Penanggulangan dan Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Eksploitasi Seks Komersial Anak (ESKA)

(1)

PENANGGULANGAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN EKSPLOITASI SEKS KOMERSIAL ANAK (ESKA)

TESIS

Oleh :

NANCI YOSEPIN SIMBOLON 097005097

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PENANGGULANGAN DAN PERLINDUNGAN HUKM

TERHADAP ANK SEBAGAI KORBAN EKSPLOITASI SEKS

KOMERSIAL ANAK (ESKA)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

dalam Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

NANCI YOSEPIN SIMBOLON 097005097/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

JUDUL TESIS : PENANGGULANGAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN EKSPLOITASI SEKS KOMERSIAL ANAK (ESKA)

NAMA MAHASISWA : Nanci Yosepin Simbolon

NOMOR POKOK : 097005097

PROGRAM STUDI : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum) K e t u a

(Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum) (Dr. Marlina, SH, M.Hum) A n g g o t a A n g g o t a

Ketua Program Studi

(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH)

D e k a n

(Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 12 Agustus 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum Anggota : 1. Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum

2. Dr. Marlina, SH, M.Hum 3. Dr. Madiasa Ablisar, SH, MS 4. Dr. Idha Aprilyana, SH, M.Hum


(5)

ABSTRAK

Anak-anak adalah masa depan yang bukan hanya untuk dirinya sendiri dan keluarganya, tetapi juga untuk komunitas bangsa dan Negara, untuk itu kualitas hidup anak penting untuk diperhatikan, namun banyak juga anak-anak yang justru tidak hidup secara seimbang atau bahkan terjerat sebagai korban ESKA (eksploitasi seks komersial anak). Perumusan masalah dalam penulisan tesis ini adalah mengenai faktor penyebab terjadinya ESKA, perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban ESKA dan upaya penanggulangan tindak pidana terhadap anak korban ESKA. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian ini adalah penelitian yuridis normative dan penelitian yuridis empiris. Alasan penggunaan penelitian hukum normatif yang bersifat kualitatif yang didasarkan pada paradigma hubungan dinamis antara teori, konsep-konsep data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan.

Hasil penelitian yang mengacu pada faktor penyebab terjadinya ESKA adalah adanya faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi perasaan ingin bebas, perasaan egois, dan keingintahuan, selain itu juga disebabkan oleh adanya faktor eksternal yang meliputi keadaan ekonomi, pengaruh lingkungan, pendidikan, moral dan keluarga, dan penegakan hukum yang masih belum tegas, dank arena faktor teknologi.

Perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban ESKA dapat dilakukan berdasarkan hukum nasional dan hukum internasional. Berdasarkan hukum nasional telah ditetapkan aturan-aturan yang meliputi Undang-Undang RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang RI No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sedangkan perlindungan hukum berdasarkan hukum internasional meliputi adanya Protocol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak tahun 2000 tentang Penjualan Anak, Pelacuran Anak, dan Pornografi Anak, Protocol Palermo, dan Konvensi ILO tahun 1999 tentang Larangan dan Tindakan Segera untuk Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk anak.

Upaya penanggulangan terhadap tindak pidana ESKA dilakukan dengan 2 pendekatan yaitu pendekatan melalui hukum pidana dan pendekatan di luar hukum pidana. Pendekatan melalui hukum pidana yaitu melalui upaya pemberian hukum pidana yang sesuai dengan aturan yang ada mengacu pada Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada Pasal 59, Pasal 66, Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Perdagangan Orang pada Pasal 45, Pasal 46, Pasal 51, Pasal 52, dan Pasal 54, serta Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjan pada Pasal 74. Pemberian hukuman juga diperberat karena menyangkut hak-hak anak seperti yang terdapat pada Putusan Nomor: 1944/Pid.B/2006/PN.Mdn yaitu terbukti bahwa terdakwa tersebut telah memperniagakan perempuan yang belum dewasa atau Mucikari sebagaimana dimaksud dalam pasal 297 Jo 506 KUHPidana Jo. Pasal 83 UU RI No. 23 tahun 2002


(6)

ABSTRACT

Children are the future not only for themselves and their family but also for their people and country, for that reason, children’s quality of life needs to be paid attention. Yet, most children do not live an equal life they are even trapped as the victims of child commercial sexual exploitation. The research problems in this study are the factors that cause the incident of child commercial sexual exploitation, the protection for the children as the victims of child commercial sexual exploitation, and the attempts to overcome the criminal act done to the children.

This study employed the normative juridical and empirical juridical methods. The reason to employ the qualitative normative juridical study was based on the paradigm of dynamic relationship between theories and concepts of data as the feedback or fixed modification of the theories and concepts based on the data collected.

The result of this study showed that the causal factors of the incident of child commercial sexual exploitation referred to the internal and external factors. The internal factor included several feelings such as wanting to be free, egoistic, and curiosity, while the external factor includes economic condition, environmental influence, education, morality and family, indecisive law enforcement, and technology.

Legal protection for children as the victims of child commercial sexual exploitation can be done based on national and international laws. Based on the national law, it is regulated in Law No.23/2002 on Child Protection, Law No. 21/2007 on Elimination of Human Trafficking, and Law No.13/2003 on Manpower Affairs, while legal protection is based on the international law including the Optional Convention Protocol on Child’s Rights 2000 on Child Trafficking, Child Prostitution, and Child Pornography, Palermo Protocol, and ILO Convention 1999 on Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Occupation for Children.

The attempts to cope with the criminal act of child commercial sexual exploitation were done based on two approaches, namely, criminal-law and non-criminal-law based approaches. The non-criminal-law based approach refers to Article 59 and Article 66 of Law No.23/2002 on Child protection; Articles 45, 46, 51, 52, and 54 of Law No.21/2007 on Elimination of Human Trafficking; and Article 74 of Law No.13/2003 on Manpower Affairs. The sentence given is also heavier because this is related to the rights of children as found in the Decision No: 1944?Pid.B/2006/PN.Mdn in which the defendant has been proven to have traded young girl (the minor) or acted as a pimp as meant in Article 297 in connection with Article 506 of the Indonesian Criminal Codes. In accordance with Article 83 of Law No.23/2002 on Child Protection, the defendant was sentenced to 2 (two) years imprisonment. Based on the decision, in my opinion, the decision made by the judge was not adequate because the punishment was too easy, while Article 82 of Law No.


(7)

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena hanya dengan rahmat dan kasihNya, saya sebagai penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul Penanggulangan dan Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Eksploitasi Seks Komersial Anak (ESKA). Tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Penulisan tesis ini masih kurang sempurna, dan dengan segala keterbatasan, penulis berharap kiranya penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi pembaca sekalian.

Ucapan adalah refleksi dari pikiran, dan tulisan adalah refleksi dari ucapan, namun tulisan memiliki keterbatasan menyampaikan pesan yang seharusya diucapkan. Ungkapan tersebut menyadarkan bahwa tulisan adalah sebuah karya yang tidak mampu mewakili keseluruhan pesan penulis yang seharusnya diketahui oleh pembaca. Atas dasar realita tersebut, oleh karenanya penulis dengan senang hati menerima saran dan kritikan yang bersifat konstruktif dan edukatif demi kesempurnaan penulisan tesis ini.

Di dalam hal pembuatan tesis ini penulis yakin tidak akan terselesaikan begitu saja tanpa adanya arahan, bimbingan, dan motivasi dari setiap insan terkasih yang ada disekitar penulis, baik yang bersifat moril maupun materil. Oleh karena itu pada kesempatan yang baik ini, perkenankanlah dengan segala kerendahan hati penulis menghaturkan rasa terima kasih secara khusus kepada:

1. Bapak, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc, (CTM), SP.A(K), selaku

Rektor atas kesempatan menjadi mahasiswa pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.


(8)

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, MH, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas kesempatan menjadi mahasiswa pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, selaku Direktur Sekolah Pasca Sarjana Universitas

Sumatera Utara dan sekaligus sebagai Komisi Penguji penulis atas kesempatan yang telah diberikan untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum, selaku Komisi Pembimbing Utama

Penulis.

5. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M. Hum selaku Komisi Pembimbing Kedua

Penulis.

6. Ibu Dr. Marlina, SH, M. Hum selaku Komisi Pembimbing Ketiga penulis.

7. Bapak Dr. Madiasa Ablisar, SH, MS selaku Komisi Penguji Penulis.

8. Ibu Dr. Idha Aprilyana, SH, M.Hum selaku Komisi Penguji Penulis

9. Pusat Kajian Perlindungan Anak (PKPA)

10. Rekan-rekan mahasiswa seperjuangan pada Program Studi magister Ilmu Hukum

Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

11. Seluruh staf dan karyawan Sekretariat Magister Ilmu Hukum, dan

12. Semua Pihak yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu

Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ayahanda tercinta S. Simbolon, SH, MH dan Ibunda termulia R Sinurat. Dengan

segenap jiwa dan lembut kasih sayangnya yang telah mengimaniku dengan kasihNya, mengajarkanku setiap hal terbaik, memberiku sepatu terkuat dan jiwa yang besar saatku jatuh lalu berdiri tegar, dan menuntunku menyongsong masa depan yang lebih


(9)

baik. Merekalah yang telah menghantarkan penulis dalam usaha mencapai kemantapan hidup guna menjadi putri kebanggaan. Oleh karena itu penulis berdoa semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa memberikan perlindunganNya, memberikan kebahagiaan, kesehatan serta umur yang panjang.

2. Kakak- kakak tercinta Meriance listya Simbolon, SST dan Riris Taruli Simbolon,

Am.Kep dan adik-adik tercinta Gomgoman Halomoan Simbolon, SH dan Pantun Marojahan Simbolon yang telah mendoakan penulis dalam menyelesaikan studi pada Program Studi Magister Ilmu Hukum, semoga senantiasa dalam lindungan Tuhan Yang Maha Kuasa dan senantiasa dimudahkan segala cita-citanya.

Atas segala bantuan yang diberikan, penulis berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa agar para pembimbing dan para penguji senantiasa mendapat lindungan dan rahmat kasihNya serta mendapatkan kebahagiaan di dunia dalam menjalani kehidupan serta pengabdian tugasnya sebagai kalangan akademisi dan di akhirat kelak.

Demikianlah kata pengantar dari penulis ini. Akhir kata dengan segala kekurangan dan keterbatasan, penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi pembaca sekalian guna meluaskan dan mencerdaskan wawasan keilmuan.

Medan, Agustus 2011

Penulis


(10)

(11)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Nanci Yosepin Simbolon

Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 19 Juni 1987

Jenis kelamin : Wanita

Agama : Kristen Protestan

Pendidikan :

- SD METHODIST-7 Medan ( Lulus tahun 1999 )

- SMP Katholik BUDI MURNI-3 Medan ( Lulus tahun 2002 )

- SMA METHODIST-1 Medan ( Lulus tahun 2005 )

- Fakultas hukum Universitas Islam Sumatera Utara ( Lulus tahun 2009 ) - Program Studi Magister Ilmu Hukum ( Lulus Tahun 2011) Universitas Sumatera Utara

                                   


(12)

 

DAFTAR ISI

Halaman :

ABSTRAK... i

ABSTRACT... iii

KATA PENGANTAR... v

RIWAYAT HIDUP... ix

DAFTAR ISI... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian... 5

D. Manfaat Penelitian... 6

E. Keaslian Penelitian ... 7

F. Kerangka Teori dan Konsepsional... 8

1. Kerangka Teori ... 8

2. Konsepsional... 13

G. Metode Penelitian ... 14

1. Jenis Penelitian... 15

2. Sumber Data... 16

3. Teknik Pengumpulan Data ... . 17

4. Analisis Data... 17


(13)

SEKSUAL KOMERSIAL ANAK(ESKA)... 19

A. Sejarah Singkat tentang Industri Seks di Indonesia... 28

B. Bentuk-Bentuk Eksploitasi Seks Komersial Anak ... 29

C. Faktor-Faktor yang Menyebabkan ESKA ... 33

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL ANAK ... 48

A. Perlindungan Hukum Terhadap Anak sebagai Korban ESKA 52 B. Bentuk-Bentuk Perlindungan Anak sebagai Korban ESKA .... 62

BAB IV UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA TERHADAP ANAK YANG DIEKSPLOITASI SECARA SEKSUAL... 73

A. Penerapan Hukum Pidana (Pendekatan Penal)... 73

B. Penerapan di Luar Hukum Pidana (Pendekatan Non Penal).. 85

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 98

A. Kesimpulan ... 98

B. Saran ... 100


(14)

ABSTRAK

Anak-anak adalah masa depan yang bukan hanya untuk dirinya sendiri dan keluarganya, tetapi juga untuk komunitas bangsa dan Negara, untuk itu kualitas hidup anak penting untuk diperhatikan, namun banyak juga anak-anak yang justru tidak hidup secara seimbang atau bahkan terjerat sebagai korban ESKA (eksploitasi seks komersial anak). Perumusan masalah dalam penulisan tesis ini adalah mengenai faktor penyebab terjadinya ESKA, perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban ESKA dan upaya penanggulangan tindak pidana terhadap anak korban ESKA. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian ini adalah penelitian yuridis normative dan penelitian yuridis empiris. Alasan penggunaan penelitian hukum normatif yang bersifat kualitatif yang didasarkan pada paradigma hubungan dinamis antara teori, konsep-konsep data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan.

Hasil penelitian yang mengacu pada faktor penyebab terjadinya ESKA adalah adanya faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi perasaan ingin bebas, perasaan egois, dan keingintahuan, selain itu juga disebabkan oleh adanya faktor eksternal yang meliputi keadaan ekonomi, pengaruh lingkungan, pendidikan, moral dan keluarga, dan penegakan hukum yang masih belum tegas, dank arena faktor teknologi.

Perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban ESKA dapat dilakukan berdasarkan hukum nasional dan hukum internasional. Berdasarkan hukum nasional telah ditetapkan aturan-aturan yang meliputi Undang-Undang RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang RI No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sedangkan perlindungan hukum berdasarkan hukum internasional meliputi adanya Protocol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak tahun 2000 tentang Penjualan Anak, Pelacuran Anak, dan Pornografi Anak, Protocol Palermo, dan Konvensi ILO tahun 1999 tentang Larangan dan Tindakan Segera untuk Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk anak.

Upaya penanggulangan terhadap tindak pidana ESKA dilakukan dengan 2 pendekatan yaitu pendekatan melalui hukum pidana dan pendekatan di luar hukum pidana. Pendekatan melalui hukum pidana yaitu melalui upaya pemberian hukum pidana yang sesuai dengan aturan yang ada mengacu pada Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada Pasal 59, Pasal 66, Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Perdagangan Orang pada Pasal 45, Pasal 46, Pasal 51, Pasal 52, dan Pasal 54, serta Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjan pada Pasal 74. Pemberian hukuman juga diperberat karena menyangkut hak-hak anak seperti yang terdapat pada Putusan Nomor: 1944/Pid.B/2006/PN.Mdn yaitu terbukti bahwa terdakwa tersebut telah memperniagakan perempuan yang belum dewasa atau Mucikari sebagaimana dimaksud dalam pasal 297 Jo 506 KUHPidana Jo. Pasal 83 UU RI No. 23 tahun 2002


(15)

ABSTRACT

Children are the future not only for themselves and their family but also for their people and country, for that reason, children’s quality of life needs to be paid attention. Yet, most children do not live an equal life they are even trapped as the victims of child commercial sexual exploitation. The research problems in this study are the factors that cause the incident of child commercial sexual exploitation, the protection for the children as the victims of child commercial sexual exploitation, and the attempts to overcome the criminal act done to the children.

This study employed the normative juridical and empirical juridical methods. The reason to employ the qualitative normative juridical study was based on the paradigm of dynamic relationship between theories and concepts of data as the feedback or fixed modification of the theories and concepts based on the data collected.

The result of this study showed that the causal factors of the incident of child commercial sexual exploitation referred to the internal and external factors. The internal factor included several feelings such as wanting to be free, egoistic, and curiosity, while the external factor includes economic condition, environmental influence, education, morality and family, indecisive law enforcement, and technology.

Legal protection for children as the victims of child commercial sexual exploitation can be done based on national and international laws. Based on the national law, it is regulated in Law No.23/2002 on Child Protection, Law No. 21/2007 on Elimination of Human Trafficking, and Law No.13/2003 on Manpower Affairs, while legal protection is based on the international law including the Optional Convention Protocol on Child’s Rights 2000 on Child Trafficking, Child Prostitution, and Child Pornography, Palermo Protocol, and ILO Convention 1999 on Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Occupation for Children.

The attempts to cope with the criminal act of child commercial sexual exploitation were done based on two approaches, namely, criminal-law and non-criminal-law based approaches. The non-criminal-law based approach refers to Article 59 and Article 66 of Law No.23/2002 on Child protection; Articles 45, 46, 51, 52, and 54 of Law No.21/2007 on Elimination of Human Trafficking; and Article 74 of Law No.13/2003 on Manpower Affairs. The sentence given is also heavier because this is related to the rights of children as found in the Decision No: 1944?Pid.B/2006/PN.Mdn in which the defendant has been proven to have traded young girl (the minor) or acted as a pimp as meant in Article 297 in connection with Article 506 of the Indonesian Criminal Codes. In accordance with Article 83 of Law No.23/2002 on Child Protection, the defendant was sentenced to 2 (two) years imprisonment. Based on the decision, in my opinion, the decision made by the judge was not adequate because the punishment was too easy, while Article 82 of Law No.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak-anak adalah masa depan bukan hanya untuk dirinya sendiri dan keluarganya, tetapi juga untuk komunitas, bangsa, dan negaranya. Anak-anak adalah masa depan kemanusiaan, tanpa anak, tidak ada masa depan bagi siapapun. Tidak memperhatikan kualitas hidup anak sama artinya dengan tidak memperhatikan

kelangsungan hidup keluarga.1

Semua pihak berkeyakinan bahwa semua anak kelahirannya diinginkan, direncanakan dan, oleh karena itu, masa depannya akan sangat diperdulikan. Indonesia menunjukkan kenyataan pahit, sebagian dari anak-anak tersebut mengalami berbagai bentuk kekerasan, diskriminasi, eksploitasi, dan penelantaran. Pada tahun 2003 sekretaris Jendral PBB menugaskan perwakilannya di seluruh dunia untuk melakukan kajian

mengenai kekerasan terhadap anak. Hasil yang dilaporkan pada tahun 20062

menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak adalah masalah global, di semua negara yang terlibat, anak-anak mengalami berbagai bentuk kekerasan seperti hukuman fisik, pemaksaan kerja atau eksploitasi dalam berbagai pekerjaan yang berbahaya (pertambangan, sampah, seks komersial, perdagangan narkoba, dan lain- lain),

diskriminasi, perkawinan dini, dan pornografi.3 Kajian mengenai Wisata Seks di ASEAN

      

1

ECPAT, Memerangi Pariwisata Sex Anak, (SUMUT: Koalisi Nasional Penghapusan ESKA, 2008), hal. 3.

2

World Report on Violence Against Children - Laporan ini diedit oleh seorang ahli independent yang ditugaskam oleh Sekjen PBB, yaitu: Paulo Sergio Pinheiro, 2006.

3

Irwanto, Menentang Pornografi dan Eksploitasi Seksual terhadap Anak, (Jakarta:ECPAT, 2008), hal. 6.


(17)

yang dilaporkan oleh Child Wise Tourism, Australia, pada tahun 2007, Indonesia

dianggap sebagai negara tujuan wisata untuk seks yang melibatkan anak-anak.4

Di Indonesia pada tahun 2010 tercatat 40.000-70.000 anak telah menjadi korban Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA). Mayoritas dari mereka dipaksa bekerja dalam perdagangan seks. Praktik-praktik tersebut terutama berlangsung di pusat prostitusi, tempat hiburan, karaoke, panti pijat, pusat perbelanjaan, dan lain-lain. Di Semarang, Yogya dan Surabaya, terdapat 3.408 anak korban pelacuran baik di lokalisasi, jalanan, tempat-tempat hiburan, dan panti pijat (ILO-IPEC, 2010). Di Jawa Barat jumlah anak yang dilacurkan pada tahun 2010 sebanyak 9000 anak atau sekitar 30 persen dari total PSK 22.380 orang (Dinas Sosial, 2010). Mengacu kepada data Koalisi Nasional Penghapusan ESKA, ada 150.000 anak Indonesia dilacurkan dan diperdagangkan untuk

tujuan seksual.5Data tesebut menunjukkan bahwa semakin maraknya tindak pidana

seksual komersial anak.

Medan tidak ketinggalan, pelacuran anak sudah menjadi fenomena yang menyedihkan sejak lama, bahkan sudah terjadi sejak tahun 1970-an. Pelacuran anak di Medan banyak terjadi di tempat-tempat billiard, taman bermain, di pusat-pusat perbelanjaan, di cafe-cafe, di kos-kosan. Di Medan, jenis ESKA yang dialami anak adalah pelacuran anak baik yang berstatus sebagai pelajar dan tidak berstatus sebagai pelajar, dan perdagangan anak untuk tujuan seksual. Hal yang paling mengejutkan adalah banyaknya anak-anak sekolah yang telah terjerumus dengan ESKA dan terlibat transaksi seks dengan para Tebe atau tubang, sebutan bagi para pelanggan mereka, dari 50 responden yang berhasil diwawancarai secara mendalam 41 diantaranya berstatus pelajar       

4

ASEAN Child – Sex Tourism Review (Child Wise Tourism Report, August, 2007)

5

Eksploitasi Seksual Komersial Anak di Indonesia, Koalisi Nasional, PKPA , Medan, Hal. 7.


(18)

dan 9 diantaranya berstatus bukan pelajar. Hubungan kuat lain antara perilaku seksual remaja sekolah dengan dunia pendidikan adalah, alasan yang digunakan para pelajar siswi yang melacurkan diri adalah alasan-alasan sekolah. Teman yang diajak atau dilibatkan ke dunia Tubang juga masih mempunyai kedekatan hubungan emosional yang diikat oleh kenyataan bersekolah di sekolah yang sama. Modus operandi yang digunakan dalam menjebak anak-anak masuk ke dalam dunia pelacuran, umumnya diajak oleh teman yang lebih dahulu masuk ke dunia ini, lalu diperkenalkan dengan tamu atau tubang. Selanjutnya anak-anak mencari tamu sendiri dengan cara ke diskotik, atau langsung

menghubungi tamu tersebut.6

Pengaruh perkembangan sosial mengharuskan setiap orang untuk menganalisis segala sesuatu secara rasional dan mendasar, agar setiap masalah yang timbul dalam masyarakat dapat dipecahkan sebaik-baiknya, demikian pula halnya anak-anak adalah masa depan keluarga dan bangsa,itu sebabnya semua orang tua berharap anak-anaknya bisa mengangkat harkat dan martabat keluarga dan keluar dari himpitan ekonomi.

Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan yang dilakukan peneliti tepatnya pada Pusat Kajian Perlindungan Anak bahwa banyak anak yang baru duduk di bangku SMA yang setiap hari harusnya menghabiskan banyak waktu untuk belajar dan menikmati masa remajanya justru lebih memilih menyisihkan waktunya untuk mencari uang saku, dengan berbekal lipstic, bedak, dan kondom serta tubuh yang molek menjadi aset panting bagi anak remaja yang berkomitmen untuk mendapat uang demi materi semata.

Anak-anak yang memiliki orangtua sekalipun dapat diperjualbelikan dengan mudahnya sebagai PSK, hal ini menjadi dilema bagi siapa saja khususnya orangtua.       

6

Eksploitasi Seksual Komersial Anak di Indonesia, Koalisi Nasional, PKPA, Medan, Hal. 14-15.


(19)

Bangsa ini tidak dapat maju dengan bermodalkan mental dan jiwa generasi yang hanya

dihantui dengan keinginan dan kepuasan materi yang sesaat.7 Mental generasi bangsa

yang semakin memburuk menimbulkan akibat yang sangat meluas dan mencolok terutama dalam hal terjadinya pengeksploitasian anak secara seks komersial. Seiring bergantinya kepemimpinan presiden dan dengan perjalanan pembangunan yang selama lebih dari setengah abad pembangunan nasional telah membuahkan hasil yang cukup spektakuler, terutama dibidang ekonomi. Indonesia bahkan kini disebut-sebut sebagai

calon kuat “macan asia” mendatang.8 Begitu pula pembangunan nasional yang telah

memanjakan aspek ekonomi telah menimbulkan dampak negatif, yang paling utama adalah munculnya sifat materialis dan individualis, hal inilah yang menjadi tanggung jawab pemerintah dan semua masyarakat. Secara formal, kita mengaku bangsa yang bermoral yaitu moral Pancasila. Orang ramai-ramai memeriahkan slogan Pancasila,

namun kenyatannya pada waktu yang sama Pancasila dilecehkan begitu saja.9

Adanya kekhawatiran terhadap pola hidup anak-anak sebagai kader pemimpin bangsa membuat saya untuk memilih judul tentang PENANGGULANGAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN EKSPLOITASI SEKS KOMERSIAL (ESKA).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka dapat dirumuskan pokok permasalahan sebagai berikut:

      

7

Laporan Pengembangan Indikator Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak. PKPA. 2004. Medan

8

Tjipta Lesmana, Pornografi dalam Media Massa, (Jakarta:Puspa Suara, 1995), hal. 153-154.

9

Irwanto, Perdagangan Anak di Indonesia, (Jakarta: Kantor Perburuhan Internasional, 2001), hal. 7.


(20)

1. Apa yang menjadi faktor penyebab terjadinya eksploitasi seks komersial anak (ESKA)?

2. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban eksploitasi seks

komersial anak (ESKA)?

3. Bagaimanakah upaya penanggulangan tindak pidana terhadap anak korban eksploitasi

seks komersial anak? C. Tujuan Penelitian

Konsisten dengan rumusan permasalahan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya eksploitasi seks komersial

anak (ESKA).

2. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban eksploitasi

seks komersial anak (ESKA).

3. Untuk mengetahui penanggulangan tindak pidana terhadap anak korban eksploitasi

seks komersial anak (ESKA). D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan teori ilmu hukum, yaitu:

1. Memberikan masukan terhadap masyarakat umum, pemerintah khususnya orangtua

guna mencegah terjadinya perdagangan anak serta perlindungan dan penanggulangannya


(21)

2. Memberi inspirasi bagi pemerintah dalam membuat kebijakan yang lebih ideal sebagai penawar terhadap luka masyarakat dengan terjadinya perdagangan anak sebagai PSK

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat, yaitu:

1. Sebagai pedoman dan masukan bagi pemerintah, pendidik, aparat negara dan

khususnya orangtua dalam melakukan optimalisasi pendekatan dan bergerak cepat dalam menangani kasus perdagangan anak sebagai PSK serta pencegahannya.

2. Sebagai bahan kajian bagi akademis untuk menambah wawasan kriminologi maupun

hukum pidana terhadap perdagangan anak sebagai PSK E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi dan penelusuran yang telah dilakukan oleh penulis di perpustakaan Universitas Sumatera Utara maka diketahui bahwa belum ada penelitian yang serupa dengan apa yang menjadi bidang dan ruang lingkup penelitian ini, yaitu mengenai Penanggulangan Dan Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Dieksploitasi Secara Seksual Sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK).

Penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, obyektif, dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah Penanggulangan Dan Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban ESKA..

F. Kerangka Teori dan Konsepsional 1. Kerangka Teori


(22)

Teori adalah pisau analisis yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang ada. Berdasarkan rumusan permasalahan yang ada, maka teori yang digunakan adalah teori penanggulangan kejahatan.

Secara tertulis hukum dibuat untuk menciptakan dan melahirkan generasi muda yang taat terhadap aturan akan tetapi dengan adanya penyakit sosial atau penyakit masyarakat karena gejala sosial mengakibatkan timbulnya Juveni Le Delinquency ialah perilaku jahat (dursila) atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda yang mungkin salah satu bentuk pengabaian sosial sehingga mereka mengembangkan bentuk tingkah laku menyimpang. ”Juvenile” berasal dari bahasa Latin “Juvenilis” artinya anak-anak, anak muda, sifat khas pada masa muda. Delinquent berasal dari kata Latin “Delinquere” yang

berarti terabaikan , mengabaikan yang diperluas menjadi jahat, kriminal.10

Penanggulangan kejahatan dapat dilakukan dengan kebijakan criminal (Criminal

Policy). Kebijakan penanggulangan kejahatan dapat dilakukan melalui dua pendekatan,

yaitu pendekatan penal (penerapan hukum pidana) dan pendekatan non penal (pendekatan di luar hukum pidana). dalam Kongres ke-5 PBB: “Criminal policy was an aspect of

social planning and its planning therefore had to be integrated into that of general progress of community…crime prevention policy was one aspect of general social policy and hence should be integrated into a country’s development planning as a whole.”11

Disimpulkan dalam Kongres ke-5 PBB bahwa berbagai aspek dari kebijakan penanggulangan kejahatan harus dikoordinasikan dan secara keseluruhan harus terintegrasi dalam kebijakan sosial pada setiap Negara (The many aspects of criminal

      

10

Kartini Kartono, Patologi Sosial dan Kenakalan Remaja, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), hal. 6.

11

Fifth United Nations Congress, on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. (New York: Department of Economic and Social Affairs, UN, 2005), hal. 20.


(23)

policy should be coordinated and the whole should be integrated into general social policy of each country).12

a. Kebijakan Di luar Hukum Pidana (Non-Penal Policy)

Kebijakan penanggulangan kejahatan lewat jalur “non penal” lebih bersifat tindakan pencegahan sebelum terjadinya kejahatan, oleh karena itu, sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan yang berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan kejahatan.dengan demikian dilihat dari kebijakan penanggulangan kejahatan, maka usaha-usaha non penal ini mempunyai kedudukan yang

strategis dan memegang peranan penting yang harus diintensifkan dan diefektifkan.13

Secara universal dalam hal penanggulangan kejahatan, pada Kongres PBB ke-8 tahun 1990 tentang the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders yang

belangsung di Havana, Cuba, menekankan pentingnya aspek sosial dari kebijakan

pembangunan yang merupakan suatu faktor penting dalam pencapaian strategi pencegahan kejahatan dan peradilan pidana, oleh karena aspek-aspek sosial dalam konteks pembangunan ini harus mendapat prioritas utama. Kongres ke-8 ini juga berhasil mengidentifikasi berbagai aspek sosialyang ditengarai sebagai faktor-faktor kondusif penyebab timbulnya kejahatan. Hal ini disebutkan dalam Dokumen A/CONF. 144/L.3,

yaitu sebagai berikut:14

1) Kemiskinan, pengangguran, kebutahurufan, ketiadaan perumahan yang layak dan

sistem pendidikan serta pelatihan yang tidak cocok

      

12

Ibid., hal. 21.

13

Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum pidana (Perkembangan Penyusunan KUHP Baru), (Jakarta: Kencana, 2008), (Selanjutnya disebut Buku III), hal. 33.

14


(24)

2) Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek (harapan) karena proses integrasi sosial dan karena memburuknya ketimpangan-ketimpangan sosial

3) Mengendornya ikatan sosial dan keluarga

4) Keadaan-keadaan atau kondisi yang menyulitkan bagi orang yang berimigrasi ke

kota-kota atau ke negara-negara lain

5) Rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan dengan adanya

rasisme dan diskriminasi menyebabkan kelemahan di bidang sosial, kesejahteraan dan lingkungan pekerjaan

6) Menurunnya atau mundurnya kualitas lingkungan perkotaan yang mendorong

peningkatan kejahatan dan tidak cukupnya pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas lingkungan kehidupan bertetangga

7) Kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk

berintegrasi sebagaimana mestinya di dalam lingkungan masyarakatnya, di lingkungan keluarga, tempat pekerjaannya atau dilingkungan sekolahnya

8) Penyalahgunan alkohol, obat bius dan lain-lain yang pemakaiannya juga

diperluas karena faktor-faktor yang disebut di atas

9) Meluasnya aktifitas kejahatan yang terorganisir, khususnya perdagangan obat

bius dan penadahan barang-barang curian

10)Dorongan-dorongan (khususnya oleh media massa) mengenai ide-ide dan

sikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan (hak) atau sikap-sikap tidak toleran.

Pendekatan non penal menurut Hoefnagels adalah pendekatan pencegahan kejahatan tanpa menggunakan sarana pemidanaan, yaitu antara lain perencanaan kesehatan mental masyarakat, kesehatan mental masyarakat secara nasional, social


(25)

worker and child welfare (kesejahteraan anak dan pekerja sosial), serta penggunaan

hukum civil dan hukum administrasi.15

Pendidikan melalui lembaga sekolah dapat menggunakan pengaruhnya untuk mencegah terjadinya kejahatan kepada siswa-siswanya melalui peningkatan kepekaan siswa terhadap lingkungan kehidupannya, baik keluarga, kelompok belajar, maupun lingkungan tempat tinggalnya. Lebih dari itu sekolah harus melibatkan diri dalam penanggulangan kejahatan mulai dari tahun-tahun ajaran baru dengan cara mendata secara komprehensif informasi tentang siswa, baik berupa identitas dan latar belakang kehidupan mereka, dengan demikian diharapkan sekolah dapat merumuskan kebijakan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan siswanya.

b. Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy)

Istilah ”kebijakan” berasal dari bahasa Inggris ”policy” atau bahasa Belanda ”politiek Istilah ini dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan kata ”politik”, oleh

karena itu kebijakan hukum pidana biasa juga disebut juga politik hukum pidana.16

Mengenai kebijakan hukum pidana, Solly Lubis menyatakan bahwa politik hukum adalah kebijaksanaan politik yang menentukan peraturan hukum apa yang seharusnya berlaku untuk mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan

bernegara.17 Mahfud MD juga memberikan defenisi politik hukum sebagai kebijakan

mengenai hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah, hal ini juga mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada dibelakang pembuatan dan penegakan

      

15

Mahmud Mulyadi, Op. Cit., hal. 58.

16

Mahmud Mulyadi, Op. Cit., hal. 65.

17

Solly Lubis, Serba Serbi Politik dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1989), hal. 159.


(26)

hukum itu. Secara konteks hukum tidak bisa hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif, melainkan harus dipandang sebagai subsitem yang dalam kenyataannya bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan

materinya (pasal-pasal), maupun dalam penegakannya.18

A. Mulder mengemukakan secara rinci tentang ruang lingkup politik hukum pidana yang menurutnya bahwa politik hukum pidana adalah garis kebijakan untuk

menentukan:19

a) Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu dilakukan

perubahan atau diperbaharui;

b) Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya kejahatan;

c) Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana

harus dilaksanakan.

2. Kerangka Konsepsional

Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian. Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai, oleh karena itu, dalam penelitian ini di defenisikan beberapa konsep dasar supaya secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu: penanggulangan, perlindungan hukum, anak, eksploitasi, eksploitasi seksual, eksploitasi seksual komersial anak.

1. Penanggulangan adalah upaya yang dilaksanakan untuk mencegah menghadapi,

atau mengatasi suatu keadaan.20

      

18

Mahfud M.D, Politik hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES,1998) hal. 1-2.

19

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996) hal. 28.

20


(27)

2. Perlindungan hukum anak adalah perlindungan atas semua hak serta kepentingan yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak dengan wajar, baik

secara alami, jasmani maupun sosial.21

3. Anak menurut Pasal 1 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

4. Eksploitasi menurut Pasal 1 angka 7 Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang

Pemberantasan Tindak Perdagangan Orang adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materil maupun immateriil.

5. Mengacu pada UU No. 21 Tahun 2007 tentang Perdagangan Anak Pasal 1 ayat 8,

Eksploitasi seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan.

G. Metode Penelitian

Penelitian merupakan sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun tekhnologi, hal ini disebabkan karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologi dan konsisten. Melalui

      

21


(28)

proses penelitian tersebut diadakan analisa dan konstruksi data yang telah

dikumpulkan.22

Penelitian merupakan suatu sarana ilmiah bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, maka metodologi penelitian yang diterapkan harus

senantiasa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya.23 Metode

penelitian adalah merupakan upaya ilmiah untuk memakai dan memecah suatu permasalahan berdasarkan metode tertentu.

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penyusunan tesis ini adalah penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaedah-kaedah atau norma-norma hukum positif, dan yuridis empiris adalah penelitian yang dilakukan dengan meninjau masalah yang diteliti dari segi ilmu hukum dengan melihat serta mengaitkan dengan kenyataan yang ada di dalam implementasinya yang bertujuan untuk mendeskripsikan kegiatan/peristiwa alamiah dalam praktek sehari-hari.24

Mengambil istilah Ronald Dworkin, penelitian semacam ini juga disebut dengan istilah penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu peneltian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law at it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it decided by

the jungle through judicial process).25       

22

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (UI:Press, 2005), hal. 5-6.

23

Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 64.

24

Johny ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya: Bayumedia, 2008), hal. 282.

25

Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, disampaikan pada dialog interaktif tentang penelitian hukum dan hasil penulisan hukum pada majalah akreditasi, (Fakultas Hukum USU, tgl 18 Februari, 2003), hal. 2.


(29)

Penelitian yuidis normatif yang digunakan dalam penyusunan tesis ini didukung oleh penelitian empiris untuk melihat perilaku hukum sebagai pola perilaku masyarakat dan terlihat sebagai kekuatan sosial.

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, yaitu:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan

perundang-undangan yang diurut berdasarkan hierarki26 seperti peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks yang ditulis oleh ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil simposium

mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian.27 Dalam penelitian ini, bahan

hukum sekunder yang digunakan adalah berupa buku-buku rujukan yang relevan, hasil karya tulis ilmiah, dan berbagai makalah yang berkaitan.

c. Bahan Hukum Tersier

      

26

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 141.

27


(30)

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder28 berupa

kamus umum, kamus bahasa, surat kabar, artikel, internet.

Selain itu juga menggunakan data primer yang diperoleh dari responden langsung dan lapangan. Untuk mendapatkan data primer dilakukan dengan

wawancara.29

3. Tekhnik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (Library Research) yaitu melalui penelusuran dokumen-dokumen maupun buku-buku ilmiah untuk mendapatkan landasan teoritis berupa bahan

hukum positif yang sesuai dengan objek yang akan diteliti.30 Penelitian kepustakaan

dalam hal ini didukung oleh penelitian lapangan yang berupa:

a. Wawancara kepada korban ESKA sebanyak 10 informan

b. Wawancara kepada Pusat Kajian Perlindungan Anak

c. Wawancara kepada aparat penegak hukum yaitu polisi yang bernama

Hotdison Manurung, SH, jaksa yang bernama J. Simamora, SH, dan hakim Nurnaningsih, SH, MH

4. Analisis Data

Setelah data terkumpul dan dirasa telah cukup lengkap, maka tahap selanjutnya adalah mengolah dan menganalisa data. Teknik analisa data yang dipakai adalah teknik analisis kualitatif, dimana setelah semua data terkumpul, maka dilakukan pengolahan, penganalisisan dan pengkonstruksian data secara menyeluruh, sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data. Selanjutnya       

28 Ibid.

29

Tampil Anshari Siregar. Metode Penelitian Hukum. (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2007), hal 77.

30


(31)

semua data diseleksi dan diolah, kemudian dianalisa secara deskriftif,31 sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan, diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.

Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam kategori dan satuan ujraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan

dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.32 Data yang

diperoleh dari hasil penelitian ini dikumpulkan dan kemudian diedit dengan mengelompokkan, menyusun secara sistematis, dan analisis secara kualitatif selanjutnya dilakukan penarikan kesimpulan dengan menggunakan logika berfikir deduktif ke induktif.

      

31

M. Syamsudin, Operasionalisasi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007 ), hal. 133.

32

Lexy Meleong, Metode Penelitian Kualitatif, ( Bandung: Rosda Karya, 2002), hal. 103.


(32)

 

BAB II

FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL ANAK

Perdagangan dan eksploitasi seksual pada anak, khususnya perdagangan anak perempuan untuk kepentingan pelacuran merupakan realitas yang tidak bisa dipungkiri dan telah memburuk seiring dengan bertambah kompleksnya persoalan sosio-ekonomi yang saat ini terjadi di Indonesia.

Ada aturan hukum yang secara tertulis memndefenisikan arti kata ”eksploitasi”

yaitu dalam Pasal 1 ayat 7 Undang-Undang RI No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Perdagangan Orang, eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan koban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.

Selanjutnya lebih spesifik lagi mendefenisikan eksploitasi secara seksual, Pasal 1 ayat 8 Undang-Undang RI No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Perdagangan Orang, bahwa eksploitasi seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan pencabulan.

Pemerintah daerah Provinsi Sumatera Utara juga mengatur tentang perdagangan orang khususnya perdagangan perempuan dan anak yang diatur dalam PERDA No. 6 Tahun 2004. Defenisi ” perdagangan perempuan dan anak ”dalam Pasal 1 huruf (o)


(33)

PERDA Provinsi Sumatera Utara No. 6 Tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak bahwa Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan anak adalah tindak pidana atau perbuatan yang memenuhi salah satu atau lebih unsur-unsur perekrutan,pengiriman, penyerahterimaan, perempuan atau anak dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan, pemanfaatan posisi kerentanan, atau penjeratan hutang untuk tujuan dan atau berakibat mengeksploitasi perempuan dan anak.

Selanjutnya mengenai eksploitasi, Pemprov SUMUT telah lebih dahulu menyinggung mengenai eksploitasi sebelum adanya Undang-Undang RI No. 21 Tahun 2007 tentang Trafficking. Pasal 1 huruf (u) PERDA Provinsi Sumatera Utara No. 6 Tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan Perempuaan dan Anak bahwa Eksploitasi adalah tindakan berupa penindasan, pemerasan dan pemanfaatan fisik, seksual, tenaga dan atau kemampuan seseorang oleh pihak lain yang dilakukan dengan cara sewenang-wenang

atau penipuan untuk mendapatkan keuntungan baik material maupun non material33

Terjadinya eksploitasi anak sebagai korban ESKA dapat terjadi karena adanya faktor-faktor penyebab. Perlu diketahui terlebih dahulu bahwa salah ilmu yang mempelajari tentang penyebab seseorang berbuat kejahatan yang dapat dihubungkan dengan penyebab terjadinya ESKA adalah “Kriminologi” yaitu ilmu yang mempelajari tentang kejahatan, yang secara harafiah berasal dari kata “Crimen” berarti kejahatan atau

penjahat dan “logos” berarti ilmu pengetahuan.34 Penyebab orang melakukan kejahatan

dapat terjadi karena adanya faktor fisik, selain itu juga faktor sosiologis (dalam teori sosiologis), dan faktor-faktor lainnya.

      

33

PERDA Provinsi SUMUT No. 6 Tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak

34


(34)

Buku Stephen Hurwitz yang berjudul “Kriminologi” tertulis bahwa seseorang berbuat jahat dapat dikarenakan dari berbagai faktor, yaitu menurut Cesare Lambrosso dengan teorinya “Born Criminal” bahwa adanya sifat secara turun-temurun termasuk yang memunculkan sifat jahat pada manusia modern., tapi penyebab kejahatan itu tidak hanya disandarkan pada teori “Born Criminal”, karena ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang berbuat jahat termasuk penyebab mengapa anak dapat

diperjualbelikan sebagai PSK, yaitu:35

1. Faktor lingkungan

2. Kurangnya pendidikan dan pengawasan orangtua terhadap anak

3. Di kota besar mis: penggunaan morphin, ganja atau narkotika

4. Adanya ekses pola hidup mewah yang dapat menimbulkan kejahatan

Faktor-faktor diatas mempengaruhi perkembangan dan perubahan yang menuntut modernisasi dalam pemenuhan kebutuhan ditentukan oleh konteks perjuangan kelompok-kelompok manusia yang berubah secara konstant, lalu dimanifestasikan melalui serangkaian kegiatan sosial manusia yang terorganisir secara sosial pula. Demikian pula dengan meningkatkan populasi maka diperlukan suatu ukuran produksi yang lebih besar

untuk memenuhi kebutuhan manusia,36 demikian juga halnya seperti pembangunan

dipergunakan sebagai sarana untuk mencapai modernisasi seperti yang diterangkan Sant. M. Katz dalam memberikan pandangan terhadap pokok-pokok pengertian pembangunan

menekankan akan pentingnya perubahan di dalam masyarakat.37

Kecenderungan perubahan yang terjadi dalam masyarakat lebih cebderung mengarah ke arah gaya konsumsi barat yang dianggap sebagai suatu simbol statis dari lapisan-lapisan masyarakat atas. Ditambah lagi dengan tumbuhnya suatu elite administratif yang karena sifatnya tidak berbeda dengan sikap birokrat umumnya, sebagian diantaranya berusaha meraih kemewahan dengan jalan yang tidak sama dengan kelompok lapisan atas lain yang mempunyai model. Secara psikologis, pola hidup mewah       

35

Topo Santoso, Kriminologi, (Jakarta:Rajawali Press, 2001), hal. 23.

36

Ibid, hal. 26.

37


(35)

dapat diartikan sebagai gaya tindak-tanduk yang merupakan fiksasi yang menghambat kemampuan pertumbuhan manusia yang integral yang dapat memberikan perubahan yang

mencolok dalam usaha pencapaian keinginan untuk meniru gaya hidup barat.38

Kejahatan juga dapat dipengaruhi oleh faktor psikologi, menurut Samuel Yochelson dan Stanton Samenow dalam bukunya The Criminal Personaling bahwa kejahatan disebabkan oleh konflik internal, tetapi yang sebenarnya para penjahat itu sama-sama memiliki pola berpikir yang abnormal yang membawa penjahat memutuskan

untuk melakukan kejahatan,39 Samuel Yochelson dan Stanton Samenow berpendapat

bahwa para penjahat adalah orang yang “marah” yang merasa suatu Sense Superioritas, menyangka tidak bertanggungjawab atas tindakan yang mereka ambil dan mempunyai harga diri yang sangat melambung.

Kejahatan juga dapat terjadi karena pengaruh lingkungan psikologi sosial-budaya terhadap tumbuh kembang anak-anak remaja. Diri pribadi manusia, lazimnya terdiri dari tiga aspek pokok. Aspek pertama adalah rasionya atau aspek kognitif manusia. Aspek

lainnya adalah hal emosinya yang lazim disebut aspek afektif.40 Aspek yang ketiga yang

sebenarnya merupakan hasil penyerasian antara aspek kognitif dengan aspek afektif, adalah aspek konatif atau kehendak manusia. Aspek inipun ada kecenderungan untuk menyatakan bahwa kehendak ditentukan oleh keserasian antara pikiran dengan perasaan, hal ini disebabkan oleh karena tidak dapat ditentukan secara mutlak aspek mana yang lebih besar peranannya. Pada akhirnya hal itu tergantung pada situasi yang dihadapi, kalau yang dihadapi adalah masalah yang rumit, maka terkadang penanggulangannya

      

38

Ediwarman, Lely Asni, Kriminologi, (Medan: FH UISU, 1988), hal. 16.

39

Topo Santoso, Op. Cit., hal. 35.

40


(36)

lebih banyak didasarkan pada pikiran, akan tetapi terkadang juga pada perasaan. Lingkungan budaya secara sosiologis merupakan hasil lingkungan sosial.

Secara konsepsional, maka lingkungan sosial mencakup unsur-unsur sebagai

berikut:41

1. Proses sosial

2. Struktur sosial

3. Perubahan-perubahan sosial.

Proses sosial sebenarnya merupakan inti dinamika lingkungan sosial, yang merupakan proses hubungan timbal balik antar pribadi, antar kelompok dan antar pribadi dan kelompok. Proses sosial itu sendiri mencakup hubungan antara berbagai bidang kehidupan manusia, seperti misalnya bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan dan hukum.

Pengaruh lingkungan psikologi sosial maupun budaya, sebenarnya tidak berlangsung secara langsung terhadap anak-anak dan remaja. Pengaruh tersebut berlangsung melalui unsur-unsur tertentu dalam masyarakat, unsur-unsur yang merupakan unit pergaulan hidup yang paling dekat dengan anak dan remaja.

Keluarga batih merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang mempunyai fungsi-fungsi tertentu. Di Indonesia terutama di kota-kota pengaruh keluarga batih terhadap anak besar sekali, sedangkan di wilayah pedesaan biasanya kelompok kekerabatan yang berpengaruh, walaupun demikian pengaruh kelompok kekerabatan di wilayah pedesaan biasanya juga berlangsung lewat keluarga batih.

      

41


(37)

Keluarga batih adalah unit terkecil namun memiliki peranan yang sangat penting

dalam masyarakat yang mempunyai fungsi-fungsi pokok, sebagai berikut:42

1. Sebagai wadah berlangsung sosialisasi primer, yakni dimana anak-anak dididik untuk

memahami dan menganuti kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.

2. Sebagai unit yang mengatur hubungan seksual yang seyogianya

3. Sebagai unit sosial ekonomi yang membentuk dasar kehidupan sosial-ekonomis bagi

anak-anak

4. Sebagai wadah tempat berlindung, agar kehidupan berlangsung secara tertib dan

tentram, sehingga manusia hidup dalam kedamaian.

Keluarga batih kecil mendapat pengaruh lingkungan psikososial dan budaya yang

terjadi melalui seleksi, maka pada keluarga batih besar hal itu berlangsung tanpa seleksi, dengan demikian, maka pengaruh-pengaruh lingkungan psikologi sosial dan budaya lebih besar dari pengaruh keluarga batih itu sendiri. Keluarga batih mempunyai pengaruh besar terhadap anak yang boleh dikatakan masih sangat bergantung pada keluarga batih tersebut, dalam mencari identitasnya, mereka cenderung dekat dengan teman-teman

senasib yang biasanya disebut kawan-kawan sepermainan.43

Kelompok sepermainan ini sangat berperan terhadap remaja, apabila terjadi ketegangan antara remaja dan orangtuanya. Ketegangan mungkin terjadi, apabila terjadi ketidakserasian antara pandangan remaja mengenai kehidupan dengan pandangan orangtuanya. Orang tua yang mengalami kesulitan mendidik putra-putrinya yang remaja adalah mereka yang belum percaya penuh atas kemampuan mandiri putra-putrinya, sehingga cenderung untuk terlalu melindunginya (over-protective). Pada keadaan-      

42

Soedjono Soekanto, Op. Cit., hal. 85.

43


(38)

keadaan begini, peranan kelompok sepermainan semakin besar dan pengaruh lingkungan psikologi sosial budaya akan berlangsung melalui kelompok tersebut. Kelemahan yang biasanya ada adalah bahwa kelompok sepermainan itupun masih mencari identitas, sehingga juga belum mampu mengadakan seleksi terhadap pengaruh-pengaruh yang datang (apakah baik-buruk atau benar-salah).

Timbulnya kejahatan dalam kelompok sepermainan ataupun lingkungan, berdasarkan sudut pandang sosiologis bahwa karena adanya timbal-balik antara faktor-faktor umum sosial politik-ekonomi dan bangunan kebudayaan dengan jumlah kejahatan dalam lingkungan itu baik dalam lingkungan kecil maupun besar. Tinjauan yang lebih mendalam tentang interaksi ini, dapat dibuat dari berbagai sudut sebagaimana akan diterangkan sebagai berikut: faktor-faktor ekonomi yaitu ada anggapan bahwa ada suatu hubungan langsung antara keadaan-keadaan ekonomi dan kriminalitas, terutama mengenai kejahatan terhadap hak milik dan pencurian. Pembahasan dalam kriminologi yang lebih dulu, pandangan ini berasal dari perbandingan beberapa penelitian statistik,

mengenai harga-harga grain (bras gandum) dan tingkat kejahatan,44 contoh: perbandingan

yang tekenal dari GEORGE von MAYR, antara harga beras gandum dan pencurian-pencurian di Davaria selama waktu (1836-1861), tetapi sesudah gandum bukan lagi merupakan makanan pokok tapi keadaan makanan lebih bervariasi, begitu pula penghasilan, keadaan-keadaan kerja, kesejahteraan sosial, maka pentingnya harga gandum sebagai indeks dari keadaan ekonomi dan korelasinya dengan kriminalitas berkurang.

Faktor agama (mental) juga menjadi penyebab terjadinya kejahatan, kepercayaan hanya dapat berlaku sebagai suatu anti kriminogenis bila dihubungkan dengan pengertian       

44


(39)

dan perasaan moral yang telah meresap secara menyeluruh, dan kepercayaan tidak boleh berubah dari sikap hidup moral keagamaan, merosot menjadi hanya suatu tata cara dan bentuk-bentuk lahiriah.

A. Sejarah Singkat Tentang Industri Seks di Indonesia

Prostitusi/kerja seks komersial (commercial sex work) adalah pemberian layanan seks untuk melunasi utang atau keuntungan materiil. Banyak perdebatan mengenai pemilihan terminologi ketika sesorang memilih istilah ”prostitusi” ketimbang ”kerja seks komersial”, terminologi tersebut sering mencerminkan posisi ideologi sang pembicara, yaitu pengembangan istilah ”kerja seks komersial” merupakan inisiatif aktivis industri seks untuk mendorong pengakuan terhadap prostitusi sebagai sebuah pilihan ekonomi, ketimbang sebagai sebuah identitas, selain itu, ”kerja seks komersial” mengandung

elemen pilihan yang sering kali diduga tidak terdapat dalam prostitusi.45

Sektor seks , meski berdiri dalam struktur yang tidak begitu formal dan berbau komersial, dapat ditelusuri jejaknya hingga masa sebelum pendudukan Belanda. Beberapa contoh dalam hal pelayanan seks diperlakukan sebagai komoditas semata, namun tidak terbatas kepada praktik pergundikan yang umum dijalankan oleh sejumlah kerajaan di Jawa dan Bali yaitu seorang raja mempunyai hak untuk menikmati layanan seks dari janda berkasta rendah. Pada masa penjajahan Belanda, industri seks berkembang dan sekaligus menjadi lebih berorganisasi. Meski perundang-undangan terdahulu berusaha membatasi bahkan mengakhiri kerja seks komersial, pada tahun 1852 perundang-undangan pemerintah kolonial mempunyai fokus untuk mengatur industri itu ketimbang

      

45

Martha Widjaja, Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia, (Jakarta: ICMC International Caholic Migration Commission, 2003), hal. 71.


(40)

mengusahakan penutupannya secara resmi, dengan serangkaian peraturan berupaya

menghindarkan bahkan yang disebabkan oleh kerja seks.46

Secara garis besar, hanya kerangka regulatif dan administratif ini yang masih bertahan hingga sekarang. Di seluruh wilayah Indonesia ada sejumlah tempat yang diatur pemerintah atau kompleks rumah bordil (lokalisasi) yang menempatkan kerja seks di satu lokasi yang sudah secara khusus disediakan untuk tujuan tersebut, yang dikelola oleh pemerintah daerah/provinsi dan di bawah wewenang Dinas Sosial. Komplek rumah bordil resmi ini merupakan sebuah aspek penting dalam sektor seks dewasa ini, namun mereka bukan satu-satunya lokasi untuk transaksi seks dalam industri seks Indonesia. Kerja seks yang tidak begitu formal dan tidak diatur oleh hukum dapat ditemui sama seringnya dengan yang formal.

B. Bentuk-Bentuk Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA)

Eksploitasi seksual komersial anak merupakan sebuah pelanggaran mendasar

tehadap hak-hak anak yang melibatkan kekerasan seksual oleh orang dewasa dan pemberian imbalan baik dalam bentuk uang tunai atau barang terhadap anak, atau orang ketiga, atau orang-orang lainnya. Anak diperlakukan sebagai obyek seksual dan komersial. Praktek kejahatan ini merupakan sebuah bentuk pemaksaan dan kekerasan terhadap anak dan mengarah pada bentuk-bentuk kerja paksa serta perbudakan modern.

Berikut adalah bentuk-bentuk ESKA, yaitu:47

1) Prostitusi anak yaitu: pelayanan seks anak yang dilakukan oleh baik agen penjaja seks

atau anak sendiri untuk mendapatkan keuntungan atau imbalan dari aktifitas seksual yang dilakukan.

      

46

Martha Widjaja, Op. Cit., hal. 71-72.

47


(41)

2) Pornografi anak yaitu: menampilkan bagian tubuh anak, dengan cara apa saja yang melibatkan anak dalam aktifitas seksual baik secara nyata maupun tidak untuk tujuan-tujuan seksual.

3) Perdagangan anak untuk tujuan seksual yaitu: perekrutan, pemindah-tanganan atau

penampungan dan penerimaan anak untuk tujuan eksploitasi seksual baik dari satu daerah ke daerah lain maupun dari satu negara ke negara lain.

4) Eksploitasi seksual anak di daerah pariwisata yaitu eksploitasi seksual yang

melibatkan anak baik perempuan maupun laki-laki di daerah wisata yang dilakukan oleh baik pelancong lokal maupun internasional dengan memanfaatkan kelemahan ekonomi anak.

5) Perkawinan anak yaitu: menikahkan atau menikahi seseorang berusia di bawah 18

tahun yang memungkinkan anak menjadi korban ESKA dengan menjadikannya sebagai obyek seksual untuk menghasilkan uang atau bentuk imbalan lainnya.

Kerja Seks komersial di Indonesia paling mudah terlihat di kompleks rumah

bordil resmi (lokalisasi), namun demikian, manifestasi kerja seks komersial ini tidak hanya dapat ditemui di tempat ini, karena industri seks juga beroperasi di sejumlah lokasi dan konstelasi yang jumlahnya terus bertambah, yaitu rumah bordil, hotel bar, rumah makan, dan panti pijat. Aktivitas sektor seks termasuk semua jasa seksual yang ditawarkan secara komersial, bahkan ketika hal itu terjadi di lokasi yang tidak dirancang sebagai tempat untuk melakukan transaksi seks. Berikut adalah uraian sekilas mengenai

tipe kerja seks yang lebih langsung:48

1) Kompleks rumah bordil resmi (lokalisasi): tempat ini merupakan manifestasi dan sah

menurut hukum di dalam sektor seks, yang terdiri dari sekumpulan tempat yang       

48


(42)

dikelola oleh pemilik atau manajer dan diawasi oleh pemerintah. Lokalisasi ini berbeda dengan rumah bordil yang cenderung bertempat di luar lokalisasi dan tidak diatur oleh pemerintah.

2) Kompleks hiburan: ini adalah lokasi dimana layanan seks sering kali tersedia selain

bentuk-bentuk hiburan lain. Dalam beberapa kasus, PSK beroperasi secara independen sementara dalam situasi lain layanan seksual tersedia melalui pihak manajemen tempat tersebut.

3) Wanita jalanan: mereka ini adalah PSK yang menjajakan layanan seks di jalan atau di

tempat terbuka (misalnya: taman, stasiun kereta api, dan sebagainya)

4) Penjual minuman ringan: para gadis yang bekerja di kios makanan kecil sering kali

juga masuk ke dalam sektor seks, meski dengan cara yang tidak terlalu terang-terangan. Penghasilan dari kios minuman ini biasanya tidak cukup untuk membuat mereka dapat bertahan hidup, sehingga banyak yang memberikan layanan seks untuk memperoleh penghasilan tambahan. Layanan ini mulai dari memperbolehkan pelanggan meraba-raba dan mencium mereka sampai hubungan seksual yang penetratif. Dalam banyak kasus, penjual minuman ringan dibawah umur terikat dengan agen karena utang yang dibuat oleh orangtuanya dan mereka tidak mampu melunasi utang tanpa melakukan kerja seks.

5) Pelayan di tempat perhentian truk dan warung: ada beberapa lokasi seperti kios yang

menjajakan minuman keras atau warung di pinggir jalan, yang melayani supir truk antarkota dimana mungkin tersedia perempuan dan gadis muda yang dapat dipandangi, diraba-raba dan diajak melakukan hubungan seks. Layanan ini ditawarkan sebagai sampingan dari lain pekerjaan orang tersebut sebagai pelayan.

6) Perempuan yang bekerja di perusahaan (yaitu staf bidang hubungan masyarakat atau


(43)

perempuan mungkin diminta (didorong) untuk memberikan layanan seks sebagai bagian dari, atau untuk memuluskan jalan bagi penandatanganan kontrak dalam perusahaan komersial yang legal.

7) ”Sekretaris plus”: ini adalah layanan untuk eksekutif asing yang bekerja di Jakarta.

Jasa yang diberikan seorang sekretaris profesional adalah penanganan urusan administrasi juga pemberian layanan seks kepada sang klien.

8) Pecun dan perek: di indonesia dikenal pecun (perempuan cuma-cuma) atau perek (perempuan eksperimen), sebuah kategori terpisah dari para perempuan yang

melakukan aktivitas seksual untuk memperoleh imbalan. Mereka ini adalah gadis muda di daerah perkotaan, sering kali remaja (yang dijuluki ABG/anak baru gede, yang melakukan kerja seks terselubung, berhubungan seks dengan lelaki demi uang, atau hadiah.

9) Istri kontrakan: perempuan setempat tidak jarang hidup dengan menikmati dukungan

finansial lelaki asing yang dikontrak untuk bekerja dalam jangka pendek di Indonesia. Biasanya kontrak tersebut berlaku hingga tiga tahun lamanya.

10)Panti pijat: layanan pijat dapat juga menyediakan berbagai layanan seks. Praktik ini

merupakan sesuatu yang lazim dan ditemukan di begitu banyak tempat di seluruh Indonesia, termasuk hotel dan spa kelas atas.

11)Model dan aktris film: beberapa model dan aktris menambah penghasilan mereka

dengan jalan juga bekerja sebagai gadis panggilan, sering ada rumor bahwa dikalangan model dan aktris top Indonesia hal ini sudah biasa dilakukan.

12)Resepsionis hotel: NGO (Non Government Organitation) Hotline Surabaya

memberitahu tentang beberapa hotel dimana perempuan yang bekerja di meja penerimaan tamu dapat memberikan layanan seks jika ada tamu yang meminta.


(44)

13)Anak jalanan, pedagang keliling dan pedagang kaki lima: anak-anak ini sering melayani berbagai macam klien, termasuk wisatawan dalam negeri maupun asing yang berada di tujuan wisata

Permasalahan mengenai eksploitasi seksual komersial anak merupakan fenomena yang multifaktor dan melibatkan berbagai pihak. Salah satu bentuk eksploitasi seksual adalah pelacuran. Pelacuran merupakan produk mata rantai faktor ekonomi, sosial, budaya dan politik, serta merupakan hasil kerja berbagai pihak yang mungkin tidak disadari dan diakui.

C. Faktor-faktor yang menyebabkan eksploitasi seksual komersial anak (ESKA)

1. Faktor Internal Pelaku

Faktor internal adalah factor yang berasal dari dalam diri individu yang meliputi kejiwaan seseorang. Ada berbagai macam penyebab kejiwaan yang dapat mendorong seseorang terjerumus ke dalam tindak pidana narkotika, penyebab internal itu antara lain:49

a. Perasaan Egois.

Merupakan sifat yang dimiliki oleh setiap orang. Sifat ini seringkali mendominir seseorang tanpa sadar yang pada suatu ketika rasa egoisnya dapat mendorong untuk melakukan hubungan seksual. Perasaan seseorang yang menghendaki agar semua keinginannya tercapai.

b. Kehendak Ingin Bebas

      

49

Moh. Taufik Makarao,

Tindak Pidana Narkotika, (Jakarta: Ghalia Indonesia,

2003), hal. 53.


(45)

Sifat ini merupakan suatu sifat dasar yang dimiliki manusia. Sementara dalam tata pergaulan masyarakat, banyak norma-norma yang membatasi kehendak bebas tersebut. Kehendak ingin bebas ini muncul dan terwujud ke dalam perilaku setiap kali seseorang dihimpit beban pemikiran maupun perasaan. Dalam hal ini, seseorang yang sedang dalam himpitan tersebut melakukan interaksi dengan orang lain sehubungan dengan hal seksual, maka dengan sangat mudah orang tersebut akan terjerumus pada kegiatan eksploitasi seksual.

c. Rasa Keingintahuan.

Perasaan ini pada umumnya lebih dominan pada manusia yang usianya masih muda, perasaan ingin ini tidak terbatas pada hal-hal yang positif, tetapi juga kepada hal-hal yang sifatnya negatif. Rasa ingin tahu tentang seksual ini juga dapat mendorong seseorang melakukan perbuatan yang tergolong dalam eksploitasi seksual, misalnya anak-anak yang ingin mengetahui mengenai alat kelaminnya sehingga menimbulkan keingintahuannya lebih mendalam terhadap fungsi dan ataupun bentuk atau apapun mengenai alat kelaminnya dan alat kelamin lawan jenisnya.

2. Faktor Eksternal Pelaku

Tidak hanya faktor internal, banyak juga faktor penyebab eksploitasi seksual

yang berasal dari luar diri seseorang karena adanya:50

1. Kemiskinan, definisi kemiskinan beraneka macam. Disatu pihak ada kemiskinan

yang memang berarti sumber daya yang terbatas, bahkan kurang untuk memenuhi hidup sehari – hari, disamping itu ada kemiskinan yang disaturasi dengan berbagai informasi gaya hidup konsumtif dan materialis modern sehingga harapan dari setiap warga yang miskin adalah untuk memiliki cukup uang guna membeli berbagai

      

50

Yuli Hastadewi, Kondisi dan Situasi Pekerja Anak, (Jakarta: Cooperazione Italiana, 2004), hal. 40-43.


(46)

consumer goods ( seperti tv, kulkas, motor, mobil, telepon genggam, perhiasan,

asesori luar negeri dll). Meskipun kebutuhan makan sehari – hari telah terpenuhi, mereka masih merasa miskin sebelum beberapa barang konsumtif yang menjadi ukuran ”kaya” belum mereka miliki. Kemiskinan seperti inilah yang mendorong anak – anak muda/remaja untuk menjajakan dirinya seperti ”perek” di kota – kota besar.

2. Disinyalir kemiskinan merupakan sumber utama pendorong anak dieksploitasi,

namun ada faktor non ekonomi lainnya yang turut berperan seperti kurangnya perhatian orangtua, disfungsi keluarga, beberapa kehidupan tradisional, kehidupan urban yang konsumtif. Faktor non ekonomi anak dieksploitasi adalah tingginya angka tingkat perceraian, tingginya angka perkawinan di bawah umur.

3. Adanya perbedaan kekuasaan antara laki – laki dan perempuan. Pelacuran adalah

ekspresi dari hegemoni kultural pria atas kaum perempuan. Banyak kasus menunjukkan terjerumusnya peremuan kerapkali terpaksa dan dipaksa masuk ke dalam pelacuran oleh kaum pria yang menggunakan beragam sarana, yang berkisar dari sekedar janji – janji muluk pekerjaan, perkawinan atau perbudakan terselubung dari cinta, loyalitas terhadap mucikari, sampai ke penculikan dan penyekapan. Di tengah – tengah berbagai kesulitan ekonomi, laki – laki merasa mempunyai pilihan dengan menggunakan posisi sosialnya untuk menghidupi dirinya dari keringat dan darah pihak yang lebih lemah, yaitu anak – anak dan khususnya perempuan.

4. Aspek psikologi bahwa karena anak begitu percaya pada orang dewasa, khususnya

orangtua mereka, maka mereka pun mudah dikhianati. Sulit memang memikirkan orangtua yang demikian. Hal lain adanya argumen bahwa sejak dilahirkan anak hanya berpandangan bahwa mereka lahir karena ”maksud baik”, oleh karena itu, anak mempercayakan semua haknya pada orangtua. Masalahnya seperti yang pernah diteliti oleh Masri Singarimbun pada masyarakat dimana jaminan hidup itu minim


(47)

dan mortalitas bayi cukup tinggi, maka anak dihargai lebih sebagai bagian dari jaminan hidup keluarga ketimbang sebagai individu seutuhnya dengan berbagai hak dan kewajiban, dalam komunitas seperti ini partisipasi anak dalam kegiatan ekonomi cukup tinggi, jika pull-factor yang berupa kegiatan ekonomi sangat tinggi, maka bisa dianggap pelacuran sebagai alternatif yang cukup menarik.

5. Ketiadaan akta kelahiran, anak dan orang dewasa yang tidak terdaftar serta tidak

memiliki akta kelahiran rentan terhadap eksploitasi. Orang yang tidak dapat memperlihatkan akta kelahirannya sering kali kehilangan perlindungan yang diberikan hukum karena di negara , secara teknis mereka tidak ada. Tanpa akta kelahiran, seseorang akan sulit membuktikan umurnya, menerima perlindungan khusus bagi orang di bawah umur, membuktikan kewarganegaraan atau izin tinggalnya, masuk ke sekolah, memperoleh paspor, membuka rekening bank, menerima layanan kesehatan, diadopsi, melakukan ujian, menikah, memegang surat izin mengemudi, mewarisi uang atau harta benda, memiliki rumah atau tanah, memberikan suara dalam pemilu atau mencalonkan diri untuk posisi tertentu dalam pemerintahan.

6. Pendidikan, terungkap bahwa banyak dari antara anak-anak perempuan hampir tidak

bisa membaca dan menulis sama sekali dan hanya pernah bersekolah selama beberapa tahun. Rendahnya pendidikan dan ketrampilan menyulitkan para anak untuk menari pekerjaan lain atau jalan lain guna menghidupi keluarga mereka. Anak perempuan terdorong untuk memperoleh penghasilan begitu mereka berhenti sekolah, agar dapat menjadi mandiri dari segi keuangan dan untuk menghidupi keluarganya karena pendidikan formal yang diperolehnya hanya sedikit, banyak gadis yang hanya berhasil mendapat pekerjaan dengan bayaran rendah, kebanyakan sebagai pelayan, penjaga toko atau penyanyi karaoke.


(48)

7. Faktor Moral dan Keluarga, Moral adalah hal pokok bagi manusia dalam bertindak. Keluarga yang menjadi sarana utama ataupun tolak ukur terhadap perilaku manusia untuk bersikap delinkuen atau sebaliknya. Keluarga juga berperan dalam hal

menanamkan nilai-nilai agama yang seharusnya menjadi kunci moral anak-anak.51

8. Faktor Tekhnologi, Dengan berkembangnya tekhnologi yang telah memanjakan

kemudahan akses bagi siapapun membuat kegiatan PSK dapat berjalan dengan efisien dan efektif yaitu terbukti dengan adanya layanan “Chatting (ngobrol lewat internet)”. Dengan kemudahan itu juga para PSK dapat diperjualbelikan secara mudah.

9. Faktor Reservasi Tempat, Praktek prostitusi tidak hanya terbatas pada tempat-tempat

yang telah kita kenal dengan sebutan “hotel, tempat penginapan lain seperti Bungalow, Inn, atau rumah bordil” bahkan sekolah ataupun kampus dapat dijadikan tempat jual-beli PSK sehingga tidak sedikit ada beberapa sekolah yang disebut sekolah para pereg atau pecun. Rumah kost juga menjadi tempat yang paling ampuh dalam melakukan prostitusi dimana para anak muda yang sering tinggal bersama dan tanpa pengawasan si pemilik rumah kost dan tanpa peraturan yang disiplin.

10. Faktor Penanganan oleh Aparat

Aparat yang terkesan hanya melakukan operasi razia yang tidak dalam kurunwaktu yang tidak teratur, operasi razia yang hanya sering dilakukan pada bulan-bulan tertentu misalnya pada bulan Ramadhan dan operasi razia jarang sekali diadakan di rumah kost dengan melihat identitas si penghuni rumah kost.

11. Meningkatnya permintaan

12. Penegakan hukum terhadap pelaku masih belum tegas dan konsisten       

51

Andri Yoga Utami, Ketika Anak Tak bisa Lagi Memilih, (Jakarta: Kantor Perburuhan Internasional, 2002), hal. 25.


(49)

Adanya faktor-faktor tersebut maka timbullah kejahatan, perbuatan kejahatan dari segi sosiologis ini ditekankan pada ciri-ciri khas yang dapat dirasakan dan diketahui oleh masyarakat tertentu. Masalahnya terletak pada sifat hakekat daripada perbuatan immoril yang dipandang secara obyektif, yaitu jika dilihat dari sudut masyarakat, dimana masyarakat dirugikan.

Mengenai kejahatan , kejahatan dapat dilihat dari Segi Yuridis yaitu menurut:

(1) R.Susilo bahwa “Kejahatan” adalah perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan moral kemanusiaan merugikan masyarakat yang telah dirumuskan dan ditentukan

dalam perundang-undangan pidana.52

(2) Mulyatno bahwa “Kejahatan” adalah perbuatan yang oleh aturan pidana dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut, dinamakan perbuatan pidana.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa kejahatan dari segi yuridis adalah kejahatan yang dinyatakan secara formil dalam hukum pidana. Jadi adalah semua perbuatan manusia yang memenuhi perumusan ketentuan hukum pidana secara definitif dinyatakan sebagai perbuatan jahat.

Dari pendapat-pendapat di atas, tidak ada keseragaman arti untuk kata “Kejahatan” tersebut, namun pada prinsipnya dapat diambil suatu pengertian bahwa

kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku manusia yang tidak bisa diterima oleh jiwa atau hati nurani manusia, karena bertentangan dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, yang selalu mendambakan kehidupan yang rukun dan damai, baik lahir maupun batin.

      

52


(50)

Telah diuraikan bahwa kejahatan itu adalah suatu perbuatan yang merupakan tingkah laku manusia yang menyimpang dari norma-norma yang hidup dalam masyarakat yang sangat dihormati dan dijunjung tinggi. Kelakuan disebut menyimpang jika telah mendapat penilaian dan reaksi dari masyarakat yaitu yang bersifat tidak disukai ataupun telah dikenakan sanksi badan yang merupakan suatu penderitaan ataupun dikucilkan dari kehidupan masyarakat.

Kecenderungan atas meningkatnya kejahatan tersebut sangat dicemaskan oleh berbagai kalangan, khususnya orangtua apalagi kejahatan tersebut dilakukan oleh anak-anak dikalangan pelajar. Secara terperinci akan dikemukakan tentang kenakalan yang

diperbuat oleh murid-murid sekolah:53

a. berbohong, memutarbalikkan fakta dengan tujuan menipu atau menutupi kesalahan

b. membolos, pergi meninggalkan sekolah tanpa sepengetahuan pihak sekolah.

c. kabur, meninggalkan rumah tanpa izin orangtua atau menentang keinginan orangtua

d. keluyuran, pergi sendiri maupun berkelompok tanpa tujuan, mudah menimbulkan

perbuatan iseng yang negatif

e. memiliki dan membawa benda yang membahayakan orang lain, sehingga mudah

terangsang untuk mempergunakannya, misalnya pisau, pisau silet,dll.

f. bergaul dengan teman yang berpengaruh buruk, sehingga mudah terjerat dalam

perkara yang benar-benar kriminil.

g. berpesta pora semalaman suntuk tanpa pengawasan, sehingga mudah timbul

tindakan-tindakan yang kurang bertanggungjawab

h. membaca buku-buku cabul dan kebiasaan menggunakan bahasa yang tidak sopan

i. secara berkelompok makan di rumah makan tanpa bayar

      

53


(1)

melalui upaya pemberian hukum pidana yang sesuai dengan aturan yang ada mengacu pada Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada Pasal 59, Pasal 66, Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Perdagangan Orang pada Pasal 45, Pasal 46, Pasal 51, Pasal 52, dan Pasal 54, serta Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjan pada Pasal 74. Pemberian hukuman juga diperberat karena menyangkut hak-hak anak seperti yang terdapat pada Putusan Nomor: 1944/Pid.B/2006/PN.Mdn yaitu terbukti bahwa terdakwa tersebut telah memperniagakan perempuan yang belum dewasa atau Mucikari sebagaimana dimaksud dalam pasal 297 Jo 506 KUHPidana Jo. Pasal 83 UU RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak maka terdakwa dijatuhi hukuman pidana penjara selama 2 (dua) tahun. dan Putusan Nomor 2960/Pid.B/2008/PN.Mdn yaitu Menyatakan terdakwa Nurhayati Nasution Als Nur tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana: Turut melakukan memberikan atau memasukkan keterangan palsu pada dokumen Negara atau dokumen lain atau memalsukan dokumen Negara atau dokumen lain, untuk mempermudah terjadinya tindak pidana perdagangan orang. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan denda sebesar Rp 120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah).

B. Saran

Keadaan yang dilihat penulis selama melakukan penelitian dan selama melakukan pembahasan, maka penulis merasa perlu memberi saran bagi beberapa pihak sebagai sumbangsih pemikiran yang dapat mengajak para pihak sekaligus membantu para pihak dalam melakukan pencegahan, penanggulangan, dan perbaikan dan pengawasan terhadap tindakan perdagangan anak sebagai PSK yaitu:


(2)

a) Peningkatan dan penerapan bimbingan rohani dan moral dalam keluarga, masyarakat dan sekolah.

b) Pemerintah selayaknya memberi perhatian yang lebih terhadap tindakan perdagangan anak sebagai PSK

c) Penjatuhan hukuman terhadap pelaku eksploitasi seks komersial anak sebaiknya diperberat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

d) Pada aparat kepolisian khususnya, sebaiknya operasi razia terhadap pekerja seks komersial (PSK) sebaiknya dilakukan secara rutin dan sistematis dan lebih maksimal sehingga dapat memberikan dampak yang signifikan guna menanggulangi kegiatan eksploitasi seks komersial anak (ESKA).


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Anshari Siregar, Tampil., 2007, Metode Penelitian Hukum, Pustaka Bangsa

Press, Medan

ASEAN Child – Sex Tourism Review (Child Wise Tourism Report, August, 2007)

Aziz, Aminah, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Medan: USU Press, 1998.

Koalisi Nasional, Eksploitasi Seksual Komersial Anak di Indonesia, PKPA , Medan

CST. Kansil.,1995, Pengantar Hukum dan Tata Ilmu Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta

Darwin, Muhadjir, 2005, MobilitasLintas Batas danEksploitasiSeksual, UGM,

Bandung

ECPAT, 2006, MelindungiAnak-Anak Dari eksploitasiSeksual,Restu Printing,

Medan

ECPAT, 2008, MemerangiPariwisata Sex Anak,KoalisiNasionalPenghapusan

ESKA,

SUMUT

Ediwarman., Lely Asni., 1998, Kriminologi, FH UISU, Medan.

Hurwitz, Stephan., 1986, Kriminologi, Ghalia Indonesia, Jakarta Timur.

Irwanto., 2008, MenentangPornografidanEksploitasiSeksualterhadapAnak,

ECPAT, Jakarta.

Irwanto, 2001, PerdaganganAnak di Indonesia, Kantor PerburuhanInternasional,

Jakarta.

Ibrahim, Johny., 2008, TeoridanMetodologiPenelitianHukumNormatif,

Bayumedia, Surabaya.


(4)

J.M. van Bemmelen, 1997. HukumPidana 1. Selanjutnyadisebutbuku II.Bandung: Bina Cipta, Cetakan Kedua

Kartono, Kartini., Patologi Sosial dan Kenakalan Remaja, Rajawali Pers, Jakarta, 2005.

Lesmana, Tjipta., 1995, Pornografi dalam Media Massa, Puspa Suara, Jakarta.

Mahmud Marzuki, Peter., 2006, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta.

Meleong, Lexy, 2002, Metode Penelitian Kualitatif, Rosda Karya, Bandung.

TaufikMakarao, 2003, TindakPidanaNarkotika, Jakarta, GhaliaIndonesia

Mulyadi, Mahmud.,2008, Criminal Policy, Pustaka Bangsa Press, Medan.

Mulyanto, 2004, Melacur Demi Hidup, UGM, Yogakarta.

Nawawi Arief, Barda., 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum pidana (Perkembangan Penyusunan KUHP Baru), kencana, Jakarta

Qirom, Syamsudin., 1985, Kejahatan Anak, Liberty, Yogyakarta.

Rahardjo, Sadjipto., 1980, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung.

RencanaAksiNasionalPenghapusanEksploitasiSeksualKomersialAnak, 2003,

KementrianPemberdayaanPerempuan RI, Jakarta.

Santoso, Topo., 2001, Kriminologi, Rajawali Pers, Jakarta.

Soekanto, Soejono.,2004, Sosiologi Keluarga, Rineka Cipta,Jakarta.

Soekanto, Soekanto.,2005, Pengantar Penelitian Hukum, Press, Jakarta.

Soerjono Soekanto., Sri Mahmudji., 1996, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.


(5)

Soemadji, 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Karya Maju, Jakarta.

Syamsudin, M., 2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo

Persada, Jakarta.

Widjaja, Martha, 2003, PerdaganganPerempuandanAnak di Indonesia, ICMC

International Caholic Migration Commission, Jakarta.

Yoga, AndriUtami, 2002, KetikaAnakTakbisaLagiMemilih, Kantor

PerburuhanInternasional, Jakata.

YuliHastadewi, 2004, KondisidanSituasiPekerjaAnak,CooperazioneItali, Jakarta.

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang - Undang RI No. 22 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak

Undang – Undang RI No. 21 Tahun 2007 Tentang Perdagangan Orang

Undang- Undang RI No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Undang - Undang RI No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

Undang – undang RI No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

PERDA Provinsi Sumatera Utara No. 6 Tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan Anak dan Perempuan

 

C. Jurnal dan Majalah

Agenda AksiMenentangEksploitasiSesualKomersialAnak Di Indonesia

Bismar Nasution., 2003, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan

Hukum, disampaikan pada dialog interaktif tentang penelitian hukum dan

hasil penulisan hukum pada majalah akreditasi, (Fakultas Hukum USU, tgl

18 Februari 2003)


(6)

Brosur ESKA.AnakBukanObjekSeks.Medan, KoalisiNasionalPenghapusan ESKA

MakalahUpayaPerlindunganAnakDalamPeningkatanKualitasSumberDayaInsani

JurnalPerempuan,

2007,MengapaMerekaDiperdagangkan,YayasanJurnalPerempuan,

Jakarta.

PKPA, 2004, Laporan Pengembangan Indikator Penghapusan Eksploitasi Seksual

Komersial Anak, PKPA. Medan.

Laporan Konferensi Upaya Memerangi Perdagangan Orang Untuk Tujuan

Eksploitasi Seksual Komersial Anak, 2004, Batam.

Seminar Hasil Eksploitasi Seksual Komersial Anak di Lima Kabupaten/Kota di

Sumatera Utara

Unicef, Pedoman Untuk Perlindungan Hak-Hak Korban Perdagangan

Manusia

World Report on Violence Against Children - Laporan ini diedit oleh seorang ahli

independent yang ditugaskam oleh Sekjen PBB, yaitu: Paulo Sergio

Pinheiro, 2006