Analisis Perkara Nomor 690k Pid.Sus 2010 Ditinjau Dari Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Eksploitasi Seksual Dalam Pernikahan Dini

BAB II
PENGATURAN TENTANG LARANGAN EKSPLOITASI SEKSUAL PADA
PERNIKAHAN ANAK USIA DINI

Ekspolitasi seksual dalam pernikahan dini bagaikan fenomena gunung es
yang sulit untuk ditangani, karena terus meningkat setiap tahunnya. Pelaku eksploitasi
seksual anak menggunakan berbagai cara atau

modus operandi

untuk dapat

membujuk korban, mulai dari pemberian iming-iming serta janji manis, sampai
melakukan

pemaksaan

dengan

kekerasan.


Terdapat

banyak

faktor

yang

melatarbelakangi alasan meningkatnya kejahatan eksploitasi seksual yang satu ini,
namun faktor yang paling menentukan adalah perangkat hukum yang tidak tegas,
sehingga dijadikan celah oleh orang yang tidak bertanggung jawab untuk menikahi
anak-anak di bawah umur.
Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
telah mengatur batas minimum seorang perempuan untuk diperbolehkan menikah,
yaitu pada usia 16 (enam belas) tahun. Apabila karena alasan tertentu yang
mengharuskan tetap dilaksanakannya perkawinan di bawah ketentuan usia tersebut,
maka perkawinan dilaksanakan dengan izin orang tua. Pengecualian tersebut membuat
pengaturan tentang batasan usia menikah bersifat fleksibel.
Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur tentang ancaman pidana bagi
orang yang menikahi perempuan berusia di bawah 16 tahun. Terhadap hal tersebut

tentu bertentangan dengan tuntutan jaman, sebab dalam pengaturan Konvensi Hak

Anak Internasional seseorang yang menikah dengan anak usia di bawah 18 (delapan
belas) tahun, dengan maksud dan tujuan yang tidak baik termasuk eksploitasi seksual
terhadap anak.
Seperti yang telah dikemukakan pada BAB PENDAHULUAN tepatnya pada
halaman ke-4 alinea ke-2 bahwa terdapat 5 (lima) bentuk utama dan saling terkait
dari eksploitasi seksual anak, yakni: pelacuran anak, pornografi anak, pariwisata seks
anak, dan perkawinan anak. Terhadap masalah perdagangan anak, pelacuran anak,
pornografi anak, larangannya telah ada termuat dalam KUHPidana, yakni pada pasal
pasal 297 (perdagangan anak), pasal 296 dan 506 (pelacuran anak), dan pasal 283
(pornografi anak).
Larangan terhadap ketiga bentuk eksploitasi seksual anak tersebut menjadi
pembahasan tingkat Internasional, dan secara khusus dibuat dalam Protokol Opsional
Konvensi Hak Anak, dan Indonesia sudah meratifikasi Protokol Opsional Konvensi
tersebut dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2012 Tentang Pengesahan
Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi
Anak, Dan Pornografi Anak. Berdasarkan hal tersebut berarti mengenai larang
terhadap bentul perdagangan anak, prostitusi anak, dan pornografi anak, Indonesia
memiliki 2 (dua) aturan hukum, yakni KUHPidana, dan Undang-Undang Tentang

Konvensi Hak-Hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, Dan Pornografi
Anak.

Terhadap bentuk eksploitasi seksual anak berupa pariwisata seks anak dapat
dikategorikan sebagai bentuk perdagangan anak, sebab melalui sarana-sarana
penunjang pariwisata, seperti hotel, bar, kafe yang ada di lokasi pariwisata,bisa saja
terjadi transaksi jual beli anak 41. Anak-anak tersbut bisa saja hanya diperuntukkan
sebagai pemuas nafsu pada saat mereka melakukan perjalanan wisatawan, atau bisa
juga dibeli untuk dimiliki dan dibawa ke negara asalnya, sehingga terhadap
eksploitasi seksual dalm bentuk pariwisata seks pengaturan mengenai larangannya
dikategorikan ke dalam perdagangan anak.
Terhadap eksploitasi seksual anak dalam bentuk perkawinan anak, selain
memang tidak termuat dalam Protokol Opsional Konvensi Hak Anak, Indonesia juga
tidak memiliki aturan hukum spesifik untuk menanganinya, namun demikian bukan
berarti perbuatannya diperbolehkan. Menyadari akan banyaknya kerugian baik fisik
maupun mental, dengan hancurnya masa depan yang akan dialami oleh seorang anak
apabila menjadi korban eksploitasi seksual dalam pernikahan dini, maka meskipun
tidak diatur secara spesifik, namun beberapa perundang-undangan melarang
melakukan persetubuhan dengan anak yang masih di bawah umur, dengan atau tanpa
paksaan, atau perbuatan lain yang melanggar kesusilaan, serta dapat merampas hak

anak. Perundang-undangan tersebut antara lain yakni : KUHPidana, Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang,
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Keppres

41

Memerangi
Pariwisata
seks
anak,
dalam
http://resources.ecpat.net/EI/Publications/CST/CST_FAQ_BAHASA.pdf, hlm. 35-34, diakses 7
Oktober 2013

Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Konvensi Hak Anak, dan Keppres Nomor 87 Tahun
2002 Tentang Rencana Aksi Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak.

A. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak mengenal istilah eksploitasi
seksual dalam pernikahan dini, namun di dalamnya terdapat beberapa pasal yang

melarang perbuatan bersetubuh dan cabul terhadap orang yang belum dewasa,
sehingga bunyi pasal tersebut dapat diinterpretasikan sebagai perbuatan eksploitasi
seksual terhadap anak.

a.

Pencabulan dan Perkosaan

Pasal 285 KUHP:
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita
bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam dengan pidana penjara paling
lama 12 (dua belas) tahun.” Berdasarkan pasal 285 KUHPidana tersebut, maka
batasan eksploitasi seksual adalah :
1.

Menyetubuhi seorang wanita;

2.

Di luar perkawinan;


3.

Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.

Pasal 287 KUHP:
“Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal
diketahui sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum 15 (lima belas) tahun

diancam dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.” Pasal ini disebut
sebagai statutory rape 42. Batasan eksploitasi seksual terhadap anak menurut pasal 287
KUHPidana adalah :
1.

Menyetubuhi seorang wanita;

2.

Di luar perkawinan;


3.

Menyadari bahwa wanita tersebut belum berusia 15 (lima belas) tahun.

Pasal 288 KUHP :
1) Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan perempuan yang dinikahinya,
padahal diketahuinya atau patut dapat disangkanya bahwa perempuan itu belum
pantas dikawini, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun,
apabila perbuatan itu berakibat badan perempuan itu mendapat luka.
2) Jika perbuatan itu berakibat perempuan tersebut mendapat luka berat dijatuhkan
pidana penjara selama-lamanya delapan tahun.
3) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya perempuan itu, dijatuhkan pidana
selama-lamanya dua belas tahun.
Batasan eksploitasi seksual terhadap anak menurut pasal 288 ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3):
1.

Bersetubuh dengan perempuan;

2.


Perempuan tersebut merupakan isterinya;

3.

Ia menyadari bahwa perempuan tersebut belum cukup umur untuk dinikahinya;
42

Statutory rape adalah hubungan sex yang dilakukan oleh seorang pria dewasa dengan
seorang anak perempuan di bawah umur baik yang dilakukan dengan paksaan ataupun sukarela , di
dalam maupun di luar hubungan perkawinan.

4.

Persetubuhan tersebut mengakibatkan luka berat pada perempuan tersebut;

5.

Persetubuhan tersebut mengakibatkan matinya perempuan tersebut; ayat (3)


Pasal 290 KUHP :
Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:
1) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal diketahuinya
bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya;
2) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal diketahuinya
atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umumya belum lima belas tahun atau
kalau umumya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin:
3) Barang siapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus
diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umumya tidak
jelas yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar perkawinan
dengan orang lain.

Batasan eksploitasi seksual terhadap anak menurut pasal 290 ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) KUHPidana tersebut adalah :
1.

Berbuat cabul dengan wanita yang pingsan atau tidak berdaya; ayat (1)

2.


Patut diduganya bahwa usia wanita tersebut di bawah 15 (lima belas) tahun, atau
belum pantas untuk dikawini; ayat (2)

3.

Perbuatan cabul atau persetubuhan dilakukan dengan bujukan, dan di luar
perkawinan.

Pasal 292 KUHP :
“Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin,
yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun”.
Pelaku perbuatan pasal 292 adalah penyuka sesama jenis. Adapun batasan ekploitasi
seksual terhadap anak yang dimaksud dalam pasal ini adalah :
1.

Seorang dewasa, baik laki-laki ataupun perempuan;

2.


Mencabuli anak yang belum dewasa;

3.

Anak tersebut berjenis kelamin yang sama dengannya.

Pasal 293 KUHP :
1) Barang

siapa

dengan

memberi

atau

menjanjikan

uang

atau

barang,

menyalahgunakan pembawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan
penyesatan sengaja menggerakkan seorang belum dewasa dan baik tingkah
lakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan
dia, padahal tentang belum kedewasaannya, diketahui atau selayaknya harus
diduganya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap dirinya
dilakukan kejahatan itu.
3) Tenggang waktu tersebut dalam pasal 74 bagi pengaduan ini adalah masingmasing sembilan bulan dan dua belas bulan.
Batasan eksploitasi seksual terhadap anak berdasarkan pasal 293 KUHPidana adalah
sebagai berikut :

1.

Dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang;

2.

Dengan menyalahgunakan hubungan keadaan antara pelaku dan korban;

3.

Dengan penyesatan;

4.

Menggerakkan seorang anak;

5.

Untuk melakukan perbuatan cabul ataupun membiarkan perbuatan cabul itu
dilakukan terhadapnya;

Pasal 294 KUHP :
1) “Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengm anaknya, tirinya, anak
angkatnya, anak di bawah pengawannya yang belum dewasa, atau dengan orang
yang belum dewasa yang pemeliharaanya, pendidikan atau penjagaannya
dipercayakan kepadanya, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh
tahun”.
2) Diancam dengan pidana yang sama:
(1) Pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan
adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau
diserahkan kepadanya,
(2) Pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atas, pesuruh dalam penjara,
tempat pekerjaan negara, tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah
sakit jiwa atau lembaga sosial, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang
yang dimasukkan ke dalamnya.
Batasan eksploitasi seksual terhadap anak yang dimaksud dalam pasal 294 ayat (1)
adalah pencabulan terhadap anak kandung, atau anak tiri, atau anak angkat, atau anak

yang di bawah pengawasannya, dimana pendidikan, pemeliharaan, serta penjagaan
terhadap anak tersebut, dipercayakan kepadanya. Ayat (2) pasal ini memberikan
batasan eksploitasi seksual berupa perbuatan cabul yang dilakukan oleh seorang
atasan kepada bawahannya. Batasan eksploitasi seksual yang terdapat pada ayat (3)
pasal ini adalah perbuatan cabul yang dilakukan oleh seorang pengurus atau pemberi
jasa di suatu lembaga atau instansi pelayanan masyarakat, terhadap orang yang
sedang dimasukkan ke dalam lembaga atau instansi tersebut.

b. Prostitusi Anak
Pasal 296 KUHP:
“Barang siapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul
oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau
kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau
pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.” Batasan eksploitasi seksual
dalam pasal 296 adalah jika seseorang menghubungkan seseorang dengan orang lain,
untuk memudahkan mereka berbuatan cabul, dimana kegiatan ini dijadikan sebagai
mata

pencahariannya

sehari-hari.

Tindakan

sebagai

menghubungkan

atau

memudahkan tesebut misalnya dengan menyediakan kamar sewaan, tempat-tempat
karaoke, kafe remang-remang, dan sebagainya.
Pasal 506 KUHP:
“Barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan
menjadikannya sebagai pencarian, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu

tahun.” Batasan eksploitasi seksual yang terdapat dalam pasal ini adalah apabila
dengan perbuatan cabul seorang wanita, maka dia mendapatkan bayaran uang,
dimana kegiatan tersebut dijadikan sebagai mata pencahariannya sehari-hari. Profesi
seperti ini bisa disebut dengan istilah germo, mami, atapun mucikari, yang melalui
jasanya seorang penikmat seks bisa mendapatkan wanita pemuas nafsu.

c.

Penjualan dan Perdagangan Anak (Untuk Tujuan Seksual)

Pasal 297 KUHP:
“Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum dewasa, diancam
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun.” Batasan eksploitasi seksual anak
menurut pasal 297 KUHPidana adalah memperdagangkan wanita dan anak laki-laki
yang belum dewasa untuk tujuan seks. Anak yang dimaksudkan dalam pasal ini
adalah seorang anak laki-laki yang belum dewasa, sedangkan penyebutan wanita oleh
karena tidak disebutkan batas usianya, maka wanita yang diperdagangkan adalah
wanita dewasa.

d. Pornografi Anak
Pasal 283 KUHP:
1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda
paling banyak sembilan ribu rupiah, barang siapa menawarkan, memberikan
untuk terus maupun untuk sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan
tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, maupun alat untuk

mencegah atau menggugurkan kehamilan kepada seorang yang belum dewasa
dan yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum tujuh
belas tahun, jika isi tulisan, gambaran, benda atau alat itu telah diketahuinya.
2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa membacakan isi tulisan yang
melanggar kesusilaan di muka orang yang belum dewasa sebagaimana dimaksud
dalam ayat yang lalu, jika isi tadi telah diketahuinya.
3) Diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan atau pidana kurungan
paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah,
barang siapa menawarkan, memberikan untuk terus maupun untuk sementara
waktu, menyerahkan atau memperlihatkan, tulisan, gambaran atau benda yang
melanggar kesusilaan, maupun alat untuk mencegah atau menggugurkan
kehamilan kepada seorang yang belum dewasa sebagaimana dimaksud dalam
ayat pertama, jika ada alasan kuat baginya untuk menduga, bahwa tulisan,
gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan atau alat itu adalah alat untuk
mencegah atau menggugurkan kehamilan.
Batasan eksploitasi seksual terhadap anak menurut pasal ini adalah :
1.

Menawarkan atau memberikan untuk terus maupun untuk sementara waktu,
menyerahkan atau memperlihatkan tulisan, gambaran atau benda yang melanggar
kesusilaan;

2.

Menawarkan atau memberikan alat untuk mencegah atau menggugurkan
kehamilan kepada seorang yang belum dewasa;

3.

Membacakan isi tulisan yang melanggar kesusilaan kepada anak yang belum
dewasa, dimana tulisan tersebut diketahuinya adalah tidak baik jika
diperdengarkan kepada anak-anak;

Secara keseluruhan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam
KUHPidana, mengenai batasan eksploitasi seksual terhadap anak ditemukan faktafakta sebagai berikut : 43
1.

Tidak ada definisi khusus dalam KUHPidana, untuk dikatakan belum dewasa
atau dikatakan anak-anak. KUHPidana menggunakan batas usia spesifik,
namun terkadang menggunakan term “yang belum dewasa” atau bahkan
menggunakan keduanya secara bersama-sama. (perhatikan pasal pasal 45)

2.

Batas umur statutory rape, yang dinyatakan dalam KUHPidana terlalu rendah,
yakni 12 (dua belas) tahun (pasal 287 KUHPidana ayat 2). Apabila diasumsikan
bahwa batas umur kematangan seksual untuk anak perempuan adalah 16 (enam
belas) tahun 44, maka ketentuan dalam KUHPidana secara efektif meninggalkan
anak-anak yang berumur 12 sampai 16 tahun dari perlindungan terhadap
statutory rape.

3.

Berarti seorang anak perempuan yang berumur 12 (dua belas) tahun di
Indonesia dianggap sudah cukup matang untuk berhubungan seks atas dasar
suka sama suka namun dia belum boleh menikah secara legal.

43

Emmy. L. Smith, Perlindungan Anak dalam rancangan KUHP, dalam
http://kuhpreform.files.wordpress.com/2008/10/perlindungan-anak-dalam-rancangan-kuhp_bahanemmi.ppt, diakses 8 Oktober 2013
44
Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan

4.

Apabila dikaitkan dengan konteks perlindungan anak, ketentuan KUHPidana
membiarkan anak-anak perempuan yang sudah berumur 12 (dua belas) tahun
tapi belum mencapai 16 tahun tidak terlindungi dari eksploitasi seksual.

5.

Sanksi pidana terhadap mereka yang melakukan statutory rape ditetapkan
terlalu rendah, yakni paling lama 9 tahun penjara (pasal 287), bahkan lebih
rendah dari sanksi pidana untuk rape, yakni paling lama 12 (dua belas) tahun
penjara (pasal 285)

6.

Konsep statutory rape dalam KUHPidana tidak dinyatakan secara tegas. Hal ini
bersamaan dengan ketiadaan pemahaman di kalangan aparat penegak hukum
tentang asumsi-asumsi dasar menyangkut statutory rape, membuat anak-anak
yang menjadi korban kekerasan seksual bahkan jika umur mereka kurang dari
12 (dua belas) tahun sering mengalami “kekerasan seksual” dalam bentuk lain
selama proses Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan selama proses persidangan
karena jenis-jenis pertanyaan yang diajukan oleh polisi (BAP dan oleh hakim
(persidangan) pada umumnya berangkat dari asumsi anak-anak itu sudah
matang secara seksual.

7.

KUHPidana yang berlaku memidanakan para germo dan memberikan sanksi
pemenjaraan paling lama 1 tahun 4 bulan (pasal 296) atau denda paling banyak
Rp 15,000 (lima belas ribu) rupiah. Ketentuan relevan lainnya, yakni pada pasal
506 hanya memberikan sanksi kurungan paling lama satu tahun bagi praktek
penggermoan.

8.

Pendekatan regulasi yang digunakan oleh KUHPidana telah membuat isu
prostitusi diatur oleh peraturan daerah yang melegalisir prostitusi dalam

lokalisasi resmi dan sekaligus memidanakan pelacuran jalanan dan sebagai
konseksuensinya anak-anak yang terlibat dalam prostitusi jalanan juga
dikriminalisasikan.
9.

KUHPidana tidak secara langsung menarget pornografi anak sehingga tidak ada
definisi legal dari pornografi anak.

10. Tindakan memperdagangkan wanita dan anak laki-laki belum dewasa, tanpa
menyebutkan wanita yang belum dewasa;
11. Tindakan menawarkan, menyerahkan, memperlihatkan, mendengarkan isi surat,
naskah, gambar atau bahan yang bertentangan dengan norma kesopanan umum
kepada seorang anak (dibawah 17 tahun).

B. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang
Lahirnya Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
diprakarsai oleh lahirnya deklarasi Hak Asasi Manusia tahun 1948 yang merupakan
upaya untuk menangani masalah perdagangan manusia, utamanya bagi pemenuhan
hak-hak asasi korban dan perlindungan hukumnya. Upaya tersebut kemudian
dirangkum dalam “Protokol untuk mencegah, menindak dan menghukum
perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak”. Protokol ini lahir di kota
Polermo, Italy pada 12 Desember 2000, yang kemudian dikenal sebagai Protokol
Polermo. Protokol Polermo tidak hanya mewajibkan negara untuk mempidanakan

pelaku tindak perdagangan orang, tetapi juga mengharuskan negara untuk
menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi korban perdagangan. 45
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang juga tidak
ada menyebutkan secara jelas dan tegas mengenai eksploitasi seksual terhadap anak
dalam pernikahan dini. Pengertian eksploitasi seksual yang tercantum di dalam pasal
1 angka 8 hanya memberikan pengertian eksploitasi seksual secara umum tanpa
mengerucut kepada eksploitasi seksual yang dilakukan terhadap anak. “Eksploitasi
Seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain
dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada
semua kegiatan pelacuran dan percabulan”.
Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa: “Setiap orang yang melakukan
perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan
seseorang

dengan

ancaman

kekerasan,

penggunaan

kekerasan,

penculikan,

penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan,
penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh
persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan
mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”. Pasal 2 ayat

45

Protokol Polermo, dalam http://jurnalperempuan.com/2011/05/protokol-palermo-2/, diakses
pada 30 September 2013

(2) berbunyi: “Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
orang tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)”.
Berdasarkan bunyi pasal 2, pernikahan dini dapat dimasukkan ke dalam
kategori trafiking, yakni pernikahan dini untuk kawin kontrak, apabila dilakukan
melalui perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau
penerimaan

seseorang

dengan

ancaman

kekerasan,

penggunaan

kekerasan,

penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau
posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun
memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain untuk
dieksploitasi secara seksual, sehingga mendatangkan keuntungan.

C. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Keberadaan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
merupakan perwujudan komitmen pemerintah dalam meratifikasi Konvensi Hak
Anak. Secara filosofis, lahirnya Undang-Undang Perlindungan Anak bertujuan untuk
melindungi hak-hak anak. Perlindungan anak adalah: “Segala kegiatan untuk
menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, dan
berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. 46 Demi
melindungi kepentingan anak, maka undang-undang melarang setiap orang
46

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta
melakukan eksploitasi terhadap anak, baik secara ekonomi maupun seksual.
Ketentuan pidana yang terdapat di dalam Undang-Undang Perlindungan Anak
lebih tegas bila dibandingkan dengan KUHPidana karena sudah memuat tentang
batas minimum hukuman. Ketentuan pidana terkait tindakan eksploitasi seksual
terhadap anak tercantum dalam pasal 81, 82, dan 83 Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Pasal 81:
1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan
orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun
dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta
rupiah).
2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi
setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian
kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau
dengan orang lain.

Batasan eksploitasi seksual terhadap anak sesuai pasal 81 ini adalah persetubuhan
yang dilakukan oleh orang dewasa kepada seorang anak melalui kekerasan, ancaman
kekerasan, ataupun dengan bujukan dan tipu muslihat.

Pasal 82:
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,
memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak
untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun
dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling
sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Batasan eksploitasi seksual terhadap anak menurut pasal 82 adalah pencabulan yang
dilakukan oleh orang dewasa kepada seorang anak melalui kekerasan, ancaman
kekerasan, ataupun dengan bujukan dan tipu muslihat.

Pasal 83:
Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri
sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam
puluh juta rupiah).
Batasan eksploitasi seksual terhadap anak menurut pasal ini adalah perdagangan
anak ataupun penculikan anak untuk diri sendiri atau untuk dijual,
Sebagai aturan khusus yang memberikan perlindungan kepada anak, di dalam
Undang-Undang Perlindungan Anak tidak satu pasal pun yang menyebutkan perihal

larangan menikahi anak di usia dini, meskipun berdasarkan analisis diketahui bahwa
menikahi anak di usia dini merupakan satu bentuk eksploitasi seksual anak sekaligus
pelanggaran hak asasi anak, karena akan berdampak buruk terhadap anak, akan tetapi
dalam prakteknya apabila kejahatan tersebut terjadi, maka Undang-Undang
Perlindungan Anak dijadikan sebagai perangkat hukum untuk melindungi anak.

D. Keppres Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Konvensi Hak Anak
Konvensi Hak Anak bermula dari sebuah gagasan mengenai hak anak pada
masa berakhirnya perang dunia pertama. Sebuah kondisi, dimana akibat dari perang
tersebut, begitu sangat merugikan masyarakat dunia, khususnya kaum perempuan dan
anak-anak. Seruan agar adanya sebuah perhatian dari publik dan tentunya perhatian
yang lebih pula dari negara, atas nasib anak-anak yang menjadi korban perang dunia,
seringkali diteriakan oleh para aktifis perempuan.
Eglantyne

Jebb,

salah

seorang

aktifis

perempuan

yang

kemudian

mengembangkan sepuluh butir pernyataan tentang hak anak. Selanjutnya pada tahun
1924, untuk pertama kalinya deklarasi hak anak diadopsi oleh Liga Bangsa-Bangsa.
Tahun 1959 Majelis Umum PBB kembali mengeluarkan pernyataan mengenai hak
anak. Tahun 1979, yang merupakan tahun anak Internasional, pemerintah Polandia
mengajukan usulan bagi perumusan suatu dokumen standart internasional bagi
pengakuan terhadap hak-hak anak dan mengikat secara yuridis. Sepuluh tahun
kemudian, tepatnya pada tahun 1989, rancangan konvensi hak anak berhasil

diselesaikan, dan naskah akhirnya disahkan oleh Majelis Umum PBB sebagai
Konvensi Hak Anak (KHA). 47
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengesahkan Konvensi Hak Anak (Child Right
Convention) pada tanggal 20 November 1989. Indonesia telah meratifikasi konvensi
tersebut melalui Kepres Nomor 36 Tahun 1990. Berdasarkan hukum internasional,
ratifikasi dimungkinkan dalam 2 (dua) bentuk, yaitu: 48
1.

2.

Dalam bentuk undang-undang, artinya dalam proses ratifikasi tersebut
dimintakan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku wakil rakyat.
Ratifikasi dalam bentuk ini bersifat adopsi, artinya memilah-milah isi dari
peraturan internasional yang akan diratifikasi tersebut, sehingga
menyesuaikannya dengan kondisi bangsa.
Dalam bentuk Keputusan Presiden, artinya ratifikasi terhadap perjanjian
internasional dilakukan langsung oleh Presiden melalui Keputusan Presiden
tanpa meminta persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ratifikasi
dalam bentuk bersifat memberlakukan perjanjian internasional secara
keseluruhan, tanpa menyesuaikannya dengan kondisi bangsa.

Melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 jelas terlihat bahwa
Indonesia memberlakukan perjanjian internasional Konvensi Hak Anak secara
keselurahan, tanpa adanya tindakan penyesuaian terhadap kondisi jiwa bangsa
Indonesia yang tentu tidak akan sama dengan negara lain, sehingga keputusan
terhadap ratifikasi tersebut menimbulkan pro-kontra di kalangan ahli hukum.
Alasan yang pro adalah masalah tuntutan yang mendesak. Mengingat
perkembangan zaman yang menuntut serba cepat, termasuk dalam pengambilan
keputusan menyangkut masalah-masalah internasional. Terdapat hal-hal tertentu
47

Menengok Ulang Implementasi Konvensi Hak Anak di Indonesia, dalam
http://yayasananakdanperempuan.blogspot.com, diakses 3 Agustus 2013
48
Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003, hlm. 124

dalam hubungan internasional yang menuntut keputusan segera dan jika keputusan
tersebut harus dimintakan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan prosedur
yang berbelit-belit seperti saat ini, tentu Indonesia akan terus tertinggal. Oleh karena
itu, kelompok yang pro setuju jika dalam kondisi tertentu yang tidak memungkinkan
pemerintah untuk meminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
memungkinkan ratifikasi terhadap hukum internasional yang tidak menimbulkan
dampak penting bagi masyarakat Indonesia, sehingga tidak mempengaruhi politik
luar negeri Indonesia, tidak menimbulkan ikatan yang dapat mempengaruhi haluan
politik luar negeri Indonesia dan tidak diwajibkan oleh undang-undang bahwa
ratifikasi hukum internasional tersebut harus dibuat dalam bentuk undang-undang,
sehingga Konvensi Hak Anak tersebut diratifikasi dalam bentuk Keputusan
Presiden. 49
Bagi kelompok yang kontra berpendapat bahwa ratifikasi hukum internasional
harus dalam bentuk undang-undang, dengan alasan bahwa hukum internasional
tentunya memiliki nilai-nilai budaya tersendiri yang belum atentu cocok untuk
diterapkan di dalam budaya Indonesia, sementara ratifikasi terhadap hukum
internasional tersebut mengikat secara hukum untuk dilaksanakan dan dipatuhi oleh
masyarakat Indonesia. Kondisi yang demikian sangat memungkinkan hukum
internasional yang diadopsi menjadi hukum nasional membawa perubahan budaya
masyarakat Indonesia, oleh karenanya untuk meratifikasi hukum internasional
tersebut wajib dimintakan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sehingga

49

Ibid, hlm. 125

bentuk ratifiksai yang tepat terhadap Konvensi Hak Anak adalah dalam bentuk
undang-undang. 50
Ratifikasi terhadap konvensi atau hukum Internasional tersebut secara
otomatis menimbulkan kewajiban bagi negara Indonesia untuk menjamin
perlindungan terhadap hak-hak anak. Perihal perlindungan terhadap hak-hak anak,
bahwa setiap anak berhak atas perlindungan baik dari orang tua, keluarga,
masyarakat, dan negara, 51 maka Konvensi Hak Anak internasional mewajibkan
negara untuk melindungi anak dari:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Kehilangan keluarga;
Pekerjaan yang mengancam kesehatan, pendidikan dan perkembangan anak;
Penyalahgunaan obat bius dan narkotika;
Eksploitasi dan penganiayaan seksual;
Prostitusi dan keterlibatan dalam pornografi;
Segala bentuk diskriminasi.
Keadaan krisis dan darurat, seperti: pengungsian, korban peperangan/konflik
bersenjata, dan konflik dengan hukum.
Berdasarkan susunannya, Konvensi Hak-hak Anak terdiri dari 54 pasal yang

terbagi dalam 4 bagian, yaitu: 52
1.
2.
3.

Mukadimah, yang berisi konteks Konvensi Hak-hak Anak.
Bagian Satu (Pasal 1-41), yang mengatur hak-hak anak.
Bagian Dua (Pasal 42-45), yang mengatur masalah pemantauan dan pelaksanaan
Konvensi Hak-hak Anak.
4. Bagian Tiga (Pasal 46-54), yang mengatur masalah pemberlakuan konvensi.
Konvensi Hak-hak Anak mempunyai 2 (dua) protokol opsional, yaitu :
1. Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak mengenai Keterlibatan Anak Dalam
Konflik Bersenjata (telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-undang
Nomor 9 Tahun 2012).
2. Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak mengenai Penjualan Anak, Prostitusi
Anak dan Pornografi Anak (Indonesia telah meratifikasi protokol opsional ini
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2012).
50

Ibid
Pasal 52 Konvensi Hak Anak Internasional
52
Konvensi Hak-Hak Anak, dalam http://bappeda.kendalkab.go.id, diakses 5 Agustus 2013

51

Konvensi Hak-hak Anak berisi 8 kluster, yaitu:
1. Kluster I
: Langkah-langkah Implementasi
2. Kluster II
: Definisi Anak
3. Kluster III
: Prinsip-prinsip Hukum KHA
4. Kluster IV
: Hak Sipil dan Kebebasan
5. Kluster V
: Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif
6. Kluster VI
: Kesehatan dan Kesejahteraan Dasar
7. Kluster VII
: Pendidikan, Waktu Luang dan Kegiatan Budaya
8. Kluster VIII
: Langkah-langkah Perlindungan Khusus
Hak-hak anak menurut Konvensi Hak Anak dikelompokkan dalam 4 kategori, yaitu :
1. Hak Kelangsungan Hidup, hak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup
dan hak memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaikbaiknya.
2. Hak Perlindungan, perlindungan dari diskriminasi, eksploitasi, kekerasan dan
keterlantaran.
3. Hak Tumbuh Kembang, hak memperoleh pendidikan dan hak mencapai standar
hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial.
4. Hak Berpartisipasi, hak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang
mempengaruhi anak.
Perihal larangan eksploitasi seksual terhadap anak dalam Konvensi Hak Anak,
terdapat pasal-pasal yang merujuk kepada perlindungan atas eksploitasi anak, yakni:
53

1.

Pasal 10 tentang hak anak untuk berkumpul kembali bersama orangtuanya dalam
kesatuan keluarga, apakah dengan meninggalkan atau memasuki negara tertentu
untuk maksud tersebut;

2.

Pasal 11 tentang kewajiban negara untuk mencegah dan mengatasi penculikan
atau penguasaan anak diluar negeri;

3.

Pasal 16 tentang hak anak untuk memperoleh perlindungan dari gangguan
terhadap kehidupan pribadi;

53

Muhammad Joni, Hak-Hak Anak dalam undang-undang Perlindungan Anak dan Konvensi
PBB Tentang Hak Anak : Beberapa Isu Hukum Keluarga, hlm. 7

4.

Pasal 19 tentang kewajiban negara untuk melindungi anak dari segala bentuk
salah perlakuan yang dilakukan oleh orangtua atau orang lain yang bertanggung
jawab atas pengasuhan mereka;

5.

Pasal 20 tentang kewajiban negara untuk memberikan perlindungan khusus bagi
anak-anak yang kehilangan lingkungan keluarga mereka;

6.

Pasal 21 tentang adopsi dimana pada negara yang mengakui adopsi hanya
dilakukan untuk kepentingan terbaik bagi anak;

7.

Pasal 25 tentang peninjauan secara periodik terhadap anak-anak yang
ditempatkan dalam pengasuhan oleh negara karena alasan perawatan,
perlindungan atau penyembuhan;

8.

Pasal 32 tentang kewajiban negara untuk melindungi anak-anak dari keterlibatan
dalam pekerjaan yang mengancam kesehatan, pendidikan atau perkembangan
mereka;

9.

Pasal 33 tentang hak anak atas perlindungan dari penyalahgunaan obat bius dan
narkotika serta keterlibatan dalam produksi dan distribusi;

10. Pasal 34 tentang hak anak atas perlindungan dari eksploitasi dan penganiayaan
seksual termasuk prostitusi dan keterlibatan dalam pornografi. Negara peserta
berusaha untuk melindungi anak dari semua bentuk eksploitasi seksual dan
penyalahgunaan seksual, sehingga untuk tujuan ini;
Negara Peserta khususnya akan mengambil langkah-langkah yang layak, baik
secara bilateral maupun multilateral untuk mencegah :

a.

Bujukan atau paksaan agar anak terlibat dalam setiap kegiatan seksual yang
tidak sah;

b.

Penggunaan anak secara eksploitatif dalam pelacuran atau praktik-praktik
seksual lain yang tidak sah;

c.

Penggunaan anak secara eksploitatif dalam pertunjukan perbuatan yang
bersifat pornografis.

11. Pasal 35 tentang kewajiban negara untuk menjajagi segala upaya guna mencegah
penjualan, penyelundupan dan penculikan anak;
12. Pasal 36 tentang hak atas perlindungan dari semua bentuk eksploitasi yang belum
tercakup dalam pasal 32, pasal 33, pasal 34 dan pasal 35;
13. Pasal 37 tentang larangan terhadap penyiksaan, perlakuan atau hukuman yang
kejam, hukuman mati, penjara seumur hidup, dan penahanan semena-mena atau
perampasan kebebasan terhadap anak;
14. Pasal 39 tentang kewajiban negara untuk menjamin agar anak menjadi korban
konflik bersenjata, penganiayaan, penelantaran, salah perlakuan atau eksploitasi,
memperoleh perawatan yang layak demi penyembuhan dan re-integrasi sosial
mereka;
15. Pasal 40 tentang hak bagi anak-anak yang didakwa ataupun yang diputuskan
telah melakukan pelanggaran untuk tetap dihargai hak azasinya dan, khususnya,
untuk menerima manfaat dari segenap proses hukum atau bantuan hukum lainnya
dalam penyiapan dan pengajuan pembelaan mereka. Prinsip demi hukum dan
penempatan institusional sedapat mungkin dihindari;

16. Pasal 58 menyebutkan bahwa setiap anak berhak mendapatkan perlindungan
hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan
buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya,
atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas anak tersebut. Apabila
orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk penganiayaan fisik
atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual termasuk
pemerkosaan atau pembunuhan terhadap anak yang seharusnya dilindungi, maka
harus dikenakan pemberatan hukuman;
Kertas kerja yang berjudul A Guide for Non-Governmental Organzations
Reporting to the Committee on the Rights of the Child, dirinci beberapa pasal
perlindungan khusus (special protection measures), yaitu : 54
1.

Anak-anak dalam situasi darurat (children in situation of emergency), yakni :
anak-anak dalam pengungsian (vide pasal 22), anak-anak dalam (korban)
peperangan atau konflik bersenjata (vide pasal 38);

2.

Anak-anak yang berkonflik dengan hukum (children in conflict with the law),
yakni : masalah prosedural peradilan anak (vide pasal 40), anak-anak yang
berada dalam penekanan terhadap kebebasan (vide pasal 37), re-integrasi sosial
anak-anak dan penyembuhan fisik dan psikologis anak (vide pasal 39);

3.

Anak-anak dalam situasi eksploitasi (children in situation of exploitation), yakni;
eksploitasi ekonomi seperti pekerja anak (vide pasal 32), penyalahgunaan obat
bius dan narkotika (vide pasal 33), eksploitasi seksual dan penyalahgunaan

54

Ibid, hlm. 8

seksual (vide pasal 34), bentuk-bentuk eksploitasi lainnya (vide pasal 36),
perdagangan anak, penculikan dan penyelundupan anak (vide pasal 35);
4.

Anak-anak dari kelompok minoritas atau anak-anak penduduk suku terasing
(children belonging to a minority or an indegenous group) (vide pasal 30).

E. Keppres No. 87 Tahun 2002 Tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan
Eksploitasi Seksual Komersial Anak
Pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2002 telah
menetapkan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial
Anak (RAN-PESKA) dan Gugus Tugas untuk memerangi dan menghapus eksploitasi
seksual anak yakni kejahatan yang melanggar hak asasi anak, merendahkan harkat
dan martabat kemanusian serta merupakan salah satu bentuk pekerjaan terburuk
untuk anak.
Sama halnya dengan peraturan yang telah dikemukakan di atas, dalam
Keputusan Presiden ini juga tidak menyebutkan tentang larang eksploitasi seksual
dalam pernikahan dini, namun larangan terhadap kegiatan eksploitasi seksual anak
secara tegas dapat dilihat pada konsiderans huruf d Keputusan Presiden Nomor 87
Tahun 2002 telah menetapkan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi
Seksual Komersial Anak bahwa: “Kegiatan eksploitasi seksual komersial anak di

Indonesia

sudah

sedemikian

parah

yang

sungguh

merisaukan

dan

mencemaskan sehingga harus segera ditangani dengan sungguh-sungguh dan
melibatkan semua pihak”.

Lima bidang yang akan digarap dalam memerangi dan menghapus eksploitasi
seksual komersial anak yaitu koordinasi dan kerjasama, pencegahan, perlindungan,
pemulihan dan reintegrasi serta partisipasi anak. Kondisi yang ingin dicapai yakni
memberikan perlindungan kepada setiap anak dari eksploitasi seksual komersial,
mengurangi jumlah anak yang rawan terhadap eksploitasi seksual komersial serta
mengembangkan lingkungan, sikap dan praktek yang tanggap terhadap permasalahan
eksploitasi seksual komersial anak.
Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial bertujuan
untuk: 55
1.

Anak menjamin peningkatan dan pemajuan atas upaya-upaya perlindungan
terhadap korban eksploitasi seksual komersial;

2.

Mewujudkan kegiatan-kegiatan baik yang bersifat preventif maupun represif
dalam upaya melakukan tindakan pencegahan dan penanggulangan atas praktekpraktek eksploitasi seksual komersial anak;

3.

Mendorong untuk adanya pembentukan dan/atau penyempurnaan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan tindakan eksploitasi seksual
komersial anak;
Berdasarkan hasil evaluasi terhadap pelaksanaan Rencana Aksi Nasional

Indonesia tentang penghapusan eksploitasi seksual komersial anak, tidak ada Rencana
Aksi Khusus Nasional yang digunakan sebagai panduan oleh para pemangku
kepentingan seperti instansi-instansi pemerintah di tingkat nasional, provinsi, dan
55

Pasal 2 Keppres No. 87 Tahun 2002 Tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan
Eksploitasi Seksual Komersial Anak

lembaga swadaya masyarakat yang disebabkan karena kurangnya fokus strategi dan
prioritas, kurangnya standar minimum dan tolok ukur serta kurangnya indokator.
Pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Eksploitasi Seksual Komersial
Anak tampak dibatasi karena tidak dianggap sebagai sebuah prioritas oleh instansi
pemerintah nasional dan pemerintah daerah, hal ini disebabkan oleh karena para
petugasnya juga tidak paham dengan permasalahan ini, sehingga apabila data yang
akurat tentang dampak dari Rencana Aksi Khusus Nasional ini juga tidak terlihat. 56

56

http://resources.ecpat.net/EI/Pdf/A4A_II/A4A_V2_EAP_INDONESIA_BA.pdf, loc.cit