Perlindungan Hukum Terhadap Lessor Dalam Perjanjian Leasing (Sewa Guna Usaha)(Studi Kasus Pada PT. OTO Multiartha Cabang Medan)

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP LESSOR DALAM PERJANJIAN LEASING (SEWA GUNA USAHA) (Studi Kasus Pada PT. OTO Multiartha Cabang Medan)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas – tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk

memperoleh gelar

SARJANA HUKUM

OLEH :

YUHDI FITHRIAWAN

NIM. 070200212

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA DAGANG

  FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... DAFTAR ISI... BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penulisan ... 9

D. Keaslian Penulisan ... 9

E. Metode Penelitian ... 10

F. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Perjanjian Pada Umumnya ... 15

B. Asas – asas Hukum Perjanjian ... 20

C. Syarat Sahnya Perjanjian ... 24

D. Pihak – pihak dalam Perjanjian... 26

E. Prestasi,Wanprestasi, dan Akibat – akibatnya ... 28

BAB III PERJANJIAN LEASING A. Pengertian Leasing ... 38

B. Leasing sebagai Lembaga Hukum Perjanjian ... 37

C. Jaminan – jaminan yang Diberikan Lessee Terhadap Lessor ... 43

D. Efektifitas Benda Jaminan dalam Penutupan Kerugian yang Dialami Lessor ... 45

BAB IV PELINDUNGAN HUKUM TERHADAP LESSOR DALAM PERJANJIAN LEASING A. Syarat – Syarat dan Ketentuan Umum yang Diberikan Lessor Terhadap Lessee sebagai Kualifikasi Kelayakan Lessee ... 53


(3)

B. Faktor – faktor Penyebab Terjadinya Wanprestasi dari Pihak Lesse

dalam Perjanjian Leasing ... 59 C. Upaya – upaya Penyelesaian Wanprestasi yang Dilakukan

Lessor Maupun Lessee... 62

BAB V PENUTUP

A. KESIMPULAN ... 76 B. SARAN ... 79

DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN ...


(4)

ABSTRAK

Perkembangan perekonomian yang begitu pesat di Indonesia mendorong peningkatan kebutuhan akan dana investasi yang harus dipenuhi, melalui berbagai alternatif sumber pembiayaan yang dapat merupakan sumber dari pembiayaan asing juga terdapat pembiayaan dalam negeri. Keduanya berpengaruh dalam memfasilitasi penyediaan dana bagi kalangan dunia usaha.

Perusahaan pembiayaan leasing merupakan perusahaan pembiayaan yang masih relatif baru, pada awal perekembangannya usaha leasing dipacu oleh pemerintah dalam rangka mendorong dunia usaha dengan memberikan beberapa fasilitas antara lain dengan memberikan penundaan pembayaran perpajakan, sehingga usaha leasing berkembang dengan sangat maju dan pesat.

Hubungan lessor dan lessee adalah hubungan timbal balik, menyangkut pelaksanaan kewajiban dan peralihan suatu hak atau tuntutan kewajiban dari kenikmatan menggunakan fasilitas pembiayaan, untuk itu antara lessor dan lessee dibuat perjanjian kontrak leasing.

Mengenai perlindungan hukum terhadap lessor dalam perjanjian sewa guna usaha, timbullah beberapa permasalahan seperti apa sajakah syarat – syarat umum yang menjadi ketentuan dasar terhadap calon lessee sebagai kualifikasi kelayakan lesse, faktor – faktor penyebab terjadinya wanprestasi dari pihak lessee dalam perjanjian leasing, serta upaya – upaya penyelesaian wanprestasi yang dapat dilakukan oleh lessor maupun lessee.

Metode penelitian yang digunakan adalah gabungan antara metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian hukum empiris.

Dari hasil penelitian dan analisis ada beberapa hal yang dapat ditarik sebagai kesimpulan seperti, Prosedur mekanisme leasing sangat diperlukan dalam proses pembuatan perjanjian leasing sebab dalam prosedur tersebut terdapat tahapan yang mengatur setiap tindakan yang harus diambil para pihak. Resiko yang sering dihadapi PT. OTO Multiartha Divisi Mobil adalah macetnya cicilan dari pihak leasing. Kerugian yang dialami PT. OTO Multiartha adalah barang modal yang dilease tidak menjadi hak milik dari orang yang menggunakan barang modal tersebut. Faktor lainnya adalah pihak lessee pailit atau bangkrut, sehingga tidak dapat membayar uang sewa yang telah diperjanjikan. PT. OTO Multiartha mempunyai tiga alternatif apabila terjadinya wanprestasi yaitu negosiasi, melalui badan arbitrase dan melalui pengadilan.

Dalam menganalisa kelayakan dari leesee sebaiknya lebih teliti dengan membandingkan data dilapangan apakah sudah sesuai dengan syarat-syarat dan prosedur yang dikeluarkan oleh lessor serta perlu didukung dengan data support dengan prospek calon leessee kedepannya. Lembaga leasing perlu meningkatkan penmgawasan, hal ini perlu dilakukan untuk mengurangi faktor penyebab terjadinya wanprestasi. Serta perlunya dibuat undang – undang yang mengatur secara khusus mengenai leasing.


(5)

ABSTRAK

Perkembangan perekonomian yang begitu pesat di Indonesia mendorong peningkatan kebutuhan akan dana investasi yang harus dipenuhi, melalui berbagai alternatif sumber pembiayaan yang dapat merupakan sumber dari pembiayaan asing juga terdapat pembiayaan dalam negeri. Keduanya berpengaruh dalam memfasilitasi penyediaan dana bagi kalangan dunia usaha.

Perusahaan pembiayaan leasing merupakan perusahaan pembiayaan yang masih relatif baru, pada awal perekembangannya usaha leasing dipacu oleh pemerintah dalam rangka mendorong dunia usaha dengan memberikan beberapa fasilitas antara lain dengan memberikan penundaan pembayaran perpajakan, sehingga usaha leasing berkembang dengan sangat maju dan pesat.

Hubungan lessor dan lessee adalah hubungan timbal balik, menyangkut pelaksanaan kewajiban dan peralihan suatu hak atau tuntutan kewajiban dari kenikmatan menggunakan fasilitas pembiayaan, untuk itu antara lessor dan lessee dibuat perjanjian kontrak leasing.

Mengenai perlindungan hukum terhadap lessor dalam perjanjian sewa guna usaha, timbullah beberapa permasalahan seperti apa sajakah syarat – syarat umum yang menjadi ketentuan dasar terhadap calon lessee sebagai kualifikasi kelayakan lesse, faktor – faktor penyebab terjadinya wanprestasi dari pihak lessee dalam perjanjian leasing, serta upaya – upaya penyelesaian wanprestasi yang dapat dilakukan oleh lessor maupun lessee.

Metode penelitian yang digunakan adalah gabungan antara metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian hukum empiris.

Dari hasil penelitian dan analisis ada beberapa hal yang dapat ditarik sebagai kesimpulan seperti, Prosedur mekanisme leasing sangat diperlukan dalam proses pembuatan perjanjian leasing sebab dalam prosedur tersebut terdapat tahapan yang mengatur setiap tindakan yang harus diambil para pihak. Resiko yang sering dihadapi PT. OTO Multiartha Divisi Mobil adalah macetnya cicilan dari pihak leasing. Kerugian yang dialami PT. OTO Multiartha adalah barang modal yang dilease tidak menjadi hak milik dari orang yang menggunakan barang modal tersebut. Faktor lainnya adalah pihak lessee pailit atau bangkrut, sehingga tidak dapat membayar uang sewa yang telah diperjanjikan. PT. OTO Multiartha mempunyai tiga alternatif apabila terjadinya wanprestasi yaitu negosiasi, melalui badan arbitrase dan melalui pengadilan.

Dalam menganalisa kelayakan dari leesee sebaiknya lebih teliti dengan membandingkan data dilapangan apakah sudah sesuai dengan syarat-syarat dan prosedur yang dikeluarkan oleh lessor serta perlu didukung dengan data support dengan prospek calon leessee kedepannya. Lembaga leasing perlu meningkatkan penmgawasan, hal ini perlu dilakukan untuk mengurangi faktor penyebab terjadinya wanprestasi. Serta perlunya dibuat undang – undang yang mengatur secara khusus mengenai leasing.


(6)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah.

Peta perekonomian global yang mendobrak batas-batas wilayah negara, sistem pasar dan model investasi menjadi acuan seberapa besar potensi laba dan resiko dari suatu usaha yang akan diadakan oleh investor.

Liberalisasi perdagangan tidak hanya menjadi persaingan anatara komoditi andalan, tetapi juga merupakan persaingan dibidang jasa, pada kondisi sepereti ini yang menjadi pertimbangan dari konsumen adalah tingkat efisiensi, sedangkan produsen /pengusaha adalah tingkat keamanan dari suatu investasi modal yang diselenggarakan.

Perkembangan perekonomian yang begitu pesat di Indonesia, mendorong peningkatan kebutuhan akan dana investasi yang harus dipenuhi, melalui berbagai alternatif sumber pembiayaan yang dapat merupakan sumber dari pembiayaan asing melalui mekanisme PMA (penanaman modal asing), juga terdapat pembiayaan dalam negeri yaitu melalui PMDN (penanaman modal dalam negeri), yang keduanya berpengaruh dalam memfasilitasi penyediaan dana bagi kalangan dunia usaha, baik yang penyelenggaraannya oleh pihak swasta, koperasi maupun kekuatan ekonomi yang berbasis negara yaitu Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Sumber pembiayaan (modal) baik untuk pengadaan barang guna memenuhi kebutuhan usaha sering diperoleh dari pihak bank dalam bentuk kredit, tetapi guna kepentingan modal baik berupa pengadaan barang /alat untuk digunakan bagi kepentingan produksi maupun secara langsung berfungsi sebagai kegiatan dari perusahaan lessee, seperti pembiayaan kredit kendaraan roda dua 1


(7)

       

dapat ditempuh melalui mekanisme leasing yang secara teoritis jelas lebih menguntungkan bagi usahawan yang memiliki modal banyak untuk melakukan ekspansi usaha.

Lembaga pembiayaan leasing dibentuk berdasarkan surat keputusan bersama (SKB) Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor.Kep.-122/MK/IV/2/1974, Nomor.32/M/SK/2/1974, 30/Kpb/I/1974 tertanggal 7 Februari 1974, tentang perizinan usaha leasing.

Perusahaan pembiayaan leasing merupakan perusahaan pembiayaan yang masih relatif baru, pada awal perkembangannya usaha leasing dipacu oleh pemerintah dalam rangka mendorong perkembangan dunia usaha dengan memberikan beberapa fasilitas anatara lain dengan memberikan penundaan pembayaran perpajakan , sehingga usaha leasing berkembang dengan sangat maju dan pesat.1

Perkembangan perusahaan leasing yang demikian pesat telah semakin kuat maka timbul pemikiran untuk mengatur usaha leasing dalam suatu peraturan yang lebih khusus, yaitu melalui KEPPRES No.61 Tahun 1988 tentang perusahaan pembiayaan, Keputusan Mentri Keuangan No.1251 tahun 1988 tentang ketentuan dan tata cara pelaksanaan lembaga pembiayaan serta keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169 tahun 1991 tantang kegiatan sewa guna usaha.

Dalam konteks lembaga leasing (sewa guna usaha) itu sendiri menjadi perdebatan apakah lembagta jual beli, sewa beli, jual beli dengan angsuran atau sewa menyewa dengan opsi membeli, hal tersebut berkaitan erat dengan hak

 

1

Ahmad Anwari, Leasing di Indonesia, Cetakan Kedua, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1988), hal. 76


(8)

       

kebendaan yang pada salah satu pihak menyangkut batas-batas hak dan tanggung jawabnya.

Fasilitas yang diadakan oleh perusahaan leasing (sewa guna usaha) sebagai perusahaan pembiayaan sangat meringankan konsumen yang kekurangan modal untuk membeli alat pendukung usaha, sehingga leasing menjadi yang sangat solutif.

Leasing (sewa guna usaha) sebagai lembaga pembiayaan dalam sistem kerjanya akan menghubungkan kepentingan dari beberapa pihak yang berbeda, yaitu :2

1. Lessor yang adalah pihak leasing itu sendiri sebagai pemilik modal, yang nantinya akan memberikan modal alat atau membeli suatu barang.

2. Lessee adalah nasabah atau perusahaan yang bertindak sebagai pemakai peralatan/barang yang akan di leased atau atau yang akan disewakan pihak penyewa/lessor.

3. Vendor atau leveransir atau disebut supplier, sebagai pihak ketiga penjual suatu barang yang akan dibeli oleh lessor untuk disewakan kepada lessee.

Hubungan lessor dan lessee adalah hubungan timbal balik , menyangkut pelaksanaan kewajiban dan peralihan suatu hak atau tuntutan kewajiban dari kenikmatan menggunakan fasilitas pembiayaan, untuk itu antara lessor dan lessee dibuat perjanjian financial lease /kontrak leasing.

Bagi lessor keuntungan yang hendak dicapai dalam perjanjian financial lease dengan lessee semata-mata bertumpu pada terciptanya kepastian hukum terhadap perjanjian kontrak tentang serankaian pembayaran oleh lessee atas penggunaan aset yang menjadi objek lease, termasuk pengakuan lessee tentang

 

2


(9)

       

penguasan objek oleh lessee yang kepemilikannya dipegang oleh lessor, sehingga melahirkan hak secara hukum bagi lessor bila terjadi wanprestasi oleh lessee untuk menyita objek lessee.3

Sedangkan kerugiannya dapa berupa :4

a. Sebagai pemilik, lessor mempunyai resiko yang yang lebih beasr dari pada lessee sehubungan dengan barang lease maupun dengan kegiatan operasionalnya, yaitu adanya tanggung jawab atas tuntutan pihak ketiga jika terjadi kecelakaan ataupun kerusakan atas barang orang lain yang disebabkan oleh lease property tersebut.

b. Pihak lessor walaupun statusnya sebagai pemilik dari lease property tetapi tidak bisa melakukan penuntututan (claim) kepada pabrik/suppliernya secara langsung, tindakan tersebut harus dilakukan oleh lessee sebagai pemakai barang.

c. Sebagai pemilik barang , lessor secara hukum harus bertanggung jawab atas pembayaran beberapa kewajiban pajak tertentu.

d. Walaupun lessor mempunyai hak secara hukum untuk menjual leased property, khususnya pada akhir periode lease, lessor belum dapat yakin bahwa barang yang bersangkutan bebas dari ikatan seperti liens (gadai), atau kepentingan-kepentingan lainnya.

Pada suatu financial lease ketentuan menyewakan ulang yang dilakukan lessee tidak dibenarkan namun kenyataan terhadap hal tersebut sering terjadi.

Bagi lessee, keuntungan yang hendak dicapai dalam perjanjian financial

lease dengan leasing/lessor adalah :5

a. Capital saving, yakni ia tidak perlu menyediakan dana besar , maksimum

hanya down payment (uang muka) yang biasanya jumlahnya banyak. b. Tidak diperlukan adanya jaminan (agunan).

c. Terhindar dari resiko.

d. Masih tetap mempunyai kesempatan untuk meminjam uang dari sumber-sumber lain sesuai dengan kredit line yang dimiliki.

e. Mempunyai hak pilih (option rights).

 

3

Ibid.

4

Ibid., hal. 5

5

Murti Sianipar, Dasar Hukum dan Masalah Hukum dalam Industri Leasing, (Bandung : Nuansa Aulia, 1999), hal. 5.


(10)

       

Penjelasan tentang tidak diperlukannya jaminan karena konsep dari usaha leasing (sewa guna usaha) adalah pinjaman modal usaha dan jaminan kedudukannya dalam perjanjian leasing menjadi ketentuan prinsipil, dasar pemikiran dari konsep leasing tidak menghilangkan fungsi jaminan sebagai fungsi modal dalam usaha leasing/lessee, hal tersebut yang menjadi penekanan bahwa jaminan dalam penerapan perjanjian leasing sangat fleksibel.6

Menyangkut terhindar dari resiko adalah tidak terikatnya seorang lessee pada kemungkinan hilang atau rusaknya objek leased, karena antisipasi keadaan tersebut telah beralih ke asuransi. Sedangkan kerugian-kerugian yang dapat timbul bagi pihak lessee dalam perjanjian financial lease adalah :7

a. Hak kepemilikan barang hanya akan berpindah apabila kewajiban lease sudah diselesaikan dan hak opsi digunakan.

b. Biaya bunga dalam perjanjian financial lease biasanya lebih besar dari pada biaya bunga pinjaman bank.

c. Seandainya terjadi pembatalan perjanjian suatu lease, maka kemungkinan biaya yang akan timbul cukup besar.

d. Hak kepemilikan mungkin dianggap lebih ber-prestige dabn lebih memberikan kepuasan kepada si pemilik.

e. Kemungkinan hilangnya memperoleh kesempatan benefit dari residual

value.

Terkadang hubungan lessor dan lessee hanya harmonis pada awal perjanjian, pasa saat satu pihak membutuhkan sesuatu (modal pembiayaan) sedang pihak lain berusaha mendapatkan keuntungan, selanjutnya hubungan lessor dan lessee yang dalam perusahaan leasing merupakan resiko usaha, bahkan tidak jarang lessor kehilangan objek leased.

Pada beberapa kondisi mempertimbangkan resiko hilangnya objek yang di leasingkan, diantara para pihak biasanya diperjanjikan penanggungan jaminan asuransi terhadap objek leased, namun perlu dimengerti jaminan asuransi terhadap

 

6

Ibid.

7


(11)

       

claim musnahnya leased terbatas pada sebab musnah karena pencurian bukan karena penipuan.8

Dalam kajian lebih jauh mencermati fakta yang ada, perlu diakui bahwa lessorlah yanglebih banyak memberikan prestasi, karena selain barang lessor hanya pada perjanjian/kontrak yang ada, dengan kemungkinan akan terjadinya penggelapan benda lessor oleh pihak lessee seperti menjual atau merubah bentuk objek kebendaan dengan mengabaikan isi perjanjian.

Kerugian-kerugian yang dialami oleh perusahaan leasing /lessor karena status barang masih miliknya dan lessee hanya memiliki opsi membeli , itupun setelah berakhirnya pembayaran angsuran, karenanya kemungkinan-kemingkinan kerugian yang disebabkan wanprestasi pihak lessee diperkecil resikonya dengan mempertajam kontrak klausula-klausula didalam perjanjian/kontrak, bahkan membuat akta-akta tambahan sebagai bentuk perjanjian lain yang disatukan dengan perjanjian pokoknya.

Perusahaan leasing disamping memberikan modal kepada lessee juga harus mengawasi barang modal dan kegiatan usaha yang dijalankan oleh lessee sehingga dari hasil pengawasan tersebut akan timbul suatu keyakinan pada lessor bahwa harga barang modal akan kembali karena kegiatan usaha lessee mempunyai prospek yang cerah, tetapi karena pengawasan lessor kurang ketat maka bagi lessee yang bertikad tidak baik akan memanfaatkannya, seperti akan mengagunkan barang modal kepada Bank untuk mendapatkan kredit.

Penelitian awal penulis pada beberapa kasus dipindah-alihkan objek kepada pihak lain akan menimbulkan konflik hukum yang tentunya memakan waktu dan biaya sehingga dilihat dari segi usaha sangat merugikan bagi lessor karena pada

 

8


(12)

akhirnya penyelesaian dari kasus-kasus tersebut adalah lewat gugatan secara perdata.

Berdasarkan uraian diatas dan dilandasi pemikiran bahwa sangatlah penting diketahui atau ditemukan mekanisme yang tepat dan efisien untuk memberikan solusi kepada lessor berupa upaya praktis apa yang mesti dilakukan oleh lessor untuk menjamin kepastian hukum bagi lessor tentang kesanggupan lessee untuk membayar uang sewa dari suatu perjanjian leasing dan menyangkut pegawasan bagaimana yang dilakukan oleh perusahaan leasing terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan wanprestasi dari pihak lessee serta akibatnya dalam perjanjian leasing dan bagaimana penyelesaian yang akan atau harus ditempuh oleh perusahaan leasing dalam menghadapi lessee yang mengalami kemacetan pembayaran uang sewa guna usaha.

Atas dasar uraian diatas penulis merasa tertarik untuk menulis skripsi dengan judul “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP LESSOR DALAM PERJANJIAN LEASING ( SEWA GUNA USAHA )“

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas mengenai perlindungan hukum terhadap lessor dalam perjanjian sewa guna usaha , penulis dapat merumuskan beberapa permasalahan yang penting untuk dikaji yaitu :

1. Apa sajakah syarat-syarat umum yang menjadi ketentuan lessor terhadap calon lessee sebagai kualifikasi kelayakan lessee dan bentuk pengawasan standart oleh pihak lessor?

2. Apakah faktor – faktor penyebab terjadinya wanprestasi dari pihak lesse dalam perjanjian leasing?


(13)

3. Bagaimana upaya – upaya penyelesaian wanprestasi yang dapat dilakukan oleh Lessor maupun lessee dalam menyelesaikan sengketa wanprestasi yang dilakukan oleh lessee ?

Beberapa permasalahan yang diajukan diatas, diharapkan dapat diketahui dan dijelaskan bagaimana pentingnyan suatu perlindungan hukum yang diberikan kepada lessor dengan mendasarkan pada dasar hukum serta kepastian hukum yang membawa kepada keseimbangan antara hak dan kewajiban yang harus diberikan antara pihak lessor dan lessee.

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan sebagaimana telah dirumuskan, maka dapat dirumuskan tujuan penulisan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui apakah syarat-syarat umum yang diberikan lessor terhadap lesse untuk memberikan jaminan kepastian hukum terhadap lessor dan bentuk pengawasan standart oleh pihak lessor.

2. Untuk mengetahui apakah faktor – faktor penyebab terjadinya wanprestasi dari pihak lesse dalam perjanjian leasing.

3. Untuk mengetahui apakah upaya – upaya penyelesaian wanprestasi yang dapat dilakukan oleh Lessor maupun lessee dalam menyelesaikan sengketa wanprestasi yang dilakukan oleh lessee.

Selain dari tujuan teoritis diatas, karya ilmiah yang dibuat penulis ini juga bertujuan praktis untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana lengkap (S – 1), khususnya Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Disamping itu penulis juga berharap agar tulisan ini berguna dan bermanfaat untuk menambah pengetahuan, khususnya hal – hal yang


(14)

menyangkut tentang perlindungan hukum terhadap lessor dalam pelaksanaan perjanjian – perjanjian leasing di Indonesia.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini merupakan syarat yang harus dipenuhi seorang calon sarjana untuk memperoleh gelar kesarjanaannya dalam hal ini untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. Skripsi dengan judul “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP LESSOR DALAM PERJANJIAN LEASING (SEWA GUNA USAHA)” belum pernah dibahas sebelumnya oleh orang lain dan ide untuk menulis topik ini merupakan inisiatif sendiri. Oleh karena itu, penulisan skripsi ini adalah asli sesuai dengan asas – asas keilmuan yaitu jujur, rasional, objektif, serta terbuka.

E.Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, metode penelitian yang digunakan adalah gabungan antara metode penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris, yang dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Jenis penelitian

Penulisan skripsi ini memakai metode penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Dalam hal ini penelitian hukum normatif dilakukan melalui kajian terhadap peraturan perundang – undangan dan bahan – bahan hukum yang berhubungan dengan skripsi ini. Sedangkan penelitian hukum empiris dilakukan untuk memperoleh data primer


(15)

melalui wawancara dengan pihak – pihak tertentu pada perusahaan leasing, yakni PT. OTO Multiartha Cabang Medan.

2. Data

Data yang dikumpulkan oleh penulis dalam penyusunan skripsi ini dilakukan melalui pengumpulan data primer, skunder dan tersier.

a) Bahan Hukum Primer yaitu norma atau kaedah dasar seperti pembukaan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Peraturan Perundang – undangan dan lain sebagainya. b) Bahan Hukum Sekunder yaitu buku – buku yang memberikan

penjelasan tentang bahan hukum primer seperti hasil karya dari kalangan hukum.

c) Bahan Hukum Tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan tentang bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, ensiklopedia dan lain sebagainya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam skripsi ini penulis menggunakan 2 (dua) teknik pengumpulan data, yaitu :

a) Penelitian Kepustakaan (Library Reasearch)

Penelitian ini adalah penelitian dengan mengumpulkan data dan meneliti melalui sumber bacaan, menganalisa peraturan perundang – undangan maupun dokumentasi lainnya seperti karya ilmiah, surat kabar, internet, dan sumber lainnya yang berhubungan dengan skripsi ini.


(16)

Kegiatan ini penulis lakukan dengan mengumpulkan bahan – bahan di lapangan untuk memperoleh data yang akurat dengan permasalahan yang penulis teliti. Dilakukan dengan mencari informasi langsung pada instansi atau lembaga yang berhubungan dengan judul skripsi ini, yakni dengan melakukan wawancara dengan pihak – pihak tertentu diperusahaan leasing yang menjadi objek penelitian penulis.

4. Teknik Analisis Data

Dalam menganalisis data, penulis menggunakan teknik analisis kualitatif yaitu suatu analisis data secara jelas serta diuraikan dalam bentuk kalimat sehingga diperoleh gambaran yang jelas dan menyeluruh yang diperoleh dari bahan bacaan atau buku – buku, peraturan perundang – undangan dan hasil analisis perjanjian leasing.

F. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi sistematika penulisan ke dalam lima bab, dan setiap bab terbagi dalam beberapa sub bab yang lebih kecil. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam Bab ini dimana di dalam Pendahuluan ini penulis menguraikan dan menjelaskan mulai dari Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Keaslian Penulisan, Metode Penulisan serta Sistematika Penulisan dalam skripsi ini.


(17)

Pada bab ini diuraikan berbagai konsep teoritis yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti yang meliputi perjanjian pada umumnya, asas – asas hukum perjanjian, syarat sahnya perjanjian, pihak – pihak dalam perjanjian, prestasi, wanprestasi dan akibat – akibatnya.

BAB III : PERJANJIAN LEASING

Pada bab ini diuraikan tentang pengertian leasing, leasing sebagai lembaga hukum perjanjian, jaminan – jaminan yang diberikan lessee terhadap lessor, efektifitas benda jaminan dalam penutupan kerugian yang dialami lessor.

BAB IV : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP

LESSOR DALAM PERJANJIAN LEASING

Pada bab ini penulis menguraikan syarat-syarat dan ketentuan umum yang diberikan lessor dan bentuk pengawasan standart oleh pihak lessor, faktor-faktor penyebab terjadinya wanprestasi dari pihak lesse dalam perjanjian leasing dan akibat wanprestasi dalam perjanjian leasing , upaya – upaya penyelesaian wanprestasi yang dilakukan lessor maupun Lesse.

BAB V : PENUTUP

Pada Bab ini penulis menguraikan tentang kesimpulan mengenai permasalahan yang telah dibahas penulis serta saran atas penulisan yang telah diuraikan pada bab – bab terdahulu.


(18)

       

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

A. Perjanjian Pada Umumnya

Ketentuan Pasal 1233 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata mengawali ketentuan Buku III Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, dengan menyatakan bahwa “Perikatan lahir karena suatu persetujuan atau karena undang – undang”.9

Selanjutnya dalam ketentuan berikutnya, yaitu dalam Pasal 1234 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata dikatakan bahwa “ Tiap – tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”.10

Dari kedua rumusan sederhana tersebut dapat dikatakan bahwa perikatan melahirkan “kewajiban”, kepada orang perorangan atau pihak tertentu, yang dapat berwujud dalam salah satu dari tiga bentuk berikut, yaitu :

1. Untuk memberikan sesuatu. 2. Untuk melakukan sesuatu.

3. Untuk tidak melakukan sesuatu tertentu.

Istilah kewajiban itu sendiri dalam ilmu hukum dikenal dengan nama prestasi, selanjutnya pihak yang berkewajiban dinamakan dengan debitur, dan pihak yang berhak untuk menuntut pelaksanaan kewajiban atau prestasi disebut dengan kreditur.11

Sumber perikatan adalah sebagai berikut12 : 1. Perjanjian

2. Undang – undang yang dapat dibedakan

 

9

Soedharyo Soimin. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 1999), hal 313

10

Ibid.

11

Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, inan Fidusia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 12

Jam

12

Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung : Alumni, 1994), hal. 6


(19)

       

a) Undang – undang semata

b) Undang – undang karena perbuatan manusia yang : 1) Halal

2) Melawan hukum 3. Jurisprudensi

4. Hukum tertulis dan tidak tertulis 5. Ilmu pengetahuan hukum

Perikatan dapat dibedakan dalam berbagai jenis, yaitu13 : 1. Dilihat dari objeknya

2. Perikatan untuk memberikan sesuatu 3. Perikatan untuk berbuat sesuatu 4. Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu

Perikatan untuk memberi sesuatu (geven) dan untuk berbuat sesuatu (doen) dinamakan perikatan positif dan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu (niet doen) dinamakan perikatan negatif.

5. Perikatan mana suka (alternatif) 6. Perikatan fakultatif

7. Perikatan generik dan spesifik

8. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi (deelbaar dan

ondeerlbaar)

9. Perikatan yang sepintas lalu dan terus menerus (voorbijgaande dan

voortdurende)

10. Dilihat dari subyeknya maka dapat dibedakan :

1) Perikatan tanggung menanggung (hoofdlijk atau solidair) 2) Perikatan pokok dan tambahan (principale dan accessoir) 11. Dilihat dari daya kerjanya

12. Perikatan dengan ketetapan waktu.

Meskipun bukan yang paling dominan, namun pada umumnya, sejalan dengan sifat dari Buku III Kitab Undang – Undang Hukum Perdata yang bersifat terbuka, perikatan yang lahir dari perjanjian merupakan yang paling banyak terjadi dalam kehidupan manusia sehari – hari, dan yang juga ternyata banyak dipelajari oleh ahli hukum, serta dikembangkan secara luas menjadi aturan-aturan hukum positif yang tertulis oleh para legislator.14

Jika kita perhatikan dengan seksama, rumusan yang diberikan dalam Pasal 1313 Kitab Undang –undang Hukum Perdata menyiratkan bahwa sesungguhnya dari duatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang

 

13

Ibid.

14


(20)

       

(pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya, yang berhak atas prestasi tersebut.

Rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditur).

Masing-masing pihak dapat terdiri dari satu atau lebih orang, bahkan dengan perkembangan ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri dari satu atau lebih badan hukum.

Selanjutnya dalam rumusan Pasal 1314 dan 1313 KUHPerdata, bila dikembangkan lebih jauh dengan menyatakan bahwa atas prestasi yang wajib dilakukan oleh debitur dalam perjanjian tersebut, debitur yang berkewajiban tersebut dapat meminta dilakukan “kontra prestasi” dari lawan pihaknya tersebut atau dengan istilah “dengan atau tanpa beban”.15

Kedua rumusan diatas memberikan banyak arti bagi ilmu hukum, yang menggambarkan secara jelas bahwa pada dasarnya perjanjian dapat melahirkan perikatan yang bersifat sepihak (dimana hanya satu pihak yang wajib berprestasi) dan perikatan yang timbal balik (dengan kedua belah pihak yang berprestasi).16

Tiap-tiap perjanjian mempunyai dasar pembentukan. Ilmu hukum mengenal unsur pokok yang harus ada agar suatu perbuatan hukum dapat disebut dengan perjanjian (yang sah), unsur tersebut selanjutnya digolongkan ke dalam dua unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak) yang mengadakan perjanjian

 

15

Ibid.

16


(21)

       

(unsur subyektif), dan dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek perjanjian (unsur obyektif).17

Syarat subjektif :18

1. Terjadinya kesepakatan secara bebas diantara para pihak yang mengadakan atau melangsungkan perjanjian.

Syarat ini diatur dalam Pasal 1321 sampai pada Pasal 1328 KUHPerdata, pada dasarnya kesepakatan bebas dianggap terjadi pada saat perjanjian dibuat oleh para pihak, kecuali dapat dibuktikan bahwa kesepakatan tersebut terjadi karena adanya kekhilafan, paksaan maupun penipuan, kekhilafan tidak mengakibatkan dapat dibatalkannya perjanjian, kecuali jika kekhilafan tersebut terjadi mengenai hakekat dari kebendaan yang menjadi pokok persetujuan. 2. Adanya kecakapan pihak-pihak yang berjanji.

a. Kecakapan dalam rangka tindakan pribadi orang perorangan (Pasal 1329 sampai dengan pasal 1331 KUHPerdata)

Pada prinsipnya semua orang dianggap cakap untuk melakukan tindakan hukum, kecuali mereka yang masih berada dibawah umur, yang berada dibawah pengampuan, dan mereka yang dinyatakan pailit (Pasal 1330 KUHPerdata).

b. Kecakapan dalam hubungan dengan pemberi kuasa

Dalam hal ini yang harus diperhatikan adalah kecakapan bertindak dalam hukum, tidak hanya dari pihak yang memberi kuasa, melainkan juga dari pihak yang menerima kuasa secara

bersama- 

17

Wirjono Prodjodikoro, Asas – asas Hukum Perjanjian, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984), hal. 12

18


(22)

       

sama. Khusus untuk orang perorangan, maka berlakulah persyaratan yang ditentukan dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata.

c. Kecakapan dalam hubungannya dengan sifat perwalian dan perwakilan.

Dalam hal perwalian maka harus diperhatikan kewenangan bertindak yang diberikan oleh hukum dan peraturan perundang-undangan.

Syarat Objektif :19

1. Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 KUHPerdata mengenai keharusan adanya suatu obyek dalam perjanjian.

Hal ini adalah konsekuensi logis dari perjanjian itu sendiri. Tanpa adanya suatu obyek, yang merupakan tujuan dari para pihak, yang berisikan hak dan kewajiban dari salah satu atau para pihak dalam perjanjian, maka perjanjian itu sendiri “ absurd” adanya.

2. Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 KUHPerdata

Mengatur mengenai kewajiban adanya suatu causa yang halal dalam setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak, pasal 1337 KUHPerdata memberikan perumusan secara negatif, dengan menyatakan bahwa suatu causa dianggap sebagai terlarang, jika causa tersebut dilarang oleh undang-undang, kesusilaan, maupun ketertiban umum yang berlaku dalam masyarakat dari waktu ke waktu.

Asas – asas umum dalam perjanjian meliputi20 :

 

19


(23)

      

1. Asas Kebebasan Berkontrak

Setiap perjanjian yang dibuat dengan sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya. Rumusan ini dapat ditemukan di dalam Pasal 1338 KUHPerdata, yang dipertegas kembali dengan ketentuan ayat (2) nya yang menyatakan bahwa perjanjian yang telah disepakati tersebut tidak dapat ditarik kembali secara sepihak oleh salah satu pihak dalam perjanjian tersebut tanpa adanya persetujuan dari lawan pihaknya dalam perjanjian, atau dalam hal-hal dimana oleh undang- undang dinyatakan cukup adanya alasan untuk itu.

Secara umum, kalangan ilmuwan hukum menghubungkan dan memperlakukan ketentuan sebagai mana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan Pasal 1338 KUHPerdata sebagai asas kebebasan berkontrak.

2. Asas Konsensualitas

Asas konsensualitas merupakan kesatuan dari sistem terbuka buku III KUHPerdata, hukum perjanjian memberikan kesempatan seluas – luasnya pada para pihak untuk membuat perjanjian yang akan mengikat mereka sebagai undang – undang, selama dan sepanjang dapat dicapai kesepakatan oleh para pihak. Suatu kesepakatan lisan diantara para pihak telah mengikat para pihak yang telah bersepakat secara lisan tersebut, dan oleh karena ketentuan ini mengenai kesepakatan lisan diatur didalam Pasal 1320 KUHPerdata, maka rumusan tersebut dianggap sebagai dasar asas konsensualitas dalam hukum perjanjian.

3. Asas Personalia

Asas Personalia ini dapat kita temui dalam rumusan Pasal 1315 KUHPerdata yang dipertegas lagi oleh ketentuan Pasal 1340 KUHPerdata, dari kedua rumusan tersebut dapat kita ketahui bahwa pada dasarnya perjanjian hanya akan melahirkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban diantara para pihak yang membuatnya. Pada dasarnya seorang tidak dapat mengikatkan dirinya untuk kepentingan maupun kerugian bagi pihak ketiga, kecuali dalam hal terjadinya peristiwa penanggungan (dalam hal demikianpun penanggungan tetap berkewajiban untuk membentuk perjanjian dengan siapa penanggungan tersebut akan diberikan dan dalam hal yang demikian maka perjanjian yang ditanggung dalam perjanjian penanggungan). Ini berarti perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut, demi hukum hanya akan mengikat para pihak yang membuatnya.

B. Asas – asas Hukum Perjanjian

 

20


(24)

       

Menurut Rutten dalam buku Purwahid Patrik menyebutkan asas – asas hukum perjanjian yang didalam Pasal 1338 KUHPerdata ada tiga asas yaitu :21

a. Asas Konsensualisme

Bahwa perjanjian yang dibuat pada umumnya bukan secara formil tetapi konsensual, artinya perjanjian itu ada karena persesuaian kehendak atau konsensus semata-mata.

b. Asas Kekuatan Mengikat Dari Perjanjian

Bahwa pihak – pihak harus memenuhi apa yang telah dijanjikan, sebagaimana disebut dalam Pasal 1338 KUHPerdata bahwa perjanjian berlaku sebagai undang – undang bagi para pihak.

c. Asas Kebebasan Berkontrak

Bahwa orang bebas membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas menentukan isi, berlakunya dan syarat – syarat perjanjian, dengan bentuk tertentu atau tidak dan bebas memilih undang – undang mana yang akan dipakainya untuk perjanjian itu.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman di dalam hukum perjanjian terdapat beberapa asas, sebagai berikut :22

a. Asas Kebebasan Berkontrak

Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas dari hukum perjanjian dan tidak berdiri sendiri, hanya dapat ditentukan setelah kita memahami posisinya dalam kaitan yang terpadu dengan asas – asas hukum perjanjian yang lain, secara menyeluruh asas – asas ini merupakan pilar, tiang, pondasi dari hukum perjanjian.

 

21

Wiryono Prodjodikoro, Loc. Cit., Asas – Asas Hukum Perjanjian, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984), hal. 5 

22

Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan, (Bandung : Alumni, 1983) hal. 12


(25)

       

Asas kebebasan berkontrak berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan “ apa “ dan dengan “ siapa” perjanjian ini diadakan. Perjanjian yang dibuat sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata mempunyai kekuatan mengikat. Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting didalam hukum perjanjian, kebebasan adalah perwujudan dari kehendak bebas pancaran hak asasi manusia.23

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, dengan perkataan lain bahwa di dalam kebebasan terkandung tanggung jawab, di dalam hukum perjanjian nasional asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab, yang mampu memelihara keseimbangan untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan hidup lahir dan batin yang serasi, selaras dan seimbang dengan kepentingan masyarakat. Asas kebebasan berkontrak mendukung kedudukan yang seimbang diantara para pihak, sehingga sebuah perjanjian akan bersifat stabil dan memberikan keuntungan bagi kedua pihak.24

Asas Kebebasan berkontrak menurut Hartkamp menyebutkan bahwa kita terikat pada perjanjian yang harus dipenuhi secara moral, secara hukum karena kita berada dalam suatu masyarakat yang beradab dan maju. Untuk itu diperlukan suatu prinsip yaitu adanya kebebasan berkontrak yang merupakan suatu bagian dari hak – hak dan kebebasan manusia.25

Menurut Bentham dalam buku Johanes Ibrahim menyebutkan ukuran yang menjadi patokan sehubungan dengan kebebasan berkontrak adalah bahwa setiap orang dapat bertindak bebas, tanpa dapat dihalangi hanya karena memiliki

bargaining position atau posisi tawar untuk dapat memperoleh uang untuk  

23

Ibid.

24

Ibid., hal 14

25

Johanes Ibrahim, Pengimpasan Pinjaman dan Asas Kebebasan Berkontrak, (Bandung : CV Utama, 2003) hal.27 


(26)

       

memenuhi kebutuhannya, juga tidak seorangpun sebagai satu pihak dalam suatu perjanjian dapat dihalangi untuk dapat bertindak bebas memenuhi hal tersebut, asal saja pihak yang lain dapat menyetujui syarat – syarat perjanjian itu sebagai hal yang patut diterima, secara umum tidak seorangpun dapat mengetahui apa yang baik untuk kepentingan seseorang kecuali dirinya sendiri, pemerintah tidak boleh ikut campur tangan dalam hal yang tidak dipahaminya.26

Asas kebebasan berkontrak berarti para pihak dapat membuat perjanjian apa saja asal tidak bertantangan dengan undang – undang, ketertiban umum dan kesusilaan.27

a. Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme yang terdapat didalam Pasal 1320 KUHPerdata mengandung arti kemauan para pihak untuk saling berprestasi, ada kemauan untuk saling mengikat diri. Kepercayaan bahwa perjanjian itu dipenuhi atas kepercayaan merupakan nilai etis yang bersumber pada moral.

Asas konsensualisme mempunyai hubungan yang erat dengan asas kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikat yang terdapat di Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata menyebutkan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang – undang bagi mereka yang membuatnya. Kata semua mengandung arti meliputi seluruh perjanjian baik yang namanya dikenal maupun yang tidak dikenal oleh undang – undang.28

b. Asas Kepercayaan

Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain akan menumbuhkan kepercayaan diantara pihak, bahwa satu sama lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya, tanpa adanya kepercayaan maka perjanjian tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak, dengan kepercayaanm kedua pihak mengikatkan dirinya dan perjanjian itu mempunyai kekuatan sebagai undang – undang.29

c. Asas Kekuatan Mengikat

Para pihak harus memenuhi apa yang telah dijanjiakan, terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata – mata pada apa yang diperjanjikan, akan tetapi juga ada beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki yaitu kebiasaan dan kepatutan serta moral yang mengikat para pihak.30

d. Asas Persamaan Hukum

 

26

Ibid.

27

Ibid., hal 92 

28 Ibid. 29 Ibid. 30 Ibid.


(27)

       

Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan, dan lain – lain. Masing – masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan tuhan.31

e. Asas Keseimbangan

Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian, asas ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan, kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntuk pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian dengan itikad baik, dapat dilihat bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.32

f. Asas Kepastian Hukum

Perjanjian sebagai suatu hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian hukum ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai undang – undang para pihak.33

g. Asas Kepatutan

Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUHPerdata, asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Asas kepatutan ini harus dipertahankan karena melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan.34

h. Asas Kebiasaan

Asas ini diatur dalam Pasal 1339 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal – hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang – undang.

C. Syarat Sahnya Perjanjian

Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, suatu perjanjian adalah sah apabila memenuhi empat syarat sebagai berikut : 35

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

 

31

Ibid., hal 93 

32

Ibid.

33

Ibid., hal 94

34

Ibid., hal. 95 

35

Djaja S.Meliala, Perkembangan Hukum Perdata tentang Benda dan Hukum Perikatan, (Bandung : Nuansa Aulia, 2007)


(28)

       

c. Suatu hal tertentu d. Suatu sebab yang halal

Dua syarat pertama disebut syarat Subjektif, karena menyangkut subjeknya atau para pihak yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat terakhir adalah syarat objektif. Berikut ini uraian masing – masing syarat tersebut:

a. Sepakat Mereka Yang Mengikatkan Dirinya

Menurut Pasal 1321 KUHPerdata menyebutkan jika didalam suatu perjanjian terdapat kekhilafan, paksaan dan penipuan, maka berarti di dalam perjanjian itu terjadi cacat pada kesepakatan antar para pihak dan karena itu perjanjian tersebut dapat dibatalkan.36

b. Kecakapan Untuk Membuat Suatu Perikatan

Menurut Pasal 1329 KUHPerdata menyebutkan setiap orang adalah cakap untuk membuat suatu perikatan, kecuali jika undang – undang menyatakan bahwa orang tersebut adalah tidak cakap, orang – orang yang tidak cakap membuat perjanjian adalah orang – orang yang belum dewasa dan mereka yang ditaruh di bawah pengampunan.37 c. Suatu Hal Tertentu

Menurut Pasal 1332 KUHPerdata menyebutkan hanya barang – barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Pasal 1334 KUHPerdata menyebutkan barang – barang yang baru akan ada, di kemudian hari dapat menjadi suatu pokok perjanjian.

 

36

Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Op.Cit. hal 25 

37


(29)

       

d. Suatu Sebab Yang Halal

Pengertian suatu sebab yang halal ialah bukan hal yang menyebabkan perjanjian, tetapi isi perjanjian itu sendiri. Isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang – undang kesusilaan maupun ketertiban umum menurut Pasal 1337 KUHPerdata.38

D. Pihak – Pihak dalam Perjanjian

Pihak – pihak disini adalah siapa – siapa yang terlibat di dalam perjanjian. Berdasarkan pasal 1315 KUHPerdata dan Pasal 1340 KUHPerdata, pada dasarnya suatu perjanjian hanya mengikat para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut. Asas ini dinamakan asas kepribadian suatu perjanjian.

Pasal 1315 KUHPerdata menyatakan, pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri. Namun dalam Pasal 1340 KUHPerdata pada pokoknya menentukan bahwa perjanjian hanya berlaku diantara pihak yang mengadakannya.39

Terhadap asas kepribadian tersebut dalam pengecualiannya, yakni apa yang disebut dengan janji pada pihak ketiga. Pasal 1317 KUHPerdata menyatakan sebagai berikut :

“lagi pula diperbolehkan untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji yang

 

38

Ibid., hal 26 

39


(30)

       

dibuat oleh seseorang untuk dirinya sendiri atau suatu pemberian yang dilakukan kepada seorang lain memuat satu janji yang seperti itu.”

Menurut R. Setiawan yang dimaksud dengan janji untuk pihak ketiga adalah janji yang oleh para pihak dituangkan dalam suatu persetujuan dimana ditentukan bahwa pihak ketiga akan memperoleh hak atas suatu prestasi.40

Berdasarkan Pasal 1317 KUHPerdata, maka timbulnya hak bagi pihak ketiga terhadap prestasi yang diperjanjikan oleh para pihak dalam suatu perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga itu menyatakan kesediannya menerima prestasi tersebut.41

Selain dari pengaturan hal diatas didalam perjanjian, terutama mengenai pihak yang terlibat dalam perjanjian leasing, dalam prakteknya terdapat beberapa pihak yang terlibat atau terkait, misalnya : 42

1) Pihak Surveyor atau pihak pemeriksa dari pihak lessor

Tugas utama pihak Surveyor ini adalah memeriksa dan meneliti rentabilitas dan solvabilitas calon leassee tersebut.

2) Pihak Pembuat Akta Perjanjian

Pihak ini pada umumnya adalah Pejabat Notaris, tugas utama dari notaris ini adalah membuat akta tentang perjanjian dan segala tindakan dalam perjanjian leasing tersebut.

Dalam prakteknya terdapat beberapa pihak yang terkait langsung maupun tidak langsung di dalam mempersiapkan atau pelaksanaan perjanjian leasing itu, antara lain :43

 

40

R. Setiawan, Pokok – Pokok Hukum Perjanjian, (Jakarta : Binacipta, 1987), hal 54

41

Ibid.

42

Ibid.

43


(31)

1. Lessor, pihak yang menyewakan barang, terdiri dari beberapa

perusahaan. Lessor disebut juga sebagai investor, equity holder, owner

participants atau truster owners.

2. Lessee, yaitu pihak yang memerlukan barang modal, dimana barang

modal tersebut dibiayai oleh lessor dan diperuntukkan kepada lessee. 3. Kreditur atau lender, yaitu pihak yang disebut juga dengan debt holders

atau loan participants dalam suatu transaksi leasing. Umumnya kreditur atau lender terdiri dari bank, insurance company trust dan yayasan. 4. Supplier, yaitu penjual atau pemilik barang yang disewakan dapat

terdiri dari perusahaan yang berada di dalam negri ataupun yang berkantor pusat diluar negri.

5. Surveyor, pihak peneliti atau pemeriksa.

6. Pejabat Pembuat Akta Notaris.

E. Prestasi, Wanprestasi dan Akibat – akibatnya

Pasal 1234 KUHPerdata menyatakan bahwa “tiap – tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk membuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”.

Kemudian Pasal 1235 KUHPerdata menyebutkan “ Dalam tiap – tiap perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termaksud kewajiban si berutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik sampai pada saat penyerahan.”

Dari pasal tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa dalam suatu perikatan, pengertian “memberikan sesuatu” mencakup pula kewajiban untuk


(32)

       

menyerahkan barangnya dan untuk memeliharanya hingga waktu penyerahannya.

Istilah “memberikan sesuatu” sebagaimana disebutkan dalam pasal 1235 KUHPerdata tersebut dapat mempunyai dua pengertian, yaitu :44

1. Penyerahan kekuasaan belaka atas barang yang menjadi objek perjanjian.

2. Penyerahan hak milik atas barang yang menjadi objek perjanjian, yang dinamakan penyerahan yuridis.

Wujud prestasi yang lainnya adalah “berbuat sesuatu” dan “tidak berbuat sesuatu” . berbuat sesuatu adalah melakukan sesuatu perbuatan yang telah ditetapkan di dalam perjanjian. Tidak berbuat sesuatu adalah tidak melakukan sesuatu perbuatan sebagaimana juga yang telah ditetapkan didalam suatu perjanjian, manakala para pihak telah menunaikan prestasinya maka perjanjian tersebut akan berjalan sebagaimana mestinya tanpa menimbulkan persoalan. Namun kadangkala ditemui bahwa debitur tidak bersedia atau menolak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah diperjanjikan. Hal inilah yang disebut wanprestasi.

Pada umumnya debitur dikatakan wanprestasi manakala ia karena kesalahannya sendiri tidak melaksanakan prestasi, atau melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak diperbolehkan dilakukan.

Menurut R. Subekti melakukan prestasi tetapi tidak sebagaimana mestinya juga dinamakan wanprestasi.45 Yang menjadi persoalan adalah sejak kapan debitur dikatakan wanprestasi. Mengenai hal tersebut perlu dibedakan wujud atau

 

44

Ibid.,

45


(33)

       

bentuk prestasinya. Sebab bentuk prestasi itu sangat menentukan sejak kapan seorang debitur dapat dikatakan telah wanprestasi.

Dalam hal wujudnya prestasinya “memberikan sesuatu” maka perlu pula dipernyatakan apakah di dalam perjanjian telah ditentukan atau belum mengenai tenggang waktu pemenuhan prestasinya. Apabila tenggang waktu pemenuhan prestasi sudah ditentukan dalam perjanjian, maka menurut Pasal 1238 KUHPerdata debitur sudah dianggap wanprestasi dengan lewatnya waktu pemenuhan prestasi tersebut. Sedangkan bila tenggang waktunya tidak dicantumkan dalam perjanjian, maka dipandang perlu untuk terlebih dahulu memperingatkan debitur guna memenuhi kewajibannya, dan jika tidak dipenuhi, maka ia telah dinyatakan wanprestasi.46

Surat peringatan tersebut dinamakan somasi, dan somasi inilah yang digunakan sebagai alat bukti bahwa debitur telah wanprestasi. Untuk perikatan yang wujud prestasinya “tidak berbuat sesuatu” kiranya tidak menjadi persoalan untuk menentukan sejak kapan seorang debitur dinyatakan wanprestasi, sebab bila debitur melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang dalam perjanjian maka ia dinyatakan telah wanprestasi.

Wanprestasi berarti debitur tidak melakukan apa yang dijanjikannya atau ingkar janji, melanggar perjanjian serta melakukan sesuatu yang tidak boleh dilakukannya, kata “wanprestasi” berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk. Debitur dianggap wanprestasi bila ia memenuhi syarat – syarat

 

46

R. Setiawan, Pokok – pokok Hukum Perjanjian, (Bandung : Putra Bordin, 1999) ,Loc. Cit


(34)

       

diatas dalam keadaan lalai maupun dalam keadaan sengaja. Wanprestasi yang dilakukan debitur dapat berupa empat macam, yaitu :47

a. Tidak melakukan apa yang disanggupi untuk dilakukan.

b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan.

c. Melakukan apa yang dijanjikan tapi terlambat.

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. Permasalahan tentang wanprestasi, terdapat pendapat lain mengenai syarat – syarat terjadinya wanprestasi, yaitu :48

a. Debitur sama sekali tidak berprestasi, dalam hal ini kreditur tidak perlu menyatakan peringatan atau teguran karena karena hal ini percuma sebab debitur memang tidak mampu berprestasi.

b. Debitur salah berprestasi, dalam hal ini debitur sudah beritikad baik untuk melakukan prestasi, tetapi ia salah dalam melakukan pemenuhannya.

c. Debitur terlambat berprestasi, dalam hal ini banyak kasus yang dapat menyamakan bahwa terlambat berprestasi dengan tidak berprestasi sama sekali.

Berdasarkan dengan akibat wanprestasi tersebut, Abdul Kadir Muhammad berpendapat “akibat hukum dari debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah hukuman atau sanksi sebagai berikut :49

a. Debitur diharuskan membayar ganti kerugian yang telah diderita kreditur (Pasal 1243 KUHPerdata)

 

47

Ibid.

48

Loc. Cit

49

Abdul Kadir Muhammad, Pemahaman Dasar atas Usaha Leasing, (Jakarta : Integritas Press, 1985), Op. Cit


(35)

b. Dalam perjanjian timbal balik (bilateral) wanprestasi dari suatu pihak memberikan hak kepada pihak lainnya untuk membatalkan atau memutuskan perjanjian lewat hakim (Pasal 1266 KUHPerdata)

c. Risiko beralih kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi (Pasal 1237 (2) KUHPerdata), ketentuan ini hanya berlaku bagi perikatan untuk memberikan sesuatu.

d. Membayar biaya perkara apabila perkara diperkarakan dimuka hakm (Pasal 181 (1) HIR). Debitur yang terbukti melakukan wanprestasi tentu dikalahkan dalam perkara. Ketentuan ini berlaku untuk semua perikatan.

e. Memenuhi perjanjian jika masih dapat dilakukan atau pembatalan perjanjian disertai dengan pembatalan ganti kerugian (Pasal 1267 KUHPerdata). Ini berlaku untuk semua perikatan.

Dari beberapa akibat wanprestasi tersebut, kreditur dapat memilih diantara beberapa kemungkinan sebagai berikut :

a. Meminta pelaksanaan perjanjian walaupun pelaksanaan sudah terlambat.

b. Meminta penggantian kerugian menurut pasal 1243 KUHPerdata, ganti rugi ini dapat berupa biaya (konsten), rugi (schaden), atau bunga (interessen).

c. Meminta pada hakim supaya perjanjian dibatalkan, bila perlu disertai dengan penggantian kerugian (Pasal 1266 KUHPerdata dan Pasal 1267 KUHPerdata).

Sehubungan dengan kemungkinan pembatalan lewat hakim sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1267 KUHPerdata tersebut, maka timbul persoalan apakah


(36)

       

perjanjian tersebut sudah batal karena kelalaian pihak debitur atau apakah harus dibatalkan oleh hakim. Dengan kata lain, putusan hakim tersebut bersifat

declaratoir atau bersifat constitutive. 50

R. subekti mengemukakan bahwa “menurut pendapat yang paling banyak dianut, bukannya kelalaian debitur, tetapi putusan hakimlah yang membatalkan perjanjian sehingga putusan hakim itu bersifat constitutive bukan declaratoir.51

 

50

Ibid.

51


(37)

  36

       

BAB III

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP LESSOR DALAM PERJANJIAN LEASING

A. Pengertian Leasing

Perkataan Leasing bersal dari bahasa Inggris yaitu kata lease , kata ini secara umum berarti menyewakan akan tetapi harus dibedakan dengan istilah Inggris lain yang senada, yaitu rent yang ditinjau dari sudut hukum mempunyai maksud berbeda. Namun dibandingkan dengn menyewakan, leasing lebih luas ruang lingkupnya atau lebih banyak variasinya. Ada beberapa negara yang berusaha untuk mencari nama lain dari leasing kedalam bahasa nasionalnya tetapi pada kenyataannya mengalami kesulitan karena menimbulkan penafsiran yang berbeda – beda.52

Dalam Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri, Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan RI No. KEP-122/MK/IV/2/1974, No. 32/M/SK/2/1974, No. 30/Kbp/I/1974 secara resmi mengartikan leasing sebagai berikut :

“setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang – barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran – pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih (optie) bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang – barang modal

 

52

Komar Andasasmita, Leasing (Teori dan Praktek), (Bandung : Ikatan Notaris Indonesia,1983), hal 35


(38)

       

yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama.”53

Sedangkan Sri Soedewi mengartikan leasing adalah :

“segala perjanjian dimana si penyewa (lessee) menyewa barang modal untuk usaha tertentu dengan mengangsur untuk jangka waktu tertentu dan jumlah angsuran tertentu, dimana lamanya perjanjian sewa menyewa, beberapa kali mengangsur umlah angsuran, sama dengan nilai ekonomi dari benda itu.”54

Dari definisi leasing ini, dinyatakan bahwa leasing adalah suatu kegiatan pembiayaan, berarti suatu pengertian ekonomi. Sedangkan bila ditinjau dari segi hukum, leasing adalah suatu lembaga hukum perjanjian. Dan pengertian leasing terlalu kompleks untuk dianggap sebagai bentuk perjanjian sewa menyewa saja. Karena dalam perjanjian sewa menyewa tidak selalu dicantumkan janji – janji khusus yang memberikan kepada si penyewa yaitu suatu hak pilih (optie), sedangkan dalam perjanjian leasing hak optie ini selalu diperjanjikan.

Untuk membuktikan bahwa leasing adalah suatu lembaga hukum perjanjian, dapat dilihat dari perumusan Pasal 1 Surat Keputusan Tiga Menteri itu, yang jika dianalisa secara hukum dapat disimpulkan bahwa leasing adalah suatu kegiatan pembiayaan oleh suatu perusahaan untuk dinikmati oleh perusahaan lainnya. Jadi ada dua pihak yang mempunyai suatu persetujuan untuk saling mengikat. Dengan demikian leasing terbukti sebagai suatu perjanjian dan titik

 

53

Soejono Soekanto, Inventarisasi Perundang – Undangan Mengenai Leasing, (Jakarta, : IND HILL Co, 1986), hal 4

54

Sri Soedewi, Hukum Jaminan Indonesia dan Pokok – pokok Hukum Jaminan dan Hukum Perorangan, ( Yogykarta: Liberty, 1980), Hal. 28


(39)

       

tolak dari hukum perjanjian adalah diatur dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata.55

Setelah menentukan bahwa dasar perjanjian leasinh adalah ketentuan – ketentuan yang tertera dalam KUHPerdata yang berlaku di Indonesia, maka perjanjian tersebut harus dibentuk menurut KUHPerdata itu dan secara konsisten menerapkan ketentuan – ketentuan tersebut sesuai dengan perkembangan interpretasi dan yurisprudensi Indonesia untuk semua unsur dalam perjanjian leasing itu, maupun terhadap dampak – dampak di bidang hukum seperti wanprestasi.56

Unsur – unsur yang terlihat jelas dalam definisi leasing menurut Surat Keputusan Tiga Menteri tersebut adalah sebagai berikut :

1. Leasing adalah suatu bentuk pembiayaan, bukan bentuk lainnya.

2. Yang disediakan adalah barang modal, yang macamnya sudah dinyatakan jelas dalam lampiran izin leasing yang dikeluarkan oleh Departemen Keuangan.

3. Digunakan oleh perusahaan, baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum.

4. Jangka waktu tertentu dan disesuaikan pula dengan masa ekonomis dari barang modal dan kemampyan yang bersangkutan.

5. Pembayaran berkala, tidak dapat dibayar sewaktu – waktu. 6. Ada hak pilih pada masa akhir lessee.

B. Leasing Sebagai Lembaga Hukum Perjanjian

 

55

Murti Sianipar, Dasar Hukum dan Masalah Hukum Dalam Industri Leasing di Indonesia, ( Bandung : Nuansa Aulia, 1999), hal 5

56


(40)

       

Seperti sudah dijabarkan pada bagian sebelumnya tentang pengertian leasing, kedudukan leasing adalah sebagai perjanjian bernama di luar KUHPerdata, perjanjian bernama ini antara lain terdiri dari :

1. Perjanjian keagenan dan distributor, berdasarkan SK Menteri Perindustrian No. 295/M/SK/7/1992 dan SK No. 428/M/SK/12/1987, yang mengatur khusus tentang keagenan jenis barang kendaraan bermotor dan alat – alat besar serta keagenan alat – alat elektronik dan alat – alat listrik untuk rumah tangga.

2. Perjanjian Pembiayaan, lahir dari kepres No. 1251/KMK.013/1988, KPTS Mentri Keuangan No. 1169/KMK.01-1991 tentang kegiatan Sewa Guna Usaha (leasing), undang – undang Perbankan No. 7/1992. Perjanjian pembiayaan ini antara lain sebagai nberikut :

a. Perjanjian Sewa Guna Usaha b. Perjanjian Anjang Piutang c. Perjanjian Modal Ventura d. Perjanjian Kartu Kredit

e. Perjanjian Pembiayaan Konsumen f. Perjanjian Simpanan

g. Perjanjian Kredit h. Perjanjian Penitipan i. Perjanjian Bagi Hasil.57

Leasing merupakan suatu “kata atau peristilahan” baru dari bahasa asing yang masuk kedalam bahasa Indonesia, yang sampai sekarang padanannya dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar tidak atau belum ada yang dirasa cocok.

 

57


(41)

       

Istilah Leasing ini sangat menarik karena bertahan dalam nama tersebut tanpa diterjemahkan dalam bahasa setempat, baik di Amerika yang merupakan asal – usul addanya lembaga leasing ini, maupun di negara – negara yang telah mengenal lembaga leasing ini.

Secara umum leasing artinya adalah equipment funding, yaitu pembiayaan peralatan/barang modal untuk digunakan pada proses produksi suatu perusahaan baik secara langsung maupun tidak.58

Adapun definisi lain dari leasing daopat dikemukakan sebagai berikut: Berdasarkan pasal 1 surat keputusan bersama tiga menteri, menteri keuangan ,menteri perdagangan, dan menteri perindustrian NO.KEP.122/MK/IV/2/1974, NO.32/M/SK/2/1974, dan NO.30/kpb/I/1974, menyebutkan bahwa leasing adalah;

“ setiap kegiatan pembiayaan perusahaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala, disertai dengan hak pilih (optie) bagi perusahaan leasing tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama”.

Sejak dikeluarkan surat keputusan bersama tiga menteri mengenai status hukum leasing di Indonesia, maka para sarjana hukum di Idonesia bertanya-tanya tentang apakah leasing itu bila ditinjau dari segi hukum di Indonesia, sebab selama ini segi – segi ekonomislah yang lebih sering ditonjolkan dalam informasi teknis yang diberikan oleh pihak – pihak yang bersangkutan, namun aspek yuridisnya belumlah dianalisis secara mendalam.

 

58


(42)

       

Bertalian dengan sifat hukum perdata dari leasing tampaknya ada dua pendapat yang berlawanan :59

Pendapat yang pertama menyatakan bahwa leasing dalam pengertian yuridis adalah sewa menyewa, sedangkan pendapat yang kedua menyatakan bahwa kontrak lease berdasarkan hukum perdata tidak dapat ditetapkan di bawah satu penyebutan (noemen).

Bandingkan dengan ketentuan Pasal 1 huruf (a) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169 Tahun 1991 Tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (leasing) menyebutkan :

“sewa guna usaha (leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (Finance

Lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (Operating Lease) untuk

digunakan oleh lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala”.

Dalam pengumuman Direktorat Jendral Moneter No. Peng 307/DJM/III. I/7.1974 Tanggal 8 Juli 1974, yang menyebutkan bahwa untuk kepentingan pengawasan dan pembinaan pada pengusaha leasing diharuskan menyampaikan kepada Direktur Jendral Moneter, Departemen Keuangan, antara lain “copy kontrak leasing dan sebagainya”, dapat ditarik kesimpulan bahwa perjanjian leasing harus dibuat secara tertulis. Akan tetapi tidak ditentukan atau diwajibkan apakah perjanjian leasing harus berbentuk akta otentik/akta notaris atau akta dibawah tangan. Jadi terserah pada pihak-pihak yang bersangkutan untuk menentukan apakah akan membuat perjanjian itu dengan akta notaris atau tidak.60

 

59

Komar andasasmita, leasing (Teori dan Praktek), Op. Cit., hal 38

60


(43)

       

Namun ditinjau dari sudut hukum pembuktian yang berlaku di Indonesia, pada Pasal 1870 KUHPerdata menentukan bahwa :61

“bagi para pihak yang berkepentingan beserta para ahli warisnya ataupun bagi orang – orang yang mendapatkan hak dari mereka, suatu akta otentik memberikan bukti yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya”.

Menurut pengumuman Direktorat Jendral Moneter Nomor Peng-307/DJM/III. 1/7/1974, isi perjanjian leasing harus memuat keterangan terperinci mengenai :

1. Objek perjanjian financial lease 2. Janngka waktu financial lease

3. Harga sewa serta cara pembayarannya 4. Kewajiban perpajakan

5. Penutupan asuransi 6. Perawatan barang

7. Penggantian dalam hal barang hilang/rusak.

Dapat dibandingkan dengan pendapat Komar Andasasmita bahwa dalam perjanjian kontrak leasing/financial lease sedikitnya harus memuat :62

1. Objek lease

2. Hak milik dari barang lease 3. Lamanya kontrak

4. Kewajiban lessor dan lessee 5. Pertanggungan asuransi

 

61

Soedharya Soimin, Op. Cit ., Hal. 436

62


(44)

       

Pada prinsipnya pengertian dari lembaga leasing itu sendiri adalah sama dan harus trdiri dari unsur – unsur pengertian sebagai berikut :63

1. Pembiayaan perusahaan

2. Penyediaan barang – barang modal 3. Adanya jangka waktu tertentu 4. Pembayaran secara berkala 5. Adanya hak pilih (optie)

6. Adanya nilai sisa yang disepakati bersama.

Untuk memahami isi dan fungsi lembaga yang baru berkembang ini, dirasakan perlu untuk mengadakan penggolongan jenis – jenis leasing tersebut, serta meneliti ciri – ciri khususnya masing – masing, usaha ini telah dilakukan oleh beberapa penulis, oleh ikatan – ikatan profesi dan oleh persatuan pengusaha leasing itu sendiri.64

Dalam melakukan klasifikasi ini berbagai macam kriteria telah dipergunakan, misalnya :

1. Pembagian risiko ekonomis diantara pihak – pihak yang terkait pada suatu kontrak lease

2. Jenis benda yang merupakan objek lease 3. Isi paket jasa yang dilakukan oleh leasor

Kriteria yang paling lazim dipergunakan adalah pembagian risiko ekonomis diantara pihak – pihak yang terkait pada suatu kontrak lease,

 

63

Amin Widjaya Tunggal dan Arif Djohan Tunggal, Op. Cit.,Hal. 9

64


(45)

       

berdasarkan kriteria ini leasing dapat dibedakan dalam operational leasing dan financial leasing.65

Leasing dipandang sebagai suatu cara yang memungkinkan suatu badan usaha memperoleh alat – alat produksi yang diinginkan oleh leassee, oleh karena itu maka leassee berkewajiban memenuhi seluruh pembayaran, ia tidak berhak menghentikan perjanjian tersebut sebelum harga pembelian barang ditambah dengan sejumlah keuntungan, biaya dan bunga terbayar lunas.66

Dilihat dari segi transaksi yang terjadi antara lessor dan lessee maka sewa guna usaha dapat dibedakan menjadi dua (2) jenis yaitu :

1. Sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) 2. Sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease)

Ciri utama dari sewa guna usaha dengan hak opsi adalah pada akhir kontrak, lessee mempunyai hak pilih untuk membeli barang modal sesuai dengan nilai sisa (residual value) yang disepakati atau pengembaliannya kepada lessor, atau memperpanjang masa kontrak sesuai dengan syarat – syarat yang telah disetujui bersama.

Pada sewa guna usaha jenis ini, lessee menghubungi lessor untuk memilih barang modal yang dibutuhkan, memesan, memeriksa, dan memelihara barang modal tersebut, selama masa sewa, lessee membayar sewa secara berkala dari jumlah seluruhnya ditambah dengan pembayaran nilai sisa (full pay out), sehingga bentuk pembiayaan ini disebut fullplay out lease atau capital lease.67

C. Jamninan – jaminan yang Diberikan Leassee Terhadap Lessor

 

65

Ibid.

66

Ibid.

67


(46)

Secara teoritis yuridis pemberian jaminan pada perjanjian leasing berlaku aturan umum dalam KUHPerdata, yang dapat dijumpai pada Pasal 1131 dan Pasal 1132, yang isinya :

Pasal 113 : “segala kebendaan si berhutang baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”.

Pasal 1132 : “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama – sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda – benda itu dibagi – bagi menurut keseimbangan yaitu menurut besar kecilnya piutang masing – masing, kecuali diantara piutang itu ada alasan – alasan yang sah untuk didahulukannya.”

Dari landasan pemikiran diatas dapat dikemukakan kenyataan praktek bahwa pemberian jaminan pada perjanjian leasing pada praktek kebiasaan menjadi keharusan untuk turut serta diberikan, jaminan yang diberikan pada umumnya adalah BPKB dari kendaraan roda empat (objek dari perjanjian leasing yang pada umumnya ada).

Keganjilan pada proses perjanjian leasing pada PT. OTO Multiartha Cabang Medan adalah peletakan jaminan pada objek/benda yang menjadi objek leassed itu sendiri, seharusnya objek leasing/benda leased selama jangka waktu perjanjian leasing belum berakhir dan penggunaan opsi (kalau ada) belum digunakan maka objek leasing/benda leased masih merupakan milik perusahaan leasing, sehingga sangatlah ganjil di atas hak milik/hak penguasaan secara hukum


(47)

       

pada kebendaan yang masih milik perusahaan leasing dijadikan jaminan oleh leassee.

Seperti diketahui benda jaminan dari debitur kepada kreditur dalam praktek dilindungi pelaksanaannya dengan eksekutorial akta untuk memberikan hak prefen bagi tiap – tiap debitur (hak-hak untuk didahulukan pembayaran hutang pihak debitur), secara teori hak – hak tersebut harus didaftarkan, yang berlaku ketentuan pendaftaran lewat jaminan dengan hak Tanggungan untuk kebendaan yang dijaminkan berupa tanah/benda tidak bergerak dan jaminan dengan Fidusia untuk benda – benda bergerak.

Pemberian dengan jaminan Hak Tanggungan dan Jaminan Fidusia secara praktek oleh perusahaan leasing juga dapat dipilih – pilih pendaftarannya, artinya hanya pada perjanjian leasing dengan jumlah transaksi Rp. 250. 000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) keatas yang akan didaftarkan dengan jaminan Fidusia, di bawah dari jumlah tersebut dengan pertimbangan efektifitas waktu dan biaya hanya diadakan perjanjian jaminan dibawah tangan.

D. Efektifitas Benda Jaminan dalam Penutupan Kerugian yang Dialami

Lessor

Guna menjamin bahwa pihak lessee akan memenuhi kewajiban – kewajibannya maka diperlukan suatu jaminan, oleh karena itu perlu dipertegaskan tentang bentuk lembaga jaminan yang akan digunakan dalam suatu perjanjian leasing untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi lessor dan juga bagi lessee.68

 

68


(48)

       

Istilah jaminan berasal dari kata jamin yang berarti tanggung, sehingga jaminan dapat diartikan sebagai tanggungan, yang dimaksud adalah tanggungan atas segala perikatan dari seseorang / badan usaha yang ditentukan dalam Pasal 1139 sampai dengan 1149 KUHPerdata tentang piutang yang diistimewakan, Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 KUHPerdata tentang penanggungan hutang.69

Secara umum lessor lazimnya meminta jaminan – jaminan dari lessee berupa :

1. Jaminan Kebendaan, yang terdiri dari :

a. Benda tidak bergerak/tetap, berupa Hak Tanggungan atas Tanah dan lain – lain harta yang bergerak dan tidak bergerak lainnya. b. Benda bergerak berupa benda – benda atau barang kepunyaan

lessee yang tidak merupakan kepunyaan lessee diberikan jaminan secara fidusia berdasarkan Undang – undang Jaminan Fidusia Nomor 42 Tahun 1999, dan dapat juga berupa penggadaian atas saham – saham perusahaan leasse.

2. Penanggungan yang terdiri dari :

a. Jaminan perorangan/pribadi (personal guaranty) b. Jaminan Perusahaan (corporate guaranty) 3. Asuransi 70

Efektifitas tidaknya suatu jaminan dalam hubungan perjanjian leasing dilihat dari benda yang dijaminkan dan keseuaian prosedur yang diterapkan dengan aturan yang mengatur lembaga jaminan yang digunakan, misalnya dengan

 

69

Ibid., hal 438

70


(49)

       

menggunakan lembaga fidusia, prosedur standart adalah pendaftaran terhadap onjek fidusia tersebut yang kesemua aktanya dibuat dengan akta notaris. Penanggungan jaminan benda tidak bergerak/tanah digunakan hak tanggungan dengan memakai akta pembebanan hak tanggungan yang di daftar dikantor pertanahan setempat.71

Kenyataan penggunaan lembaga jaminan fidusia dikualifikasi dengan jumlah transaksi dengan jumlah transaksi untuk menentukan fidusia tersebut akan didaftarkan atau tidak, dengan kondisi seperti ini sangat merugikan bagi perusahaan leasing, fidusia yang tidak didaftarkan tidak berlaku sebagai fidusia melainkan hanya suatu ikrar penanggungan dengan akta dibawah tangan, banyak objek leased karena kebijakan perusahaan tidak terkualifikasi sebagai benda yang harus didaftarkan/dibuat dengan akta dibawah tangan atau non notariil, sehingga tidak berkekuatan hukum yang kuat akibat lain akta jaminan tersebut tidak berkekuatan hukum yang kuat.

Tindakan – tindakan perusahaan tersebut di atas berimplikasi pada kerugian perusahaan leasing itu sendiri yang akan terasa akibatnya bila nanti terjadi tindakan wanprestasi dari leasse salah satu nya adalah kesulitan untuk mengambil benda jaminan sebagai penutup angsuran.

Kebijakan tidak mendaftarkan benda jaminan, menyebabkan jaminan tidak dapat dieksekusi saat itu juga, kesimpulannya jaminan fidusia yang tidak didaftar memiliki arti sebagai jaminan fidusia, karenanya pembebanan fidusia adalah benda/objek leased yang masih milik lessor, seakan – akan telah terjadi pengakuan beli dari lesse terhadap benda objek leased tersenut, kecenderungan ini lewat analisa penulis lebih tepatnya dikatakan bentuk perjanjian leasing ini

 

71


(50)

mengarah ke bentuk perjanjian sewa beli, kenyataannya perkembangan tersebut merupakan perkembangan praktek.

Dalam praktek, sama halnya dengan pembebanan hak tanggungan atau penjaminan tanah, secara teoritis perusahaan leasing memahami perlunya pembebanan dengan akta pembebanan hak tanggungan, namun kenyataan pelaksanaan hak tanggungan masih ada beberapa yang tidak dilanjuti dengan pembuatan Akte Pembebanan Hak Tanggungan, dibandingkan dengan nasib pembebanan jaminan secara fidusia dengan Hak Tanggungan masih lebih baik, hanya saja frekuensi pelaksanaan jaminan dengan Hak Tanggungan (untuk benda tidak bergerak) tergolong kecil dibandingkan dengan jaminan benda bergerak.

Kecenderungan yang terjadi jaminan diberikan berupa benda bergerak dikarenakan menurut kaca mata bisnis lebih efisien karena tidak memakan waktu yang lama.


(51)

       

BAB IV PEMBAHASAN

A. Syarat – Syarat dan Ketentuan Umum Yang Diberikan Lessor Terhadap

Lesse Sebagai Kualifikasi Kelayakan Lesse dan Bentuk Pengawasan Standart Oleh Pihak Lessor.

Prosedur mekanisme leasing ini sangat diperlukan dalam proses pembuatan perjanjian leasing sebab dalam prosedur tersebut terdapat tahapan – tahapan yang mengatur setiap tindakan yang harus diambil para pihak. Sehingga dapat dipastikan dalam proses pembuatan perjanjian tersebut dapat berjalan sesuai dengan teratur dan sistematis sesuai kehendak para pihak sampai pada detik tercapainya atau lahirnya perjanjian tersebut yang ditandatangani dengan penandatanganan kontrak leasing.

Setiap usaha mempunyai resikonya masing – masing. Resiko yang sering dihadapi dalam pelaksanaan perjanjian Leasing di PT. OTO Multiartha pada divisi mobil. Divisi mobil ini adalah macetnya cicilan dari pihak lessee atau konsumen dengan berbagai alasan. Resiko usaha dalam praktek sulit dihindari, namun pihak perusahaan dalam hal ini selalu berusaha menekan resiko usaha sekecil mungkin. Salah satu usaha yang dilakukan PT. OTO Multiartha Divisi Mobil ini adalah dengan melakukan seleksi yang ketat terhadap calon konsumennya. Pihak lessee atau konsumen harus memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan, yakni antara lain :72

1. Warga Negara Indonesia dengan minimal usia 21 Tahun 2. Melengkapi dokumen persyaratan, yaitu :

 

72


(52)

a. Fotocopy KTP Suami dan Istri b. Fotocopy Kartu Keluarga c. Bukti kepemilikan rumah

d. Fotocopy Kartu Kredit bagi yang memiliki e. Fotocopy slip gaji

f. Fotocopy rekening tabungan / koran 3 bulan terakhir

g. Membayar uang muka (Down Payment) sesuai yang ditentukan oleh pihak perusahaan

h. Membayar biaya administrasi

i. Lama waktu persetujuan kredit 3 – 4 hari

j. Bunga yang ditetapkan bervariasi sesuai dengan program yang berlaku.

Proses persetujuan untuk menjadi konsumen di PT. OTO Multiartha Divisi Mobil, terlebih dahulu perusahaan memeriksa kelengkapan dan kebenaran dokumen atau data yang diserahkan dan menganalisa kemampuan calon pembeli untuk membayar cicilan kendaraan yang akan dibelinya, dengan melakukan :

1. Kunjungan langsung yang dilakukan oleh Surveyor yang ditunjuk oleh PT. OTO Multiartha Divisi Mobil, ke alamat rumah calon konsumen guna mencocokkan data yang diterima dengan keadaan kenyataan di lapangan serta melakukan interview kepada calon konsumen untuk menggali keterangan tentang hal – hal sebagai berikut :

a) Pekerjaan atau sumber penghasilan yang dipakai untuk cicilan

b) Pengeluaran atau biaya – biaya rutin yang harus dikeluarkan setiap bulan, misalnya untuk keluarga, bayar listrik, dan sebagainya.


(53)

c) Status kepemilikan rumah tinggal, apakah milik sendiri, menyewa, punya orang tua, punya keluarga, dan sebagainya

d) Jika masih ragu atas keterangan yang diperoleh atau diberikan oleh calon pembeli, dapat juga menanyakan kepada tetangga atau relasi calon konsumen tersebut

e) Melalui SID/ Sistem Informasi Debitur yang telah dicanangkan oleh PT. OTO Multiartha, bisa mengetahui dan menganalisa Histore Lessee / karakter sejarah dari calon lessee apakah pernah bermasalah dengan proses leasing sebelumnya atau ditempat lain, karena dengan sistem SID ini pihak lessor dapat saling menukar informasi mengenai karakteristik sejarah dari pihak lessee tersebut.

2. Jika menurut petugas surveyor yang melakukan kunjungan permohonan dari calon konsumen / lessee layak untuk diterima, maka petugas tersebut mengusulkan (secara lisan) kepada atasannya untuk menyetujui atau mengabulkan permohonan tersebut.

3. Setelah permohonan di setujui atau dikabulkan oleh pihak perusahaan, maka petugas yang ditunjuk mempersiapkan perjanjian dengan mengisi aplikasi formulir perjanjian leasing.

4. Selanjutnya pihak konsumen / lessee membayar uang muka atau DP (Down Payment). Dilanjutkan kemudian dengan penandatanganan perjanjian leasing.

5. Dengan ditandatanganinya perjanjian leasing, kendaraan mobil dapat dibawa langsung oleh konsumen / lessee atau diserahkan oleh perusahaan dirumah pembeli.


(54)

       

6. STNK setelah selesai diurus diserahkan kepada pihak konsumen / lessee, sedangkan BPKB selama harga belum lunas tetap disimpan oleh perusahaan leasing.

PT. OTO Multiartha Divisi Mobil selaku lembaga pembiayaan mobil secara garis besar membiayai masyarakat untuk membeli mobil secara tunai dengan cara menawarkan fasilitas pembelian, namun pembayaran melalui sistem melalui pembayaran secara kredit dengan jangka waktu yang telah ditentukan yakni kredit mobil baru maupun mobil bekas.

Untuk pembiayaan mobil baru PT. OTO Multiartha Divisi Mobil, bekerjasama dengan dealer – dealer mobil yang ada di kota Medan dengan cara membina hubungan atau relasi dengan showroom tersebut dengan tujuan bila ada yang membeli mobil di showroom tersebut dengan cara kredit melalui lembaga pembiayaan, maka showroom tersebut akan mengajukan pembeli mobil untuk melakukan pembelian secara kredit melalui lembaga pembiayaan PT. OTO Mutiartha Divisi Mobil.

Untuk pembiayaan mobil bekas PT. OTO Multiartha Divisi Mobil, dalam hal ini melihat dari batas usia minimal bekas pemakaian dari tahun 1997 sampai dengan kendaraan mobil bekas pakai keluaran tahun terbaru, yang dapat diangsur oleh pihak lessee sesuai dengan kesepakatan perjanian awal, dalam perjanjian leasing tersebut.

Pihak – pihak yang terlibat dalam proses pemberian kredit atau pembiayaan mobil melalui lembaga pembiayaan PT. OTO Multiartha Divisi Mobil, adalah sebagai berikut :73

 

73


(55)

       

1. Lessor merupakan perusahaan Leasing atau pihak yang memberikan jasa pembiayaan kepada pihak lessee dalam bentuk barang modal. Lessor yakni PT. OTO Multiartha Divisi Mobil yang bertujuan untuk mendapatkan kembali biaya yang telah dikeluarkan untuk membiayai penyediaan barang modal dengan mendapatkan keuntungan.

2. Lessee, yakni merupakan pihak yang memperoleh pembiayaan dalam bentuk barang modal dari lessor. Dalam finance lessee, lessee bertujuan untuk mendapatkan pembiayaan berupa barang atau peralatan dengan cara pembayaran angsuran atau secara berkala. Pada akhir masa kontrak, lessee memiliki hak opsi atas barang, yang berarti bahwa pihak lessee memiliki hak untuk membeli barang yang di lease dengan harga nilai sisa.

3. Kreditur atau lender, yaitu pihak yang disebut juga dengan debt holders atau loan participant dalam suatu transaksi leasing. Umumnya kreditur atau lender terdiri dari bank, insurance company trust dan yayasan.

4. Supplier, yakni merupakan pihak yang menyediakan barang modal yang menjadi objek leasing, barang modal mana dibayar oleh lessor kepada supplier untuk kepentingan lessee. Dalam hal ini yang menjadi supplier adalah showroom atau dealer – dealer mobil di kota Medan.74

Menurut Subekti, suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana berjanji kepada orang lain atau lebih dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa itu timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut dinamakan perikatan. Perjanjian itu menimbulkan perikatan antara dua orang tersebut yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji – janji atau kesanggupan yang

 

74


(1)

e. Fotocopy slip gaji

f. Fotocopy rekening tabungan / koran 3 bulan terakhir

g. Membayar uang muka (Down Payment) sesuai yang ditentukan oleh pihak perusahaan

h. Membayar biaya administrasi

i. Lama waktu persetujuan kredit 3 – 4 hari

j. Bunga yang ditetapkan bervariasi sesuai dengan program yang berlaku.

2. Di dalam perjanjian leasing ada beberapa keuntungan dan kerugian yang diperoleh apabila menggunakan jasa leasing dalam usaha pengembangan perusahaan dari pihak lessee. Kerugian tersebut adalah barang modal yang dilease tidak menjadi hak milik dari orang yang menggunakan barang modal tersebut, maka si pengusaha kurang puas karena sebagian besar barang di perusahaannya tidak menjadi milik perusahaan, karena itu maka barang modal tidak dapat dijaminkan untuk memperoleh kredit. Dalam perjanjiaan leasing selalu dicantumkan hak dan kewajiban pihak lessee, beberapa kewajiban tersebut kemungkinan dianggap sebagai kewajiban yang wajar dan ada kemungkinan kewajiban tersebut dirasakan terlalu berat, hal ini merupakan salah satu faktor penyebab timbulnya wanprestasi dari pihak lessee. Faktor lain yang menimbulkan wanprestasi ini adalah karena pihak lessee sendiri pailit atau bangkrut, ia tidak dapat membayar sejumlah uang sewa sebagaimana yang diperjanjikan. Dapat disebabkan karena adanya niat buruk dari pihak lessee, dengan kata lain ia sengaja tidak membayar sejumlah sewa atau mempergunakan uang tersebut untuk keperluan lain untuk mengembangkan usahanya.


(2)

3. Wanprestasi merupakan salah satu keadaan dari tak terlaksananya perjanjian, disamping keadaan lain adalah karena overmacht. Debitur dalam hal ini adalah leassee lalai atau sengaja tidak melaksanakan prestasi yang telah diperjanjikan dalam perjanjian leasing. Dalam hal ini menghadapi kasus wanprestasi lessee, maka lessor mempunyai tiga alternatif, hal ini juga dilakukan oleh pihak PT. OTO Multiartha, yaitu sebagai berikut :

1. Negosiasi (Damai) 2. Melalui badan abitrase 3. Melalui pengadilan

Namun, Dalam kenyataannya kadang – kadang lessee menghalang – halangi lessor dengan itikad buruk, lessee menginginkan penyelesaian melalui pengadilan, dimana lessee telah mengetahui proses pengadilan akan memakan waktu yang cukup lama dan hal ini dapat menguntungkan dirinya.

B. SARAN

Dari beberapa kesimpulan diatas maka penulis mengajukan beberapa saran-saran sebagai berikut :

1. Dalam menganalisa kelayakan dari leesee sebaiknya lebih teliti dengan

membandingkan data dilapangan apakah sudah sesuai dengan syarat-syarat dan prosedur yang dikeluarkan oleh lessor serta perlu didukung dengan data support dengan prospek calon leessee kedepannya.


(3)

2. Adanya bentuk pengawasan secara intensif yang dilakukan oleh lessor sebelum terjadi keterlambatan pembayaran oleh pihak Lessor.

3. Mengingat semakin luasnya jangkuan kegiatan – kegiatan lembaga leasing ,

maka lembaga leasing perlu meningkatkan pengawasan. Hal ini perlu dilakukan untuk mengurangi faktor-faktor penyebab terjadinya wanprestasi.

4. Oleh karena leasing semakin lama semakin berkembang diindonesia maka

dinilai perlu untuk dibuat suatu undang-undang yang mengatur secara khusus tentang leasing.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Andasasmita, Komar, Leasing ( Teori dan Praktek ), CV. Utomo, Bandung, 1983.

Badrulzaman, Mariam Darus, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 2005.

________________________, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan

Penjelasan, Alumni, Bandung, 1983.

Ibrahim, Johanes, Pengimpasan Pinjaman dan Asas Kebebasan berkontrak,

CV. Utomo, Bandung, 2003.

Muhammad, Abdul Kadir , Pemahaman Dasar Atas Usaha Leasing, Integritas

Press, Jakarta, 1985.

Meliala, S. Djaja, Perkembangan Hukum Perdata tentang Benda dan Hukum

Perikatan, Nuansa Aulia, Bandung, 1985.

Prodjodikoro, R. Wirjono, Asas – Asas Hukum Perjanjian, Ghalia Indonesia,

Jakarta, 1984.

Soimin, Soedharyo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Sinar Grafika,

Jakarta, 1999.

Setiawan, R, Pokok – Pokok Hukum Perjanjian, Putra Bordin, Bandung, 1999.


(5)

Soedewi, Sri, Hukum Jaminan Indonesia dan Pokok – pokok Hukum Jaminan dan

Hukum Perorangan, Liberty, Yogyakarta, 1980.

Sianipar, Murti, Dasar Hukum dan Masalah Hukum Dalam Industri Leasing di

Indonesia, Nuansa Aulia, Bandung, 1999.

Subekti, R., Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1983.

_________, Arbitrase Perdagangan, Nusa Aulia, Bandung, 1981.

Satrio, J., Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjannjian, PT. Citra

Adiya Bakti, Bandung, 1995.

Tunggal, Amin Wijaya, Aspek Yuridis Dalam Leasing, Rineka cipta, Jakarta,

1994.

Undang – undang

Kitab Undang – Undang Hukum Perdata

Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor.Kep.-122/MK/IV/2/1974, Nomor.32/M/SK/2/1974, 30/Kpb/I/1974 tertanggal 7 Februari 1974, tentang perizinan usaha leasing.


(6)

Keputusan Mentri Keuangan No.1251 Tahun 1988 Tentang Ketentuan Dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169 Tahun 1991 Tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha.

SK Menteri Perindustrian No. 295/M/SK/7/1992 dan SK No. 428/M/SK/12/1987 Tentang

Direktorat Jendral Moneter No. Peng 307/DJM/III. I/7.1974 Tanggal 8 Juli 1974 Tentang

Undang – Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.