Pengendalian Perdagangan Tembakau Internasional Ditinjau Dari Fctc (Framework Convention On Tobacco Control) Dan Dampaknya Terhadap Hukum Nasional

(1)

  1

PENGENDALIAN PERDAGANGAN TEMBAKAU

INTERNASIONAL DITINJAU DARI FCTC (FRAMEWORK

CONVENTION ON TOBACCO CONTROL) DAN DAMPAKNYA

TERHADAP HUKUM NASIONAL

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Oleh:

ALIF FADILLAH OEMRY

NIM: 090200150

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PENGENDALIAN PERDAGANGAN TEMBAKAU INTERNASIONAL DITINJAU DARI FCTC (FRAMEWORK CONVENTION ON TOBACCO

CONTROL) DAN DAMPAKNYA TERHADAP HUKUM NASIONAL

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Oleh:

ALIF FADILLAH OEMRY NIM: 090200150

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

Disetujui Oleh:

Arif, S.H.,M.Hum. NIP: 196403301993031002

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Mahmul Siregar, SH.M.Hum Dr. Jelly Leviza, SH.M.Hum NIP: 19730220200212001 NIP: 197308012002121002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

  3

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanallahu Wata’ala, karena atas berkat, rahmat, hidayat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “PENGENDALAIAN PERDAGANGAN TEMBAKAU INTERNASIONAL DITINJAU DARI FCTC (FRAMEWORK CONVENTION ON TOBACCO CONTROL) DAN DAMPAKNYA

TERHADAP HUKUM NASIONAL” ini sesuai dengan harapan penulis.

Latar belakang penulisan skripsi ini tidak semata-mata untuk kelulusan kegiatan akademik saja, tetapi penulis juga ingin mengkaji dan menelaah isu yang sangat penting serta mendapatkan perhatian dari masyarakat internasional dan nasional berkaitan dengan perdagangan tembakau. Perkembangan perdagangan tembakau sekarang mengalami peningkatan yang sangat besar, dimana produk ini menjadi salah satu komoditas utama perdagangan dunia. Seiring dengan perkembangannya memunculkan berbagai produk-produk dari tembakau, hingga sekarang ini konsumsi tembakau memberikan dampak buruk bagi kesehatan masyarakat dunia. Maka Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui salah satu lembaganya yaitu World Health Organization (WHO) merancang kerangka perjanjian pengendalian perdagangan tembakau internasional untuk mengendalikan penyebaran tembakau didunia.

Penulis sadar bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak terdapat kesalahan atau kekurangan, baik yang disebabkan oleh banyaknya data-data atau bahan yang harus penulis pilih dikarenakan permasalahan perdagangan tembakau ini sangat rumit, banyak yang pro dan kontranya disatu sisi menguntungkan akan


(4)

tetapi disisi lain merugikan bagi ekonomi nasional kita. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis agar tercapainya kesempurnaan skripsi ini dan perkembangan hukum internasional pada umumnya.

Dengan penuh rasa hormat, penulis juga ingin berterima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan,inspirasi dan dukungan selama proses penulisan skripsi dan dalam pembelajaran penulis, yakni:

1. Prof. Dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.sc.(CTM), Sp.A(K)., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) Medan;

2. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum USU, beserta seluruh jajaran pimpinan Fakultas Hukum USU;

3. Bapak Arif, SH, M.Hum. selaku Ketua Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum USU;

4. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH.M.Hum. selaku Dosen Pembimbing I dari Penulis yang telah meluangkan banyak waktu, tenaga dan pikiran dalam memberikan bimbingan dan pengarahan kepada Penulis;

5. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH.,M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II dari Penulis yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam memberikan bimbingan, pengarahan, dan dorongan dalam rangka penyelesaian skripsi ini;

6. Dosen-dosen Fakultas Hukum USU : jajaran staf administrasi dan seluruh pegawai Fakultas Hukum USU lainnya;

7. Ayah dan Ibu tercinta, terimakasih telah memberikan dukungan, arahan dan nasihat yang luar biasa serta kasih sayang selama ini terhadap penulis;


(5)

  5

8. Saudara-saudara penulis Abdul Aziz Al-fitra Oemry, Ahmad Fiqri Oemry dan sikecil pemberi semangat serta tawa Abdul Razaq Al-fachri Oemry;

9. Sahabat-sahabat terbaikku yang memberikan arti dan erat persahabatan selamanya. Ariansyah P. Rangkuti, Nancy Mayrizki Siregar. SE, Nurul Adha Nasution, Pueti Juliana dan Hade Brata. Terima kasih atas dukungan dan motivasinya selama ini;

10. Teman-teman departemen Hukum Internasional Erika Ongko, Marupa, Jenifer Wu, Rizky Ridwan Matondang, Inge Sandradilla, Alfi Syahrin Nst, Yuthi Sinari, Raja Karsito, Muhammad Tesa, Muhammad Sayyid,Nella Oktaviani, Maulida dan seluruh anggota ILSA;

11. Diah Meisari Surahman karena telah banyak memberikan bantuan kepada penulis dalam perkuliahan dan skripsi;

12. Seluruh teman-teman seperjuangan Fakultas Hukum USU stambuk 2009; 13. Teman-teman abang-abang dan adik-adik Komunitas Basket Hukum yang

selama ini bersama-sama berjuang dalam kompetisi basket USU;

14. Teman-teman Group F Stambuk 2009 Fakultas Hukum USU serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua, dan mohon maaf atas segala kekurangan yang ada, Terima Kasih. Assalamu’alaikum. w.r.b.

Medan, 16 Desember 2013 Penulis,

ALIF FADILLAH OEMRY NIM: 090200150


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAKSI ... vi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Permasalahan ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Keaslian Penelitian ... 7

E. Tinjauan Pustaka ... 8

F. Metode Penelitian ... 15

G. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II. PENGENDALIAN PERDAGANGAN TEMBAKAU BERDASARKAN PERJANJIAN FCTC (FRAMEWORK CONVENTION ON TOBACCO CONTROL) ... 20

A. Aspek Hukum Perjanjian Internasional ... 20

1. Pengertian dan subjek hukum perjanjian internasional ... 21

2. Bentuk-bentuk perjanjian internasional ... 23

3. Dasar hukum pengaturan perjanjian internasional ... 31

4. Pembuatan perjanjian internasional ... 31

5. Kekuatan mengikat dari perjanjian internasional ... 35

6. Akibat-Akibat yang ditimbulkan Perjanjian Internasional ... 42

B. FCTC (Framework Convention For Tobacco Control) Sebagai Perjanjian Internasional ... 44


(7)

  7

1. Latar belakang diadakannya FCTC ... 44

2. Tujuan FCTC ... 50

3. Kekuatan Mengikat FCTC ... 51

4. Posisi Indonesia saat ini terkait FCTC ... 55

C. Pengaturan Dalam Perjanjian Pengendalian Perdagangan Tembakau FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) ... 57

1. Pentingnya pengendalian perdagangan tembakau ... 57

2. Instrument pengendalian perdagangan tembakau ... 60

3. Pokok-pokok pengaturan pengendalian tembakau berdasarkan FCTC ... 63

BAB III. PENGARUH PERJANJIAN FCTC SECARA GLOBAL DAN NASIONAL ... 68

A. Garakan Anti-Tembakau Global ... 68

B. Kebijakan Ekonomi-Politik berbagai Negara terhadap tembakau ... 71

C. Kepentingan perusahaan multinasional dalam pengendalian perdagangan tembakau melalui Perjanjian FCTC ... 80

D. Dampak Perjanjian FCTC terhadap Hukum Nasional ... 84

1. Aspek Hukum Pengendalian tembakau di Indonesia ... 84

2. Pengaruh Perjanjian FCTC terhadap Hukum Nasional .. 91

BAB IV. PERLINDUNGAN INDUSTRI DAN PERTANIAN TEMBAKAU NASIONAL ... 95

A. Manfaat ekonomi perdagangan tembakau bagi Indonesia ... 95

B. Kebijakan Pembatasan Perdagangan Tembakau di Indonesia ... 97

1. Kebijakan cukai tembakau ... 97


(8)

3. Kebijakan di bidang kesehatan... 103

C. Perlindungan Hukum Bagi Industri dan Pertanian Tembaku Nasional ... 113

1. Dampak FCTC terhadap industri dan pertanian tembakau ... 113

2. Perlindungan hukum terhadap industri dan pertanian tembakau nasional dalam persaingan perdagangan tembakau global ... 116

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 121

A. Kesimpulan ... 121

B. Saran ... 124

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(9)

  9

PENGENDALIAN PERDAGANGAN TEMBAKAU INTERNASIONAL DITINJAU DARI FCTC (FRAMEWORK CONVENTION ON TOBACCO

CONTROL) DAN DAMPAKNYA TERHADAP HUKUM NASIONAL

*) Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum

**) Dr. Jelly Leviza, SH.,M.Hum

***) Alif Fadillah Oemry

ABSTRAKSI

Perdagangan tembakau dan rokok di dunia selama beberapa dekade terakhir telah banyak memberikan keuntungan yang besar bagi perekonomian negara-negara penghasil tembakau. Tembakau seakan telah menjadi darah daging bagi beberapa negara terutama negara-negara dengan jumlah perokok terbesar di dunia. Rokok tidak dapat di pisahkan dari aktivitas sehari-hari, akan tetapi tembakau dan rokok memberikan dampak negative berupa gangguan kesehatan bagi manusia yang menjadi salah satu penyebab timbulnya berbagai macam penyakit. Keuntungan dari perdagangan tembakau juga di ikuti dengan beban biaya penangan dan penanggulangan kesehatan.

Yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana peranan FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) dalam menangani perkembangan dan pembatasan perdagangan tembakau dari negara negara di dunia. Bagaimana pengaturan perdagangan tembakau menurut FCTC, serta dampaknya terhadap hukum nasional Indonesia apabila perjanjian tersebut di ratifikasi oleh pemerinta Indonesia.

Metode penulisan yang di pakai untuk menyusun skripsi ini adalah penelitian kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan dari buku, jurnal, internet, instrumen hukum internasional dan hasil tulisan ilmiah lainnya yang erat kaitannya dengan maksud dan tujuan dari penyusunan karya ilmiah ini. *) Dosen Pembimbing I

**) Dosen Pembimbing II


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sampai saat ini perdagangan tembakau dan rokok masih memegang peranan yang penting dalam perekonomian dunia, bisnis tembakau dan rokok masih sangat menjanjikan keuntungan yang sangat besar dari sektor pertanian, industri, perdagangan, serta keuangan. keadaan inilah yang menyebabkan dinamika persaingan dalam industri perdagangan tembakau yang semakin ketat baik antar perusahaan maupun antar Negara didunia.

Organisasi Pangan Dunia (Food and Agriculture Organization, FAO) menyebutkan pasar tembakau global tahun 2013 diperkirakan mencapai US$ 464,4 miliar, apabila di bandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB) negara-negara di dunia, maka bisnis perdagangan tembakau secara global berada pada urutan ke-23 apabila menjadi negara dengan PDB terbesar di dunia

Biaya ekonomi dan sosial yang ditimbulkan akibat konsumsi tembakau terus meningkat dan beban peningkatan ini sebagian besar ditanggung oleh masyarakat miskin. Angka kerugian akibat rokok setiap tahun mencapai 200 juta dolar Amerika, sedangkan angka kematian akibat penyakit yang diakibatkan merokok terus meningkat. Jumlah biaya konsumsi tembakau di Indonesia tahun 2005 yang meliputi biaya langsung di tingkat rumah tangga dan biaya tidak langsung karena hilangnya produktifitas akibat kematian dini, sakit dan kecacatan adalah US $ 18,5 Milyar atau Rp 167,1 Triliun. Jumlah tersebut adalah sekitar 5 kali lipat lebih tinggi dari pemasukan cukai sebesar Rp 32,6 Triliun atau US$ 3,62


(11)

  11

milyar tahun 2005 (1US$ = Rp 8.500,-) jumlah perokok di seluruh dunia kini mencapai 1,2 milyar orang dan 800 juta diantaranya berada di negara berkembang. Indonesia merupakan negara ketiga dengan jumlah perokok terbesar di dunia setelah Cina dan India. Peningkatan konsumsi rokok berdampak pada makin tingginya beban penyakit akibat rokok dan bertambahnya angka kematian akibat rokok. Rokok membunuh 1 dari 10 orang dewasa di seluruh dunia, dengan angka kematian dini mencapai 5,4 juta jiwa pada tahun 2005. Tahun 2030 diperkirakan angka kematian perokok di dunia akan mencapai 10 juta jiwa, dan 70% diantaranya berasal dari negara berkembang. Saat ini 50% kematian akibat rokok berada di negara berkembang. Bila kecenderungan ini terus berlanjut, sekitar 650 juta orang akan terbunuh oleh rokok, yang setengahnya berusia produktif dan akan kehilangan umur hidup (lost life) sebesar 20 sampai 25 tahun.1

Apabila dipandang dari sudut pandang kesehatan maka perkembangan perdagangan tembakau didunia yang tumbuh amat pesat ini sangat mengkhawatirkan. seperti yang di ketahui rokok merupakan salah satu penyebab timbulnya kanker paru-paru dan penyakit lainnya, guna melakukan upaya pengendalian perdagangan dan industri tembakau di dunia maka WHO (World Health Organization) dan pihak-pihak yang mempunyai kepentingan, dalam hal ini adalah perusahaan perusahaan tembakau dunia dan industri farmasi,2 merencanakan upaya pengendalian perdagangan dan industri tembakau dunia yang pada akhirnya memunculkan FCTC (Framework Convention on Tobacco       

1

Kinarsih Herjuno, Tembakau negara dan keserakahan modal asing, (Jakarta: Indonesia Berdikari, 2012), Hal 7

2

Dalam Notice War (2008), Wanda Hamilton mengungkapkan relasi kepentingan antara gerakan anti-tembakau dan industri farmasi, khususnya dalam peningkatan penjualan produk terapi pengganti nikotin.


(12)

Control). konvensi pengendalian perdagangan tembakau ini bertujuan untuk melindungi generasi sekarang dan yang akan datang terhadap kerusakan kesehatan, konsekuensi sosial, lingkungan dan ekonomi karena konsumsi tembakau dan paparan kepada asap tembakau, serta menyediakan suatu kerangka bagi upaya pengendalian tembakau untuk di laksanakan oleh pihak-pihak yang terkait di tingkat nasional, regional, dan internasional guna mengurangi secara berkelanjutan, dan bermakna prevalensi penggunaan tembakau serta paparan terhadap asap rokok. karena industri tembakau memiliki kecenderungan tumbuh secara konsisten, di mana pada tahun 2010 produksi, konsumsi, dan perdagangan tembakau secara global mencapai 7,1 juta ton, meningkat dari 6,7 juta pada tahun 2000. Pertanian tembakau dan industri rokok merupakan salah satu yang relatif tidak terkena dampak krisis keuangan global pada tahun 2007 hingga 2008. Data dari departemen pertanian menunjukkan ekspor tembakau tahun 2009 masih bisa tumbuh 6,3% dari rata rata ekspor 3 tahun sebelumnya. Nilai rokok yang diekspor pun naik 41% pada tahun 2009 dari rata-rata ekspor 3 tahun sebelumnya, maka banyak kendala atau halangan dalam pembentukan dan ratifikasi FCTC oleh negara-negara di dunia ditambah lagi banyaknya unsur-unsur kepentingan dari perusahaan tembakau di dunia seperti Philip Morris, British American Tobacco, Japan Tobacco Corporation, Perusahaan tembakau china dan eropa yang makin agresif membangun dan memperluas industri ini.3

Masalah pengendalian perdagangan tembakau ini sebenarnya sangatlah sulit dan serba salah, karena di satu sisi perdagangan tembakau ini akan meningkatkan jumlah perokok di dunia yang mana merokok berbahaya bagi       


(13)

  13

kesehatan, sumber dari berbagai macam penyakit dan disisi lain perdagangan tembakau ini sangatlah menggiurkan dan menguntungkan perusahaan-perusahaan, menyedot banyak tenaga kerja dan menjadi salah satu sumber pendapatan terbesar bagi suatu negara.

Bahkan beberapa negara seperti Rusia dan China memberlakukan kebijakan yang tidak lazim bagi sebagian besar negara lain, yaitu menyarankan masyarakatnya untuk merokok sebagai suatu strategi menghadapi krisis. China sejak awal menyatukan seluruh kekuatan produksi tembakau dan rokok dalam negeri sehingga menjadi yang terkuat di dunia saat ini.

Sedangkan Amerika Serikat justru menjadikan instrumen antitembakau sebagai strategi dalam melindungi pertanian tembakau dan industri rokok nasional mereka dari impor.

Berbeda dengan negara lain, di Indonesia industri tembakau dan rokoknya malah mendapat perlakuan diskriminatif dari pemerintah. hal ini dapat terjadi karena upaya pemerintah untuk mengadopsi prinsip-prinsip dalam Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) ke dalam hukum nasional lebih kuat daripada upaya perlindungan indutri dan pertanian tembakau. Adopsi ini dilakukan seperti dengan melaksanakan kebijakan pengalihan tanaman, pengurangan subsidi pertanian tembakau yang menyebabkan rendahnya pasokan bahan baku industri rokok, kebijakan kenaikan bea cukai yang menyebabkan banyak industri tembakau skala kecil bangkrut dan banyak lagi.

Pada saat yang bersamaan negara-negara berkembang terus berupaya mengembangkan industrinya di bawah ancaman pengambilalihan pasar dan akuisisi oleh perusahaan multinasional di Indonesia, perusahaan-perusahaan besar


(14)

nasional jatuh ke pemodal asing, seperti Bentoel diakuisisi oleh British American Tobaccos dan Sampoerna diambil alih oleh Philip Morris. mengapa hal ini terus terjadi? padahal sudah banyak kampanye-kampanye yang terus-menerus dilakukan oleh para pendukung anti-tembakau di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Mereka mencoba membangun konsep ‘’baik’’ dan ‘’buruk’’ secara sosial, melalui berbagai macam argumen mulai dari yang seolah rasional hingga kampanye hitam yang mirip propaganda. dengan kata lain sekali lagi saya katakan adanya unsur-unsur ‘’Kepentingan’’ dalam perang anti-tembakau di dunia, begitu pula dengan perjanjian pengendalian perdagangan tembakau FCTC.

Maka penting bagi negara Indonesia untuk melindungi industri tembakau dan rokok nasional, bukan karena hanya dikarenakan ekonomi tembakau dan rokok memiliki kontribusi yang besar terhadap pendapatan negara, juga karena industri ini memberikan sumbangan langsung terhadap pendapatan nasional, penyerapan tenaga kerja, dan multiplier effect yang luas terhadap perekonomian, tetapi dengan tidak melupakan sisi kesehatan bagi masyarakatnya.

Bedasarkan hal-hal yang tertulis diatas maka penting untuk diteliti permasalahan pengaturan hukum tembakau dan hubungan relevansinya dengan hukum serta kepentingan negara Indonesia.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan Uraian diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yaitu sebagai berikut :

1. Bagaimanakah Pengaturan dalam perjanjian pengendalian perdagangan tembakau FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) ?


(15)

  15

2. Bagaimana Dampak dari perjanjian pengendalian perdagangan tembakau (FCTC) di dunia dan implikasi Hukumnya di Indonesia?

3. Bagaimana pemerintah Indonesia memberikan perlindungan hukum bagi industri dan pertanian tembakau nasional apabila perjanjian FCTC diratifikasi?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, penulisan skripsi ini juga bertujuan untuk :

1. Untuk mengetahui pengaturan dalam perjanjian pengendalian perdagangan tembakau FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) ?

2. Untuk mengetahui dampak dari perjanjian pengendalian perdagangan tembakau (FCTC) di dunia dan implikasi Hukumnya di Indonesia?

3. Untuk Mengetahui bagaimana pemerintah Indonesia memberikan perlindungan hukum bagi industri dan pertanian tembakau nasional apabila perjanjian FCTC diratifikasi?

Selain tujuan daripada penulisan skripsi, perlu pula diketahui bersama manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Skripsi ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan secara umum dan ilmu hukum secara khusus. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat hukum internasional maupun perangkat hukum nasional dalam kaitannya dengan status hukum dan perlindungan yang layak bagi perdagangan tembakau internasional terutama di Indonesia.


(16)

2. Secara Praktis

Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memberikan masukan dan pemahaman yang lebih mendalam bagi pemerintah Indonesia dalam mengambil sikap serta kebijakan terhadap pengendalian perdagangan tembakau di Indonesia sehingga kelak ketika perjanjian ini telah diratifikasi tidak akan merugikan pihak-pihak yang punya hubungan dengan perdagangan tembakau.

D. Keaslian Penulisan

Pembahasan dengan judul : “PENGENDALIAN PERDAGANGAN TEMBAKAU INTERNASIONAL DITINJAU DARI FCTC (FRAMEWORK CONVENTION ON TOBACCO CONTROL) DAN DAMPAKNYA TERHADAP HUKUM NASIONAL”. adalah judul yang diangkat dari permasalahan yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat luas dari dahulu hingga sekarang, karena menyangkut perdagangan tembakau dan industrinya. Semenjak diadakannya perjanjian FCTC banyak negara-negara peserta yang telah mengadopsi dari pada isi perjanjian tersebut untuk menekan dan memberikan peraturan yang ketat terhadap industri tembakau, tetapi Amerika serikat sebagai negara pencetus perjanjian tersebut belum juga meratifikasi perjanjian FCTC, Mengapa?. Indonesia juga sebagai salah satu negara yang belum juga meratifikasi perjanjian FCTC ke dalam hukum nasional, tetapi sedang dalam tahap pengadopsian peraturan perjanjian pengendalian perdagangan tembakau. Sebenarnya kebijakan mengenai pengendalian tembakau telah di mulai sejak era presiden Soeharto melaui UU No. 23 Tahun 1992 mengenai kesehatan, yang mana didalamnya mengatur tentang zat adiktif, tapi masih dalam proses amandemen. Namun baru tahun 1999 pengaturan tembakau baru terang terangan dicanangkan melalui PP


(17)

  17

No. 81 tahun 1999 mengenai pengamanan rokok bagi kesehatan di sahkan oleh presiden B.J. Habibie tetapi masih lemah pengaturannya. Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia yang tidak menandatangani FCTC, padahal FCTC merupakan perangkat hukum yang paling komprehensif untuk mengatur permasalahan tembakau karena mencakup aspek ekonomi, kesehatan, tenaga kerja, dan pertanian untuk menciptakan win win solution. Dikarenakan hal tersebut sudah seharusnya Indonesia mempercepat ratifikasi perjanjian FCTC, tetapi harus berhati hati dalam mengadopsinya ke dalam hukum nasional demi kepentingan industri, buruh dan petani tembakau dalam negeri.

E. Tinjauan Kepustakaan

Dalam melakukan sebuah penelitian maka dibutuhkan suatu tinjauan kepustakaan, yang bertujuan sebagai bahan pemikiran mengenai hal-hal apa saja yang nantinya akan menjadi bahasan terhadap penulisan ilmiah ini, dan merupakan pembimbing atau petunjuk apabila penelitian ini memerlukan teori-teori dari para ahli mengenai objek yang sedang diteliti sehingga nantinya akan diambil menjadi sebuah kutipan untuk menambah wawasan dan pengetahuan di dalam penulisan karya ilmiah.

. Dalam penulisan karya ilmiah ini perlulah memberikan pengertian secara umum mengenai Hukum Internasional, Perjanjian Internasional, Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), Hukum Nasional dan Produk tembakau. 1) Hukum Internasional

Hukum Internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas berskala internasional. Pada awalnya, hukum internasional hanya diartikan sebagai perilaku dan hubungan antarnegara. Namun, dalam perkembangan


(18)

pola hubungan internasional yang semakin meluas, hukum internasional juga mengurus struktur dan perilaku organisasi internasional, individu, dan perusahaan multinasional.

Hukum internasional adalah hukum antarbangsa yang digunakan untuk menunjukkan pada kebiasaan dan aturan hukum yang berlaku dalam hubungan antar penguasa dan menunjukkan pada kompleks kaidah dan asas yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa.

Menurut para ahli hukum internasional, hukum internasional memiliki makna:4

1. Prof Dr. Mochtar Kusumaatmadja

Keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara antara negara dengan negara. 2. J.G Starke

Sekumpulan hukum (Body of Law) yang sebagian besar terdiri dari asas-asas. Oleh karena itu, hukum internasional wajib ditaati oleh negara-negara di seluruh dunia dalam menjalin hubungan internasional.

3.Wirjono Prodjodikoro

Hukum yang mengatur hubungan hukum antarberbagai bangsa di berbagai negara.

4. Ivan A.Shearer

      

4

http://dudunnews.blogspot.com/2013/06/Pengertian-Hukum-Internasional-Secara-Umum-Dan-Menurut-Para-Ahli.html.hari rabu,8/1/2014)


(19)

  19

Sekumpulan peraturan hukum yang sebagian besar mengatur tentang prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh negara-negara dan hubungannya satu sama lain meliputi

a. Aturan-aturan hukum yang berhubungan dengan fungsi institusi atau organisasi tersebut, serta hubungan antara institusi dan organisasi-organisasi tersebut dengan negara dan individu

b. Aturan-aturan hukum tertentu yang berhubungan dengan individu-individu yang menjadi perhatian komunitas internasional

2) Perjanjian Internasional

Menurut Prof Dr.Mochtar Kusumaatmadja SH.LL.M

Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antarbangsa yang bertujuan untuk menciptakan akibat-akibat hukum tertentu.

Menurut Oppenheimer-Lauterpacht

Perjanjian internasional adalah suatu persetujuan antarnegara yang menimbulkan hak dan kewajiban di antara pihak-pihak yang mengadakannya Menurut G. Schwarzenberger

Perjanjian internasional adalah suatu persetujuan antara subjek-subjek hukum internasional yang menimbulkan kewajiban-kewajiban yang mengikat dalam hukum internasional.

Menurut Konferensi Wina tahun 1969 Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan oleh dua negara atau lebih yang bertujuan untuk mengadakan akibat-akibat hukum tertentu.


(20)

Perjanjian internasional baik yang bersifat umum maupun khusus, yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang bersangkutan.

Jadi, perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan oleh masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan mengakibatkan hukum tertentu. Perjanjian internasional sekaligus menjadi subjek hukum internasional. Perjanjian internasional juga lebih menjamin kepastian hukum serta mengatur masalah-masalah bersama yang penting. Disebut perjanjian internasional jika perjanjian diadakan oleh subjek hukum internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional.5

3) Framework Convention on Tobacco Control (FCTC)

FCTC adalah suatu konvensi atau traktat (treaty), yaitu suatu bentuk hukum internasional dalam pengendalian masalah tembakau, yang mempunyai kekuatan mengikat secara hukum (internationally legally binding instrument) bagi negara-negara yang telah meratifikasinya. Sasaran FCTC adalah membentuk agenda global bagi regulasi tembakau, dengan tujuan mengurangi perluasan penggunaan tembakau dan mendorong penghentiannya. Ketentuan-ketentuan FCTC dibagi menjadi langkah-langah untuk mengurangi permintaan atas produk tembakau dan langkah-langkah untuk mengurangi pasokan produk tembakau.

      

5 

Wikipedia Indonesia, Perjanjian Internasional, http://www.wikipediaindonseia//.html.

hari minggu 5/01/2014   


(21)

  21

Sebagai kerangka perjanjian (evidence-based treaty) pertama yang dinegosiasikan di bawah pengawasan WHO6, FCTC mewakili pergeseran paradigma dalam mengembangkan pendekatan hukum terkait dengan penanganan kandungan adiktif dengan mempertimbangkan pengurangan di sisi permintaan

(demand reduction) sekaligus sisi penawaran produk tembakau (WHO, 2003). FCTC adalah suatu perjanjian internasional tentang tembakau yang bersifat menyeluruh. Perjanjian ini mengatur produksi, penjualan, distribusi, iklan, dan perpajakan tembakau. Kesemuanya dimaksudkan untuk menekan penggunaan tembakau.

Secara umum, 38 pasal dalam FCTC mencakup aturan tentang permintaan pengurangan konsumsi produk rokok (Pasal 6-14); kebijakan harga dan pajak untuk mengurangi permintaan terhadap rokok; dan mengatur kebijakan non-harga, dengan alasan perlindungan terhadap asap rokok. Selain itu, konvensi internasional ini juga membuat aturan yang berkaitan dengan kandungan produk rokok, aturan tentang keterbukaan produk rokok, kemasan dan label produk rokok, edukasi (komunikasi, pelatihan serta kesadaran publik), iklan rokok, promosi, dan sponsor, dan kebijakan pengurangan permintaan.

Perjanjian FCTC juga mengatur hal-hal menyangkut pengurangan suplai (Pasal 15-17); perdagangan rokok secara ilegal; penjualan kepada dan oleh anak-anak di bawah umur; provisi yang mengatur tentang dukungan terhadap alternatif

      

  6

World Health Organization (WHO) merupakan organisasi kesehatan dunia yang berada langsung dibawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (salah satu badan PBB) yang bertindak sebagai coordinator kesehtan umum internasional dan bermarkas di jenewa Swiss.


(22)

kegiatan yang menguntungkan (economically viable); serta mekanisme untuk kerjasama ilmiah dan teknis serta pertukaran informasi diatur dalam Pasal 20-22.7 4) Hukum Nasional

Pengertian Hukum nasional adalah peraturan hukum yang berlaku di suatu Negara yang terdiri atas prinsip-prinsip serta peraturan yang harus ditaati oleh masyarakat pada suatu Negara. Hukum Nasional merupakan sebuah sistem hukum yang dibentuk dari proses penemuan, pengembangan, penyesuaian dari beberapa sistem hukum yang telah ada. Hukum Nasinonal di Indonesia adalah hukum yang terdiri atas campuran dari sistem hukum agama, hukum eropa, dan hukum adat. hukum agama, itu karena mayoritas masyarakat Indonesia memeluk agama Islam, maka syari’at Islam lebih mendominasi terutama pada bidang kekeluargaan, perkawinan, dan warisan. Sistem hukum nasioanl yang diikuti sebagian besar berbasis pada hukum eropa kontinental baik itu hukum perdata maupn hukum pidana. Hukum eropa yang di ikuti khususnya dari belanda itu karena di masa lampau Indonesia merupakan negara jajahan Belanda. Sistem hukum adat juga merupakan bagian dari hukum nasional, karena di Indonesia masih kental dengan aturan-aturan adat setempat dari masyarakat serta budaya yang ada di wilayah Indonesia.8

5) Produk Tembakau

Produk tembakau adalah hasil bumi yang diproses dari daun tanaman yang juga dinamai sama.Tanaman tembakau terutama adalah Nicotiana tabacum dan

      

7 

Daeng Salamuddin,FCTC Tata Niaga Tembakau dan Kebijakan Nasional, Artikel Tribun Jabar. www.tribun jabar.com. hari Minggu 5/01/2014 

  8 Hestiana, Pengertian Hukum Nasional.http://hestian3kj2.blogspot.com/2012/01/


(23)

  23

Nicotiana rustica, meskipun beberapa anggota Nicotiana lainnya juga dipakai dalam tingkat sangat terbatas.

Tembakau adalah produk pertanian semusim yang bukan termasuk komoditas pangan, melainkan komoditas perkebunan. Produk ini dikonsumsi bukan untuk makanan tetapi sebagai pengisi waktu luang atau "hiburan", yaitu sebagai bahan baku rokok dan cerutu. Tembakau juga dapat dikunyah. Kandungan metabolit sekunder yang kaya juga membuatnya bermanfaat sebagai pestisida dan bahan baku obat.

Tembakau telah lama digunakan sebagai entheogen di benua Amerika. Kedatangan bangsa eropa ke Amerika Utara mempopulerkan perdagangan tembakau terutama sebagai obat penenang. Kepopuleran ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat bagian selatan. Setelah perang saudara Amerika Serikat, perubahan dalam permintaan dan tenaga kerja menyebabkan perkembangan industri rokok. Produk baru ini dengan cepat berkembang menjadi perusahaan-perusahaan tembakau hingga terjadi kontroversi ilmiah pada pertengahan abad ke-20.

Dalam Bahasa Indonesia tembakau merupakan serapan dari bahasa asing. Bahasa Spanyol "tabaco" dianggap sebagai asal kata dalam bahasa Arawakan, khususnya, dalam bahasa Taino di Karibia, disebutkan mengacu pada gulungan daun-daun pada tumbuhan ini (menurut Bartolome de Las Casas, 1552) atau bisa juga dari kata "tabago", sejenis pipa berbentuk y untuk menghirup asap tembakau (menurut Oviedo, daun-daun tembakau dirujuk sebagai Cohiba, tetapi Sp. tabaco (juga It. tobacco) umumnya digunakan untuk mendefinisikan tumbuhan obat-obatan sejak 1410, yang berasal dari BahasaArab "tabbaq", yang dikabarkan ada


(24)

sejak abad ke-9, sebagai nama dari berbagai jenis tumbuhan. Kata tobacco (bahasa Inggris) bisa jadi berasal dari Eropa, dan pada akhirnya diterapkan untuk tumbuhan sejenis yang berasal dari Amerika.9

F. Metode Penelitian

Untuk melengkapi penelitian ini agar tujuan dapat lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka metode penelitian yang dipergunakan sebagai berikut:

1. Jenis Pendekatan

Dalam penelitian hukum dikenal dua jenis pendekatan dalam penelitian, yaitu pendekatan yuridis sosiologis dan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis sosiologis merupakan pendekatan dengan mengambil data primer atau data yang diambil langsung dari lapangan, sedangkan pendekatan yuridis normatif merupakan pendekatan dengan data sekunder atau data yang berasal dari kepustakaan (dokumen). Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif karena yang hendak diteliti dan dianalisa melalui penelitian ini adalah pengendalian perdagangan tembakau internasional ditinjau dari FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) dan dampaknya terhadap hukum nasional.

2. Data Penelitian

Sumber data dari penelitian ini berasal dari penelitian kepustakaan (Library Research). Penelitian kepustakaan dilakukan terhadap berbagai macam sumber bahan hukum yang dapat diklasifikasikan atas 3 (tiga) jenis, yaitu:10

      


(25)

  25

a. Bahan Hukum Primer (Primary Resource atau Authoritative Records) Merupakan berbagai dokumen peraturan nasional yang tertulis, sifatnya mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. dalam tulisan ini antara lain Peraturan Pemerintah No 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, Framework Convention on Tobacco Control dan berbagai Undang-undang nasional lainnya.

b. Bahan Hukum Sekunder (Secondary Resource atau Not Authoritative Records)

Merupakan bahan-bahan hukum yang dapat memberikan kejelasan terhadap bahan hukum primer. Semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian tentang isu perjanjian pedagangan internasional serta dampak hukum terhadap kebijakan kebijakan pemerintah Indonesia ditinjau dari sudut pandang hukum internasional dan hukum nasional seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, makalah dan lain-lainnya.

c. Bahan Hukum Tersier

Merupakan bahan-bahan hukum yang dapat memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, mencakup kamus bahasa untuk pembenahan bahasa Indonesia serta untuk menerjemahkan beberapa literatur asing.

          10 

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, cet. kedua, (Jakarta: Penerbit Rajawali,1986),hal 15


(26)

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan serta jurnal-jurnal hukum.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pembahasan mengenai skripsi ini, maka penulis akan membuat sistematika secara teratur dalam bagian-bagian yang semuanya saling berhubungan satu dengan lain.

Sistematika atau gambaran isi tersebut dibagi dalam beberapa bab dan di antara bab-bab ini terdiri pula atas beberapa sub bab.

Adapun gambaran isi atau sistematika tersebut adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pembukaan yang berisikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan yang terakhir adalah gambaran isi yang merupakan sistematika penulisan skripsi ini.

BAB II PENGENDALIAN PERDAGANGAN TEMBAKAU

BERDASARKAN PERJANJIAN FCTC (FRAMEWORK CONVENTION ON TOBACCO CONTROL)

Bab ini akan membahas hal-hal yang berkaitan dengan aspek hukum perjanjian internasional, FCTC sebagai perjanjian


(27)

  27

internasional yang berisi latar belakang, tujuan, kekuatan mengikat FCTC dan lain lain. Serta bagaimana pengendalian perdagangan tembakau melalui perjanjian FCTC.

BAB III PENGARUH PERJANJIAN FCTC SECARA GLOBAL DAN

NASIONAL

Pada bab ini akan dibahas hal-hal yang berkaitan dengan gerakan anti tembakau secara global, bagaimana kebijakan ekonomi politik berbagai negara terhadap tembakau secara singkat, adanya unsur kepentingan perusahaan multinasional dalam perjanjian FCTC, serta aspek hukum dan pengaruh perjanjian FCTC terhadap hukum nasional Indonesia.

BAB IV PERLINDUNGAN INDUSTRI DAN PERTANIAN

TEMBAKAU NASIONAL

Pada bab ini akan membahas hal hal yang berkaitan dengan manfaat ekonomi perdagangan tembakau bagi Indonesia, bagaimana kebijakan pembatasan perdagangan tembakau oleh pemerintah yang meliputi : kebijakan cukai tembakau, pembatasan produksi rokok dan kebijakan di bidang kesehatan. serta akan dibahas mengenai perlindungan hukum terhadap industri dan pertanian tembakau di Indonesia, juga dampak dari perjanjian FCTC itu pada industri pertanian tembakau nasional.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan bab penutup yang berisikan tentang kesimpulan Penulis dari pembahasan terhadap pokok permasalahan serta


(28)

saran-saran tentang bagaimana sebaiknya langkah-langkah yang hendaknya diambil untuk mengatasi permasalahan tersebut.


(29)

  29

BAB II

PENGENDALIAN PERDAGANGAN TEMBAKAU BERDASARKAN FCTC (FRAMEWORK CONVENTION ON TOBACCO CONTROL)

A. Aspek Hukum Perjanjian Internasional

Dalam masyarakat Internasional dewasa ini, perjanjian internasional atau traktat mempunyai peranan yang sangat penting dalam mengatur kehidupan dan hubungan antar negara-negara dunia. Melalui perjanjian internasional, setiap negara dapat menggariskan dasar kerjasama mereka, bagaimana untuk mengatur berbagai kegiatan, menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dari hubungan tersebut demi kelangsungan masyarakat internasional itu sendiri. di era modern ini tidak ada satupun negara negara di dunia yang tidak mengadakan perjanjian internasional dengan negara negara lain.

Perjanjian internasional pada hakekatnya merupakan sumber dari hukum internasional yang utama adalah instrumen-instrumen yuridik yang menampung kehendak dan persetujuan negara atau subjek hukum internasional lainnya untuk mencapai tujuan bersama. Persetujuan bersama yang di rumuskan dalam perjanjian tersebut merupakan dasar hukum internasional untuk mengatur kegiatan negara-negara atau subjek hukum internasional lainnya di dunia.

Karena pembuatan dari perjanjian merupakan perbuatan hukum maka akan mengikat pihak-pihak yang terlibat atau terikat dalam perjanjian tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa secara umum dapat di katakan ciri-ciri perjanjian internasional ialah ia dibuat oleh subjek hukum internasional, pembuatannya di atur dalam hukum internasional sehingga mengikat subjek-subjek yang menjadi pihak.


(30)

Sebelum tahun 1969 hukum mengenai traktat sebagian besar terdiri dari kaidah-kaidah hukum kebiasaan internasional. Kaidah-kaidah ini untuk sebagian besar telah dikodefikasi dan disusun kembali didalam Konvensi Wina yang dibentuk pada tanggal 23 mei tahun 1969 tentang hukum traktat (Vienna Convention On The Law Treaties),11Mulai berlaku pada tanggal 27 januari 1980. Tetapi, Konvensi Wina tidak dimaksudkan sebagai kitab hukum traktat yang lengkap dan dalam pembukaannya jelas di tegaskan bahwa kaidah-kaidah hukum kebiasaan internasional mengatur persoalan persoalan yang tidak diatur oleh ketentuan ketentuan konvensi.

1. Pengertian dan Subjek Hukum Perjanjian Internasional

Perjanjian internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional, sebagaimana tercantum dalam pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional, Sumber-sumber hukum internasional terdiri dari:12

a. Perjanjian internasional (international conventions), baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus;

b. Kebiasaan internasional (international custom);

c. Prinsip-prinsip hukum umum (general principles of law) yang di akui oleh negara-negara beradab;

      

  11

 Vienna Convention 1969 dianggap sebagai induk perjanjian internasional karena konvensi inilah yang pertama kali memuat ketentuan-ketentuan (code of conduct yang mengikat) mengenai perjanjian internasional. Melalui konvensi ini semua ketentuan mengenai perjanjian internasional diatur, mulai dari ratifikasi, reservasi hingga pengunduran diri Negara dari suatu perjanjian internasional (seperti yang dilakukan AS, mengundurkan diri dari Vienna Convention 1969 pada tahun 2002 lalu).

  12 

Mauna Boer, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global,(Bandung: P.T Alumni,2001), hal 89


(31)

  31

d. Keputusan pengadilan (judicial decisions) dan pendapat para ahli yang telah di akui keahliannya merupakan sumber tambahan dari hukum internasional

Berdasarkan hal tersebut marilah kita lihat apa yang di maksud dengan perjanjian internasional berdasarkan Pasal 2 Konvensi Wina tahun 1969, pejanjian internasional (treaty) didefenisikan sebagai:13

Suatu persetujuan yang di buat antara negara dalam bentuk tertulis dan di atur oleh hukum internasional, apakah dalam instrument tunggal atau dua atau lebih instrumen yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan padanya.

Kemudian menurut Mochtar Kusumaatmaja, perjanjian internasional adalah perjanjian yang di adakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa yang bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu. Berdasrkan defenisi ini subyek hukum internasional yang mengadakan perjanjian adalah anggota masyarakat bangsa-bangsa, lembaga-lembaga internasional dan negara-negara14.

Berdasarkan defenisi Pasal 2 Konvensi Wina 1969 diatas, kemudian di kembangkan lagi oleh pasal 1 ayat 3 undang -undang republik Indonesia nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri yaitu:15

Perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun, yang di atur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis

      

  13

 Mauna Boer, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global,(Bandung: P.T Alumni,2001), hal 84

  14 Ibid 10


(32)

oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi internasional atau subjek hukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada Pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum publik.

Bila dilihat dari defenisi perjanjian internasional diatas terdapat dua unsur pokok yang terdapat di dalamnya yaitu :

a. Adanya subjek hukum internasional

Negara adalah subjek dari hukum internasional, yang mempunyai kemampuan penuh dalam membuat suatu perjanjian-perjanjian internasional seperti yang tercantum di dalam pasal 6 konvensi wina tahun 1969,

b. Rejim Hukum Internassional

Suatu perjanjian dapat di katakan perjanjian internasional apabila perjanjian tersebut di atur dalam rejim hukum internasional, Perjanjian yang tunduk dan di atur oleh rejim hukum nasional suatu negara tidak termasuk kedalam defenisi dari perjanjian internasional (treaty). Kemudian suatu perjanjian juga bukan merupakan perjanjian internasional apabila subjeknya bukan merupakan subjek-subjek hukum internasional.

2. Bentuk Bentuk Perjanjian Internasional

Negara-negara di dunia dalam melaksanakan praktek pembuatan perjanjian telah melahirkan berbagai bentuk terminologi perjanjian internasional, dimana ada kalanya berbeda pemakaiannya menurut negara, wilayah maupun jenis perangkat internasionalnya. Terminologi yang digunakan atas perangkat internasional tersebut pada umumnya tidaklah mengurangi hak dan kewajiban yang terkandung di dalamnya. Biasanyasuatu terminologi perjanjian internasional


(33)

  33

digunakan berdasarkan permasalahan yang diatur dan dengan memperhatikan keinginan para pihak pada perjanjian tersebut dan dampak dampak politisnya terhadap mereka. Dalam konvensi wina tahun 1969 mengenai hukum perjanjian dan Konvensi Wina tahun 1986 mengenai hukum perjanjian antara negara dan organisasi internasional atau antara organisasi -organisasi Internasional tidak memberikan atau melakukan pembedaan terhadap berbagai bentuk perjanjian internasional. Selain itu, Pada pasal 102 Piagam PBB hanya memberikan pembedaan perjanjian internasional menurut terminologi treaty dan international agreement, sampai saat ini pun tidak terdapat defenisi yang tegas diatara kedua terminologi tersebut.16

Dalam praktek yang dilakukan oleh sekretariat jenderal PBB, terminologi treaty dan international agreement mencakup beragam perangkat internasional, termasuk di dalamnya komitmen-komitmen yang diberikan oleh suatu negara secara unilateral dalam pelaksanaan perjanjian internasional, sehingga perjanjian dalam hukum perjanjian internasional memiliki berbagai nama/bentuk yang setiap bentuknya menunjukkan suatu perbedaan dalam prosedur atau kurang lebih dalam formalitasnya. Bentuk-bentuk perjanjian internasional yaitu:17

a. Treaties (Perjanjian Internasional/Traktat)

Terminologi treaty dapat digunakan menurut pengertian umum atau menurut pengertian khusus. Yang dimaksud dengan pengertian umum ialah bahwa treaty mencakup segala macam bentuk persetujuan internasional.       

  16 

Mauna Boer, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global,(Bandung: P.T Alumni,2001), hal 89


(34)

Sedangkan dalam arti khusus treaty merupakan perjanjian yang paling penting dan sangat formal dalam urutan perjanjian.

Menurut pengertian umum, Istilah treaty dalam bahasa Indonesia lebih dikenal dengan istilah perjanjian internasional, sedangkan didalam pengertian ini, perjanjian internasional mencakup seluruh perangkat/instrumen yang dibuat oleh subjek hukum internasional dan memiliki kekuatan yang mengikat secara hukum menurut hukum internasional.

Menurut pengertian khusus, terminologi treaty dalam bahasa Indonesia lebih di kenal dengan istilah traktat. Hingga saat ini, belum terdapat pengaturan konsisten atas penggunaan terminologi traktat tersebut. Pada umumnya, traktat digunakan untuk suatu perjanjian yang materinya merupakan hal-hal yang sangat prinsipil. Umumnya perjanjian tersebut memerlukan adanya pengesahan/ ratifikasi. Jenis-jenis perjanjian yang termasuk di dalam kategori traktat di antaranya perjanjian yang mengatur masalah perdamaian, perbatasan negara, delimitasi, ekstradisi dan persahabatan, sebagai contoh :

Perjanjian Persahabatan dan kerjasama di Asia Tenggara, 24 Februari 1976 (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) yang merupakan salah satu kategori perjanjian yang sangat resmi yang pernah di buat Indonesia dan ditandatangani oleh kepala negara dan pemerintah negara-negara ASEAN.

Selanjutnya hal panting yang termasuk kedalam kategori perjanjian (Traktat) di Indonesia, diatur oleh surat Presiden Kepada DPR No. 2826/HK/60 tanggal 22 Agustus 1960.

Jadi walaupun pada umumnya perjanjian internasional (treaty) dipakai untuk soal yang sangat penting misalnya yang menyangkut persahabatan,


(35)

  35

perdamaian dan keamanan tetapi juga dapat dipakai untuk hal-hal lain tergantung dari kebiasaan masing-masing negara.

b. Convention (konvensi)

Dalam pengertian umum, terminologi convention juga mencakup pengertian perjanjian internasional secara umum. Dalam kaitannya, Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional menggunakan istilah International Conventions sebagai salah satu sumber hukum internasional. dengan demikian, menurut pengertian umum, terminologi convention dapat disamakan dengan pengertian umum terminologi treaty. Dalam praktek internasional kedua istilah ini menduduki tempat tertinggi didalam urutan perjanjian internasional.

Dalam pengertian khusus, terminologi convention dikenal dengan istilah bahasa Indonesia sebagai konvensi. Menurut pengertian ini. istilah konvensi digunakan untuk perjanjian-perjanjian multilateral yang beranggotakan banyak negara. konvensi pada umumnya memberikan kesempatan kepada masyarakat internasional untuk berpartisipasi secara luas. Konvensi biasanya bersifat Law Making artinya merumuskan kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat internasional. Perangkat-perangkat internasional yang dirundingkan atas prakarsa/ naungan organisasi internasional umumnya juga menggunakan istilah konvensi. Sebagai contoh dapat dikemukakan konvensi-konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang, konvensi-konvensi Wina 1961 dan 1963 mengenai Hukum Diplomatik dan Hubungan Konsuler, dan banyak lagi.

c. Agreement (Persetujuan)

Terminologi agreement juga memiliki pengertian umum dan pengertian khusus. Dalam pengertian umum, Konvensi Wina tahun 1969 menggunakan


(36)

terminologi agreement dalam artian yang luas. Selain memasukkan defenisi treaty sebagai international agreement, Konvensi tersebut juga menggunakan terminologi international agreement bagi perangkat internasional yang tidak memenuhi defenisi treaty. dengan demikian, maka pengertian agreement secara umum mencakup seluruh jenis perangkat internasional dan biasanya mempunyai kedudukan yang lebih rendah dari traktat dan konvensi.

Dalam pengertian khusus, terminologi agreement dalam bahasa Indonesia lebih dikenal dengan istilah persetujuan. Menurut pengertian ini, persetujuan umumnya mengatur materi yang memiliki cakupan lebih kecil dibandingkan materi yang diatur dalam traktat. Terminologi persetujuan umumnya juga digunakan pada perjanjian yang mengatur materi kerjasama di bidang ekonomi, kebudayaan, teknik dan ilmu pengetahuan.

d. Charter (Piagam)

Istilah charter umumnya digunakan untuk perangkat internasional seperti dalam pembentukan suatu organisasi internasional. Penggunaan istilah ini berasal dari Magna Carta yang dibuat pada tahun 1215. Contoh umum perangkat internasional tersebut adalah Piagam PBB yang dibuat pada tahaun 1945.

e. Protocol (Protokol)

Terminologi protokol digunakan untuk perjanjian internasional yang materinya lebih sempit dibanding treaty atau convention. Penggunaan protokol tersebut memiliki berbagai macam keragaman, yaitu:

(1) Protocol of Signature

Protokol ini merupakan perangkat tambahan dalam suatu perjanjian internasional yang dibuat oleh pihak-pihak yang sama pada perjanjian. Protokol


(37)

  37

ini pada umumnya berisikan hal-hal yang berkaitan dengan penafsiran pasal-pasal tertentu pada perjanjian dan hal-hal yang berkaitan dengan pengaturan teknik pelaksanaan perjanjian. Pengesahan perjanjian tersebut ipso facto juga mencakup pengesahan protokol tersebut.

(2) Optional Protokol

Protokol Tambahan memberikan tambahan hak dan kewajiban selain yang diatur dalam perjanjian internasional. Protokol tersebut umumnya memiliki karakter khusus dan memerlukan proses pengesahan yang terpisah dari perjanjian induknya. Protokol dimaksud juga memberikan kesempatan pada beberapa pihak pada perjanjian untuk membentuk pengaturan lebih jauh dari perjanjian induk dan tanpa memerlukan persetujuan seluruh negara pihak. Dengan demikian, maka protokol ini menciptakan two-tier system pada perjanjian internasional.

(3) Protocol based on a Framework Treaty

Protokol ini merupakan perangkat yang mengatur kewajiban-kewajiban khusus dalam melaksanakan perjanjian induknya. Protokol tersebut umumnya digunakan untuk menjamin proses pembuatan perjanjian yang berlangsung lebih cepat dan sederhana dan telah digunakan khususnya pada hukum lingkungan. (4) Protokol untuk mengubah beberapa perjanjian internasional, seperti Protocol of 1946 amending the Agreements, Conventions and Protocols on Narcotic Drugs. (5) Protokol yang merupakan pelengkap perjanjian sebelumnya, seperti Protocol of 1967 relating to the Status of Refugees.

f. Declaration (Deklarasi)

Deklarasi juga merupakan suatu perjanjian dan berisikan ketentuan -ketentuan umum dimana pihak-pihak pada deklarasi tersebut berjanji untuk


(38)

melakukan kebijaksanaan-kebijaksanaan tertentu dimasa yang akan datang. Bedanya dengan perjanjian atau konvensi adalah deklarasi isinya lebih ringkas, padat serta mengenyampingkan ketentuan-ketentuan yang hanya bersifat formal seperti surat kuasa (full powers) ratifikasi dan lain-lainnya. Deklarasi dalam hukum internasional mempunyai ikatan hukum seperti perjanjian-perjanjian lainnya, hanya saja harus dibedakan deklarasi yang dihasilkan oleh Majelis Umum PBB seperti Universal Declaration of Human Rights 1948 yang hanya berupa himbauan kepada negara-negara anggota tanpa adanya ikatan hukum.

g. Final Act

Adalah suatu dokumen yang berisi ringkasan dari laporan sidang dalam suatu konferensi dan juga menyebutkan perjanjian-perjanjian atau konvensi-konvensi yang dihasilkan oleh konferensi tersebut dan terkadang disertai dengan anjuran atau harapan yang sekiranya dianggap perlu. Penandatanganan final act ini sama sekali tidak berarti penerimaan terhadap perjanjian-perjanjian atau konvensi-konvensi yang dihasilkan akan tetapi hanya semacam kesaksian berakhirnya suatu tahap proses pembuatan perjanjian.

h. Memorandum of Understanding

Disingkat dengan MoU merupakan suatu perjanjian yang mengatur mengenai pelaksanaan teknik operasional dari suatu perjanjian induk. Sepanjang materi yang diatur itu bersifat teknik, MoU ini dapat berdiri sendiri dan tidak memerlukan adanya perjanjian induk. Jenis perjanjian ini pada umumnya dapat segera berlaku setelah penandatanganan tanpa memerlukan adanya pengesahan.


(39)

  39

i. Arrangement

Adalah suatu perjanjian yang mengatur teknik operasional suatu perjanjian induk. Dalam kaitannya ini, arrangement juga dapat dipakai untuk melaksanakan proyek-proyek jangka pendek yang betul-betul bersifat teknik misalnya Arrangement Studi Kelayakan Proyek Tenaga Uap di Aceh yang ditandatangani pada tanggal 19 Februari 1979. terkadang juga dipakai istilah Special Arrangement untuk pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang terdapat dalam persetujuan-persetujuan kerjasama teknik. Perlu diketahuai juga bahwa persetujuan-persetujuan kerjasama tersebut hanya menyebutkan bidang-bidang kerjasama saja sedangkan pelaksanaan tiap-tiap bidang serta hak-hak dan kewajiban-kewajiban pihak-pihak akan diatur oleh Special Arrangement.

j. Exchange of Notes

Pertukaran Nota merupakan perjanjian internasional yang bersifat umum, memiliki banyak persamaan dengan perjanjian dalam hukum perdata. Perjanjian ini dilaksanakan dengan mempertukarkan dua dokumen, yang ditandatangani oleh kedua belah pihak pada masing-masing dokumen. Dalam prosedur umum, negara penerima mengulangi secara utuh isi daripada surat yang diberikan oleh negara pengusul perjanjian tersebut dan selanjutnya menerima usulan dari perjanjian tersebut. Biasanya nota yang dipertukarkan tersebut berisikan kesepakatan-kesepakatan yang telah dicapai dengan tanggal yang sama dan mulai berlaku pada tanggal tersebut kecuali bila pihak-pihak menentukan lain.

Pertukaran nota atau surat juga sering digunakan untuk penjelasan pasal-pasal tertentu dari suatu persetujuan atau perpanjangan suatu persetujuan. Agar terhindar dari kemungkinan dibuatnya banyak nota sehingga pertukaran nota


(40)

tersebut menjadi surat-menyurat maka praktek nya sekarang ini menganjurkan agar dicapai dulu kesepakatan mengenai isi nota-nota tersebut sebelum dipertukarkan.

3. Dasar Hukum Pengaturan Perjanjian Internasional

Dasar hukum perjanjian internasional adalah pasal 38 ayat 1 piagam mahkamah Internasional, yang menyatakan perjanjian internasional harus diadakan oleh subjek hukum internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional. Perjanjian internasional adalah sebagai sumber hukum internasional dengan alasan: Perjanjian internasional lebih menjamin kepastian hukum, karena perjanjian internasional diadakan secara tertulis Perjanjian internasioanl mengatur masalah-masalah bersama yang penting dalam hubungan antara subjek hukum internasional Selain itu, landasan hukum adalah kepentingan riel: keperluan suatu negara memenuhi kebutuhan warga negara dengan bekerja sama berdasarkan perjanjian internasional.18

Kerja sama internasional adalah bentuk hubungan yang dilakukan oleh suatu negara dengan negara lain yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan rakyat dan untuk kepentingan negara-negara di dunia. Kerja sama internasional, yang meliputi kerja sama di bidang politik, sosial, pertahanan keamanan, kebudayaan, dan ekonomi, berpedoman pada politik luar negeri masing-masing.

4. Pembuatan Perjanjian Internasional

Perundingan dalam suatu konferensi internasional baik yang bersifat bilateral maupun yang bersifat multilateral pada umumnya dilakukan oleh utusan-      


(41)

  41

utusan yang ditunjuk oleh Presiden atau Menteri Luar Negeri. Pada perundingan untuk persoalan-persoalan tertentu terkadang Presiden dan Menteri Luar Negeri sendiri atau Menteri lainnya sesuai dengan bidangnya masing-masing yang memimpin delegasi.

Dalam praktek internasioanl utusan-utusan suatu negara ke suatu konferensi internasional biasanya dilengkapi dengan surat kuasa (full powers). Full powers menurut Konvensi Wina adalah suatu dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dari suatu negara yang menunjuk satu atau beberapa utusan untuk mewakili negaranya dalam berunding, menerima atau membuktikan keaslian naskah suatu perjanjian, menyatakan persetujuan negara untuk diikat suatu perjanjian atau melaksanakan perbuatan lainnya sehubungan dengan suatu perjanjian.

Pada zaman dahulu Full Powers mempunyai arti yang sangat penting bagi raja-raja dalam mengirimkan utusan-utusannya untuk berunding yang mana selalu dilengkapi dengan Full Powers. Pada saat ini di era modern Full Powers tidak lagi memiliki arti sepenting tersebut mengingat perkembangan zaman dan hanya mempunyai arti formal saja. Bahkan pada saat ini penunjukan Surat Kuasa itu tidak selalu mutlak sebagaimana yang diatur dalam pasal 7 ayat 1 (b) Konvensi Wina yang menyatakan bahwa wakil dari suatu negara dalam suatu perundingan dapat dibebaskan dari surat kuasa kalau memang demikian praktek dari negara yang bersangkutan.19

Demikian halnya dengan utusan yang tidak mempunyai Full Powers pun dapat ikut membuat suatu perjanjian asal saja dikonfirmasikan kemudian oleh       

  19 Mauna Boer, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era


(42)

pemerintahnya. Walaupun arti dari surat kuasa ini tidak sepenting pada zaman dahulu, akan tetapi masih tetap diperlukan terutama pada saat penandatanganan suatu perjanjian internasional agar diketahui bahwa utusan yang menandatangani tersebut betul betul merupakan wakil yang sah dari negaranya.

Dengan demikian, Konvensi Wina hanya menyebut Full Powers sebagai satu-satunya dokumen yang harus dimiliki oleh seorang utusan atau delegasi ke suatu konferensi internasional atau untuk semua tahap treaty-making process.

Berdasarkan pendapat para ahli hukum internasional ada beragam pendapat diantara ahli tentang masalah ini. Mochtar Kusumaatmaja (1982) menegaskan bahwa berdasarkan praktik di beberapa negara, dikenal 2 cara pembentukan perjanjian internasional:20

a. Tahap-tahap pembuatan perjanjian internasional melalui tiga tahapan yaitu: 1) Tahap Perundingan (negotiation)

Pada tahap ini pihak-pihak akan mempertimbangkan terlebih dahulu materi yang hendak dicantumkan dalam naskah perjanjian. Materi tersebut ditinjau dari sudut pandang politik, ekonomi maupun keamanan dan juga mempertimbangkan akibat-akibat yang akan muncul setelah perjanjian disahka. Penunjukkan wakil suatu negara dalam perundingan diserahkan sepenuhnya kepada negara bersangkutan.

2) Tahap Penandatangan (signature)

Tahap penandatanganan diakhiri dengan penerimaan naskah (adoption of the text) dan pengesahan (authentication of the text). Apabila koferensi tidak menentukan cara pengesahan maka pengesahan dapat dilakukan dengan       

20


(43)

  43

penendatanganan, penandatanganan sementara atau pembubuhan paraf. Dengan menandatangani suatu naskah perjanjian, berarti suatu negara telah menyetujui untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian.

3) Tahap Ratifikasi (ratification)

Meskipun delegasi suatu negara telah menandatangani suatu perjanjian internasional, tidak berarti bahwa negara tersebut secara otomatis terikat pada perjanjian itu. Negara tersebut baru terikat pada materi/ isi perjanjian setelah naskah tersebut diratifikasi.

b. Melalui dua tahapan yaitu perundingan dan penandatanganan.

Cara yang pertama diadakan untuk hal-hal yang dianggap penting, sehingga perlu persetujuan dari DPR. Sedangkan cara kedua untuk perjanjian internasional yang tidak begitu penting dan memerlukan penyelesaian yang cepat seperti misalnya perdagangan yang berjangka waktu pendek. Hampir senada dengan Mochtar Kusumaatmaja, Pierre Fraymond (1984) mengemukakan 2 prosedur pembuatan perjanjian internasional yaitu:

1. Prosedur normal atau klasik.

Prosedur ini mengharuskan adanya persetujuan parlemen, dengan melalui tahap perundingan, penandatanganan, persetujuan parlemen, dan ratifikasi.

2. Prosedur yang disederhanakan (simplified).

Prosedur ini tidak mensyaratkan persetujuan parlemen dan ratifikasi. Prosedur ini timbul untuk penyelesaian secara cepat.

Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa perbedaan ke dua prosedur terletak pada perlu atau tidaknya persetujuan parlemen dalam pembuatan perjanjian internasional.


(44)

Berdasarkan hukum posisitf Indonesia dalam Pasal 11 ayat 1 UUD 1945 disebutkan bahwa Presiden dengan persetujuan DPR membuat perjanjian dengan negara lain. Dalam hal bahwa suatu perjanjian menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat terkait dengan beban keuangan negara, dan atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang, maka pembuatan perjanjian internasional harus dengan persetujuan DPR.21

Ketentuan lebih lanjut tentang pembuatan perjanjian internasional diatur dengan UU Nomor 24 tahun 2000. Dalam UU ini ditegaskan pula bahwa pembuatan perjanjian internasional dilakukan melalui tahap:22

1. Penjajakan 2. Perundingan 3. Perumusan naskah

4. Penerimaan naskah perjanjian 5. Penandatanganan

6. Pengesahan naskah perjanjian

Pengesahan naskah perjanjian (authentication of the text) adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi (accession), penerimaan (acceptance), dan persetujuan (approval).

5. Kekuatan Mengikat dari Perjanjian Internasional

Kekuatan mengikat dari suatu perjanjian internasional erat kaitannya dengan ratifikasi. Ratifikasi perjanjian internasional merupakan hal menarik dan       

21

Ibid 17

  22


(45)

  45

sangat penting dibahas karena berkaitan erat dengan kekuatan mengikat suatu perjanjian internasional. Ratifikasi tersebut tidak hanya menjadi persoalan hukum internasional, tetapi juga merupakan persoalan hukum nasional ( Hukum Tata Negara). Hukum internasional hanya menentukan pentingnya suatu perjanjian internasional diratifikasi, sedangkan tata cara pemberian ratifikasi perjanjian diatur oleh hukum nasional masing- masing Negara.

Berdasarkan uraian dimuka akan dibahas implementasi ratifikasi perjanjian internasional di Indonesia setelah berlakunya UU No . 24 Tahun 2000.

Hubungan luar negeri dan kerjasama internasional yang dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain ,organisasi internasional, dan subyek-subyek hukum internasional lain, secara umum diwujudkan dalam bentuk perjanjian internasional. Hal ini sesuai dengan isi Pembukaan UUD 1945 . Disamping itu, perjanjian internasional merupakan pelaksanaan Pasal 11 UUD 1945 dan perubahannya (1999).

Indonesia sebagai Negara merdeka dan berdaulat, melaksanakan hubungan luar negeri serta kerjasama internasional berdasarkan pada asas kesamaan derajat, saling menghormati dan saling tidak mencampuri urusan dalam negeri masing- masing, sejalan dengan amanat Pancasila dan UUD 1945. Pedoman yang digunakan untuk membuat dan mengesahkan perjanjian internasional di Indonesia sebelum tahun 2000 terdapat dalam Surat Presiden No . 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus 1960, yang mengatur mengenai pengesahan melalui undang- undang atau Keputusan Presiden.23 Sebelum UU No. 21 Tahun 2000 berlaku masih terdapat kesimpang siuran dan belum terdapat keseragaman dan pedoman yang jelas       

23


(46)

mengenai tata cara pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional. Hal ini disebabkan oleh karena tidak adanya peraturan perundang- undangan sebagai pelaksana ketentuan Pasal 11 UUD 1945, yang ada hanya Surat Presiden No . 2826/HK/1960 kepada ketua Dewan Perwakilan Rakyat mengenai penafsiran terhadap Pasal 11 UUD 1945 khususnya tentang masalah substansi perjanjian internasional, dan perjanjian internasional yang membutuhkan persetujuan dan pengesahan oleh Dewan Perwakilan, dan perjanjian internasional yang cukup disampaikan untuk diketahui saja oleh DPR.24

Surat Presiden tersebut pada pokoknya membagi perjanjian internasional atas dua pengertian, yaitu perjanjian terpenting (treaties), yang akan disampaikan pemerintah kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan DPR dan perjanjian lain (agreements) yang akan disampaikan kepada DPR untuk diketahui setelah disahkan oleh presiden. Walupun surat presiden tersebut telah berlaku sebagai suatu pedoman dan menetapkan kriteria perjanjian internasional yang termasuk dalam pengertian perjanjian terpenting namun dalam perkembangan dewasa ini terdapat ketidak jelasan atas bidang perjanjian sehingga dianggap pembuatan dan pengesahannya telah mengalami keracuan dan kesimpangsiuran. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia berusaha menyusun Rancangan Undang- undang Perjanjian internasional, yang akhirnya pada tanggal 23 Oktober 2000 disahakanlah Undang-undang perjanjian internasional yaitu Undang-Undang-undang No.24 Tahun 2000 (selanjutnya disingkat UUPI). Undang-undang inilah yang menjadi dasar hukum dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional di Indonesia.25

      

24

Ibid 20

  25


(47)

  47

Landasan hukum mengenai pembuatan Undang- undang mengenai perjanjian internasional antara lain Pasal 11 UUD 1945 dan perubahannya (1999) dan UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri . Selain itu Undang – undang tersebut membuat prinsip-prinsip yang tercantum dalam Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional yang berlaku secara universal dan dijadikan pedoman bagi masyarakat internasional dalam membuat dan mengesahkan perjanjian internasional.

Berdasarkan Pasal 9 ayat (2) UUPI, dalam prakteknya ada dua macam pengesahan perjanjian internasional di Indonesia, yaitu dengan Undang-undang dan keputusan presiden. Dalam menentukan ratifikasi perjanjian internasional (akan diratifikasi dengan Undang-undang atau dengan Keppres), dilihat dari substansi atau materi perjanjian bukan berdasarkan bentuk dan nama (nonmenclature) perjanjian, dan dilakukan oleh Departemen Luar Negeri. Klasifikasi menurut materi perjanjian dimaksud agar terciptanya kepastian hukum dan keseragaman atas bentuk pengesahan perjanjian internasional dengan Undang-Undang Pengesahan perjanjian internasional yang dilakukan dengan Undang- undang apabila berkenaan dengan (Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2000):26 a. Masalah politik , perdamaian dan keamanan negara;

b. Perubahan wilayah dan penetapan batas wilayah Negara Republik Indonesia ; c. Kedaulatan atau hak berdaulat Negara;

d. Hak asasi manusia dan lin gkungan hidup; e. Pembentukan kaidah hukum baru ; f. Pinjaman dan atau hibah luar negeri.       

  26

Suryokusumo Sumaryo. Hukum Perjanjian Internasional. ( Jakarta :Tatanusa. 2008) .hal 72


(48)

Khusus mengenai pinjaman dan / hibah luar negeri berserta persetujuannya oleh Dewan Perwakilan Rakyat akan diatur oleh Undang- undang tersendiri. Hal ini telah dibicarakan dalam rapat pembahasan rancangan UUPI dalam keterangan pemerintah mengenai RUUPI pada tanggal 22 Mei 2000, ketika dijelaskan bahwa hal tersebut dikarenakan materi tentang “Pinjaman Luar Negeri”sifatnya khusus dan perlu diatur tersendiri. Landasan pemikiran tersebut didasarkan pada suatu pembicaraan dan pembahasan yang intensif dan komprehensif dengan Departemen keuangan, Bank Indonesia ,dan Bappenas mengenai masalah ini. Pinjaman luar negeri tidak dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang tentang pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:27

a. Saat ini pinjaman luar negeri pemerintah mengacu pada ketentuan dalam Indische Comptabilitets Wet/ICW, sementara pinjaman luar negeri yang diterima oleh bank Indonesia mengacu pada Undang- undang Bank Indonesia No. 23 Tahun 1999 yang penggunaannya berkaitan dengan pengelolaan cadangan devisa ,sebagai bagian dari pelaksanaan kebijakan moneter.

b. Berdasarkan praktek yang berlaku selama ini, pagu (plafon) pinjaman luar negeri telah disetujui oleh DPR berdasarkan disahkanya Undang- undang APBN pada setiap tahun anggaran, sehingga secara otomotis persetujuan DPR terhadap jumlah pinjaman luar negeri telah diperoleh pada saat disetujuinya Undang-Undang APBN.

c. Untuk melaksanakan kebijakan ekonomi sebagaimana diamanatkan dalam Bab IV TAP MPR No. IV /MPR/1999 tentang GBHN 1999-2004 yang       

27


(49)

  49

diarahkan untuk mengoptimalkan penggunaan pinjaman luar negeri Pemerintah sebagai kegiatan ekonomi yang produktif dan pelaksanaannya dilakukan secara transparan, efektif dan efisien, maka Pemerintah sedang merancang RUU yang mengatur mekanisme dan prosedur pinjaman luar negeri.

d. Oleh karena sifat perjanjian pinjaman luar negeri sangat khusus dan agar proses penerimaan pinjaman luar negeri yang dibutuhkan untuk menunjang pembangunan ekonomi Indonesia tidak mengalami hambatan-hambatan, maka mekanisme persetujuan DPR perlu diatur secara komprehensif sehingga memerlukan pengaturan secara khusus dalam UU tersendiri.

Selanjutnya pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk dalam pasal 10 tersebut dilaksanakan dengan keputusan presiden (pasal 11 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2000). Pengesahan perjanjian melalui keputusan presiden dilakukan bagi perjanjian yang memasyarakatkan adanya pengesahan sebelum mulai berlakunya perjanjian tetapi memiliki materi yang bersifat prosedural dan memerlukan penerapan dalam waktu singkat tanpa mempengaruhi peraturan perundang-undangan nasional. Jenis- jenis perjanjian yang termasuk dalam kategori ini, diantaranya adalah perjanjian induk yang menyangkut kerjasama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, teknik, perdagangan, kebudayaan, pelayaran, niaga, penghindaran pajak berganda,dan kerjasama perlindungan penanaman modal, serta perjanjian-perjanjian yang bersifat teknis (penjelasan atas UU No. 24 Tahub 2000).28

      

28


(50)

Berdasarkan ketentuan tersebut dimuka dapat diketahui bahwa dasar hukum pengesahan perjanjian internasional dengan Undang- undang adalah Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2000, sedangkan dasar hukum pengesahan melalui keputusan presiden ialah pasal 11 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2000.Setelah penandatanganan, instansi/departemen teknis terkait sebagai Vocal poin-nya menyiapkan bahan-bahan berupa dokumen-dokumen yang telah di-Certified True Copy oleh departemen luar negeri . Dokumen-dokumen yang perlu dipersiapkan oleh lembaga pemrakarsa adalah (Pasal 12 UU No. 24 Tahun 2000):29

a. Salinan naskah perjanjian ; b. Terjemahan ;

c. Rancagan Undang-undang/Rancangan keputusan presiden tentang pengesahan perjanjian internasional ;dan ;

d. Dokumen-dokumen lain yang diperlukan .

Lembaga pemrakarsa dalam membuat rancangan Undang- undang (RUU)/ rancangan keppres (RKP) pengesahan perjanjian, dilakukan bersama-sama dengan departemen luar negeri atau dapat pula dilakukan oleh lembaga pemrakarsa itu sendiri dengan diketahui oleh departemen luar negeri. Sifat RUU/RKP pengesahan perjanjian internasional adalah sangat sederhana, biasanya hanya terdiri dari pasal yang berisi kalimat pengesahannya. Apabila terdapat reservasi/ persyaratan, disebutkan dalam RUU/RKP tersebut. Setelah menyiapkan semua dukumen yang dipersyaratkan dalam Pasal 12, lembaga pemrakarsa

      

  29


(51)

  51

mengirimkannya ke departemen luar negeri untuk selanjutnya departemen luar negeri meneruskan ke secretariat negara dan memulai proses ratifikasi.30

6. Akibat-akibat yang ditimbulkan Perjanjian Internasional

Perjanjian Internasional mengikat para pihak (prinsip pacta sunt servanda). Selanjutnya negara-negara pihak pada suatu perjanjian harus menerapkan ketentuan ketentuan dari perjanjian tersebut didalam peraturan perundang-undangan nasional. Sehubungan dengan hal tersebut maka akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perjanjian internasional akan dibagi kedalam 3 sub-bagian yaitu:31

1) Akibat-akibat perjanjian terhadap negara-negara pihak; 2) Akibat perjanjian terhadap negara lain;

3) Implementasi perjanjian pada peraturan perundang-undangan nasional Akibat Perjanjian Terhadap Negara-negara Pihak

Perjanjian sebagai sumber utama hukum internasional, dimana dia mengikat negara-negara pihak. Sifat mengikat ini mempunyai makna bahwa negara-negara pihak suatu perjanjian harus mentaati dan menghormati pelaksanaan daripada perjanjian tersebut. Pasal 26 Konvensi Wina tentang Hukum perjanjian dalam hal ini menyatakan bahwa Tiap-tiap perjanjian yang berlaku mengikat negara-negara pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik atau in good faith. Prinsip ini merupakan dasar pokok daripada hukuk perjanjian internasional dan telah diakui secara universal dan yang merupakan bagian dari prinsip-prinsip hukum umum (general principles of law). Peradilan-peradilan dan       

30

Perjanjian internasional,(www. dfa-departemen luar negeri.co.id). Rabu 08/01/2014

31

Mauna Boer, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global,(Bandung: P.T Alumni,2001), hal 135


(52)

arbitrasi internasional dalam keputusan-keputusannya selalu menyebut prinsip itikad baik tersebut. Pasal 2 Piagam PBB pun menyatakan dalam ayat 2 nya antara lain:

Semua negara harus melaksanakan dengan itikad baik semua kewajiban-kewajiban sesuai dengan Piagam.

Akibat Perjanjian Terhadap Negara Lain

Apakah perjanjian-perjanjian juga dapat berlaku bagi negara-negara lain? Disini berlaku prinsip terkenal yang dinamakan pacta tertiis nex nocent nec prosunt yang berarti bahwa perjanjian-perjanjian tidak dapat menimbulkan kewajiban-kewajiban dan memberikan hak pada negara ketiga. Sebagai contoh jurisprudensi, kita dapat menyebut kasus Pulau Palmas, yaitu sangketa antara Amerika Serikat dan Belanda mengenai pulau tersebut. Hakim internasional Mac Huber dalam keputusannya tahun 1928 menyatakan:

Disamping itu jelaslah juga bahwa perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh Spanyol dan negara-negara ketiga yang mengakui kedaulatannya di Filipina tidak akan dapat mengikat negeri Belanda.

Sebagaimana kita ketahui perjanjian-perjanjian tidak memberikan hak kepada negara ketiga. Jadi suatu negara tidak dapat menuntut hak dari ketentuan-ketentuan suatu perjanjian bila negara tersebut bukan pihak pada perjanjian tersebut. Tetapi ada beberapa pengecualian terhadap prinsip-prinsip yang disebut diatas yaitu:32

a) Perjanjian yang dapat mempunyai akibat kepada negara ketiga atas persetujuan mereka.

      

32

Mauna Boer, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global,(Bandung: P.T Alumni,2001), hal 145


(53)

  53

b) Perjanjian yang memberikan hak-hak kepada negara ketiga.

c) Perjanjian yang dapat mempunyai akibat kepada negara ketiga tanpa persetujuan mereka.

B. FCTC (Framework Convention On Tobacco Control) Sebagai Perjanjian Internasional

1. Latar Belakang Diadakannya Perjanjian FCTC

Sebelum kita membahas lebih lanjut masalah pengendalian perdagangan tembakau didunia serta pengaruhnya terhadap hukum nasional Indonesia hendaknya kita terlebih dahulu membahas mengenai latar belakang dari perdagangan tembakau hingga ke perjanjian FCTC oleh karena itu kita akan membahas awal perdagangan tembakau.

Pada zaman sekarang kita dapat dengan mudah menemukan perkebunan tembakau dimana pun didunia dan mempunyai berbagai jenis, tapi tahukah anda bahwa tembakau itu sebenarnya berasal dari benua Amerika lebih tepatnya amerika selatan, dimana awal penyebarannya ketika para penjelajah lautan dari eropa yaitu Christoper Colombus bersama awak kapalnya menemukan benua amerika (menurut orang Barat) mereka bertemu suku Indian Arawak dan Taino yang sedang merokok tembakau pada 1492. Kemudian setelah bangsa eropa beramai-ramai ke benua Amerika mereka membawa tembakau ke eropa yang ternyata disukai banyak orang disana terlebih lagi setelah seorang Duta Besar Prancis untuk Portugal Jean Nicot de Villeman menuliskan manfaat pengobatan tembakau kepada pengadilan Prancis.33

       33

http://kabarmasasilam.blogspot.com/2012/12/gerakan-anti-rokok-dalam sejarah.html#ixzz2lwW3nrH7. Kamis 09/01/2014


(54)

Hingga 50 tahun kedepan muncul publikasi ilmiah yang menyatakan dan menganggap tembakau berbahaya bagi kesehatan. Berjudul Worked of Chimney Sweepers pada tahun 1602 oleh seorang dokter bernama Phillaretes kemudian disusul dengan pelarangan mengonsumsi tembakau di lingkungan gereja oleh Paus Urban VII, kemudian disusul pelarangan merokok oleh Raja Inggris James I bagi seeluruh rakyat Inggris, tetapi tetap saja tembakau masih menjadi barang komoditas yang di perdagangkan hingga tersebar ke seluruh dunia.34

Pada tahun 1899 muncul gerakan anti-tembakau di Amerika Serikat yang melibatkan masyarakat luas, dimana diketuai dan didirikan oleh Lucy Page Gaston seorang tokoh gerakan Women’s Christian Temperance Union yang mendirikan Anti-Cigarettes League of America. Inilah gerakan anti tembakau pertama didunia yang tercatat didalam sejarah, kemudia disusul kebijakan anti-tembakau di Jerman pada masa Nazi yang disebabkan oleh hasil penelitian Franz H. Muller dari University of Cologne’s Pathological Institute pada 1939 yang menemukan hubungan kuat meningkatnya kasus kanker paru-paru dengan meningkatnya penjualan rokok. lalu ditengah hangatnya perdebatan pro-kontra tembakau di Jerman, perusahaan-perusahaan dari pecahan American Tobacco mulai berkembang sebagai perusahaan trans-nasional. Produk tembakau dari perusahaan ini (termasuk dari perusahaan Inggris British America Tobacco dan Imperial Tobacco) mulai diperdagangkan dan menyebar keseluruh dunia dan yang anehnya industri tembakau ini menjadi sahabat dekat industri kesehatan, dimana

      

  34


(55)

  55

perusahaan rokok di Amerika Serikat menempatkan iklannya di jurnal-jurnal medis dan memberikan bantuan pendanaan bagi penelitian-penelitian medis.35

Pada saat yang sama di Indonesia, industri tembakau khususnya industri kretek menjadi primadona bagi pemerintah kolonial Belanda. Itu sebabnya, perjalanan kebijakan anti-tembakau tidak ikut mewarnai perjalanan sosial, politik, hukum dan budaya di Indonesia. Bahkan pada era 1930-an bisa kita katakan sebagai era ke emasan industri kretek di Hindia-Belanda (Indonesia). Setelah lewat masa Perang Dunia II tepatrnya di tahun 1950-an merupakan awal mula pro-kontra tembakau di era modern. Hal ini dikarenakan adanya hasil riset epidemiologi yang menghubungkan tembakau dengan kanker paru-paru dan penyakit lain terkait dengan kesehatan paru paru yang dipublikasikan oleh Journal of American Medical Association (JAMA) dan British Medical Journal (BMJ). Publikasi dari JAMA dan BMJ itulah yang menjadi rujukan gerakan anti-tembakau hingga saat ini.36

Menasuki dasawarsa 90-an, gerakan anti-tembakau semakin menguat dan mencapai puncaknya di Amerika Serikat. Hal ini antar lain ditandai dengan pemboikotan produk tembakau yang dipelopori kalangan intelektual dan akademisi. Dampaknya terjadi penjualan besar-besaran saham perusahaan-perusahaan tembakau di lantai bursa. Walaupun tidak memberikan efek kehancuran pada industri tembakau, aksi boikot itu dapat dikatakan telah mempengaruhu industri tembakau secara keseluruhan pada waktu itu. Kebijakan       

  35 Ibid 33 36

Ibid 33  


(56)

anti-tembakau semakin kuat, ketika pada bulan Mei 1995 muncul sebuah wacana untuk membentuk hukum internasional pengendalian tembakau yang kemudian menghasilkan resolusi World Health Assembly (WHA 48.11). Tiga tahun kemudian, ketua WHO dokter Gro Harlem Burtland mulai memfokuskan pengendalian tembakau menjadi isu internasional lewat program Tobacco Free Initiative.37

Pada tahun 1999, WHO beserta negara anggota memprakarsai rancangan naskah Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control / FCTC), kemudian ditetapkan pada tanggal 28 mei 2003 di jenewa.38

Setelah disepakati secara aklamasi dalam sidang World Health Assembly pada bulan Mei 2003, FCTC memasuki proses penandatanganan oleh negara-negara anggota. Secara keseluruhan, urutan proses yang harus dilalui sampai FCTC menjadi perangkat hukum internasional yang mengikat adalah sebagai berikut:39

Langkah 1. Mei 2003. Adopsi oleh Majelis Kesehatan Dunia (World Health Assembly)

Pada bulan Mei 2003, Majelis Kesehatan Dunia dengan suara bulat mengadopsi FCTC

Langkah 2. Penandatanganan Perjanjian

      

  37

Ibid 33

38

Perjanjian FCTC, http://www.tcsc.com//html. Rabu 25/12/2013

39


(1)

  132

dalam pasal pasal FCTC lebih banyak mengatur mengenai perdagangan tembakau padahal awal pembentukannya dikarenakan faktor kesehatan.

Pemerintah Indonesia walaupun belum meratifikasi perjanjian FCTC tetapi tetap memiliki kebijakan terhadap perdagangan tembakau dalam negeri hal ini terbukti dengan beberapa peraturan tentang tembakau walaupun beberapanya tidak spesifik mengatur tembakau. beberapa peraturan tersebut yaitu: Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, Undang-Undang-undang No 39 Tahun 2007 tentang Cukai, Undang-undang No 28 tahun 2009 tentang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Undang-undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan Peratutan Pemerintah No 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan yang benyak menuai pro dan kontra.

3. Usaha pemerintah dalam mengadopsi isi perjanjian FCTC sudah terlihat dari pengesahan Peraturan Pemerintah No 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, dimana didalam peraturan tersebut banyak pasal pasal yang mirip atau mengadopsi pasal-pasal dari perjanjian FCTC, akan tetapi Peraturan Pemerintah tersebut banyak mendapat protes dari kalangan industri tembakau dan petani dalam negeri dikarenakan mengesampingkan kesejahteraan industri, buruh dan petani tembakau padahal tembakau banyak memberikan sumbangan devisa bagi negara terutama dari cukai tembakau dan memberikan lapangan kerja bagi ribuan orang di Indonesia.

Dikarenakan protes tersebut dan berbagai pertimbangan, maka pemerintah pada tahun 2013 ini seng menyusun Rancangan Undang Undang mengenai


(2)

tembakau yang sudah masuk Prolegnas, dimana Undang-undang ini katanya selain memberikan perlindungan kesehatan bagi masyarakat dari bahaya rokok dan tembakau tetapi juga memberikan perlindungan hukum bagi industri dan petani tembakau dalam negeri.

B. Saran

Berbekal dari kesimpulan dalam kajian ini, maka perlu memberikan beberapa saran berkaitan dengan Pengendalian Perdagangan Tembakau Internasional Ditinjau Dari FCTC dan Pengaruhnya terhadap Hukum nasional Indonesia, yaitu:

1. Kepada pemerintah Indonesia terutama dari Kementrian Kesehatan sebaiknya perlu menimbang lebih matang dan tidak terburu-buru dalam meratifikasi perjanjian/konvensi FCTC, karena WHO melalui FCTC lebih banyak mengatur pengaturan perdagangan dari pada kesehatan serta perjanjian FCTC ini digunakan beberapa pihak sebagai alat persaingan perdagangan tembakau yang menggiurkan, jadi pertimbangan pemerintah diharapkan agar pertentangan antar hak atas kesehatan dengan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dapat mencapai titik temu.

2. Kepada pemerintah sebaiknya lebih mendukung industri dan petani tembakau dalam berbagai bentuk seperti dalam PP, Peraturan Menteri hingga Undang-undang dikarenakan kontribusinya untuk penerimaan negara dari sektor pajak dan cukai serta devisa, bahkan kontribusi bagi pemenuhan lapangan kerja. Karena puluhan ribu orang menggantungkan hidup mereka dalam industri pengolahan tembakau, untuk melindunginya dari serbuan perdagangan impor.


(3)

  134

3. Kepada pemerintah sebaiknya perlu mengeluarkan peaturan hukum yang disatu sisi melindungi kesehatan masyarakat, tetapi disisi lain melindungi kepentingan dari industri dan petani tembakau dalam negeri sehingga pemerintah perlu mencabut PP No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Rokok Bagi Kesehatan karena tidak sesuai dengan judulnya yang mengatur kaitan produk tembakau dengan zat adiktif yang mana mengatur hal-hal yang berkaitan dengan produk, kemasan bungkusnya, pembatasan dan pengekangan perdagangan, serta promosi dan iklan.


(4)

Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Bandung. Alumni, 2001.

Herjuno Kinasih, Tembakau Negara dan Keserakahan Modal Asing, Jakarta. Indonesia Berdikari, 2012.

Pinanjaya Okta, Muslihat Kapitalis Global, Selingkuh Perusahaan Farmasi dengan Perusahaan Rokok AS. Jakarta. Indonesia Berdikari. 2012.

Radjab Suryadi , Dampak Pengendalian Tembakau Terhadap Hak-Hak Ekonomi,

Sosial dan Budaya. Jakarta.Serikat Karakyatan Indonesia dan Center For

Law and Order Studies. 2008.

Suryokusumo Sumaryo. Hukum Perjanjian Internasional. Jakarta. Tatanusa.2008. Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang No 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009, Tentang Kesehatan.

Undang Undang Nomor 39 Tahun 2007, Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 11 Tahun 1995 Tentang Cukai.

Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999, Tentang Perlindungan Konsumen. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2000, Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 1999, Tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan.

Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012, tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003, Tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.


(5)

  136

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 81 tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan.

Perjanjian Internasional

Konvensi Kerangka kerja Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control)

Website

www. Depdeinas.com

www.Indonesia ESC Rights Action Network.com.     www.universitas hasanuddin.com. www.hestian3kj2.blogspot.com. www.yahooanswer.com.   www. hukumonline.com. www.unfpa.org/rights/principles.com. www.dfa-departemen luar negeri.com. www.tribun jabar.com. www.pusdiklatbeadancukai.com. www.tcsc.com. www.tribunnews.com. www.wikipediabahasaia Indonesia.com. Makalah

Atte Sugandi, ”Situasi Sosial Politik menghadapi Pemilu 2009: Tantangan dan Peluang untuk Advokasi Pengendalian Tembakau”. Presentasi pada Workshop Jaringan Pengendalian Dampak Tembakau, Novotel Bogor, 11-13 Januari 2009.

Jeane Sally, Laporan Akhir Penelitian Hukum Efektivitas Peraturan Terkait

Pengendaliann Produk Tembakau Terhadap Kesehatan, Jakarta:


(6)