Hubungan Faktor Mekanik dan Faktor Psikososial Terhadap Nyeri Punggung Bawah dan Nyeri Kepala Primer Pada Perawat

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 NYERI PUNGGUNG BAWAH
II.1.1 Definisi
Nyeri punggung bawah (NPB) adalah nyeri yang dirasakan di
daerah punggung bawah, diantara sudut iga paling bawah dan sakrum
(Suryamiharja A,2011).
II.1.2 Epidemiologi
Di Indonesia prevalensi NPB sekitar 18%, sedangkan di negara
luar seperti Amerika Serikat prevalensi ini bisa mencapai 15-20% per
tahunnya (Suryamiharja A,2011).
Prevalensi nyeri punggung bawah pada populasi dewasa bervariasi
sesuai usia. Kecenderungan seseorang mengatakan pernah mengalami
nyeri punggung bawah dalam hidupnya adalah sekitar 80% pada usia 60
tahun dan 20% sisanya lupa pernah mengalami nyeri punggung bawah
atau pernah mengalaminya namun merasa itu adalah bagian dari keadaan
normal dan tidak perlu dilaporkan. Pada usia 40 tahunan prevalensinya
lebih tinggi pada wanita, sedangkan setelah usia 50 tahun prevalensi ini
sedikit meningkat pada pria (Haldeman SD dkk, 2002).
Profesi perawat menempati urutan ketiga di antara profesi lainnya

yang paling sering terkena penyakit ini. Prevalensinya bisa mencakup 7376 % diantara perawat di Jerman, 86% pada perawat di Italia dan 80,9%

Universitas Sumatera Utara

pada perawat di Hongkong (Nia dkk,2011). Pada suatu studi yang
dilakukan di Afrika, dari 408 responden perawat (148 pria dan

260

wanita), yang terkena NPB dalam waktu satu tahun mencapai 300
responden (73,53%). Nyeri punggung bawah ini lebih sering mengenai
perawat wanita (68%) dibandingkan perawat pria (32%) (Sikiru dkk, 2010).
II.1.3 Etiologi
Penyebab nyeri punggung secara umum dapat dibagi menjadi
penyebab

mekanik

dan


non

mekanik.

Nyeri

punggung

mekanik

merupakan penyebab tersering terjadinya nyeri punggung. Nyeri mekanik
ini meliputi berbagai gangguan akibat penggunaan otot berlebih (nyeri
regang otot), trauma, atau deformitas fisik struktur anatomis seperti pada
hernia

nucleus

pulposus.

Termasuk


dalam

klasifikasi

ini

adalah

osteoarthritis, stenosis spinal, spondilolistesis dan skoliosis dewasa
(Wahjoepramono EJ,2007)
Nyeri punggung non mekanik menyangkut masalah medis yang
berkaitan dengan penyakit atau kelainan sistem organ, dan berbagai
penyakit inflamatorik serta infiltratif lainnya.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 1.Berbagai Penyebab Nyeri Punggung
Mekanikal



Non Mekanikal
sprain •

Strain,



lumbal















Neoplasia

Penyakit organ-organ
pelvis

Infeksi

Proses

o Osteomyelitis

o Prostatitis

degeneratif diskus

o Abses epidural


o Endometriosis

dan fascet

o Abses paraspinal

Herniasi diskus

o Penyakit Pott


Stenosis spinal
Fraktur

kompresi

inflamatorik

o Abses perinefrik





Penyakit

Penyakit

o Pankreatitis

o Sindroma Reiter


Aneurisma aorta

gastrointestinal

spondilits

Penyakit
kongenital


o Pielonefritis

o Psoriatic

Fraktur traumatik

Penyakit ginjal

Arthritis

spondylitis

Spondilolistesis



o Nefrolitiasis

o Ankylosing


osteoporotik


Penyakit Organ Visceral

o Kolelitiasis

Paget

Tulang
Dikutip dari: Wahjoepramono EJ. 2007. Medula Spinalis dan Tulang
Bawah. FK-Univ.Pelita Harapan
Penyebab

NPB sebagian besar

(85%) adalah nonspesifik.

Penyebab lainnya yang lebih serius adalah fraktur vertebra, infeksi dan

tumor. Nyeri punggung akibat gangguan mekanik menunjukkan bahwa
sumber nyeri ada di tulang bawah atau struktur yang mendukungnya,

Universitas Sumatera Utara

sedangkan nyeri neuropatik menyatakan bahwa sumber nyeri akibat iritasi
pada radiks saraf.
Diagnosis didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan fisik. Untuk
triase, NPB dibagi menjadi 3 kelompok besar, yaitu :
1. NPB nonspesifik, dengan cirri-ciri :
a. Umur 20-55 tahun
b. Keadaan umum pasien baik
c. Nyeri pada daerah paha, pantat dan lumbosakral
d. Nyeri mekanik
2. NPB karena gangguan neurologis (stenosis kanal dan radikulopati)
a. Adanya nyeri radikular atau iskialgia
b. Nyeri menyebar sampai ke bawah lutut, tidak hanya paha
bagian bawah
c. Riwayat nyeri/kesemutan yang lama
d. Tanda Laseque positif

e. Riwayat gangguan miksi/defekasi/seksual
f. Adanya saddle back anesthesia/hipestesia
g. Adanya kelemahan tungkai dan gangguan gaya jalan
3. NPB akibat penyakit spinal yg serius
a. Usia kurang dari 20 atau lebih dari 55 tahun
b. Adanya riwayat trauma (kecelakaan lalulintas, jatuh dari
ketinggian)
c.

Riwayat adanya karsinoma

Universitas Sumatera Utara

d. Adanya penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas
e. Pemakaian

obat-obatan

imunosupresan/kortikosteroid

sistemik
f. Penyalahgunaan obat/narkoba
g. Riwayat febris dan radang saluran kemih.
Pada anamnesis juga sebaiknya meliputi penilaian terhadap faktor
psikososial karena hal ini merupakan prediktor kuat yang dapat dipakai
untuk meramalkan kemungkinan terjadinya NPB kronik.
II.1.4 Faktor Risiko
Sudah banyak studi prospektif yang dilakukan untuk mempelajari
prediktor terjadinya nyeri punggung bawah dan transisinya menjadi nyeri
punggung kronik. Umumnya studi-studi ini menemukan bahwa faktor
psikologis memiliki peranan yang lebih besar terhadap terjadinya nyeri
punggung yang menetap dibandingkan dengan faktor anatomi (Cohen SP
dkk,2008).
Ada beberapa hal yang menjadi faktor risiko terjadinya nyeri
punggung bawah, yaitu :
1. Faktor Mekanik dan Nyeri Punggung Bawah
Faktor biomekanik seperti kerja fisik yang berat ,mengangkat,
menekuk, terputar, mendorong/menarik, membawa, frekuensi, postur dan
fibrasi telah lama disebutkan di literatur-literatur sebagai faktor risiko bagi
kelainan punggung bawah (Ferguson SA dkk,2011).
2. Faktor Psikososial

Universitas Sumatera Utara

Faktor psikososial dapat mempengaruhi respon psikologis seorang
pekerja terhadap pekerjaannya dan mempengaruhi risiko mengalami
gangguan punggung bawah. Contohnya beban mental di pekerjaan
merupakan risiko terjadinya gejala nyeri punggung bawah. Peningkatan
beban kerja lebih dari 2 kali akan meningkatkan risiko terkena nyeri
punggung bawah. Kepuasan dalam lingkungan pekerjaan berhubungan
dengan keluhan gangguan punggung bawah yang lebih rendah. Tipe
kepribadian yang sangat tergantung pada orang lain dan lingkungan
psikososial yang tidak nyaman akan menyebabkan aktifitas otot
meningkat, selanjutnya menyebabkan peningkatan beban spinal dan risiko
mengalami gangguan tulang belakang. Dukungan rekan kerja yang
rendah juga meningkatkan risiko gangguan punggung bawah empat kali
lipat. Stres di tempat pekerjaan juga meningkatkan insidensi sakit
punggung bawah. Ketika keluhan nyeri punggung bawah menimbulkan
suatu disabilitas, maka faktor psikososial akan memberikan peranan yang
lebih nyata (Ferguson SA dkk,2011).
3. Faktor risiko individual
Faktor risiko individual seperti usia, jenis kelamin, merokok, riwayat
nyeri punggung bawah sebelumnya, ras dan lama kerja merupakan faktor
risiko terjadinya gangguan punggung bawah. Nyeri punggung bawah lebih
sering muncul pada usia-usia 35-55 tahun dan wanita lebih jarang
mengalami nyeri punggung bawah dibandingkan pria. Pegawai baru
cenderung menderita nyeri punggung bawah. Pekerja yang memiliki

Universitas Sumatera Utara

resikio nyeri punggung bawah terkait pekerjaan, 50%nya akan mengalami
nyeri berulang selama tahun pertama (Ferguson SA dkk,2011).
4. Faktor okupasional
Faktor okupasional yang mempengaruhi munculnya NPB adalah
mengangkat benda dengan tangan, pekerjaan yang monoton, dan kontrol
pekerjaan.

Sedangkan

yang

mempengaruhi

kronisitas

adalah

ketidakpuasan dalam pekerjaan, tidak mampu melakukan pekerjaan
ringan, dan mengangkat benda selama lebih dari ¾ hari kerja.
II.1.5 Patofisiologi
Penyebab pasti sebagian besar nyeri punggung bawah baik yang
akut maupun kronis sulit ditentukan, walaupun diperkirakan kebanyakan
karena sebab mekanikal (Meliala S,2003).
Pada punggung bawah terdapat berbagai bangunan yang peka
nyeri. Diantaranya adalah periosteum, 1/3 bangunan luar annulus fibrosus
(bagian

fibrosa

dari

diskus

intervertebralis),

ligamentum,

kapsula

artikularis, fasia dan otot. Semua bangunan tersebut mengandung
nosiseptor yang peka terhadap berbagi stimulus (mekanikal, termal dan
kimiawi). Reseptor-reseptor ini sebenarnya berfungsi sebagai proteksi.
Bila reseptor dirangsang oleh berbagai stimulus lokal, akan dijawab
oleh

berbagai

mediator

inflamasi

dan

substansia

lainnya,

yang

menyebabkan timbulnya persepsi nyeri, hiperalgesia maupun alodinia
yang

bertujuan

mencegah

pergerakan

untuk

memungkinkan

perlangsungan proses penyembuhan. Salah satu mekanisme untuk

Universitas Sumatera Utara

mencegah kerusakan atau lesi yang lebih berat adalah spasme otot untuk
membatasi pergerakan. Spasme otot ini menyebabkan iskemia sekaligus
menyebabkan munculnya titik picu (trigger points) yang merupakan salah
satu kondisi nyeri.
Pembungkus saraf juga kaya akan nosiseptor yang merupakan
akhiran dari nervi nervorum yang juga berperan sebagai sumber nyeri
nosiseptif inflamasi, terutama nyeri yang dalam dan sulit dilokalisir.
Berbagai stimuli seperti mekanikal, termal atau kemikal dapat
mengaktivasi/mensensitisasi nosiseptor. Aktivasi nosiseptor langsung
menyebabkan nyeri dan sensitisasi menyebabkan hiperalgesia. Nyeri
yang timbul akibat aktivasi nosiseptor ini dinamakan nyeri nosiseptif.
Bentuk nyeri lain yang sering timbul pada nyeri punggung bawah adalah
nyeri neuropatik (Meliala L,2003).

II.2.

NYERI KEPALA

II.2.1. Definisi
Nyeri kepala adalah rasa nyeri atau rasa yang tidak mengenakkan
pada seluruh kepala dengan batas bawah dari dagu sampai ke daerah
belakang kepala (area oksipital dan sebahagian daerah tengkuk) (Sjahrir
H, 2008).
II.2.2. Epidemiologi
Berdasarkan hasil penelitian multisenter berbasis rumah sakit pada
5 rumah sakit besar di Indonesia, didapatkan prevalensi penderita nyeri
kepala sebagai berikut: Migren tanpa aura 10%, Migren dengan aura

Universitas Sumatera Utara

1,8%, Episodik Tension type Headache 31%, Chronic tension type
Headache 24%, Cluster Headache 0,5%, Mixed Headache 14% (Sjahrir
H, 2004).
Pada suatu studi di Taiwan, ditemukan bahwa 386 orang dari 779
orang perawat (49,6%) mengalami nyeri kepala primer pada tahun
sebelumnya, dan 374 (48,1%) mengalami episodic tension type
headaches. Setelah dilakukan pemeriksaan neurologis didapati perawat
yang menderita migrain (28,5%), tension hedache (13,4%), mixed migrain
and tension headache (37%), dan penyebab lainnya sebanyak 1,4% (Lin
KC dkk,2007)
II.2.3. Klasifikasi Nyeri Kepala Primer (Sjahrir H dkk, 2013)
Klasifikasi

nyeri

kepala

primer

sesuai

The

International

Classification of Headache Disorders, 2nd Edition adalah:
Untuk nyeri kepala primer secara garis besar klasifikasinya adalah:
1. Migren:
1.1.

Migren tanpa aura

1.2.

Migren dengan aura

1.3.

Sindroma periodik pada anak yang sering menjadi prekursor
migren

1.4.

Migren Retinal

1.5.

Komplikasi migren

1.6.

Probable migren

Universitas Sumatera Utara

2. Tension-type Headache:
2.1.

Tension-type headache episodik yang infrequent

2.2.

Tension-type headache episodik yang frequent

2.3.

Tension-type headache kronik

2.4.

Probable tension-type headache

3. Nyeri kepala klaster dan sefalgia trigeminal-otonomik yang lainnya:
3.1.

Nyeri kepala Klaster

3.2.

Hemikrania paroksismal

3.3.

Short-lasting

unilateral

neuralgiform

headache

with

conjunctival injection and tearing (SUNCT)
3.4.

Probable sefalgia trigeminal otonomik

4. Nyeri kepala primer lainnya:
4.1.

Primary stabbing headache

4.2.

Primary cough headache

4.3.

Primary exertional headache

4.4.

Nyeri kepala primer sehubungan dengan aktifitas seksual

4.5.

Hypnic headache

4.6.

Primary thunderclap headache

4.7.

Hemikrania kontinua

4.8.

New daily-persistent headache

Universitas Sumatera Utara

II.2.4 Patofisiologi Nyeri Kepala
Rangsang nyeri bisa disebabkan oleh adanya tekanan, traksi,
displacement maupun proses kimiawi dan inflamasi terhadap nosiseptornosiseptor yang sensitif terhadap nyeri di kepala. Jika struktur peka nyeri
yang terletak pada atau di atas tentorium serebeli yang dirangsang, maka
rasa nyeri akan timbul terasa menjalar pada daerah di depan batas garis
vertikal yang ditarik dari kedua telinga kiri dan kanan melewati puncak
kepala (frontotemporal dan parietal anterior). Rasa nyeri ini ditransmisi
oleh nervus trigeminal (Sjahrir H,2008).
Rangsangan terhadap struktur yang sensitif terhadap nyeri di
bawah tentorium (yang terletak pada fosa kranium posterior) radiks
servikalis bagian atas dengan cabang-cabang saraf perifernya akan
menimbulkan nyeri pada daerah di bawah garis di atas, yaitu area
oksipital, area suboksipital dan servikal bagian atas. Rasa nyeri ini akan
ditransmisi oleh saraf kranial IX,X dan saraf spinalis C1,C2, C3. Akan
tetapi kadang-kadang bisa juga radiks servikalis bagian atas dan
N.oksipitalis mayor akan menjalarkan nyerinya ke frontal dan mata pada
sisi ipsilateral. Telah dibuktikan adanya hubungan antara inti trigeminal
dengan radiks dorsalis segmen servikal atas. Refleks trigeminoservikal
dapat dibuktikan dengan cara stimulasi n.supraorbitalis. Input eksteroseptf
dan nosiseptif dari refleks trigeminoservikal ditransmisikan melalui
polysinaptic route, termasuk spinal trigeminal nuclei dan mencapai

Universitas Sumatera Utara

motorneuron servikal. Dengan demikian jelaslah bahwa nyeri di leher
dapat sampai di kepala (Sjahrir H,2008)
Pada pasien-pasien tension-type headache didapati adanya
peningkatan sensitisasi nyeri sentral pada level spinal dorsal horn
trigeminal nucleus yang disebabkan oleh input nosiseptif yang lama
masuk dari jaringan perikranial miofasial. Peningkatan input nosiseptif ini
pada struktur supraspinal mengakibatkan sensitisasi dari supraspinal. Hal
ini menyebabkan meningkatnya aktifitas otot-otot perikranial atau terjadi
pelepasan neurotransmitter dari jaringan miofasial sehingga terjadi chronic
tension-type headache (Bendtsen, 2000)

Gambar 1. Regulasi CGRP pada trigeminal ganglia neuron. Aktivasi
nervus tigeminalis menyebabkan pelepasan dari CGRP dan neuropeptida
lain yang merangsang pelepasan mediator-mediator inflamasi. Mediatormediator inflamasi tersebut, termasuk TNF-α, selanjutnya meningkatkan
sintesa dan pelepasan CGRP melalui MAPKs.

Universitas Sumatera Utara

Dikutip dari: Sjahrir H. 2008. Nyeri Kepala dan Vertigo. Yogyakarta:
Pustaka Cendikia Press

Pada migren, aktivasi nukleus Trigeminal melepaskan Calcitonin
Gene Related Peptide (CGRP) yang menyebabkan pelepasan mediator
proinflamasi. Mediator ini meningkatkan CGRP sintase lebih lanjut dan
dilepaskan dalam waktu beberapa jam sampai berhari sesuai dengan
episode waktu 4-72 jam serangan migren. Peningkatan sintesa dan
pelepasan CGRP dimediasi oleh pengaktifan dari jaras mitogen-activated
protein kinase (MAPK), yang pada gilirannya dapat diatur oleh unsur
inflamasi endogen seperti tumor necrosis factor-α (TNF-α) dan yang
dipengaruhi obat seperti sumatriptan (Sjahrir H, 2008).
Patofisiologi nyeri kepala tipe klaster telah menjadi topik penelitian
yang menarik belakangan ini. Pada penderita nyeri kepala klaster ini
ditemukan adanya peningkatan kadar CGRP pada vena jugularis
merefleksikan adanya aktivasi trigeminovaskular, sedangkan peningkatan
vasoactive intestinal peptide menunjukkan adanya aktivasi parasimpatis.
Sementara pada penelitian lainnya telah menduga bahwa vasodilatasi a.
Karotis interna terlibat dalam patogenesis nyeri kepala klaster atau
adanya inflamasi menyebabkan penekanan pada saraf di sinus karotis
dan inilah yang mendasari terjadinya nyeri (Schoenen JS, 2001).
II.3 Faktor Mekanik
Yang termasuk di dalam faktor risiko mekanik pada perawat adalah
aktifitas fisik yang berat, berjongkok/twisting, berlutut atau squatting,

Universitas Sumatera Utara

berdiri lama, dan tugas-tugas keperawatan (mengangkat/memindahkan
pasien) (Sterud T dkk 2013).
Faktor risiko mekanik untuk penyakit-penyakit muskuloskeletal
termasuk didalamnya adalah pengaruh postur tubuh (berlutut atau
memutar), mengangkat beban dengan tangan (mengangkat, membawa,
mendorong atau menarik), vibrasi seluruh tubuh (akibat kendaraan atau
mesin) atau postur badan yang statis (Somville dkk, 2006).
Aktifitas fisik adalah gerak tubuh yang dihasilkan otot otot skeletal
yang memerlukan energi (WHO,2010). Inaktifitas fisik saat ini merupakan
faktor risiko ke empat yang menyebabkan mortalitas secara global.
Derajat inaktifitas fisik ini semakin meningkat di berbagai negara dengan
dampak meningkatnya penyakit-penyakit noncommunicable diseases
(NCDs) dan berdampak pula terhadap status kesehatan populasi di
seluruh dunia.
Rekomendasi derajat aktifitas fisik untuk kesehatan berdasarkan
usia menurut WHO (2010) adalah :
a. Usia 5-17 tahun
1. Anak-anak dan remaja berusia 5-17 tahun harus mengumpulkan
sedikitnya 60 menit aktifitas fisik sedang (moderate intensity
physical activity) hingga aktivitas fisik berat (vigorous intensity
physical activity).
2. Aktifitas fisik yang lebih dari 60 menit per hari akan memberikan
dampak yang menguntungkan bagi kesehatan

Universitas Sumatera Utara

3. Kebanyakan aktifitas fisik harian sebaiknya adalah aktifitas yang
aerobik. Untuk aktifitas fisik berat (vigorous intensity physical
actifity) sebaiknya adalah aktifitas yang dilakukan sendiri, termasuk
didalamnya adalah aktifitas untuk menguatkan otot dan tulang,
paling sedikit 3 kali per minggu.
b. Untuk usia 18- 64 tahun
1. Bagi orang dewasa usia 18-64 tahun sebaiknya melakukan 150
menit per minggu aktifitas fisik moderat, atau paling sedikit 75
menit aktifitas fisik berat (vigorous intensity physical activity)
dalam 1 minggu, atau kombinasi aktifitas moderat dan aktifitas
berat yang ekivalen.
2. Aktifitas yang bersifat aerobik sebaiknya dilakukan paling sedikit
durasi 10 menit
3. Untuk lebih memberikan dampak yang menguntungkan bagi
kesehatan, orang dewasa harus meningkatkan aktifitas fisik
moderatnya menjadi 300 menit per minggu, atau menggunakan
150 menit per minggu untuk aktifitas fisikberat, atau kombinasi
aktifitas fisik moderat dan berat yang ekivalen.
4. Aktifitas untuk meningkatkan kekuatan otot harus dilakukan
dengan melibatkan otot-otot utama selama 2 hari atau lebih.
c. Usia > 65 tahun.
1. Untuk orang dewasa yang berusia > 65 tahun harus melakukan
aktifitas fisik moderat paling sedikit 150 menit per minggu, atau

Universitas Sumatera Utara

sedikitnya 75 menit per minggu melakukan aktifitas fisik berat,
atau gabungan dari aktifitas fisik sedang dan berat yang
ekivalen.
2. Aktifitas aerobik dilakukan sebaiknya selama durasi 10 menit.
3. Untuk memberikan dampak yang lebih menguntungkan bagi
kesehatan, orang-orang pada usia ini sebaiknya meningkatkan
aktifitas fisik moderatnya menjadi 300 menit per minggu, atau
menggunakan 150 menit per minggu untuk melakukan aktifitas
fisik berat, atau melakukan kombinasi aktifitas fisik moderat dan
berat yang ekivalen.
4. Pada usia ini, orang tua dengan mobilitas yang terbatas
sebaiknya

melakukan

aktifitas

fisik

untuk

memperbaiki

keseimbangan dan mencegah jatuh, selama 3 hari atau lebih
per minggu
5. Aktifitas untuk menambah kekuatan otot sebaiknya dilakukan
dengan melibatkan otot-otot utama, selama 2 hari atau lebih per
minggu
6. Bila orang-orang pada usia ini tidak mampu melakukan jumlah
aktifitas fisik yang dianjurkan berhubungan dengan kondisi
kesehatannya, mereka sebaiknya melakukan aktifitas fisik yang
diperkenankan sesuai dengan kondisi fisiknya.
Pengukuran

aktifitas

fisik

mencakup

durasi,

frekuensi

dan

intensitasnya. Durasi diukur dalam menit atau jam yang digunakan untuk

Universitas Sumatera Utara

melakukan suatu aktifitas tertentu. Frekuensi diukur dalam jumlah aktifitas
yang dilakukan, biasanya per minggu. Intensitas diukur dalam usaha yang
dibutuhkan pada suatu aktifitas, biasanya diklasifikasikan sebagai ringan,
sedang atau aktifitas yang memerlukan usaha lebih berat (vigorous)
(Thomas J, 2005).
II.3.1 Peranan Faktor Mekanik Terhadap Nyeri Punggung Bawah
Aktiitas mengurus pasien merupakan penyebab utama terjadinya
NPB diantara pekerja kesehatan. Aktivitas selama melakukan kegiatan ini
termasuk didalamnya adalah mengangkat, memindahkan, mereposisikan
pasien dan alat-alat yang menyebabkan postur tubuh ada dalam posisi
tidak nyaman dan eksersi tubuh yang meningkat. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Holterman dkk (2013) menyimpulkan bahwa melakukan
akifitas patient-handling lebih dari 10 kali per hari akan meningkatkan
perkembangan nyeri punggung bawah menjadi suatu keadaan yang
persisten.
II.3.2 Peranan Faktor Mekanik Terhadap Nyeri Kepala
Aktifitas fisik yang ringan cenderung akan menimbulkan nyeri
kepala non migren 11 tahun kemudian. Namun frekuensi dan durasi
melakukan aktifitas fisik ini tidak berhubungan dengan nyeri kepala migren
atau non-migren. Aktifitas fisik yang berlebihan (terutama yang sampai
mengakibatkan kelelahan) memiliki hubungan dengan prevalensi migren
yang tinggi 11 tahun kemudian, namun tidak terhadap nyeri kepala non
migren (Varkey E dkk, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Penelitian Varkey E (2008) tersebut sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Ashina S dkk (2013) dimana ditemukan ada hubungan
antara aktifitas fisik yang rendah pada waktu santai dengan kejadian
migren. Namun pada penelitian Ashina dkk (2013) mereka juga
menemukan bahwa aktifitas fisik itu berhubungan dengan nyeri kepala
non-migren, dalam hal ini adalah TTH. Dan pengaruh aktifitas fisik ini lebih
jelas terlihat pada penderita nyeri kepala kronik dari pada nyeri kepala
akut.
Alignment tubuh yang tidak baik bisa menimbulkan gangguan pada
spinal, menekan aliran darah ke otak sehingga akhirnya timbul nyeri
kepala. Selain itu nyeri kepala juga bisa terjadi akibat adanya trigger
points yang aktif pada otot-otot leher yang menyebabkan terjadinya
alignment leher yang salah (Lloyd I, 2013).
II.4 Faktor Psikososial
Faktor psikososial adalah segala aspek dalam desain pekerjaan
serta manajemennya, dan segala konteks sosial dan organisasinya yang
memiliki potensi untuk menimbulkan kerugian (harm) psikologis dan fisik
(Leka, 2010).
Paparan terhadap faktor fisik dan psikososial bisa mempengaruhi
kesehatan psikologis dan juga kesehatan fisik. Bukti-bukti yang ada
menyatakan bahwa pengaruh kedua hal ini terhadap kesehatan dapat
diperantarai oleh 2 jalur, yaitu secara langsung dan secara tidak langsung.
Proses tidak langsung ini diperantarai oleh adanya stres, namun bisa saja

Universitas Sumatera Utara

ada interaksi sinergis dan aditif pada kedua lingkungan fisik dan psikosoial
ini (Leka S, 2010).

Gambar 2. Lingkungan Psikososial di Tempat Kerja.
Dikutip dari :Leka S, Jain A. 2010. Health Impact of Psychosocial Hazards
at Work : An Overview, Institute of Work, Health and Organisations.
University of Nottingham
Faktor psikologis sangat berperan pada persepsi nyeri, efek serta
penyembuhan nyeri. Hal ini diakibatkan karena hipotalamus secara
langsung berhubungan dengan informasi dari nosiseptif dari perifer
melalui mekanisme sentral. Mekanisme sentral ini bisa menyebabkan
persepsi nyeri bertambah hebat.

Universitas Sumatera Utara

Peran faktor psikologis ini sangat kuat, terutama dalam proses
penyembuhan nyeri akut menjadi nyeri kronik. Oleh karena itu banyak ahli
sepakat untuk menyatakan pencegahan sensitisasi sentral merupakan
tindakan yang sangat bijaksana.Hal ini berarti pemberian analgetik yang
efektif sesegera mungkin (Meliala L dkk, 2003).

II.4.1 Peranan Faktor Psikososial Terhadap Nyeri Punggung Bawah
Faktor psikososial yang potensial berperan dalam terjadinya nyeri
punggung bawah kronik adalah ketidakpuasan di tempat kerja, dukungan
sosial yang kurang dan adanya peranan perilaku nyeri serta dinamika
keluarga.Yang dimaksud dengan perilaku nyeri adalah rasa takut terhadap
nyeri sehingga orang tersebut mengalami penurunan aktifitas (Helene dkk,
2006).

II.4.2 Peranan faktor Psikososial Terhadap Nyeri Kepala
Stres dan nyeri kepala merupakan 2 hal yang saling berhubungan.
Pada orang-orang tertentu stres bisa memicu terjadinya nyeri kepala dan
mengeksaserbasi perkembangan nyeri kepala tersebut. Stres dipercaya
merupakan faktor yang bisa mentransformasi nyeri kepala akut menjadi
kronis (Houle dkk, 2008).
Respon fisiologis terhadap stres bervariasi antar individu. Respons
stres merupakan suatu proses allostatik. Aksis Hipotalamus-PituitaryAdrenal (HPA) termasuk didalam proses ini. Sistem ini berfungsi sebagai

Universitas Sumatera Utara

sistem proteksi tubuh terhadap timbulnya stres. Bila terjadi stres, tubuh
akan mengeluarkan hormon beta-endorphin (suatu hormon yang mirip
morfin) yang memiliki efek mengurangi nyeri pada saat terjadi stres dan
hormon kortisol (hormon steroid) yang akan meningkatkan kontraksi
jantung

dan

mensensitisasi

pembuluh

darah

terhadap

aktifitas

norepinefrin. Paparan terhadap hormon kortisol dan hormon lainnya yang
berhubungan dengan beban alostatik akan sangat merugikan (Houle dkk,
2008)
Meskipun sudah banyak penelitian tentang pengaruh stres
terhadap perjalanan nyeri kepala, namun hanya sedikit bukti yang
dikumpulkan hingga saat ini yang dapat membuktikannya. Stres yang
berkepanjangan dipercaya mampu mempengaruhi perjalanan nyeri kepala
kronis baik secara langsung maupun tidak langsung (Houle dkk, 2008)
Ada 3 mekanisme yang menjelaskan peranan stres terhadap
perjalanan nyeri kepala, yaitu:
a. Stres mempengaruhi inisiasi nyeri kepala akut
Stres adalah faktor pencetus nyeri kepala yang paling sering
dikeluhkan.
b. Stres dan aktivasi nosisesptif/mencetusakan modulasi sekunder
Stres akut akan mengaktifkan respon opioid-mediated pain modulation.
Respon ini akan mengurangi rasa nyeri untuk sementara, sehingga
individu tersebut dapat berespon baik terhadap pengobatan. Namun
aktifasi yang berulang-ulang terhadap respon modulasi ini akan

Universitas Sumatera Utara

mencetuskan terjadinya sensitisasi sentral dan menyebabkan terjadinya
sistem kontrol nyeri di sentral mengalami kelelahan dan terjadilah
hiperalgesia. Stres kronik juga akan mensensitisasi reseptor nosiseptif
perifer. Penelitian belakangan ini juga menemukan bahwa stres akan
meningkatkan respon nyeri, terutama pada orang-orang yang sudah
memiliki sensitisasi sentral. Penderita tension type headache yang
mengalami depresi (distres afektif) cenderung mengalami peningkatan
kontraksi otot perikranial dibandingan dengan yang tidak mengalami
depresi. Selain itu stres juga meningkatkan ambang nyeri dan
memperpanjang waktu pemulihan nyeri kepalanya. Stres kronik bisa
menimbulkan sensitisasi sentral dan sensitisasi

ini meningkatkan

kecenderungan nyeri kepala menjadi kronik (Houle dkk, 2008).
Namun mekanisme stres bisa menyebabkan nyeri kepala kronik
masih belum diketahui dengan pasti. Adanya anggapan peningkatan
aktifitas otot pada penderita chronic tension headache yang disebabkan
oleh stres tidak didukung oleh data-data penelitian yang ada. Pendapat
lain menyatakan progresifitas CTH ini disebabkan adanya aktifitas
supraspinal yang dipicu oleh stres dan semakin meningkatkan sensitifitas
nyeri pada penderita CTH (Cathcart S,2009).
c. Stres dan kaitannnya dengan mekanisme lainnya
Stres juga mempengaruhi kejadian nyeri kepala secara tidak
langsung. Contohnya stres berkaitan dengan perilaku takut terhadap nyeri
sehingga menyebabkan pemakaian analgetik yang tidak optimal atau

Universitas Sumatera Utara

medikasi

yang

berlebihan

sehingga

meningkatkan

kecenderungan

menjadi nyeri kepala kronik.Selain itu stres juga menyebabkan gangguan
tidur, gangguan makan dan obesitas dan timbulnya keadaan-keadaan
psikopatologi yang semuanya ini berkaitan dengan progresifitas nyeri
kepalanya (Houle dkk,2007).

Universitas Sumatera Utara

II.5 KERANGKA TEORI

FAKTOR MEKANIK
Nyeri punggung bawah
berkaitan dengan pekerjaan
dan back care ergonomic
yang
rendah
(Sikiru
dkk,2010)

Terdapat hubungan yang positif
antara NPB dikalangan perawat
dan
rendahnya
partisipasi
perawat
dalam
aktifitas
fisik.Perawatyang aktif memiliki
keluhan NPB yang lebih sedikit
dan perilaku psikososial lebih
baik. (Lela dkk,2010)

Beban
kerja
fisik
yang
berat,manual
handling,sering
melakukan rotasi tubuh dalam
melakukan aktifitasnya, vibrasi
seluruh tubuh dan duduk yang
terlalu lama berkaitan dengan
nyeri punggung bawah (Yilmaz
E dkk,2012).

NYERI
PUNGGUNG
BAWAH
Faktor
organisasi
di
tempat
pekerjaan,
psikologis dan sosial
mempengaruhi
NPB
(Eriksen)

Aktifitas fisik yang rendah 
prevalensi nyeri kepala tinggi.
Ada hubungan antara aktifitas
fisik yang rendah pada waktu
santai dengan kejadian TTH dan
migren sering dijumpai pada
penderita nyeri kepala kronik
dari
pada
nyeri
kepala
episodik.(Ashina dkk, 2013)
Individu yang yang memiliki
aktifitas fisik mengalami nyeri
kepala non migren 11 tahun
kemudian.Namun frekuensi dan
durasi aktifitas fisik tidak
berhubungan
dengan
nyeri
kepala
migren/nonmigren.(Varkey E,2008)

Aktifitas fisik
berat
danprosedurpe
manasan yang
kurang
memicu
terjadinya
tension-type
headache dan
bahkanmigrain
.(Varkey
E,2008)

NYERI
KEPALA
Frekuensi
terjadinya
nyeri punggung bawah
lebih
tinggi
pada
penderita nyeri kepala
dibandingkan
yang
tidak nyeri kepala (Yon
dkk, 2013)

Tuntutan pekerjaan,
konflik, kontrol
pekerjaan dan kepuasan
kerja berkaitan dengan
nyeri kepala
(Christensen,2012

Distres psikis berkaitan dengan
kejadian NPB baru (Marie
Feyer,2001)
Tingkat stres yang tinggi
berhubungan dengan
kejadian TTH dan
migren(Lin dkk, 2007)

FAKTOR
PSIKOSOSIAL

Universitas Sumatera Utara

II.6 KERANGKA KONSEP

FAKTOR MEKANIK

FAKTOR PSIKOSOSIAL

NYERI PUNGGUNG
BAWAH

NYERI KEPALA PRIMER

Universitas Sumatera Utara