Hubungan Faktor Mekanik dan Faktor Psikososial Terhadap Nyeri Punggung Bawah dan Nyeri Kepala Primer Pada Perawat

BAB I
PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG
Nyeri punggung bawah (NPB) dan nyeri kepala termasuk masalah
kesehatan yang sering dikeluhkan di masyarakat. Hampir semua orang
pernah mengalaminya. Nyeri yang muncul bisa cukup mengganggu
sehingga menimbulkan disabilitas pada penderitanya selama beberapa
waktu sebelum orang tersebut dapat kembali melakukan aktifitas
normalnya. Hanya sedikit orang yang menderita nyeri punggung bawah
lebih dari setahun yang mampu kembali melakukan aktifitas fisiknya
secara normal (Savigny dkk,2009).
Nyeri punggung bawah merupakan penyebab utama disabilitas
okupasional di dunia dan penyebab utama hilangnya hari kerja (Nia
S,2010). Bila dilihat dari segi prevalensi, maka pekerjaan perawat
menempati urutan ketiga dari seluruh pekerjaan yang sering mengalami
nyeri punggung bawah. Penelitian Yip dkk (2001) menemukan bahwa
16,2% alasan perawat tidak masuk kerja adalah karena nyeri punggung
bawah. Smedley dkk (1997) dalam studi prospektifnya menyatakan
sebanyak 322 (38%) dari 838 perawat menderita nyeri punggung bawah
selama follow up, dan sebanyak 93 orang (11%) menjadikan nyeri

punggung bawah sebagai alasan tidak masuk kerja. French dkk (1997)
menyatakan 68,7% perawat mengalami keterbatasan aktifitas akibat nyeri

Universitas Sumatera Utara

punggung bawah dan 7,9% dari perawat-perawat ini telah dialihkan ke
tugas lainnya. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Sikiru dkk
(2010) yang menyatakan NPB bukanlah alasan utama tidak masuk kerja
karena sakit di antara perawat.
Menurut penelitian Sikiru dkk (2010) dari 408 responden perawat
(148 pria dan 260 wanita), didapati prevalensi NPB yang cukup tinggi
(73,53%). Terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin

dan prevalensi NBP, dimana NPB lebih sering terjadi pada perawat
wanita (68%) dibandingkan pria (32%). Prevalensi NPB dikalangan
perawat di Swiss juga cukup tinggi yaitu 73%-76% (Maul dkk,2003). Bila
dinilai dari segi durasi nyeri, maka yang paling banyak adalah yang
menderita nyeri punggung akut (kurang dari 2 minggu) yaitu 46,67%
responden, diikuti NPB kronik (>3 bulan) 34% dan NPB subakut (2
minggu-3 bulan) adalah 19,33% responden. Prevalensi NPB nya sendiri

mengalami peningkatan sesuai usia dimana pada usia 46 tahun masing-masing prevalensi NPB-nya adalah 6,3%,
27% dan 66,7% (Sikiru dkk, 2010). Hal ini bertentangan dengan penelitian
di Rwanda oleh Lela M dkk (2012) dimana disitu disimpulkan bahwa usia,
lama bekerja dan status perkawinan tidak berhubungan dengan NPB.
Etiologi dan perjalanan penyakit NPB dikalangan perawat ini masih
belum terlalu dipahami (Sikiru 2010). Nyeri punggung bawah yang
berhubungan dengan pekerjaan disebabkan oleh banyak faktor yang
dikategorikan menjadi faktor fisik, psikososial dan juga faktor gaya hidup

Universitas Sumatera Utara

(Yilmaz

E

dkk,2012).Telah

banyak

studi


yang

dilakukan

dan

menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara penyakit
muskuloskeletal dan pekerjaan serta beban kerja. Hal ini juga didapati
diantara para perawat. Sikiru dkk (2010) menuliskan bahwa 66,7%
perawat menyatakan bahwa nyeri punggung bawah yang mereka alami
berkaitan dengan pekerjaan mereka. Penelitian ini menyimpulkan bahwa
nyeri

punggung

bawah

berkaitan


dengan

pekerjaan

dan

tingkat

pengetahuan tentang back care ergonomics yang rendah.
Yilmaz E dkk (2012) dalam suatu studi literaturnya menemukan
bahwa beban kerja fisik yang berat, aktifitas manual (manual handling)
yang berat dan sering, sering melakukan rotasi tubuh dalam melakukan
aktifitasnya, vibrasi seluruh tubuh dan duduk yang terlalu lama berkaitan
dengan nyeri punggung bawah.
Hanya sedikit studi yang membandingkan derajat aktifitas fisik dan
NPB kronik. Penelitian Spenkelink dkk (2002) melaporkan bahwa
penderita NPB kronik menghabiskan waktu yang lebih lama untuk
berbaring baik pada siang mau pun malam hari, dan lebih jarang berdiri di
malam hari, dan umumnya berjalan dengan irama yang lebih lambat
dibandingkan kelompok kontrol (Ryan CG dkk, 2009).

Disisi lain untuk menanganinya, biasanya dianjurkan melakukan
aktifitas fisik reguler baik untuk mencegah dan menangani NPB, selain itu
juga untuk memperbaiki fungsi seseorang yang memiliki keluhan NPB.
World Health Organization (WHO) juga merekomendasikan aktifitas fisik

Universitas Sumatera Utara

rutin untuk mencegah berbagai jenis penyakit dan meningkatkan kekuatan
otot dan kepadatan tulang. Studi-studi sudah membuktikan bahwa
kekuatan otot yang kurang dan fleksibilitas yang rendah dapat
menyebabkan postur tubuh yang buruk dan akhirnya menyebabkan
disfungsi pada otot dan sendi yang bersangkutan sehingga timbul keluhan
NPB (Lela M dkk, 2012).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Dicken dkk (2008) mereka
menemukan adanya hubungan antara aktifitas fisik di tempat kerja dan
waktu luang dengan NPB. Penelitian ini menunjukkan bahwa orang-orang
yang menderita NPB cenderung memiliki aktifitas fisik yang berat di
tempat kerja namun aktifitas fisik di waktu luangnya cukup rendah.
Campello dkk menduga bahwa hubungan antara NPB dan aktifitas
fisik memiliki kurva U-shape, artinya semakin sedikit atau semakin banyak

aktifitas fisik yang dilakukan akan berperan terhadap terjadinya NPB.
Pada suatu studi ditemukan bahwa pekerjaan-pekerjaan yang repetitif dan
monoton berhubungan dengan peningkatan kejadian nyeri leher, nyeri
bahu, dan nyeri punggung bawah. Jacob T dkk (2004) berdasarkan studi
yang mereka lakukan menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara
NPB dan aktifitas fisik berupa olahraga dan aktifitas fisik selama bekerja.
Dari penelitian mereka diketahui bahwa orang-orang yang berolahraga
secara teratur memiliki kejadian NPB yang lebih jarang terjadi.
Pada suatu survei yang dilakukan di Afrika Selatan menunjukkan
terdapat hubungan yang positif antara NPB dikalangan perawat dan

Universitas Sumatera Utara

rendahnya partisipasi perawat dalam aktifitas fisik. Penelitian juga
menunjukkan bahwa perawat-perawat yang aktif memiliki keluhan NPB
yang lebih sedikit dan memiliki perilaku psikososial yang lebih baik (Lela M
dkk, 2012).
Selain faktor mekanik, faktor psikososial juga memiliki peranan
dalam terjadinya NPB dan juga mempengaruhi prognosis NPB tersebut.
Lingkungan pekerjaan yang memiliki tekanan psikososial yang tinggi bisa

menyebabkan toleransi terhadap nyeri turun. Akibatnya pekerja yang
bekerja dilingkungan psikososial yang seperti ini akan lebih sering tidak
masuk kerja karena alasan sakit (Hartvigsen, 2004). Tuntutan pekerjaan,
gejala-gejala stres dan kurangnya dukungan sosial ditempat kerja baik
dari pengawas maupun teman-teman sekerja juga merupakan faktor
psikososial yang berkaitan dengan munculnya nyeri punggung bawah
(Yilmaz E dkk (2012), Manek dkk (2005)). Eriksen dkk (2004) juga
menyimpulkan bahwa faktor organisasi, psikologis dan sosial seperti jaga
malam, kurangnya dukungan dari atasan, serta kurangnya dukungan dari
teman-teman di tempat kerja berhubungan dengan kejadian NPB yang
tinggi.
Feyer AM,dkk (2005) menyatakan bahwa selain adanya riwayat
nyeri punggung bawah, stres psikologis merupakan satu-satunya faktor
yang mempengaruhi kejadian NPB terbaru. Meningkatnya stres psikologis
ini mendahului munculnya episode nyeri baru hanya dalam waktu yang
singkat. Ini menggambarkan peranan stres akut dalam onset NPB

Universitas Sumatera Utara

tersebut. Dari penemuan ini dapat disarankan penanganan NPB

okupasional akan lebih baik bila disertai penanganan psikologis
Prevalensi nyeri kepala primer di kalangan perawat pada penelitian
di Taiwan adalah 49,6%, lebih tinggi dari prevalensi nyeri kepala primer
pada populasi umum di Taiwan. Tingkat stres yang tinggi berhubungan
dengan terjadinya nyeri kepala terutama nyeri kepala tipe tegang dan
migren (Lin KC dkk,2007).
Nyeri kepala dapat diprovokasi oleh aktifitas fisik. Biasanya aktifitas
fisik yang berat dan prosedur pemanasan yang kurang dapat memicu
terjadinya

tension-type

headache

dan

bahkan

serangan


migrain.

Pengetahuan kita mengenai aktifitas fisik dan nyeri kepala sangat terbatas
dan hanya sedikit studi yang membahas ini (Varkey E dkk, 2008).
Individu yang yang memiliki aktifitas fisik yang kurang cenderung
akan mengalami nyeri kepala non migren 11 tahun kemudian. Namun
frekuensi dan durasi aktifitas fisik ini tidak berhubungan dengan nyeri
kepala migren atau non-migren. Sedangkan aktifitas fisik yang berlebihan
(terutama yang sampai mengakibatkan kelelahan) berhubungan dengan
prevalensi migren yang tinggi 11 tahun kemudian, namun tidak terhadap
nyeri kepala non migren (Varkey E dkk, 2008).
Aktifitas fisik yang rendah berhubungan dengan prevalensi nyeri
kepala yang cukup tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Ashina S dkk
(2013) menemukan bahwa ada hubungan antara aktifitas fisik yang
rendah pada waktu santai dengan kejadian TTH dan migren. Aktifitas fisik

Universitas Sumatera Utara

yang rendah ini lebih sering dijumpai pada penderita nyeri kepala kronik
dari pada nyeri kepala episodik.

Peranan faktor psikologis dan psikososial terhadap nyeri kepala
masih sedikit diteliti. Pada penelitian cross sectional yang dilakukan di
Swedia melaporkan adanya hubungan antara nyeri kepala dengan
“mental work stres index”, ketidakpuasan di tempat pekerjaan, ketakutan
kehilangan pekerjaan dan kekhawatiran tentang pekerjaan (Christensen
JO dkk,2012) Dari penelitian disimpulkan bahwa terdapat hubungan
antara faktor fisik/psikis dan mekanik terhadap beratnya nyeri kepala.
Kebutuhan memperoleh gaji yang tinggi dan adanya konflik, dan kontrol
dalam membuat keputusan yang rendah (lower control decision), kontrol
terhadap intensitas kerja yang rendah (control over work intensity) dan
kepuasan bekerja (jobsatisfaction) berhubungan dengan keparahan nyeri
kepala.
Perkembangan ilmu pengetahuan belakangan ini menunjukkan
adanya hubungan antara stres dan migren. Stres diduga sebagai faktor
pemicu dan faktor yang memperparah terjadinya migren. Selain itu stres
juga dianggap sebagai pemicu terjadinya tension type headache
(Hashizume M dkk, 2008).
Studi yang dilakukan oleh Christensen dkk melakukan survei
terhadap sejumlah faktor okupasional selama 2 tahun. Dari survei ini
ditemukan bahwa tuntutan pekerjaan yang tinggi dan konflik di tempat

pekerjaan, kontrol pekerjaan yang rendah dan kepuasan dalam pekerjaan

Universitas Sumatera Utara

sangat berkaitan dengan munculnya nyeri kepala (Christensen OJ dkk,
2012)
Studi cross sectional yang dilakukan di Taiwan mengaitkan nyeri
kepala dengan perasaan sangat tertekan di tempat pekerjaan. Penelitian
prospektif mengenai hal ini sendiri masih sangat sedikit dilakukan. Risiko
migren meningkat setelah 2 tahun bekerja pada pegawai-pegawai yang
melaporkan imbalan pekerjaan yang tidak sesuai dengan tuntutan
pekerjaan. Studi panel yang dilakukan di Prancis menemukan adanya
penurunan yang nyata prevalensi migren diantara para pensiunan
(Christensen JO dkk, 2012).
Penelitian yang dilakukan oleh Yoon MS dkk (2012) menemukan
adanya hubungan antara nyeri kepala tipe tegang kronik dan migren
kronik dengan nyeri punggung bawah. Perbandingan odds ratio antara
penderita nyeri punggung bawah dengan nyeri kepala episodik dan tanpa
nyeri kepala episodik adalah 2,1( 95% CI 1,7-2,6) dan 2,7 (95% CI 2,33,2). Nilai odds ratio penderita nyeri punggung bawah dengan nyeri kepala
kronik dibandingkan tanpa nyeri kepala kronik adalah 13,7 (95% CI 7,425,3) dan 18,3 (95% CI 11,9-28,0). Dari penelitian ini didapatkan bahwa
nyeri punggung bawah berhubungan dengan nyeri kepala (Yoon dkk,
2012).

Universitas Sumatera Utara

I.2 PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar bawah penelitian-penelitian terdahulu seperti yang telah
diuraikan di atas dirumuskanlah masalah sebagai berikut :
Adakah hubungan faktor mekanik dan faktor psikososial terhadap nyeri
punggung bawah dan nyeri kepala primer pada perawat?

I.3 TUJUAN PENELITIAN
I.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara faktor mekanik dan factor psikososial
terhadap nyeri punggung bawah dan nyeri kepala primer pada perawat.
I.3.2. Tujuan Khusus
1.3.2.1.

Mengetahui hubungan faktor mekanik terhadap nyeri punggung
bawah pada perawat di RSUP H Adam Malik Medan

1.3.2.2.

Mengetahui

hubungan

faktor

psikososial

terhadap

nyeri

punggung bawah pada perawat di RSUP H Adam Malik Medan.
1.3.2.3.

Mengetahui hubungan faktor mekanik terhadap nyeri kepala
primer pada perawat di RSUP H Adam Malik Medan.

1.3.2.4.

Mengetahui hubungan faktor psikososial terhadap nyeri kepala
primer pada perawat di RSUP H Adam Malik Medan.

1.3.2.5.

Mengetahui peranan faktor mekanik dan faktor psikososial
terhadap nyeri kepala primer pada perawat di RSUP H Adam
Malik Medan

Universitas Sumatera Utara

1.3.2.6.

Mengetahui peranan faktor mekanik dan faktor psikososial
terhadap nyeri punggung bawah pada perawat di RSUP H
Adam Malik Medan

1.3.2.7.

Mengetahui karakteristik demografik perawat yang mengalami
nyeri punggung bawah dan nyeri kepala primer di RSUP H.
Adam Malik Medan.

I.4 HIPOTESA PENELITIAN
Ada hubungan antara faktor mekanik dan faktor psikososial terhadap nyeri
punggung bawah dan nyeri kepala primer pada perawat

I.5 MANFAAT PENELITIAN
I.5.1 Manfaat Penelitian Untuk Ilmu Pengetahuan
Dari penelitian ini diharapkan dapat dikenali faktor risiko terjadinya
nyeri punggung bawah dan nyeri kepala primer pada perawat, sehingga
bisa dilakukan pencegahan dan penanganan yang lebih kompleks
terhadap kejadian NPB dan nyeri kepala pada perawat.
Dengan diketahuinya peranan faktor mekanik dan faktor psikososial
terhadap nyeri punggung bawah dan nyeri kepala primer pada perawat
diharapkan dapat dilakukan intervensi untuk meminimalkan kejadian nyeri
punggung bawah dan nyeri kepala primer di kalangan perawat.
I.5.2 Manfaat Penelitian Untuk Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar untuk
penelitian selanjutnya tentang peranan faktor mekanik dan faktor

Universitas Sumatera Utara

psikososial terhadap nyeri punggung bawah dan nyeri kepala primer pada
perawat.
I.5.3 Manfaat Penelitian Untuk Masyarakat
Dengan mengetahui peranan faktor mekanik dan faktor psikososial
terhadap nyeri punggung bawah dan nyeri kepala primer pada perawat ini
dapat dilakukan intervensi untuk meminimalkan terjadinya masalah ini
dikalangan perawat. Dengan demikian akan meningkatkan kinerja perawat
di dalam memberikan pelayanan kesehatan pada masyarakat.

Universitas Sumatera Utara