Legalitas Status Perlindungan Climate Change Refugees Di Negara Penerima Ditinjau Dari Perspektif Hukum Internasional

BAB II
KAJIAN UMUM TENTANG PERUBAHAN IKLIM
A. Defenisi Perubahan Iklim
1. Pengertian Perubahan Iklim
Pada umumnya orang sering menyatakan kondisi iklim sama saja dengan
kondisi cuaca, padahal kedua istilah tersebut adalah suatu kondisi yang tidak
sama.
Beberapa definisi cuaca adalah: 11
a. Keadaan atmosfer secara keseluruhan pada suatu saat termasuk perubahan,
perkembangan

dan

menghilangnya

suatu

fenomena

(World


Climate

Conference, 1979).
b. Keadaan variable atmosfer secara keseluruhan disuatu tempat dalam selang
waktu yang pendek (Glen T. Trewartha, 1980).
c. Keadaan atmosfer yang dinyatakan dengan nilai berbagai parameter, antara lain
suhu, tekanan, angin, kelembaban dan berbagai fenomena hujan, disuatu
tempat atau wilayah selama kurun waktu yang pendek (menit, jam, hari, bulan,
musim, tahun) (Gibbs, 1987).
Sedangkan iklim didefinisikan sebagai berikut :
a. Sintesis kejadian cuaca selama kurun waktu yang panjang, yang secara statistik
cukup dapat dipakai untuk menunjukkan nilai statistik yang berbeda dengan
keadaan pada setiap saatnya (World Climate Conference, 1979).

                                                            

 Lihat pada situs internet https://achmadchusaibi.wordpress.com/perubahan-iklim-2/, diakses
pada tanggal 2 Maret 2016, pada pukul 16.05 WIB 
11


11
Universitas Sumatera Utara

b. Konsep abstrak yang menyatakan kebiasaan cuaca dan unsur-unsur atmosfer
disuatu daerah selama kurun waktu yang panjang (Glenn T. Trewartha, 1980).
c. Peluang statistik berbagai keadaan atmosfer, antara lain suhu, tekanan, angin
kelembaban, yang terjadi disuatu daerah selama kurun waktu yang panjang
(Gibbs,1987).
Adapun definisi perubahan iklim adalah berubahnya kondisi fisik atmosfer
bumi antara lain suhu dan distribusi curah hujan yang membawa dampak luas
terhadap berbagai sektor kehidupan manusia (Kementerian Lingkungan Hidup,
2001).
Perubahan fisik ini tidak terjadi hanya sesaat tetapi dalam kurun waktu yang
panjang. LAPAN (2002) mendefinisikan perubahan iklim adalah perubahan ratarata salah satu atau lebih elemen cuaca pada suatu daerah tertentu. Sedangkan
istilah perubahan iklim skala global adalah perubahan iklim dengan acuan wilayah
bumi secara keseluruhan.12
IPCC (2001) menyatakan bahwa perubahan iklim merujuk pada variasi ratarata kondisi iklim suatu tempat atau pada variabilitasnya yang nyata secara
statistik untuk jangka waktu yang panjang (biasanya dekade atau lebih). Selain itu
juga diperjelas bahwa perubahan iklim mungkin karena proses alam internal
maupun ada kekuatan eksternal, atau ulah manusia yang terus menerus merubah

komposisi atmosfer dan tata guna lahan.13

                                                            

  Lihat pada situs internet http://www.slideshare.net/iekesiswanto/kul-model-dinamikaatmosfer-dalam-perubahan-iklim-dan-pengaruhnya-terhadap-presipitasi-pada-lingkunganpertanian, diakses pada tanggal 05 Maret 2016, pada pukul 20.45 WIB.
13
 Lihat pada situs internet https://achmadchusaibi.wordpress.com/perubahan-iklim-2/,
diakses pada tanggal 1 Maret 2016, pada pukul 20.30 WIB 
12

12
Universitas Sumatera Utara

Istilah perubahan iklim sering digunakan secara tertukar dengan istilah
’pemanasan global’, padahal fenomena pemanasan global hanya merupakan
bagian dari perubahan iklim, karena parameter iklim tidak hanya temperatur saja,
melainkan ada parameter lain yang terkait seperti presipitasi, kondisi awan, angin,
maupun radiasi matahari. Pemanasan global merupakan peningkatan rata-rata
temperatur atmosfer yang dekat dengan permukaan bumi dan di troposfer, yang
dapat berkontribusi pada perubahan pola iklim global.

Pemanasan global terjadi sebagai akibat meningkatnya jumlah emisi Gas
Rumah Kaca (GRK) di atmosfer. Naiknya intensitas efek rumah kaca yang terjadi
karena adanya gas dalam atmosfer yang menyerap sinar panas yaitu sinar infra
merah yang dipancarkan oleh bumi menjadikan perubahan iklim global.
Meskipun pemanasan global hanya merupakan satu bagian dalam fenomena
perubahan iklim, namun pemanasan global menjadi hal yang penting untuk dikaji.
Hal tersebut karena perubahan temperatur akan memberikan dampak yang
signifikan terhadap aktivitas manusia. Perubahan temperatur bumi dapat
mengubah kondisi lingkungan yang pada tahap selanjutkan akan berdampak pada
tempat dimana kita dapat hidup, apa tumbuhan yang kita makan dapat tumbuh,
bagaimana dan dimana kita dapat menanam bahan makanan, dan organisme apa
yang dapat mengancam. Ini artinya bahwa pemanasan global akan mengancam
kehidupan manusia secara menyeluruh.
Studi perubahan iklim melibatkan analisis iklim masa lalu, kondisi iklim
saat ini, dan estimasi kemungkinan iklim di masa yang akan datang (beberapa
dekade atau abad ke depan). Hal ini tidak terlepas juga dari interaksi dinamis

13
Universitas Sumatera Utara


antara sejumlah komponen sistem iklim seperti atmosfer, hidrofer (terutama
lautan dan sungai), kriosfer, terestrial dan biosfer, dan pedosfer. Dengan
demikian, dalam studi-studi mengenai perubahan iklim dibutuhkan penilaian yang
terintegrasi terhadap sistem iklim atau sistem bumi.
2. Perubahan Iklim (Global Climate Change)
Fenomena pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim
berdampak terjadinya perubahan sosial atau kependudukan dan budaya. Berbagai
kajian sosial menemukan bahwa pola hubungan sosial berkaitan sangat erat
dengan pola iklim. Hasil kajian IPCC (2007) menunjukkan bahwa sejak tahun
1850 tercatat adanya dua belas tahun terpanas berdasarkan data temperatur
permukaan global. Sebelas dari duabealas tahun terpanas tersebut terjadi dalam
waktu dua belas tahun terakhir ini. Permukaan air laut rata-rata global telah
meningkat dengan laju rata-rata 1.8 mm per-tahun dalam rentang waktu antara
lain antara tahun 1961-2003.14
Kenaikan total permukaan air laut yang berhasil dicatat pada abad ke-20
diperkirakan 0,17 m. Laporan IPCC juga menyatakan bahwa kegiatan manusia
ikut berperan dalam pemanasan global sejak pertengahan abad ke-20. Pemanasan
global akan terus meningkat dengan percepatan yang lebih tinggi pada abad ke-21
apabila tidak ada upaya menanggulanginya.
Pemanasan global mengakibatkan perubahan iklim dan kenaikan frekwensi

maupun intensitas kejadian cuaca ekstrim.

                                                            
14

 Loc.cit. 

14
Universitas Sumatera Utara

“Based on such observations, the Intergovernmental Panel on Climate
Change (IPCC) in 2007 concluded that ‘warming of the climate system is
unequivocal, as is now evident from observations of increases in global average
air and ocean temperatures, widespread melting of snow and ice, and rising
global average sea level’”.15
IPCC menyatakan bahwa pemanasan global dapat menyebabkan terjadi
perubahan yang signifikan dalam sistem fisik dan biologis seperti peningkatan
intensitas badai tropis, perubahan pola presipitasi, salinitas air laut, perubahan
pola angin, mempengaruhi masa reproduksi hewan dan tanaman, distribusi spesies
dan ukuran populasi, frekuensi serangan hama dan wabah penyakit, serta

mempengaruhi berbagai ekosistem yang terdapat di daerah dengan garis lintang
yang tinggi (termasuk ekosistem di daerah Artuka dan Antartika), lokasi yang
tinggi, serta ekosistem-ekosistem pantai.
Jika tidak ada upaya yang sistematis dan terintegrasi untuk meningkatkan
ketahanan terhadap perubahan iklim dan perbaikan kondisi lingkungan lokal dan
global mulai dari sekarang, maka dampak yang ditimbulkan akibat adanya
perubahan iklim ke depan akan semakin besar dan lebih lanjut akan berdampak
pada sulitnya mencapai sistem pembangunan yang berkelanjutan. Penanganan
masa perubahan iklim dalam konteks pembangunan membutuhkan manajemen
perubahan iklim secara efektif, dan pada saat bersamaan mengantisispasi dampak

                                                            

 Pittock, A. Barrie. 2009. Climate change – the science,impacts, and solutions, CSIRO
PUBLISHING, hlm. 21 
15

15
Universitas Sumatera Utara


perubahan iklim global jangka panjang secara komprehensif. Juga membutuhkan
pendekatan lintas sektor baik pada tingkat nasional, regional maupun lokal.16
Dalam menghadapi perubahan iklim, penigkatan ketahanan sistem dalam
masyarakat untuk mengurangi resiko bahaya perubahan iklim dilakukan melalui
upaya adaptasi dan mitigasi. Adaptasi merupakan tindakan penyesuaian sistem
alam dan sosial untuk menghadapi dampak negatif dari perubahan iklim. Namun
upaya tersebut akan sulit memberi mandaat secara efektif apabila laju perubahan
iklim melebihi kemampuan beradaptasi. Oleh karena itu, adaptasi harus diimbangi
dengan mitigasi, yaitu upaya mengurangi sumber maupun peningkatan
(penyerap) gas rumah kaca, agar proses pembangunan tidak terhambat dan tujuan
pembangunan berkelanjutan dapat tercapai. Dengan demikian, generasi yang akan
datang tidak terbebani oleh ancaman perubahan iklim secara lebih berat.
B. Perkembangan Perubahan Iklim Hingga Saat Ini
1. Perkembangan Perubahan Iklim
Pada 1898, ilmuwan Swedia Svante Ahrrenius mengingatkan bahwa emisi
karbon dioksia (CO2)dapat menjadi penyebab pemanasan global. Namun, baru
pada tahun 1970-an ilmuwan mendiskusikan pemanasan global sebagai agenda
ilmiah yang selanjutnya menjadi keputusan politik. Sebelum itu, pemanasan
global tenggelam dalam berbagai isu lain seperti nuklir dan perang dingin.17
Tahun 1950, dalam Saturday Evening Post, sebuah Koran yang kemudian

menjadi salah satu yang terbesar di Amerika, pernah menampilkan artikel dengan
                                                            

 Lihat situs internet https://reddandrightsindonesia.wordpress.com/2011/03/17/sejarahkonvensi-perubahan-iklim-bernad-steni/, diakses pada tanggal 02 Maret 2016, pada pukul 17.15
WIB
17
 Loc.Cit.
16

16
Universitas Sumatera Utara

pertanyaan is the world getting warmer. Artikel itu meski mulai membuka
pandora pemanasan global namun isu yang diangkat tidak mendalam bahkan
cenderung seperti lelucon. Misalnya, akibat cuaca panas maka ikan terbang negeri
tropis pun meluncur di pinggiran pantai New Jersey amerika. Apa pun yang
dikemukakan oleh Koran itu, telah menjadi titik awal informasi ke publik
mengenai sesuatu telah terjadi pada suhu dan iklim global.
“The average rate of warming at the end of the last glaciation was about
5°C in some 10 000 years, or 0.05°C per century, while the observed rate of

warming in the last 50 years is 1.3°C per century and the estimated rate over the
next 100 years could be more than 5°C per century, which is 100 times as fast as
during the last deglaciation. Such rapid rates of warming would make adaptation
by natural and human systems extremely difficult or impossible.”18
Perdebatan ilmiah baru mulai muncul pada tahun 1960-an, tapi banyak hal
lain yang lebih menyita perhatian, seperti perang nuklir, sehingga sangat sedikit
orang yang mengetahui isu ini. Ketika perdebatan ilmiah dimulai tahun 1970-an
pun bukan pemanasan global yang menjadi perhatian pers tapi justru pendinginan
global (cool down). Suhu bumi secara perlahan menurun selama kurang lebih tiga
dekade. Sejumlah ahli yang tidak konvensional berspekulasi bahwa debu dan
partikel sulfat yang menutupi matahari menjadi sebab pendinginan tersebut.
Sebuah film dokumenter Inggris tahun 1974 memberi peringatan bahwa musim
dingin yang brutal cukup memadai untuk menutup garis lintang utara dengan
kilauan salju dan dalam musim panas berikutnya tidak bisa hilang sepenuhnya.
                                                            

  Pittock, A. Barrie. 2009. Climate change – the science,impacts, and solutions, CSIRO
PUBLISHING, hlm. 22 
18


17
Universitas Sumatera Utara

Sehingga potensial untuk menjadi benua dengan lapisan kerak es dalam dekade
mendatang. Meskipun reporter berbagai media massa berceloteh lebih banyak
mengenai pendinginan global, beberapa ahli berkonsentrasi pada tinjauan atas
pemanasan global dalam jangka panjang. Salah satu paper kunci pada tahun 1975
bertanya apakah kita sedang di ambang perubahan iklim yang nyata.
Dua studi yang dilakukan pada penghujung 1970-an dari National
Aeronautics and Space Administration (NASA) mengkonfirmasi bahwa
konsentrasi CO2 yang terus bertambah di udara akan menuju pada pemanasan
yang signifikan. Uji coba model berbasis komputer kemudian berkembang pesat.
Model-model tersebut selanjutnya mengkonfirmasi bahwa pemanasan sedang
berjalan. Pada akhirnya, perubahan di atmosfir sendiri secara empirik
membenarkan simulasi komputer dan temuan-temuan ilmiah tersebut. Pada
penghujung 1980, temperatur global telah mulai meningkat dan sejak itu tidak
pernah menurun kecuali penurunan selama dua tahun setelah erupsi vulkanik
Gunung Pinatubo tahun 1991.19
Laporan dan temuan terus terakumulasi sepanjang 1980-an tapi hanya
sedikit keriuhan di luar laboratorium riset dan pendengaran pemerintah. Fokus
masih berkutat dengan kecemasan perang dingin hingga awal 1980-an, meski
kadang-kadang di sana sini media massa mulai menulis tentang pemanasan
global. Times London, misalnya, pada 1982 menulis tentang “ekperimen yang
terlanjur panas untuk ditangani, sesuatu yang dapat mengubah wajah dunia dalam
tiga generasi”.
                                                            

 Lihat pada situs internet https://en.wikipedia.org/wiki/Climate_change#Volcanism,
diakses pada tanggal 5 Maret 2016, pada pukul 21.48 WIB
19

18
Universitas Sumatera Utara

Situasi berubah ketika lubang pada lapisan ozon ditemukan di Antartika
tahun 1985. Meskipun masih belum begitu jelas perbedaan antara pengurangan
ozon dengan perubahan iklim, penemuan tersebut menjadi sebuah tanda mengenai
kerentanan atmosfir yang diperlihatkan dengan jelas oleh foto satelit. Perubahan
iklim bergema pada musim panas 1988 di Amerika.
Urgensi dari tantangan perubahan iklim di masa sekarang sangatlah jauh
perubahannya dari tahun 2005, dengan pengamatan baru yang menunjukkan
bahwa banyaknya dampak-dampak yang timbul dari perubahan iklim lebih cepat
daripada yang perkiraan oleh para ilmuwan.

2. Lahirnya Konvensi Perubahan Iklim
Merespons peningkatan temuan ilmiah atas perubahan iklim, seri
konferensi antar pemerintah yang fokus pada perubahan iklim dibuat. Pada 1998,
konferensi pertama diselenggarakan di Toronto. Konferensi tersebut bertajuk
Changing Atmosphere menggoyang wacana publik dan menyita perhatian
Internasional ketika 340 peserta konferensi dengan berbagai latar belakang dan
berasal dari 46 negara merekomendasikan konvensi kerangka kerja global yang
komprehensif untuk melindungi atmosfir.20
Dengan mengacu pada proposal yang diajukan oleh Malta, Majelis Umum
PBB akhirnya menjawab perubahan iklim untuk pertama kali dengan mengadopsi

                                                            

 Lihat pada situs internet https://en.wikipedia.org/wiki/World_Climate_Conference,
diakses pada tanggal 6 Maret 2016, pada pukul 22.02 WIB
20

19
Universitas Sumatera Utara

resolusi 43/53. Resolusi ini paling tidak menghadirkan dua aspek penting yang
akan menjadi perdebatan dalam perundingan-perundingan berikutnya, yaitu:21
Pertama, mengakui bahwa perubahan iklim merupakan masalah bersama
umat manusia terutama karena iklim merupakan kondisi yang esensial yang
mempertahankan kehidupan di muka bumi.
Kedua, menentukan bahwa tindakan yang perlu dan dalam jangka waktu
yang tepat seharusnya diambil dalam kerangka kerja global untuk menghadapi
perubahan iklim.
Jika diperiksa lagi ke belakang, konferensi ini tak luput dari peran
sejumlah lembaga-lembaga yang berkecimpung di isu lingkungan dan terutama
iklim yakni WMO (The World Meteorological Organization), UNEP (United
Nations Environment Programme) dan ICSU (International Council of Scientific
Union). Setelah mengidentifikasi perubahan iklim sebagai masalah yang
mendesak maka pada tahun 1979, lembaga-lembaga tersebut menyusun Program
Iklim Dunia (World Climate Programme).22
Deklarasi yang final diadopsi setelah proses tawar menawar politik yang
alot. Kesepakatan yang tercapai pada akhirnya menggarisbawahi beberapa hal
penting:
Pertama, tidak menyepakati target spesifik pengurangan emisi.
Kedua, menyokong beberapa prinsip penting yang dalam perkembangan
selanjutnya diadopsi dalam Konvensi Perubahan Iklim.
                                                            

 Lihat situs internet https://reddandrightsindonesia.wordpress.com/2011/03/17/sejarahkonvensi-perubahan-iklim-bernad-steni/, diakses pada tanggal 02 Maret 2016, pada pukul 17.15
WIB 
22
 Loc.Cit.
21

20
Universitas Sumatera Utara

Prinsip-prinsip tersebut adalah perubahan iklim sebagai common concern of
humankind (masalah bersama umat manusia), pentingnya keadilan melalui prinsip
“common but differentiated responsibilities” (tanggung jawab yang sama namun
secara khusus harus dibedakan sesuai kemampuan) dengan menimbang level
pembangunan yang berbeda, prinsip sustainable development (pembangunan
berkelanjutan) dan the precautionary principle (kehati-hatian dini).
Ketiga, telah terjadi ancaman serius atau kerugian yang tidak bisa dielak
sehingga kurangnya kepastian ilmiah tidak menjadi alasan untuk menunda
tindakan yang efektif biaya untuk mencegah pengurangan mutu lingkungan.
Di bawah bayang-bayang tekanan publik internasional, pada Desember
1990, Majelis Umum PBB setuju untuk memulai melakukan perundingan untuk
membentuk perjanjian. Hasilnya, melalui Resolusi 45/21, Majelis Umum PBB
membentuk The Intergovernmental Negotiating Committee for a Framework
Convention on Climate Change (INC/FCCC) yang menjadi wadah tunggal proses
negosiasi antarpemerintah di bawah naungan Majelis Umum PBB.
INC/FCCC kemudian bertemu dalam empat sesi antara Februari 1991
hingga Mei 1992. Negosiator perundingan dari 150 negara menyusun kerangka
kerja perubahan iklim dengan sedikit kejar tayang agar bisa dilauncing pada KTT
(Konferensi Tingkat Tinggi) Bumi di Rio de Jeneiro Brazil, pada 1992. Hanya 15
bulan setelah dibentuk, bulan Mei 1992 INC menyodorkan draft akhir untuk
diadopsi di New York pada Mei 1992. Seminggu kemudian draft tersebut

21
Universitas Sumatera Utara

diluncurkan dan dibuka untuk penandatanganan dari para pihak pada bulan Juni
1992 dalam KTT Bumi Brazil.23
Pada kesempatan itu 154 negara peserta KTT menandatangani kerangka
kerja perubahan iklim yang selanjutnya disebut The United Nations Framework
Convention on Climate Change atau UNFCCC. Bulan Maret 1994, Konvensi
Perubahan Iklim mulai berlaku. Saat ini, terdapat 194 pihak yang meratifikasi
Konvensi Perubahan Iklim (193 negara dan 1 organisasi ekonomi regional –
European Union).
C. Hubungan antara Lingkungan, Akibat Climate Change, dan Kehidupan
Manusia.
1. Lingkungan dan Perubahan Iklim
Iklim merupakan hal yang penting dalam kehidupan manusia. Lingkungan,
tanaman, binatang, serta seluruh makhluk hidup yang termasuk didalamnya
menentukan keadaan iklim dalam waktu yang panjang yang berkaitan dengan
keberlangsungan iklim tersebut. Berdasarkan waktu geologinya, Iklim membantu
pembentukan gunung, penggemburan tanah, menentukan keadaan sungai, serta
menentukan keadaan lingkungan lainnya.
“The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) reports a
worrying litany of likely climate change impacts for the region: a decline in crop
yield, an increase in climate induced disease, an increased risk of hunger and
water scarcity, an increase in the number and severity of glacier melt related
floods, significant loss of coastal ecosystems, a high risk of flooding for many
                                                            

 Lihat situs internet
https://en.wikipedia.org/wiki/United_Nations_Framework_Convention_on_Climate_Change,
diakses pada tanggal 08 Maret 2016, pada pukul 22.35 WIB
23

22
Universitas Sumatera Utara

millions of people in coastal communities, and an increased risk of extinction for
many species of fauna and flora”.24
Dalam kutipan diatas menyebutkan IPCC melaporkan bahwa dampak
perubahan iklim saat ini sangatlah mengkhawatirkan bagi wilayah-wilayah.
Sangat berdampak terhadap lahan pertanian, terhadap wabah penyakit yang
disebabkan oleh perubahan iklim, kenaikan resiko kelaparan dan kekurangan air
bersih, kenaikan angka es yang meleleh yang berkaitan dengan musibah banjir,
kehilangan yang signifikan terhadap ekosistem tepi laut, resiko yang sangat tinggi
akan tenggelamnya negara-negara kepulauan yang mengancam keselamatan
masyarakatnya, dan juga meningkatkan resiko punahnya banyak spesies
tumbuhan dan hewan.
a. Perubahan Iklim dan Pengaruhnya terhadap Kesehatan
Perubahan iklim dapat mengubah kualitas air, udara, makanan; ekologi
vektor; ekosistem, pertanian, industri, dan perumahan. Semua aspek tersebut
memiliki peranan yang sangat besar dalam menentukan kualitas hidup manusia.
Perubahan iklim telah menciptakan suatu rangkainan kausalitas kompleks yang
berujung pada dampak kesehatan. Misalnya saja, kualitas dan suplai makanan.
Variabel ini sangat dipengaruhi oleh iklim. Bagaimana keteraturan iklim telah
membuat petani tahu kapan waktu yang tepat untuk menebarkan benih, memupuk,
dan memanen lahannya. Saat iklim berubah, cuaca juga berubah. Kekeringan dan
banjir dapat datang sewaktu-waktu. Mungkin petani masih bisa memanfaatkan air
tanah. Akan tetapi, seperti telah disebutkan dalam penjelasan sebelumnya,
                                                            

 Lorraine Elliott and Mely Caballero-Anthony. 2013. Human Security and Climate Change in
Southeast Asia : Managing risk and resilience, New York: Routledge. Hlm. 1 

24

23
Universitas Sumatera Utara

aktivitas antropogenik manusia telah merubah wajah vegetasi bumi. Kualitas dan
kuantitas air tanah dan permukaan kini juga berada dalam ancaman. Perubahan
cuaca, kelembaban, suhu udara, arah dan kekuatan angin juga mempengaruhi
perilaku hama.
The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) reports a
worrying litany of likely climate change impacts for the region: a decline in crop
yield, an increase in climate-induced disease, an increased risk of hunger and
water scarcity, an increase in the number and severity of glacier melt-related
floods, significant loss of coastal ecosystems, a high risk of flooding for many
millions of people in coastal communities, and an increased risk of extinction for
many species of fauna and flora.25
Perubahan iklim dapat mengakibatkan munculnya berbagai gangguan
kesehatan. Serangan heat stroke, kematian akibat tersambar petir, busung lapar
akibat gagal panen yang disebabkan perubahan pola hujan, dan gangguan
kesehatan lainnya membutuhkan penanganan istimewa, tidak bisa disamakan
dengan kejadian penyakit biasa.26
Oleh karena itu, hal tersebut membutuhkan rancangan sistem kesehatan
yang disesuaikan dengan perkiraan dampak perubahan iklim sehingga fasilitas
pelayanan

kesehatan

yang

ada

mampu

menampung,

menangani,

dan

mengendalikan kasus-kasus tersebut. Ketika perubahan iklim datang, maka
kesehatan manusia akan berada dalam ketidakpastian waktu. Kasus bisa terjadi
sewaktu-waktu dengan kuantitas dan kualitas dampak yang juga tidak dapat
                                                            

 Loc.cit. 
 Lihat pada situs http://www.medkes.com/2015/01/dampak-perubahan-iklim-bagikesehatan.html, diakses pada tanggal 09 Maret 2016, pada pukul 23.28 WIB
25

26

24
Universitas Sumatera Utara

dipastikan. Sistem pelayanan kesehatan akan menemui berbagai macam tantangan
yang rumit seperti naiknya biaya pelayanan kesehatan, komunitas yang
mengalami penuaan dini, dan berbagai tantangan lainnya sehingga strategi
pencegahan yang efektif sangat dibutuhkan.
Banjir mengakibatkan kesehatan manusia terancam berbagai penyakit
menular dan penyakit mental. Leptospirosis, diare, gangguan saluran pernapasan,
scabies, dan penyakit lainnya mengancam warga pasca banjir. Secara teoritis,
banjir adalah hasil dari interaksi dari curah hujan, runoff permukaan, evaporasi,
angin, tinggi permukaan air laut, dan topografi lokal. Bencana banjir dan badai
mulai muncul dalam 2 dekade ini. Pada tahun 2003, 130 juta jiwa menjadi korban
banjir bandang di China. Sedangkan pada tahun 1999, 30.000 orang mati karena
badai yang diikuti banjir dan tanah longsor di Venezuela. Di Indonesia, banjir air
pasang terjadi di Jakarta Utara dan Tangerang.27
Perubahan Iklim juga menyebabkan kemunculan dini musim semi serbuk
sari di belahan bumi utara. Sangat beralasan jika menyimpulkan bahwa penyakit
alergen disebabkan oleh serbuk sari seperti alergi rhinitis seiring ditemuinya
kejadian tersebut bersamaan dengan perubahan musim tersebut.
b. Perubahan Iklim Terhadap Kondisi Sosial
The proximate triggers for intra-state social unrest and inter-communal
violence are usually argued to involve competition for scarce resources (including

                                                            

 Lihat pada situs internet http://afha34musdalifa.blogspot.co.id/2012/03/perubahaniklim-dan-dampaknya-dalam.html, diakses pada tanggal 21 Februari 2016, pada pukul 14.00 WIB
27

25
Universitas Sumatera Utara

water and energy), food insecurity, and pressures that result from internal
migration spurred by the impacts of climate change on local environments.28
Salah satu contoh akibat perubahan iklim adalah banjir. Banjir yang
menenggelamkan tempat tinggal manusia membuat manusia mengungsi. Dalam
kondisi darurat seperti itu, akan timbul kepanikan. Selain itu, pada kondisi darurat
manusia tidak lagi memikirkan orang lain. Yang menjadi prioritas utamanya
adalah bagaimana caranya agar dirinya, keluarganya, dan hartanya dapat
diselamatkan. Tidak jarang manusia menginjak hak orang lain asal kebutuhan
keluarganya dapat dipenuhi, walaupun hak orang yang diinjak tersebut adalah hak
tetangganya. Banjir juga menyebabkan jatuhnya korban meninggal yang akan
membuat perasaan keluarga dan orang terdekatnya termasuk tetangga akan
menjadi sangat sedih, hal ini membuat keadaan sosial akan berubah karena telah
menghilangnya salah satu pelaku sosial di lingkungan tersebut.

c. Perubahan Iklim dan Dampak Lingkungannya
Perubahan Iklim terjadi karena perubahan keseimbangan lingkungan.
Meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (uap air, CO2, NOx, CH4, dan O3) di
atmosfer akibat aktifitas pembakaran bahan bakar fosil oleh manusia
menyebabkan terbentuknya semacam selimut tak tampak mata yang mengurung
gelombang panas sinar matahari yang dipantulkan oleh permukaan bumi. Efeknya

                                                            
28

Lorraine Elliott and Mely Caballero-Anthony. 2013. Human Security and Climate
Change in Southeast Asia : Managing risk and resilience, New York: Routledge. Hal. 4.

26
Universitas Sumatera Utara

adalah permukaan bumi semakin memanas dan pada akhirnya memicu perubahan
iklim.29
Efek yang paling terlihat dari kondisi ini adalah perubahan cuaca. Cuaca
adalah kondisi atmosfer yang kompleks dan memiliki perilaku berubah yang
kontinyu, biasanya terikat oleh skala waktu, dari menit hingga minggu. Variabelvariabel yang berada dalam ruang lingkup cuaca di antaranya adalah suhu, daya
presipitasi, tekanan udara, kelembaban udara, kecepatan, dan arah angin.
Sedangkan iklim adalah kondisi rata-rata atmosfer, dan berhubungan dengan
karakteristik topografi dan luas permukaan air, dalam suatu region wilayah
tertentu, dalam jangka waktu tertentu yang biasanya terikat dalam durasi
bertahun-tahun.
Aktivitas antropogenik lain, diantaranya adalah penggunaan lahan dan
berubahnya vegetasi alami juga ikut berkontribusi menyebabkan perubahan iklim.
Perubahan vegetasi menyebabkan variasi karakteristik permukaan bumi seperti
albedo (kemampuan memantulkan) dan roughness (ketinggian vegetasi)
mempengaruhi

keseimbangan

energi

permukaan

bumi

lewat

gangguan

evapotranspirasi. Selain itu, perubahan vegetasi juga dapat mempengaruhi suhu,
laju presipitasi, dan curah hujan di suatu regional. Bencana alam yang dapat
terjadi karena perubahan vegetasi di antaranya adalah banjir, munculnya
heatstroke akibat gelombang panas yang tidak diserap karena hilangnya vegetasi
alami, tsunami, kekeringan, dll.

                                                            
29

Lihat pada situs internet http://afha34musdalifa.blogspot.co.id/2012/03/perubahaniklim-dan-dampaknya-dalam.html, diakses pada tanggal 10 Maret 2016, pada pukul 23.52 WIB

27
Universitas Sumatera Utara

The health assessment, firstly, confirms and expands the evidence base on
the health risks presented in the previous assessment report, in 2007. This
includes the much stronger evidence that negative health impacts will outweigh
positive effects. It concludes that climate change will act mainly, at least until the
middle of this century, by exacerbating health problems that already exist, and the
largest risks will apply in populations that are currently most affected by climaterelated diseases.30
Dampak lainnya adalah pengaruh perubahan iklim terhadap perilaku
vektor penyebab penyakit. Vector borne disease (VBD) adalah penyakit menular
yang ditransmisikan oleh gigitan infeksi spesies-spesies arthropoda, misalnya
nyamuk, lalat, kutu, kepinding, dan sebagainya. According to the IPCC Fourth
Assessment Report, climate change has already altered the distribution of some
disease vectors. There is evidence that the geographic range of ticks and
mosquitoes that carry disease has changed in response to climate change.31
Virus berbasis vektor lainnya yang paling menjadi pusat perhatian seluruh
dunia adalah dengue. Beberapa penelitian melaporkan bahwa ada hubungan antara
kondisi spasial, temporal, atau pola spasiotemporal terhadap dengue dan iklim.
Telah diketahui bahwa curah hujan yang tinggi serta suhu yang hangat dapat
meningkatkan transmisi virus ini. Akan tetapi, diketahui juga bahwa kasus dapat
terjadi dalam jumlah yang sama di musim kemarau asal terdapat cukup tempat
penyimpanan air yang feasibel menjadi breeding site nyamuk.
                                                            
30
Lihat situs internet http://www.who.int/globalchange/environment/climatechange2014-report/en/, diakses pada tanggal 15 Maret 2016, pada pukul 00.19 WIB.
31
Lihat situs internet http://scied.ucar.edu/longcontent/climate-change-and-vector-bornedisease, diakses pada tanggal 15 Maret 2016, pada pukul 00.12 WIB

28
Universitas Sumatera Utara

Perubahan iklim memiliki hubungan dengan perubahan curah hujan,
ketersediaan air permukaan, dan kualitas air yang dapat berpengaruh pada water
related disease. Water related disease dapat diklasifikasikan dengan mengetahui
jalur pajanannya sehingga dapat dibedakan menjadi water borne disease (ingesti)
dan water washed disease (karena kurangnya higienitas).

d. Dampak terhadap keanekaragaman hayati
Laju perubahan iklim yang cepat melalui pemanasan global merupakan
masalah yang cukup serius dihadapi oleh mahluk hidup. Dalam menghadapi hal
itu diperlukan adaptasi, antara lain melalui migrasi yang merupakan mekanisme
homeostatis mahluk hidup.
Migrasi horisontal terhalang oleh berbagai faktor antara lain terdapatnya
daerah pemukiman, pertanian, bentangan gunung yang tinggi, dan hamparan
lautan. Sebagai contoh hewan dan tumbuhan yang dilindungi di taman nasional
Ujung Kulon tidak dapat bermigrasi ke selatan karena terdapat Samudra Hindia.
Juga bentangan Pegunungan Jaya Wijaya di irian Jaya merupakan hambatan bagi
migrasi hewan setempat. Meski hewan dan tumbuhan dapat bermigrasi untuk
beradaptasi terhadap kenaikan temperatur akibat perubahan iklim, kecepatan
migrasi jenis berbeda-beda sehingga di habitat yang baru terjadi perubahan
komunitas hewan dan tumbuhan.
Dr. James Watson dari Wildlife Conservation Society dan Presiden Dewan
Oseania Masyarakat untuk Biologi Konservasi, memperingatkan bahwa dampak
perubahan iklim mempengaruhi lingkungan darat, laut dan air tawar dalam
berbagai cara. “Temperatur yang naik di lingkungan darat akan berubah di mana

29
Universitas Sumatera Utara

hewan dan tumbuhan bisa hidup di masa depan, dengan beberapa spesies yang
rentan terhadap suhu ekstrim,” kata Dr. Watson. “Dalam sistem kelautan,
kenaikan permukaan laut dan dampak dari suhu dan keasaman pada sistem
terumbu karang menjadi perhatian khusus. Air tawar sungai dan lahan basah kami
juga sangat rentan terhadap peningkatan suhu dan perubahan curah hujan di luar
toleransi berbagai organisme yang berbeda-beda.”32
Pada umumnya kecepatan migrasi jenis tumbuhan lebih rendah daripada
kecepatan migrasi hewan. Dalam kasus ini bila tumbuhan tersebut merupakan
makanan utama jenis hewan yang bermigrasi maka hewan tersebut di habitat yang
baru, kurang/tidak mendapat makanan utama. Akibatnya akan berpengaruh
terhadap kehidupannya dan bila hewan tersebut tidak mampu beradaptasi dengan
jenis makanan yang tersedia di habitatnya yang baru, maka populasinya pun akan
terhambat bahkan dapat menyebabkan kepunahan.
e. Dampak terhadap lapisan salju, es glasier, permafrost, dan sirkulasi hidrologi
Salju es dan permafrost (dataran beku bersuhu 00C) merupakan
sumberdaya air yang meliputi luas 41 juta km persegi. Lapisan salju pada daerah
tertentu yang menutupi tanah selama 9 bulan dalam setahun dapat mengurangi
panas yang diserap oleh tanah. Akibat perubahan iklim, lapisan salju melebur dan
tanah akan lebih banyak menyerap panas matahari. Umpan balik dari peleburan
lapisan salju tersebut akan meningkatkan pemanasan global. Demikian pula
halnya terhadap hamparan es dan glasier, yang akhirnya akan berakibat terhadap
kenaikkan permukaan air laut. Dalam waktu 250 tahun hamparan es di Greenland
                                                            

 Lihat pada situs internet http://www.faktailmiah.com/2011/12/08/keanekaragamanhayati-dan-perubahan-iklim-dari-yang-buruk-ke-arah-yang-lebih-buruk.html, diakses pada tanggal
23 Maret 2016, pada pukul 00.31 WIB. 
32

30
Universitas Sumatera Utara

berkurang volumenya sebesar 3 % dan permukaan laut naik setinggi 0,2 m. Reaksi
glasier atas pemanasan akibat perubahan iklim sangat tergantung pada tempat dan
perubahan presipitasinya. Glasier yang berada di kepulauan bekas wilayah Uni
Sovyet diprediksi akan hilang dalam beberapa dasawarsa akibat presipitasinya
hanya dapat mengkompensasi kehilangan 10 - 15 % .
“Everywhere on Earth ice is changing. The famed snows of Kilimanjaro
have melted more than 80 percent since 1912. Glaciers in the Garhwal Himalaya
in India are retreating so fast that researchers believe that most central and
eastern Himalayan glaciers could virtually disappear by 2035. Arctic sea ice has
thinned significantly over the past half century, and its extent has declined by
about 10 percent in the past 30 years. NASA's repeated laser altimeter readings
show the edges of Greenland's ice sheet shrinking. Spring freshwater ice breakup
in the Northern Hemisphere now occurs nine days earlier than it did 150 years
ago, and autumn freeze-up ten days later. Thawing permafrost has caused the
ground to subside more than 15 feet (4.6 meters) in parts of Alaska. From the
Arctic to Peru, from Switzerland to the equatorial glaciers of Man Jaya in
Indonesia, massive ice fields, monstrous glaciers, and sea ice are disappearing,
fast.”33
Peningkatan temperatur sebesar 3 derajat Celcius dapat membelah wilayah
Pegunungan Alpen di Austria yang tertutup glasier menjelang tahun 2050.
Dataran beku bersuhu nol derajat Celcius merupakan tanah yang tetap berada pada
temperatur nol derajat Celcius atau dibawahnya, yang terdiri atas es dengan
                                                            

 Lihat situs internet http://environment.nationalgeographic.com/environment/globalwarming/big-thaw/, diakses pada tanggal 24 Maret 2016, pada pukul 12.44 WIB
33

31
Universitas Sumatera Utara

berbagai bentuk mulai dari partikel kecil di pori-pori tanah hingga wilayah es
yang luas dengan ketebalan beberapa meter.
Pemanasan yang cepat mempengaruhi lapisan teratas dataran beku bersuhu
nol derajat Celcius setebal 5 m yang pada wilayah tertentu (misalnya Siberia Barat
dan Lingkaran Atlantik Utara) akan menghilang dalam beberapa dasawarsa.
Namun pencairan dataran beku bersuhu nol derajat Celcius tersebut secara penuh
akan memerlukan waktu berabad-abad.
Kenaikkan temperatur 2 derajat Celcius akan mengakibatkan gerakan
mundur dataran beku bersuhu nol derajat Celcius di Kanada sejauh 700 km ke
utara. Survei yang dilakukan pemerintah Cina membuktikan 40 - 50 % wilay ah
dataran beku bersuhu nol derajat Celcius akan berkurang. Siklus hidrologi
terpengaruh oleh kenaikkan temperatur akibat perubahan iklim karena laju
penguapan air dari tanah dan kelembaban tanah juga terkena dampak kenaikkan
temperatur.
Sumber daya air di daerah tandus dan semi tandus sangat peka terhadap
perubahan kecil temperatur dan curah hujan. Suatu hasil penelitian di AS
menunjukkan kenaikkan temperatur 1 - 2 derajat Celcius dan berkurangnya
presipitasi 10 % akan menurunkan ketersediaan air separuh dari semula di daerah
tandus dan semi tandus. Kenaikkan temperatur juga akan mempengaruhi pasok air
yang berasal dari pencairan salju. Pada musim dingin air disimpan dalam bentuk
salju dan secara bertahap dilepas pada saat meleleh di musim semi dan panas.
Pada bagian bumi y ang lebih panas, akan lebih banyak hujan dan sedikit salju.

32
Universitas Sumatera Utara

Sungai-sungai di daerah ini menjadi sangat kering di musim panas dan meluap
pada waktu musim hujan.
f. Dampak terhadap ekosistem laut dan pantai
“In the Asia-Pacific, climate change will have a fundamental impact on the
livelihoods and even survival of millions of people. Of the ten countries in the
world most imperilled by climate change in terms of the number of people likely to
be affected, six are in this region: China, Indonesia, Japan, the Philippines,
Thailand and Vietnam.”34
Pemanasan global akibat perubahan iklim selain menaikkan permukaan air
laut akibat pemuaian volume air dan pencairan salju, juga menaikkan suhu air
laut. Hal itu akan berpengaruh terhadap interaksi laut dan atmosfer, yang
selanjutnya akan mempengaruhi perubahan iklim. Perbedaan temperatur antara
udara diatas daratan dan lautan menimbulkan angin sepanjang garis pantai yang
kuat. Sedangkan perbedaan temperatur air laut dan di dasar laut akan
menimbulkan arus keatas (upwilling). Bila hal ini terjadi dengan intensitas yang
tinggi diduga akan menambah frekuensi peristiwa siklon tropis yang disertai
perluasan wilayahnya. Suhu permukaan air laut yang tinggi kemungkinan
meningkatkan terjadinya El Nino yang mengakibatkan cuaca buruk dan
mengganggu sirkulasi laut.35
Ekosistem pantai sangat tergantung pada laut. Bila permukaan air laut naik
akibat prubahan iklim, maka sedimen yang terjebak dalam hutan mangrove akan
                                                            

34
 Lorraine Elliott and Mely Caballero-Anthony. 2013. Human Security and Climate
Change in Southeast Asia : Managing risk and resilience, New York: Routledge. Hlm.7.
35
Lihat pada situs internet http://www.pintarbiologi.com/2015/08/el-nino-pengertiandampak-dan-proses-terjadinya.html, diakses pada tanggal 24 Maret 2016, pada pukul 13.03 WIB

33
Universitas Sumatera Utara

terhanyut oleh arus pasang surut. Bila itu terjadi maka berbagai biota laut yang
hidup dalam ekosistem pantai tersebut akan terganggu populasinya. Terumbu
karang sangat peka terhadap perubahan temperatur dan tingkat sedimentasi. Bila
temperatur kurang dari 18 derajat Celcius terumbu karang akan mati sehingga
akan berpengaruh terhadap kehidupan biota laut. Juga tingkat sedimentasi y ang
tinggi akan memperkeruh air laut sehingga sinar matahari tidak dapat menembus
sampai pada dasar laut habitat terumbu karang. Bila itu terjadi maka fotosintesis
akan terganggu sehingga pertumbuhan terumbu karang juga akan terganggu.

D. Dasar Hukum Yang Berkaitan dengan Perubahan Iklim
1. Konvensi Perubahan Iklim
Momentum keterlibatan aktif Indonesia di dunia internasional dalam
mengantisipasi dampak perubahan iklim dimulai sejak ditandatanganinya
Konvensi Kerangka PBB tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework
Convention on Climate Change/UNFCCC) pada Konferensi Tingkat Tinggi
(KTT) Bumi (Earth Summit) tentang Lingkungan dan Pembangunan (United
Nations Conference on Environment and Development/UNCED) di Rio de
Janeiro, Brasil pada tahun 1992. Konvensi Perubahan Iklim tersebut kemudian
diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1994 yang menandakan telah dimulainya komitmen bersama untuk mengatasi
dampak perubahan iklim tidak hanya terbatas oleh lembaga pemerintah, namun

34
Universitas Sumatera Utara

juga berbagai sektor-sektor swasta dan pelaku bisnis serta seluruh masyarakat
luas.36
Adapun tujuan utama dari Konvensi Perubahan Iklim sebagaimana
tercantum dalam Pasal 2, yaitu untuk mestabilkan konsentrasi gas rumah kaca
(GRK) di atmosfer pada tingkat tertentu dari kegiatan manusia yang
membahayakan sistem iklim. Guna mencapai tujuan tersebut disepakatilah
prinsip-prinsip dasar Konvensi yang menekankan pada prinsip kesetaraan
(equality principle) dan prinsip kehati-hatian (precautionary principle), seperti
misalnya tercantum dalam Pasal 3 yang menyatakan bahwa setiap Pihak memiliki
tanggung jawab umum yang sama, namun secara khusus harus dibedakan sesuai
dengan kemampuannya (common but differentiated responsibilities).37
Seluruh ketentuan kewajiban yang terdapat di Pasal 4 dalam Konvensi
tersebut berlaku terhadap seluruh pihak, salah satunya yaitu kerjasama untuk
saling mengembangkan dan saling berbagi penelitian ilmiah, teknologi, informasi
sosio-ekonomi dan hukum yang terkait dengan sistem iklim dan perubahan iklim,
termasuk terhadap konsekuensi ekonomi dan sosial dari berbagai strategi
kebijakan. Namun demikian, terdapat perbedaan kewajiban antara negara-negara
industri (Annex I dan Annex II) dengan negara-negara berkembang, dimana
negara-negara Annex I secara kolektif berkewajiban untuk menurunkan emisinya

                                                            
36

Indonesia, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations
Conference on Environment and Development (Konvensi Kerangka PBB tentang Perubahan
Iklim), Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara 3557. Konvensi
Perubahan Iklim ini diratifikasi pada tanggal 23 Agustus 1994 dan mulai diberlakukan pada
tanggal 21 November 1994.
37
Lihat Naskah Konvensi Perubahan Iklim yang asli dalam beberapa bahasa resminya,
tersedia pada http://unfccc.int/280.php, diakses terakhir kali pada 22 April 2009.  

35
Universitas Sumatera Utara

sebesar 5% dari tingkat emisi pada tahun 1990 dalam kurun waktu tahun 2008 s.d.
2012.
Dalam perjalanan dan pelaksanaannya ternyata terbentuk dua blok besar
yang tergabung dalam blok negara-negara maju (developed countries) dan blok
negara-negara berkembang (developing countries). Selanjutnya kedua blok besar
tersebut terbagi lagi dalam berbagai kelompok yang lebih kecil guna
memperjuangkan kepentingan dan pendapatnya masing-masing.
Untuk negara-negara Annex I, terdiri dari Uni Eropa (15 negara),
JUSSCANNZ (7 negara), Kelompok Payung (9 negara), serta Rusia dan CEIT (14
negara). Sedangkan untuk negara-negara Non-Annex I, terdiri dari G77 + Cina
(131 negara), OPEC (11 negara), GRULAC (33 negara), Kelompok Afrika (53
negara), AOSIS (42 negara), dan CEIT (11 negara). Posisi Indonesia yang
tergabung dalam kelompok G77 + Cina dan OPEC seringkali mengalami
kesulitan dan dilema ketika dalam proses pengambilan keputusan pada forumforum internasional, karena tidak mampu menahan laju kepentingan pragmatis
dari sebagian anggota kelompoknya.38
2. Protokol Kyoto, 1997 dan Bali Roadmap, 2007
Protokol Kyoto yang terbentuk pada saat Conference of Parties 3 pada
tanggal 12 Desember 1997 merupakan amandemen terhadap UNFCCC. Protokol
ini dirancang sebagai penguatan mekanisme pengurangan emisi GRK bagi para
peserta penandatanganan Konvensi Perubahan Iklim, sehingga tidak menggangu
sistem iklim bumi.
                                                            

 Lihat situs internet https://id.wikipedia.org/wiki/Protokol_Kyoto, diakses pada tanggal 26
Maret 2016, pada pukul 09.58 WIB
38

36
Universitas Sumatera Utara

Dalam berbagai laporan dijelaskan, guna mengakomodasi kepentingan
antara blok negara-negara maju dan negara-negara berkembang, Protokol Kyoto
dijadikan kesepakatan internasional untuk meletakan komitmen bersama dalam
mengurangi emisi GRK dengan cara mengatur soal pengurangannya secara lebih
tegas dan terikat hukum.
Walaupun Protokol Kyoto mengatur ketentuan pengurangan emisi GRK
hanya selama periode pertama dari tahun 2008 hingga 2012, namun target jangka
panjangnya adalah adanya pengurangan rata-rata cuaca global antara 0,02°C dan
0,28°C pada tahun 2050.
Kendati sempat mengalami keraguan efektivitas pemberlakuannya akibat
adanya penarikan dukungan dari Amerika Serikat dan Rusia, namun akhirnya
Protokol Kyoto tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap setelah terpenuhinya
2 (dua) syarat utama sebagaimana diatur dalam Pasal 25, yaitu: Pertama, berhasil
diratifikasi oleh 55 negara pada tanggal 23 Mei 2002; dan Kedua, tercapainya
jumlah emisi total dari negara ANNEX I lebih dari 55% pada tanggal 16 Februari
2005. Indonesia sendiri meratifikasi Protokol Kyoto melalui Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2004.39
Join Implementation (JI), Emission Trading (ET), dan Clean Development
Mechanism (CDM) merupakan tiga mekanisme yang ditentukan di dalam
Protokol Kyoto guna mengatur masalah pengurangan emisi GRK. JI merupakan
mekanisme yang memungkinkan negara-negara maju membangun proyek
                                                            

 Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan United Nations
Conference on Environment and Development (Konvensi Kerangka PBB tentang Perubahan
Iklim), Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara 3557. Konvensi
Perubahan Iklim ini diratifikasi pada tanggal 23 Agustus 1994 dan mulai diberlakukan pada
tanggal 21 November 1994. 
39

37
Universitas Sumatera Utara

bersama yang dapat menghasilkan kredit penurunan atau penyerapan emisi GRK.
ET adalah mekanisme yang memungkinkan negara maju untuk menjual kredit
penurunan emisi GRK kepada negara maju lainnya.
Sedangkan CDM yaitu mekanisme yang memungkinkan negara nonANNEX I untuk berperan aktif dalam membantu penurunan emisi GRK melalui
proyek yang diimplementasikan oleh negara maju. Dengan adanya mekanisme
tersebut, maka setidaknya negara penandatangan Protokol, khususnya negaranegara berkembang, akan memperoleh keuntungan dari segi bisnis, lingkungan,
dan politis.
Dalam

perkembangannya

yang

terakhir,

UNFCCC

ke-13

yang

diselenggarakan di Nusa Dua, Bali pada tanggal 3-14 Desember 2007 juga
menorehkan langkah maju. Setelah menggelar pertemuan selama dua minggu
secara berturut-turut, akhirnya seluruh delegasi dari 190 negara menyepakati
konsensus untuk menekan laju perubahan iklim. Keputusan tersebut diperoleh
secara mengejutkan setelah delegasi Amerika Serikat akhirnya “insyaf” dan
bersedia menerima konsensus bersama yang dituangkan pada Peta Jalan Bali (Bali
Roadmap).
Kendati demikian, hasil kajian ilmah dari Panel Antarpemerintah tentang
Perubahan Iklim (IPCC) membawa berita yang kurang baik dengan kesimpulan
bahwa dalam kurun tidak lebih dari 50 tahun ke depan, bongkahan-bongkahan es
yang berada di Kutub Utara akan hilang. Lebih lanjut, IPCC memperkirakan akan
terjadinya kenaikan suhu antara 1,8 - 4°C dan kenaikan permukaan air laut antara

38
Universitas Sumatera Utara

28 hingga 34 cm, serta terjadinya peningkatan gelombang udara panas dan badai
tropis.
Secara ringkas, hasil pokok dari Bali Roadmap tersebut adalah sebagai
berikut:
Pertama, respons atas temuan IPCC bahwa keterlambatan pengurangan emisi
GRK akan menghambat peluang tercapainya tingkat stabilisasi emisi yang rendah,
serta meningkatkan risiko lebih sering terjadinya dampak buruk perubahan
lingkungan;
Kedua, pengakuan bahwa pengurangan emisi yang lebih besar secara global
diharuskan untuk mencapai tujuan utama;
Ketiga, keputusan untuk meluncurkan proses yang menyeluruh yang
memungkinkan dilaksanakannya keputusan UNFCCC secara efektif dan
berkelanjutan.
Keempat, penegasan kesediaan sukarela negara berkembang untuk
mengurangi emisi secara terukur, dilaporkan, dan dapat diverifikasi dalam
konteks pembangunan berkelanjutan dengan didukung oleh teknologi, dana, dan
peningkatan kapasiatas;
Kelima, penguatan kerjasama di bidang adaptasi atas perubahan iklim,
pengembangan dan alih teknologi untuk mendukung mitigasi dan adaptasi; dan
Keenam, memperkuat sumber-sumber dana dan investasi untuk mendukung
tindakan mitigasi, adaptasi, dan alih teknologi terkait perubahan iklim.
Sedangkan komitmen dasar yang dihasilkan dari Bali Roadmap, yaitu:
Pertama, memulai pencairan dana adaptasi Protokol Kyoto (2008-20