Analisis Perkara Nomor 690k Pid.Sus 2010 Ditinjau Dari Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Eksploitasi Seksual Dalam Pernikahan Dini

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, bahkan
anak dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan dengan
kekayaan harta benda lainnya, oleh sebab itu maka anak harus senantiasa dijaga dan
dilindungi karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai
manusia yang harus dijunjung tinggi, termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan
Kovensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Apabila dilihat dari sisi
kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah pewaris dan sekaligus potret masa
depan bangsa di masa datang, generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak
berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak
atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi. 1
Perlindungan adalah “Suatu bentuk pelayanan yang wajib dilakukan oleh
aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik
maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, teror, dan
kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada tahan penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, dan/atau pemeriksaan di sidang pengadilan” 2. Pengertian perlindungan

1


Ahmad Kamil dan Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia,
Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2008, hlm. vii
2
Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara
Perlindungan Korban dan Saksi

yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah tersebut merupakan bentuk dari
perlindungan yang bersifat hukum.
Maria Theresia Geme mengartikan perlindungan hukum adalah “Berkaitan
dengan tindakan negara untuk melakukan sesuatu dengan (memberlakukan hukum
negara secara eksklusif) dengan tujuan untuk memberikan jaminan kepastian hak-hak
seseorang atau kelompok orang. 3 Satjipto Raharjo mengartikan perlindungan hukum
adalah “Memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan
orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati
semua hak-hak yang diberikan oleh hukum”. 4
Bentuk perlindungan hukum dibagi menjadi 2 (dua) bentuk, yaitu:
1. Perlindungan yang bersifat preventif
2. Perlindungan refresif.
Perlindungan hukum yang preventif merupakan perlindungan hukum yang

sifatnya pencegahan. Perlindungan memberikan kesempatan kepada rakyat untuk
mengajukan keberatan (inspraak) atas pendapatnya sebelum suatu keputusan
pemerintahan mendapat bentuk yang defenitif. Perlindungan hukum ini bertujuan
mencegah terjadinya sengketa, dan sangat besar artinya bagi tindakan pemerintah
yang didasarkan pada kebebasan bertindak, sehingga dapat mendorong pemerintah
untuk berhati-hati dalam mengambil keputusam yang berkaitan dengan asas freies

3

Maria Theresia Geme, Perlindungan Hukum Terhadap Masyarakat Hukum Adat Dalam
Pengelolaan Cagar Alam Watu Ata Kabupaten Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Disertasi
Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas, Brawijaya, Malang, 2012, hlm. 99
4
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000, hlm. 54

ermessen, dan rakyat dapat mengajukan keberatan atau dimintai pendapatnya
mengenai rencana keputusan itu.
Perlindungan hukum refresif berfungsi untuk menyelesaikan apabila terjadi
sengketa. Indonesia dewasa ini memiliki badan yang secara parsial menangani
perlindungan hukum bagi rakyat, yaitu:

1.

Pengadilan dalam lingkup Peradilan Umum;

2.

Instansi pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi.
Peradilan umum adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung

yang menjalankan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada
umumnya. Peradilan umum meliputi: pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan
pengadilan khusus. 5 Pengadilan negeri berkedudukan di ibukota kabupaten/kota,
dengan daerah hukum meliputi wilayah kabupaten/kota. Pengadilan tinggi
berkedudukan di ibukota provinsi, dengan daerah hukum meliputi wilayah provinsi.
Pengadilan khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan memeriksa,
mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu
lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur
dalam Undang-Undang. 6 Pengadilan khusus meliputi : pengadilan anak, pengadilan

5


Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 2 Tahun1986 Tentang Peradilan Umum
6
Pasal 1 angka (6) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 2 Tahun1986 Tentang Peradilan Umum

niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan
hubungan industrial, dan pengadilan perikanan. 7
Dibentuknya pengadilan anak dalam peradilan umum merupakan bukti dari
usaha pemerintah dalam hal memberikan perlindungan hukum terhadap anak, karena
dari tahun ke tahun jumlah anak yang berhadapan dengan hukum terus meningkat. 8
Anak yang berhadapan dengan hukum bisa berupa anak sebagai pelaku tindak pidana
ataupun anak sebagai korban tindak pidana, dan keduanya berhak mendapatkan
perlindungan hukum sesuai dengan amanat Undang-Undnag Perlindungan Anak.
Anak sebagai pelaku tindak pidana adalah anak yang melakukan perbuatan
yang terlarang bagi anak, baik terlarang menurut perundang-undangan, misalnya,
pencurian, penganiayaan, dan perbuatan lain yang dilarang undang-undang. Anak
sebagai korban tindak pidana adalah anak yang menjadi korban perbuatan yang
dilarang oleh undang-undang yang dilakukan oleh orang lain, misalnya: anak korban

eksploitasi ekonomi dan/atau seksual, dan perbuatan lain yang tidak sepatutnya
dialami oleh anak-anak.
Eksploitasi seksual terhadap anak dapat berupa pelacuran anak, pornografi
anak, perdagangan anak, pariwisata seks anak, dan perkawinan anak atau pernikahan
dini. Pelacuran anak terjadi ketika seseorang mengambil keuntungan dari sebuah
transaksi komersial dimana seorang anak disediakan untuk tujuan-tujuan seksual. Isu

7

Penjelasan pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun1986 Tentang Peradilan Umum
8
Jumlah Anak Bermasalah Dengan Hukum, dalam http://www.metrotvnews.com, diakses
tanggal 26 September 2013

kuncinya adalah bahwa bukan anak-anak yanh memilih untuk terlibat dalam
pelacuran agar dapat bertahan hidup atau untuk membeli barang-barang konsumtif,
tetapi mereka didorong oleh keadaan, struktur sosial dan pelaku-pelaku individu ke
dalam situasi-situasi dimana orang-orang dewasa memanfaatkan kerentanan mereka
serta mengkesploitasi dan melakukan kekerasan seksual kepada mereka.

Pornografi anak berarti pertunjukan apapun atau dengan cara apa saja yang
melibatkan anak di dalam aktifitas seksual yang nyata atau eksplisit atau yang
menampilkan bagian tubuh anak demi tujuan-tujuan seksual. 9 Pengkesploitasian anak
melalui pornografi dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
1.

Anak-anak dapat ditipu atau dipaksa untuk melakukan tindakan seksual untuk
pembuatan bahan-bahan pornografi atau mungkin gambar-gambar tesebut dibuat
dalam

proses

pengeksploitasian

seorang

anak

secara


seksual

tanpa

sepengatahuan anak tersebut. Gambar-gambar tersebut kemudian disebarkan,
dijual atau diperdagangkan ;
2.

Orang-orang yang mengkonsumsi dan/atau memiliki gambar anak-anak tersebut
terus mengeksploitasi anak-anak ini. permintaan mereka atas gambar anak-anak
tersebut menjadi perangsang untuk membuat bahan-bahan porno tersebut;

3.

Para pembuat bahan-bahan pornografi biasanya menggunakan produk-produk
mereka

untuk

memaksa,


mengancam

atau

memeras

dimanfaatkan untuk pembuatan produk-produk tersebut..

9

Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak

anak-anak

yang

Perdagangan anak atau trafiking adalah semua perbuatan yang melibatkan
perekrutan atau pengiriman orang di dalam maupun ke luar negeri dengan penipuan,
kekerasan atau paksaan, jeratan hutang atau pemalsuan dengan tujuan untuk

menempatkan orang tersebut dalam situasi-situasi kekerasan atau eksploitasi seperti
pelacuran dengan paksaan, praktek-praktek yang serupa dengan perbudakan,
penyiksaan, atau kekejaman yang ekstrim, pekerjaan dengan gaji yang rendah atau
pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang bersifat eksploitatif. Perdagangan anak bisa
terjadi tanpa atau dengan menggunakan kekerasan atau pemalsuan karena anak-anak
tidak mampu memberikan izin atas eksploitasi terhadap diri mereka.
Pariwisata seks anak merupakan eksploitasi seksual anak yang dilakukan oleh
orang-orang yang melakukan perjalanan sari satu tempat ke tempat yang lain dan di
tempat tersebut mereka melakukan hubungan seks dengan anak-anak. Sebagian
wisatawan seks anak menjadikan anak-anak sebagai sasaran mereka, tetapi sebagian
besar dari mereka merupakan para pelaku kekerasan situasional yang biasanya tidak
memiliki keinginan khusus untuk berhubungan seks dengan anak-anak tetapi hanya
sekedar memanfaatkan situasi dimana seorang anak memang tersedia untuk mereka.
Perkawinan anak atau pernikahan dini yaitu perkawinan yang melibatkan
anak dan remaja usia di bawah 18 (delapan belas) tahun. Eksploitasi seksual dalam
bentuk pernikahan dini ini yang menjadi topik penelitian. Pernikahan dini dianggap
sebagai sebuah bentuk eksploitasi seksual jika seorang anak diterima dan
dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan seksual demi mendapatkan barang atau bayaran
dalam bentuk uang atau jasa. Biasanya orang tua atau sebuah keluarga menikahkan


seorang anak untuk mendapatkan keuntungan atau untuk membiayai keluarga
tersebut. Perkawinan anak dapat terjadi baik terhadap anak laki-laki maupun
perempuan, tetapi perkawinan anak umumnya terjadi pada anak perempuan yang
dinikahkan dengan laki-laki yang jauh lebih tua dari mereka. 10 Anak perempuan
tersebut dipaksa untuk menikah oleh orang tua atau keluarga pada usia yang masih
terlalu muda untuk membuat keputusan yang benar. Izin diberikan oleh orang lain
atas nama anak tersebut dan anak tersebut tidak memiliki kesempatan untuk
menggunakan haknya untuk memilih. Pernikahan dini sering berkaitan dengan
penelantaran isteri dan menjerumuskan anak-anak perempuan muda ke dalam
kemiskinan yang luar biasa.
Anak dalam kondisi apapun harus dilindungi dari segala bentuk perbuatan
yang bisa merusak masa depan anak. Perhatian dunia terhadap nasib anak,
sesungguhnya sudah dimulai sejak tahun 1924, ketika nasib anak-anak yang dijadikan
budak yang mempunyai nasib yang sangat buruk. Beranjak dari fenomena tersebut,
maka pada tahun 1924 Liga Bangsa-Bangsa (LBB) telah mengesahkan Deklarasi Hak
Asasi Anak yang diusahakan oleh International Union for the Save Children. 11
Aksi-aksi perlindungan kepada anak-anak terus dilakukan secara serius dan
seterusnya diakui bahwa hak anak adalah hak asasi manusia oleh Perserikatan Bangsa
Bangsa (PBB). Perjanjian hak asasi manusia internasional terdiri dari 9 (sembilan)


10

ECPAT Internasional, Tanya dan Jawab Tentang Eksploitasi Seksual Komersial Anak,
Restu Printing, 2006 hlm. 15
11
Chairul Bahriah Mozasa, Aturan-Aturan Hukum Trafiking (Perdagangan Perempuan dan
Anak), Medan : USU Press, 2005, hlm. 5

butir, dimana hak anak disebutkan pada butir ke 6 (enam). Isi dari perjanjian hak
asasi manusia tersebut adalah sebagai berikut: 12
1. Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Ras;
2. Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan dua protokol
opsionalnya;
3. Konvensi Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya;
4. Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan dan protokol opsionalnya;
5. Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang
Kejam, tidak Berperikemanusiaan dan Merendahkan;
6. Konvensi tentang Hak Anak dan dua protokol opsionalnya;
7. Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan
Anggota Keluarga Mereka;
8. Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan
Paksa;
9. Konvensi tentang Hak Penyandang Cacat.
Konvensi Hak Anak (KHA) merupakan instrumen internasional mengikat
pertama untuk mengemukakan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya
anak. Konvensi tersebut merupakan hasil negosiasi selama satu dasawarsa antara
pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Konvensi Hak Anak mulai
berlaku pada bulan September 1990 dan saat ini memiliki 193 negara peserta. Setiap
negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) telah meratifikasi atau ikut serta
dalam konvensi hak anak. 13
Bulan Mei 2002, Perserikatan Bangsa Bangsa PBB menggelar Sidang Khusus
Majelis Umum tentang anak yang dilaksanakan di New York. Pertemuan yang belum
pernah terjadi sebelumnya ini dipersembahkan untuk anak-anak dan remaja dunia.
12

Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak, ECPAT Affiliate
Member Group in Indonesia, Panduan Praktis, Memperkuat Hukum Penanganan Eksplotasi Seksual
Anak, Medan: KONAS PESKA, 2010, hlm. 12
13
Ibid, hlm. 14

Pertemuan tersebut telah mempertemukan para kepala pemerintah, kepala negara,
lembaga swadaya masyarakat (LSM), advokat anak, dan remaja dan mencoba untuk
merealisasikan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam World Ummit for Children
pada tahun 1990, dan untuk mengangkat hak-hak anak dalam agenda dunia. Sidang
tersebut membahas kemajuan yang telah dicapai World Summit dan menciptakan
sebuah komitmen baru dan berjanji untuk melakukan langkah-langkah khusus untuk
anak-anak dalam dekade mendatang. Sidang khusus tersebut menghasilkan sebuah
aksi global untuk anak-anak dan remaja yang disebut dengan Sebuah Dunia Yang
Layak Bagi Anak (A World Fir for Children). 14
Deklarasi A World Fir for Children menunjukkan komitmen para pemimpin
untuk melindungi anak-anak dari semua bentuk eksploitasi seksual dan untuk
mengambil langkah yang diperlukan, pada semua tingkatan, sebagaimana mestinya,
untuk mengkriminalkan dan menghukum secara efektif, sesuai dengan semua
instrumen internasional yang berlaku dan terkait, semua bentuk eksploitasi seksual
dan kekerasan seksual terhadap anak, termasuk dalam keluarga atau untuk tujuan
komersial, pelacuran anak, pedofilia, pornografi anak, pariwisata seks anak, trafiking,
penjualan anak dan organ tubuh mereka, pelibatan anak dalam buruh anak secara
paksa dan bentuk-bentuk eksploitasi lain, sembari menjamin bahwa dalam perlakuan

14

Resolusi Majelis Umum PBB S-27/2 (Sebuah dunia yang layak bagi anak), dalam
http://www.unicef.org/worldfitforchildren/files/A-RES-S27-2E.pdf

oleh sistem peradilan pidana anak-anak yang menjadi korban, kepentingan terbaik
anak harus menjadi pertimbangan utama. 15
Aksi menentang eksploitasi seksual anak tingkat internasional lainnya juga
bisa dilihat dengan diselenggarakannya Kongres Dunia Pertama di Stockholm,
Swedia tahun 1996, yang diikuti sebanyak 122 negara mengadopsi Deklarasi dan
Agenda Aksi Stockholm (Agenda Aksi). Agenda Aksi tersebut meminta negaranegara dan semua sektor masyarakat serta organisasi-organisasi nasional, regional
dan internasional untuk mengambil sebuah langkah untuk menentang eksploitasi
seksual anak dalam 6 (enam) wilayah, yaitu: koordinasi, kerjasama, pencegahan,
perlindungan, pemulihan dan reintegrasi serta partisipasi anak. 16
Penegasan kembali komitmen terhadap Agenda Aksi tersebut ditandai dengan
diadopsinya dokumen yang merupakan keluaran dari kongres tersebut, yaitu
Komitmen Global Yokohama pada bulan Desember 2001. Para peserta mengakui dan
menyambut berbagai kemajuan positif yang telah dicapai sejak Kongres Dunia
Pertama yang dilaksanakan pada tahun 1996, termasuk pengimplementasian
Konvensi Hak Anak yang lebih baik dan mobilisasi yang lebih besar terhadap
pemerintah nasional dan masyarakat internasional untuk mengadopsi berbagai
undang-undang, peraturan dan program untuk melindungi anak-anak dari ekploitasi
seksual. 17

15

Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak, ECPAT Affiliate
Member Group in Indonesia, op.cit, hlm. 24
16
Ibid, hlm. 21
17
Ibid

Bulan Juli 2007, Komite Menteri Dewan Eropa mengadopsi Konvensi tentang
Perlindungan Anak dari Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Seksual, 18 yang
ditandatangani oleh 30 negara anggota pada Oktober 2008. Konvensi tersebut akan
berlaku setelah diratifikasi oleh 5 (lima) negara, termasuk sedikitnya 3 (tiga) negara
Dewan Eropa. 19 Tujuan konvensi ini adalah untuk mencegah dan memerangi
eksploitasi seksual dan kekerasan seksual, melindungi hak-hak korban eksploitasi
seksual dan kekerasan seksual, mempromosikan kerjasama nasional dan internasional
untuk menentang eksploitasi seksual dan kekerasan seksual. Konvensi tersebut
menawarkan defenisi yang jelas tentang istilah-istilah kekerasan seksual terhadap
anak dan eksploitasi seksual terhadap anak dan mengharuskan bentuk-bentuk
kekerasan dan eksploitasi seksual terhadap anak yang berbeda-beda tersebut untuk
dianggap sebagai pelanggaran kriminal. 20
Bentuk dukungan pemerintah Indonesia terhadap aksi negara-negara
Internasional dalam hal perlindungan anak dari eksploitasi seksual dan bentuk
penyiksaan lainnya adalah dengan meratifikasi Konvensi Hak Anak melalui
Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990. Selain meratifikasi perjanjian internasional
Konvensi Hak Anak, Indonesia juga mengeluarkan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang disahkan pada 22 Oktober 2002.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 merupakan peraturan khusus yang
18

Konvensi Dewan Eropa tentang Perlindungan Anak dari Eksploitassi Seksual dan
Kekerasan Seksual, dalam http://convention.coe.int/Treaty/EN/treaties/Html/201.htm
19
Peratifikasian negara dapat dilihat dari website Dewan Eropa. Konvensi Dewan Eropa
tentang Perlindungan Anak dari Eskploitasi Seksual dan Kekerasan Seksual, dalam
http://convention.coe.int/Treaty/Commun/ChercheSig.asp.NT=201&CM=8&DF=&CL=ENG
20
Konvensi Dewan Eropa tentang Perlindungan Anak dari Eksploitasi Seksual dan
Kekerasan Seksual, dalam http://convention.coe.int/Treaty/EN/treaties/Html/201.htm

memberikan perlindungan terhadap anak secara utuh, menyeluruh, dan komprehensif
berdasarkan asas-asas nondiskriminatif, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak
untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan, serta penghargaan terhadap
pendapat anak.
Berdasarkan tujuan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002,
maka sangat beralasan bila pernikahan Pujiono Cahyo Widianto (Syeh Puji), seorang
hartawan sekaligus pengasuh pesantren berusia 43 tahun dengan gadis berusia 12
tahun yang bernama Lutviana Ulfah beberapa waktu yang lalu mengundang reaksi
keras dari Komnas Perlindungan Anak. 21
Kasus lain yang tidak sampai tersorot media elektronik adalah Ki Masyhurat
dan Haji Naning, yang mengincar gadis-gadis belia. Ki Masyhurat, lelaki uzur asal
Sumenep-Madura ini mengoleksi istri 10 orang, ia menikahi istri-istrinya di usia
antara 9-12 tahun. Haji Naning, kakek 65 tahun, asal Dusun Patontongan, Kecamatan
Mandai, Sulawesi Selatan, menikahi Nurlia gadis berusia 11 tahun. Bahkan, Naning
mengincar Nurlia sejak masih usia balita (bayi usia di bawah lima tahun). Ki
Masyhurat dan Naning semuanya seperti berkedok orang-orang yang membantu
dhuafa. Gadis-gadis muda belia tersebut direlakan orang tuanya untuk dinikahkan
dengan kakek-kakek, karena mereka terbelit kemiskinan. 22

21

“Pernikahan Dini”, dalam http://rudisayful.blogspot.com/2013/01/makalah-pernikahandini.html, diakses 1 Maret 2013
22
“Pernikahan Usia Dini tak dapat Dipungkiri Namun tak Layak Diamini”, dalam
http://www.rahima.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=929:pernikahan-usia-dinitak-dapat-dipungkiri-namun-tak-layak-diamini--fokus-edisi-38-&catid=32:fokus-suararahima&Itemid=47

Berdasarkan studi yang berhasil dicatat menyebutkan bahwa pernikahan di
bawah umur terjadi di antaranya karena kebiasaan yang terjadi secara turun temurun.
Penelitian yang dilakukan di Kec. Jangkar Kec. Situbodo Jawa Timur, menyebutkan,
masyarakat yang menikah pada 1960-2000 belum memiliki akta nikah karena
dilakukan terhadap anak di bawah umur. Tahun 2001-2007 sebagian masyarakat
sudah memiliki akta nikah, namun pengantin perempuan rata-rata masih lulusan SD
atau juga masih di bawah umur. Pada periode 2007-2008 pernikahan bawah umur
kembali meningkat tajam, karena faktor ekonomi, pendidikan, dan tradisi turun
temurun. 23
Berdasarkan data yang diperoleh dari Pengadilan Agama Kota Malang,
tercatat angka pernikahan di bawah umur pada 2008 meningkat sampai 500%
dibandingkan tahun sebelumnya. Fakta lain menyebutkan, Badan Pusat Statistik
(BPS) mencatat pada 2008 terdapat 32,2% perempuan yang menikah pada usia di
bawah 15 (lima belas) tahun, sedangkan pada laki-laki terjadi pada 11,9%.
Perempuan yang melahirkan antara usia 13-18 (tiga belas sampai delapan belas)
tahun mencapai 18%, dan pernikahan di bawah usia 18 (delapan belas) tahun
angkanya mencapai 49%. Badan Pusat Statistik juga mencatat 5 (lima) provinsi yang
memiliki angka pernikahan bawah umur tertinggi, yaitu Jawa Timur (28%), Jawa
Barat (27,2%), Kalimantan Selatan (27%), Jambi (23%), Sulawesi Tengah (20,8%).
Data lain menyebutkan, Bappenas melansir pada 2008 sekitar 2 juta pasangan nikah
terdapat 35% pasangan merupakan pernikahan dini atau pernikahan bawah umur.

Tidak ada data yang pasti namun pernikahan di bawah umur terjadi merata di seluruh
wilayah Indonesia. 24
Eksploitasi seksual dalam bentuk apapun sangat membahayakan hak-hak
seorang anak untuk menikmati masa remaja mereka dan kemampuan mereka untuk
hidup produktif, berharga dan bermartabat. Tindakan tersebut dapat mengakibatkan
dampak-dampak yang serius, seumur hidup, bahkan mengancam nyawa jiwa anak
sehubungan dengan perkembangan-perkembangan fisik, psikologis, spiritual,
emosional, dan sosial serta kesejahteraannya. Dampaknya bervariasi berdasarkan
pada situasi-situasi yang dihadapi anak-anak dan tergantung pada berbagai faktor
seperti tahap perkembangan dan sifat lamanya serta bentuk kekerasan, namun semua
anak yang mengalami eksploitasi seksual akan menderita berbagai dampak negatif.
Dampak-dampak psikologis dari eksploitasi seksual dan ancaman-ancaman yang
dipergunakan biasanya akan membekas sepanjang sisa hidup mereka.
Bentuk eksploitasi seksual dalam pernikahan dini yang akan dibahas dalam
penelitian ini dilihat melalui putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
690K/PID.SUS/2010 yang dalam amar putusannya menerima putusan hakim
Pengadilan
membatalkan

Negeri

Rantau

putusan

tingkat

Prapat

Nomor

banding

436/PID.B/2009/PN.RAP

Pengadilan

Tinggi

Medan

serta
Nomor

712/PID/09/PT.MDN.

24

“Pernikahan
Anak
di
Bawah
Umur”,
dalam
http://innanoorinayati.blogspot.com/2011/11/pernikahan-anak-di-bawahumur-dalam.html, diakses 2
Maret 2013.

Terdakwa adalah H. Aska Hasibuan, laki-laki berusia 37 tahun yang
berdasarkan putusan hakim pengadilan negeri Rantau Prapat telah terbukti secara sah
dan meyakinkan melanggar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, dengan menikahi gadis belia bernama Rohimah Boru Lubis,
berusia 13 tahun. Pernikahan H. Aska Hasibuan dengan Rohimah Boru Lubis ini
adalah pernikahan yang berlatar belakang ekonomi, sehingga dapat dikategorikan
sebagai eksploitasi seksual terhadap anak dalam bentuk pernikahan dini. 25
Haji Aska Hasibuan menikahi Rohimah Boru Lubis secara siri 26 agar bisa
memperoleh keturunan. Demi mewujudkan keinginannya menikah dengan Rohimah
Boru Lubis, Haji Aska Hasibuan menjanjikan kepada orang tua Rohimah Boru Lubis
bahwa perkawinan yang dimaksudkannya adalah kawin gantung, 27 sehingga Rohimah
tetap bisa melanjutkan sekolahnya tanpa harus terbebani tanggung jawabnya sebagai
seorang isteri. Haji Aska Hasibuan juga menjanjikan akan memberikan rumah,
sebidang tanah, menjadikan Rohimah sebagai penerus usaha panglong miliknya, dan
menanggung biaya sekolah Rohimah sampai ke tingkat perguruan tinggi. Bujukan
dan janji-janji manis Haji Aska Hasibuan berhasil membuat orang tua Rohimah
menyetujui permintaannya, dan bersedia menikahkan anak gadisnya kepada
terdakwa.

25

Mengacu kepada pengertian pernikahan dini yang mengarah kepada eksploitasi seksual,
dalam ECPAT Internasional, op.cit
26
Nikah Siri adalah nikah yang tidak dicatat oleh negara, dalam
http://id.wikipedia.org/wiki/Nikah_siri, diakses tanggal 25 September 2013
27
Perkawinan yg sudah sah, tetapi suami dan istri belum boleh serumah (masih tinggal di
rumah masing-masing), dalam http://kamusbahasaindonesia.org, diakses 27 September 2013

Haji Aska Hasibuan melanggar kesepakatan, sebab Rohimah dipaksa
melayaninya selayaknya seorang isteri kepada suami, sehingga menyebabkan
Rohimah hamil. Kehamilan Rohimah ternyata tidak diinginkan oleh Haji Aska
Hasibuan. Rohimah dan orang tuanya diusir dari kediaman Haji Aska Hasibuan
karena malu kalau sampai orang lain mengetahuinya hal tersebut. Orang tua Rohimah
melaporkan Haji Aska Hasibuan kepada pihak yang berwajib karena merasa
dibohongi, sebab semua yang pernah diucapkan dan dijanjikannya mulai dari janji
hanya kawin gantung, memberikan rumah dan tanah, menjadikan Rohimah sebagai
penerus usaha panglong, dan menanggung biaya sekolah Rohimah sampai perguruan
tinggi, tidak satupun ditepati. Keadaan Rohimah bahkan menjadi sangat
memprihatinkan, masa anak-anak yang seharusnya penuh dengan keceriaan telah
hancur karena di usianya yang baru menginjak 13 (tiga belas) tahun harus merawat
dan membesarkan anak dengan segala keterbatasannya sebagai seorang ibu.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 690K/PID.SUS/2010 dinilai menarik untuk diteliti, sebab
dalam hal penjatuhan hukuman terhadap H. Aska Hasibuan mulai dari putusan Hakim
tingkat pertama, tingkat banding, dan tingkat kasasi berbeda satu dengan lainnya.
Pengadilan Negeri Rantau Prapat menjatuhkan hukuman kepada terdakwa selama 7
(tujuh) tahun penjara dan denda sebesar 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah),
sedangkan Pengadilan Tinggi Medan menjatuhkan hukuman 1 (satu) tahun penjara.
Hal lain yang dinilai menarik untuk diteliti adalah mengenai pengimplementasian dari

perlindungan hukum yang diberikan pengadilan kepada Rohimah Boru Lubis sebagai
korban eksploitasi seksual dalam pernikahan dini.

B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan
yang akan dibahas pada peneltian ini adalah sebagai berikut:
1.

Bagaimana pengaturan tentang larangan eksploitasi seksual pada pernikahan
anak usia dini dalam perundang-undangan di Indonesia?

2.

Bagaimana pertimbangan Hakim pada Tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan
Tinggi, dan Mahkamah Agung, dalam memberikan perlindungan hukum
terhadap anak korban eksploitasi seksual dalam pernikahan dini?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1.

Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan tentang larangan eksploitasi
seksual pada pernikahan anak usia dini dalam perundang-undangan di Indonesia.

2.

Untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan Hakim pada Tingkat
Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung, dalam
memberikan perlindungan hukum terhadap anak korban eksploitasi seksual
dalam pernikahan dini.

D. Manfaat Penelitian
Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis
maupun praktis, yaitu:
1.

Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih lanjut bagi para
akademisi maupun masyarakat umum serta diharapkan dapat memberikan
manfaat guna menambah khasanah ilmu hukum secara umum dan hukum
perlindungan anak secara khusus di Indonesia.

2.

Manfaat Praktis
a. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat berperan sebagai masukan kepada
pemerintah dan aparat penegak hukum untuk menciptakan suatu peraturan
mengenai perlindungan anak yang lebih jelas dan tegas, khususnya mengenai
batasan usia dewasa bagi perempuan.
b. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan
membuka wawasan masyarakat kita, khususnya mayarakat yang masih berada
di perkampungan, dan dengan ekonomi lemah, akan bahaya menikahkan anak
perempuan mereka pada usia dini.

E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi yang didapat melalui penelusuran kepustakaan di
perpustakaan Universitas Sumatera Utara khususnya perpustakaan cabang fakultas
hukum Universitas Sumatera Utara, bahwa penelitian dengan judul: “Analisis Perkara
Nomor 690K/PID.SUS/2010 Ditinjau Dari Perlindungan Hukum Terhadap Anak
Korban Eksploitasi Seksual Dalam Pernikahan Dini”, tidak pernah dilakukan sama
sekali.
Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang
sama, maka peneliti melakukan pengumpulan data dan juga pemeriksaan terhadap
hasil-hasil penelitian yang ada. Berdasarkan hasil observasi, ada beberapa penelitian
yang memiliki topik yang sama, yakni:
1.

Nancy Yosepin Simbolon, 097005097, Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas
Sumatera Utara, judul Tesis “Penanggulangan dan Perlindungan Hukum
Terhadap Anak Sebagai Korban Eksploitasi Seks Komersial Anak”.

2.

Hanan, 107005047, Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, judul
Tesis “Penanggulangan Kejahatan Eksploitasi Seksual Secara Komersial
Terhadap Anak di Kabupaten Asahan”.
Kedua tesis ini tidak membahas eksploitasi seksual terhadap anak dalam

konteks pernikahan dini, sehingga dalam hal permasalahan dan pembahasan tidak
mengalami kesamaan dengan penelitian yang sedang berlangsung ini.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1.

Kerangka Teori
Kerangka teori dalam penelitian hukum sangat diperlukan untuk memperjelas

nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya yang
tertinggi. 28 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,
tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang dijadikan bahan perbandingan,
pegangan teoritis, yang mungkin akan disetujui ataupun tidak disetujui, yang
merupakan masukan dalam membuat kerangka berpikit dalam penulisan. 29
Teori merupakan suatu generalisasi yang dicapai setelah mengadakan
pengujian dan hasilnya menyangkut ruang lingkup faktor yang sangat luas. Kadangkadang dikatakan orang, bahwa teori itu sebenarnya merupakan “an elaborate
hypotheis”, suatu hukum akan terbentuk apabila suatu teori telah diuji dan diterima
oleh ilmuwan, sebagai suatu keadaan yang benar dalam keadaan-keadaan tertentu. 30
Teori yang digunakan untuk menganalisa permasalahan pelaksanaan
perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban eksploitasi seksual dalam
pernikahan di usia dini adalah teori perlindungan hukum. Teori perlindungan hukum
digunakan untuk melihat apakah Hakim dalam memutus perkara terkait pernikahan
H. Aska Hasibuan dan Rohimah Boru Lubis sudah memberikan perlindungan hukum
terhadap korban, sebagaimana amanah Undang-Undang Perlindungan Anak.

28

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1991, hlm. 254
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung : Mandar Maju, 1994, hlm. 80
30
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Universitas Indonesia Press,
1996, hlm. 126-127
29

Istilah teori perlindungan hukum berasal dari bahasa Inggris, yaitu, legal
protection theory, sedangkan dalam bahasa Belanda, disebut dengan theorie van de
wettelijke bescherming, dan dalam bahasa Jerman disebut dengan theorie der
rechtliche schutz. Teori ini bersumber dari teori hukum alam yang dipelopori oleh
Plato, Aristoteles, dan Zeno. Aliran hukum alam menyebutkan bahwa hukum
bersumber dari Tuhan yang bersifat universal dan abadi, serta antara hukum dan
moral tidak dapat dipisahkan.
Manusia merupakan mahluk ciptaan Tuhan yang secara kodrati memiliki hak
asasi. Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah.
Hukum dibuat dan dibentuk ke dalam suatu aturan yang kongkrit oleh lembaga
pemerintah untuk dipatuhi oleh masyarakat. Apabila dikaitkan dengan konsep teori
hukum alam tersebut, maka dapat dikatakan bahwa hukum yang sejatinya bersumber
dari Tuhan tersebut, dibuat dan disusun ke dalam satu bentuk aturan hukum yang
kongkrit oleh lembaga pemerintah yang berwenang, untuk melindungi hak-hak
manusia.
Menurut Satijipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan
pengayoman terhadap hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan
itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan
oleh hukum. Terkait dengan penelitian ini, hak asasi manusia yang dirugikan tersebut
adalah hak anak yang telah terampas akibat dinikahi dan disetubuhi pada usia dini

oleh seorang dewasa, sehingga anak tersebut kehilangan masa kanak-kanaknya yang
semestinya penuh dengan keceriaan, terpaksa berhenti sekolah, kehilangan rasa
percaya diri, merasa dikucilkan oleh teman-teman seumuran dan masyarakat karena
statusnya yang telah menjadi seorang ibu di usianya yang masih anak-anak. Hak-hak
anak tersebut yang seyogianya mendapatkan perlindungan dari negara.
Pendapat Sunaryati Hartono mengatakan bahwa hukum dibutuhkan untuk
mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk
memperoleh keadilan sosial. Terkait dengan penelitian ini anak yang menjadi korban
eksploitasi seksual dalam pernikahan dini dalam hal ini berasal dari keluarga ekonomi
lemah. Kelemahan posisi anak tersebut dimanfaatkan oleh orang yang tidak
bertanggung jawab yang memiliki kekuasaan terhadap anggota keluarga anak
tersebut. Hukum semestinya memberikan jaminan kepada anak tersebut untuk
memperoleh keadilan berupa hukuman setimpal terhadap orang yang telah berbuat
tidak semestinya pada diri anak tersebut melalui persidangan.
Menurut pendapat Pjillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi
rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif.
Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa,
yang mengarahkan tindakan pemerintah berikap hati-hati dalam pengambilan
keputusan berdasarkan diskresi, dan perlindungan yang represif bertujuan untuk
menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penangananya di lembaga peradilan.
Terkait penelitian ini, perlindungan hukum preventif yang dilakukan pemerintah
dalam upaya mencegah terjadinya eksploitasi seksual terhadap anak dalam

pernikahan dini adalah dengan mengeluarkan undang-undang yang khusus dengan
sanksi hukuman yang lebih berat lagi, sehingga diharapkan masyarakat menjadi
takut menikahi anak di bawah umur baik secara sah maupun tidak sah. Perlindungan
hukum represif dalam upaya menyelesaikan perkara eksploitasi seksual terhadap
anak adalah melalui persidangan yang adil berasaskan nondiskriminasi, kepentingan
yang terbaik bagi anak, serta penghargaan terhadap pendapat anak.
Sudikno Mertokusumo mengemukakan tidak hanya tentang tujuan hukum,
tetapi juga tentang fungsi hukum dan perlindungan hukum. Beliau berpendapat
bahwa “Dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia, hukum
mempunyai sasaran yang hendak dicapai. Adapun tujuan pokok hukum adalah
menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban, dan
keseimbangan, sehingga ketertiban di dalam masyarakat tercapainya serta
kepentingan manusia terlindungi. Dalam mencapai tujuannya itu hukum bertugas
membagi hak dan kewajiban antar perorangan di dalam masyarakat, membagi
wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara
kepastian hukum. 31
Sejalan dengan pendapat Sudikno Mertokusumo tersebut, untuk mencapai
tujuan perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban eksploitasi seksual
dalam pernikahan dini, harus ditempuh dengan membagi antara wewenang untuk
mengadakan perlindungan anak, wewenang untuk memecahkan masalah eksploitasi

31

hlm. 71

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta : Liberti, 1999,

seksual anak dalam pernikahan dini tersebut, serta wewenang untuk memelihara
kepastian hukum jika terjadi kasus yang serupa di kemudian hari. Terkait kepada
pihak yang berwenang mengadakan perlindungan anak sesuai dengan bunyi undangundang adalah negara dan masyarakat, yang terwujud dalam satu Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Wewenang untuk memecahkan masalah
eksploitasi seksual anak dalam pernikahan dini terkait pada penelitian ini adalah
lembaga peradilan Indonesia, baik pada tingkat satu, tingkat banding, maupun tingkat
kasasi. Wewenang untuk memelihara kepastian hukum dalam hal ini dipegang oleh
pihak aparat penegak hukum, yang meliputi kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan
lembaga bantuan hukum.

2.

Konsepsi
Kerangka konsepsional dan landasan atau kerangka teoritis menjadi syarat

yang sangat penting dalam suatu penelitian hukum. Kerangka konsep memaparkan
beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian
hukum, kemudian pada bagian landasan/kerangka teoritis sebagai suatu sistem aneka
theore’ma atau ajaran (di dalam bahasa Belanda: leesrstelling). 32
Permasalahan dalam penelitian ini akan dijawab melalui pendefenisian
beberapa konsep agar terdapat persamaan persepsi dalam membaca rencana

32

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 1995, hlm. 7

penelitian ini dan secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan
tujuan yang telah ditentukan.
a.

Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman
kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial,
kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun
berdasarkan penetapan pengadilan. 33 Perlindungan hukum yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah bertujuan untuk melihat sejauh mana peraturan perundangundangan perlindungan anak baik nasional dan internasional memberikan
perlindungan hukum terhadap anak korban eksploitasi seksual dalam pernikahan
dini.

b.

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan. 34 Anak yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah Rohimah Br. Lubis yang berusia 13 tahun pada saat melangsungkan
pernikahan.

c.

Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau
kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. 35 Korban yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah Rohimah Br. Lubis, dimana pada saat
pernikahan masih berusia 13 tahun, yang secara hukum belum diperbilehkan
untuk menikah.
33

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga.
34
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
35
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi
dan Korban

d.

Eksploitasi seksual adalah penggunaan seorang anak untuk tujuan-tujuan seksual
guna mendapatkan uang, barang atau jasa kebaikan bagi pelaku eksploitasi,
perantara atau agen dan orang-orang lain yang mendapatkan keuntungan dari
eksploitasi seksual terhadap anak itu. 36 Eksploitasi seksual yang dimaksud dalam
penelitan ini adalah bahwa pernikahan yang dilakukan H. Aska Hasibuan berusia
37 tahun dan Rohimah Br. Lubis 13 tahun, tidak dilatarbelakangi oleh niat yang
tulus, melainkan karena untuk tujuan tertentu, yakni keturunan, sebab istri
pertama pelaku tidak bisa memberikan keturunan dan pemuas nafsu si pelaku.

e.

Pernikahan dini adalah perkawinan yang melibatkan anak dan remaja di bawah
usia 18 tahun. Perkawinan anak dapat dianggap sebuah eksploitasi seksual jika
seorang anak diterima dan dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan seksual demi
mendapatkan barang atau bayaran dalam bentuk uang atau jasa. Kasus-kasus
tersebut biasanya orang tua atau sebuah keluarga menikahkan seorang anak
untuk mendapatkan keuntungan atau untuk membiayai keluarga tersebut. 37
Pernikahan dini yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pernikahan yang
dilakukan H. Aska Hasibuan berusia 37 tahun dan Rohimah Br. Lubis 13 tahun,
dengan iming-iming H. Aska Hasibuan akan memberikan sebuah rumah,
sebidang lahan sawit, dan lain-lain kepada Rohimah Br. Lubis. Pernikahan yang
dijanjikan oleh korban kepada pelaku adalah “kawin gantung”, artinya
pernikahan tersebut tanpa hubungan suami istri sampai waktu yang disepakati,

36

Tanya dan Jawab Tentang Eksploitasi Seksual Komersial Anak, Sebuah Buku Saku
Informasi Oleh ECPAT Internasional, op.cit, hlm. 18
37
Ibid, hlm. 15

sehingga korban bisa melanjutkan sekolah hingga kuliah sesuai dengan yang
dijanjikan pelaku kepada korban dan keluarganya. Mengingat latarbelakang
ekonomi keluarga korban yang lemah, maka orang tua korban menyetujui
pernikahan tersebut. Setelah menikah, pelaku melanggar kesepakatan dan
menyetubuhi korban, sehingga hamil.

G. Metode Penelitian
1.

Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian normatif. Penelitian hukum normatif atau

disebut sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang
menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam peraturan perundang-undangan (law
as it is written in the books), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui
proses pengadilan (law as it is decided by the judge through judicial process). 38
Sifat penelitian adalah penelitian deskriptif analitis yang ditujukan untuk
menggambarkan secara tepat, akurat, dan sistematis gejala-gejala hukum terkait
dengan perlindungan hukum terhadap anak korban yang menjalani pernikahan di
usia dini.

38

Amiruddin dan Zainal Asikin, Metode Penelitian Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya
Bakti, 2006, hlm. 118

2.

Sumber Bahan Hukum
Sebagai penelitian hukum normatif, maka dalam penelitian ini hanya

menggunakan data sekunder sebagai bahan hukumnya. Data sekunder meliputi :
a.

Bahan hukum primer, yakni bahan hukum yang terdiri atas perundang-undangan
yang relevan dengan permasalahan dan tujuan penelitian. Bahan hukum primer
yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : Kitab Undang-Undnag Hukum
Pidana, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, UndangUndang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, Keppres Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Konvensi Hak
Anak, Keppres Nomor 87 Tahun 2002 Tentang Rencana Aksi Nasional
Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak.

b.

Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang diperoleh dari berbagai
sumber baik jurnal hukum, buku-buku hukum, makalah hukum, tulisan-tulisan
hukum yang diperoleh dari internet, serta putusan pengadilan. Bahan hukum
sekunder berupa buku-buku teks hukum dan lainnya yang digunakan dalam
penelitian ini memiliki keterkaitan dengan masalah eksploitasi seksual terhadap
anak dan masalah pernikahan dini, yang dapat dilihat pada bagian daftar pustaka,
sedangkan bahan hukum sekunder berupa putusan pengadilan meliputi: putusan
Pengadilan Negeri Rantau Prapat Nomor 436/PID.B/2009/PN.RAP, Putusan

Pengadilan Tinggi Medan Nomor 712/PID/2009/PT-MDN, dan Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 690K/PID.SUS/2010.

c.

Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder berupa
kamus hukum, ensiklopedia hukum, dan lain-lain.

3.

Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Bahan hukum primer, sekunder dan tertier yang digunakan dalam penelitian

ini diperoleh dan dikumpulkan dengan teknik studi kepustakaan (library research) 39,
Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi
penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporanlaporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan, yakni masalah
eksploitasi seksual terhadap anak dan masalah pernikahan dini.

39

Menurut bambang Sunggono, studi kepustakaan dapat membantu peneliti dalam berbagai
keperluan, misalnya: a) Mendapatkan gambaran atau informasi mengenai penelitian yang sejenis dan
berkaitan dengan permasalahan yang diteliti; b) Mendapatkan metode, teknik, atau cara pendekatan
pemecahan permasalahan yang digunakan; c) Sebagai sumber data sekunder; d) Mengetahui histori
perspektif daripermasalahan penelitiannya; e) Mendapatkan informasi tentang cara evaluasi atau
analisis data yang dapat digunakan; f) Memperkaya ide-ide baru; g) Mengetahui siapa saja peneliti lain
di bidang yang sama dan siapa pemakai hasil penelitian tersebut, seperti yang dikemukakan Bambang
Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : Rajawali Press, 2010, hlm. 112-113

4.

Analisis Bahan Hukum
Data sekunder yang telah terkumpul selanjutnya akan dianalisis secara

kualitatif, karena hasil penelitian nantinya berupa uraian-uraian kalimat. 40 Analisis
kualitatif dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
a.

Mengumpulkan bahan hukum berupa inventarisasi peraturan perundangundangan yang relevan dan bahan-bahan kepustakaan lainnya yang mendukung;

b.

Memilih bahan hukum yang sudah dikumpulkan dan selanjutnya melakukan
sistematisasi bahan-bahan hukum sesuai dengan permasalahan;

c.

Menganalisis bahan hukum dengan membaca dan menafsirkan untuk
menemukan kaidah, asas, konsep yang terkandung di dalam bahan hukum
tersebut;

40

Ibid