . Penelitian ini juga melakukan pengujian salah satu faktor yang dapat mempengaruhi penerimaan pendapat going concern yaitu penundaan rapat pemegang saham. Pengaruh cpenundaan rapat umum pemegang saham terhadap penerimaan pendapat going concern belum banyak diteliti di Indonesia sehingga peneliti tertarik untuk menguji pengaruh keduanya. Knechel dan Vanstraelen (2007) menemukan bahwa kemungkinan penerbitan pendapat going concern akan lebih besar pada perusahaan yang menunda rapat umum pemegang saham.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa hasil dari berbagai penelitian tersebut masih beragam, sehingga research gap yang dapat diidentifikasi yaitu hasil penelitian terdahulu yang tidak konsisten. Beberapa penelitian menemukan hasil signifikan baik hubungan positif maupun negatif serta hasil tidak signifikan dalam penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan pendapat going concern . Oleh karena terdapat keberagaman hasil penelitian, penulis ingin menguji kembali mengenai faktor-faktor apa saja yang dapat mendorong auditor mengeluarkan pendapat going concern karena terdapat penelitian-penelitian terdahulu yang menunjukkan perbedaan hasil penelitian. Penelitian ini dilakukan guna mengkonfirmasi Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa hasil dari berbagai penelitian tersebut masih beragam, sehingga research gap yang dapat diidentifikasi yaitu hasil penelitian terdahulu yang tidak konsisten. Beberapa penelitian menemukan hasil signifikan baik hubungan positif maupun negatif serta hasil tidak signifikan dalam penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan pendapat going concern . Oleh karena terdapat keberagaman hasil penelitian, penulis ingin menguji kembali mengenai faktor-faktor apa saja yang dapat mendorong auditor mengeluarkan pendapat going concern karena terdapat penelitian-penelitian terdahulu yang menunjukkan perbedaan hasil penelitian. Penelitian ini dilakukan guna mengkonfirmasi

Pentingnya praktek audit dan pendapat audit dalam praktek bisnis membuat penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh mengenai hal tersebut terutama mengenai pendapat going concern. Pentingnya pendapat going concern sebagai prediktor kebangkrutan perusahaan membuat peneliti tertarik untuk meneliti lebih jauh mengenai faktor-faktor apa saja yang dapat mendorong auditor mengeluarkan pendapat going concern karena auditor menghadapi trade-off dalam mengeluarkan pendapat going concern . Di satu sisi, merupakan suatu kewajiban bagi auditor untuk mengungkapkan pendapat going concern jika terdapat indikasi bahwa perusahaan tidak dapat mempertahankan kelangsungan usahanya dalam satu tahun ke depan setelah tanggal pelaporan. Di sisi lain, auditor kemungkinan dapat kehilangan klien jika auditor mengeluarkan pendapat going concern perusahaan klien (Knechel dan Vanstraelen, 2007). Penelitian ini lebih berfokus mengenai kemungkinan auditor dalam mengeluarkan pendapat going concern dalam perusahaan yang mengalami financial distress karena karena auditor hampir tidak pernah mengeluarkan pendapat going concern pada perusahaan auditee yang tidak mengalami financial distress atau perusahaan yang memiliki laba bersih setelah pajak positif (McKeown et al., 1991). Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi kemungkinan auditor mengeluarkan pendapat going concern pada perusahaan auditee yang mengalami financial distress.

2. Landasan Teori dan Pengembangan Hipotesis

2.1 Teori Agensi (Agency Theory)

Teori agensi digambarkan secara jelas oleh (Jensen dan Meckling, 1976) dimana teori agensi menjelaskan mengenai hubungan antara principal (pemilik) dan agen (manajer), konflik yang terjadi diantara keduanya yang disebut konflik agensi (agency conflict ), serta biaya yang terjadi akibat adanya konflik agensi yang disebut biaya agensi (agency cost). Menurut (Jensen dan Meckling, 1976) hubungan keagenan adalah sebuah kontrak yang terjadi antara principal dan agen yang dalam hal ini terdapat suatu pendelegasian wewenang dalam pengambilan keputusan dari principal kepada agen. Dapat dikatakan di sini bahwa, principal sebagai pihak yang memiliki perusahaan dan agen sebagai pihak pengelola perusahaan.

Jensen dan Meckling (1976) menyebutkan bahwa pemisahan wewenang antara prinsipal dan agen dapat menimbulkan suatu asimetri informasi antara pemegang saham dan manajemen. Agen yang berwenang dalam mengelola perusahaan tentunya sangat mengetahui informasi perusahaan yang sebenarnya dibandingkan informasi yang diketahui oleh principal. Principal hanya mengetahui informasi mengenai perusahaan melalui laporan keuangan yang diterbitkan oleh agen. Jensen dan Meckling (1976) dalam teori agensi menyebutkan bahwa asimetri informasi yang muncul akibat adanya pemisahan wewenang antara principal dan agen merupakan sebab munculnya suatu konflik diantara principal dan agen yang disebut konflik agensi (conflict agency). Dalam teori agensi, principal sebagai pihak yang memiliki saham sepenuhnya meminta agen untuk memaksimalkan return bagi mereka (Berle dan Means, 1932). Namun, dalam teori agensi juga menyebutkan bahwa principal dan agen cenderung bertindak untuk memaksimalkan kepentingan sendiri. Tidak hanya principal yang ingin memaksimalkan kepentingan, agen pun juga memiliki keinginan yang sama untuk memaksimalkan kepentingannya sehingga terjadilah konflik agensi antara principal dan agen.

Jensen dan Meckling (1976) menyebutkan bahwa pemisahan wewenang tidak hanya memunculkan konflik agensi tetapi juga muncul suatu biaya agensi (agency cost). Jensen dan Meckling (1976) menyebutkan adanya tiga macam biaya agensi, yaitu biaya monitoring , biaya bonding expenditures, dan the residual loss. Biaya monitoring expenditures merupakan pengeluaran yang harus ditanggung oleh principal untuk melakukan pengawasan dan evaluasi atas tindakan agen. Biaya bonding merupakan pengeluaran yang harus ditanggung oleh agen untuk memberikan suatu kepastian kepada pemilik bahwa manajer tidak akan mengambil suatu keputusan atau tindakan tertentu yang dapat menimbulkan suatu kerugian bagi perusahaan. Salah satu contoh dari biaya bonding adalah biaya dalam memperkerjakan auditor independen (eksternal) untuk melakukan audit atas laporan keuangan perusahaan untuk memastikan keakuratan laporan keuangan yang disediakan manajemen. The residual loss merupakan biaya yang harus ditanggung oleh principal sebagai akibat dari perbedaan keputusan yang diambil agen atau manajer untuk meningkatkan kesejahteraan principal atau pemilik.

Seperti yang dijelaskan oleh (Jensen dan Meckling, 1976) bahwa konflik agensi menimbulkan biaya agensi yang salah satunya merupakan biaya bonding yaitu biaya memperkerjakan auditor independen (eksternal) guna melakukan audit atas laporan keuangan. Dari hal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa auditor merupakan salah Seperti yang dijelaskan oleh (Jensen dan Meckling, 1976) bahwa konflik agensi menimbulkan biaya agensi yang salah satunya merupakan biaya bonding yaitu biaya memperkerjakan auditor independen (eksternal) guna melakukan audit atas laporan keuangan. Dari hal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa auditor merupakan salah

2.2 Pendapat Going Concern

Menurut Standar Profesional Akuntan Publik (2001), pendapat going concern merupakan pendapat dari auditor mengenai apakah sebuah perusahaan yang diaudit dapat mempertahankan going concern atau kelangsungan hidupnya setidaknya dalam satu tahun ke depan. Pendapat going concern diungkapkan setelah paragraf pendapat dalam laporan audit. Menurut SAS 59 (AU 341) dalam Arens, et al. (2009) auditor memiliki tanggung jawab untuk melakukan evaluasi mengenai apakah perusahaan mempunyai kemungkinan untuk going concern atau tetap bertahan ke depan, meskipun tujuan dari audit bukanlah untuk mengevaluasi mengenai kesehatan keuangan perusahaan. Hal ini juga didukung dengan adanya Standar Profesional Akuntan Publik (2001) yang menyebutkan bahwa auditor bertanggungjawab untuk menilai apakah terdapat kesangsian terhadap perusahaan dalam usaha mempertahankan kelangsungan hidupnya atau tetap bertahan dalam suatu periode waktu yang tidak lebih dari satu (1) tahun sejak tanggal laporan audit. Menurut Arens, et al. (2009), terdapat beberapa faktor yang dapat menimbulkan suatu ketidakpastian mengenai kemampuan perusahaan untuk going concern, yaitu: (1) perusahaan mengalami kerugian operasi yang berulang dan juga cukup signifikan; (2) perusahaan mengalami kekurangan modal kerja secara berulang dan juga cukup signifikan; (3) meningkatnya ketidakmampuan suatu perusahaan untuk membayar utang-utangnya atau kewajibannya saat jatuh tempo; (4) perusahaan kehilangan pelanggan utama; (5) terjadi bencana alam di lokasi perusahaan yang tidak dijamin oleh asuransi; (6) perusahaan mengalami masalah mengenai tenaga kerja yang tidak biasa; dan (7) perusahaan mengalami masalah yang berhubungan dengan perundang-undangan, pengadilan, ataupun hal-hal yang sejenis lainnya yang telah terjadi serta dapat membahayakan kemampuan perusahan untuk melanjutkan operasinya.

Akuntansi membuat prinsip going concern yang menjadi dasar dari kebanyakan konsep pengukuran dan penilaian, contohnya seperti konsep pengukuran berdasarkan harga perolehan (historical cost) dan pengakuan pendapatan (Chen et al., 2012). Chen et al ., (2012) menjelaskan bahwa seluruh sistem double entry menggunakan harga Akuntansi membuat prinsip going concern yang menjadi dasar dari kebanyakan konsep pengukuran dan penilaian, contohnya seperti konsep pengukuran berdasarkan harga perolehan (historical cost) dan pengakuan pendapatan (Chen et al., 2012). Chen et al ., (2012) menjelaskan bahwa seluruh sistem double entry menggunakan harga

2.3 Financial Distress

Financial distress merupakan sebuah kondisi dimana perusahaan mengalami penurunan kinerja keuangan yang mana perusahaan masih dalam suatu kondisi solvent namun illiquid dimana hal ini sebagai akibat dari pengelolaan manajemen yang buruk serta terjadinya krisis ekonomi (Nasir dan Abdullah, 2004). Menurut Knechel dan Vanstraelen (2007), perusahaan dianggap mengalami financial distress jika memenuhi beberapa kriteria, yaitu: (1) kerugian operasional, (2) kerugian intinya, (3) laba ditahan negatif selama dua tahun sebelumnya, dan (4) modal kerja negatif selama dua tahun sebelumnya. Pada dasarnya, perusahaan seharusnya melaporkan kondisi perusahaan sesuai dengan kenyataan terutama jika perusahaan mengalami financial distress. Hal tersebut dikarenakan pelaporan perusahaan yang mengalami financial distress memperoleh perhatian yang tinggi dari Dewan Standar Akuntansi Keuangan (Financial Accounting Standards Board - FASB) serta Dewan Pengawas Akuntansi Perusahaan (Public Company Accounting Oversight Board – PCAOB) dalam upaya untuk menetapkan kebijakan akuntansi dan audit. Proposal terbaru oleh FASB (2008) dalam Geiger dan Blay (2007) akan membebankan pada pihak yang menyiapkan laporan keuangan untuk menilai dan melaporkan kemampuan perusahaan untuk melanjutkan keberlangsungan usaha (going concern) mereka. Dalam penelitian Ballesta dan Garcia (2005) yang memeriksa mengenai pendapat wajar dengan pengecualian yang diperoleh oleh perusahaan publik di Spanyol, menemukan bahwa kecenderungan perusahaan yang memperoleh pendapat wajar dengan pengecualian adalah perusahaan yang mengalami financial distress , sedangkan perusahaan dengan pengelolaan yang baik serta menerbitkan laporan keuangan yang memiliki kualitas yang baik cenderung memperoleh clean opinion dari auditor. Hasil yang senada juga diungkapkan oleh Setyowati (2009); Knechel dan Vanstraelen (2007) yang menyebutkan bahwa kemungkinan penerimaan pendapat going concern lebih kecil pada perusahaan yang Financial distress merupakan sebuah kondisi dimana perusahaan mengalami penurunan kinerja keuangan yang mana perusahaan masih dalam suatu kondisi solvent namun illiquid dimana hal ini sebagai akibat dari pengelolaan manajemen yang buruk serta terjadinya krisis ekonomi (Nasir dan Abdullah, 2004). Menurut Knechel dan Vanstraelen (2007), perusahaan dianggap mengalami financial distress jika memenuhi beberapa kriteria, yaitu: (1) kerugian operasional, (2) kerugian intinya, (3) laba ditahan negatif selama dua tahun sebelumnya, dan (4) modal kerja negatif selama dua tahun sebelumnya. Pada dasarnya, perusahaan seharusnya melaporkan kondisi perusahaan sesuai dengan kenyataan terutama jika perusahaan mengalami financial distress. Hal tersebut dikarenakan pelaporan perusahaan yang mengalami financial distress memperoleh perhatian yang tinggi dari Dewan Standar Akuntansi Keuangan (Financial Accounting Standards Board - FASB) serta Dewan Pengawas Akuntansi Perusahaan (Public Company Accounting Oversight Board – PCAOB) dalam upaya untuk menetapkan kebijakan akuntansi dan audit. Proposal terbaru oleh FASB (2008) dalam Geiger dan Blay (2007) akan membebankan pada pihak yang menyiapkan laporan keuangan untuk menilai dan melaporkan kemampuan perusahaan untuk melanjutkan keberlangsungan usaha (going concern) mereka. Dalam penelitian Ballesta dan Garcia (2005) yang memeriksa mengenai pendapat wajar dengan pengecualian yang diperoleh oleh perusahaan publik di Spanyol, menemukan bahwa kecenderungan perusahaan yang memperoleh pendapat wajar dengan pengecualian adalah perusahaan yang mengalami financial distress , sedangkan perusahaan dengan pengelolaan yang baik serta menerbitkan laporan keuangan yang memiliki kualitas yang baik cenderung memperoleh clean opinion dari auditor. Hasil yang senada juga diungkapkan oleh Setyowati (2009); Knechel dan Vanstraelen (2007) yang menyebutkan bahwa kemungkinan penerimaan pendapat going concern lebih kecil pada perusahaan yang

2.4 Pengembangan Hipotesis

2.4.1 Pengaruh Kualitas Audit terhadap Penerimaan Pendapat Going Concern

Salah satu aset terbesar yang dimiliki auditor adalah reputasi auditor itu sendiri, sehingga auditor akan berusaha untuk memlihara reputasi mereka dengan cara selalu mencoba untuk memelihara kualitas mereka (Wardhani, 2013). Junaidi dan Hartono (2010) menyatakan bahwa semakin besar reputasi dari kantor akuntan publik, maka semakin besar pula kualitas yang diberikan oleh kantor akuntan publik tersebut. Auditor yang memiliki nama baik atau reputasi baik mempunyai sebuah kecenderungan untuk menerbitkan pendapat going concern apabila perusahaan auditee mengalami suatu masalah berkaitan keberlangsungan usaha atau going concern perusahaan (Junaidi dan Hartono, 2010). Kualitas audit merupakan sebuah kemungkinan bahwa laporan keuangan mengandung kesalahan yang material dan seorang auditor akan dapat menemukan dan kemudian melaporkan kekeliruan material tersebut (DeAngelo, 1981). Dalam DeAngelo (1981) disebutkan bahwa kualitas akan meningkat sejalan dengan peningkatan ukuran kantor akuntan publik karena kantor akuntan publik berukuran besar akan memiliki kemampuan untuk menjadi spesialis dan melakukan investasi dalam tekonologi dan juga sumber daya sehingga dapat disimpulkan bahwa kantor akuntan publik yang berukuran besar akan memiliki kualitas audit yang lebih baik jika dibandingkan dengan kantor akuntan publik yang berukuran lebih kecil. Lebih lanjut lagi, DeAngelo (1981) menyatakan bahwa kantor akuntan publik yang berukuran besar cenderung lebih mengungkapkan masalah-masalah yang terjadi karena kantor akuntan publik berukuran besar tersebut lebih kuat dalam menghadapi risiko proses pengadilan. Dari pernyataan tersebut, dapat dilihat bahwa masalah-masalah yang dimaksud juga termasuk keberlanjutan usaha atau going concern dari klien yang juga akan diungkapkan oleh kantor akuntan publik berukuran besar.

Craswell et al., (1995) menyatakan bahwa klien pada umumnya memiliki persepsi bahwa auditor yang berasal dari Kantor Akuntan Publik berukuran besar dan auditor yang mempunyai hubungan kerjasama atau afiliasi dengan Kantor Akuntan Publik internasional, akan mempunyai kualitas yang lebih tinggi karena auditor tersebut akan mempunyai karakteristik-karakteristik tertentu yang dapat dihubungkan dengan kualitas, contohnya seperti pelatihan, pengakuan internasional, dan adanya peer review.

Mutchler et al., (1997) berpendapat bahwa auditor big six (big 6) memiliki kecenderungan yang lebih dalam menerbitkan pendapat going concern pada perusahaan auditee yang mengalami financial distress dibandingkan auditor non-big six (non-big

6 ). Semakin besar skala seorang auditor, maka akan semakin semakin besar pula kemungkinan auditor tersebut untuk menerbitkan pendapat going concern. Auditor dengan skala besar (auditor big six) dapat menghasilkan kualitas audit yang lebih baik dibanding auditor dalam skala kecil (auditor non-big six), termasuk juga saat mengungkapkan masalah yang berhubungan dengan keberlangsungan usaha atau going concern . Junaidi dan Hartono (2010) menemukan bukti empiris bahwa kualitas auditor yang diproksikan dengan reputasi auditor (ukuran kantor akuntan publik) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penerbitan pendapat going concern. Berdasarkan penjelasan yang dipaparkan di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

H 1 : Kemungkinan penerimaan pendapat going concern atas auditee yang mengalami financial distress akan lebih tinggi pada auditee yang diaudit oleh KAP Big-4 dibandingkan auditee yang diaudit oleh KAP Non Big-4.

2.4.2 Pengaruh Pertumbuhan Perusahaan terhadap Penerimaan Pendapat Going Concern

Rasio pertumbuhan penjualan yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengukur pertumbuhan perusahaan merupakan rasio yang mengukur seberapa baik sebuah perusahaan dalam mempertahankan posisi ekonominya, baik dalam kegiatan ekonomi keseluruhan ataupun dalam industrinya (Weston dan Copeland, 1992). Setyarno (2006) menyebutkan bahwa perusahaan yang memiliki rasio pertumbuhan penjualan yang positif mengindikasikan bahwa perusahaan tersebut dapat mempertahankan posisi ekonomi secara keseluruhan dan posisi dalam industri, serta lebih dapat mempertahankan keberlangsungan hidupnya atau going concern. Perusahaan dengan pertumbuhan yang negatif mengindikasikan bahwa perusahaan memiliki kecenderungan yang lebih besar ke arah kebangkrutan (Altman, 1968). Kebangkrutan merupakan salah satu dasar bagi seorang auditor untuk memberikan pendapat going concern sehingga perusahaan dengan pertumbuhan yang negatif akan memiliki kecenderungan yang tinggi dalam menerima pendapat going concern (Santosa dan Wedari, 2007). Setyarno (2006) mengungkapkan bahwa penjualan meningkat dari tahun ke tahun secara terus menerus akan memberikan peluang perusahaan untuk Rasio pertumbuhan penjualan yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengukur pertumbuhan perusahaan merupakan rasio yang mengukur seberapa baik sebuah perusahaan dalam mempertahankan posisi ekonominya, baik dalam kegiatan ekonomi keseluruhan ataupun dalam industrinya (Weston dan Copeland, 1992). Setyarno (2006) menyebutkan bahwa perusahaan yang memiliki rasio pertumbuhan penjualan yang positif mengindikasikan bahwa perusahaan tersebut dapat mempertahankan posisi ekonomi secara keseluruhan dan posisi dalam industri, serta lebih dapat mempertahankan keberlangsungan hidupnya atau going concern. Perusahaan dengan pertumbuhan yang negatif mengindikasikan bahwa perusahaan memiliki kecenderungan yang lebih besar ke arah kebangkrutan (Altman, 1968). Kebangkrutan merupakan salah satu dasar bagi seorang auditor untuk memberikan pendapat going concern sehingga perusahaan dengan pertumbuhan yang negatif akan memiliki kecenderungan yang tinggi dalam menerima pendapat going concern (Santosa dan Wedari, 2007). Setyarno (2006) mengungkapkan bahwa penjualan meningkat dari tahun ke tahun secara terus menerus akan memberikan peluang perusahaan untuk

H 2 : Kemungkinan penerimaan pendapat going concern atas auditee yang mengalami financial distress akan lebih rendah pada auditee yang memiliki pertumbuhan penjualan yang tinggi daripada auditee yang memiliki pertumbuhan penjualan yang rendah.

2.4.3 Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Penerimaan Pendapat Going Concern

Sujoko dan Soebiantoro (2007) menyatakan bahwa ukuran perusahaan merupakan gambaran besar kecilnya perusahaan. Sehubungan dengan total aset untuk menghitung ukuran perusahaan, apabila perusahaan memiliki total aset yang besar menunjukkan bahwa perusahaan telah mencapai tahap kedewasaan (maturity) atau well established (Sujoko dan Soebiantoro, 2007). Perusahaan besar yang dianggap telah mencapai tahap kedewasaan berarti bahwa perusahaan tersebut relatif lebih stabil dan lebih mampu menghasikan laba dibandingkan perusahaan kecil (Singh dan Singla, 2011). Ballesta dan Garcia (2005) menyebutkan bahwa sebuah perusahaan dengan ukuran yang besar memiliki manajemen yang lebih baik dalam pengelolaan perusahaan serta memiliki kemampuan dalam menerbitkan suatu laporan keuangan yang memiliki kualitas baik jika dibandingkan dengan perusahaan dengan ukuran yang lebih kecil. Perusahaan besar yang memiliki manajemen yang lebih baik dalam pengelolaan perusahaan serta memiliki kemampuan dalam menerbitkan suatu laporan keuangan yang memiliki kualitas baik cenderung memperoleh clean opinion dari auditor (Ballesta dan Garcia, 2005).

Mckeown et al. (1991) mengatakan bahwa perusahaan yang lebih besar lebih banyak memberikan penawaran fee audit yang tinggi daripada yang ditawarkan oleh perusahaan kecil. Dalam kaitannya mengenai kehilangan fee audit yang signifikan tersebut, auditor mungkin ragu untuk mengeluarkan pendapat audit going concern pada perusahaan besar. Hasil dari penelitian Mckeown et al. (1991) menemukan bahwa terdapat hubungan negatif signifikan antara ukuran perusahaan dengan penerimaan pendapat going concern dari auditor. Kemudian, Mutchler et al. (1985) juga Mckeown et al. (1991) mengatakan bahwa perusahaan yang lebih besar lebih banyak memberikan penawaran fee audit yang tinggi daripada yang ditawarkan oleh perusahaan kecil. Dalam kaitannya mengenai kehilangan fee audit yang signifikan tersebut, auditor mungkin ragu untuk mengeluarkan pendapat audit going concern pada perusahaan besar. Hasil dari penelitian Mckeown et al. (1991) menemukan bahwa terdapat hubungan negatif signifikan antara ukuran perusahaan dengan penerimaan pendapat going concern dari auditor. Kemudian, Mutchler et al. (1985) juga

Mutchler et al. (1997) di dalam penelitiannya yang membahas tentang pengaruh informasi yang berlawanan dan faktor- faktor mitigasi terhadap laporan audit pada perusahaan yang mengalami kebangkrutan, menemukan bahwa terdapat hubungan negatif antara ukuran perusahaan dengan penerimaan pendapat audit going concern. Hal tersebut berarti bahwa semakin besar skala perusahaan yang diaudit oleh auditor maka akan memungkinkan perusahaan tersebut menerima pendapat going concern lebih kecil apabila dibandingkan dengan perusahaan yang berskala kecil. Selain itu, Knechel dan Vanstraelen (2007) juga menemukan bukti empiris bahwa ukuran perusahaan memiliki pengaruh negatif terhadap penerimaan pendapat going concern yang mana kemungkinan penerbitan pendapat going concern akan lebih kecil pada perusahan dengan ukuran besar. Hal ini cukup memberikan buktikan bahwa ukuran perusahaan dapat memberikan pengaruh negatif kepada auditor dalam memberikan pendapat going concern terhadap laporan auditee. Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

H 3 : Kemungkinan penerimaan pendapat going concern atas auditee yang mengalami financial distress akan lebih rendah pada auditee yang memiliki total aset yang besar daripada auditee yang memiliki total aset yang kecil.

2.4.4 Pengaruh Debt to Equity Ratio Terhadap Penerimaan Pendapat Going Concern

Seberapa jauh perusahaan mempergunakan pendanaan melalui utang, atau pengungkit keuangan (financial leverage), akan memiliki tiga implikasi penting (Brigham dan Daves, 2004) yaitu: (1) para pemegang saham dapat melakukan pertahanan atas kendali mereka pada perusahaan tersebut dengan sekaligus membatasi investasi yang mereka berikan tersebut, ketika mendapatkan dana melalui utang; (2) kreditor akan melakukan pengamatan pada ekuitas, ataupun dana yang diperoleh sendiri, sebagai salah satu bentuk batasan keamanan, sehingga mereka akan

berkesimpulan bahwa semakin tinggi proporsi dari jumlah modal yang diberikan pemegang saham, maka akan semakin kecil risiko yang harus dihadapi oleh kreditor; (3) apabila perusahaan mendapat hasil dari investasi yang didanai oleh dana hasil pinjaman yang lebih besar dari bunga yang dibayarkan, maka pengembalian yang diperoleh dari modal pemilik akan diperbesar (leveraged). Suatu Perusahaan yang mempunyai rasio utang relatif tinggi akan mempunyai ekspektasi pengembalian yang lebih tinggi juga ketika keadaan perekonomian sedang dalam kondisi normal, tapi mempunyai risiko kerugian saat ekonomi mengalami masa resesi (Brigham dan Daves, 2004). Oleh karena itu, sebuah keputusan penggunaan utang mengharuskan untuk perusahaan melakukan penyeimbangan antara tingkat ekspektasi pengembalian yang lebih tinggi dengan peningkatan risiko. Kreditor lebih menyukai keadaan rasio utang dengan presentase yang lebih rendah (Brigham dan Daves, 2004). Hal ini disebabkan oleh, adanya suatu kesimpulan bahwa apabila angka rasio semakin rendah, maka semakin besar pula peredaman (kemungkinan) dari kerugian yang dialami oleh kreditor jika terjadi likuidasi. Pemegang saham, di pihak lain, mungkin menginginkan lebih banyak leverage karena ia akan memperbesar ekspektasi keuangan (Brigham dan Daves, 2004).

Petronela (2004) yang meneliti mengenai pertimbangan kondisi going concern perusahaan dalam memberikan pendapat audit menyatakan bahwa tingginya debt to equity ratio mencerminkan tingginya risiko keuangan dari perusahaan. Risiko keuangan perusahaan yang tinggi memberikan indikasi bahwa perusahaan mengalami kesulitan keuangan. Debt to equity ratio yang tinggi menjadi perhatian auditor karena debt to equity ratio yang tinggi mengindikasikan bahwa perusahaan tidak bisa untuk mempertahankan suatu kelangsungan usaha atau going concern dari perusahaan tersebut. Chen dan Church (1992) yang meneliti mengenai hubungan debt default dan penerbitan laporan going concern, menemukan hubungan positif signifikan antara debt default dan penerbitan laporan going concern. Debt default yang dimaksud di sini adalah suatu kegagalan perusahaan untuk membayar hutang-hutangnya baik pokok dari hutang tersebut maupun bunganya (Chen dan Church, 1992). Praptitorini dan Januarti (2007) juga menemukan bukti empiris bahwa debt default berpengaruh positif secara signifikan terhadap penerimaan pendapat going concern. Menurut Rahman dan Siregar (2012), angka debt to equity ratio yang tinggi dapat menjadi sebab timbulnya keraguan atas kemampuan perusahaan dalam mempertahankan going concern atau kelangsungan usahanya. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar dari dana yang didapatkan oleh perusahaan akan digunakan untuk membayar dan atau membiayai utang sehingga dana Petronela (2004) yang meneliti mengenai pertimbangan kondisi going concern perusahaan dalam memberikan pendapat audit menyatakan bahwa tingginya debt to equity ratio mencerminkan tingginya risiko keuangan dari perusahaan. Risiko keuangan perusahaan yang tinggi memberikan indikasi bahwa perusahaan mengalami kesulitan keuangan. Debt to equity ratio yang tinggi menjadi perhatian auditor karena debt to equity ratio yang tinggi mengindikasikan bahwa perusahaan tidak bisa untuk mempertahankan suatu kelangsungan usaha atau going concern dari perusahaan tersebut. Chen dan Church (1992) yang meneliti mengenai hubungan debt default dan penerbitan laporan going concern, menemukan hubungan positif signifikan antara debt default dan penerbitan laporan going concern. Debt default yang dimaksud di sini adalah suatu kegagalan perusahaan untuk membayar hutang-hutangnya baik pokok dari hutang tersebut maupun bunganya (Chen dan Church, 1992). Praptitorini dan Januarti (2007) juga menemukan bukti empiris bahwa debt default berpengaruh positif secara signifikan terhadap penerimaan pendapat going concern. Menurut Rahman dan Siregar (2012), angka debt to equity ratio yang tinggi dapat menjadi sebab timbulnya keraguan atas kemampuan perusahaan dalam mempertahankan going concern atau kelangsungan usahanya. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar dari dana yang didapatkan oleh perusahaan akan digunakan untuk membayar dan atau membiayai utang sehingga dana

H 4 : Kemungkinan penerimaan pendapat going concern atas auditee yang mengalami financial distress akan lebih tinggi pada auditee yang memiliki Debt to Equity Ratio yang tinggi daripada auditee yang memiliki Debt to Equity Ratio yang rendah.

2.4.5 Pengaruh Penundaan Rapat Umum Pemegang Saham terhadap Penerimaan Pendapat Going Concern

Penundaan rapat umum pemegang saham pada umumnya mengindikasikan bahwa perusahaan memiliki masalah atau sedang menghadapi masalah (Knechel dan Vanstraelen, 2007). Knechel dan Vanstraelen (2007) mengungkapkan bahwa kemungkinan penerbitan pendapat going concern akan lebih besar pada perusahaan yang menunda rapat umum pemegang saham. Jika perusahaan memiliki masalah dan melakukan penundaan rapat umum pemegang saham, maka auditor akan bereaksi atas kondisi tersebut dengan penerbitan pendapat audit yang sesuai atau bahkan menerbitkan pendapat going concern jika memang masalah yang sedang dialami perusahaan akan mengancam keberlangsungan usaha atau going concern perusahaan tersebut. Oleh karena itu, apabila perusahaan menunda rapat umum pemegang saham, maka akan semakin tinggi kemungkinan auditor untuk menerbitkan pendapat going concern. Berdasarkan beberapa penjelasan yang telah dipaparkan di atas, maka hipotesis yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah:

H 5 : Kemungkinan penerimaan pendapat going concern atas auditee yang mengalami financial distress akan lebih tinggi pada auditee yang menunda rapat pemegang saham daripada auditee yang tidak menunda rapat pemegang saham.

3. Metode Penelitian

3.1 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini antara lain kualitas audit, pertumbuhan perusahaan, ukuran perusahaan, debt to equity ratio, dan penundaan rapat umum pemegang saham. Variabel dependen (variabel terikat) yang digunakan dalam penelitian ini adalah kemungkinan penerimaan pendapat going concern atau Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini antara lain kualitas audit, pertumbuhan perusahaan, ukuran perusahaan, debt to equity ratio, dan penundaan rapat umum pemegang saham. Variabel dependen (variabel terikat) yang digunakan dalam penelitian ini adalah kemungkinan penerimaan pendapat going concern atau

3.1.1. Kualitas Audit (KA). Kualitas audit dalam penelitian ini diukur berdasarkan reputasi auditor yang sesuai dengan penelitian Setyarno et al. (2006); Rahman dan Siregar (2012). Reputasi auditor yang dimaksud adalah apakah KAP yang melalakukan audit atas laporan keuangan auditee merupakan KAP yang berasaldari the big four atau bukan. KAP yang termasuk ke dalamthe big four antara lain: (1) PricewaterhouseCoopers berafiliasi dengan Haryantono Sahari dan Rekan; (2) Ernst and Young berafiliasi dengan Purwantono, Sarwoko, dan Sandjaja; (3) Deolitte berafiliasi dengan Osman Bing Satrio dan Rekan; dan (3) KPMG yangberafiliasi dengan Siddharta dan Widjaja. Selanjutnya, kualitas audit dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan variabel dummy, yaitu jika KAP yang melakukan audit merupakan KAP the big four ataupunun KAP berafiliasi dengan KAP the big four akan diberikan kode 1 dan jika KAP yang melakukan audit bukan merupakan KAP non big four ataupunun KAP berafiliasi dengan KAP non big four akan diberikan kode 0 (Setyarno et al., 2006; Rahman dan Siregar, 2012).

3.1.2 Pertumbuhan Perusahaan (PP). Dalam penelitian ini, pertumbuhan perusahaan diukur berdasarkan sales growth ratioatau rasio pertumbuhan penjualan (Setyarno et al., 2006; Rahman dan Siregar, 2012). Rasio pertumbuhan penjualan (sales growth ratio) merupakan rasio yang mengukur kemampuan perusahaan dalam meningkatkan penjualan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Rasio pertumbuhan penjualan (sales growth ratio ) dihitung berdasarkan rumus berikut ini:

3.1.3 Ukuran Perusahaan (UP). Ukuran perusahaan dapat diukur dengan berbagai cara, seperti contohnya pengukuran ukuran perusahaan menggunakan log total penjualan bersih, log total aset yang dimiliki perusahaan, serta log total karyawan yang dimiliki oleh perusahaan. Dalam penelitian ini, ukuran perusahaan akan diukur berdasarkan total aset yang dimiliki perusahaan yang sesuai dalam laporan tahunan perusahaan dan juga total aset tersebut ditransformasikan dalam bentuk logaritma yang sesuai dengan beberapa penelitian terdahulu yang menggunakan log total aset untuk mengukur ukuran perusahaan Setyarno et al. (2006); Rahman dan Siregar (2012). Dalam penelitian ini, ukuran perusahaan ini dihitung berdasarkan rumus berikut ini:

3.1.4 Debt to Equity Ratio (DER). Debt to Equity Ratio adalah rasio yang menunjukkan persentase penyediaan dana oleh pemegang saham terhadap pemberi pinjaman. Semakin tinggi rasio, maka akan semakin rendah pendanaan perusahaan yang disediakan oleh pemegang saham (Susanto, 2009). Dari perspektif kemampuan membayar kewajiban jangka panjangnya. Debt to Equity Ratio (DER) diukur berdasarkan rumus sebagai berikut (Rahman dan Siregar, 2012):

3.1.5 Penundaan Rapat Umum Pemegang Saham (RAPAT). Penundaan Rapat Umum Pemegang Saham diukur berdasarkan tanggal rapat umum pemegang saham untuk melihat apakah ada penundaan atas rapat umum pemegang saham karena menunda rapat pemegang saham biasanya merupakan indikasi bahwa perusahaan memiliki masalah (Knechel dan Vanstraelen, 2007). Selanjutnya, rapat umum pemegang saham diukur menggunakan variabel dummy dengan kode 1 jika jumlah bulan antara fiskal akhir tahun dan tanggal rapat umum tahunan pemegang saham melebihi enam bulan (maksimum legal), 0 jika sebaliknya yaitu jika jumlah bulan antara fiskal akhir tahun dan tanggal rapat umum tahunan pemegang saham tidak melebihi enam bulan.

3.1.6 Pendapat Going Concern (GC). Dalam penelitian ini, variabel dependen yang digunakan adalah pendapat going concern yang diberi kode GC. Variabel pendapat going concern diukur dengan menggunakan variabel dummy sesuai dengan penelitian Rahman dan Siregar (2012); Knechel dan Vanstraelen (2007); Setyarno et al. (2006) dimana diberikan kode 1 jika pendapat going concern diterbitkan oleh auditor untuk auditee yang mengalami financial distress, dan diberikan kode 0 jika sebaliknya yaitu pendapat going concern tidak diterbitkan oleh auditor untuk auditee yang mengalami financial distress.

3.2 Populasi dan Sampel Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan auditee yang bergerak di sektor

manufaktur yang mana perusahaan manufaktur tersebut terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada periode 2010-2013. Alasan peneliti memilih auditee yang bergerak dalam sektor manufaktur adalah untuk menghindariadanya industrial effect yaitu suatu risiko industri yang berbeda yang muncul antara suatu sektor industri yang satu dengan yang lain (Setyarno et al., 2006). Desain sampel dalam penelitian ini adalah sampel non-probabilitas (non-probability sample) yang mana dalam pengambilan sampel cara ini, besarnya suatu peluang dalam elemen untuk terpilih sebagai subjek manufaktur yang mana perusahaan manufaktur tersebut terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada periode 2010-2013. Alasan peneliti memilih auditee yang bergerak dalam sektor manufaktur adalah untuk menghindariadanya industrial effect yaitu suatu risiko industri yang berbeda yang muncul antara suatu sektor industri yang satu dengan yang lain (Setyarno et al., 2006). Desain sampel dalam penelitian ini adalah sampel non-probabilitas (non-probability sample) yang mana dalam pengambilan sampel cara ini, besarnya suatu peluang dalam elemen untuk terpilih sebagai subjek

Dalam penelitian ini, peneliti berfokus pada auditee yang mengalami financial distress karena auditor hampir tidak pernah mengeluarkan pendapat going concern pada perusahaan auditeeyang tidak mengalami financial distress atau perusahaan yang memiliki laba bersih setelah pajak positif (McKeown et al., 1991). Berdasarkan kriteria tersebut diperoleh sampel sebanyak 54 perusahaan (auditee) dalam periode 2010-2013. Dalam penelitian ini, jenis data yang digunakan adalah data sekunder yaitu data yang telah tersedia kemudian peneliti mengumpulkan data tersebut sendiri (Sekaran, 2011) yang mana data tersebut berupa laporan tahunan dari perusahaan manufaktur yang telah terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2010-2013. Data sekunder tersebut diperoleh peneliti dari website BEI (www.idx.co.id) dan/atau website dari masing- masing perusahaan. Alasan peneliti menggunakan laporan tahunan sebagai sumber data karena seluruh variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini dapat ditemukan dalam laporan tahunan perusahaan.

3.3 Metode Analisis Data

Metode statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi logistik (logistic regression), karena dalam penelitian ini variabel bebasnya merupakan sebuah percampuran antara variabel kontinyu atau metrik dan variabel kategorial atau non-metrik yang menyebabkan asumsi multivariate normal distribution tidak terpenuhi (Ghozali, 2009). Oleh karena hal tersebut, analisis regresi logistik tidak memerlukan uji normalitas data serta uji asumsi klasik dalam variabel bebasnya (Ghozali, 2009). Gujarati (2003) menyebutkan bahwa analisis regresi logistik mengabaikan Metode statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi logistik (logistic regression), karena dalam penelitian ini variabel bebasnya merupakan sebuah percampuran antara variabel kontinyu atau metrik dan variabel kategorial atau non-metrik yang menyebabkan asumsi multivariate normal distribution tidak terpenuhi (Ghozali, 2009). Oleh karena hal tersebut, analisis regresi logistik tidak memerlukan uji normalitas data serta uji asumsi klasik dalam variabel bebasnya (Ghozali, 2009). Gujarati (2003) menyebutkan bahwa analisis regresi logistik mengabaikan

1 −𝑝𝑝 : Pendapat Going Concern (GC)

X 1 : Kualitas Audit (KA)

X 2 : Pertumbuhan Perusahaan (PP)

X 3 : Ukuran Perusahaan (SIZE)

X 4 : Debt to Equity Ratio (DER)

X 5 : Penundaan Rapat Umum Pemegang Saham (RAPAT) 𝛽𝛽 R 1 ....... 𝛽𝛽 R 5 : Koefisien regresi

α : konstanta

e : error term

4. Hasil Analisis Data dan Pembahasan

4.1 Deskripsi Objek Penelitian

Objek penelitian yang digunakan adalah seluruh perusahaan yang bergerak di sektor manufaktur yang mana perusahaan manufaktur tersebut telah terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2010-2013. Dalam penelitian ini, prosedur pemilihan sampel menggunakan metode purposive sampling yaitu metode pemilihan sampel menggunakan berbagai kriteria yang ditetapkan sebelumnya. Dari kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya, perusahaan yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah 54 perusahaan. Prosedur pemilihan sampel disajikan dalam tabel 4.1.

4.2 Analisis Data dan Pengujian Hipotesis

4.2.1 Hasil Uji Statistik Deskriptif

Uji statistik deskriptif dalam penelitian ini menjelaskan gambaran atau mendeskripsi kan data yang dapat dilihat dari nilai maksimum, nilai minimum, nilai rata-rata (mean), dan nilai standar deviasi atas variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini. Hasil pengujian statistik deskriptif disajikan dalam tabel 4.2. Berdasarkan tabel 4.2, variabel pendapat going concern memiliki nilai rata-rata sebesar 0,56 yang lebih besar dari 0,50 yang mana hal ini menunjukkan bahwa pendapat going concern Uji statistik deskriptif dalam penelitian ini menjelaskan gambaran atau mendeskripsi kan data yang dapat dilihat dari nilai maksimum, nilai minimum, nilai rata-rata (mean), dan nilai standar deviasi atas variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini. Hasil pengujian statistik deskriptif disajikan dalam tabel 4.2. Berdasarkan tabel 4.2, variabel pendapat going concern memiliki nilai rata-rata sebesar 0,56 yang lebih besar dari 0,50 yang mana hal ini menunjukkan bahwa pendapat going concern